Anda di halaman 1dari 29

FARMAKOTERAPI STROKE I. EPIDEMIOLOGI Setiap tahun, kira-kira 700.000 jiwa di Amerika mengalami infark serebral dan kira-kira 160.

000 meninggal akibat stroke. Penyakit serebrovaskular adalah penyebab ketiga yang paling umum menyebabkan kematian pada orang dewasa dan merupakan satu dari banyak penyebab disfungsi neurologik. Namun, secara reperesentatif terjadi penurunan dramatis pada tingkat kematian akibat stroke iskemia dari 88,8/100.000 jumlah penduduk pada tahun 1950 menjadi 54,3/100.000 pada tahun 2003 (Koda-kimble et al, 2009). Di Amerika, stroke iskemia merupakan tipe infark yang paling umum. Penyakit aterotrombotik pembuluh darah besar serebral adalah penyebab iskemia dan infark serebral. Penyakit arteri kecil juga bertanggung jawab terhadap proses oksigenasi dan asupan nutrisi pada sistem saraf pusat. Tromboembolik (atrial fibrillation) dan penyebab lain seperti infeksi atau inflamasi arteri juga bertanggung jawab terhadap stroke iskemia.Terdapat hubungan yang kuat antara terjadinya Transient Ischemic Attacks (TIA) dengan peningkatan resiko infark serebral di kemudian hari. Resiko stroke iskemia adalah yang paling tinggi pada 30 hari pertama (Koda-kimble et al, 2009). Menurut Yayasan Stroke, di indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang terkena serangan stroke. Sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Populasi usia lanjut diperkirakan meningkat hampir 300% di beberapa negara berkembang di Amerika Latin dan Asia dalam 30 tahun mendatang yang tentunya akan meningkatkan juga penyakit-penyakit seperti stroke. Peningkatan kejadian stroke ini merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat serta berhubungan dengan kesakitan, ketidakmampuan, kemandirian serta mobilitas populasi usia lanjut. (Anonim, 2010)

II. DEFINISI Cerebravasaular Disease (CVD) Cerebravasaular Disease (CVD) atau stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya penurunan sitem syaraf secara tiba-tiba selama 24 jam. Stroke disebabkan oleh gangguan pada aliran darah ke otak baik karena penyumbatan pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan pada otak dan daerah di sekitarnya (Dipiro et al, 2008) Transient ischemic attacks (TIA) Ketika gejala stroke tidak menyebabkan kerusakan permanen pada otak, keadaan ini disebut Transient ischemic attacks (TIA) atau serangan iskemia sementara. TIA merupakan gejala yang terjadi tidak lebih dari 24 jam (biasanya 530 menit). Beberapa profesi kesehatan menyebut TIA sebagai mini stroke. Akan tetapi TIA mengindikasikan bahwa stroke akan segera terjadi (Silverman & Rymer, 2009). Infark serebral (Cerebral infarction) Infark serebral adalah gangguan permanen yang dikarakterisitikkan oleh gejala yang serupa dengan gejala pada TIA. Pasien dengan infark serebral akan mengalami penurunan neurologikal yang disebabkan oleh kematian syaraf pada daerah fokal otak. Infark stabil menggambarkan penurunan fungsi saraf yang permanen, tidak akan membaik, dan tidak akan memburuk (Koda-kimble et al, 2009). Pendarahan serebral (Cerebral hemorrage) Pendarahan serebral adalah gangguan serebrovaskular yang meliputi keluarnya darah dari pembuluh darah ke otak dan sekitarnya. Kebocoran darah dapat menyebabkan gejala klinik yang serupa TIA dan infarksi. Disfungsi neorologis yang dikaitkan dengan TIA atau infarksi serebral adalah hasil dari kurangnya aliran darah yang diberikan pada bagian-bagian otak (Koda-kimble et al, 2009).

III. PATOFISIOLOGI Stroke dapat berupa iskemia atau hemoragik. Secara sistematik penyakit stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya seperti pada gambar 1 (Dipiro et al, 2008).

Gambar 1. Klasifikasi stroke berdasarkan mekanisme terjadinya

Stroke iskemia Terdapat 3 mekanisme patofisiologi utama yang mendasari terjadinya stroke iskemik meliputi penyakit pembuluh darah besar (aterosklerosis), penyakit pembuluh darah kecil (arteriosklerosis) dan adanya emboli (kardioembolik). Pada stroke iskemia terdapat gangguan suplai darah ke otak baik disebabkan oleh pembentukan trombus atau emboli. Kurangnya aliran darah serebral menyebabkan hipoperfusi jaringan, hipoksia jaringan dan kematian sel otak (Chisholm-burns et al, 2008). Penumpukan lipid pada dinding pembuluh darah menyebabkan turbulensi aliran darah dan memicu terjadinya kerusakan sehingga kolagen pembuluh terekspose oleh darah. Kerusakan pembuluh ini memulai proses agregasi platelet yang disebabkan oleh terpaparnya subendotelium. Platelet-platelet melepaskan adenosin diphosphat (ADP) yang menyebabkan agregasi platelet dan penggabungan agregat tersebut. Tromboksan A2 dilepaskan dan memperbesar pembentukan platelet dan vasokonstriksi (Chisholm-burns et al, 2008).

Kerusakan pembuluh juga dapat mengaktivasi jalur koagulasi yang memicu terbentuknya trombin. Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin, memicu pembentukan suatu bekuan berupa molekul fibrin, platelet dan agregat sel darah (Chisholm-burns et al, 2008).

Gambar 2.

Agregasi platelet. Gambar ini menunjukkan proses agregasi platelet. Kerusakan jaringan menghasilkan pelekatan platelet-platelet pada dinding pembuluh. Hal ini memicu pelekatan platelet yang berkelanjutan dan terjadi agregasi platelet membentuk trombus.

Gambar 3. Jalur fisiologi pembekuan darah

Bekuan darah dapat terjadi di jantung, di sepanjang dinding pembuluh darah utama (aorta, carotid, basilar artery) atau arteri kecil yang masuk ke dalam otak. Jika bekuan tersebut terletak dekat dengan bagian yang mengalami infark maka disebut sebagai trombus; akan tetapi jika bekuan tersebut bergerak ke otak dari sumber yang jauh maka disebut sebagai emboli (Koda-kimble et al, 2009).

