Anda di halaman 1dari 15

Cinta merupakan fitra terindah dalam hidup manusia. Cinta...

Publikasi : 03-03-2005 KotaSantri.com : Cinta... Siapa yang tidak mengenal cinta? Cinta datangnya tidak dapat diduga juga tidak dapat ditolak. Banyak orang yang memimpikan cinta dan banyak orang yang merana bahkan mati karena cinta. Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum ayat 21). Cinta pada dasarnya adalah bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian tergantung dari bingkainya. Ada bingkai yang suci dan halal dan ada bingkai yang kotor dan haram. Cinta mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan dan kerinduan, disamping mengandung persiapan untuk menempuh kehidupan di kala suka dan duka, lapang dan sempit. Cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya. Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan. Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik. Islam adalah agama fitrah karena itulah Islam tidaklah membelenggu perasaan manusia. Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seorang manusia. Akan tetapi Islam mengajarkan pada manusia agar perasaan cinta itu dijaga, dirawat dan dilindungi dari segala kehinaan dan apa saja yang mengotorinya. Islam membersihkan dan mengarahkan perasaan cinta dan mengajarkan bahwa sebelum dilaksanakan akad nikah harus bersih dari persentuhan yang haram. Antara Cinta dan Nafsu Cinta dan nafsu bagaikan dua saudara kembar yang sulit dipisahkan. Cinta kadang membuat seseorang menjadi buta dan mendewakan hawa nafsunya daripada akal sehatnya. Cinta dapat membuat seseorang mabuk kepayang dan mengorbankan kehormatan dan norma dirinya sendiri.Cinta membuat seorang raja bagaikan seorang budak. Dan cinta seringkali diatasnamakan oleh orang-orang yang mengejar kenikmatan untuk memuaskan hawa nafsunya belaka. Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta antara dua anak manusia, tetapi Islam mengajarkan untuk menempatkan perasaan cinta itu dalam proporsinya yang wajar. Islam mengajarkan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya haruslah lebih utama daripada kecintaan kepada lawan jenisnya. Dengan memiliki kecintaan ini niscaya dua orang yang sedang saling mencinta akan tetap menjaga cintanya tetap suci jauh dari perilaku yang dilarang Allah dan Rasul-Nya yang akan mengotori cinta itu sendiri. Kecintaan seperti inilah yang akan mengobati rasa sakit akibat cinta itu dan manumbuhkan perasaan kasih sayang yang tulus. Islam sangatlah melarang untuk menempatkan rasa cinta terhadap sesuatu diatas kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, karena kecintaan seperti itu hanyalah akan membawa malapetaka dan bukanlah kebaikan. "Dan diantara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,

mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (QS. Al-Baqarah ayat 165). "Tidaklah seseorang diantara kalian beriman sehingga aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada anak dan bapaknya serta semua manusia." (HR. Ahmad). Kecintaan yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya memberikan ketenangan dalam hidupnya terhadap persoalan-persoalan cinta serta mengendalikan gejolak nafsunya kepada hal yang diridhai Allah. Kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya mampu menahan godaangodaan yang lebih diakibatkan nafsu birahi yang mampu menjerumuskannya dan kekasihnya ke jalan yang dimurkai Allah. Karena cinta yang tulus dan murni itu datangnya hanyalah dari Allah sebagai sebuah fitrah yang harus disyukuri bukan didurhakai. Pernikahan Tempat Bermuaranya Cinta "Tidak terlihat diantara dua orang yang saling mencintai (sesuatu yang sangat menyenangkan) seperti pernikahan." (Ibnu Majah). Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah kewajiban bagi yang mampu. Dan bagi insan manusia yang saling mencintai, pernikahan seharusnyalah menjadi tujuan utama mereka. Karena itulah percintaan yang tidak mengarah kepada pernikahan bahkan disertai halhal yang diharamkan agama sangat tidak disarankan oleh Islam. Cinta dalam pandangan Islam bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik, dan bukan pula pembenaran terhadap perilaku yang dilarang agama. Karena hal ini bukanlah cinta melainkan sebuah lompatan birahi yang besar saja yang akan segera pupus. Karena itu cinta memerlukan kematangan dan kedewasaan untuk membahagiakan pasangannya bukan menyengsarakannya, dan bukan juga menjerumuskannya ke jurang maksiat. Percintaan tanpa didasarkan oleh tujuan hendak menikah adalah sebuah perbuatan maksiat yang diharamkan oleh agama. Karena batas antara cinta dan nafsu birahi pada dua orang manusia yang saling mencintai sangatlah tipis sehingga pernikahan adalah sebuah obat yang sangat tepat untuk mengobatinya. Pernikahan adalah sebuah perjanjian suci yang menjadikan Allah SWT sebagai pemersatunya. Dan tidak ada yang melebihi ikatan ini. Dan inilah puncak segala kenikmatan cinta itu dimana kedua orang yang saling mencintai itu memilih untuk hidup bersama dan saling berjanji untuk saling mengasihi dan berbagi hidup, baik suka maupun duka. (Annisa)

Setiap orang ingin damai dan harmonis, karena inilah yang kurang dalam kehidupan kita. Dari saat ke saat kita mengalami kegelisahan, kejengkelan, ketidak harmonisan, penderitaan. Saat seorang gelisah, ia juga menyebarkan penderitaan tersebut kepada orang lain - kegelisahan merembes keluar dari orang yang menderita ke sekelilingnya. Sehingga setiap orang yang berhubungan dengannya ikut menjadi jengkel dan gelisah. Tentu ini bukan cara hidup yang baik. Seorang harus hidup damai dgn dirinya sendiri dan juga dengan yang lain .Bagaimanapun manusia adalah makluk sosial, ia hrs hidup dan berhubungan dengan masyarakat. Bagaimana kita bisa hidup damai, bisa tetap harmonis dengan diri sendiri dan juga masyarakat sekitarnya, sehingga yang lain bisa hidup damai dan harmonis ? Seseorang gelisah .Untuk keluar dari kegelisahan, seorang harus mengtahui alasan dasarnya, sebab dari penderitaan. Bila ia menyelidiki masalah tersebut, akan jelas bahwa saat ia mulai membangkitkan kekotoran dalam batin, ia pasti menjadi gelisah. Batin yang tidak murni tidak bisa hadir bersamaan dengan kedamaian dan keharmonisan.

