Anda di halaman 1dari 38

6.

CARCINOMA HEPATITIS
A. OBAT Obat menurut benet merupakan agen kimia yang berefek pada proses kehidupan. Ada obat yang disebut obat esensial, yang artinya merupakan obat yang dibutuhkan oleh sebagian besar populasi yang harus tersedia dengan dosis yang tepat dan ada dalam setiap waktu. Ada juga yang disebut obat generic, yaitu obat yang tidak memakai merek dagang, biasanya menggambarkan struktur kimianya. Dan yang terakhir adalah obat paten (bermerek) yang mana obat tersebut telah diproduksi dengan menggunakan merek (brand). Penggolongan Obat Berikut ini merupakan penggolongan obat berdasarkan tingkat keamanannya, yang nantinya akan menentukan mudah sukarnya obat tersebut didapatkan di pasaran. Makin kurang aman atau berbahaya suatu obat, makin ketat obat tersebut diawasi.

Obat

Ethical

Non-ethical

Obat narkotika

Obat Keras

Obat Bebas

Obat Bebas Terbatas

1. Golongan Obat Narkotika o Golongan obat ini masuk ke dalam daftar obat O (= Opium). o Disimbolkan dengan suatu lingkaran dan palang yang berwarna merah dengan latar putih.

Nita Andriani_10100110128

o Peredaran obat ini sangat ketat dan diawasi oleh badan pengawas obat. o Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini memiliki akibat buruk bagi si pemakai dan juga masyarakat sekitarnya. Dapat mengakibatkan kecanduan, ketergantungan pada obat tersebut dan merusak kepribadian si pemakai, sehingga masalah ini bukan hanya masalah medis semata, melainkan masalah social pula. o Untuk mendapatkan obat ini diperlukan resep dokter, dan hanya didapatkan di apotek saja. o Contoh obat-obatan jenis ini adalah morfin, kokain, dan petidin. 2. Golongan Obat Keras o Golongan ini masuk ke dalam daftar G (= Gevaarlijk = berbahaya) o Disimbolkan dengan garis lingkaran hitam dengan latar isi merah dan huruf K berwarna putih di dalamnya.

o Obat ini sangat berbahaya, mempunyai efek samping yang sangat besar. o Untuk mendapatkannya memerlukan resep dokter dan hanya terdapat di apotek. o Contoh obat keras yaitu antibiotic. o Obat keras tertentu (OKT) merupakan obat keras yang diperjualbelikan dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan; contoh : diazepam. o Obat keras wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang hanya tersedia di apotek; contoh : kontrasepsi oral 3. Obat Bebas

Nita Andriani_10100110128

o Obat golongan ini disombolkan dengan lingkaran hitam berlatar biru.

o Obat-obat dalam golongan ini dapat diperjualbelikan secara bebas dan tidak memerlukan resep dokter untuk mendapatkannya. o Contohnya : vitamin B complex, vitamin B1, vitamin A, vitamin C, multivitamin, dsb. 4. Golongan Obat Bebas Terbatas o Obat golongan ini masuk ke dalam daftar W = Waarschuing = peringatan) o Disimbolkan dengan lingkaran hitam berlatar biru.

o Obat-obat golongan ini dapat diperjual belikan secara bebas dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan disertai dengan tanda peringatan. o Tanda peringatan untuk obat golongan ini ada 6 buah, yaitu : 1) Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya. 2) Awas! Obat keras. Hanya untuk kumir, jangan ditelan. 3) Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan. 4) Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. 5) Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. 6) Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.

B. ROUTE OF DRUG ADMINISTRATION Rute Bioavailabilitas Kelebihan Kekurangan

Nita Andriani_10100110128

Enteral : Oral

Penyerapan macam, umum

Paling

aman, Beberapa dapat mendapat penyerapan dan di hati GI

obat tidak tract, oleh karena

dapat bermacam- mudah, secara menggunakan terjadi produk

immediate- menentu, tidak stabil dimetabolisme

lebih lambat jika release dibandingkan atau IM. Buccal (sublingual )

IV modified-release.

penyerapan sistemik. Pencernaan cepat Tidak ada eefk first- Beberapa obat dapat dari obat lipid- pass ditelan, tidak dapat digunakan untuk obat dalam jumlah banyak atau obat dengan tidak dosis tinggi. ketika Penyerapan soluble

Rectal

Penyerapan bervariasi suppository. berupa (larutan)

Digunakan menelan

dari pasien tidak dapat menentu, suppository makanan, dapat berpindah ke untuk posisi berbeda, dan pasien tidak nyaman

Lebih diandalkan digunakan enema efek sistemik local

Parentera l : Intravena Absorpsi sistemik Efek cepat 100% Meningkatkan kesempatan yang memungkinkan Intravena infusion Absorpsi sempurna (100%). dikontrol
Nita Andriani_10100110128

reaksi

merugikan,

sitemik Level Laju dapat oleh yang

obat

anaphylaxis plasma Membutuhkan

skill

lebih tepat dikontrol, dalam

memasukkan

disuntikkan infuse, dapat terjadi besar, dapat

penyerapan obat dalam volume fluid kerusakan jaringan.

pompa infus. Intramuscu Cepat lar lambat

digunakan

obat mudah Iritasi dapat terasa

rendah lipid untuk Lebih untuk injeksi digunakan

larutan aqueous, menyuntik daripada sakit, perbedaan laju intravena, penyerapan pada aliran untuk kelompok otot yang diinjeksi dan nonaqueous (oil) volume besar dapat bergantung membandingkan

Subcutan

Cepat lambat

larutan subkutan darah dalam Secara umum Laju penyerapan obat untuk bergantung aliran darah volume injeksi dari dan suntik insulin formulasi Sistem laju penghantaran digunakan, digunakan Iritasi dapat terjadi, permeabilitas kulit

larutan aqueous, digunakan penyerapannya untuk Transder mal respirasi Penyerapan lambat, bervariasi. Absorpsi ditingkatkan dressing Penyerapan yang bervariasi

transdermal mudah bervariasi tergantung pada kondisi, tempat untuk anatomi, umur, dan

dengan occlusive obat Inhalasi

lipid-soluble jenis kelamin partikel anatomi reflex

dengan dosis rendah Dapat digunakan Ukuran perletakan menstimulasi dapat tertelan

cepat, dosis total untuk efek local dan mempengaruhi diserap sistemik di respiratory tract, batuk, beberapa obat

Tempat RODA

Nita Andriani_10100110128

Rute Oral Per oral Sublingual Parenteral : a. Intravena b. Intraarterial c. Intracardiac d. Intraspinal / intrathecal e. Intraosseus f. Intraarticular g. Intrasynovial h. Intracutaneous i. Subcutaneous j. intramuscular Epicutaneous Transdermal Conjunctival Intraoccular Intranasal Aural intrarespiratory

Tempat Mulut GI Tract via mulut Dibawah lidah Tempat lain selain GI Tract Vena Arteri Jantung Spine Tulang Sendi Synovial fluid cavity Kulit Dibawah kulit Otot Permukaan kulit Permukaan kulit Konjungtiva Bola mata Hidung Telinga Paru-paru

Contoh penggunaan RODA Oral Sublingual Parenteral Epicutaneous/transde rmal Rectal Conjunctival : Padat dan liquid : Tablet, trochition, lozenges : Solution, suspension Ointment, cream, pasta, bubuk, aerosol, lotion, : transdermal, disc, dan solution attachment : Solution, ointment, suppositoria : Ointment

Nita Andriani_10100110128

Intraocular/intraaural Intranasal Intrarespiratory Vaginal Urethral

: Solution, ointment : Solution, spray, inharant, oinment : Aerosol Solution, ointment, emulsified, foam, tablet, insert, : suppositoria, sponge : Solution, suppositoria

C. Farmakokinetik Farmskokinetik dalah aspek farmakologiyang mencakup nasib obat dalm tubuh yaitu dengan adsorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi. I. Absorption of Drug Transfer obat dari site administration sampai menuju blood stream (pembuluh darah). Ada juga beberapa hal yang mempengaruhinya, yaitu : 1. Transport obat Transport obat ini tergantung pada properties atau sifat kimia dari obat tersebut. Transport obat sendiri terdiri dari : a. Difusi pasif :

Nita Andriani_10100110128

Yang mengendalikan transport obat dengan difusi pasif ini adalah dengan adanya gradient konsentrasi. Jadi, obat ini akan bergerak dari konsentrasi yang tingi menuju ke konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh, obat yang bersifat water soluble akan berpenetrasi dengan membrane sel melalui aqueous channel (pori pori). b. Transport aktif : Obat akan membutuhkan specific carrier protein untuk dapat melewati membrane sel. Jadi, transport ini membutuhkan energy dan yang paling utama itu adalah ATP. Tetapi ada juga enzim yang dapat juga berperan sebagai carrier. c. Difusi terfasililitasi : Transport yang terjadi dengan bantuan suatu factor pembawa (carrier mediated), tetapi tidak membutuhkan energy. d. Endositosis : Transport ini terjadi dengan terbentuknya vesikel vesikel untuk membantu agar obat dapat melewati membrane sel. 2. Faktor faktor yang mempengaruhi drug absorption a. Blood flow Apabila aliran darah pada pembuluh darah mengalir dengan baik, maka absorps yang terjadi pun akan baik. b. Luas permukaan Semakin luas permukaan area absorpsi tersebut maka absorpsi obatpun akan lebih efisien. c. Contact time Dimana menyatakan lamanya obat berkontak atau berinteraksi dengan tempat absorpsi.

3. Efek pH terhadap drug absorption

Nita Andriani_10100110128

pH dari suatu obat mempengaruhi drug absorption. pH obat tergantung dari sifat obatnya sendiri. Obat itu ada yang bersifat asam lemah dan juga ada yang bersifat basa lemah, maka strukturnya itu akan bermuatan, sedangkan untuk melewati membrane obat harus tidak bermuatan. Maka dari itu pada saat obat melewati membrane obat tersebut akan melepas komponen H+nya.

Bioavailability

Bioavailability adalah fraksi dari administered drug atau pemasukkan obat ke dalam tubuh hingga menjangkau sirkulasi sistemik. a. Faktor Faktor yang Mempemgaruhi Bioavailabilitas 1. First pass hepatic metabolism Suatu alur yang dilewati sebelum masuk meuju ke sirkulasi sistemik. Contohnya pada GI track, jadi tahap ini adalah ketika obat diabsorpsi masuk melewati sirkulasi portal ke hepar sebelum memasuki sirkulasi sistemik. 2. Solubility of Drug Terdapat dua sifat pada obat yaitu ada obat yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) dan ada juga obat yang bersifat hidrofobik (larut dalam ipid). Obat yang mudah melakukan absorpsi atau mudah melewati membra adalah obat yang bersifat hidrofobik, karena membrane sel itu sebagian besar terdiri dari lipid. 3. Chemical Instability Beberapa obat yang ada, apabila masuk ke dalam tubuh tidak semua obat bisa bersifat stabil. Contohnya adalah Penicillin G, obat ini pada pH lambung (gastric) menjadi tidak stabil, maka dari itu dapat mempengaruhi absorpsi dan biovailabilitas. 4. Sifat dari Formulasi Obat

Nita Andriani_10100110128

Drug absortion dapat berubah oleh faktor faktor absorsinya apabila faktor tersebut tidak berhubungan dengan struktur kimiawi dari obat tersebut. b. Penentuan Bioavalability Bioavailabilitas ini dapat ditentukan dengan perbandingan antara plasma obat setelah diminum dengan plasma obat dengan injection. Yang dinyatakan dengan contoh memasukkan obat melalui oral :

Bioavailabilitas =

AUC oral AUC injected

= Vmax

Drug Distribution

Proses dimana obat dibawa melalui pembuluh darah. Dan ada saat dbawa oleh aliran darah maka pergerakan dari obat ini tergantung dengan kecepatan aliran darahnya. Jadi, setelah obat tersebut diabsorpsi maka obat dibawa menuju sirkulasi sistemik oleh aliran darah. Adapun faktor factor yang mempengaruhi distribusi ini adalah : a. Blood Flow Terdapat 2 fase, yaitu : Fase 1 (ex. hati, ginjal, paru-paru) ; aliran darahnya cepat sehingga distribusinyapun berada dalam kecepatan tinggi. Fase 2 (ex. otot, jaringan, tulang) ; aliran darah lambat sehingga kecepatan distribusinyapun rendah atau lambat.

b. Permeabilitas Kapiler Struktur kapiler ; struktur kapiler pada tubuh ini sangat bervariasi. Sehingga variasi itulah yang dapat mempengaruhi. Yaitu junction junction yang terdapat pada kapiler.

Nita Andriani_10100110128

Struktur obat ; yang mempengaruhi distribution ini adalah struktur kimia dari obatnya tersebut.

c. Obat Berikatan dengan Protein

Drug

Bound protein drug)

unbound protein (free

Berikatan dengan protein Other tissue

hepar

SOA

Inaktif side effect

renal (eliminasi)

effect

Drug Metabolism Perubahan struktur kimia obat yang dikatalisis oleh enzim. Tempat terjadinya metabolism ini yaitu : hati, GI track, ginjal dan paru paru.
Nita Andriani_10100110128

a. Kinetics of Metabolism First order kinetics ;

Metabolism ini dapat dinyatakan dalam Obey Michael Menten kinetics :

V=

Vmax [C] Km + [C]

Zero order kinetics Untuk obat yang dosisnya tinggi dapat dinyatakan dengan :

V=

Vmax [C] [C]

b. Reaksi dari Metabolisme Obat Metabolism ini dapat menghasilkan active drug dan drug yang lebih polar (lebih hidrofilik). Terdapat 2 fase :

Fase 1 Pada fase ini terjadi reaksi catabolic dan mengubah yang lipophilic menjadi lebih polar. Bisa dengan beberapa reaksi yaitu oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Fase ini dibantu oleh cytochrom P450.

Nita Andriani_10100110128

drug (DH) Fe
3+

Fe3+ DOH

P450

Fe3+ DH

e(FeO)3+ DH Fe2+ DH

Fe2+OOH DH

Fe2+O2 DH

Nita Andriani_10100110128

H+,e-

NADPH P450 reductase Cytochrome b5

Fase 2 Fase ini terjadi reaksi anabolic dan terjadi reaksi konjugasi. Reaksi ini menghasilkan product obat yang inaktif menjadi aktif. dan yang berperan pada reaksi ini adalah substrat endogenous (glucoronic acid, sulfuric acid, acetic acid)

Tetapi sebenarnya pada tahap ini tidak selalu terjadi berurutan. Bisa saja langsung menuju proses fase 2. Contohnya isoniazid (dari fase 2) lalu dihidrolisis menjadi isonocitinic acid (fase 1).

oksidasi, Drug Fase 1 reduksi, hidrolisis Fase 2

Produk Konjugasi

Parameter Farmakokinetik : 1. Volume distribusi Adalah suatu volume cairan hipotetis dengan obat tersebar ke dalamnya. Meskipun volume distribusi tidak mempunyai dasar faal ataupun fisik, kadang-kadang berguna untuk membandingkan

Nita Andriani_10100110128

distribusi dari suatu obat dengan volume-volume kompartemen cairan di dalam tubuh. Kompartemen cairan dalam tubuh : Sekali obat masuk tubuh, dengan cara pemberian apapun, obat tersebut memiliki potensi untuk distribusi ke dalam salah satu dari tiga kompartemen cairan tubuh atau menjadi terasing di dalam beberapa tempat sel-sel. a. Kompartemen plasma : jika suatu obat memiliki berat molekul yang sangat besar atau terikat kuat pada protein plasma, obat tersebut terlalu besar untuk keluar melalui celah sempit endotel kapilerkepiler dan dengan demikian terperangkap di dalam kompartemen plasma (vascular) sebagai akibatnya obat tersebut terdistribusi di dalam suatu volume (plasma) yang kira-kira 6% dari berat badan atau pada seorang individu yang beratnya 70% kira-kira 4L cairan tubuh. Antibiotic aminoglikosida menunjukkan jenis distribusi ini. b. Cairan ekstraseluler : jika obat tersebut mempunyai berat molekul yang rendah tetapi bersifat hidrofilik, obat dapat bergerak melalui celah sempit dari endotel kapiler masuk kedalam cairan interstisial. Tetapi, obat-obat hidrofilik tidak dapat bergerak menembus membrane sel untuk masuk ke dalam sel. Oleh karena itu, obatobat ini terdistribusi ke dalam suatu volume yang merupakan jumlah air dari plasma dan cairan interstisial yang bersama-sama membentuk cairan ekstraselular. Jumlah ini sekitar 20% dari berat badan atau kira-kira 14L pada orang dengan berat 70 Kg. c. Cairan tubuh total : jika obat tersebut mempunyai berat molekul yang rendah dan bersifat hidropobik, obai itu tidak hanya dapat bergerak melalui celah sempit ke dalam cairan interstisium tetapi juga dapat bergerak melalui membrane sel ke dalam cairan intraselular. Oleh karena itu, obat tersebut terdistribusi ke dalam suatu volume sekitar 60% dari berat badan atau kira-kira 42 liter pada seorang dengan berat badan 70 Kg. d. Tempat-tempat lain : pada kehamilan, fetus bias mengambil obatobat dan dengan demikian meningkatkan volume distribusi. Obatobat seperti thiopental yang disimpan di dalam lemak bias juga mempunyai volume yang tinggi yang lain dari biasanya.

Nita Andriani_10100110128

2. Clearance Prinsip clearance adalah sama dengan konsep clearance pada ginjal, di mana clearance kreatinin didefinisikan sebagai kecepatan eliminasi kreatini dalam urine secara relative terhadap konsentrasinya di dalam serum. Pada tingkatan yang paling sederhana, clearance suatu obat adalah rasio dari kecepatan eliminasi obat keseluruhan terhadap konsentrasi obat tersebut di dalam cairan biologic. Clearance, seperti volume distibusi, bisa ditetapkan berkenaan dengan darah (CLb), plasma (CLp), atau obat tak terikat dalam cairan plasma (CLu), tergantung pada konsentrasi yang diukur. Penting untuk dicatat sifat aditif daripada clearance. Eliminasi obat keluar tubuh bisa melibatkan proses-proses yang terjadi pada ginjal, paru-paru, hati, dan organ lainnya. Dengan membagi kecepatan eliminasi pada tiap organ dengan konsentrasi obatnya akan menghasilkan clearance pada organ itu. Bila dijumlahkan bersama, semua clearance organorgan tersebut akan menghasilkan clerannce sistemik total :

CLginjal = kecepatan eliminasi (ginjal) C CLhati = kecepatan eliminasi (hati) C CLlain = kecepatan eliminasi (lain) C CLsistemik = CLginjal + CLhati + CLlain Jaringan-jaringan eliminasi lainnya bisa meliputi paru-paru dan tempat metabolism tambahan, misalnya darah atau otot. Contoh yang diberikan dalam persamaan diatas menunjukkan bahwa obat dieliminasi oleh hati, ginjal, dan jaringan lain serta bahwa rute eliminasi ini mencakup semua jalan keluar obat meninggalkan tubuh. Dua tempat eliminasi obat yang utama adalah ginjal dan hati. Clearance obat-obat yang tidak diubah melalui urin merupakan clearance ginjal. Di dalam hati, obat terjadi melalui biotransformasi parent drug menjadi satu atau lebih metabolic, atau ekskresi

Nita Andriani_10100110128

obat yang tidak diubah (unchanged drug) ke dalam empedu, atau kedua duanya.

3. Waktu Paruh Waktu paruh (T ) adalah waktu yang dibutuhkn=an untuk mengubah jumlah obat dalam tubuh menjadi separuhnya selama eliminasi. Dalam hal yang paling sederhana dan berguna dalam menyusun regimen dosis obat tubuh manusia bisa dipandang sebagai suatu kompartemen tunggal dengan ukuran yang sama dengan volume distribusi. Sementara organ eliminasi hanya dapat membersihkan obat dari darah bila ada kontak langsung dengan organ eliminasi tersebut, darah, atau plasma sendiri berada dalam keseimbangan dengan volume distribusi total. Sehingga lamanya obat berada dalam tubuh akan bergantung pada volume distribusi dan clearance :

T = 0,7 x Vd CL Namun banyak pula obat yang menunjukkan farmakokinetik multikompartemen. Dalam kedaan ini, di mana lebih dari satu waktu paruh bisa dimiliki oleh suatu obat, maka waktu paruh bisa dimiliki ole suatu obat, maka waktu paruh yang sebenarnya. 4. Pengikatan obat pada protein plasma Molekul obat bisa berikatan dengan protein plasma (biasanya albumin). Obat yang terikat adalah inaktif secara farmakoligi; hanyalah obat bebas (tidak terikat) yang dapat bekerja pada target dalam jaringan dan menghasilkan suatu respons biologic. Jadi, dengan berikatan dengan protein plasma, obat-obat menjadi terperangkap dan dalam efek menjadi tidak aktif.

Nita Andriani_10100110128

D. FARMAKODINAMIK Farmakodinamik ialah subdisplin farmakologi yang mempelajari biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. efek

Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respons yang terjadi. MEKANISME KERJA OBAT Mekanisme kerja obat itu sendiri ada yang berinteraksi dengan reseptor dan ada yang tidak.Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi. Reseptor merupakan komponen makromolekul fungsional. Hal ini mencakup 2 konsep penting yaitu : 1. Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh 2. Obat tidak menimbulkan fungsi baru tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada RESEPTOR Reseptor adaah makromolekul spesifik yang ada pada permukaan sel atau intraseluler yang berinteraksi dengan obat untuk menginisiasi efek biologi dan efek farmakologi.

Nita Andriani_10100110128

Jenis-jenis reseptor : 1. Reseptor yang terdapat di permukaan sel a. Reseptor dalam bentuk enzim Reseptor enzim Melalui reaksi enzimatik yang mengakibatkan terjadinya peristiwa biokimia selanjutnya ( misalkan fosfolirasi ) Res eptor sitokin Melalui perantara mengakibatkan dan fisiologi obat. JAK protein yang nantinya akan fosfolirasi dan efek biokimia

b. Reseptor dalam bentuk kanal ion Reseptor membentuk kanal ion. Ketika ligand berikatan dengan reseptornya, kanal ion terbuka sehingga banyak ion-ion yang nasuk ke intraseluler. Masuknya ion tersebut mengubah membrane potensial sehingga mengubah efek fisiologi dan biokimia.

c. G-protein coupled receptor ( G-PCR ) Saat G-protein coupled receptor berikatan dengan ligandnya, akan menyebabkan perubahan konformasi G-protein coupled receptor. Perubahan ini menyebabkan terikatnya GTP pada protein G, sehingga akan protein G menjadi teraktivasi ( berdisoasi menjadi G dan G. Subunit G akan berinteraksi dengan protein efktor sehingga terjadi produksi second messanger. 2. Reseptor yang ada di dalam sitoplasma

Setiap kompenen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endogen ( hormone, neurotransmitter ).

Nita Andriani_10100110128

Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis . Sebaliknya, obat yang tidak menimbulkan aktivitas intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. Antagonis menghasilkan efeknya dengan blocking action dari agonis atau endogenous ligand. Seperti yang telah disebutkan, respon terhadap obat itu ada 2 macam : 1. Agonist a. Full agonist : obat dapat menempati seluruh reseptor dan aktivitas intrinsiknya 1. b. Partial agonist : obat dapat menempati reseptor tetapi tidak dapat memperoroleh respon maksimal dan aktivitas intrinsiknya < 1 2. Antagonist a. Full competitive : Obat berinteraksi dengan site regulator yang sama. b. Non competitive : berinteraksi dengan site yang berbeda.

HUBUNGAN DOSIS OBAT DENGAN INTENSITAS EFEK Digambarkan melaui dose-effect curve yang berbentuk sigmoid. Pada dose-effect curve , terdapat 3 variabel penting : a. Potensi Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek . Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik obat, dan afinitas obat terhadap reseptornya. Jika potensi terlalu rendah akan merugikan kurva karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi merugikan atau membahayakan jika obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit.

Nita Andriani_10100110128

b. Efek maksimal Efektivitas adalah respons maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika diberikan pada dosis yang tinggi. Misalnya morfin dam aspirin berbeda dalam efek maksimal sebagai analgesik ( morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak. c. Slope of the curve Slope merupakan variabel yang penting karena menunjukkan batasbatas keamanan obat. Slope obat yang curam, misalnya untuk Phenobarbital, menunjukkan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan cara dosis yang menimbulkan sedasi/tidur.

HUBUNGAN DOSIS OBAT PERSEN RESPONSIF Telah disebutkan bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median ( = ED 50 ). Dosis letal median ( = LD 50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu sedangkan TD 50 ialah dosis toksik 50 %. Dalam studi farmakodinamik, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam ratio berikut :

Indeks Terapi

= TD 50 ED 50

atau ED 50

LD 50

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang pasien.

Nita Andriani_10100110128

E. RESPON INDIVIDUAL TERHADAP OBAT Administrasi pemberian obat terhadap pasien yhang berbeda-beda akan

menghasilkan bermacam-macam respon, yang terdiri subtherapeutic, respon therapeutic dan toksitisitas. Hubungan antar dosis dengan efek (dosis dengan respon tubuh terhadap obat) pada setiap individu tidak selalu sama, akan tetapi sangat bervariasi. Perhatikan skema : Prescribed Dose External factors patient compliance medication errors Administered Dose
Pharmacokinetics: - rate and extend of absorption - body size and composition - binding in body fluids Nita Andriani_10100110128 - rate of elimination

Internal factors Concentration at locus of Action


Pharmacodynamics drug-receptor interaction functional state placebo effect physiological variables pathological factors genetic factors drugs interaction development of tolerance

Intensity of response

Fig. 6. Scheme of individual drug response

Dari skema di atas tampak bahwa pada dasarnya ada dua factor utama yang harus diperhatikan dalam respon individual obat, yaitu : 1. Faktor Eksternal / Eksogenous Faktor external atau exogenous yang menentukannya adalah : a. Kepatuhan Pasien Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum yang pada akhirnya berkaitan dengan intensitas respon yang diperlihatkannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien : 1)Penyakit Penyakit yang menurunkan kepatuhan pasien adalah penyakit yang tidak bergejala, penyakit kronis, dan penyakit yang hanya memerlukan pencegahan. 2)Drug

Nita Andriani_10100110128

Pengobatan yang menggunakan banyak obat, dosisnya kompleks, obatnya sulit ditelan atau rasa obat tidak enak, dan obat yang memberikan efek samping. Hal tersebut dapat menurunkan kepatuhan pasien 3)Penderita / pasien Penderita yang tidak mengerti cara pemakaian atau pun kegunaannya. Dikarenakan usia nya masih sangat muda atau sudah sangat tua; intelektualnya kurang; punya gangguan jiwa. Hal tersebut akan menurunkan kepatuhan pasien. Dokter Sikap dokter yang optimis dan bertindak sangat cermat dalam mengobati pasien (skillful) akan meningktkan kepatuhan pasien. b. Kesalahan Medikasi Kesalahan medikasi sperti contoh obat lama,ketidaksesuaian dalam pemberian obat (ex. Yang seharusnya obat A diberi secara oral, tetapi obat A tersebut malahan diberi secara intranasal).