Gambar 4. Tempat-tempat terjadinya bekuan pemicu stroke iskemia

Ateroskelrosis serebral adalah faktor penyebab dalam kebanyakan masalah stroke iskemia. Emboli dapat muncul dari arteri intra dan ekstra kranial. 20 % emboli muncul dari jantung. Aliran darah normal serebral pada otak orang dewasa adalah 3070 ml/100 g/menit. Ketika bekuan trombotik atau embolik secara parsial menghambat arteri serebral lairan darah akan menurun <20 ml/100 g/menit (terjadi iskemia). Jika terus berlanjut dan aliran darah menjadi <12 ml/100g/menit

dapat terjadi kerusakan yang irreversible (infark). Dengan demikian hasil akhir baik pembentukan trombus dan embolisme adalah hambatan arteri, penurunan aliran darah serebral, menyebabkan iskemia dan akhirnya infark (Koda-kimble et al, 2009). Stroke hemoragik Strok pendarahan (hemoragik) meliputi pendarahan subarakhnoid, pendarahan intraserebral dan hematomas subdural. Pendarahan subarakhnoid dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat arteriovena. Pendarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh darah rusak dalam parenkim otak menyebabkan pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka berat (Dipiro et al, 2008) Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neorotoksik dan produk urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematoma dpat mengarah pada iskemia sekunder. Kematian karena stroke pendarahan kebanyakan disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan intrakranial yang mengarah pada herniasi dan kematian (Dipiro et al, 2008).

Gambar 5. Bagian-bagian otak yang umumnya mengalami stroke hemoragik. (1) Percabangan kortikal dari arteri intrakranial utama, (2) Percabangan lentikulostriat, (3) Percabangan termoperfolator, (4) Percabangan pontin paramedian, (5) Percabangan arteri serebral utama

Patofisiologi stroke hemoragik lebih kompleks dibandingkan dengan stroke iskemik. Banyak dari proses ini terkait dengan keberadaan darah di jaringan otak dan/atau ruang sekitarnya sehingga mengakibatkan kompresi. Hematoma yang terbentuk akan terus tumbuh dan membesar setelah perdarahan awal dan pertumbuhan awal hematoma dikaitkan dengan hasil yang buruk. Pembengkakan jaringan otak dan kerusakan akibat dari peradangan disebabkan oleh trombin dan produk darah lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi. (Chisholm-burns et al, 2008). Faktor resiko (Dipiro et al, 2008) Faktor resiko tidak dapat dimodidikasi untuk stroke antara lain peningkatan usia, jenis kelamin, ras dan turunan. Resiko stroke iskemia meningkat pada usia lebih dari 55 tahun pada pria dan pada ras amerika-afrika, amerika latin dan asia-pasifik. Resiko stroke iskemia juga meningkat pada orang dengan histori keluarga yang pernah mengalami stroke. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi meliputi gaya hidup yang sangat mempengaruhi terjadinya stroke secara keseluruhan. Hipertensi adalah satu dari banyak faktor resiko baik stroke iskemia maupun stroke hemoragik. Secara khusus untuk stroke hemoragik, hipertensi yang tidak terkendali dapat menyebabkan kasus perdarahan pada 6070% pasien. Faktor resiko lainnya untuk stroke hemoragik meliputi trauma, kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol, aneuirisme serebral. IV. MANIFESTASI KLINIK (Silverman & Rymer, 2009) Gejala stroke yang dapat ditimbulkan tergantung pada daerah sistem saraf pusat yang mengalami kerusakan. 1. Sakit kepala Sakit kepala yang berat dan tiba-tiba bisanya berhubungan dengan stroke iskemia dan hemoragik. Tetapi lebih tampak luar biasa pada kasus stroke iskemia kecuali yang disebabkan oleh penyempitan arteri karotid atau vertebral yang mana sakit kepala, nyeri pada bagian wajah dan leher bersifat khas.

2. Megalami kelemahan tubuh Penurunan kekuatan motorik secara mendadak adalah gejala stroke yang paling umum. Organisasi National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) menila kemampuan motorik (04) sebagai cara yang baik dalam menentukan derajat kelemahan tubuh seseorang. Derajat kelemahan biasa bergantung pada sistem motorik mana yang mengalami lesi. Lesi kortikal dapat menyebabkan kelemahan fokus, paling umum meliputi wajah dan/atau tangan atau jari-jari secara terpisah. Lesi subkortikal atau batang otak biasanya menyebabkan kelemahan yang lebih seragam pada wajah, tangan dan kaki di salah satu sisi. 3. Ataksia Ataksia dapat terjadi dengan atau tanpa kelemahan tubuh dan merupakan keadaan di mana tidak adanya koordinasi dalam pergerakan (hilang keseimbangan), biasanya berhubungan dengan infark pada belahan otak. 4. Gangguan penglihatan Amaurosis fugax, menggambarkan kebutaan sementara pada salah satu mata yang berlangsung selama 2-10 menit. Kehilangan penglihatan yang permanen pada salah satu mata biasanya terjadi ketika arteri retina pusat dihambat. Tetapi kehilangan penglihatan ini secara umum tidak berhubungan dengan gejala stroke yang lain. Hemmifield visual loss, merupakan kehilangan penglihatan pada kedua mata terhadap satu sisi. Hal ini dapat diditeksi dengan uji luas penglihatan. Cortical blindness, merupakan kondisis klinik yang jarang terjadi, disebabkan oleh infark pada kedua lobus oksipital. Diplopia (penglihatan ganda), gambar ganda yang terlihat dapat secara horizontal, vertikal atau miring. Ketika salah satu mata ditutup tidak terjadi diplopia. Forced gaze, ketajaman penglihatan hanya terjadi pada salah satu sisi dan merupakan keadaan klinik yang penting pada kasus stroke akut. Forced gaze berarti bahwa kedua mata pasien dideviasikan pada salah satu sisi dan tidak akan berpindah dari posisi tersebut.

5. Visuospatial neglect Pasien dengan infark pada sisi kanan belahan otak, tidak dapat merasakan sisi kiri tubuhnya 6. Gangguan dalam berkomunikasi Dysarthria, pasien terdengar salah dalam pengucapan suatu kata atau kalimat. Dysarthria dapat didengar pada penderita dengan kelemahan wajah atau lidah dan juga terjadi pada stroke meliputi otak kecil dan batang otak. Penderita berbicara seperti sedang dalam keadaan mabuk. Aphasia, kesulitan dalam proses berbahasa. Penyebabnya adalah stroke yang terjadi pada belahan otak biasanya sebelah kiri. 7. Penurunan fungsi kognitif Keadaan ini meliputi apraksia, kehilangan ingatan, demensia, kelelahan, depresi dan beberapa gangguan psikis. V. DIAGNOSIS (Walter et al, 2004) Diagnosis yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan riwayat medis dan pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis untuk mengevaluasi tingkat kesadaran, sensasi, fungsi (visual, motor, bahasa) dan menentukan penyebab, lokasi, dan luasnya stroke. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi penilaian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi, tanda-tanda vital (yaitu, nadi, respirasi, suhu). Kepala (termasuk telinga, mata, hidung, dan tenggorokan) dan ekstremitas juga diperiksa untuk membantu menentukan penyebab dari stroke dan mengesampingkan kondisi lain yang memproduksi gejala yang sama (misalnya, Bell's palsy ). Tes darah Tes darah (misalnya, hitung darah lengkap). Untuk sebagian besar, tes darah membantu dokter mencari penyakit yang diketahui meningkatkan risiko stroke, termasuk:

1. Kolesterol tinggi 2. Diabetes 3. Gangguan pembekuan darah Pemeriksaan neurologis Tes ini dilakukan oleh dokter untuk menemukan kekurangan dalam fungsi otak yang mungkin dapat membuktikan diagnosis bahwa seseorang mengalami stroke. Pemeriksaan neurologis mencakup : 1. Awareness (Kesadaran) 2. Kemampuan berbicara dan fungsi memori 3. Kemampuan melihat dan gerakan mata 4. Sensasi dan gerakan pada lengan wajah dan kaki 5. Refleks 6. Kemampuan berjalan dan keseimbangan Prosedur imaging Prosedur imaging (misalnya, CT scan, USG, MRI) membantu dokter menentukan jenis stroke dan mengesampingkan kondisi lain, seperti infeksi dan tumor otak. USG USG menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk menghasilkan gambar aliran darah melalui arteri di leher yang mensuplai darah ke otak (yaitu, arteri carotid) dan dapat digunakan untuk mendeteksi penyumbatan Computed Tomography Scan (CT Scan) Teknik ini biasanya merupakan tes pertama yang dilakukan ketika pasien datang ke ruang gawat darurat rumah sakit dengan gejala stroke, bukan hanya karena dapat dengan mudah mendeteksi perdarahan di dalam otak, tetapi juga karena dapat dilakukan dengan cepat. Tes menggunakan dosis rendah sinar-X untuk menampilkan gambar x-ray otak dan dapat menentukan apakah suatu stroke disebabkan oleh penyumbatan (iskemia) atau pendarahan (hemoragik), ukuran dan lokasi infark.

10

CT scan biasanya tidak dapat menghasilkan gambar yang menunjukkan tanda-tanda stroke iskemik sampai 48 jam setelah onset, jadi pengulangan scan dapat dilakukan. Tes ini dilakukan di ruang darurat untuk mendeteksi stroke hemoragik. CT scan juga dapat mengungkapkan stroke iskemik tetapi hanya 6-12 jam setelah onset. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Ini adalah salah satu tes paling membantu dalam diagnosis stroke karena dapat mendeteksi stroke dalam beberapa menit onset mereka. Gambaran otak juga unggul dalam kualitas dibandingkan dengan gambar CT. Karena inilah, MRI adalah uji preferensi dalam diagnosis stroke. Suatu jenis khusus yang disebut MRI angiography resonansi magnetik, atau MRA, memungkinkan dokter tepat memvisualisasikan penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah di otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Perangkat ini menggunakan medan magnet untuk mendeteksi perubahan halus dalam jaringan otak. MRI berguna ketika stroke melibatkan pembuluh darah kecil. Hal ini membutuhkan waktu yang lebih lama daripada CT scan. Uji tanpa rasa sakit dilakukan tanpa memasuki tubuh dan membutuhkan waktu antara 30 dan 90 menit. Lumbar Puncture Tes ini kadang-kadang dilakukan di ruang darurat ketika ada diagnosis kuat untuk stroke hemoragik pada seseorang yang hasil CT scan tidak menunjukkan darah jelas. Tes ini melibatkan penggunaan jarum ke suatu daerah di dalam bagian bawah sumsum tulang belakang di mana ia aman untuk mengumpulkan cairan cerebrospinal (CSF). Ketika ada pendarahan di otak, darah dapat dilihat pada CSF. Transcranial Doppler (TCD) Adalah tes portable yang dapat dilakukan di samping tempat tidur untuk menilai aliran darah melalui pembuluh di otak. Sebuah probe kecil ditempatkan terhadap tengkorak. Tes ini menggunakan gelombang suara untuk mengukur aliran darah melalui pembuluh darah utama di otak. Penyempitan daerah dalam pembuluh darah menunjukkan aliran darah lebih cepat dibandingkan dengan daerah normal. Informasi ini dapat digunakan oleh dokter untuk mengikuti

