Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Biomonitoring merupakan suatu teknik ilmiah untuk mengetahui risiko bahan kimia alami dan sintetis terhadap manusia berdasarkan sampling dan analisis jaringan individu dan cairan. Teknik ini berdasarkan ilmu bahwa zat kimia yang memasuki tubuh manusia menyebabkan manifestasi klinis (Ibrahim, 2006). Biomarker merupakan penanda suatu peristiwa atau kondisi dalam sistem biologi atau sampel dan memiliki ukuran paparan, dampak, atau kerentanan. Biomarker merupakan penanda adanya perubahan dalam struktur biologi atau proses yang dapat diukur sebagai akibat dari paparan zat toksik (Ibrahim, 2006). Aktifitas masyarakat seperti kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya), industri, dan pariwisata menyebabkan banyak polutan masuk ke dalam perairan. Pencemaran perairan ditandai dengan adanya perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi perairan. Bahan pencemar berupa logam berat di perairan dapat membahayakan kehidupan organisme maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Salah satu jenis logam berat yang memasuki perairan dan bersifat toksik adalah kadmium (Cd). Kadmium merupakan logam berat yang sangat berbahaya karena tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup dan dapat terakumulasi ke lingkungan terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik melalui absorpsi dan kombinasinya (Trilianty, 2010). Gbaruko dan Friday pada tahun 2007 menyatakan bahwa logam berat Cd secara alami merupakan komponen yang terdapat pada lapisan bumi dan dapat memasuki perairan melalui rangkaian proses geokimia dan aktivitas manusia. Aktivitas manusia dapat menyebabkan kontaminasi logam berat Cd pada lingkungan perairan dan gangguan pada sistem biologis.

1.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah : Tujuan Umum Untuk mengetahui pengertian dari biomonitoring dan biomarker. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh toksisitas logam berat terhadap manusia. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh toksisitas

karbonmonoksida (CO) terhadap manusia Tujan Khusus Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai biomonitoring dan biomarker

1.3 Manfaat Penulisan Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah mampu memberikan pengetahuan dan wawasan tentang biomonitoring dan biomarker serta paparan toksisitas logam berat dan karbonmonoksida (CO) bagi mahasiswa dan pembaca.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Biomonitoring Simpul I-IV Definisi Biomonitoring Biomonitoring merupakan cara ilmiah untuk mengukur paparan manusia dengan alam maupun bahan kimia berdasarkan sampling dan analisis terhadap jaringan individu dan cairan. Bahan pemeriksaan berupa: darah, urin, air susu ibu (ASI), udara, rambut, kuku, lemak, tulang, dan jaringan lain. Teknik ini berdasarkan ilmu bahwa zat kimia yang memasuki tubuh manusia meninggalkan tanda yang menunjukkan paparan ini (Anies, 2006).

Tahap Biomonitoring Proses dari biomonitoring terdiri atas: Memilih apa yang akan dimonitor, termasuk kapan dan dimana terjadinya. Mengumpulkan contoh jaringan. Memutuskan zat kimia mana yang akan dipelajari dan dianalisis diantara zat kimia dalam contoh yang dikumpulkan. Hal tersebut merupakan proses rumit dan mahal, bilamana tujuan untuk mendapatkan hasil yang menunjukkan tingkatan variasi tubuh berdasarkan umur, jenis kelamin, suku, letak geografis, dan keadaan kesehatan individu (Anies, 2006). Biomonitoring dipengaruhi oleh teknik analisis kimia untuk mendeteksi zat kimia dalam jumlah sedikit. The United Standard (US) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah memulai program monitoring lingkungan (Anies, 2006).

Analisis yang aktual berdasarkan cara kerja laboratorium yang benar membutuhkan teknik dan instrumentasi analisis yang berpengalaman karena metode pemeriksaan sangat sensitif untuk mendeteksi jumlah sedikit yang ditemukan di manusia. Pemeriksaan khusus ini tidak bisa dilakukan oleh ahli laboratorium umum yang secara rutin hanya mengecek darah dan urin yang disarankan oleh dokter (Anies, 2006).

Manfaat Biomonitoring Manfaat biomonitoring antara lain: Biomonitoring menyediakan informasi yang dapat digunakan dalam berbagai cara. Data ini mendeteksi zat mana yang terdapat di lingkungan dan kadarnya, bagaimana kadar dapat berubah dan bagian mana pada populasi memiliki paparan tinggi terhadap zat tertentu. Sebagai hasil dari pemahaman ini berupa: Mengetahui keefektifan tahap yang diambil untuk mengurangi paparan. Mengidentifikasi penelitian baru. Membantu dokter mendiagnosis dan penatalaksanaan pada kasus dengan paparan tinggi yang tidak biasa terhadap suatu zat tertentu.

Risiko Paparan Zat Kimia Suatu zat kimia yang ditemukan dalam tubuh mengandung risiko yang dipengaruhi oleh: Besarnya, rangkaian waktu, dan rute (proses pencernaan, pernapasan atau kontak kulit) paparan. Tingkat/dosis toksiknya, bilamana efek buruk dihubungkan dengan jenis paparan.