Bagaimana seorang membangkitkan kekotoran batin? Sekali lagi dengan menyelidiki. Menjadi jelas, saya menjadi tidak senang saat melihat seorang berkelakuan,atau sesuatu terjadi, tidak seperti yang saya inginkan yang saya harapkan tidak terjadi. Dan saya membuat ketegangan dalam diri saya. Sepanjang hidup hal yang tidak diharapkan selalu terjadi, hal yang diharapkan bisa terjadi bisa tidak. Proses atau reaksi mengikat simpulsimpul' Gordian-knots' membuat seluruh struktur mental dan jasmani menjadi tegang, penuh kenegatifan, yang membuat hidup menderita. Satu cara untuk menyelesaikan masalah adalah mengatur hal yang tidak diharapkan tidak terjadi dan semuanya terjadi seperti apa yang saya inginkan. Maka saya harus mengembangkan kesaktian atau orang lain yang punya kesaktian yang bisa membantu saya setiap saat. Tapi ini tidak mungkin. Tidak ada seorang -pun didunia ini yang keinginannya bisa selalu terpenuhi. Jadi timbul pertanyaan bagaimana saya tidak bereaksi buta terhadap hal-2 yang tidak saya sukai? Bagaimana tidak membuat ketegangan? Bagaimana menjaga tetap damai dan harmoni? Di India, juga negara lain, para bijaksana telah mempelajari masalah ini - masalah penderitaan manusia - dan menumukan solusinya: Bila sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dan seorang mulai bereaksi dengan membangkitkan kemarahan, takut atau kenegatifan apa saja, secepatnya ia harus mengalihkan perhatian -nya ke hal lain. Misalnya , berdiri, mengambil segelas air, mulai minum. Kemarahannya tidak akan diper- banyak dan ia akan keluar dari kemarahan. Atau mulai menghitung: satu, dua dan seterusnya. Atau mengulang sebuah kata, kalimat atau mantra, mungkin nama dewa dewi yang dipercaya pikiran dialihkan dan anda keluar dari kenegatifan dalam batas tertentu. Solusi ini membantu. Dengan cara ini batin merasa bebas dari kegelisahan. Tapi sebenarnya solusi ini hanya bekerja pada lapisan sadar. Dengan mengalihkan perhatian ia menekan kenegatifan jauh kedalam bawah-sadar dan pada lapisan ini ia melanjuntukan membangkitkan dan menggandakan kekotoran yang sama. Pada permukaan terdapat lapisan ketenangan dan harmonis, tapi pada kedalaman batin terdapat gunung berapi yang tertidur yang cepat atau lambat akan meletus dengan hebat. Sebagian pencari kebenaran batin yang lain melanjuntukan pencariannya dengan mengalami realita dari batin-materi dalam dirinya. Mereka mendapatkan bahwa mengalihkan perhatian hanyalah menghindar dari masalah. Menghindar bukanlah solusi yang baik: orang harus menghadapinya. Saat kekotoran timbul dalam batin, amati saja, hadapi. Kekotoran mental akan segera berkurang secepatnya seoran g mengamati- nya. Dengan perlahan kekotoran akan layu dan tercabut. Ini solusi yang baik, menghindari kebebasan bereaksi atau penekanan yang ekstrim. Menekan kekotoran dalam bawah-sadar tidak akan mencabutnya membiarkannya menjelma dalam bentuk tindakan fisik atau vokal hanya akan menimbulkan masalah lebih banyak. Tapi bila seorang hanya mengamati, kekotoran akan berlalu dan kenegatifan tercabut. Ia bebas dari kekotoran batin.

Ini kedengaran bagus, tapi apakah ini benar-2 praktis? Untuk rata-rata orang apakah mudah menghadapi kekotoran batin? Saat kemarahan timbul, begitu cepat ia menguasai kita sehingga tidak sempat mengenalinya. Dikuasai oleh kemarahan, kita bertindak secara jasmani atau ucapan yang merugikan kita dan orang lain. Kemudian saat amarah telah berlalu, kita mulai menyesal, minta ampun dari orang ini dan itu atau dari Tuhan: Oh saya telah membuat kesalahan, mohon ampuni saya Tapi saat berikutnya, kita berada dalam situasi yang sama, sekali lagi kita bereaksi dengan cara yang sama. Semua penyesalan sama sekali tidak menolong. Kesulitannya adalah saya tidak menyadari saat kekotoran timbul. Itu dimulai dari jauh didalam batin bawah-sadar dan saat mencapai pikiran sadar, ia telah mendapatkan kekuatan yang begitu besar yang bisa menguasai saya dan tidak dapat di amati. Jadi saya harus punya sekretaris pribadi sehingga saat kemarahan timbul, dia akan berkata 'Lihat Tuan, kemarahan timbul '.Karena saya tidak tahu kapan amarah timbul,saya harus punya tiga sekretaris untuk berjaga bergantian selama 24-jam. Umpama saya mampu, saat amarah timbul dan sekretaris mengatakan: 'Tuan lihat, kemarahan timbul ',hal pertama yang akan saya lakukan adalah menamparnya dan memakinya: 'Bodoh kamu Apakah kamu dibayar untuk mengajari aku'? Saya sudah dikuasai oleh kemarahan, tidak ada nasihat yang baik yang bisa membantu. Meskipun umpama kebijaksanaan menang dan saya tidak menamparnya, saya berkata 'Terima kasih banyak' . Sekarang saya harus duduk dan mengamati kemarahanku Apakah itu mungkin? Secepatnya mata saya pejamkan dan mengamati kemarahan, segera objek kemarahan masuk kepikiran - orang atau kejadian yang membuatku marah-. Jadi saya tidak mengamati kemarahan itu sendiri saya hanya mengamati rangsangan luar dari emosi. Ini hanya akan menggandakan kemarahan. Ini bukan solusi. Adalah sangat sulit untuk mengamati kenegatifan serta emosi yang abstrak, terpisah dari objek luar yang menyebabkannya . Tapi orang yang telah mencapai kebenaran akhir menemukan solusi yang nyata. Ia mendapatkan saat ada kekotoran timbul didalam batin, secara bersamaan dua hal terjadi pada tingkat fisik. Satu adalah nafas kehilangan irama yang normal. Kita mulai bernafas cepat saat kenegatifan masuk dalam batin. Ini mudah diamati. Pada tingkat yang lebih halus, semacam reaksi biokimia terjadi didalam tubuh - semacam sensasi. Setiap kekotoran akan membangkitkan satu dan lain sensasi pada satu bagian tubuh atau lainnya. Ini adalah solusi yang praktis. Orang awam tidak bisa mengamati kekotoran batin katakutan, kemarahan atau emosi yang abstrak. Tapi dengan latihan dan praktek yang tepat, adalah mudah mengamati pernafasan dan sensasi tubuh keduanya langsung berhubungan dengan kekotoran batin. Pernafasan dan sensasi akan membantu dalam dua hal. Pertama sebagai sekretaris pribadi. Secepatnya ada kekotoran timbul dalam batin, nafas akan berubah tidak normal. Ia akan teriak 'Lihat ada yang salah '.Saya mulai mengamati nafas dan sensasi dan saya segera mendapatkan kekotoran berlalu.

