Anda di halaman 1dari 2

Nama : Seno Pujiamukti NPM : 16110447

Mengelola Ketidaksetujuan Hasil Rapat


Pada satu kesempatan seorang teman menyampaikan komentar terhadap hasil rapat siang itu, saya kurang puas dengan kesepakatan rapat ini, atau kita sering mendengar ungkapan seorang kawan, ide saya ko ga dimasukan dalam keputusan rapat, saya ga sepakat dengan hasil rapat ini dan lain sebagainya. Ungkapan atau curhat-an diatas sering kita dengar dari rekan atau peserta rapat. Bukankah tim Obama juga disebut sebagai too many brains team, tetapi tetap diritik dalam pengambilan keputusan. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil musyawarah? Bagaimana mengelola ketidaksetujuan itu? Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan aktivitas kerja dan organisasi, dimana saja dan kapan pun bisa terjadi. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk. Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam aktivitas pekerjaan dan organisasi dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan/pengalaman kerja yang berbeda. Walaupun budaya kerja, pelatihan dan interaksi pekerjaan berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai karyawan dengan meletakkan prinsip-prinsip dan etika kerja yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan organisasi tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan. Di sinilah kita memperoleh pengalaman collective intelligence yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan yang paling berat di sepanjang jalan perjalanan kerja dan organisasi dan dalam keseluruhan pengalaman kita sebagai peserta rapat atau pemimpin. Banyak pula yang berguguran dari proses dan interaksi pekerjaan dalam satu organisasi, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil musyawarah. Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani pengalaman collective intelligence seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu upaya ilmiah seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar lintasan pikiran yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung. Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam sesi brainstorming musyawarah. Itu kebiasaan yang buruk dalam musyawarah. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para peserta rapat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh. Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar bersabar. Karena, salah satu kaidah yang dipegang dalam rapat adalah, Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat

mereka memang salah, tapi mungkin benar. Ini pula yang disebut sebagai collective intelligence. Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan kebenaran objektif atau sebenarnya ada obsesi jiwa tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk ngotot? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah obsesi jiwa kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun karena faktor ego kita mengatakannya demikian. Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan nafsu ego. Sebab, itu adalah jebakan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, musyawarah pun membela hal yang sama. Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita. Disinilah kita melihat karena ego pribadi masih mendominasi, collective intelligence menjadi sulit terwujud.

Anda mungkin juga menyukai