11

perkembangan pembuluh darah tersumbat. Penggunaan penting bagi TCD adalah penilaian aliran darah melalui pembuluh darah di daerah hemorrhagic stroke, karena pembuluh darah memiliki kecenderungan untuk menjalani "vasospasme" kontraksi berbahaya dari dinding pembuluh darah yang dapat menyumbat aliran darah . Doppler Ultrasound Tes tanpa rasa sakit noninvasive di mana gelombang suara di atas rentang pendengaran manusia dikirim ke leher. Gaung dari gelombang memantul dari darah bergerak dan jaringan dan dibentuk menjadi suatu gambar. Metoda ini cepat, tanpa rasa sakit dan risiko-bebas tetapi tidak akurat sebagai arteriografi. Carotid Ultrasound Tes ini dilakukan tanpa memasuki tubuh dan mengevaluasi aliran darah arteri karotid. Gel digunakan pada kulit untuk mengirim sinyal USG dan komputer dapat menghitung seberapa cepat darah tersebut mengalir dalam tubuh. Ini membantu dokter menentukan berapa sempit arteri telah menjadi. Cerebral Angiography Penggunakan tes ini dilakukan untuk memvisualisasikan pembuluh darah di leher dan otak. Selama pengujian ini pewarna khusus yang dapat dilihat menggunakan sinar-X disuntikkan ke dalam arteri karotis, yang membawa darah ke otak. Pada seseorang yang memiliki sebagian atau obstruksi total salah satu pembuluh darah, atau dalam pembuluh darah lainnya di dalam otak, sedikit atau tidak ada pewarna dapat dilihat mengalir melewatinya. Penyebab umum dari stroke adalah penyempitan arteri karotid, stenosis karotis, yang biasanya merupakan hasil dari deposito kolesterol di sepanjang dinding pembuluh darah. Kondisi ini juga dapat didiagnosis dengan tes yang disebut Duplex Carotid, dimana gelombang suara digunakan untuk mengevaluasi aliran darah melalui pembuluh darah. Tergantung dari tingkat penyempitan dan pada gejala dirasakan oleh seseorang, pembedahan mungkin diperlukan untuk menghilangkan plak dari arteri yang terkena. Cerebral angiography juga dapat membantu dokter mendiagnosa kondisi umum berikut diketahui terkait dengan stroke hemoragik

12

1. Aneurisma 2. Arterio-Venous Malformations Electrocardiogram Uji ini, juga dikenal sebagai EKG atau ECG, membantu dokter mengidentifikasi masalah dengan konduksi listrik jantung.. Normalnya, jantung berdetak dalam pola, teratur berirama yang mempromosikan aliran darah lancar ke otak dan organ tubuh lainnya. Tetapi ketika hati telah cacat dalam konduksi listrik, pemukulan berhenti berirama dan dikatakan menderita aritmia, atau detak jantung yang tidak teratur. Beberapa aritmia, seperti fibrilasi atrium, menyebabkan pembentukan bekuan darah di dalam bilik jantung. bekuan darah ini kadang-kadang bermigrasi ke otak dan menyebabkan stroke. Transthoracic echocardiogram (TTE) Uji ini, juga dikenal sebagai 'echo' menggunakan gelombang suara untuk mencari gumpalan darah atau sumber lainnya emboli di dalam hati. Ini juga digunakan untuk mencari kelainan fungsi jantung yang dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah di dalam bilik jantung.. TTEs juga digunakan untuk menyelidiki apakah gumpalan darah dari kaki dapat melakukan perjalanan melalui hati dan mencapai otak. Leg Ultrasound Dokter biasanya melakukan tes pada penderita stroke didiagnosis dengan foramen ovale paten. pengujian menggunakan gelombang suara untuk mencari bekuan darah di pembuluh darah dalam kaki, yang juga dikenal sebagai trombosis vena dalam atau DVTs. DVTs dapat menyebabkan stroke dengan membuat sebuah perjalanan panjang yang berakhir di otak.. Pertama, sebuah fragmen kecil dari DVT istirahat off dan perjalanan ke jantung melalui sirkulasi venaSetelah di jantung bekuan darah salib dari sisi kanan ke sisi kiri jantung melalui PFO, di mana ia didorong keluar melalui aorta dan carotids terhadap otak, di mana ia dapat menyebabkan stroke.

13

VI. HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN (Dipiro et al, 2008) Tujuan pengobatan stroke akut adalah 1. Mengurangi luka sistem syaraf yang sedang berlangsung dan menurunkan kematian dan cacat jangka panjang. 2. Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem syaraf. 3. Mencegah berulangnya stroke. VII. PENANGANAN Terapi nonfarmakologi (Dipiro et al, 2008) Pada stroke iskemia akut, penanganan melalui jalan operasi terbatas. Operasi dekompresi dapat menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan signifikan yang berhubungan dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penanganan stroke yang mencakup rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid dapat efektif dalam pengurangan resiko stroke berulang pada pasien komplikasi beresiko tinggi selaam endarterektomi. Pendarahan intrakranial atau subarakhnoid cacat disebabkan oleh rusaknya aneurisme atau arteriintravena, operasi untuk memotong

memindahkan pembuluh darah yang abnormal, penting untuk mengurangi kematian dari pendarahan. Keuntungan operasi tidak didokumentasikan dengan baik dalam kasus pendarahan intraserebral primer. Pada pasien hematomas intraserebral, insersi pada saluran pembuluh darah dengan pemantauan atau tekanan intrakranial umum dilakukan. Operasi dekompresi hematoma masih diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancamnya hidup. Terapi farmakologi Stroke iskemia American Stroke Association mempublikasikan pedoman dalam penanganan kasus stroke iskemia. Secara umum ada 2 jenis obat yang direkomendasikan yaitu tPA intravena pada 3 jam onset stroke dan aspirin pada 48 jam onset.

