Anda di halaman 1dari 14

Bani Umayyah di Damaskus

Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa
kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu SuIyan bin Harb
adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khaliIah pertama. Ia memindahkan
ibukota kekuasaan Islam dari KuIah ke Damaskus. (MuIrodi, 1997: 69).Keberhasilan Muawiyah
dalam meraih jabatan khaliIah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat
dari kemenangan diplomasi di ShiIIin dan terbunuhnya KhaliIah Ali saja, melainkan merupakan
hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup
cemerlang.Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh
beberapa Iaktor dan peristiwa politik sebagai berikut.
Pertama, sejak masa kekhaliIahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan
karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan
Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan
wabah penyakit yang sangat ganas. Kepercayaan Umar terhadap kematangan politik Muawiyah
ini begitu nampak sejak awal pengangkatan dirinya. Pada saat itu, sebenarnya Umar mengangkat
dua orang menjadi pejabat negeri Syam; Syurahbil bin Hasanah dan Muawiyah bin Abu SuIyan.
Tetapi ketika ia sampai di daerah Jabiah, Syurahbil dipecat dari jabatannya. Ketika itu, Umar
menyampaikan khutbahnya, 'Saudara-saudara! Saya tidak memecat Syurahbil karena benci.
Tetapi saya menginginkan orang yang kuat. Menurut catatan Haekal (2001: 372), Syurahbil ini
adalah seorang jenderal yang pandai mengatur strategi dan menjebak musuh, tetapi dia bukan
seorang politikus yang tahu bagaimana mengatur rakyat sesuai dengan tujuan. Kebalikannya
Muawiyah, dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu
segala liku-liku persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan
hingga kekhaliIahan Usman bin AIIan dan awal kekhaliIahan Ali bin Abu Thalib.
Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk
meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhaliIahan Ali dan
memanIaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin AIIan untuk menjatuhkan legalitas
kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang
mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh
yang sesungguhnya. (MuIrodi, 1997: 65)
Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara
pihaknya dan pihak Ali sebagai khaliIah di kota tua ShiIIin yang berakhir dengan proses tahkim
(arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari ini, menurut
catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak dan merasa khawatir akan
kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari Amr bin al-`Ash untuk menghentikan perang
sementara dengan cara mengangkat mushaI al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh
Muawiyah. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses
tahkim.Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk Amr bin al-`Ash sebagai
wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu Thalib, atas usulan dari al-
Asy`as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis`ar bin Fadaki, diwakili oleh Abu Musa al-Asy`ari.
Sebenarnya Ali sendiri tidak menyetujui usulan dari tiga orang tersebut karena ia memandang
Abu Musa lemah dalam diplomasi. Ali lebih setuju menunjuk al-Asytar. Akan tetapi ketiga
orang ini, dengan mengajukan usulan ini ke pasukan Ali, tetap memaksakan Abu Musa dan tidak
menerima yang lain. Ali pun akhirnya berkata kepada mereka, 'Sungguh kalian menolak selain
Abu Musa?!. 'Ya, jawab mereka. Kata Ali, 'Kalau begitu, lakukanlah apa yang kalian
kehendaki!. (Al-Thabari, 5/51)Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-
masing, mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua belah
pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan ShaIar tahun 37 H ini adalah gencatan
senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada bulan Ramadhan di Dumatul
Jandal wilayah Adzruh.
Pasukan ini kemudian berpencar. Muawiyah kembali ke Syam, sedangkan Ali kembali ke
KuIah. Namun sebagian dari pasukan Ali akhirnya ada yang tidak menyetujui proses tahkim ini
walaupun sebelumnya mereka sangat bersemangat dan mendesak Ali untuk melakukan tahkim
tersebut. Mereka pun keluar dari barisan Ali dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan kaum
Khawarij. Mereka membuat basis pasukan di Harura yang dipimpin oleh Abdullah bin
Wahab.Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan Ramadhan , kedua belah pihak
bertemu lagi di Dumatul Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam
pertemuan ini, Amr bin al-`Ash dan Abu Musa al-Asy`ari berunding untuk menentukan
khaliIah. Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia menawarkan
anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah bin Umar, tetapi
Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah dan Ali dilepas jabatannya
terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan kepada musyawarah umat secara umum. Amr