Fenomena materi-batin ini seperti mata uang dengan dua sisi. Pada satu sisi adalah apapun pikiran atau emosi yang timbul didalam batin. Sisi lainnya adalah nafas dan sensasi dalam tubuh. Setiap pikiran atau emosi, setiap kekotoran mental mewujudkan diri dalam nafas dan sensasi pada saat itu. Jadi dengan mengamati nafas atau sensasi, saya sebetulnya mengamati kekotoran batin. Sebaliknya dari menghindari masalah, saya menghadapi kenyataan sebagaimana adanya. Kemudian saya mendapatkan bahwa kekotoran kehilangan kekuatannya .Saya tidak lagi bisa dikuasai seperti dulu. Bila saya bertahan, kekotoran akhirnya lenyap dan saya tetap damai dan bahagia. Dengan cara ini, teknik mengamati diri sendiri memberi kita kenyataan dalam dia aspek yaitu dalam dan luar. Sebelumnya seorang selalu melihat dengan mata terbuka lebar, melewatkan kebenaran didalam. Saya selalu melihat keluar untuk sebab dari ketidak bahagianku saya selalu menyalahkan dan mencoba merubah realitas diluar tidak mau tahu dengan realita didalam. Saya tidak mengerti bahwa sebab dari penderitaan berada didalam, didalam reaksi buta thd sensasi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Sekarang dengan berlatih, saya bisa melihat sisi lain dari mata uang. Saya bisa menyadari nafas dan juga apa yang terjadi didalam siri saya. Apakah itu nafas atau sensasi, saya belajar hanya mengamati tanpa kehilangan keseimbangan dari batin. Saya berhenti bereaksi, berhenti memperbanyak penderitaan. Saya biarkan kekotoran mewujudkan diri dan berlalu. Semakin banyak seorang berlatih teknik ini, semakin cepat ia keluar dari kenegatifan. Secara berangsur batin keluar dari kekotoran menjadi murni. Batin yang murni selalu penuh dengan cinta - cinta yang tanpa pamrih- untuk semuanya penuh kasih untuk penderitaan orang lain penuh kegembiraan atas sukses dan kebahagiaan yang lain penuh keseimbangan dalam menghadapi segala situasi. Saat seorang mencapai tahap ini, seluruh pola kehidupannya mulai berubah. Tak mungkin lagi ia mela - kukan tindakan fisik atau vokal yang mengganggu kedamaian serta kebahagiaan orang lain. Sebaliknya batin yang seimbang tidak saja membuatnya damai, tapi juga membantu orang lain menjadi damai. Kedamaian serta keharmonisan yang terpancar dari orang tersebut akan mempengaruhi orang disekelilingnya Dengan belajar tetap seimbang dalam menghadapi semuanya yang dialami dalam tubuhnya, ia tidak terpengaruh lagi terhadap semuanya yang ia jumpai dalam situasi diluar. Bagaimanapun ini bukanlah malarikan diri atau tak peduli terhadap masalah duniawi. Seorang pemeditasi Vipassana menjadi lebih perasa terhadap penderitaan orang lain, dan berusaha sebisanya untuk meringankan penderitaan - tidak dengan kegelisahan tapi dengan batin yang penuh cinta, kasih dan seimbang. Ia belajar pengabaian suci bagaimana terlibat penuh dalam membantu orang lain dan menjaga batinnya tetap seimbang. Dengan cara ini ia tetap damai dan bahagia sewaktu bekerja untuk kedamaian dan kebahagiaan orang lain. Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha: suatu Seni Hidup. Beliau tidak pernah membentuk atau mengajarkan suatu agama atau aliran. Beliau tidak pernah

memerintahkan pengikutnya melakukan tatacara atau upacara formalitas kosong atau buta. Sebaliknya beliau hanya mengajarkan mengamati alam sebagaimana adanya dengan mengamati realita di dalam tubuh. Karena ketidaktahuan, seorang selalu bereaksi yang membahayakan dirinya dan juga orang lain. Tapi saat kebijaksanaan timbul kebijaksanaan dari mengamati realita sebagai mana adanya - ia keluar dari kebiasaan bereaksi ini. Saat seorang berhenti bereaksi secara buta, ia mampu bertindak benar tindakan yang keluar dari batin yang seimbang, batin yang melihat dan mengerti kebenaran. Tindakan demikian hanya bisa positif, kreatif, membantu dirinya dan juga orang lain.

