Anda di halaman 1dari 32

PBI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN HASIL BELAJAR PESERTA PELATIHAN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN DAN KEPEMIMPINAN MAHASISWA BARU UMM TAHUN 2005/2006

PUBLIKASI ILMIAH PENELITIAN BIDANG ILMU (PBI) Oleh: Zakarija Achmat, S.Psi. NIP: 109.0203.0367

Dibiayai oleh Anggaran Dana Pembinaan Pendidikan (DPP) Universitas Muhammadiyah Malang Berdasarkan ST Pembantu Rektor I No: E.6.k/407/BAA-UMM/IX/2006

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG TAHUN 2006

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN 1.a. Judul Penelitian : Hubungan antara Tingkat Partisipasi dengan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan Mahasiswa Baru UMM tahun 2005/2006 b. Bidang Ilmu : Psikologi c. Kategori : Penelitian Bidang Ilmu 2. Ketua Penelitian a. Nama : Zakarija Achmat, S.Psi b. Fakultas : Psikologi c. NIP UMM : 109.0203.0367 3. Jumlah Tim Peneliti : 1 (satu) orang 4. Lokasi Penelitian : Kota Malang 5. Lama Penelitian : 4 (empat) bulan 6. Biaya Penelitian : Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) 7. Sumber Biaya : DPP UMM .... Malang, 7 Desember 2006 Mengetahui, Dekan, Peneliti,

Drs. Tulus Winarsunu, M.Si.

Zakarija Achmat, S.Psi

Kepala Lembaga Penelitian UMM

Dr. Ir. Wahyu Widodo, M.S. 110.8909.0128

ABSTRAKSI Achmat, Zakarija (2006). Hubungan antara Tingkat Partisipasi dengan Hasil Belajar Peserta Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan Mahasiswa Baru UMM tahun 2005/2006 Kata Kunci: Tingkat Partisipasi, Hasil Belajar, Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan

Sejak tahun akademik 2004/2005 Universitas Muhammadiyah Malang mewajibkan setiap mahasiswa barunya untuk mengikuti Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK). Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pelatihan tersebut adalah pendekatan pembelajaran orang dewasa dengan metode experiential learning yang berpusat pada pesertanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai bagaimana hubungan antara tingkat partisipasi peserta dalam proses pembelajaran pada P2KK tahun 2005/2006 dengan pencapaian hasil belajarnya. Penelitian ini adalah penelitian korelasional non eksperimen. Variabel tingkat partisipasi diukur melalui observasi dan hasil belajar diukur melalui tes hasil belajar, metode analisis data dengan menggunakan uji statistik teknik uji korelasi Product-Moment dari Pearson. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat partisipasi dengan hasil belajar (r = 0,320; p = 0,000) yang berarti bahwa semakin baik tingkat partisipasi semakin tinggi skor tes yang dicapai oleh peserta pelatihan. Dengan demikian hipotesis diterima.

ABSTRACT Achmat, Zakarija (2006). The Relationship between Level of Participation and Evaluation Test Score Achieved by Students Participated in Personality Development and Leadership Training Key Words: Level of Participation, Evaluation Test Score, Development and Leadership Training Personality

Since 2004/2005 academic year, Universitas Muhammadiyah Malang has been holding Personality Development and Leadership Training. The training used adult learning approach, implemented experiential learning, and participantcentered training This research purpose was to know and evaluate whether level of participation of participants correlated with their evaluation test score achievement. It is a correlational, non experimental research. Data of participation level that measured through an observation and evaluation test score then were analyzed in statistics by the product-moment correlation technique from Pearson. The result of the analysis showed that there was a significant correlation (r = 0,320; p = 0,000) between level of participation and evaluation test score achieved by participants of the training. It could be concluded that the higher the level of participation, the higher evaluation score achieved. Then, the hypothesis was verified.

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sejak tahun akademik 2004/2005 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mewajibkan setiap mahasiswa barunya untuk mengikuti Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK). Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan ketrampilan tentang keislaman dan kepemimpinan serta dalam rangka membentuk kepribadian dan kepemimpinan. Dalam pelaksanaannya, pelatihan tersebut menggunakan model pendekatan pembelajaran orang dewasa melalui kegiatan pelatihan dengan menggunakan metode: games, role play, case study, focused group discussion dengan menerapkan experiential learning untuk menumbuhkan self awareness. Pike (2005) menyebut pelatihan yang berpusat pada pesertanya sebagai suatu alternatif yang lebih efektif dibanding pelatihan yang didasarkan pada model perkuliahan (ceramah). Pelaksanaan P2KK bagi mahasiswa baru UMM pada tahun 2005 merupakan pelaksanaan kali kedua, karena pelaksanaan pada tahun pertama dianggap berhasil. Hanya saja, evaluasi terhadap keberhasilan tersebut tampak lebih ditekankan pada pelaksanaannya, bukan pada pencapaian tujuannya. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Achmat (2005) telah ditujukan untuk mengevaluasi pencapaian tujuan P2KK bagi mahasiswa baru UMM tersebut, tetapi hanya pada aspek kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian yang dikembangkan pada pelatihan tersebut. test pada para peserta di akhir pelatihan. Sebagai suatu pendekatan pembelajaran baru yang dicobaterapkan, yang menuntut partisipasi aktif pesertanya, belum dievaluasi apakah partisipasi peserta berhubungan dengan pencapaian hasil pada saat evaluasi pembelajaran (post-test). Masih dipertanyakan, apakah para peserta yang lebih aktif di dalam proses pembelajaran mampu mencapai hasil yang lebih baik dibanding yang kurang aktif, sebagaimana dijamin oleh Pike di atas. Hal ini terkait dengan kemungkinan Evaluasi terhadap aspek pencapaian pembelajaran secara kognitif telah pula dilakukan dengan cara memberikan post-

penerapan pendekatan dan model pembelajaran tersebut di kelas-kelas. Gambaran yang akan diperoleh dari penelitian ini mengenai bagaimana hubungan antara tingkat partisipasi peserta dengan hasil pembelajaran yang dicapai, akan dapat dijadikan landasan dalam merancang proses pembalajaran di kelas-kelas agar lebih efektif. B. RUMUSAN MASALAH Masalah yang akan diteliti adalah: apakah keaktifan atau tingkat partisipasi mahasiswa baru UMM peserta P2KK tahun 2005/2006 berhubungan dengan pencapaian hasil belajar mereka dalam pelatihan tersebut? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai bagaimana hubungan antara tingkat partisipasi peserta dalam proses pembelajaran pada P2KK UMM tahun 2005/2006 dengan pencapaian hasil belajarnya. Penelitian ini sekaligus untuk mengevaluasi apakah pendekatan dan model pembelajaran sudah sesuai dan efektif dalam mencapai tujuannya. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu dan bukti-bukti empirik di bidang psikologi khususnya yang berkaitan dengan teori-teori pembelajaran dan psikoterapi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam menjalankan profesi psikologi, terutama dalam proses pelatihan dan psikoterapi yang terkait dengan masalah kesulitan-kesulitan belajar. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi penyelenggara (UMM) dalam mengevaluasi pelaksanaan pelatihan terkait dengan pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan. Hasil pelatihan sekaligus

juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang model pembelajaran yang lebih efektif di kelas-kelas nantinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BELAJAR DAN PELATIHAN 1. Pengertian Belajar Belajar merupakan salah satu bidang yang sangat penting untuk dipelajari dalam psikologi karena psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, sementara hampir tidak ada perilaku yang tidak dipelajari. Oleh karena itu, menjadi tidak mudah untuk mendefinisikan belajar, bahkan Hergenhahn (1976, hal. 3) menyebut belajar sebagai suatu konsep yang benar-benar sulit untuk didefinisikan. Meskipun demikian, ia kemudian berdasarkan berbagai tinjauan mendefinisikan belajar sebagai a relatively permanent change in behavior or in behavioral potentiality that result from experiences and cannot be attributed to temporary body states induced by illness, fatigue or drugs. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar tidak selalu berwujud dalam bentuk perilaku nyata (overt behavior), tetapi bisa berupa potensi saja yang sewaktu-waktu akan muncul menjadi perilaku nyata. Perubahan perilaku yang disebabkan oleh adanya perubahan fisik yang bersifat sementara misalnya karena sakit, kelelahan, atau pengaruh obat tidak bisa dikatakan sebagai hasil belajar. belajar. Senada dengan Hergrnhahn, Burns dalam Dunn (2000) menggambarkan belajar sebagai suatu perubahan perilaku yang relatif permanen, baik berupa aktivitas yang dapat diamati maupun proses-proses internal, seperti berpikir, sikap dan emosi. Jelas bahwa Burns memasukkan motivasi dalam definisi tentang belajar. Burns percaya bahwa belajar bisa saja tidak terwujud dalam perilaku nyata sampai beberapa waktu setelah program pendidikan diselesaikan. Secara lebih sederhana, Feldman (2003, hal. 150) mendefinisikan belajar sebagai sebuah proses perubahan perilaku yang relatif permanen karena adanya suatu pengalaman. Feldman membedakan perubahan-perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman dengan perubahan perilaku sebagai akibat kematangan yang mengikuti pertumbuhan fisik. Ia mencontohkan semakin baiknya seorang anak Akan tetapi, perubahan perilaku yang terjadi karena cacat permanen bisa disebut sebagai hasil

bermain tenis, tidak dapat dikatakan begitu saja sebagai hasil belajar, melainkan terjadi karena semakin kuatnya fisik dan kemampuan koordinasi otot anak tersebut seiring dengan pertumbuhannya. Ia menekankan bahwa perubahan perilaku disebut sebagai hasil belajar jika perubahan tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari pengalaman. Para ahli mengakui bahwa memang tidak mudah membedakan kedua hal tersebut (Druckman & Bjork; dalam Feldman, 1999). Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang relatif permanen karena adanya suatu pengalaman, dimana perubahan perilaku tersebut dapat berwujud dalam aktivitas nyata yang secara langsung dapat diamati maupun dalam wujud kemampuan berfikir, motivasi, sikap dan emosi yang tidak bisa secara langsung diamati. Perubahan perilaku tersebut juga dapat langsung terwujud maupun tertunda kemunculannya karena baru berupa potensi. 2. Teori-teori Belajar Secara umum, teori-teori mengenai belajar dapat dikelompokkan menurut perspektif yang digunakan. Dalam perspektif behavioral, dikenal teori pengkondisian klasik (classical conditioning) dan pengkondisian operan (operant conditioning). Pengkondisian adalah salah satu bentuk belajar, suatu proses yang disengaja untuk memunculkan suatu perilaku tertentu. Teori mengenai pengkondisian merupakan landasan pokok dalam membahas masalah belajar. Gagne (1970) menyebut ada delapan jenis belajar yang bersifat hirarkis dimana yang satu merupakan prasyarat bagi yang berikutnya dan ia menyebut kondisioning sebagai dasarnya Classical conditioning berangkat dari eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, seorang dokter Rusia peraih Hadiah Nobel tahun 1904. Ia melakukan eksperimen mengenai belajar dengan menggunakan seekor anjing. Dari eksperimennya, ia menggambarkan bahwa proses belajar terjadi karena adanya asosiasi antara stimulus netral (NS) dengan stimulus tak terkondisikan (UCS). Belajar adalah proses pengkondisian, yaitu mengkondisikan seseorang agar memberi respon secara tertentu terhadap suatu stimulus sebagaimana yang diinginkan, yang disebut dengan stimulus terkondisikan (CS). Dalam situasi yang

sewajarnya (netral) stimulus tersebut tidak akan memunculkan respon apapun (disebut sebagai stimulus netral). Dalam proses pengkondisian, diupayakan terjadinya asosiasi antara stimulus netral tersebut dengan stimulus tak terkondisikan, yaitu suatu stimulus yang secara wajar akan memunculkan suatu respon tertentu. Artinya, telah terjadi suatu proses belajar jika respon tertentu tersebut muncul ketika subjek dihadapkan pada stimulus yang netral. Berbeda dengan teori pengkondisian klasik yang lebih menekankan pada stimulus dalam suatu pengkondisian, operant conditioning lebih menekankan pada konsekuensi. Proses belajar berawal dari perilaku yang bersifat coba-coba (trial and error), kemudian perilaku tersebut dihubungkan dengan konsekuensi yang muncul. Ketika konsekuensi yang muncul memuaskan, subjek cenderung mengulangi perilakunya, demikian pula sebaliknya. Thorndike (dalam Feldman, 2003, hal. 156-157) menyebutnya sebagai the law of effect. Konsekuensi atau efek yang memuaskan tersebut, yang menyebabkan subjek semakin sering mengulangi perilakunya, disebut sebagai penguat (reinforcer). Keberhasilan proses belajar atau kuat lemahnya kemunculan perilaku yang diinginkan, bergantung pada proses penguatannya (reinforcement), yaitu bagaimana penguat (reinforcer) diberikan. Dalam perspektif kognitif, dikenal teori belajar sosial dari Albert Bandura. Dalam teori ini, proses belajar berawal dari pengamatan. Belajar mengenai suatu perilaku, diperoleh dengan cara mengamati dan menirukan perilaku orang lain (model), Bandura menyebutnya sebagai observational learning. Observational Learning berlangsung melalui empat tahap, yaitu: (1) memperhatikan dan menanggapi bagian paling penting dari perilaku orang lain; (2) mengingat perilaku tersebut; (3) mengulangi tindakan tersebut; dan (4) termotivasi untuk mempelajari dan melakukannya (Bandura dalam Feldman, 2003, hal. 169). 3. Pembelajaran pada Orang Dewasa Proses pembelajaran pada orang dewasa (adult learning) memerlukan pendekatan dan metode yang berbeda dengan pembelajaran pada anak-anak. Dewasa ini, di kalangan para ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang suatu teori tentang cara mengajar orang dewasa. Istilah yang terkenal kemudian adalah andragogi yang berarti memimpin atau membimbing orang dewasa.