bin al-`Ash menyetujuinyaSetelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini.
Lalu Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan alasan ia
lebih senior. Pada saat ini, Binu Abbas sudah merasa ada unsur tipu muslihat dari pihak Amr.
Dia pun menyarankan kepada Abu Musa agar Amr yang lebih dulu menyampaikan kesepakatan
keduanya. Tetapi Abu Musa tidak menghiraukan saran Binu Abbas.
Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, Amr bin al-`Ash tampil dan
menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, 'Sesungguhnya masalah ini, sebagaimana kalian
dengar darinya tadi, dan ia telah melepas jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan
sahabatnya sebagaimana ia melakukannya. Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku,
Muawiyah, karena dia termasuk walinya Usman bin AIIan dan yang menuntut hukuman bagi
pembunuh Usman, serta ia termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini.
Mendengar pidato ini, Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin
Hani, dari pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk Amr bin al-`Ash. Putra Amr
membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun berpencar
dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.
Menurut catatan Ibnu Katsir (1988:7/314), pada saat kejadian ini Amr memandang
bahwa meninggalkan manusia tanpa imam, sedangkan kondisi umat seperti ini (chaos) akan
membawa pada maIsadat yang berkepanjangan dan memperuncing perselisihan di antara
mereka. Maka ia pun menetapkan Muawiyah demi kemaslahatan umat. Tetapi ini adalah ijtihad,
sementara ijtihad itu bisa jadi benar atau bisa juga salah.allahu alam.
Keempat, seusai proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan
melemah. Kelompok Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali.
Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara kekuatan
Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat Syam dan keluarga
Bani Umayah.Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk membujuk
mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus menyimpan kekesalannya.
Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga orang yang langsung terlibat dalam
proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan Amr bin al-`Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya
berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan Amr bin al-`Ash selamat. Pada tanggal 17
Ramadhan 40 H (660 M), Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu
Muljam dan meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga KuIah membaiat al-Hasan untuk menggantikan posisi ayahnya. Al-
Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama kemudian, dengan kegamangan hati
mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan
mengajukan posisinya kepada Muawiyah melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin
Abu SuIyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut
dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama`ah (am al-jama`ah). (Yatim, 1993: 40)
Kelima, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan
mencapai tingkat 'hilm. SiIat hilm, menurut Eaton (2005: 252), adalah siIat kasih sayang
terhadap musuh dan kesiapan untuk menerima perbedaan. Seorang manusia hilm seperti
Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang
menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi. (MuIrodi, 1997: 71)Selain itu, sebagai
seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada
jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin al-`Ash,
Mughirah bin Syu`bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu ini dengan Muawiyah merupakan
empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. (Watt, 1990: 19)Amr bin
al-`Ash dikenang sebagai penakluk Mesir pada masa Umar bin al-Khattab dan menjabat
gubernur pertama di wilayah itu. Sejak waIatnya KhaliIah Usman, Amr mendukung Muawiyah
dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim karena kecerdikannya dalam
diplomasi. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi kekhaliIahan Muawiyah. Sedangkan
Mughirah adalah seorang politikus independent. Karena keterampilan politiknya yang besar,
Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di KuIah yang meliputi wilayah Persia bagian
utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan
Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesannya menciptakan situasi yang aman
dan mampu meredam gejolak penduduk KuIah yang sebagian besar pendukung Ali. Adapun
Ziyad bin Abihi merupakan pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah untuk
memangku kursi gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan. Sikap politiknya
yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah langgeng di wilayah propinsi
paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan dukar diatur. (MuIrodi, 1997: 71).

2. Sistem Pemerintahan

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini,
sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersiIat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis
(kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. (Binu
Taimiyah, 1951: 42)Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap
Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah
coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas
musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah
model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara
memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan
Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin
pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi
hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. (Suhaidi, deemuhammad)
Tradisi bentuk khilaIah konIederasi yang dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal
periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya,
Rasulullah menerapkan bentuk konIederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan
konIederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khaliIah ketika itu,
Muawiyah bin Abu SoIyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi.
Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program Iutuhat (ekspansi).
Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir
tersebut bertanggung jawab langsung kepada khaliIah. Konsekuensinya, para amir berIungsi
sebagai khaliIah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah
kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan,
baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa
Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik
dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib
al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khaliIah.
dari bangsa barbar. (Manshur, Humaniora Dari segi cara hidup, para khaliIah Dinasti
Umayah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad Saw dan al-KhulaIa al-
Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi
oleh para pengawal. Baitul Mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya diIungsikan
sebagai dana swadaya masyarakat yang diIungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa
Umayah telah berubah Iungsi, kecuali ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara
adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa
mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak negara dialihkan menjadi
harta pribadi para khaliIah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan
pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, Iai`, impor
tambahan hasil bumi, hadiah Iestival, dan upeti anak: VI)


3. Para Khalifah dan Pertumbuhan Kekuasaan


Dinasti Umayah sebenarnya terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Bani Umayah I
dari tahun 41 132 H dan periode Bani Umayah II yang dimulai pada tahun 138 H. Bani
Umayah I dimulai oleh Muawiyah bin Abu SuIyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad.
Sedangkan Bani Umayah II di Andalusia dimulai oleh Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam
bin Abdul Malik bin Marwan yang dikenal dengan gelar ad-Dakhil dan diakhiri oleh Hisyam bin
Muhammad bin Abdul Malik yang dikenal dengan gelar al-Mu`tamad.Di antara mereka ada
pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak
zamannya, sebaliknya ada pula yang tidak patut dan lemah.
Adapun urutan-urutan khaliIah Umayah I (Damaskus) adalah sebagai berikut.
1. Muawiyah I bin Abi SuIyan (41-60H/661-680M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3. Muawiyah II bin Yazid (64H/683-683M)
4. Marwan bin Hakam (64H/684M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9. Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12. Yazid III bin Walid (126-127H/744-744M)
13. Ibrahim bin al-Walid(127-127H/745M)
14. Marwan II bin Muhammad (127-132H/745-750M)


Peralihan kekuasaan awal dari Muawiyah kepada putranya Yazid bin Muawiyah
mengundang masalah dari beberapa pihak. Mengenai awal mula pengangkatan Yazid ada dua
riwayat yang menerangkannya. Pertama, riwayat Hasan al-Bashri menyatakan, saat Mughirah
bin Syu`bah menjadi gubernur di KuIah, Muawiyah menulis surat kepadanya: 'Jika kamu selesai
membaca surat ini, menghadaplah kepada saya, kamu akan saya pecat. Al-Mughirah tidak
segera menghadap Muawiyah. Maka tatkala ia menghadap, Muawiyah berkata, 'Apa yang
menyebabkanmu datang terlambat? Al-Mughirah berkata, 'Saya membereskan satu perkara
yang telah saya persiapkan sejak lalu. Muawiyah berkata, 'Perkara apakah yang kamu
maksud? Al-Mughirah menyambung, 'Saya membereskan baiat orang-orang KuIah untuk
Yazid. 'Apakah telah kamu lakukan itu? tanya Muawiyah. 'Ya! kata al-Mughirah. Muawiyah
berkata, 'Jika itu penyebabnya, maka kembalilah, saya kembalikan kamu kepada
kedudukanmu. Kedua, riwayat Binu Sirin menegaskan bahwa ketika Amr bin Hazm datang
menemui Muawiyah, dia berkata, 'Saya ingatkan kepadamu tentang umat Muhammad, siapa
yang akan kau jadikan sebagai penggantimu sebagai khaliIah? Muawiyah berkata, 'Kau telah
menasihatiku dan kau telah mengatakan pendapatmu. Sesungguhnya tidak ada lagi kecuali
anakku dan anak-anak mereka. Namun anakku jauh lebih berhak untuk memangku khilaIah.
(Al-Suyuthi, 2001: 243-244)
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan
setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk
memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa
tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut
Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani
Umayah dimulai oleh Husein bin Ali yang berakhir dengan syahidnya Husein di Karbala.Setelah
Yazid waIat, pemerintahan digantikan oleh Muawiyah II bin Yazid. Namun, Muawiyah II tidak
sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan
tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa
menghadapi pergolakan politik yang terjadi. Suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah
kekhaliIahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya ketika gerakan yang dipimpin
oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas.Kejayaan Bani Umayah semakin menonjol setelah
dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik, yaitu tahun 705-715 M. Pada masanya, Bani Umayah
mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, AIrika Utara, hingga Maroko,
dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:


a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil meliputi Ibukota Konstantinopel serta
perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
b. Wilayah AIrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat Jabal Thariq (Selat
Gibraltar).
c. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria).


Pada masa pemerintahan KhaliIah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) hubungan
pemerintah dengan golongan oposisi mulai membaik. Ketika dinobatkan sebagai khaliIah, beliau
menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam
lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah
pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil
menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut
agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak lebih ringan
dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz,
kekuasaan Bani Umayah berada di bawah khaliIah Yazid bin Abdul Malik (720- 724 M).
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan
kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada
zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis,
masyarakat menyatakan konIrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan
terus berlanjut hingga masa pemerintahan khaliIah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik (724-
743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat
bagi pemerintahan Bani Umayah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam
perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayah dan
menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam bin Abdul Malik adalah
seorang khaliIah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat
khaliIah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khaliIah-khaliIah Bani Umayah yang tampil
bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.
Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan
Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khaliIah terakhir Bani Umayah, melarikan
diri ke Mesir. Ia ditangkap dan dibunuh di sana.
4. Kemunduran Bani Umayah


Ada beberapa Iaktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayah menjadi lemah, yaitu sebagai
berikut.
1. Sistem pergantian khaliIah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab
yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pergantian khaliIah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota
keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayah tidak bisa dipisahkan dari konIlik-konIlik
politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi`ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi
gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi
seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays)
dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayah mendapat kesulitan untuk
menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan mawali (non
Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status
mawali itu menggambarkan suatu inIerioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang
diperlihatkan pada masa Bani Umayah.
4. Lemahnya pemerintahan Bani Umayah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khaliIah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa
karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Bani Umayah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abdul Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan
penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas-duakan
oleh pemerintahan Bani Umayah.
6. Kaum Mawali yang tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan turut menggerogoti
kepemimpinan Bani Umayah.
7. Sikap antipati ulama terhadap kehidupan mewah keluarga kerajaan.



B.Perkembangan Peradaban Masa Bani Umayah


Pada masa pemerintahan Muawiyah, konsolidasi internal mulai dilakukan. Tujuannya
adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri,
antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk memperlancar program Iutuhat. Ada lima
diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund
(Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid
(Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan
Dokumentasi). (El-HermawanDari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa Arab
telah mencapai perkembangan yang cukup signiIikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada
di bawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham.
Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayah didata dalam sebuah organisasi yang
cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp untuk barisan depan, satu corp untuk barisan
tengah, dan dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung
hingga akhir pemerintahan Marwan bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan
mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para tentara dilengkapi dengan senjata
canggih pada masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.
Dari berbagai periode pemerintahan Dinasti Umayah, penaklukan merupakan program
utama pemerintah yang sudah mentradisi, kecuali pada periode Umar bin Abdul Aziz. Ekspansi
yang terhenti pada masa khaliIah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini.
Penaklukan tersebut erat kaitannya dengan kondisi angkatan darat dan laut yang tangguh dan
sistem administrasi yang mapan, rapi, dan komplit.
Konsekuensinya, segala kebijakan pemerintah menentukan berhasil tidaknya penaklukan.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, AIrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
AIganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia
Tengah.Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayah juga banyak berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang. Semasa Bani Umayah berkuasa, banyak institusi politik
dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara,
jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik. Dalam tatanan ekonomi dan
keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis
perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah
mampu menciptakan senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi
darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan. (Thohir, tt: 37)Muawiyah mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan
mencetak mata uang. Lambang negara yang sebelumnya tidak pernah dibuat oleh Al-KhulaIaur
Rasyidin, mulai dibuat pada masa ini. Ia menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya,
yang menjadi ciri khas kerajaan Umayah.
KhaliIah Adul Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-
daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Ia juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam.Keberhasilan KhaliIah Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin
Abdul Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat
dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-
jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedunggedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.Selain melakukan perbaikan di
berbagai bidang seperti yang telah disebutkan di atas, dinasti Umayah juga
melakukanperubahandalam beberapa bidang sebagai berikut
a. Bidang Sosial
Pada masa dinasti ini, stratiIikasi sosial mulai dikenal. Rakyat imperium Arab terbagi
kedalam empat golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang terdiri atas kaum
muslimin yang memegang kekuasaan dan dikepali oleh anggota istana serta kaum ningrat dari
penakluk arab. Golongan kedua merupakan golongan neomuslim, baik dengan atas kemauan
sendiri maupun paksaan. Golongan ketiga merupakan kaum non muslim yang mengikat
perjanjian dengan kaum muslim. Golongan keempat merupakan golongan budak yang
merupakan golongan terendah.Meskipun sistem pemerintahan tidak berjalan demokratis, namun
kondisi sosial pada masa dinasti Umayah tetap damai dan adil. Kebebasan memeluk agama pun
dijamin. Di antara usaha positiI yang dilakukan oleh para khilaIah daulah Bani Umayah dalam
mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan menata
administrasi yang bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:

1. Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha negara.
2. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
3. Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
4. Perlengkapan perang. (Fauzi, imronIauzi.wordpress.com)
Di samping usaha tersebut daulah Bani Umayah memberikan hak dan perlindungan
kepada warga negara yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan. Oleh
karena itu, daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh
seorang ketua hakim (Qadli). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya.
Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur`an dan sunnah Nabi. selain itu, kehakiman ini
belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh
berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik.



b. Bidang Pendidikan


Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayah ini hampir sama
dengan pendidikan pada masa KhulaIa ar Rasyiddin. Para KhulaIa agaknya kurang
memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun
demikian, dalam bidang ini, dinasti Umayah memberikan andil yang cukup signiIikan bagi
perkembangan budaya Arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu
agama Islam, sastra, dan IilsaIat.Bila dibandingkan dengan masa KhulaIa Ar-Rasyidin, pola
pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai
dengan semaraknya kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan
tersebut. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam, di mana kurikulumnya
telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak sama
sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang tertentu.Tempat-tempat
yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah ada tiga
yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis
dan membaca, menghaIal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. (Yunus, 1981: 39)
Setelah pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang
dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayah ini, pendidikan yang dilaksanakan di mesjid terdiri
dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru
belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang ilmunya
mendalam dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sedangkan majelis sastra merupakan balai
pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai
urusan politik yang disiapkan oleh khaliIah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya
diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
c. Bidang Seni
Pada masa Daulah Bani Umayah ini bidang seni juga mengalami perkembangan,
terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (arsitektur). Dalam bidang
arsitektur, peran khaliIah sangat menonjol. Merka sangat menyokong perkembangan seni ini
seperti menara yang diperkenalkan oleh Muawiyah. Kubah as-Sakhra di Yerussalem yang
dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek
muslim zaman permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali
ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid bin Abdul Malik membangun masjid agung
di Syiria berdasarkan nama-nama penguasa Dinasti Umayah. Dengan demikian, perkembangan
arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.

d. Ilmu Pengetahuan
Pada masa dinasti ini, tepatnya pada paruh terakhir dinasti Umayyah, cabang-cabang
ilmu baru yang sebelumnya belum pernah diajarkan dalam dunia Islam mulai diajarkan seperti
tata bahasa, sejarah, geograIi dan lain-lain. Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi
menjadi dua macam, yaitu :
1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur`an,
Hadis, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-JughraIi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang
diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, IilsaIat, ilmu pasti, dan ilmu
eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
2. Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di
zaman khaliIah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. (Suhaidi,
http://deemuhammad.blogspot.com )Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti
Umayyah ini dimulainya penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab,
seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Ia merupakan seorang orator dan
penyair yang berpikiran tajam. Ia pula orang yang pertama kali menerjemahkan ilmu
pengetahuan Yunani ke dalam Bahasa Arab, seperti astronomi, kedokteran dan kimia. Bahkan ia
memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang kimia dan kedokteran serta mengarang beberapa
buku dalam bidang tersebut. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada
awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia. Di bawah pemerintahannya karya Yunani
banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Pada masa ini pula ilmu taIsir dan taIsir al-qur`an mulai berkembang dengan pesat. Ilmu
taIsir memiliki letak yang strategis, di samping karena Iaktor luasnya kawasan Islam ke beberapa
daerah luar Arab yang membawa konsekuensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena
banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al-Quran dan makna
Al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al-Quran juga
disebabkan oleh Iaktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Karena
tuntutan untuk mempelajari dan menaIsirkan al-Qur`an itulah, dua jenis ilmu pengetahuan yakni
Iilologi dan leksikograIi mendapatkan perhatian oleh banyak orang. (Manshur, Humaniora: VI)
Selain ilmu taIsir, ilmu hadis juga mendapatkan perhatian serius. KhaliIah Umar bin Abdul Aziz
yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar bin
Amir dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis-hadis, namun
hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan
Umar bin Abdul Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatiI, yakni para ulama mencari
hadis ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal
dengan metode Rihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadis sudah mulai dikarang
oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadis yang terkenal pada masa itu antara lain adalah
Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi
Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auza`i Abdurrahman bin
Amr, Hasan Basri as-Sya`bi.
Di bidang Iiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli
al-Ra`y dan aliran ahli hadis, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan
menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil,
bahkan aliran ini tidak akan memberikan Iatwa jika tidak ada ayat Al-Quran dan hadis yang
menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu Iiqh menunjukkan perkembangan yang sangat
berarti. Melalui periode ini lahirlah sejumlah mujtahid Iiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayah
telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu HaniIah di Irak dan Imam Malik bin Anas di
Madinah, sedangkan Imam SyaIi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah.
(Chalil, 1989: 23)

DartaI Pustaka
Al-Thabari, Abu Ja`Iar Muhammad ibn Jarir. %arikh al-%habari. %arikh al-Rusul wa al-Muluk.
Dar al-Ma`ariI.
Al-Suyuthi. 2001. %arikh Khulafa. Sefarah Para Penguasa Islam (%erfemah dari %arikh al-
Khulafa). Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Chalil, Munawar. 1989. mpat Biografi Imam Ma:hab. Jakarta: Bulan Bintang.
Eaton, Charles Le Gai. 2005. Menghampiri Islam. Mata Baru Menumbuhkan Iman Autentik-
Progresif (%erfemah dari Islam and %he Destiny of Man). Jakarta: Serambi Ilmu.
El-Hermawan, Hermain. Dinasti Umayyah. Perkembangan Politik. Forum Kajian Islam
Strategis Sumatra Utara
Fauzi, Imron. Sistem Sosial Budaya dan Model Pemerintahan Pada Masa Bani Umayyah.
imronIauzi.wordpress.com
Haekal, Muhammad Husein. Umar bin al-Khattab. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Ibnu Katsir, Abu al-Fida Ismail ibn Umar. 1988. Al-Bidayah wa al-Nihayah. Dar Ihya al-Turats
al-Araby.
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin. 1951. As-Syiyasah As-Syariyah fi Islah Ar-Raiyah. Mesir: Darul
Kitab al-Gharbi.
Manshur, Fadlil Munawwar. Pertumbuhan Dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa
Dinasti Umayyah, dalam Majalah Humaniora, Volume VI
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Suhaidi RB, Mohammad. Dinasti Bani Umayyah . Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi,
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kefatuhan Dinasti, http://deemuhammad.blogspot.com
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Melacak Akar-akar Sosial,
Politik dan Budaya Umat Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Watt, W. Montgomery. 1990. Kefayaan Islam. Kafian Kritis dari %okoh Orientalis (%erfemah
dari %he Mafesty that was Islam). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yatim, Badri. 1993. Sefarah Peradaban Islam. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.
Yunus, Mahmud. 1981. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hida Karya Agung.

Anda mungkin juga menyukai