Risiko dapat terjadi bilamana seseorang: Sangat tidak terlindungi dalam waktu singkat. Kurang terlindungi untuk waktu yang lama. Tidak terlindungi dari tingkat yang lebih rendah dari suatu senyawa dengan tingkat keberacunan yang tinggi.

Pengetahuan tentang tingkat keberacunan dan ciri-ciri paparan penting untuk menduga risiko yang mungkin terjadi. Biomonitoring hanya menyediakan satu bagian dari data yang dibutuhkan untuk menjaga risiko, tidak bisa digunakan sebagai pengganti dari risiko (Anies, 2006). Sayangnya, bilamana individu tidak mengerti batasan

biomonitoring dalam menyediakan informasi mengenai risiko, mereka mungkin mengambil langkah untuk mengurangi paparan. Namun sebenarnya bukannya mengurangi risiko tapi malah menambah risiko totalnya, contoh: ibu yang sedang menahan diri untuk memberikan ASI ketika mengetahui sebuah zat kimia tertentu telah ditemukan pada air susu mereka. Hampir pada semua kasus keuntungan dari pemberian ASI lebih banyak daripada risiko yang mungkin terjadi dari zat kimia ini (Anies, 2006). Dalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan, maka perlu diketahui perjalanan penyakit atau patogenesis penyakit tersebut, sehingga kita dapat melakukan intervensi secara cepat dan tepat. Patogenesis penyakit dapat digambarkan seperti dibawah ini:

Gambar 2.1 Simpul-Simpul Biomonitoring


Dikutip dari: Anies, Manajemen berbasis lingkungan.

Teori Simpul Simpul 1 (Sumbernya) Pengamatan, pengukuran, dan pengenalan sumber pencemar seperti emisi kendaraan bermotor, sumber penyakit. Sumber penyakit merupakan suatu keadaan organ tubuh didapati agen penyakit. Agen penyakit merupakan komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit baik melalui kontak secara langsung maupun melalui perantara (Achmadi, 2008). Beberapa contoh agen penyakit: Agen Biologis: bakteri, virus, jamur, protozoa, amoeba. Agen Kimia: logam berat (Timbal [Pb], merkuri [Hg]), polusi udara (Iritasi: ozon [O3], nitrogenoksida [N2O], sulfurdioksida [SO2],

Asphyxiant: metana [CH4], karbonmonoksida [CO]), debu dan serat (Asbestos, silicon), pestisida. Agen Fisika: radiasi, suhu, kebisingan, dan pencahayaan.

Simpul 2 (Media Lingkungan) Komponen lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit karena dapat memindahkan agen penyakit. Komponen lingkungan yang lazim dikena sebagai media transmisi adalah:

- Udara - Air - Makanan - Hewan - Manusia (secara langsung)

Simpul 3 (Tubuh Manusia) Pemeriksaan terhadap tubuh manusia yang terpapar, pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan darah, urin, rambut, lemak, jaringan, dan sputum (dahak) (Achmadi, 2008).

Simpul 4 (Dampak Kesehatan) Dampak kesehatan yang terjadi pada manusia seperti toksisitas, kanker paru-paru, kanker kulit, serta penderita penyakit menular (Achmadi, 2008).

2.2 Biomarker Pada Toksisitas Logam Berat Definisi Biomarker Pada Toksisitas Logam Berat
Biomonitoring meliputi analisis terhadap bioakumulasi, biotoksisitas, dan biomarker logam. Perkembangan penelitian dalam bidang ekotoksikologi diharapkan dapat mendeteksi adanya logam berat di perairan melalui biomarker. Pendekatan biomarker memanfaatkan sistem biomolekuler

(Dianne, 1999).
Logam berat merupakan komponen alami dari kerak bumi dan toksik telah diketahui manusia dan digunakan sebelumnya. Logam berat seperti

arsenik, timbal, kadmium, dan merkuri berbahaya bagi kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan di lingkungan. Pencemaran logam berat dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan baik pada manusia, hewan, tanaman maupun lingkungan (Dianne, 1999).

Faktor Risiko Biomarker Pada Toksisitas Logam Berat Survei yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Nasional dan Gizi atau The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) dari tahun 1988-1990 menemukan bahwa 0,4% dari orang yang berusia satu tahun dan lebih tua memiliki tingkat darah 25g/dL atau lebih tinggi. Data juga mencatat bahwa di antara mereka yang berusia 15 tahun diperkirakan sebanyak 1,7 juta anak-anak memiliki tingkat darah yang lebih besar dari 10g/dL. Toksisitas plumbum (Pb) pada anak yang disebabkan oleh konsumsi timah diyakini memberikan dampak pada lebih dari 2 juta anak usia prasekolah di Amerika. Prevalensi toksisitas timbal atau plumbum cukup tinggi pada penduduk Amerika-Afrika yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Paparan arsenik dapat terjadi di luar bidang industri karena kegunaannya sebagai rodentisida dan dapat bersifat letal. Penggunaan kadmium dalam industri meningkat sejak

ditemukannya pada tahun 1817 oleh Stromyer. Bahan campuran yang mengandung kadmium digunakan secara luas dalam pembuatan cat, plastik, gelas, logam campuran, dan alat listrik (Soghoian, 2011). Pencemaran logam berat cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya proses industrialiasasi di Indonesia. Sejak zaman

industrialisasi, merkuri menjadi bahan pencemar penggalian. Salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh merkuri adalah pembuangan tailing pengolahan emas yang diolah secara amalgamasi. Mereka mencari emas menggunakan mesin sedot dengan demikian mengganggu hamparan kanal dan alur sungai, serta meningkatkan jumlah tumpukan sedimen (pengendapan bahan atau partikel yang terdapat di permukaan bumi). Pengolahan emas menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dalam proses amalgamasi (Trilianty, 2010). Paparan logam berat meliputi sumber daya alam seperti tanah dan bijih logam, proses industri, produk komersial, obat tradisional, makanan

yang terkontaminasi, dan produk herbal. Logam berat bersifat toksik dan memapari tubuh kita melalui makanan, air minum, dan udara. Logam menghasilkan toksik dengan membentuk kompleks senyawa yang seluler yang mengandung sulfur, oksigen, dan nitrogen. Kompleks tersebut menonaktifkan sistem enzim atau memodifikasi struktur protein yang menyebabkan gangguan fungsi sel. Sistem organ yang paling sering terkena dampaknya meliputi gastrointestinal (GI), kardiovaskular (CV), hematopoietik, ginjal, dan sistem saraf perifer. Sifat dan tingkat keparahan toksisitas berbeda tergantung pada jenis logam yang terlibat, tingkat paparan, bahan kimia dan jenis ion (Anorganik atau organik), cara paparan (akut atau kronik), dan usia manusia tersebut (Soghoian, 2011). Toksisitas logam berat relatif jarang terjadi. Kegagalan untuk mengenali dan mengobati toksisitas logam berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ensefalopati merupakan penyebab utama kematian pada penderita dengan toksisitas logam baik akut dan kronis (Soghoian, 2011). Ras Di Amerika Serikat, prevalensi tinggi pada toksisitas timbal terjadi pada populasi AfrikaAmerika yang disebabkan oleh keterlambatan dalam meniadakan sumber timbal (logam berat) dari lingkungan di daerah sosial ekonomi rendah (Soghoian, 2011). Jenis Kelamin Jenis pekerjaan dengan paparan logam berat yang dominan melibatkan jenis kelamin tertentu yang dihubungkan dengan angka tertinggi terhadap paparan dalam jenis kelamin itu (Soghoian, 2011). Usia

10

Umumnya, anak-anak lebih rentan terhadap efek racun dari logam berat dan lebih rentan terhadap paparan yang tidak disengaja (Soghoian, 2011). Garam anorganik memasuki tubuh dengan cara menelan atau inhalasi. Pada orang dewasa 10% dari dosis yang ditelan akan diabsorpsi. Kasus inhalasi garam anorganik pada anak-anak terjadi 50% dari dosis yang ditelan. Prosentase timbal yang diserap meningkat dengan kekurangan zat besi, kalsium, dan seng. Hal ini juga meningkat terutama pada diet susu karena kandungan lemaknya tinggi. Anak-anak dan bayi rentan terhadap keterlambatan perkembangan sekunder pada toksisitas. Konsentrasi timbal dalam darah yang diperoleh pada anak usia enam tahun sangat terkait terhadap kognitif dan perkembangan perilaku daripada konsentrasi timbal dalam darah diukur pada usia dua tahun.

Tabel 2.1 Prosentase Logam Yang Paling Umum Ditemukan


Jenis Logam Arsenikic Akut Mual, muntah, diare, nyeri saraf Kronik Diabetes, hipopigmentasi/hiperkeratosis, kanker : paru-paru, kandung kemih, enselopati Difusi mioklonik, enselopati Konsentrasi Toksik 24-h urin : 50 g/L urin atau 100 g/g kreatinin

Bismut

Gagal ginjal, nekrosis tubular akut Pneumonitis oksida) (asap

Tidak ada standar referensi yang jelas Proteinuria dan/atau 15 g/ g kreatinin Latar Belakang paparan "normal" batas: 10 mg / L (whole blood), 20 mg / L (24-h urin)

Kadmium

Proteinurea, kanker paru-paru, osteomalacia Mual, tremor, neurasthenia, sindrom nefrotik, hipersensitivitas

Merkuri

Menghirup : demam, muntah, diare Garam anorganik (konsumsi) : gastroenteritis kaustik

Dikutip dari : http://emedicine.medscape.com/article/814960-overview#a0101

11

Gejala Klinis Toksisitas Logam Berat Toksisitas logam berat dapat menyebabkan gejala gangguan saluran cerna, alopesia, dan perubahan mental (susah berkonsentrasi, irritable, dan somnolen) (Trilianty, 2010). Patofisiologi toksisitas logam berat tetap relatif konstan. Logam berat mengikat oksigen, nitrogen, dan kelompok sulfhidril protein sehingga terjadi perubahan aktivitas enzimatik. Afinitas logam pada kelompok sulfhidril menyebabkan peran protektif dalam homeostasis logam berat. Peningkatan sintesis protein mengikat logam sebagai respon terjadinya peningkatan kadar sejumlah logam yaitu pertahanan utama tubuh terhadap toksisitas. Sebagai contoh, metalloproteins yang

disebabkan oleh banyak logam. Molekul-molekul yang kaya ligan tiol yang memungkinkan memiliki afinitas yang tinggi dalam mengikat kadmium, tembaga, perak, dan seng. Protein lain yang terlibat baik dalam transportasi logam berat dan ekskresi melalui pembentukan ligan yang ferritin, transferin, albumin, dan hemoglobin (Soghoian, 2011). Pembentukan ligan merupakan dasar dari banyak pengangkutan logam berat keseluruh tubuh, beberapa logam dapat bersaing dengan logam terionisasi seperti kalsium dan seng yang bergerak melalui saluran membran dalam bentuk ion bebas. Sebagai contoh, timbal mengikuti jalur kalsium dalam tubuh, sehingga terjadi deposisi dalam tulang dan gingiva (Soghoian, 2011). Sistem organ yang paling sering terlibat yaitu sistem saraf pusat (SSP), sistem saraf perifer, gastrointestinal, hematopoietik, ginjal, dan kardiovaskular. Pada tingkat lebih rendah, toksisitas melibatkan sistem muskuloskeletal dan reproduksi. Sistem organ yang terkena dan keparahan toksisitas bervariasi sesuai dengan logam berat terlibat, kronisitas dan tingkat paparan, dan usia manusia (Soghoian, 2011).

12

Senyawa arsenik terbagi di tiga bagian oksidasi: arsenik trivalen, arsenik pentavalen, dan arsenik unsur. Arsenik memiliki kandungan 10kali lebih toksik dari arsenat, unsur tidak beracun. Arsenik terbagi dalam tiga bentuk kimia: organik, anorganik gas, dan arsine. Arsenik organik memiliki toksisitas sedikit lebih akut dibanding arsenik anorganik dan gas arsine yang beracun. Paparan arsenik terutama terjadi saat konsumsi tetapi bilamana terhirap atau terserap melalui kulit dapat juga terjadi. Arsenik terjadi secara alami dalam makanan laut sebagai senyawa organik beracun seperti arsenikobetaine yang dapat menyebabkan kadar arsenik pada urin tinggi (Ibrahim, 2006). Dosis yang mematikan arsenik anorganik 0,6mg/kg. Setelah penyerapan, arsenik anorganik akan cepat mengikat hemoglobin dalam eritrosit. Arsenik darah didistribusikan dengan cepat (Dalam waktu 24 jam) akan ke hati, ginjal, jantung, paru-paru, dan untuk tingkat yang lebih rendah menuju sistem saraf, saluran pencernaan, dan limpa. Arsenik mengalami proses bio-methylation hati untuk membentuk asam

monomethylarsonic dan dimethylarsinic yang memiliki toksisitas kurang akut. Sejumlah kecil arsenik anorganik juga diekskresikan tidak berubah. Sekitar 50% dari arsenik yang tertelan dapat dieliminasi dalam urin dalam tiga sampai lima hari dengan jumlah residu yang tersisa di keratin yang kaya akan jaringan seperti kuku, rambut, dan kulit (Ibrahim, 2006). Dalam toksisitas arsenik akut, gambaran klinis yang pada awalnya terjadi pada saluran pencernaan, seperti mual, muntah, sakit perut, dan diare berdarah. Syok hipovolemik dapat terjadi dalam kasus yang berat sebagai akibat dari kerusakan endotel. Kelainan hematologi termasuk depresi sumsum tulang, pansitopenia, anemia, dan basophilic stippling biasanya akan muncul dalam waktu empat hari dari inhalasi besar (Ibrahim, 2006). Perpanjangan interval QT dan aritmia ventrikel pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) seperti torsade de pointes dapat terjadi beberapa

13

hari setelah gejala di saluran pencernaan mulai membaik. Manifestasi neurologis termasuk neuropati perifer distal simetris dengan gejala mati rasa di tangan dan kaki (Ibrahim, 2006). Perubahan dermatologik termasuk hiperpigmentasi dan keratosis pada telapak tangan dan telapak kaki. Kuku tampak seperti tali putih melintang yang dikenal sebagai garis Mees. Garis Mees adalah hasil dari gangguan matriks kuku dapat dilihat pada toksisitas akut dan kronis, dan tidak spesifik untuk arsenik. Gejala klinis tidak tampak jelas sampai beberapa minggu dan tidak selalu menjadi manifestasi pada semua penderita. Pengaruh terhadap kardiovaskular termasuk peningkatan insiden hipertensi dan penyakit pembuluh darah perifer (Ibrahim, 2006). Wabah sporadis gangren pembuluh darah perifer dikenal sebagai penyakit kaki hitam telah terjadi di Taiwan dan telah dikaitkan dengan kadar arsenik yang tinggi pada air minum. Paparan arsenik kronis dikaitkan dengan berbagai keganasan termasuk kulit, paru-paru, hati, kandung kemih, dan ginjal (Ibrahim, 2006).

