Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG Urtikaria atau biduran, dalam bahasa awam, adalah suatu kelainan yang terbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang eritematous. Urtikaria dikenal juga sebagai penyakit kulit dengan bintul-bintul kemerahan sebagai akibat dari proses alergi (Baskoro et.al, 2007). Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2: Seorang anak bernama Siti, 10 tahun, sering menderita biduren/kaligata, yang biasanya timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pada pipinya timbul eczema, berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Waktu bayi selain ASI, juga mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentol-bentol merah, terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen serta diare. Selanjutnya, Siti tidak berani lagi makan udang, telur, dan semua ikan laut. Setelah periksa ke dokter, hasil pemeriksaan darah lengkap Hb: 13, 2 gr/dL; jumlah leukosit: 7,5x103; AT: 337x103; hitung jenis leukosit: eosinofilia relatif. Selanjutnya dokter memberikan obat dan dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test. Ibunya Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti khawatir kalau asmanya menurun pada anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hasil tersebut. Ibunya Siti pernah berobat ke praktek dokter, diberikan suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syoknya tersebut, namun tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV? 2. Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi? 3. Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi? 4. Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada juga yang menetap? 5. Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika? 6. Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit alergi? 7. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat? F. HIPOTESIS Urtikaria yang terjadi pada pasien dalam kasus adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu reaksi alergi terhadap makanan tertentu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Reaksi Hipersensitivitas Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb. Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH

(Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Jenis Hipersensitivitas Patologik Penyakit Tipe I IgE Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif, Hipersensitivitas mediator lipid, dan sitokin) cepat Tipe II IgM, IgG terhadap Opsonisasi & fagositosis sel Reaksi melalui permukaan sel atau Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) antibodi matriks antigen atas pengaruh komplemen dan FcR ekstraseluler Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone) Tipe III Kompleks imun (antigen Pengerahan dan aktivasi leukosit atas Kompleks imun dalam sirkulasi dan IgM pengaruh komplemen dan Fc-R atau IgG) Tipe IV (melalui sel T) 1. CD4+ : DTH 1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas Tipe IVa 2. CD8+ : CTL pengaruh sitokin Tipe IVb 2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin (Baratawidjaja, 2006). B. Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe I Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: 1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit. Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit. 1. Mediator jenis pertama Meliputi histamin dan faktor kemotaktik. - histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.

- Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk selsel neutrofil. 2. Mediator jenis kedua Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase. - Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah. - Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin. 3. Mediator jenis ketiga Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002) C. Nutrisi dan Alergi Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit (urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik) (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya timbul setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu, bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE (Baskoro et.al, 2007). Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi tersering pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan eliminasi makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama. Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1 telah diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1 (tropomiosin). Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat menimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE pada sel mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). . D. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktorfaktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala. Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut. 1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi. 2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul. 3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.

4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien. 5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti, 2007). E. Penatalaksanaan Penyakit Alergi Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen. Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007). BAB III PEMBAHASAN Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik. Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare. ASI berisi substansi alamiah yang membantu maturitas usus bayi sehingga melindungi terhadap reaksi alergi, meningkatkan pertumbuhan postnatal dari epitel intestinal dan maturasi fungsi mukosa, serta menjaga keseimbangan Th1 dan Th2 yang menyebabkan penurunan risiko terjadinya alergi. Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan mengalami alergi, karena maturitas barier imunitasnya belum sempurna, sehingga belum dapat melindungi tubuh dengan maksimal. Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu. Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal. Ibunya Siti yang mengalami pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi, menunjukkan bahwa ibunya Siti juga memiliki riwayat alergi. Mekanisme alergi pada ibunya Siti juga tetap diperantarai histamin, namun, alergi pada ibunya Siti bermanifestasi pada saluran pernafasan. Contohnya, bronkokonstriksi yang menyebabkan sesak nafas dan mengi (ekspirasi berbunyi) adalah akibat dari kerja histamin yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Sedangkan pilek, hidung gatal, dan bersin, adalah upaya mukosa dan sekretnya untuk menyingkirkan alergen yang masuk ke saluran pernafasan. Asma, dalam hal ini adalah alergi

bronkus yang dikhawatirkan menurun, memang mempunyai kemungkinan diturunkan. Dengan mempunyai hanya satu orang tua yang memiliki riwayat alergi saja, anak telah memiliki risiko alergi sebesar 20-40%. Syok anafilaktik yang terjadi ketika ibunya Siti disuntik merupakan salah satu reaksi alergi hebat akibat pelepasan histamin yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran dan penurunan tekanan darah. Apabila dijumpai syok anafilaktik, hendaknya pada pasien segera diberikan antagonis fisiologis histamin, yaitu berupa injeksi adrenalin. Apabila dijumpai pasien dengan kecurigaan penyakit alergi, maka pertama kali dilakukan anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan laboratorium, kemudian tes kulit yang sederhana. Apabila belum ditemukan penyebab yang pasti, barulah dilakukan tes provokasi. Dalam kasus, kemungkinan besar pasien alergi terhadap makanan tertentu seperti udang dan kepiting, karena gejala-gejala alergi yang ada timbul setelah pasien makan makanan tersebut. Penatalaksanaan yang paling baik untuk alergi adalah menghindari alergennya. Namun apabila diperlukan, dapat digunakan antihistamin, obat-obat kortikosteroid, serta imunosupresan yang seluruhnya digunakan untuk menekan respon sistem imun yang berlebihan yang terjadi pada reaksi alergi. BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE. 2. Pasien dalam kasus mengalami alergi terhadap makanan. 3. Alergi dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup. 4. Sifat alergi mempunyai kemungkinan diturunkan. 5. Diagnosis penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit, dan apabila perlu tes provokasi. 6. Cara terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu dapat digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan. B. SARAN 1. Sebaiknya Siti segera menjalani skin prick test agar diagnosis penyakit dapat segera dipastikan, dan dibandingkan dengan diagnosis banding bintul kulit lainnya, yaitu herpes, pemfigoid bulosa, atau penyakit gula kronik. 2. Sebaiknya Siti menghindari makanan-makanan penyebab alergi, seperti udang dan kepiting, dan menggunakan makanan lain sebagai sumber protein pengganti. DAFTAR PUSTAKA Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan Angiodema dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika. Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI Rengganis, Iris. Yunihastuti, Evy. 2007. Alergi Makanan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.

B.

1.

2.

3.

4.

5.

ANTIBODI Antibodi adalah imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Macam-macam antibodi yaitu: IgG IgG merupakan komponen utama terbanyak imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai carian lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. IgA IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi, saliran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sabagai IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum maupun sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran. IgM IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dulu pada respon imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus yang berumur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intrauterin. IgD IgD ditemukan dengan kadar yang rendah dalam darah . IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti kompleks nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B. IgE IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikiat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran nafas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin. (Kindt T.J., et al,. 2007)

C. DEFINISI REAKSI HIPERSENSITIVITAS Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik oleh karena respons imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan (Sherwood, Lauralee, 2001) Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons fisiologis yang tidak menguntungkan (Abbas, 2000). Secara klasik, istilah alergi yang diciptakan oleh Von Pirquet, disebut keadaan reaktivitas yang diubah. Modifikasi selanjutnya dari arti istilah tersebut telah menyamakan alergi dengan hipersensitivitas, yaitu reaksi terhadap bahan asing yang berakhir dengan akibat yang merusak. Hipersensitivitas sebagai respons atau reaksi imun yang berlebihan atau tidak terkontrol (Kresno, Siti Boedina, 2001). Sedangkan Dorland (2002) mendefinisikannya sebagai keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respons imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing..

D. PENGGOLONGAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara umum Gell dan Comb membagi reaksi hipersensitivitas menjadi empat golongan, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme patologik utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan. Reaksi tipe I, II, dan III terjadi karena interaksi antara antiogen dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi tipe IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit T dan mengaktifkan limfosit T sehingga termasuk reaksi seluler. (Bar Jenis Hipersensitivitas Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan Jaringan dan atawidjaja, Patologik Penyakit 2006). Tipe I IgE Sel mast dan mediatornya (amin Hipersensitivitas cepat vasoaktif, mediator lipid, dan 1. TIPE I : sitokin) REAKSI Tipe II IgM, IgG terhadap Opsonisasi & fagositosis sel HIPERSENSI Reaksi melalui antibody permukaan sel Pengerahan leukosit (neutrofil, TIVITAS atau matriks makrofag) atas pengaruh TIPE antigen komplemen dan FcR ekstraseluler Kelainan fungsi seluler (misal dalam SEGERA Rea sinyal reseptor hormone) ksi Tipe III Kompleks imun Pengerahan dan aktivasi leukosit Kompleks imun (antigen dalam atas pengaruh komplemen dan Fc- hipersensitiv itas tipe I sirkulasi dan IgM R disebut juga atau IgG) reaksi cepat, Tipe IV (melalui sel T) 1. CD4+ : DTH1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas reaksi Tipe IVa 2. CD8+ : CTL pengaruh sitokin anafilaksis, Tipe IVb 2. Membunuh sel sasaran direk, atau reaksi inflamasi atas pengaruh sitokin alergi, dikenal sebagai reaksi yang segera timbul setelah alergen masuk ke dalam tubuh setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks, et al., 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: 1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit. Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel

mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit. 1) Mediator jenis pertama Meliputi histamin dan faktor kemotaktik. Histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos. Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.

2)

Mediator jenis kedua Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase. Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah. Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin. 3) Mediator jenis ketiga Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002) Salah satu mekanisme efektor sistem imun yang paling kuat adalah reaksi yang terjadi akibat stimulasi mastosit jaringan dan basofil yang diperantarai IgE. Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diproses lalu dipresentasikan ke sel Th2 yang kemudian melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan didikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk Ig E (Fce-R) seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Bila antigen, khususnya alergen, berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat pada permukaan mastosit atau basofil, maka hal itu dapat menyebabkan dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit dan basofil yang secara kolektif mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos bronkus dan saluran cerna serta inflamasi lokal. Penyakit alergi memanifestasikan ketidakseimbangan terutama melalui tiga organ sasaran traktus gastrointestinal, kulit, dan traktus respiratorius. Sifat-sifat umum dari ketiga sasaran ini adalah terpaparnya terhadap lingkungan luar, yang menyedaiakan jalan masuk umum untuk agen eksogen. Jalan dan jenis antigen yang paling umum adalah sebagai berikut : Jalan Contoh Mekanisme Manifestasi penyakit antigen 1. Ingestian Makanan Tipe I Alergi gastrointestinal Obat-obatan Tipe I, II, III Urtikaria,peny. serum,dll 2. Inhalan Tepungsari, Tipe I, III Asma bronkiale, rinitis debu, jamur alergika, dll 3. Injektan Obat-obatan Tipe I, II, III Reaksi obat cepat Sengatan lebah Tipe I Anafilaksis Vaksin Tipe III Arthus lokal Serum Tipe I Anafilaksis 4. Kontakan Racun ivy Tipe IV Dermatitis kontak Urutan khas dari proses yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe I adalah: Produksi IgE oleh sel B sebagai respon terhadap antigen paparan pertama,

(1)

(2) (3) (4)

Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil, Interaksi antara antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan Aktivasi sel bersangkutan dan pelepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut. Manifestasi klinik dan keadaan patologik reaksi hipersensitivitas disebabkan aksi-aksi mediator tersebut. Beberapa mediator peradangan : Mediator Sifat kimia Aktifitas biologis Histamin Amino sederhana, BM 11 Meningkatkan permeabilitas, sensasi gatal, aktivitas mukosa, kontarksi otot polos. Prostlagandin BM 352 Kontraksi otot polos, meningkatkan pelepasan mediator oleh basofil PAF Fosfolipid Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos, menarik netrofil. Leukotrien Lipid asam Spasme otot polos, permeabilitas venula Heparin Peptida pembawa gula Antikoagulan, modulasi amino dan sulfat mediator lain. ECF-A Tetrapeptida asam Menarik netrofil NCF-A Protein besar Sebabkan migrasi netrofil Kalikrein basofil Tidak ditentukan Menyebabkan pembentukan bradikinin

Jadi, bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE spesifik pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi yang mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin dan menimbulkan gejala alergi. Contoh penyakit yang timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, allergic rinitis (hay fever), urtikaria, dermatitis atopik, alergi pada penicillin, gigitan serangga, jamur, dll, allergic conjunctivitis, anafilaktik, angioedema, dan cephalosporin (Baratawidjaja dan Rengganis, 2007). 2. TIPE II : REAKSI SITOTOKSIS DENGAN BANTUAN ANTIBODI Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi dapat terjadi karena dibentuk antibodi IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan dan mengaktifkan komplemen yan gmenimbulkan lisis. Lisis dapat pula terjadi setelah sensitisasi sel NK sebagai efektor ADCC. Pada hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen, dengan konsekuensi : 1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain. 2. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran.

Anda mungkin juga menyukai