Pengembangan pendekatan adult learning dimotori oleh Malcom Knowles (dalam Lieb, 1991), yang mengidentifikasi karekateristik-karakteristik pembelajar dewasa sebagai berikut: 1. Orang dewasa bersifat otonom dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, mereka butuh kebebasan. 2. Orang dewasa telah mengakumulasi pengalaman-pengalaman dan pengetahuanpengetahuan, termasuk aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan, tanggung jawab dalam keluarga dan pendidikan sebelumnya. Mereka perlu menghubungkan belajarnya dengan dasar pengalaman atau pengetahuannya. 3. Orang dewasa berorientasi pada tujuan. Mereka umumnya tahu apa tujuan yang hendak mereka capai. Tujuan dari belajar harus dijelaskan di awal dan instruktur/guru/trainer harus menunjukkan kepada pembelajar bagaimana mereka akan dibantu untuk mencapai tujuan mereka. 4. Orang dewasa berorientasi pada sesuatu yang relevan, mereka harus tahu alasan mengapa mereka harus belajar sesuatu. 5. Orang dewasa bersifat praktis, mereka memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat langsung dalam kehidupan dan pekerjaannya. 6. Sebagaimana semua pembelajar lainnya, orang dewasa membutuhkan perhatian dan penghargaan. Mereka harus diperlakukan sebagai orang yang sejajar, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang setara dan diberi kebebasan untuk mengemukan pendapatnya. 4. Experiential Learning Experiential Learning yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Kolb, tidak bisa dilepaskan dari ungkapan yang sangat terkenal dari Confusius di tahun 450 sebelum masehi bahwa, jika kita mendengar maka kita akan lupa, kita melihat maka mungkin kita akan ingat, kita mengalami maka kita akan mengerti. Proses pembelajaran dalam pendekatan ini dilakukan dengan memberikan suatu pengalaman yang disengaja, terkait dengan informasi yang hendak diajarkan. Sebagai sebuah model pembelajaran, experiential learning dapat digambarkan sebagai suatu proses dimana pengalaman-pengalaman individu direfleksikan dan dari padanya timbul gagasan atau pengetahuan-pengetahuan baru.

Proses experiential learning semacam sebuah siklus yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Concrete Experience (1)

Testing in new situations (4)

Observation and reflection (2)

Forming abstract concepts (3)

Menurut model tersebut, proses pembelajaran bermula dari adanya suatu pengalaman yang diobservasi dan direfleksikan. Dari hasil proses tersebut, individu akan membentuk konsep-konsep abstrak yang kemudian dicobakan pada berbagai situasi baru. Mencoba menerapkan pada situasi baru suatu konsep abstrak yang telah dibentuk, memberikan suatu pengalaman baru lagi bagi individu, demikian seterusnya proses pembelajaran berlangsung, seperti sebuah siklus (Achmat, 2005, hal. 12). Dengan menggunakan model Experiential Learning, maka peran terpenting seorang trainer dalam sebuah pelatihan adalah menjadi fasilitator. Ia berfungsi sebagai perancang pengalaman belajar kreatif. Sebagai fasilitator ia harus menciptakan situasi belajar yang memungkinkan semua peserta memperoleh pengalaman baru atau membantu peserta menata pengalamannya di masa lampu dengan cara baru (Greenway, 2005). 5. Pengertian Pelatihan Nadler dan Wiggs (dalam Robinson & Robinson, 1989) mendefinisikan pelatihan (training) sebagai teknik-teknik yang memusatkan pada belajar tentang ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memulai suatu pekerjaan atau tugas-tugas atau untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan suatu pekerjaan atau tugas. Hal senada juga dikemukakan oleh

Clark (1991, hal. 1) bahwa pelatihan adalah suatu upaya untuk melakukan perubahan dalam hal pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan dan sikap. Pelatihan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang bermuara pada perubahan, sehingga peran seorang pelatih adalah bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan sikap dan perilaku orang-orang yang dilatih. Karena sifat manusia dan prosesnya yang dinamis, maka seorang pelatih harus terlibat di dalamnya sebagai pribadi, sebagai orang, bukan teknisi yang bersifat mekanistis (Clark, 1991, hal. xiv). 6. Participant Centered Training Proses pelatihan yang berpusat pada peserta adalah suatu pendekatan dalam pelatihan yang dikembangkan oleh Bob Pike (2005) yang mendasarkan pada prinsip-prinsip belajar pada orang dewasa. pengalamannya sebagai seorang trainer Pendekatan ini didasarkan pada yang sebelumnya menggunakan

pendekatan pelatihan yang berbasis pada pengajaran (lecture-based training). Ia menilai bahwa pendekatan yang baru tersebut lebih efektif karena dengan pendekatan tersebut seorang trainer lebih dapat membantu peserta untuk mengembangkan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri, mengaplikasikan peralatan dan teknik, menggunakan bahan-bahan dan menemukan sumber-sumber untuk memecahkan suatu masalah yang ditemui dalam training maupun realita di lapangan. Dalam pendekatan pelatihan yang berpusat pada peserta ini, proses belajar bertumpu pada peserta. Meskipun sebenarnya trainer tetap bertanggung jawab penuh, tanggung jawab pelatihan beralih pada peserta, tidak hanya agar mereka menjadi kreatif atau memiliki pengalaman, tetapi terutama dalam hal menciptakan rencana tindakan dan bagaimana mereka menggunakan ketrampilan-ketrampilan baru mereka. Kunci keberhasilan dari pendekatan pelatihan ini salah satunya terletak pada antusiasme peserta. Seorang trainer tidak selalu siap untuk memberikan pemecahan masalah yang tepat atau menjawab setiap pertanyaan. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa pesertalah yang lebih tahu dan memahami permasalahan mereka, seorang trainer hanya membantu dalam proses belajarnya. Dalam pendekatan ini, seorang

trainer

menyediakan

lingkungan dan

yang

mendukung

bagi

peserta

untuk mereka

mengeksplorasi,

berjuang

menjelajahi

pikirannya,

sehingga

memperoleh insight yang nyata, sesuai dengan masalah mereka. B. PELATIHAN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN DAN