Gambar 2.2 Toksisitas Arsenik dan Garis Mees


Dikutip dari : R. Pascuzzi, MD, Indianapolis, IN.

14

Manifestasi dari toksisitas unsur merkuri memiliki variabilitas yang besar tergantung pada kronisitas paparan. Toksisitas akut dapat bermanifestasi dalam beberapa jam dari paparan besar pada gangguan saluran pencernaan, menggigil, lemah, batuk, dan dispnu, pada kasus yang parah terjadinya sindrom gangguan pernapasan dewasa dan gagal ginjal. Toksisitas kronis merkuri dapat berkembang dalam jangka waktu minggu ke bulan, tergantung pada tingkat paparan. Gejala awal biasanya meliputi gangguan saluran pencernaan, sembelit, nyeri perut, dan nafsu makan yang buruk, dan dapat menyerupai penyakit akibat virus. Gejala lain siantaranya mulut kering, sakit kepala, dan nyeri otot. Hasil paparan yang kronis dalam dua sindrom klinis yang berbeda, acrodynia dan erethism. Dikenal sebagai penyakit merah muda, sindrom Feer, penyakit Feer-Swift, eritroderma, dan tangan kaki seperti daging sapi mentah (Ibrahim, 2006). Acrodynia merupakan kompleks gejala yang terjadi pada toksisitas kronis dalam unsur merkuri dan anorganik. Hal ini lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak, tetapi telah dilaporkan telah menyerang pada orang dewasa. Karakteristik yang didapat diantaranya berkeringat, hipertensi, takikardia, pruritus, kelemahan, lemah otot, insomnia, anoreksia, eritematosa, ruam pada telapak tangan, dan telapak kaki. Pada oral ditemukan kemerahan, gusi bengkak, ulserasi mukosa, dan kemungkinan kehilangan gigi (Ibrahim, 2006). Dengan mekanisme yang tidak diketahui, merkuri dapat

mengakibatkan kelemahan proksimal terutama melibatkan gelang panggul dan dada. Penderita dengan kasus toksisitas merkuri sering mengalami perubahan kepribadian karakteristik yang disebut erethism kolektif. Penderita-penderita ini menunjukkan kehilangan memori, mengantuk, menyendiri, lesu, depresi, dan mudah tersinggung. Temuan lain yang umum dalam toksisitas merkuri adalah inkoordinasi dan terjadinya tremor motorik halus terutama pada tangan. Erethism mungkin seperti sindrom

15

Parkinson yang melibatkan ganglia basalis dan serebelum meskipun hubungannya belum dapat ditunjukkan dengan jelas (Ibrahim, 2006).

Gambar 2.3 Acrodynia karena unsur merkuri.


Dikutip dari : D. Rusyniak, MD, Indianapolis, IN

Tabel 2.2 Tanda dan Gejala Toksisitas Sistem Saraf Pusat

Dikutip dari : Kumpulan Kuliah Farmakologi

16

Penatalaksanaan Toksisitas Logam Berat Penatalaksanaan pada penderita dengan toksisitas logam berat difokuskan pada sistem organ saraf pencernaan, hematologi, dan ginjal. Mual, muntah, diare, dan nyeri perut merupakan ciri khas dari inhalasi logam berat akut. Dehidrasi merupakan gejala yang umum terjadi. Ensefalopati, kardiomiopati, disritmia, nekrosis tubular akut, dan asidosis metabolik termasuk dalam gejala toksisitas akut pada kadar paparan logam yang paling tinggi (Ibrahim, 2006). Toksisitas logam berat kronis memiliki dampak langsung terhadap sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer. Paparan logam berat kronis meliputi anemia, garis Mees (Garis hipopigmentasi horisontal di semua kuku), dan temuan neurologis halus. Gejala ini memberikan kecurigaan toksisitas logam berat (Ibrahim, 2006). Penatalaksanaan awal pada toksisitas arsenik yaitu dengan menjauhkan dari sumber paparan. Tindakan resusitasi merupakan hal yang paling penting pada penderita dengan toksisitas yang berat. Resusitasi merupakan perawatan suportif yang baik dan penting. Pastikan patensi jalan nafas dan berikan perlindungan, memberikan ventilasi mekani, disritmia yang tepat, menggantikan cairan dan elektrolit (apabila kehilangan cairan yang signifikan dan memerlukan rehidrasi agresif), serta memantau dan mengobati gejala dari disfungsi organ. Kelasi dengan dimercaprol atau suksimer (2,3-asam dimercaptosuccinic, DMSA) mempertimbangkan pada penderita dengan gejala peningkatan arsenik. Tindakan hemodialisis perlu pertimbangan terhadap penderita yang mengalami gagal ginjal (Ibrahim, 2006). Menjauhkan penderita dari sumber paparan toksik merupakan salah satu tindakan intervensi. Unsur merkuri memiliki paparan toksisitas yang minimal ketika dicerna dan memiliki paparan yang kecil untuk dekontaminasi saluran pencernaan (Ibrahim, 2006). Penatalaksanaan kelasi dengan memberikan molekul yang dapat