Apa yang perlu sekarang adalah mengenal diri sendiri - demikian nasihat para bijaksana. Seorang harus mengenal diri sendiri tidak hanya pada tingkat intelek, emosi ataupun kebaktian, menerima secara buta apa yang didengar atau dibaca. Pengetahuan yang demikian tidak cukup. Seorang harus mengenal realita pada tingkat kenyataan. Seorang harus mengalami langsung realita dari fenomena materi-batin ini. Hanya ini yang akan membantu kita keluar dari penderitaan. Pengalaman langsung atas realita dalam dirinya, teknik mengamati diri sendiri inilah yang disebut 'Meditasi Vipassana'.Dalam bahasa India pada masa Sang Buddha , passana berarti melihat dengan mata terbuka, vipassana adalah mengamati sesuatu sebagai mana adanya, tidak sebagai apa yang terlihat. Kebenaran yang terlihat harus ditembus sampai seorang mencapai kebenaran akhir dari seluruh struktur materi-batin. Saat seorang mengalami kebenaran ini, ia akan berhenti bereaksi secara buta, menghentikan pembuatan kekotoran - dan secara alami, kekotoran yang lama akan berangsur tercabut. Ia keluar dari semua penderitaan dan merasakan kebahagiaan.

Ada tiga tahapan dalam Kursus Meditasi Vipassana . Pertama tidak melakukan tindakan fisik atau ucapan yang mengganggu kedamaian serta keharmonisan orang lain. Seseorang tidak bisa membebaskan kekotoran batinnya bila ia terus melakukan perbuatan yang hanya memperbanyak kekotoran. Jadi aturan moral ini adalah penting sebagai tahap awal dari latihan. Kemudian seorang berjanji tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berhubungan sex, tidak berbohong, tidak mabuk. Dengan mematuhi aturan tersebut diatas, seorang bisa menenangkan batinnya untuk melakukan tugas-tugas selanjutnya. Tahap berikutnya adalah mengembangkan penguasaan atas pikiran yang liar dengan melatih untuk tetap pada satu objek: nafas mengarahkan perhatian pd nafas selama mungkin. Ini bukanlah latihan pernafasan nafas tidak diatur, sebaliknya nafas yang alami diamati sebagaimana adanya sewaktu nafas masuk dan keluar. Dengan cara ini pikiran ditenangkan sehingga tidak dikuasai oleh kenegatifan yang kuat. Pada waktu yang sama, pikiran dipusatkan, membuatnya menjadi tajam dan menembus, berguna untuk usaha pencerahan.

Dua tahapan pertama, kehidupan yang bermoral dan penguasaan pikiran, adalah perlu dan bermanfaat. Tapi itu akan membawa pada penekanan diri, kecuali mengambil tahap ketiga - memurnikan pikiran dengan mengembangkan pencerahan kedalam diri seorang. Ini adalah vipassana: mengalami realita diri sendiri melalui pengamatan yang tenang dan sistimatis dari fenomena materi-batin yang selalu berubah yang terwujud sebagai sensasi yang timbul dalam tubuh. Ini adalah puncak dari ajaran Sang Buddha: pemurnian diri melalui pengamatan diri. Ini bisa dilakukan oleh semua orang. Setiap orang mengalami penderitaan, itu adalah penyakit universal yang memerlukan pengobatan universal. Bila seorang menderita karena kemarahan, itu bukan kemarahan milik Buddhis, Hindu atau Kristen. Kemarahan adalah kemarahan universal .Obat-nya pun harus universal Vipassana adalah obatnya. Tak akan ada yang keberatan dengan aturan yang menghormati kedamaian dan keharmonisan orang lain. Tak ada yang keberatan dengan pengembangan kontrol terhadap pikiran, mengembangkan pencerahan kedalam diri, yang membebaskan pikiran dari kenegatifan. Vipassana adalah jalan universal yang mengamati realita sebagai mana adanya melalui pengamatan kebenaran dalam tubuh - ini adalah mengenal diri sendiri pada tingkat kenyataan dengan mengalami secara langsung. Dengan berlatih seorang keluar dari penderitaan. Dari kebenaran yang kasar, diluar dan kasat mata, menembus sampai kebenaran akhir dari materi-batin, dibalik ruang dan waktu, bidang yang terkondisi dari kenisbian: kebenaran dr pembebasan total atas semua kekotoran, semua ketidak murnian, semua penderitaan. Nama apapun yang diberikan pd kebenaran ini tidak penting. Ini adalah tujuan akhir dari semua orang. Semoga kalian semua mengalami kebenaran akhir ini.Semoga semua orang keluar dari kekotorannya, penderitaannya. Semoga mereka menikmati kebahagian sejati, kedamaian sejati, keharmonisan sejati.

Realisasi Diri dan Masalah Spiritual : Tinjauan Psikologi Eksistensial dan Psikoanalisis Pasca Freudian Khadijah

Pendahuluan Problematika manusia baik menyangkut eksistensinya maupun aspek dalamnya merupakan fenomena menarik yang menjadi kajian psikologi, baik eksistensialis maupun psikoanalisis pada abad 20. Karena pada abad 20, manusia melalui hasil karyanya dengan teknologi menjadi asing bagi dunia dan dirinya.