14

Telah ditunjukkan bahwa pemberian lebih awal (<3 jam) tPA intravena dapat menurunkan resiko cacat yang disebabkan oleh stroke iskemia. Secara ringkas esensi dari protokol penanganan stroke iskemia adalah sebagai berikut : 1. Ditangani oleh suatu tim 2. Onset gejala adalah 3 jam 3. CT scan untuk pengecualian terhadap stroke hemoragi 4. Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (tabel 2) 5. Diberikan tPA 0,9 mg/kg sampai satu jam setelah bolus 10% dosis total diberikan sampai 1 menit. 6. Terapi antikoagulan dan antiplatelet seharusnya dihindari selama 24 jam 7. Pemantauan lebih dekat lagi terhadap pendarahan Terapi aspirin lebih awal juga menunjukkan penurunan resiko kematian dan cacat tetapi tidak boleh diberikan selama 24 jam dari waktu pemberian tPA karena dapat meningkatkan resiko pendarahan pada setiap pasien. Telah diketahui bahwa terapi antiplatelet adalah dasar dari terapi antitrombotik untuk pencegahan sekunder stroke iskemia, dan sebaiknya digunakan pada stroke nonkardioembolik. Terdapat tiga obat yang sekarang ini digunakan yaitu aspirin klopidogrel, kombinasi dipiradamol dan aspirin yang dipertimbangkan sebagai antiplatelet pilihan pertama oleh ACCP (American College of Chest Physicians). Pada pasien yang mengalami fibrilisasi atrial dan kemungkinan adanya embolik, warfarin adalah antitrombotik pilihan pertama. Farmakoterapi lainnya merekomendasikan untuk pencegahan sekunder terjadinya stroke meliputi penurunan tekanan darah dan terapi statin. Saat ini rekomendasi untuk terapi akut dan pencegahan sekunder penyakit stroke tercantum pada tabel 2 Mengenali dan merespon dengan segera gejala stroke adalah sangat penting untuk memperoleh hasil terapii yang optimal. Segera setelah gejala stroke itu dikenali, sistem penanganan emergensi harus dilakukan. Dalam hal ini harus dapat dibedakan antara gejala stroke dengan gangguan lainnya, hipertensi enselopati, hipoglikemi, komplikasi, migren (Koda-kimble et al, 2009).

15

Tabel 1. Farmakoterapi yang dianjurkan untuk stroke iskemik

Terapi pendukung yang umum diperlukan untuk pasien di rumah sakit. Beberapa masalah adalah penting untuk penanganan yang tepat terhadap stroke. Perhatian khusus perlu diberikan pada pengontrolan cairan dan elektrolit. Terlalu berlebihan dalam hidrasi atau kurangnya suplementasi natrium dapat menyebabkan hiponatremia, dengan demikian memaksa cairan masuk ke dalam neuron dan kemudian dapat meningkatkan kerusakan pada iskemia. Jadi sebaiknya dilakukan terapi cairan dengan menggunakan larutan yang mengandung minimal 0,45% saline dan yang paling disukai adalah 0,9% saline (Koda-kimble et al, 2009). Perhatian terhadap temperatur tubuh juga harus diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kecil temperatur tubuh berhubungan dengan semakin memburuknya keadaan. Hipotermia adalah neuroprotektif dan beberapa penelitian mengindikasikan bahwa menrunkan suhu tubuh 0,26F memberikan manfaat pada pasien stroke. Penggunaan antipiretik seperti asetaminofen disarankan untuk menormalkan suhu tubuh (Koda-kimble et al, 2009). Parameter metabolik yang lain yang harus diperhatikan adalah kadar gula darah, karena hiperglikemi memberikan efek yang buruk terhadap kondisi infark

16

iskemia. Jika hiperglikemia dideteksi, terapi insulin yang tepat harus dilakukan untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah <140 mg/dl tanpa menyebabkan hipoglikemik (Koda-kimble et al, 2009). Dalam mengatur tekanan darah pasien harus dilakukan hati-hati. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat membahayakan aliran darah ke otak dan memperluas daerah yang mengalami iskemia dan infark. Sedangkan hipertensi dapat menempatkan pasien pada resiko yang besar untuk terjadinya hemoragik khususnya jika digunakan zat trombolitik. Untuk pasien dengan tekanan sistol >185 mmHg atau tekanan diastol >110 mmHg yang akan diberikan fibrinolitik intravena, labetalol, tempelan nitrogliserin dan nikardipin intravena seharusnya diberikan untuk menurunkan tekanan darah. Hal ini merupakan tujuan yang tepat untuk memulai terapi tPA. Setelah pemeberian tPA, tekanan darah harus dijaga di bawah 180/105 mmHg. Terjadi penrunan fungsi neurologi berhubungan dengan penurunan tekanan darah, kecepatan infus antihipertensi diturunkan atau bila perlu obat tidak dilanjutkan. Terapi antihipertensi dapat dilakukan kembali dengan menggunakan obat oral seperti antagonis kanal kalsium atau ACE inhibitor (Koda-kimble et al, 2009).
Tabel 2. Kriteria inklusi dan ekslusi pada pemberian altaplase

17

Onset of stroke-like symtomps Activate emergency medical system Symtomps not consistent with stroke Initiate appropriate therapy and transport to emergensy department for further evaluation

Symtomps consistent with stroke

Initiate respiratory and cardiovascular support and transport immediately to the emergensy department for further care

Emergensy department assessment History of symtomp onset Neurogical examination Physical examination CT or MRI scan of head Assessment with NIH Stroke Scale Appropriate laboratory test Ischemic Stroke Symtomp onset longer than 3 hours

Hemorrhagic Stroke

Subarachnoid hemorrage

Other Hemorrhagic strokes

Symtomp onset within 3 hours

Surgical clipping of aneurysm Initiate appropriate therapy to prevent rebleeding delayed vasospasm, hydrocephalus, and zeizures Plan for rehabilitation

Control blood pressure Provide appropriate supportive and preventive care Plan for rehabilitation

Meets NIH criteria for thrombolytic therapy

Give aspirin 325 mg in 24-48 hours

Provide appropriate supportive and preventive care

Yes

No

Plan for rehabilitation Give aspirin 325 mg in 24-48 hours

Maintain blood pressure <180/110 mmHg Initiate tPA according to NIH protocol Begin antiplatelet therapy 24-48 hours after tPA Provide appropriate supportive and preventive care Plan for rehabilitation