17

mengikat ion logam membentuk kompleks netral dan diekskresikan oleh ginjal. Tujuan terapi kelasi adalah untuk mengurangi kadar logam berat dalam tubuh. Beberapa unsur yang tersedia, yang paling sering dikutip termasuk succimer, dimercaprol, dan D-penisilamin. Terapi kelasi membutuhakan waktu beberapa bulan tergantung pada kandungan merkuri dalam tubuh. Kegunaan terapi kelasi masih belum jelas dikarenakan kurangnya penelitian yang menunjukkan manfaat jangka panjang pada penderita yang diobati dengan terapi ini (Soghoian, 2011).

2.3 Biomarker Toksisitas Karbonmonoksida Definisi Toksisitas Karbonmonoksida Karbon monoksida (CO) merupakan gas tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak mengiritasi. Gas CO biasanya sering ditemukan di industri. Gas ini merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari kendaraan bermotor, alat pemanas, peralatan yang menggunakan bahan api dari karbon dan nyala api (seperti tungku kayu), asap dari kereta api, pembakaran gas, asap dan tembakau. Sumber yang paling umum berupa residu pembakaran mesin (Hadiyani, Murti. 2006).

Faktor Risiko Toksisitas Karbonmonoksida Paparan gas CO mudah terjadi, khususnya di kota-kota besar dengan tingkat lalu lintas kendaraan bermotor yang sangat tinggi. Pekerja yang sering menghirup asap kendaraan bermotor, mempunyai risiko tinggi toksisitas gas CO, diantaranya mekanik bengkel dan petugas lalu lintas, para pekerja di penambangan, pekerja kimia, dan operator mesin-mesin berat yang menanggung risiko terbesar (Koeman, J.H. 1987). Penggunakan bahan bakar seperti alat pemanas dengan

menggunakan minyak tanah, gas, kayu dan arang yaitu kompor, pemanas air, dan alat pembuangan hasil pembakaran yang dapat menghasilkan

18

karbonmonoksida.

Pembuangan

asap

mobil

mengandung

9%

karbonmonoksida (Koeman, J.H. 1987). Asap rokok juga mengandung gas CO. Pada orang dewasa yang tidak merokok biasanya terbentuk karboksi hemoglobin tidak >1% tetapi pada perokok yang berat biasanya lebih tinggi yaitu 510%. Pada ibu hamil yang merokok dapat membahayakan janinnya.

Gambar 2.4 Paparan karbonmonoksida dari pabrik


Dikutip dari: Stoker dan Seager (1972).

Paparan gas CO sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia karena gas itu akan menggantikan posisi oksigen yang berkaitan dengan hemoglobin dalam darah. Gas CO akan mengalir ke dalam jantung, otak, serta organ vital. Ikatan antara CO dan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin yang jauh lebih kuat 200 kali dibandingkan dengan ikatan antara oksigen dan hemoglobin (Anonima, 2005).

Efek dari toksisitas CO adalah sebagai berikut: Pertama, oksigen tidak dapat berikatan baik dengan molekul hemoglobin, sehingga kadar oksigen dalam darah akan berkurang

19

secara fisiologis. Oksigen berperan pada metabolisme sel (Anonima, 2005). Kedua, gas CO akan menghambat komplek oksidasi sitokrom. Hal ini menyebabkan respirasi intraseluler menjadi kurang efektif. Respirasi intraseluler secara fisiologis lebih efektif dan tidak menghambat kompleks oksidasi sitokrom yang dapat membahayakan tubuh (Anonima, 2005). Ketiga, CO dapat berikatan secara langsung dengan sel otot jantung dan tulang. Efek dapat terjadi toksisitas secara langsung terhadap selsel tersebut dan menyebabkan gangguan pada sistem saraf (Anonima, 2005). Toksisitas biasanya terjadi di rumah akibat dari kebakaran rumah. Pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar juga merupakan penyebab utama kasus non-fatal toksisitas CO disengaja. Sebagai perbandingan, toksisitas yang paling disengaja disebabkan oleh knalpot kendaraan bermotor, yang mewakili sekitar 6,4% dari kasus bunuh diri. Munculnya catalytic converter di mobil dapat menyebabkan penurunan efektivitas metode bunuh diri. Penelitian ini menggambarkan dampak tersembunyi toksisitas CO dan menurut data penelitian pada tahun 1970an lebih dari 40 kematian per tahun di Irlandia (Crowley D, 2003). Pada kasus awal pemaparan CO pada para pekerja yang secara langsung mendapatkan paparan gas CO mengalami tekanan darah sistolik maupun diastolik yang lebih tinggi dibandingkan para pekerja yang tidak terpapar gas CO pada tahun 1973 pernah diadakan suatu penelitian kepada 931 pekerja pabrik besi di negara Finlandia paparan gas CO dengan kadar yang diperkirakan sekitar 72% dari sampel udara di dalam pabrik tersebut yang terus dipantau sampai tahun 1993 (Meredith T, Vale A. 1988). Toksisitas gas CO menyebabkan 1.500 kasus meninggal tiap tahunnya, ditambah 10.000 kasus yang harus mendapat pertolongan medis ditemukan di Amerika Serikat Hal ini disebabkan oleh gas CO tidak

20

memiliki warna, bau atau rasa dan setiap orang bisa toksisitas tanpa di sengaja (Stewart RD, Hake CL. 1976). Gas CO menyumbang lebih dari 480 kematian yang tidak disengaja setiap tahun dari tahun 20012003 dan >15.000 kasus datang ke rumah sakit disebabkan karena toksisitas CO. Sampai saat ini belum jelas berapa banyak dari kunjungan ini yang berasal dari penderita anak-anak maupun dewasa menurut penelitian World Health Organization (WHO) di Amerika Serikat (Stewart RD, Hake CL. 1976). Terdapat 27 kematian akibat paparan CO di lingkungan pada anakanak di bawah enam tahun, enam di antaranya karena karbon monoksida. Pada kelompok usia 612, ada 16 korban jiwa, tujuh yang karena karbon monoksida menurut hasil statistik tahun 2004 dari Poison Control hotline (Stewart RD, Hake CL. 1976). Sumber yang paling umum dari CO di Amerika Serikat berasal dari mesin gas dengan jumlah 55% dari semua emisi CO. Sumber-sumber lain termasuk kompor gas, minyak tanah dalam ruangan, backdraft dari pemanas air gas, dan asap tembakau. Toksisitas CO terjadi selama musim dingin ketika pemanas banyak yang digunakan. Paparan CO juga terjadi di daerah yang berventilasi buruk pada setiap saat sepanjang tahun (Stewart RD, Hake CL. 1976). Gejala Klinis Toksisitas Karbonmonoksida Gejala toksisitas gas CO tidak spesifik. Gejala toksisitas CO ditimbulkan sama dengan gejala penyakit lain seperti sakit kepala, mual dan pening seperti gejala flu. Tidak sedikit pada kasus ini di diagnosis sebagai sindrom viral (Wichaksana, A. 2003) Gas CO juga dapat berikatan secara langsung dengan sel otot jantung dan tulang sehinga berhubungan langsung dengan sistim kardiovaskular. Efek terjadinya toksisitas secara langsung terhadap sel-sel menyebabkan gangguan pada sistem saraf, jantung dan otak yang berujung

21

pada kematian. Hal ini menyebabkan lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan akibat tidak dikenali gejalanya dan tidak terdiagnosis dibandingkan yang dengan jumlah kasus yang berhasil ditangani (Wichaksana, A. 2003). Gas CO tidak mengiritasi tetapi membahayakan (Toksik), sehingga gas CO disebut sebagai silent killer atau pembunuh diam-diam. Toksisitas gas CO kurang dari 20% sehingga tidak menimbulkan gejala sama sekali dan bilamana kadar COnya mencapai 20% dapat menimbulkan sesak nafas (Hadiyani, M. 2006). Pada umumnya, gejala klinik toksisitas gas CO dibedakan menjadi empat golongan (Wichaksana, A. 2003), yaitu: Toksisitas ringan dengan kadar CO 30% berupa sakit kepala berdenyut di bagian pelipis akibat refleks vasodilatasi jaringan SSP yang hipoksia (Wichaksana, A, 2003). Toksisitas berat dengan kadar CO 30%-50% berupa tremor tidak menetap, korea, spastik, distonia, kekakuan, bradikinesia (gerakan pelan yang tidak normal), gangguan keseimbangan, gangguan fungsi penglihatan, pendengaran, koma, dan kematian (Wichaksana, A, 2003). Toksisitas akut mengakibatkan kematian segera karena ederma menyeluruh pada jaringan otak. Hal ini menandakan kadar CO telah mencapai 70%89% (Wichaksana, A, 2003). Gangguan neuropsikiatri, dementia, psikosis, dan manik depresi. Hal ini disebabkan oleh berubahnya fungsi membran akibat pejanan secara terus menerus. Gejala toksisitas CO dapat timbul pada awal toksisitas atau beberapa hari setelah masa penyembuhan. Kerusakan ini merupakan hasil kombinasi keadaan hipoksia, hipoperfusi,

vasodilatasi, dan edema serebral yang menyebabkan penurunan pasokan dan penggunaan glukosa sehingga timbul asidosis

(Wichaksana, A, 2003).