Tema sentral pembahasan psikologi eksistensial pada Abad 20 ini adalah menyangkut otentisitas manusia, kebermaknaan hidup manusia maupun realisasi diri melalui tindakan yang bermakna. Akibat modernisme, manusia semakin kehilangan arah atas realisasi dirinya untuk lebih bermakna baik hidup maupun tindakannya. Sebagaimana kita lihat pada pemikiran Frued, Jung, maupun Adler termasuk para penerusnya dalam membahas problem situasi eksistensial manusia dalam hubungannya dengan sesama, dunia maupun Tuhan. Tema kedirian menjadi rujukan utama para psikolog abad 20 yang banyak diilhami oleh pemikiran filsafat fenomenologi-Eksistensialisme. Dalam persoalan realisasi diri ini, penulis mempergunakan pende-katan psikologi eksistensial sebagai alat analisa untuk mempertajam keberadaan manusia dalam tindakan realisasi diri dalam kehidupan, sehingga citra, gambaran tentang manusia yang sebenarnya menyangkut realisasi diri yang mengarah pada otensitasnya dapat diketemukan. Sementara itu, problem psikoanalisis yang dipelopori oleh Fured, Jung Adler maupun Eric Formm banyak mempergunakan pendekatan fenome-nologis, suatu sistem filosofis yang dikembangkan Husserl, dimana antara subyek dan obyek berjalan secara dialogis dan sama mempunyai peran yang signifikan keduanya. Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat inter-subyektif.[1] Ini karena orientasi penulis mengarah pada upaya realisasi diri dan relasinya dengan sesama maupun lingkungannya, sehingga dibutuhkan pembahasan yang imbang antara pengaruh diri terhadap lingkungannya maupun pengaruh lingkungannya terhadap diri. Problem situasi eksistensial:menjadi manusia Pada dasarnya kehidupan sosial manusia sangat ditentukan oleh pilihan dua alternatif. Kembali ke eksistensinya yang alamiah (pra-manusiawi) atau mengembangkan diri hingga mencapai eksistensinya yang manusiawi. Semua pilihan tersebut, setidak-tidaknya dalam pandangan psikoanalisis humanistik Fromm- tidak terelakkan, karena akar-akar psikis manusia seperti terlihat dalam analisis klinis, mengarah pada dua kemungkinan tersebut. Kedua pilihan itu masing-masing mempunyai implikasinya sendiri-sendiri. Kembali ke eksistensi yang pra-manusiawi (binatang), akan menyebabkan kematian mental, sementara sebaliknya berarti menyempurnakan kemanusiannya. Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dunia: Mengalami dunia sebagai realitas obyektif, yang tidak tergantung kepada siapapun dan dapat dimengerti. Menjadi binatang berarti tenggelam dalam realitas yang tidak berhubungan dengan dunia. Mereka hanya berontak. Sedangkan keterpisahan dan keterbukaan manusia mencirikan dirinya sebagai ada yang berhubungan. Secara eksistensial, realisasi diri hanya dapat dicapai melalui keterbukaan dengan pengalaman yang memberikan bukti bahwa keterbukaan dan pengalaman untuk realisasi diri akan menjadi eksis dan benar-benar otentik. Kalau kita sudah berhubungan dengan orang lain, dimana realisasi diri atau keotentikan seorang manusia akan menjadi kongkrit. Menjadi manusia berbeda dengan menjadi binatang. Menjadi manusia tidak hanya ada dalam dunia, tapi sekaligus ada bersama dunia. Dalam kodratnya yang pra-manusiawi, manusia dituntut memuaskan kebutuhan badaninya dengan sepenuh-penuhnya.

Sementara dalam kodrat manusiawi, ia harus mencari keseimbangan dan harmoni, sesuai dengan eksistensinya sebagai makhluk yang bersifat rohani-badani. Pada situasi inilah manusia dalam perspektif psikoanalisis baru pasca Freud harus menemukan eksistensi bagi dirinya. Pilihan tersebut menjadikan ketega-ngan yang bersifat eksistensial pada diri manusia.[2] Keharusan menemukan pemecahan yang tiap kali baru atas kontradiksi atau ketegangan eksistensial tersebut, dan bagaimana mendapat corak baru dalam kesatuannya dengan alam, sesama dan dirinya yang tiap kali menjadi lebih tinggi, itulah yang akan menjadi sumber pertumbuhan dan kekuatan psikis manusia, sekaligus juga menjadi sumber nafsunafsu afeksi dan cemasan. Tanpa landasan eksistensi (kesadaran, akal-budi dan imajinasi) segala kegiatan manusia tidak mungkin manusiawi. Dalam dorongan hati nurani, manusia dihadapkan pada pada kenyataan eksistensinya. Usaha kearah itu akan dilakukannya dengan berbagai cara coba-coba dan salah (trial and error), sublimasi identifikasi dan sebagainya. Letak eksistensi manusia ada dalam penerimaan, penghargaan, dan dicintai orang lain. Kesadaran akan keterpisahan, tanpa penyatuan kembali oleh cinta, akan menjadi sumber rasa malu. Dan pada saat yang sama, juga menjadi sumber rasa bersalah dan kecemasan. Dalam kerangka inilah, maka causa prima aktivitas manusia bukan terletak dalam libido, seperti disangka Sigmund Freud dalam psiko-analisisnya. Sesungguhnya, Libido bukan sumber terakhir yang mendorong hasrat manusia, tetapi pendorong terkuat dan mendasar tindakan manusia ialah kondisi eksistensinya, yaitu situasi manusia. Kalau kritik terhadap Freud ini benar, maka seluruh individu dan sosial harus dipandang sebagai totalitas yang memberikan kelahiran kembali bagi dirinya, sejalan dengan perkembangan akal-budi dan ruhnya. Sejarah manusia, baik individu maupun sosial harus dilihat sebagai rentetan proses kelahiran, yang bukan lagi bersifat fisik atau psikis, sosiologis, religius maupun spiritual. Kelahiran tersebut harus berlangsung menuju kesadaran diri yang mengandaikan identitas dan moralitas. Itu sebabnya seluruh persoalan kebudayaan manusia dari sudut pandangan psikoanalisis pasca Freud pada dasarnya sama, yaitu mengatasi problem ekstensial itu. Apalagi seluruh kebudayaan ternyata memang menyediakan bentuk-bentuk pemecahan atas masalah eksistensial manusia yang diusahakan demi mendapatkan kepuasan (psikologis).[3] Apapun perlakuan kita terhadap agama teistik ataupun non-teistik dari sudut pandang psikoanalisis baru, pada dasarnya adalah usaha memberikan pemecahan atas problema eksistensial. Sejarah agama adalah sejarah atas jawaban-jawaban itu. Perbedaan diantara agama-agama hanyalah dalam kadar jawaban yang diberikan: lebih baik atau lebih buruk. Penyimpangan dari bentuk-bentuk kebudayaan yang ada, hanyalah usaha pencarian jawaban yang lebih baik. Dan jawabannya akan lebih baik atau tidak sangat bergantung dari tingkat kebudayaannya. Dari sudut pandang ini maka seluruh kebudayaan adalah religius, dalam artian memberikan kerangka orientasi dan obyek pengabdian setiap pemeluknya.