KEPEMIMPINAN 1. Pendekatan Pembelajaran Pelatihan ini menggunakan pendekatan atau model pembelajaran pengalaman (experiential learning). Pendekatan pembelajaran ini dianggap sesuai untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, terutama dalam mengembangkan kepribadian dan kepemimpinan. Pendekatan pembelajaran ini adalah pembelajaran untuk orang dewasa (andragogy). Penyampaian materi dalam pelatihan menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran pengalaman (experiential learning) yang dalam pelaksanaannya menuntut peserta untuk terlibat aktif di dalamnya (Achmat, 2005, hal. 10). Metode belajar experiential learning, menuntut peserta untuk terlibat aktif dalam proses belajar melalui pengalaman. Peserta diajak untuk mengalami sendiri materi yang akan dipelajari, baik pengalaman tersebut berupa pengalaman langsung maupun pengalaman simbolik. Kebanyakan program pelatihan menggunakan kombinasi ceramah, mencatat, diskusi, pengalaman berstruktur dan aktivitas kelompok, membaca, role play, case study, simulasi, games, diskusi kelompok dan sebagainya. Pada setiap metode tersebut, partispasi aktif peserta sangat diperlukan agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuannya. 2005, hal. 16). 2. Materi Pelatihan Materi dalam pelatihan ini secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga, yakni materi pengembangan kepribadian, materi kepemimpinan dan materi keagamaan. Materi pengembangan kepribadian diarahkan untuk membawa peserta agar memahami budaya belajar di perguruan tinggi dan memiliki ketrampilan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan landasan keislaman. Materi Metode-metode tersebut merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada partisipasi peserta (Achmat,

kepemimpinan diarahkan agar peserta memiliki ketrampilan dalam kepemimpinan. Penguasaan kedua materi tersebut dibarengi dengan penguasaan ketrampilan dasar keagamaan yang bersifat praktis untuk diamalkan dalam kehidupan keseharian. Dengan penguasaan ketiga materi tersebut, dengan disertai pemahaman terhadap filosofi dasarnya yang berlandaskan pada ayat-ayat Al-Quran, peserta diharapkan akan memiliki sikap hidup sebagaimana diharapkan oleh ajaran agama Islam (Achmat, 2005, hal. 15 16). Secara keseluruhan, materi pelatihan diberikan dalam lima hari penuh. Materi pengembangan kepribadian dan materi kepemimpinan diberikan secara terjadwal sesuai modul, yaitu sebanyak 20 modul dan disampaikan oleh para trainer atau instruktur yang lebih berperan sebagai fasilitator karena pelatihan bersifat participant centered. Dalam pembahasan dan diskusi pada setiap modul, menggunakan landasan-landasan da acuan pemahaman keislaman. Materi keagamaan diberikan sesuai jadwal sholat selama pelatihan, yaitu setiap selesai sholat berjamaah. Dalam sholat berjamaah tersebut pun sebenarnya proses pelatihan mengenai ketrampilan dasar keagamaan secara langsung sedang dilakukan dengan pendekatan pelatihan yang berpusat pada peserta. Seluruh personil pelaksanaan ritual keagamaan tersebut adalah para peserta pelatihan sendiri, mulai dari muadzin, imam sampai khatib yang memberikan ceramah keagamaan selama tujuh menit, yang dilakukan secara bergiliran. Tema dan materi yang diberikan sesuai dengan panduan dari panita, yaitu sesuai subject matter yang harus dikuasai oleh peserta dan yang nantinya akan dievaluasi melalui pot-test. Penyampaian materi dalam pelatihan menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran pengalaman (experiential learning) yang dalam pelaksanaannya menuntut peserta untuk terlibat aktif di dalamnya. Metode belajar experiential learning, menuntut peserta untuk terlibat aktif dalam proses belajar melalui pengalaman. C. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN HASIL BELAJAR

Carl Rogers, seorang tokoh humanisme, membedakan adanya dua tipe belajar, yaitu kognitif dan pengalaman. Yang pertama menunjuk pada pengetahuan-pengetahuan akademik yang dianggap kurang berarti, sedang yang kedua menunjuk pada pengetahuan-pengetahuan yang bersifat aplikatif dan dianggap lebih berarti. Kunci perbedaannya terletak pada bagaimana belajar Kualitas experiential learning ditunjukkan oleh pengalaman (experiential learning) lebih mengarah pada kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan individu. adanya keterlibatan personal, inisiatif dari diri sendiri (individu), evaluasi dari individu dan pengaruh-pengaruh yang meresap pada individu (Achmat, 2005, hal. 11). Setiap manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk belajar, sehingga peran guru/pengajar/pendidik adalah menjadi fasilitator, yaitu: a. menciptakan iklim yang positif bagi proses pembelajaran b. memperjelas tujuan dari proses belajar dan tujuan dari para individu c. mengorganisasikan dan menciptakan sumber-sumber belajar d. menyeimbangkan komponen intelektual dan emosional dalam belajar e. berbagi perasaan dan pikiran dengan para individu tanpa mendominasi Hal tersebut akan terlaksana jika: a. individu berpartisipasi aktif dalam seluruh proses pembelajaran dan mampu mengendalikan diri b. terutama dihadapkan secara langsung dengan masalah-masalah praktis, sosial, personal, maupun penelitian-penelitian c. evaluasi diri merupakan metode penting dalam pengukuran perkembangan dan keberhasilan (Achmat, 2005, hal. 11 - 12). Pembelajaran yang berpusat pada partisipasi peserta akan membuat peserta mampu mengingat hampir keseluruhan materi yang diberikan, karena mereka terlibat aktif di dalamnya. Teknik training ini akan membuat peserta berusaha mengembangkan tingkat pemahamannya terhadap apa yang mereka inginkan untuk mereka pelajari. Peserta tidak hanya mendengar kemudian lupa atau melihat dan mencoba ingat, tetapi mereka melakukan sesuatu sehingga mereka mengerti.

Peserta yang berpartisipasi aktif dalam pelatihan, akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pengalaman baru, merefleksikan dan menghubungkan dengan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Ia akan lebih mampu menemukan dan membentuk konsep-konsep baru, sehingga memiliki pemahaman-pemahaman baru. Ia akan lebih mudah mengingat apa yang telah dipelajarinya tersebut. Dalam proses memori, ia akan mendapatkan generation effect, yaitu suatu pengaruh dimana informasi akan lebih mudah disimpan dan dipanggil kembali (diingat) jika ada proses membuat sendiri informasi yang disimpan tersebut (Matlin, 1998, hal. 78). Ia juga akan memperoleh self-reference effect, yaitu suatu efek dimana seseorang akan lebih mudah memanggil informasi yang disimpannya jika informasi tersebut dihubungkan dengan dirinya sendiri, dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman pribadinya (Matlin, 1998, hal. 82). Dengan demikian, peserta pelatihan yang lebih aktif berpartisipasi di dalam prosesnya, akan lebih mampu mengingat kembali materi-materi yang diterimanya selama pelatihan. Mereka akan memperoleh skor yang lebih baik ketika dievaluasi hasil belajarnya. Mereka akan memiliki hasil belajar (dalam pelatihan) yang lebih baik dibanding yang kurang aktif berpartisipasi dalam proses pelatihan. D. KERANGKA PEMIKIRAN

Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan

Peserta Kurang Aktif

Peserta Lebih Aktif

Kurang disiplin, sering melanggar aturan, sering terlambat mengikuti kegiatan Motivasi, antusiasme dan partisipasi yang rendah terhadap kegiatan, ada kecenderungan menolak melakukan kegiatan

Disiplin, jarang melanggar, jarang terlambat, mengikuti semua kegiatan, ikut terlibat menjaga kedisiplinan Motivasi, antusiasme dan partisipasi yang tinggi terhadap kegiatan, ada inisiatif dan ikut aktif untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif

Kurang memiliki kesempatan menerima dan mempraktekkan materi, kurang menghayati materi, kurang memahami materi

Lebih banyak memiliki kesempatan menerima dan mempraktekkan materi, lebih menghayati materi, lebih memahami materi

Evaluasi hasil pembelajaran kurang baik

Evaluasi hasil pembelajaran lebih baik

E. HIPOTESA Ada hubungan antara tingkat partisipasi dengan hasil belajar pada para peserta Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2005/2006. III. METODE PENELITIAN A. TIPE PENELITIAN Tipe penelitian ini adalah penelitian non eksperimen. Penelitian ini bermaksud memberikan gambaran mengenai bagaimana hubungan antara tingkat partisipasi peserta dalam mengikuti P2KK dengan hasil pembelajarannya. Yang dimaksud hasil pembelajaran di sini adalah evaluasi terhadap tingkat penguasaan materi secara kognitif, tingkat penyerapan terhadap materi yang diberikan selama

pelatihan. Penggambaran hubungan tersebut didasarkan pada hasil analisis dan perhitungan statistik. B. VARIABEL PENELITIAN 1. Identifikasi Variabel Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat partisipasi peserta dalam mengikutiP2KK, sedang variable terikatnya adalah hasil pembelajaran. 2. Definisi Operasional Variabel Yang dimaksud dengan tingkat partisipasi peserta adalah tingkat keterlibatan peserta dalam proses pelatihan yang meliputi kedisiplinan, motivasi, antusiasme dan inisiatif yang menggambarkan minat dan upayanya dalam turut menciptakan dan menjaga situasi belajar agar lebih kondusif. Tingkat partisipasi diukur melalui observasi yang dilakukan oleh pendamping pelatihan selama proses sejak acara pembukaan pelatihan hingga penutupan. Hasil pengukuran berupa angka-angka 1 sampai dengan 5 yang masing-masing menggambarkan tingkat partisipasi tersebut dari sangat kurang hingga sangat baik, berdasarkan kriteria dalam panduan observasi. Hasil belajar dalam penelitian ini menunjuk pada hasil evaluasi pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan tes di akhir pelaksanaan pelatihan. Pertanyaan-pertanyaan tes meliputi seluruh materi yang diberikan selama pelatihan, terutama materi keagamaan, dalam hal ini diasumsikan bahwa semua peserta berangkat dengan tingkat pengetahuan agama yang setara. Hasil evaluasi berupa angka-angka yang bergerak dari 0 hingga 100, yang penilaiannya dilakukan oleh instruktur pelatihan dengan berpatokan pada kunci jawaban yang disiapkan oleh panitia pelatihan. Skor yang semakin tinggi menggambarkan hasil belajar yang semakin baik, dengan kategorisasi sebagai berikut: A (sangat baik); apabila mampu mencapai skor 80 atau lebih B (baik); apabila mampu mencapai skor 65 79 C (cukup); apabila mampu mencapai skor 55 64 D (kurang); apabila hanya mampu mencapai skor dibawah 55

C. SUBJEK PENELITIAN Populasi penelitan adalah para peserta P2KK UMM tahun 2005, yang berjumlah + 3.250 orang, yang dibagi dalam 13 angkatan dengan tiap angkatan terdiri dari lima kelas, masing-masing terdiri dari maksimal 50 orang peserta. Lima kelas tersebut masing-masing diberi nama sebagai berikut: Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Al Farabi dan Al Ghazali. Penelitian ini menggunakan data dokumentasi, artinya bahwa sebenarnya data telah terkumpul untuk seluruh populasi. Akan tetapi, karena terlalu banyaknya jumlah populasi, maka untuk analisis perlu dilakukan sampling untuk menentukan subjek yang diharapkan dapat mewakili populasi. Teknik sampling yang digunakan untuk menentukan subjek penelitian adalah cluster random sampling. Sampel diambil secara acak dari seluruh kelas pelatihan dengan cara mengundi. Keseluruhan data yang dapat dianalisis berasal dari lima kelas, berjumlah 183 subjek, terdiri dari 85 orang laki-laki dan 98 orang perempuan. Inipun, pada akhirnya untuk uji korelasi hanya dapat dilakukan terhadap 182 subjek karena pada salah satu subjek perempuan data tingkat partisipasinya kosong. D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Pengumpul Data Data yang akan dianalisis adalah data yang telah tersimpan pada arsip panitia pelaksana pelatihan. Tingkat partisipasi diukur melalui pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh pendamping pelatihan dengan mengacu pada panduan observasi yang didasarkan pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh panitia, sedang hasil belajar diukur dari skor tes yang dilaksanakan di setiap akhir pelaksanaan pelatihan. 2. Prosedur Pengumpulan Data Data yang dianalisis adalah dokumen data yang telah tersimpan pada arsip panitia pelaksana pelatihan. menggunakan dokumen Peneliti meminta izin kepada panitia untuk sebagai data penelitian dan kemudian tersebut

memfotokopinya, sesuai hasil pengundian sebagaimana dijelaskan dalam penentuan subjek penelitian. a. Adapun cara memperoleh data yang kemudian dijadikan dokumen oleh panitia pelatihan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Tingkat partisipasi Tingkat partisipasi diukur melalui pengamatan yang dilakukan oleh pendamping pelatihan yang dilakukan selama proses pelatihan. Pada setiap kelas terdapat tiga orang pendamping yang secara terus-menerus melakukan pendampingan dan pengamatan. Penilaian dilakukan di akhir pelatihan, dimana nilai tersebut merupakan hasil kesepakatan ketiga pendamping tersebut, sehingga dalam hal ini telah terjadi proses inter-rater sebagai petunjuk validitas hasil pengukurannya. Sebelumnya, para pendamping telah terlebih dahulu dilatih dan mensimulasikan cara penilaian aspek-aspek yang diobservasi. Dalam penelitian ini, aspek kedisiplinan dan partisipasi yang dianggap menggambarkan tingkat partisipasi peserta yang digunakan sebagai data penelitian. kedua aspek tersebut dijumlahkan kemudian dibagi dua. b. Hasil belajar Hasil belajar adalah nilai yang diperoleh peserta pada tes yang dilaksanakan di hari terakhir pelatihan. Tes ini mengukur penguasaan peserta tentang materi keagamaan yang telah diberikan dan dibahas selama pelatihan. Tes terdiri dari 20 nomor soal, masing-masing nomor soal bernilai lima sehingga nilai yang mungkin diperoleh peserta bergerak dari 0 100. Penilaian dilakukan oleh instruktur bidang keagamaan yang berpatokan pada kunci jawaban yang telah disediakan oleh panitia. E. METODE ANALISA DATA Analisis data dilakukan dengan teknik statistik dengan uji korelasi antara skor tingkat partisipasi dengan skor tes hasil belajar. Uji korelasi dilakukan dengan teknik uji korelasi product-moment dari Pearson. Penilaian terhadap

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Data Penelitian Sampel penelitian terdiri dari 183 orang mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2005/2006, terdiri dari 85 laki-laki dan 98 perempuan, yang sedang mengikuti Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan yang dilaksanakan mulai tanggal 19 Agustus 2005 sampai dengan 1 Januari 2006. Seratus delapan puluh tiga subjek tersebut berasal dari lima kelas dari lima angkatan yang berbeda. Data penelitian digambarkan dalam dua tabel, yaitu tabel 1 untuk menggambarkan tingkat partisipasi peserta dan tabel 2 untuk hasil belajarnya. a. Pengukuran Tingkat Partisipasi Data hasil pengukuran tingkat partisipasi peserta dalam pelatihan digambarkan dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Deskripsi Data Tingkat Partisipasi Peserta
Kategori Tingkat Partisipasi Kurang Cukup Baik Sangat Baik Total Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah % Jumlah % 0 0 1 1,03 51 60 44 45,36 27 31,76 49 50,52 7 8,24 3 3,09 85 100 97 100 Total Jumlah 1 95 76 10 182 % 0,55 52,20 41,76 5,49 100

Dari Tabel 1 di atas tampak bahwa secara umum tingkat partisipasi peserta dalam pelatihan tergolong cukup dan baik. Hanya ada satu orang (0,55%) yang tingkat partisipasinya dinilai kurang, yaitu menunjukkan motivasi, antusiasme dan keterlibatan yang rendah, cenderung pasif, ogah-ogahan, tidak mau mengajukan maupun menjawab pertanyaan. b. Pengukuran Hasil Belajar Pengukuran hasil belajar yang diperoleh dari skor tes hasil belajar yang dilaksanakan di akhir pelatihan digambakan dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Deskripsi Data Hasil Belajar


Kategori Hasil Belajar Kurang Cukup Baik Sangat Baik Total Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah % Jumlah % 11 12,94 15 15,31 15 17,65 13 13,27 33 38,82 42 42,86 26 30,59 28 28,57 85 100 98 100 Total Jumlah 26 28 75 54 183 % 14,21 15,30 40,98 29,51 100

Dari tabel 2 di atas, tampak bahwa skor hasil belajar peserta pelatihan distribusinya cenderung juling ke kanan. Dari 183 orang yang dijadikan subjek dalam penelitian ini, terdapat lebih dari setengahnya mampu mencapai skor baik atau sangat baik. Tujuh puluh lima orang (40,98) mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan penguasaan materi mencapai 65% atau lebih dan ada 29,51% yang tingkat penguasaan materinya sangat baik (mencapai 80% atau lebih). Dua puluh delapan orang (15,30%) mampu mencapai skor tes hasil belajar dalam kategori cukup, artinya tingkat penguasaan materinya mencapai 55% hingga 64%. Hanya 14,21% peserta yang penguasaan materinya kurang adari 55%. Ini menggambarkan bahwa sebagaian besar peserta cukup menguasai materi yang diberikan dalam pelatihan, khususnya materi mengenai pemahaman dan ketrampilan keagamaan, materi pelatihan dapat diterima dan ditangkap oleh peserta. 2. Analisa Data Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS (Statistical Program for Social Science) 14.0 for Windows Evaluation Version, dengan melakukan uji korelasi Product-Moment dari Pearson. Rangkuman hasil analisis sebagai berikut: Rangkuman Uji Korelasi Product-Moment dari Pearson
Sumber XY Nilai r 0,320 Sumbangan Efektif (r2) 10,2% p 0,000 Keterangan Sangat Signifikan

Keterangan:

X : Tingkat Partisipasi

X : Skor tes Hasil Belajar p : peluang kesalahan Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan (r = 0,320; p = 0,000) antara tingkat partisipasi dengan skor hasil belajar mahasiswa baru UMM peserta P2KK tahun 2005. Akan tetapi, meskipun hubungan tersebut sangat signifikan, koefisien korelasi yang hanya sebesar 0,320 menggambarkan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat. Daya prediktif tingkat partisipasi terhadap skor hasil belajar juga rendah. Tingkat partisipasi peserta hanya memberi sumbangan efektif sebesar 10,2% terhadap skor hasil belajar. B. PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian ini akan difokuskan pada tiga hal, yaitu tingkat partisipasi peserta, skor tes hasil belajar dan hubungan antara keduanya. Pemusatan pada tiga hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tingkat partisipasi dengan hasil pembelajaran yang dicapai dan untuk mengevaluasi model dan pendekatan pelatihan yang digunakan. 1. Tingkat Partisipasi Dari deskripsi data mengenai tingkat partisipasi tampak bahwa secara umum partisipasi peserta lebih mengarah pada kategori baik. Ini menggambarkan bahwa proses pelatihan dalam pelaksanaannya cukup baik, metode pembelajaran yang digunakan cukup menggugah minat peserta untuk turut berpartisipasi secara aktif di dalamnya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pelatihan tersebut adalah pembelajaran orang dewasa (andragogy) dengan metode experiential learning yang dirancang menyenangkan bagi pesertanya dan berlandaskan pada pengalaman sehari-hari yang dialami peserta. kehidupan sehari-hari mereka. Peserta diajak mengalami sesuatu melalui permainan, studi kasus, bermain peran atau diskusi kelompok yang merefleksikan Penelitian-penelitian mengenai belajar dalam pendekatn kognitif dan humanistik menunjukkan pentingnya pengalaman dalam proses belajar (Saljo dalam Kelly, 1997). Saljo menyebut bahwa belajar adalah

membuat suatu informasi menjadi penting, mensarikan makna dan menghubungkan informasi dengan kehidupan sehari-hari. Materi yang dibahas adalah masalah sehari-hari peserta, dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman peserta, sehingga menjadikan proses pelatihan menyenangkan dan tidak menjadi beban bagi peserta. Peserta menjadi termotivasi, karena sebagai pembelajar dewasa (adult learner) mereka menemukan sumber-sumber motivasi bagi mereka sendiri dalam pelatihan tersebut. Lieb (1991) menyebut bahwa setidaknya terdapat enam faktor yang bisa menjadi sumber motivasi bagi pembelajar dewasa, yang antara lain adalah hubungan sosial, dimana pembelajar dapat menemukan teman-teman baru, memenuhi kebutuhan untuk manjalin hubungan dan berteman. Sumber tersebut tersedia dalamP2KK, sehingga peserta termotivasi dan berpartisipasi dalam proses pembelajarannya. Model pembelajaran dengan peserta yang beragam, yaitu pada setiap kelas pesertanya berasal dari berbagai fakultas atau jurusan atau program studi yang bermacam-macam, memberi kesampatan yang luas kepada peserta dalam menemukan sumber motivasi hubungan sosial tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rancangan pembelajaran yang dibuat telah sesuai dengan yang diharapkan yaitu sebagai sebuah pelatihan yang berpusat pada pesertanya (participant centered training). 2. Hasil Belajar Dari deskripsi data skor tes hasil belajar, tampak bahwa sebagian besar peserta mampu menguasai materi keagamaan yang diberikan hingga 65% atau lebih. Ini menggambarkan bahwa materi keagamaan yang diberikan bisa ditangkap dan dipahami dengan baik oleh peserta. Sekali lagi, ini menggambarkan bahwa metode pembelajaran yang digunakan dalam pelatihan tersebut cukup efektif . Pike (2005) menyebut training yang berpusat pada pesertanya sebagai suatu alternatif yang lebih efektif dibanding training yang didasarkan pada model perkuliahan (ceramah). Ia menjelaskan bahwa pembelajaran yang berpusat pada partisipasi peserta akan membuat peserta mampu mengingat hampir keseluruhan materi yang diberikan, karena mereka terlibat aktif di dalamnya. yang mereka inginkan untuk mereka pelajari. Teknik training ini akan membuat peserta berusaha mengembangkan tingkat pemahamannya terhadap apa Peserta tidak hanya mendengar

kemudian lupa atau melihat dan mencoba ingat, tetapi mereka malakukan sesuatu sehingga mereka mengerti. Hasil dari pelatihan adalah terjadinya transfer of learning, yaitu memindahkan apa yang dipelajari dalam pelatihan ke dalam dirinya sendiri atau menggunakannya dalam situasi lain. Proses transfer hasil belajar ini paling sering terjadi dalam situasi-situasi yang berasosiasi, memiliki kesamaan, memiliki derajat keaslian belajar yang tinggi dan memiliki elemen kritis (Lieb, 1991). Didasarkan pada apa yang dikemukakan oleh Lieb tersebut dan hasil belajar yang dicapai oleh peserta P2KK yang menunjukkan bahwa mereka mampu mentransfer dengan baik apa yang mereka pelajari ke dalam dirinya, menggambarkan bahwa pilihan materi yang diberikan dan metode yang digunakan cukup mendukung untuk terjadinya transfer or learning. Materi yang diberikan adalah hal-hal yang pada umumnya memiliki kesamaan dengan pengalaman mereka sehari-hari dan materi-materi yang merupakan elemen-elemen kritis yang mereka butuhkan. Metode yang digunakan mampu merangsang peserta untuk mengasosiasikan dengan pengetahuan yang telah mereka miliki dan memberi kebebasan dalam cara memperlajari materinya. 3. Hubungan antara Tingkat Partisipasi dengan Hasil Belajar Hasil analisis data yang menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan (r = 0,320; p = 0,000) antara tingkat partisipasi dengan skor hasil belajar mahasiswa baru UMM peserta P2KK tahun 2005 memberi bukti empiris mengenai haubungan antara kedua variabel tersebut. Mengenai sumbangan efektif tingkat partisipasi terhadap hasil belajar yang hanya 10, 2% menggambarkan bahwa tingkat partisipasi saja tidak mencukupi untuk dijadikan prediktor pencapaian hasil belajar. Artinya, tidaklah mencukupi untuk bisa mencapai hasil belajar atau penguasaan materi yang baik hanya dengan ikut berpartisipasi aktif di dalam proses pembelajaran, masih banyak faktor lain yang ikut menentukan pencapaian hasil belajar atau penguasaan terhadap materi pembelajaran. Apalagi, dalam penelitian ini hasil belajar yang diukur hanya pada materi keagamaan dan dengan asumsi bahwa sebelum mengikuti pelatihan perserta memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan keagamaan setara, padahal kenyataannya mungkin bisa sangat

beragam, sedangkan dalam penelitian ini tidak dilakukan pengendalian terhadap hal tersebut. Hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara tingkat partisipasi dan pencapaian hasil belajar ini memperkuat pandanganpandangan mengenai belajar dari pendekatan kognitif dan humanistik. Teoritikus kognitif percaya bahwa pikiran bukanlah lembaran kosong yang pasif, tetapi aktif . Ia mampu menimbang alternatif-alternatif dan telah memiliki kebutuhan yang menyatu untuk mengurangi kebingungan dan mambuat segala sesuatu menjadi sesederhana mungkin. Oleh karenanya, dalam proses pembelajaran mereka berpandangan bahwa guru/instruktur/trainer bukan sekedar pengatur lingkungan belajar, tetapi lebih dari itu ia harus berpartisipasi aktif dalam menciptakan hubungan belajar yang kondusif (Hergenhahn, 1976). Carl Rogers dan para tokoh humanistik lain telah mengembangkan teori mengenai pembelajaran fasilitatif. Premis dasar dari teori ini adalah bahwa belajar akan berlangsung jika pendidik bertindak sebagai fasilitator dengan menciptakan atmosfir belajar yang memungkinkan pembelajar merasa nyaman untuk menerima gagasan-gagasan baru dan terbebas dari ancaman faktor-faktor eksternal (Laird dalam Dunn, 2000). Dengan hubungan dan atmosfir belajar yang kondusif tersebut memungkinkan pembelajar untuk lebih berani mengambil inisiatif dan berperan aktif sehingga mampu mencapai tujuan belajar mereka. Hasil penelitian ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Smith dan MacGregor (dalam Goodsell dkk., 1992) dari hasil kajiannya terhadap beberapa penelitian mengenai belajar di perguruan tinggi. Ia menyimpulkan bahwa keterlibatan dalam proses belajar, keterlibatan dengan mahaswiswa lain dan keterlibatan dengan pihak fakultas merupakan faktor-faktor yang memperkuat perbedaan keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi. Dalam pelaksanannya, P2KK untuk para mahasiswa baru UMM tahun 2005/2006 juga menerapkan prinsip-prinsip dan metode-metode dalam Cooperative Learning, misalnya metode Jig-saw, Learning Together dan Teams-GamesTournaments. Sebagaimana hasil meta-analysis yang dilakukan oleh Johnson

dkk. (2000), metode-metode cooperative learning memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap prestasi para pelajar. Dengan demikian menjadi jelas bahwa P2KK untuk para mahasiswa baru UMM yang dirancang dengan menggunakan model pendekatan pembelajaran orang dewasa, proses belajar melalui pengalaman langsung (experiential learning) melalui metode: games, role play, case study, dan focused group discussion dengan mempertimbangkan keberagaman pesertanya dan menerapkan prinsip-prinsip serta metode-metode cooperative learning, cukup efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan pada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat partisipasi dan hasil belajar yang dicapai tersebut, maka di dalam perancangan proses belajar mengajar perlu dipertimbangkan betul aspek keterlibatan pesertanya. Demikian pula dalam proses belajar mengajar di kelas-kelas, dosen perlu melibatkan mahasiswa secara aktif di dalam proses. Dosen harus mampu merancang dan menerapkan metode pembelajaran yang kondusif yang mampu membuat mahasiswa turut berperan dan berpartisipasi secara aktif. Mahasiswa harus dipandang sebagai para pembelajar dewasa yang otonom dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, yang membutuhkan kebebasan, perhatian dan pengahargaan. Dosen harus mampu menciptakan atmosfir belajar yang membuat mahasiswa merasa nyaman dan terbebas dari ancaman-ancaman eksternal sehingga memungkinkan mereka untuk lebih berani mengambil inisiatif dan berperan aktif dan pada akhirnya mampu mencapai tujuan belajar mereka.

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Ada hubungan positif yang sangat signifikan (r = 0,320; p = 0,000) antara tingkat partisipasi dengan skor hasil belajar mahasiswa baru UMM peserta Pelatihan P2KK tahun 2005/2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin baik tingkat partisipasi peserta, semakin tinggi skor tes hasil belajar yang dicapai. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Rancangan metode pembelajaran dalam P2KK tersebut berhasil membuat pesertanya terlibat aktif di dalam proses dan mencapai hasil pembelajaran yang cukup memuaskan. B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dengan pembahasannya, diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi Universitas Muhammadiyah Malang: Pendekatan dan metode pembelajaran yang digunakan dalam Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan tersebut dapat diadopsi untuk disosialisaikan dan diterapkan dalam pembelajaran berbagai mata kuliah di kelaskelas dan perlu terus dikembangkan sebagai upaya untuk menemukan pendekatan dan metode pembelajaran yang ideal di Universitas Muhammadiyah Malang. 2. Bagi Dosen di Universitas Muhammadiyah Malang Dalam rancangan proses belajar mengajar di kelas-kelas perlu melibatkan partisipasi aktif mahasiswa untuk mencapai hasil pembelajaran yang lebih baik. Dosen perlu lebih mengarahkan dirinya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dan memperlakukan mahasiswa sebagai pembelajar dewasa. 3. Bagi Mahasiswa:

Mahasiswa disarankan untuk selalu berpartispasi secara aktif dalam setiap kegiatan dan proses pembelajaran karena tingkat partisipasi terbukti berkorelasi positif dengan pencapaian hasil pembelajaran. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya: Pengukuran hasil belajar dalam penelitian ini terbatas pada materi keagamaan saja yang hanya dilakukan pada akhir pelatihan (post test) dan menggunakan asumsi bahwa peserta berangkat dengan tingkat pengetahuan keagamaan yang sama. Peneliti selanjutnya perlu mengatasi kelemahan penelitian ini misalnya dengan melakukan pengendalian terhadap variabel tersebut atau dengan melakukan dua kali pengukuran (pre test - post test). Pengukuran terhadap aspek atau materi pelatihan yang lain juga diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai hubungan tingkat partipasi dengan hasil belajar.

DAFTAR PUSTAKA Achmat, Z. (2005) Efektifitas Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Mahasiswa Baru UMM Tahun 2005/2006. Laporan Penelitian. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang (tidak diterbitkan) Clark, Neil (1991) Managing Personal Learning and Change, A Trainers Guide. London: McGraw-Hill Book Company Dunn, Lee (2000) Theories of Learning. http://www.brookes.ac.uk/services/ocsd/2_learntch/theories.html Feldman, Robert S. (1999) Understanding Psychology. Boston: McGraw-Hill Companies __________ (2003) Essentials of Understanding Psychology. New York: McGraw-Hill Companies Goodsell, Anne; Maher, Michelle; Tinto, Vincent; Smith, Barbara L.; and MacGregor, Jean. (1992) Collaborative Learning: A Sourcebook for Higher Education. Pennsylvania: the National Center on Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment at Pennsylvania State University. Greenway, Roger (2005) Experiential Learning Cycles. http://reviewing.co.uk/research/learning.cycles.htm Hergenhahn, B.R. (1976) An Introduction to Theories of Learning. New Jersey: PrenticeHall, Inc. Johnson, Davud W.; Johnson, Roger T. and Stanne, Mary Beth (2000) Cooperative Learning Methods: A Meta-Analysis. Minnesota (unpublished) Kelly, Curtis (1997) David Kolb, The Theory of Experiential Learning and ESL. The Internet TESL Journal, Vol. III, No. 9. http://iteslj.org/Articles/Kelly-Experiential/ Lieb, Stephen (1991) Principles of Adult Learning. http://honolulu.hawaii.edu/intranet/committees/FacDevCom/guidebk/teachtip/adults2.htm Matlin, Margert W. (1998) Cognition. Orlando: Harcourt Brace & Company Pike, Bob (2005) The More Effective Alternative to Lecture-Based Training. http://www.bobpikegroup.com/seminars/whatis_pct.html .. (2005) Panduan Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Kepemimpinan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang (tidak diterbitkan)

Anda mungkin juga menyukai