2. Faktor Internal Faktor internal meliputi farmakokinetik dan farmakodinamik. Faktor-faktor farmakokinetik akan menentukan jumlah obat yang diminum yang pada akhirnya berkaitan dengan intensitas respon yang diperlihatkannya. Sedangkan Faktor-faktor farmakodinamik akan menentukan intensitas respon tubuh terhadap kadar obat yang berada di reseptornya. Variasi respon terbesar terutama disebabkan karena variasi farmakokinetik dan farmakodinamik yang berasal dari : a. Keadaan Fisiologis 1) Neonatus and bayi premature Pada kelompok usia ini, beberapa fungsi fisiologis pada organ-organ belum berkembang secara sempurna, antara lain : Fungsi absorpsi belum baik

Nita Andriani_10100110128

Kapasitas ikatan protein plasma masih rendah Fungsi metabolisme belum sempurna Fungsi ekskresi ginjal masih rendah 2) Usia tua (lansia)

Pada usia ini terjadi penurunan beberapa fungsi farmakokinetik, antara lain : Distributsi berubah, meliputi penurunan kapasitas ikatan protein plasma masih rendah dan perubahan waktu paruh obat. Fungsi metabolisme mulai menurun Fungsi ekskresi ginjal menurun

b.

Keadaan patologi Kerusakan hepar dapat merubah kapasitas ikatan protein plasma, aliran darah hepar, penurunan kapasitas metabolism yang semakin berat diperberat oleh obat-obat/zat kimia yang menginduksi enzim mikrosom hepar dan mengurangi clearance obat yang terutama diekskresi melalui empedu. Beberapa penyakit dapat mengubah farmakodinamik obat melalui perubahan sensitivitas reseptor.

c.

Factor Genetik Genetik merupakan penentu utama dalam terjadinya variasi efek obat (respon terhadap obat) yang normal dan bertanggung jawab terhadap terjadinya perbedaan aktivitsas farmakologi secara kuantitatif (respon terhadap obat melalui pengaruh poligenik pada metabolisme obat) maupun kualitatif (respon terhadap obat tersebut mempunyai sifat-sifat toksik tertentu).

d.

Interaksi obat Interaksi obat sering terjadi pada penggunaan beberapa obat yang digunakan untuk mencapai tujuan terapi yang diinginkan atau mengobati oenyakit yang menyertainya. (dibahas di interaksi obat).

Nita Andriani_10100110128

e.

Toleransi Toleransi adalah penurunan efek farmakologi pada pemberian obat yang berulang-ulang. Dibagi menjadi : a. toleransi farmakokinetik terjadi karena obat yang menginduksi metabolismenya sendiri. b. toleransi farmakodinamik Terjadi karena proses adaptasi selular. c. Takhifilaksis (toleransi akut) Toleransi yang muncul sangat cepat, kurang dari 3 hari sudah muncul.

f.

Efek Placebo Net effect (efek bersih)= pharmacological + placebo effect Efek placebo merupakan efek yang tidak dipengaruhi oleh kerja obat itu sendiri. Lain kata, efek yang merupakan sugesti pasien.

g.

Faktor Lingkungan Alcohol dan rokok memiliki beberapa efek yang dapat mengubah respon terhadap beberapa obat.

h.

Biological rhythmic (ritme biologi) Aktivitas farmakologi obat dipengaruhi oleh ritme biologisnya dalam sensitivitas fisiologis dan disposisi obat. Khronofarmakologi adalah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat dalam kaitannya dengan ritme biologis. Ritme biologis dapat terjadi setiap hari (sirkadian), setiap minggu (sirkasestan), setiap bulan (sirkarigintan) dan setiap tahun (sirkanual). Ritme ini didefinisikan sebagai saat puncak dalam kaitannya dengan periode (akrofase), variabilitas dalam periode (amplitudo), dan rata-rata periode (mesor).

F. PHARMACOVIGILANCE

Pharmacovigilance merupakan suatu proses aktf dalam memonitor keamanan obat, dengan tujuan agar obat digunakan seaman mungkin. Hal

Nita Andriani_10100110128

ini selaras dengan salah satu tujuan pembangunan di bidang obat nasional, adalah menjamin kebenaran khasiat, keamanan, mutu, dan keabsahan obat yang beredar serta tejangkau oleh masyarakat. Dimana salah satu upanya dengan melakukan penilaian obat sebelum obat beredar, namun untuk lebih menjamin keamanan obat-obat yang dipasarkan, MESO (monitoring efek samping obat ) setelah obat beredar harus terus dilakukan secara terusmenerus.

EFEK SAMPING OBAT (ESO) Telah diketahui, bahwa obat-obatan disamping memiliki khasiat atau efek menyembuhakan penyakit, juga bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan atau tidak menyenangkan, cacat permanen dan bisa juga menimbulkan kematian. Oleh karena itu sangat penting untuk diketahui berapa insiden suatu manifestasi ESO dan mengapa bisa terjadi demikian, sehingga mungkin. Efek samping obat didefinisikan sebagai suatu reaksi yang tidak menguntungkan dan tidak diinginkan pada penggunaan dosis terapi, diagnose dan profilaksis. Sedangkan obat sendiri didefinisikan sebagai suatu substansi ataupun produk yang digunakan untuk merubah atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi untuk keuntungan pemakai. Pada tahun 1977, Rawlins dan Thompson telah membuat klasifikasi ESO menjadi ESO tipe A dan ESO tipe B, sementara Bateman mengklasifikasikannya menjadi ESO tipe A,B,C, D, dan E. kemudian bisa dilakukan tindakan pencegahan semaksimal

1. ESO tipe A

Nita Andriani_10100110128

Peningkatan efek farmakologi melebihi normal suatu obat pada dosis terapi yan dianjurkan, seperti bradikardia pada pengguna antagonist beta-adrenoseptor dan perdarahan pada pengguna antikoagulan

Mudah diduga (prediktabilitas tinggi) melalui pengenalan efek farmakologi obat yang bersangkutan, biasanya tergantung pada dosis yang digunakan

Insiden dan mordibitasnya tinggi tetapi umumnya memiliki angka mortalitas yang rendah

Sering timbul akibat perubahan farmakokinetik obat oleh penyakit atau farmakoterapi yang bersamaan

2. ESO tipe B Reaksi abnormal yang betul-betul menyimapang dari efek

farmakologi yang diketahui pada dosis terapi yang dianjurkan dan cara penggunaan yang normal Ditemukan pada kejadian hipertermia maligna akibat pemberian obat anestesi dan terjadinya reaksi-reaksi imunologik termasuk reaksi anafilaktoid Memiliki prediktabilitas yang rendah dann tidak terdeteksi pada pemeriksaan toksikologi yang konvensional Insiden dan mordibitasya rendah tetapi mempunyai mortalitas yang tinggi

3. ESO tipe C

Nita Andriani_10100110128

Efek kronik terjadi kibat terapi jangka panjang Contohnya chloroquine pada penggunaan yang dalam jangka panjang

4. ESO tipe D
-

Efek samping obat yang lambat atau delayed yang beberapa tahun setelah terapi jangka panjang

terjadi

Contohnya efek samping obat diethystilbesterol

adeno Ca vagina

5. ESO tipe E
-

Efek pada akhir terapi (end of treatment) yang terjadi akibat penggunaan obat yang dihentikan secara tiba-tiba

Contohnya pada penggunaan steroid yang meng-induced cushing syndrome

Klasifikasi berdasarkan Suherman dkk, klasifikasinya : 1. Kelainan Respon Bawaan Reaksi alergi merupakan suatu reaksi immunologi dan berbentuk ESO tipe B, insidennya dipengaruhi factor obat, penderita dan penyakit. Ciri-cirinya :

Tidak berkaitan dengan efek karmakologinya, dapt timbul pada dosis rendah dan reaksinya yang sama juga bisa dihasilkan pada pemberian yang berulang pada obat tersebut.
Nita Andriani_10100110128

Manifestasi

yang

sering

berbentuk

kelainan

kulit,

edema

angioneurotik, serum sickness, asthma dan anafilaktik Reaksi akibat factor genetic berkaitan dengan terjadinya perubahan farmakokinetik obat atau perubahan sensitivitas jaringan, yang kemudian individual 2. Kelainan respon yang didapat (acquired) Reaksinya merupakan ESO tipe A Berkaitan dengan penyakit yang menyertainya Contoh : kelainan respon yang ditemukan pada penderita gagal ginjal ataupun hati 3. Kelainan respon akibat kelainan presentasi dan pemberian obat Biasa terjadi pada pemberian obat dengan bioavailabilitas yang berbeda atau pada pemberian dosis yang berlebihan 4. Kelainan respon akibat interaksi obat Beberapa interaksi obat menimbulkan efek terapi dan reaksi yang tidak diharapkan. Kejadiannya proposional dengan jumlah obat yang diberikan menimbulkan terjadinya perbedaan respon secara

FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI ESO : 1. Onset of Reaction ESO akut pada kejadian anafilaktik shock akibat suntikan penisilin ESO kronis pada kejadian retinopatia akibat klorokin

Nita Andriani_10100110128

ESO yang timbul lama sekali setelah obat dihentikan pada kejadian adenokarsinoma vagina akibat dietilstilbesterol

2. Umur ESO lebih sering terjadi pada usia yang sangat muda karena fungsi farmakokinetiknya belum berkembang dengan baik sehingga fungsinya belum sempurna ESO juga sering terjadi pada usia yang sangat tua karena fungsi farmakokinetiknya yang berkurang akibat dari organ-organ yang terlibat didalamnya sudah mulai berkurang fungsinya 3. Patofisiologi Beberapa penyakit dapat merubah farmakokinetik obat ataupun sensitivitas jaringan terhadap obat 4. Cara penggunaan obat Pemberian obat dengan dosis yang berlebihan atau untuk waktu yang lama merupakan factor predisposisi ESO tipe A 5. Jenis kelamin Wanita lebih sering mengalami ESO dibandingkan pria 6. Riwayat alergi Penderita yang pernah mengalami ESO umumnya lebih sensitive untuk mengalami ESO daripada penderita yang belum pernah samasekali mengalaminya 7. Terapi polifaramasi Peningkatan kejadian ESO sebanding dengan meningkatnya jumlah obat yang digunakan

Nita Andriani_10100110128

8. Factor RAS atau genetic Contoh untuk genetic, dimana terjadi deficiency dari G-6 Posfat Dehidrogenase

MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO) MESO didefinisikan sebagai cara pelaporan (reporting), pencatatan (recording) dan evaluasi (evaluating) secara sistematik mengenai kejadian ESO baik melalui resep atupun tanpa resep. Tujuan dari MESO ini adalah : 1. Mengidentifikasi ESO sedini mungkin 2. Menentukan frekuensi serta insidensi ESO 3. Mengidentifikasi semua factor yang mungkin menjadi penyebab ataupun mempengaruhi perkembangan ESO Ada beberapa jenis MESO, yaitu : 1. Spontaneous Monitoring 2. Voluntary Monitoring 3. Intensive Hospital Monitoring 4. Mandatory or Compulsary Monitoring 5. Record Linkage 6. Limited Monitored Release Jenis-jenis MESO tersebut memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang dapat dilihat pada table dibawah ini :

Nita Andriani_10100110128

CARA MESO Spontaneous Monitoring

KEBAIKAN Sederhana, populasi

KELEMAHAN

murah, Laporan tidak lengkap, besar, dan dan frekuensi ESO tidak

dapat menemukan ESO dapat di evaluasi yang jarang dan lambat Voluntary Monitoring Relative murah, Kebenaran dari early sukar partisipasi

populasi besar, semua warning obat, dan dapat didapat dipastikan, mudah disebarluaskan Intensive Hospital Monitoring Dapat insidensi resiko kurang

early warning sehingga dari profesi kesehatan

mengetahui Biayanya dan

biasanya

factor besar, populasi terbatas, ESO yang lambat tak diketahui

Mandatory Monitoring

Laporan

pasti

ada Kebenaran

laporan

( peraturan ), dan ideal diragukan untuk Rumah Sakit

Record Linkage

Dapat menemukan ESO Data kronis, congenital serta ungkapan suatu keganasan seragam, lengkap

berlebihan, istilah dan tidak laporan

yang ada biasanya tidak

Limited Monitored Release

Dapat

mengetahui Terbatas pada obat dan waktu tertentu

frekuensi ESO

Nita Andriani_10100110128

PATOMEKANISME

Mrs. Rossi, 70th

Carcinoma hepatic

insomnia

Metabolism & fungsi organ Fungsi eliminasi Ekskresi obat lama

Protein binding capacity

FPM

Konsumsi phenobarbital

Plasma drug concentration

Efek obat

Unconsciousne ss

Tidur > 24 jam

Deep sleep

Nita Andriani_10100110128

LAPORAN AKTIVITAS LABORATORIUM VARIOUS ROUTES OF DRUG ADMINISTRATION (RODA)


Material, Obat, Peralatan dan Bahan Percobaan Obat : Phenobarbital

Peralatan dan Material : Meja Observasi Disposable syringe dan pipet oral Kapas dan alcohol Bahan Percobaan mg) : Tikus (jantan, sehat, dewasa, berat badan 20 25

Prosedur Amati tingkah normal dari tikus sebagai control di meja observasi; pada normalnya tikus berjalan di sekeliling meja dan melihat ke bawah beberapa kali karena kepenasarannya sebagai aktivitas spontan. Hitung aktivitas tersebut per menit. Amati respon normal terhadap stimulus. Setelah itu, berikan setiap tikus 30 mg/kgBW Phenobarbital, dan kemudian simpan tikus pada meja observasi. Amati Onset of Action (OOA) dan Duration of Action (DOA) dan keefektivitas obat. Rute Administrasi Obat 1. Intravena 2. Intraperitoneal 3. Subcutan

Nita Andriani_10100110128

4. Intramuscular 5. Per oral Gradasi Efek I. Aktivitas spontan negative, respon terhadap stimulus positif atau normal II. Aktivitas spontan negative, pergerakan tak terkoordinasi terhadap stimulus III. Respon terhadap stimulus negative, posisi berdiri IV. Gagal untuk berdiri V. Tidak ada pergerakan (tidur)

Hasil Pengamatan RODA Intravena Intraperitone al Intramuscular Kesimpulan Penggunaan obat dengan rute intravena lebih cepat menimbulakan efek dibanding penggunaan rute lainnya, karena bioavailabilitasnya yang 100%. Waktu (menit) yang dibutuhkan untuk mencapai gradasi efek I II III IV V 3 8 17 23 3 4 30

Nita Andriani_10100110128

LAPORAN AKTIVITAS LABORATORIUM INDIVIDUAL DRUG RESPONSE


Material Peralatan : 1 % Phenobarbital : Hanger Test 1cc disposable syringe Bahan Percobaan : 3 tikus dengan jenis kelami sama, umur sama dan berat badan yang sama serta sehat Prosedur : Tes kesemua tikus righting dan grip reflex. Suntikan 30mg/kg berat badan (o,5 cc) Phenobarbital sodium intraperitoneal ke setiap tikus. Setelah 15 menit, lakukan tes righting dan grip reflex, catat hasilnya. Lakukan hal yang sama 30 menit setelah penyuntikan. Catat juga hasilnya.

Grip reflex : kemampuan tikus yang secara normal memegang kawat ketika digantungkan. Righting Ability : kemampuan tikus untuk memegang kawat dengan kaki posteriornya.
Nita Andriani_10100110128

Efek neuroleptik : kehilangan kemampuan righting tetapi masih menunjukan grip reflex. Efek Hypnotic : kehilangan grip reflex (tikus jatuh karena tidur) Hasil Efek Tidak berefek : RA+, GR + Neuroleptic : RA-, GR+ Hypnotic : RR-,GR+ Mati Kesimpuan Phenobarbital tidak memberikan efek dilihat dari percobaan ini. 15 30

Nita Andriani_10100110128

Anda mungkin juga menyukai