Cinta atau Narsisisme? Jika dikatakan di atas, bahwa sejak timbulnya kesadaran, manusia mengalami keterpisahan, baik dalam hubungan dengan primernya ataupun alam, maka manusia sebenarnya terlempar dalam kesendirian. Usaha mengatasi kesendiriannya itu dilakukan dengan mencari persatuan (relatedness) baru, agar keterpisahan eksistensial, yang sangat menakutkan itu, dapat diatasi. Banyak cara dilakukan untuk itu, bergantung tingkat kebudayaan yang ada. Usaha mencari persatuan itu bisa dilakukan dalam dua kemungkinan. Pertama, penyatuan diri dengan dunia, seperti ketundukan dan penyesuaian diri pada pribadi tertentu, pada suatu kelompok atau lembaga, bahkan juga pada Tuhan. Manusia yang berusaha mencari penyatuan dengan cara ini, berusaha menjadi bagian dari orang lain, sehingga keutuhan eksistensinya lenyap. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mendominasi orang lain, sehingga sesamanya menjadi bagian dari dirinya. Kondisi inipun menyebabkan keutuhan pribadi dapat hilang. Cara penyatuan tersebut disebut simbiosis, yaitu usaha untuk melakukan hubungan antara organisme atau kelompok berbeda yang saling menguntungkan. Tapi kedua cara mengatasi problem eksistensial tersebut tidak memecahkan masalah keterpisahan manusiawi, karena keduanya merupakan usaha menghancurkan keutuhan diri yang dalam istilah Freud disebut narsisisme. Dimana realitas diluarnya, pribadi benda-benda hanya mempunyai arti dalam hubungannya sebagai yang memuaskan bagi dirinya sendiri.[4] Jika Freud mengatakan bahwa narsisisme adalah bentuk-bentuk hubungan (patologis) yang paling banyak mewarnai hubungan-hubungan pribadi, maka dari sudut pandang Psikoanalisis baru (Erich Fromm), itu adalah fenomena kepribadian yang regresi. Pribadi yang tumbuh tidak ditandai oleh narsisisme, tapi cinta. Melalui cinta manusia mengatasi problem eksistensi tersebut secara rasional. Cinta dalam konsep kata ke-kita-an atau dalam bentuk cinta persaudaraan (brotherly love), adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang paling fundamental, karena menyangkut rasa tanggung jawab, perhatian respek atau hormat pada setiap makhluk manusiawi lainnya, dalam keinginan memajukan hidupnya, yang bersumber pada afeksi murni, rasionalitas dan daya produtivitas.[5] Dalam pandangan Islam khusunya tasawuf realisasi diri hanya dapat didekati dengan cinta, sebagaimana dalam syair-syair sufi, yaitu: Karena cinta, duri menjadi mawar Karena cinta, cuka menjelma anggur segar Karena cinta, pentungan jadi mahkota penawar Karena cinta kemalangan menjelma keberuntungan

Karena cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar Karena cinta tumpukan debu tampak sebagai taman Karena cinta api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkan Karena cinta setan berubah jadi bidadari Karena cinta batu yang keras menjadi lembut bagai mentega Karena cinta duka menjadi riang gembira Karena cinta hantu berubah jadi malaikat Karena cinta singa tak menakutkan seperti tikus Karena cinta sakit jadi sehat Karena cinta amarah berubah menjadi keramah-tamahan.[6] Jadi, cinta seperti dalam puisi Jalaluddin Rumi di atas adalah kekuatan produktif. Gagal dalam cinta itu berarti narsisisme, karena berorientasi pada ketidak produktifan dan egoisme. Memang ada beberapa cara lain mendapatkan penyatuan yang tidak narsistik misalnya, penyatuan yang dicapai dalam kerja produktif tidak bersifat antar pribadi, penyatuan yang dicapai dalam paduan yang gila-gilaan dan bersifat sementara, dan penyatuan yang dicapai dengan penyesuaian. Tapi semua penyatuan itu hanya merupakan penyatuan semu. Sebab hanya merupakan jawaban yang bersifat sebagian terhadap masalah eksistensi. Sehingga jawaban sepenuhnya terletak mencapai penyatuan antar pribadi; Penyatuan melalui perpaduan dengan pribadi lain dalam cinta. Penyatuan dengan pengalaman melalui rasa malu dan cinta merupakan salah satu bentuk realisasi diri yang otentik dan kongkrit dari eksistensi diri yang ada bersama yang lain. Realisasi diri semakin nyata kepada sesama semakin nampak dengan peristiwa rasa malu dari Sartre dan cinta kasih dari Gabriel Marcel. Kedua peristiwa tersebut merupakan bukti bahwa realisasi diri sebagai wujud eksistensi manusia semakin jelas. Realisasi diri akan terasa nyata dan langsung akan kehadiran engkau melalui kesadaran cinta. Bagi Gabriel Marcel, kesadaran cinta akan membentuk suatu communion (kebersamaan) yang berlangsung dalam persahabatan yang perennis (abadi) antara aku yang berhubungan. Disinilah manusia mencapai puncak eksistensinya dalam realisasi diri secara nyata sebagai yang ada bersama yang lain.[7] Transendensi Aspek lain dari situasi manusia adalah kebutuhan mengatasi keadaan sebagai pencipta pasif (the passive creator), yaitu keinginan mengatasi sifat kebetulan menjadi pencipta. Usaha mengatasi kete-gangan itu (sebagai pasif menjadi aktif) disebut

transendensi. Setiap proses penciptaan (transendensi) juga membutuhkan perhatian, tepatnya: cinta. Jika hakekat pertumbuhan fisik, psikologis dan spiritual manusia, ialah bertumbuh keluar dari kandungan kedalam dunia, maka hakekat kemandekan yang hebat ditarik kembali oleh kandungan: dihisap kembali kedalamnya ini berarti direnggut dari kehidupan. Jenis fiksasi ini biasanya terjadi dalam hubungan dengan para ibu, yang memperhatikan dirinya dengan anak-anak mereka dalam cara menelan-menghancurkan diri. Kadang-kadang dengan kedok cinta, kadang-kadang dengan kedok kewajiban, mereka memelihara si anak, remaja, orang dewasa dalam diri mereka: ia tidak akan mampu bernafas, kecuali melalui mereka, tidak mampu mencinta kecuali pada tingkat seksual yang dangkal yang merendahkan derajat segala wanita, ia tidak mampu menjadi bebas dan tidak tergantung, selain menjadi orang pincang untuk selama-lamanya. Maka jika aku tidak bisa menciptakan hidup, aku dapat membi-nasakannya. Baik kegiatan destruktif maupun kegiatan kreatif, keduanya membutuhkan transendensi, sebagai ciri dasar eksistensi manusia. Manusia dihadapkan pada pilihan keduanya: atau akan menghancurkan diri, atau mencipta kemampuan dalam kreativitas hidup yang berarti kebahagiaan. Gagal dalam ini, manusia akan menghancurkan dirinya. Kreativitas dan penghancuran diri, cinta dan benci adalah dua insting dasar manusia yang akan menentukan keberadaan eksistensinya. Karena kelahiran manusia berarti pemisahan diri dari ikatan dengan alam sebagai pemisahan yang menggelisahkan, maka manusia memerlukan akar-akar baru, agar ia betah didunia ini. Sedikit demi sedikit meninggalkan perlindungan dirinya, hingga dewasa. Tapi kerinduannya pada yang alamiah (ibu, darah, dan tanah air), tetap tak teratasi, karena pada dasarnya manusia membutuhkan keamanan dan perlindungan. Orang yang gagal memenuhi kebutuhan ini dalam psikologi disebut Schizophrenia- adalah orang yang mengalami fiksasi atau frustasi terhadap ibu. Gejala patologis kehidupan manusia paralel dengan evolusi bangsa manusia. Ekspresi dari ikatan ini dalam Psikoanalisis Freud dikenal dengan taboo incest.[8] Larangan inilah yang merupakan syarat mutlak setiap perkem-bangan manusia. Tapi bukan pada aspek seksualitasnya seperti yang dikira Freud melainkan segi afeksinya. [9]Problem incest tidak terbatas pada ibu saja, tetapi berlanjut pada kehidupan yang lebih luas. Fiksasi ibu merupakan bentuk yang paling elementer dari semua ikatan darah, yang membuat orang betah. Jadi, segi dasar dari keinginan kontak incest ialah ikatan yang afektif dan irasional, bukan keinginan seksualnya. Freud melihat segi negatif dan dari fiksasi incest sedangkan Psikoanalisis humanistic Formm mengikuti Bachofen- melihat unsur positif maupun negatif, keterikatan manusia pada tokoh ibu. Aspek positifnya ialah kesadaran dan kepekaan terhadap penghayatan atau penerimaan kehidupan, kebebasan dan kesamaan sebagai ciri struktur masyarakat matriarkat. Sejauh manusia adalah anak alam dan ibu, semuanya sama.

Disisi lain, aspek negatifnya, adalah justru keterikatannya pada ibu, tanah darah dan alam. Ia tinggal sebagai seorang anak yang tidak mampu maju, sehingga pengembangan individualitas, akal-budi dan spiritualitasnya terbatas. Jadi mendahului fase patriarkat, manusia mendahului fase matriarkat, baik secara individual, maupun sosial. Pada masa ini ibu adalah figure sentral dalam keluarga, sosial dan agama. ketundukan pada ayah berlainan dengan fiksasi pada ibu. Ketundukan pada ibu bersifat alamiah, sedangkan ketundukan pada ayah merupakan buatan manusia, yang didasarkan pada kuasa dan hukum. Ayah mewakili abstraksi, hati nurani, kewajiban, hukum dan hirarki. Sementara hubungan dengan ibu bersifat emosional dan tak terkontrol (ayah sebaliknya: rasional dan terkontrol). Pada Freud, demi prinsip superego dan pengembangan hati nurani, ia hanya memasukkan ayah dan ibu tapi dengan membentuk hati nurani keibuan atas kemampuan sendiri akan cinta, dan hati nurani kebapakan atas akal-budi dan pendapatnya sendiri, sehingga dengan pembatinan, terjadilah kesadaran moral. Padahal proses internalisasi kesadaran moral, sangat ditentukan oleh indentitas ibu dan ayah. Kesadaran akan identitas harus dianggap sedemikian vital dan imperatif, justru karena penyatuan, keterakaran dan transendensi di atas. Karena tanpa itu, secara psikologis maupun spiritual, manusia tidak akan tumbuh. Kebutuhan menyatakan Aku timbul dalam diri manusia sejak ia menyadari dunia luar sebagai terpisah dan berbeda dari dirinya. Karena itu perkembangan manusia pada taraf manusia-sadar diri dapat berlangsung sejauh individuasi berkembang. [10] Sebab itu kebutuhan menghadapi kesadaran identitas itu berakar pada kondisi pokok eksistensi manusia. Tanpa kesadaran akan Akunya yang sejati (the real 1) orang tidak akan tumbuh. Kebutuhan inipun menjadi latar belakang nafsu dimana banyak orang bersedia mengorbankan pikirannya sendiri dan bersifat ikut-ikutan, asal memperoleh identitas sekalipun bersifat ilusi atau bukan diri yang sejati (suatu false I).[11] Disinilah fakta bahwa manusia mempunyai akal budi dan imajinasi itu mengakibatkan selain kebutuhan kesadaran identitas- manusia juga dihadapkan pada kebutuhan suatu pedoman untuk berorientasi dalam dunia, secara intelektual. Kebutuhan ini dapat dibandingkan dengan proses orientasi fisik pada anak-anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Setelah akal-budinya berkembang, maka system orientasinya semakin mendekati realitas. Walaupun demikian, seandainya frame of orientation seseorang bersifat ilutif, misalnya penuh dengan mitos-mitos, baginya (secara pribadi maupun kolektif), kerangka orientasi, akan memuaskan tidak hanya karena aspek intelektualnya saja tapi juga unsur-unsur perasaan dan penghayatan yang diungkapkan sebagai obyek pengabdian hidupnya. Penutup Apa yang dikatakan diatas adalah perkembangan baru dalam Psikoanalisis pasca Freudianisme. Psikoanalisis Freud sendiri sekarang dianggap ketinggalan zaman, karena terlalu terpaku kepada Psikologi orang sakit. Perkembangan Psikoanalisis belakangan (khususnya tradisi humanistic) berkembang sejalan dengan apa yang sebut

gerakan ketiga psikologi yang memberi perhatian pada pertumbuhan psikologis bahkan spiritual. Di sinilah Psikoanalisis baru memberikan suatu kemungkinan analitik untuk jalan agama justru karena kemungkinan motivasi neuros dalam agama dibersihkan. Jika Freud menganggap bahwa libido adalah sumber motivasi perilaku seorang individu, maka Psikoanalisis Fromm justru ditunjukkan bahwa cintalah yang memotivasi itu. Tinggal persoalannya cinta yang bagaimana ? Apakah cinta yang narsistik atau cinta produktif yang bersifat persaudaraan itu.[12] yang terakhir ini sangat dekat dengan pandangan Islam tentang pandangan spiritual. Karena itu melalui Psikoanalisis Fromm, orang akan dibawa pada pengertian-pengertian insan kamil, walaupun untuk itu tidak bisa dicapai melalui Psikoanalisis tapi lewat sufisme.[13] Tapi Psikoanalisis dapat menjadi langkah pertama sebelum memasuki sufisme. Langkah memasuki dunia yang baru oleh Rumi disebut pengalaman mistik, yang dicapai melalui pengertian diri yang sejati (soul conscious-ness) kepada kesadaran ketuhanan (God consciousness) yang disebut marifat Kesadaran akan Tuhan merupakan bentuk pengalaman mistik yang tertinggi. Ini semua karena adanya perasaan ketuhanan atau Homo religiosa dalam istilah Jung Pada akhirnya kesadaran untuk realisasi diri merupakan aktivitas Jiwa. Sehingga kesadaran atau suara hati merupakan aspek etis yang menempatkan roh sebagai bentuk yang paling tinggi dari semua itu, dan dianggap sebagai jendela jiwa yang terarah pada Allah.[14] Karena itu, dibalik kesadaran manusia terdapat sesuatu yang turut beraktivitas dalam kehidupan, sehingga membawa manusia pada yang mutlak, yaitu Roh. Keterarahan pada yang mutlak itu merupakan sesuatu yang given bagi manusia, karena Allah merupakan idea innate manusia, sebagaimana teori Plato dan Descartes tentang Tuhan. [15] Persamaan antara Psikoanalisis dan sufisme adalah: Psikoanalisis menunjukkan bahwa semua tingkah laku manusia ditentukan faktor ketidaksadaran, sementara sufisme menyatakan bahwa nafs al-amarah dalam diri manusia memiliki kontrol tirani atas pikiran dan tingkah laku manusia. Akibatnya kepekaan yang dimiliki seseorang dibawah pengaruh nafsu itu menjadi tidak murni lagi, tidak sehat dan tidak jelas dan karenanya tidak benar.[16] Maka program sufisme sebagai sebuah spiritualitas- hanyalah bukan hanya melepaskan diri dari nafs al-amarah seperti pada program psikoanalisis Freud atas fenomena ketidaksadaran, tapi lebih dari itu, bagaimana membangun kesadaran manusia hingga mencapai puncaknya yang paling tinggi, dari nafs al-lawwamah hingga nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Disini sufisme sebagai sebuah teori tradisional tentang Psikologi Islami berusaha menunjukkan pada manusia tentang hakekat dirinya yang asal (fitrah). Jika Psikoanalisis pasca Freudian bisa menjelaskan soal kebutuhan orientasi hidup yang benar sebagai jalan seni hidup, maka sufisme mampu membawa manusia pada keadaan yang lebih mendalam: Mengalami hakekat dirinya yang bersifat Ilahi. Inilah yang disebut dalam dunia sufi sebagai wahdat al-wujud: puncak dari pengalaman ketuhanan yang membawa pada kebahagiaan manusia. Merintis terus menerus secara lapang dada pencarian dan pencapaian. Kebenaran itulah yang yang disebut kalangan sufi sebagai al-hanifiyyat al-samhah. Sebuah hadist: Inna khair al-dina al-hanifiyyat al-samhah

(sesungguhnya sebaik-baik din, ketundukan adalah al-hanifiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang). Wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai