Anda di halaman 1dari 3

MELIHAT REGULASI DARI SEMUA SISI

21 November 2011

Oleh M. Fuad Nasar (Wakil Sekretaris BAZNAS) Pengelolaan zakat sebagai kewajiban finansial dari harta kekayaan menurut ketentuan Islam memiliki dua elemen penting. Pertama, hukum syariat, sebagai norma dasar. Kedua, hukum positif, yang berlaku di dalam kehidupan bernegara. Di negara yang menganut paham sekuler, warga Muslim tentu bisa menunaikan zakat sebagai ibadah sesuai keyakinan agamanya. Namun perlu diketahui di negara-negara sekuler karena pemerintahnya tidak mengurus kehidupan beragama atau negara yang tidak mengatur masalah zakat dalam hukum positif, maka fungsionalisasi zakat lebih berkembang dalam ranah filantropi semata. A.M.Saefuddin dalam Studi Nilai-Nilai Ekonomi Islam (Media Dawah, 1984) menyatakan pelaksanaan zakat dan pelarangan riba memerlukan aspek legal dari negara. Peran pemerintah diperlukan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi nilai-nilai sistem ekonomi Islam (dimana termasuk zakat salah satunya) dalam aspek legal, perencanaan maupun pengawasannya. Menyangkut peran negara dan masyarakat dalam pengelolaan zakat sebagai sebuah fenomena historis, kadang timbul perbedaan dalam cara pandang, tapi jangan terus menerus kita melihat perbedaan. Semua masalah insya Allah dapat dikembalikan melalui Kitabullah dan Sunnah Rasul. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, keberadaan hukum positif dan sistem perundang-undangan yang mengatur tata kelola zakat memiliki dasar pijakan yang kokoh, baik secara ideologis, konstitusional, filosofis, yuridis, maupun sosio politik. Dengan undang-undang pengelolaan zakat memberikan suatu bukti bahwa negara kita bukan negara sekuler. Undang-undang pengelolaan zakat bukan untuk kepentingan organisasi pengelola zakat saja, tetapi untuk semua warga negara Indonesia yang beragama Islam, baik selaku pembayar zakat (muzakki) maupun penerima zakat (mustahik). Regulasi pengelolaan zakat bertujuan untuk menciptakan kesatuan

sistem (unified system) dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan pertanggung-jawaban atas pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Zakat merupakan ibadah dan rukun Islam yang sudah terpola semenjak zaman nabi. Pencantuman asas syariat Islam dalam undang-undang pengelolaan zakat dan penegasan syarat organisasi pengelola zakat bersifat nirlaba

merupakan kemajuan luar biasa dalam sistem hukum dan perundang-undangan di negara kita. Dengan demikian, pembayaran zakat dan peruntukan zakat akan lebih terjamin sesuai dengan sasaran dan tujuannya karena amil harus taat asas. Syariat adalah sumber norma pokok dalam agama. Syariat Islam adalah hukum yang langsung dari Al Quran dan Sunnah, bukan dilandaskan kepada fikih. Penguatan BAZNAS di satu sisi dalam undang-undang tidak seyogyanya dihadapkan dengan peran masyarakat dalam pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah, di sisi lain. Sebab, peran masyarakat tidak dihilangkan sama sekali, baik dalam keorganisasian BAZNAS maupun peran di luar BAZNAS. Dalam kaitan itu, tidak perlu dikhawatirkan kerancuan antara peran regulator, pengawas, dan operator dalam pengelolaan zakat. Regulator, pengawas dan operator tidak berada di satu tangan. BAZNAS adalah operator dan koordinator, sedangkan regulator dan pengawas adalah lembaga pemerintah. Penguatan kelembagaan BAZNAS akan menciptakan keteraturan,

sinergitas dan harmoni dengan aktivitas pengumpulan zakat yang sudah berjalan di masjid-masjid dan di tempat lainnya dengan memberi wadah UPZ supaya terkoordinir dengan baik. Sebab itu, undang-undang yang baru tidak menggunakan kata pengorganisasian seperti pada undang-undang yang lama, melainkan pengoordinasian dalam ketentuan umum pengelolaan zakat. Mengenai sanksi, tidak ada sanksi yang ditujukan terhadap orang yang berzakat langsung kepada mustahik di lingkungannya atau orang yang menerima zakat dari muzakki tanpa melalui amil. Ancaman sanksi hanya untuk orang yang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa memiliki legalitas resmi. Dalam kerangka otonomi daerah, walaupun agama termasuk urusan pemerintahan yang tidak diotonomikan, namun dalam undang-undang pengelolaan zakat, Pemerintah Daerah memiliki peran yang strategis seperti yang berjalan selama ini. Berikut empat klausul yang mengikat secara permanen hubungan BAZNAS dengan Pemerintah Daerah, ialah: (a) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri Agama atas usul Gubernur atau Bupati/Walikota. (b) BAZNAS kabupaten/kota dan BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pengelolaan zakat, infaq, shadaqah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS setingkat di atasnya dan kepada Pemerintah Daerah secara berkala. (c) Dalam melaksanakan tugasnya BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). (d) Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota. Dalam tinjauan konsep dan norma yuridis, undang-undang pengelolaan zakat tidak menghambat masyarakat untuk berbuat baik melalui pemberdayaan infaq, shadaqah, dan sebagainya. Khusus mengenai zakat, bahwa menunaikan zakat bukan hanya urusan manusia dengan Tuhan. Tetapi ada bagian-bagian yang memang harus dilembagakan. Pemerintah dan lembaga legislatif (dalam hal ini DPR-RI) telah mengambil langkah yang bijak ketika memutuskan nama undang-

undang, yaitu Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, dan bukan UndangUndang tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah. Regulasi atau undang-undang bukanlah tujuan, melainkan alat yang kita gunakan bersama untuk mencapai tujuan pengelolaan zakat. Prof. Dr. Nasaruddin Umar minggu lalu tepat sekali mengatakan bahwa regulator sejati dalam hukum zakat ialah Allah SWT. Wallahu alam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai