Anda di halaman 1dari 4

Matinya Keindonesiaan Kita - KOMPAS.

com

http://nasional.kompas.com/read/2011/02/10/15055853/Matinya.Keindon...

Ery Prayoga mengomentari artikel KOMPAS bola - Skuad Inggris Diumumkan Tanpa Nama Ferdinand

Selamat Datang Register | Login

KOMPAS.com

Cetak

ePaper

Kompas TV

Bola

Entertainment

Tekno

Otomotif

Female

Health

Properti

Kamis, 17 Mei 2012 | 07:51 WIB

Home

Nasional

Regional

Internasional

Megapolitan

Bisnis

Olahraga

Sains

Travel

Oase

Edukasi

Infografis

Video

More

Kembali ke Index Topik Pilihan


Opini

Matinya Keindonesiaan Kita


| Heru Margianto | Kamis, 10 Februari 2011 | 15:05 WIB Like Be the first of your friends to like this. Dibaca: 151 Share: Komentar: 14

Nasional
KOMPAS/DIDIE SW

Terpopuler

Terkomentari Selengkapnya

KIKI SYAHNAKRI Fenomena maraknya kembali tindak kekerasan mencuatkan pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan Republik tercinta ini? Kasus kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, yang mengakibatkan tewasnya tiga warga Ahmadiyah dan sejumlah lainnya luka-luka, serta insiden di Pengadilan Negeri Temanggung yang dilatari kasus dugaan penistaan agama -yang berujung pada pembakaran dua gereja serta sejumlah sekolah- mencerminkan rapuhnya soliditas nasional dan rentannya negeri kita terhadap konflik. Kedua insiden tersebut memancing reaksi berbagai kalangan, antara lain yang meminta agar kaum ulama lebih serius membina umat. Ada yang menuding lemahnya penegakan hukum dan lambannya aparat sebagai soal utama. Bahkan, beredar pula dugaan yang lebih bersifat rumor dan agak tendensius. Misalnya, bahwa ini adalah metode pengalihan isu yang dilakukan pemerintahan SBY, atau cara yang dipakai TNI untuk menggoyang SBY, atau wujud balasan terhadap para tokoh agama yang menilai pemerintah berbohong. Memang analisis yang cenderung liar ini menjadi seolah logis, mengingat banyak kasus raksasa yang belum terselesaikan, bahkan dipolitisasi. Namun, tuduhan serta rumor tersebut sulit dibuktikan. TNI pun sudah cukup jauh dalam reformasi internalnya, konsisten sebagai bayangkari NKRI, dan tidak lagi akrab dengan intrik politik sehingga mustahil melakukan hal seperti itu. Dengan demikian, kita perlu menggali lebih dalam untuk menemukan akar masalah sesungguhnya. Jika

BAKN: Kami Tidak Gunakan Uang Negara... Beda, "Whistle Blower" dan... Indonesia Termasuk Paling Aktif Menjaga... SBY: Tingkatkan Toleransi Antarumat... Pengunggah Foto Palsu Minta Maaf

Selengkapnya

Parasut Itu Ada, Kenapa Laporan Anggota... Eva Sundari: Polisi Tunduk kepada Ormas Inilah Kronologi Penemuan Kotak Hitam 7 Tanda Bahaya Masturbasi Inikah Tampang Asli dari iPhone 5?

Selengkapnya

Butet Kertaradjasa dan Nada Sumbang...

1 of 4

5/17/2012 8:20 AM

Matinya Keindonesiaan Kita - KOMPAS.com

http://nasional.kompas.com/read/2011/02/10/15055853/Matinya.Keindon...

Ery Prayoga mengomentari artikel KOMPAS bola - Skuad Inggris Diumumkan Tanpa Nama Ferdinand tokoh agama telah melakukan pembinaan umat dengan serius, aparat telah bertindak cerdas, tegas, dan cepat, tetapi persoalan serupa akan muncul kembali selama akar utamanya tidak dicabut.

Selamat Datang Register | Login Rektor Pancasila: Kami Merasa Ditantang

Masalah fundamental Hemat penulis, akar pokok problematika keindonesiaan saat ini bercabang tiga. Pertama, telah dipaksakan suatu transplantasi (demokrasi) liberal di negeri ini. Dengan demikian, kita telah membunuh gen keindonesiaan yang mengalir dalam darah kebangsaan kita. Golongan darah kita adalah Pancasila yang mengandung gen kolektivisme (ala Indonesia) berisi nilai kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi. Sementara kita transplantasikan demokrasi liberal yang golongan darahnya individualisme, terlebih disertai dengan kebebasan yang nyaris tanpa batas sehingga melunturkan jati diri bangsa dan spirit nasionalisme, menggoyahkan persatuan dan kerukunan, serta mengebiri kedaulatan negara. Karena transplantasi yang tidak sesuai dengan golongan darah sendiri tersebut, tubuh bangsa kita pun bersikap reaktif dan menjadi lemah daya tahannya, menimbulkan berbagai patologi sosial, serta problematika bangsa yang kompleks. Dari segi politik, sistem politik yang ultraliberal, menggunakan voting, pemilihan langsung, seraya membuang sistem permusyawaratan perwakilan yang sesungguhnya menjadi basis kulturalis bangsa Indonesia. Bung Hatta menegaskan bahwa Prinsip demokrasi adalah keterwakilan yang mengedepankan egalitarianisme, sementara praktik demokrasi liberal yang mengusung keterpilihan dewasa ini justru membunuh prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Amungme, Dani, Baduy, Anak Dalam, dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara ditunjuk, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight). Keterwakilan juga merupakan perekat bagi bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Dengan tidak terwakilinya berbagai suku dan golongan di parlemen, ikatan kebangsaan pun menjadi longgar. Seiring dengan watak liberalisme, kebebasan pun berkembang nyaris tanpa batas sehingga masyarakat bisa berbuat apa saja. Partai politik tumbuh bagaikan jamur, otonomi daerah dengan semangat pemekaran nyaris tidak terkontrol, feodalisme meningkat, dan nafsu berburu kekuasaan tumbuh subur pada semua lapisan masyarakat. Akibatnya, rekrutmen kepemimpinan lewat pemilu atau pilkada justru hanya menghasilkan pemimpin yang umumnya karbitan, tidak berkarakter, tidak berkompetensi, serta korup. Sebaliknya, telah mewabah di kalangan para elite politik sikap machiavellian, kolusi, nepotisme, dan politik uang. Dari optik ekonomi, implementasi pasar bebas membuat perekonomian nasional nyaris dikuasai asing, gelombang privatisasi terjadi tanpa kendali, kedaulatan ekonomi terampas oleh kaum kapitalis, industri nasional pun rontok karena kalah bersaing. Pada ranah hukum kita menyaksikan tumpang tindihnya fungsi institusi penegak hukum, maraknya mafia dan perdagangan hukum, politisasi hukum, serta terbengkalainya beberapa kasus besar pelanggaran hukum. Ujungnya bermuara pada aspek budaya yang mencuatkan perilaku individualisme; materialisme; hedonisme; konsumtivisme; korupsi, kolusi, nepotisme (KKN); fanatisme sempit; fundamentalisme; radikalisme serta anarkisme; bahkan terorisme. Posisi TNI Kedua, pemisahan diametral-absolut antara fungsi pertahanan dan keamanan. TNI diposisikan hanya mengamankan negara terhadap ancaman dari luar, sementara segala persoalan keamanan domestik diserahkan kepada Polri tanpa memperhitungkan kompleksitas persoalan keamanan nasional yang penanganannya tidak mungkin dipikul Polri sendirian, bahkan dengan dibantu TNI sekalipun, karena pada hakikatnya pembinaan dan penyelesaian masalah keamanan nasional membutuhkan penanganan terpadu. Saat ini, kalaupun TNI dapat membantu Polri dalam konteks perbantuan, prosedurnya tidak mudah, rumit, dan memerlukan waktu. Sementara dinamika di lapangan yang eskalatif destruktif memerlukan tindakan cepat, segera, dan tuntas. Terkait kerusuhan di Cikeusik, Presiden SBY lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto telah memerintahkan Polri mencari dan mengungkap tuntas kekerasan tersebut (Kompas, 7/2). Persoalannya, masalah ini bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga telah mengakar pada masalah budaya. Keran kebebasan yang dibuka oleh liberalisme telah membuat latar belakang tindak kekerasan tersebut menjadi sangat variatif sehingga Polri yang secara fungsional hanya bekerja pada ranah penegakan

Indonesia Termasuk Paling Aktif Menjaga... Tevez: Jangan Harap Maaf Dariku, Fergie!

Ahok Kritik Manipulasi Anggaran Pendidikan

Biem Benjamin: Proses Politik Masih Diskriminatif

SELENGKAPNYA

Nathalina Naibaho shared Orientasi Gerakan Buruh. about 2 weeks ago Misteri Jatuhnya AdamAir di Majene Terjawab 141 people recommend this. Sejumlah Oknum Polisi di Kupang Diduga Jadi Gigolo 330 people recommend this. Anas Bungkam soal Gantung Diri di Monas 361 people recommend this.

Facebook social plugin

Media Asing Angkat Tema FPI Kerahkan... Tsunami Aceh Rekayasa Amerika Video Guru Remas Payudara Siswi SMA!! Kotak Hitam Ditemukan 100 Meter dari...

Connect To facebook

2 of 4

5/17/2012 8:20 AM

Matinya Keindonesiaan Kita - KOMPAS.com

http://nasional.kompas.com/read/2011/02/10/15055853/Matinya.Keindon...

Ery Prayoga mengomentari artikel KOMPAS bola - Skuad Inggris Diumumkan Tanpa Nama Ferdinand

Selamat Datang Register | Login

Yang dapat dilakukannya hanya mencari pelaku serta dalang kekerasan dan menyeretnya ke meja hijau. Untuk itu, masyarakat pun tidak bisa hanya menuduh bahwa Polri lamban dan tidak mampu melindungi rakyat. Bahkan, suatu saat Polri pun akan kelelahan karena rentetan permasalahan serupa di masa datang. Kepemimpinan lemah Ketiga, lemahnya kepemimpinan. Dengan kemajemukan yang amat lebar, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat, berkarakter, tegas, dan berani. Lemahnya kepemimpinan dapat membuat buram situasi bangsa, terlebih dalam hegemoni liberalis-kapitalis yang kian mencengkeram. Sementara pada sisi lain hadir pula paham talibanisme serta khilafahisme yang juga ingin menggantikan peran Pancasila. Salah satu ciri demokrasi liberal adalah mengurangi peran negara (pemerintah) dan, sebaliknya, mengedepankan peran masyarakat yang lebih bebas, suatu hal yang bukan soal di dunia Barat yang tingkat pendidikan serta kesejahteraannya memadai. Namun, bagi masyarakat kita yang masih jauh dari sejahtera dan kematangan, kebebasan tersebut menjadi sangat eksesif. Maka, hilangnya otoritas dan daya kendali pemerintah pada satu sisi dan meningkatnya pelanggaran hukum pada sisi lain adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, presiden beserta segenap jajaran pemerintahnya harus benar-benar bersih sehingga mampu memperlihatkan ketegasan dan sikap tanpa kompromi dalam penegakan hukum. Tidak perlu ada keraguan lagi, tak dibutuhkan pencitraan dan kecenderungan bela diri. Situasi yang dapat mengarah pada disintegrasi di atas hanya dapat dicegah dengan cara mengambil jarak terhadap liberalisme, seraya bangsa Indonesia kembali kepada spirit Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Segala solusi lain hanya bersifat kosmetik dan analgetik, bukan terapi total untuk pemulihan keadaan dan kebangkitan bangsa. KIKI SYAHNAKRI Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD)

Sumber : Kompas Cetak

Share

168

Tweet

TOP STORIES

Kali Ini, Spanyol Tanpa Xavi,...

Semangat Cinta Negeri ala Desainer

Mau Studi ke Jerman? Ikuti...

Rossi dan MotoGP Suram,...

Pembinaan Usia Dini Butuh...

Ada 14 Komentar Untuk Artikel Ini.


Son Of Adam
Kamis, 17 Februari 2011 | 15:44 WIB

Tanggapi Komentar Laporkan Komentar 0 0

Setuju kalo kembali ke UUD 45 dan Pancasila. Karena sejauh ini belum ada faktanya kalo faham demokrasi liberal bikin negara damai. Dalam demokrasi liberal semua orang ingin menuntut haknya.Tapi mengabaikan hak orang lain. Ya chaos

dedi ahmad
Kamis, 17 Februari 2011 | 15:41 WIB

Tanggapi Komentar Laporkan Komentar 0 0

setuju dg tulisan ini, kekacauan yg terjadi karena hukum tdk dpt berdiri tegak di negeri ini, tdk ada keadilan dan terjadi jual beli kasus ditambah lg pemimpin yg tidak tegas, loyo, bisanya omong doang

markis amadore
Kamis, 17 Februari 2011 | 14:49 WIB

Tanggapi Komentar Laporkan Komentar 0 0

siiip pak Kiki. mudah-mudahan para pemimpin juga suka baca koran shg tulisan ini tdk hanya dibaca oleh rakyat yang sudah kenyang dengan berbagai opini yang terkadang ASBUN (tdk untuk pak Kiki). Indonesia skarang ini memang di tahap Transisi tingkat tinggi. mau kembali ke bawah sudah terlampau jauh melangkah dan banyak konsekuensi yg harus ditanggung pemerintah dan rakyat, mau meneruskan langkah ke

3 of 4

5/17/2012 8:20 AM

Matinya Keindonesiaan Kita - KOMPAS.com

http://nasional.kompas.com/read/2011/02/10/15055853/Matinya.Keindon...

Ery Prayoga mengomentari artikel KOMPAS bola - Skuad Inggris Diumumkan Tanpa Nama Ferdinand

Selamat Datang Register | Login

Angga Pradita
Sabtu, 12 Februari 2011 | 14:07 WIB

Tanggapi Komentar Laporkan Komentar 0 0

SIP... pupuk rasa Bhineka tunggal Ika, junjung tinggi Pancasila....

Cah Solo
Kamis, 10 Februari 2011 | 19:24 WIB

Tanggapi Komentar Laporkan Komentar 0 0

tumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama kepada generasi penerus bangsa... ini kan nilai humanis universal. jangan ajarin ajaran yang menghasut dan jelek. sadar ato tidak, pengajaran jelek akan membawa dampak buruk buat generasi penerus bangsa salah satunya,bukan satu2nya loh, peringati hari valentin 14 feb...ha.ha...

1 2 3 Next

Kirim Komentar Anda


Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan KOMPAS.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut. KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.

Silakan login atau register untuk kirim komentar Anda

TOPIK PILIHAN
KECELAKAAN... FESTIVAL FILM... KONTROVERSI LADY... AMBON RUSUH FINAL LIGA...

Selamat Jalan Anakku Femi, Perjuanganmu Luar Biasa

Marilyn Monroe, Ikon di Festival Film Cannes 2012

Ki Kusumo: Aksi Panggung Gaga Seperti Pemujaan...

Suasana Kota Ambon Kembali Normal

Cech: Bayern Favorit

See More: Index Berita Info Kita Surat Pembaca Berita Duka Seremonia DKK Matahati Tanah Air Kompas Kita Kompas AR Kompas Dakode Kompas Widget Kompas Apps Kabar Palmerah RSS Feed Site Map Yayasan Nusa Membaca

About Kompas.com | Advertise With Us | Info iklan | Privacy policy | Terms of use | Karir | Contact Us | KOMPAS.com for IE9 | KOMPAS.com Toolbar 2008 - 2012 KOMPAS.com - All rights reserved

4 of 4

5/17/2012 8:20 AM

Anda mungkin juga menyukai