mereka memang salah, tapi mungkin benar. Ini pula yang disebut sebagai collective intelligence. Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan kebenaran objektif atau sebenarnya ada obsesi jiwa tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk ngotot? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah obsesi jiwa kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun karena faktor ego kita mengatakannya demikian. Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan nafsu ego. Sebab, itu adalah jebakan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, musyawarah pun membela hal yang sama. Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita. Disinilah kita melihat karena ego pribadi masih mendominasi, collective intelligence menjadi sulit terwujud.