Provide appropriate supportive and preventive care

Plan for rehabilitation

Gambar 4. Logaritma terapi stroke

18

Terapi trombolitik Alteplase Alteplase adalah trombolitik (fibrinolitik) intra vena yang diterima untuk penanganan stroke akut pada tahun 1996 berdasarkan National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS). Pedoman American Stroke Association memasukkan alteplase dalam penanganan stroke iskemia akut yang disetujui oleh FDA dan sangat dianjurkan bila diagnosis telah dilakukan lebih awal. Alteplase adalah efektif dalam membatasi perluasan infark dan melindungi jaringan otak dari iskemia dan kematian sel dengan merestorasi aliran darah. Pemberian antiplatelet, antikoagulan, pemasangan NGT harus dihindari selama 24 jam setelah infus alteplase untuk mencegah komplikasi pendarahan. Pemasangan kateter seharusnya dihindari selama 30 menit setelah pemberian infus. Efek samping yang paling umum dari penggunaan antitrombotik adalah pendarahan meliputi hemoragik intraserebral dan pendarahan sistemik. Perubahan status mental dan sakit kepala yang berat yang dapat mengindikasikan hemoragik intraserebral. Sterptokinase Streptokinase tidak diindikasikan untuk penggunaan dalam terapi iskemia akut. Berdasarkan evaluasi streptokinase telah dihentikan karena tingginya insiden hemoragik pada pasien yang diberi streptokinase. Saat ini tidak ada indikasi untuk penggunaan streptokinase dan trombolitik lain dari pada alteplase pada penanganan stroke iskemia akut. Intraarterial Trombrolitik Intraarterial trombolitik dapat meningkatkan hasil terapi pasien stroke iskemia yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh besar. Karena hanya terbatas pada trombolisis intraarterial pedoman saat ini merekomendasikan penanganan dengan alteplase intravena pada pasien yang memenuhi kriteria tidak perlu ditunda menunggu trombolisis intraarterial (Chisholm-burns et al, 2008).

19

Heparin Heparin biasanya digunakan pada terapi stroke akut. Akan tetapi tidak ada percobaan yang cukup untuk memastikan efikasi dan keamanannya. Pedoman penanganan stroke iskemia akut saat ini tidak merekomendasikan antikoagulan pada keadaan gawat dengan heparin atau heparin bobot molekul rendah karena kurangnya bukti yang menguntungkan pada peningkatan fungsi neurologik dan karena resiko terjadinya pendarahan. Heparin dapat mencegah berulangnya stroke pada pasien dengan atherotrombosis pembuluh darah besar atau stroke kardioembolik. Akan tetapi perlu dilakukan penenlitian lebih lanjut. Komplikasi umum dari heparin meliputi perubahan dari stroke iskemia ke stroke hemoragik, pendarahan dan trombositopenia (Chisholm-burns et al, 2008). Aspirin Aspirin pada kasus stroke iskemia akut telah diteliti oleh International Stroke Trial dan Chinese Acute Stroke Trial. Pasien yang menerima aspirin tidak lebih 24-48 jam dari onset gejala kurang mengalami berulangnya stroke lebih awal, kematian dan cacat. Terapi lebih awal dengan aspirin tidak lebih dari 24-48 jam setelah onset gejala harus dilanjutkan selama paling kurang 2 minggu (Chisholm-burns et al, 2008). Pencegahan sekunder Aspirin secara khusus dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada pencegahan sekunder untuk stroke iskemia dan menurunkan resiko stroke di kemudian hari pada 25% pria dan wanita yang mengalami TIA atau stroke sebelumnya. Aspirin salut enterik 325 mg perhari adalah dosis yang paling umum digunakan dan telah direkomendasikan. FDA telah menerima dosis 50-325 mg untuk pencegahan stroke iskemia sekunder. Pada kasus dimana terjadi kegagalan terapi dengan aspirin, peningkatan dosis aspirin atau menggantinya dengan klopidogrel, atau kombinasi pelepasan diperluas klopidogrel dengan aspirin. Klopidogrel adalah alternatif yang sesuai jika aspirin tidak dapat ditolerir.

20

Warfarin belum cukup diteliti pada kasus stroke nonkardioembolik, tetapi sering direkomendasikan setelah pemberian antiplatelet gagal. Secara umum pasien tanpa atrial fibrilasi terapi antiplatelet lebih direkomendasikan daripada warfarin. Pada pasien dengan atrial fibrilasi, antikoagulasi jangka panjang dengan warfarin direkomendasikan dan efektif baik untuk pencegahan primer maupun sekunder (Chisholm-burns et al, 2008). Tiklopidin akan dicadangkan untuk pasien yang gagal atau tidak dapat menerima terapi lain karena efek sampingnya (neutropenia, anemia aplastik, purpura trombositopenia trombosis, ruam, diare, hiperkolesterolemia) (Sukandar dkk, 2009) Stroke hemoragik Saat ini belum tersedia standar farmakologi untuk menangani hemoragik intraserebral. Penggunaan zat hemostatik pada kasus hiperakut (< 4 jam) dapat mencegah perluasan hematoma tetapi tidak meningkatkan hasil terapi. Pedoman pengobatan untuk mengatur tekanan darah, peningkatan tekanan intrakranial dan pengobatan komplikasi intraserebral hemoragik oleh dibutuhkan rusaknya untuk penatalaksanaan penyakit akut pasien di unit pelayanan neurointensif. Pendarahan subarakhnoid disebabkan anerusime berhubungan dengan kejadian iskemia serebral yang tertunda dalam dua minggu setelahterjadinya pendarahan. Vasospasmus vaskulatur serebral adalh yang bertanggung jawab untuk iskemia tertunda dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah pendarahan. Bloker kanal kalsium nimopidine dianjurkan untuk mengurangi kejadian dan keparahan penurunan neurologi efek dari iskemia tertunda. Nimodipine 60 mg setiap 4 jam seharusnya diawali dengan diagnosis dan berkelanjutan untuk 21 hari pada semua pasien pendarahan subarakhnoid. Jika hipotensi terjadi, dosis dikurangi hingga30 mg setaip 4 jam sementara itu volume intravaskuler dipertahankan (Sukandar dkk, 2009).

21

VIII. EVALUASI HASIL TERAPI (Dipiro et al, 2008) Pasien stroke akut seharusnya dipantau secara ketat terhadap kemungkinan peningkatan keparahan neurologi, komplikasi tromboemboli atau infeksi, dan efek samping dari pengaruh farmakologi atau non-farmakologi. Pertimbangan umum lainnya untuk pasien stroke meliputi 1. Perluasan kerusakan pada otak (iskemia atau hemoragik) 2. Timbulnya edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial 3. Hipertensi yang darurat 4. Infeksi (sistem urin dan pernapasan) 5. Tromboembolisme vena 6. Elektrolit yang abnormal dan gangguan ritme jantung 7. Berulangnya stroke
Tabel 2. Pemantauan pasien stroke

IX. CONTOH KASUS DAN SOLUSINYA (Dodds, 2010) Skenario hari pertama Bapak DF, 62 tahun, dibawa ke rumah sakit setelah collaps dan mengalami hilang kesadaran singkat 3 jam sebelumnya. Saat masuk ia dalam keadaan sadar. Dia telah kehilangan kemampuan gerak pada kedua lengan kirinya dan kaki. Tekanan darahnya 160/100 mmHg.

22

Riwayat medisnya memiliki hipertensi, di mana dia telah diberikan bendroflumethiazide 2,5 mg setiap hari selama 6 tahun. Dia juga telah diberikan carbamazepine 400 mg dua kali sehari selama 10 tahun untuk epilepsi. Dia tinggal di rumah dengan istrinya, dan merokok 15 batang per hari dan kadang-kadang mengkonsumsi alkohol. Hasil uji serum biokimianya adalah: o Natrium 137 mmol/l (normalnya kisaran 135-145) o Urea 4,7 mmol/l (2,5-7,0) o Kalium 4.9 mmol/l (3,5-5,0) o Kreatinin 95 mikromol/l (50-130) Diagnosis stroke iskemik sudah dilakukan. Bapak DF diresepkan aspirin 300 mg secara oral dan dirujuk ke Unit Stroke Akut. A Computed Tomography (CT) scan telah dilakukan. Pertanyaan untuk didiskusikan 1. Apakah faktor resiko yang dimiliki Bapak DF terhadap perkembangan strokenya? 2. Alasan apa yang mendasari dilakukannya CT scan? 3. Kapan aspirin dapat diberikan, dan berapakah dosisnya? 4. Haruskah Bapak DF diresepkan profilaksis terhadap ulserasi lambung? 5. Adakah golongan obat lain, selain aspirin, yang telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan stroke iskemia? 6. Apakah Bapak DF dapat direkomendasikan untuk menggunakan obat golongan trombolitik? 7. Bagaimana jika terapi karbamazepin dihentikan? 8. Bagaimana seharusnya penanganan hipertensi Bapak DF? Skenario hari ke 3 Bapak DF masih mengalami hilangnya gerakan dan nyeri di lengan kirinya dan kaki. Dia juga mengalami kesulitan menelan, dan dianjurkan untuk mengikuti fisioterapi, terapi bicara dan bahasa dan ahli diet. Sebuah tabung nasogastrik dimasukkan

23

Pertanyaan untuk didiskusikan 9. Bagaimana rencana pelayanan kefarmasian untuk Bapak DF? 10. Bagaimana penanganan terhadap rasa nyerinya? 11. Adakah masalah yang terjadi saat pemberian obat Bapak DF melalui NGT? 12. Nasihat apa yang akan dapat diberikan kepada perawat untuk mengatasi masalah tersebut? Skenario hari ke 9 Bapak DF dipindahkan ke bangsal rehabilitasi. Tekanan darahnya adalah 150/100 mmHg dan oleh karena itu ia diberikan perindopril 2 mg per hari. Kadar kolesterolnya adalah 5,2 mmol /l. Pertanyaan untuk didiskusikan 13. Bagaimana rasionalitas penggunaan angiotensin-converting enzim inhibitor (ACEI)? 14. Apakah statin dapat diresepkan untuk Bapak DF? Solusi 1. Hipertensi, merokok dan jenis kelamin Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk stroke. Data uji coba saat ini menunjukkan bahwa menurunkan tekanan darah dengan 56 mmHg diastolik dan 1012 mmHg sistolik selama 23 tahun dapat mengurangi risiko stroke tahunan dari 7% menjadi 4,8%. Merokok meningkatkan risiko stroke sekitar 50%, dan laki-laki 2530% lebih mungkin untuk mengalami stroke daripada wanita. Faktor resiko lainnya adalah alkohol yang dikonsumsinya 2. Untuk membedakan antara stroke iskemia dan hemoragik Sekitar 85% dari stroke adalah hasil dari suatu infark di otak (iskemik), 15% sisanya merupakan akibat perdarahan intraserebral atau perdarahan subarakhnoid (hemoragik). Stroke harus dipastikan nonhemoragik sebelum pemberian resep trombolitik atau antikoagulan 3. Aspirin 150300 mg oral harus diberikan dalam kurun waktu 48 jam

24

Alasan untuk pengobatan aspirin dalam fase akut stroke iskemik adalah untuk mencegah oklusi lebih lanjut terhadap suplai darah ke wilayah sekitar jaringan otak. Dosis 150-300 mg aspirin harus diberikan sesegera mungkin setelah timbulnya gejala stroke jika diagnosis perdarahan dianggap tidak mungkin. 4. Tidak perlu Bapak DF tidak memiliki riwayat penyakit ulkus peptikum.Timbulnya pendarahan pada pencernaan utama oleh aspirin, pada dosis yang digunakan untuk perlindungan kardiovaskular, adalah 2-3%. Jika profilaksis diperlukan, dosis pemeliharaan inhibitor pompa proton (PPI) dapat ditentukan, misalnya lansoprazole 15 mg per hari. Saat ini pedoman NICE merekomendasikan penggunaan terapi PPI dosis rendah untuk pasien dengan riwayat ulkus tapi tidak bagi mereka dengan riwayat dispepsia. 5. Ada yaitu golongan trombolitik Alasan di balik penggunaan Trombolitik dalam fase akut stroke iskemik adalah mempercepat reperfusi dari daerah yang terkena di otak. Sejumlah uji klinis multisentra dalam beberapa tahun terakhir (misalnya NINDS, ECASS-I, ECASS-II, Atlantis-A dan B, CASES dan SITS-MOST) telah menunjukkan manfaat yang signifikan dari alteplase, terutama bila diberikan dalam waktu 3 jam onset gejala stroke. Namun, penggunaan trombolisis dalam pengobatan stroke iskemik akut tergantung pada pasien mencapai rumah sakit sesegera mungkin, dan ketersediaan CT scan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. 6. Tidak Bapak DF tiba di rumah sakit 3 jam setelah timbulnya gejala-gejala itu. Pedoman Klinis Nasional Royal College of Physician untuk negara Stroke bahwa pengobatan trombolitik dengan aktivator plasminogen jaringan (tPA = tissue Plasminogen activator) hanya perlu diberikan jika kriteria berikut ini terpenuhi: tPA diberikan dalam waktu 3 jam sejak timbulnya gejala stroke, di mana telah dipastikan adanya pengecualian terhadap perdarahan (oleh CT scan); dan pasien berada di sebuah pusat spesialis dengan pengalaman yang tepat dan keahlian dalam menggunakan trombolitik. Hasil sebauh penelitian, mendukung fakta bahwa alteplase memang memiliki beberapa keuntungan

25

terlihat dalam 3-4,5 jam paska-stroke (walaupun kurang menguntungkan terlihat dalam 0-3 jam). Namun, akibat dari penggunaan lebih dari 3 jam setelah stroke berada di luar lisensi produk ini 7. Tidak, karbamazepin tetap dilanjutkan Kejang dapat terjadi sampai dengan 20% pasien stroke dan karena adanya riwayat epilepsi. Bapak DF harus melanjutkan terapi karbamazepinnya pada dosis yang sama. 8. Bapak DF harus tetap diberikan bendroflumethiazidenya. Seharusnya tidak ada upaya lebih lanjut untuk mengurangi tekanan darah pada stroke fase akut-nya, kecuali hipertensi itu terus meningkat. Perhatian harus dilakukan dalam mengendalikan tekanan darah akut Bapak DF, karena mengurangi tekanan darah terlalu cepat maka akan memperparah iskemia dan memperluas daerah iskemia dan infark, sedangkan hipertensi akan meningkatkan resiko pendarahan otak, terutama jika agen trombolitik digunakan. Oleh karena itu, manipulasi tekanan darah hanya disarankan pada stroke akut di mana adanya darurat hipertensi. 9. Pelayanan kefarmasian yang dapat diberikan meliputi Terapi antiplatelet o Memastikan obat antiplatelet tetap dilanjutkan. o Monitor untuk tanda-tanda iritasi lambung. Disfagia o Formulasi alternatif disesuaikan dengan NGT. o Periksa pemilihan waktu pemberian obat jika menggunakan makanan enteral Hipertensi o Pemantauan tekanan darah. o Target tekanan darah optimal (dalam fase rehabilitasi) untuk pasien dengan penyakit kardiovaskuler dipertahankan adalah 130/80 mmHg140/90 mmHg. o Jangan menambah dosis atau resep dosis baru antihipertensi sampai

26

setidaknya 7 hari 10. Jika rasa nyeri hemiplegik sangat menganggu, dosis rendah amitriptiline dapat diresepkan. Hal ini sangat penting bahwa penyebab yang benar dari rasa sakit yang didiagnosis. Penyebab masalah lain yang mungkin pada anggota tubuh pascastroke ialah ketegangan otot, kekejangan. Sehingga obat lain yang tepat, seperti parasetamol, baclofen atau injeksi intra-artikular, dapat ditentukan untuk masing-masing masalah ini. Jika rasa sakit yang sentral, dosis rendah amitriptiline, misalnya 25 mg pada malam hari, dapat diresepkan. Ini harus dititrasi di 25 interval mg setiap minggu, sesuai dengan respon. Pasien harus dipantau ketat untuk setiap tanda-tanda penekanan sistem saraf pusat (SSP), dan terapi tidak boleh dimulai lagi sampai pasien secara medis stabil. 11. Suspensi karbamazepin dapat melekat dalam tabung dan bereaksi dengan makanan enteral hal ini mempengaruhi bioavailabilitasnya 12. Pemberian makanan harus dihentikan paling kurang 1 jam sebelum pemberian obat. Suspensi karbamazepin harus diencerkan dengan 3060 ml air. NGT dibilas dengan air dalam jumlah yang sama setelah pemberian obat. Makanan enteral tidak boleh dimulai kembali hingga 2 jam setelah pemberian. 13. Pemberian ACEI adalah untuk mengurangi resiko stroke lebih lanjut. Dalam studi progres kombinasi ACEI (perindropil) dan diuretik thiazid menghasilkan penurunan resiko stroke 43% dibanding plasebo baik pada penderita hipertensi maupun nonhipertensi. Bapak DF sudah diterapi dengan bendroflumetazid dan ternyata masih mengalami hipertensi pada hari ke 9 sehingga diputuskan untuk penambahan perindropil 2 mg setiap hari. Masih menjadi perdebatan apakah penurunan resiko stroke dalam percobaan adalah efek dari obat kelas ini atau hanya sekedar menurunkan tekanan darah. Pada sudi yang dilakukan HOPE, ramipril menurunkan resiko stroke 33% pada pasien dengan penyakit vaskular. 14. Ya. Physicians Stroke Guidelines menetapkan bahwa statin harus dipertimbangkan untuk semua pasien dengan kolesterol total serum >3,5 mmol/l pada kasus

27

stroke. Pernyataan ini didukung oleh hasil dari Heart Protection Study, di mana simvastatin 40 mg sehari menyebabkan pengurangan risiko relatif sekitar seperempat di semua kelompok pasien, terlepas dari kadar kolesterol serum dasar mereka.

28

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Cermin Dunia Kedokteran National Scientific Meeting on Stroke, Neurosonology, Neuroimaging, Neurointervention dan Indonesian Neurological Association, Asean Stroke Advisory Panel (ASAP) Meeting Grup PT Kalbe Farma. Jakarta. Chisholm-Burns, M.A., Wells B.G., Schwinghammer, T.L., Malone P.M., Kolesar J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy Principle and Practice. McGraw-Hill Companies, USA. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 7th Edition. McGrawHill Companies, USA. Dodds, L.J. 2010. Drug in Use, Clinical Case Studies for Pharmacists. 4th Edition. Pharmaceutical Press, London. Koda-Kimble, M.A., Young, L.Y., Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Guglielmo, B.J., Kradjan, W.A., Williams, B.R. 2009. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs. 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins, USA. Silvermen, I.E., Rymer, M.M. 2009. Ischemic Stroke An Atlas of Investigation and Treatment. Clinical Publishing, USA. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi A.P., Kusnandar. 2009. Iso Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan, Jakarta

29

Anda mungkin juga menyukai