22

Tabel 2.3 Kadar CO Di Dalam Darah


Konsentrasi CO dalam darah Kurang dari 20% 20% 30% Tidak ada gejala Nafas menjadi sesak Sakit kepala, lesu, mual, nadi dan pernafasan meningkat sedikit 30% 40% Sakit kepala berat, kebingungan, hilang daya ingat, lemah, hilang daya koordinasi gerakan 40% - 50% 60% - 70% Kebingungan makin meningkat, setengah sadar Tidak sadar, kehilangan daya mengontrol faeces dan urin 70% - 89% Koma, nadi menjadi tidak teratur, kematian karena kegagalan pernafasan
Dikutip dari: Stoker dan Seager (1972)

Gejala-gejala

Pencegahan Toksisitas Karbonmonoksida Pencegahan berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi 3 yaitu: Pencegahan melalui sumber yang bergerak. Pencegahannya seperti merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap baik, melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala dan memasang filter pada knalpot (Anonima, 2005). Pencegahan melalui sumber yang tidak bergerak. Pencegahannya antara lain dengan cara memasang sc ruber pada cerobong asap, merawat mesin industri agar tetap baik dan lakukan pengujian secara berkala dan menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar CO rendah (Anonima, 2005). Pencegahan yang dilakukan oleh manusia. Apabila kadar gas CO yang terkandung dalam udara telah melebihi

23

batas

ambang

(10.000ug/Nm

udara

dengan

rata-rata

waktu

pengukuran 24 jam) maka untuk mencegah dampak negatif, dapat dilakukan upaya penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker gas dan menutup atau menghindari tempat-tempat yang mengandung CO seperti sumur tua dan goa (Anonima, 2005). Penatalaksanaan Toksisitas Karbonmonoksida Penatalaksanaan berupa tindakan suportif dan pemberian terapi oksigen: ABC (airway, breathing, circulation) Dilakukan evaluasi dan terapi suportif jalan nafas. Dilakukan intubasi orotrakhea bila terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi. Diberikan suplemen oksigen 100% melalui masker yang melekat erat ke wajah. Catatan: Waktu paruh eliminasi karboksihemoglobin (COHb) dalam serum bila bernafas dengan udara bebas adalah 520menit berubah menjadi 80menit bila bernafas dengan oksigen 100%. Terapi oksigen sebaiknya tidak dihentikan sampai gejala hilang dan kadar COHb <10%. Penggunaan natrium bikarbonat infus bila ada metabolik asidosis (pH darah <7,1). Pemeriksaan Laboratorium Rutin: darah lengkap, glukosa, ureum/kreatinin/elektrolit, analisis gas darah dengan kadar COHb. Foto rontgen thoraks (pada cedera inhalasi yang berat, aspirasi paru, bronkopneumonia dan edema paru) Terapi antidotum.

24

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Weaver, 2002 menunjukan bahwa tiga terapi oksigen hiperbarik yang dilakukan dalam 24 jam berhasil menurunkan risiko gejala kelainan kognitif dalam waktu enam minggu dan 12 minggu setelah toksisitas gas CO. Keuntungan dari terapi oksigenhiperbarik adalah untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh gas CO tetapi tidak menghasilkan gas tersebut. Disposisi Penderita dirujuk untuk melakukan terapi oksigen hiperbarik dengan menghubungi tempat-tempat lokal yang memiliki sarana terapi hiperbarik. Dengan keadaan penderita: Seluruh penderita yang pingsan, kelainan neurologis dan kelainan jantung dengan peningkatan kadar COHb. Seluruh penderita dengan kadar COHb >25% Ibu hamil dengan kadar COHB >10% Iskemik myokardium Gejala yang memburuk setelah pemberian terapi oksigen Gejala yang menetap setelah terapi oksigen 100% selama empat jam (temasuk kelainan test psikometer dan takikardia) Dilakukan intubasi orotrakhea bila terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi. Diberikan suplemen oksigen 100% melalui masker yang melekat erat ke wajah. Catatan: Dengan terapi oksigen hiperbarik, waktu paruh eliminasi CO berkurang menjadi 23 menit. Penderita dirawat di ruangan penyakit dalam bila kadar COHb <20%, berikan oksigen aliran tinggi 15L/menit melalui masker minimal empat jam sampai kadar COHb kembali ke normal.

25

Penderita yang tanpa gejala dengan kadar COHb <20% jarang sekali mengalami komplikasi dan dapat dipulangkan dari emergency departement dengan nasihat untuk segera mencari pertolongan medis bila muncul gejala sebagai berikut: Kesulitan untuk bernafas atau sesak. Nyeri dada atau rasa berat di dada. Kesulitan untuk mengkoordinasikan tangan dan kaki. Gangguan daya ingat Sakit kepala atau pusing yang berkepanjangan. Penderita yang dipulangkan harus dirujuk ke bagian psikiatri untuk melakukan screening, neuropsikiatri karbonmonoksida untuk mendeteksi deterioration. Penderita harus diinformasikan untuk tidak merokok terlebih dahulu selama 72 jam (Anonima, 2005). 2.4 Biomarker Pada Toksisitas Alkohol Definisi Biomarker Pada Toksisitas Alkohol Alkohol akan bersifat toksik jika tertelan dalam jumlah cukup besar. Klasifikasi alkohol bersifat toksik terdiri dari isopropanol, metanol, dan etilena glikol. Seseorang dikatakan menderita keracunan alkohol ketika jumlah alkohol yang dikonsumsi orang tersebut menghasilkan kelainan perilaku atau fisik. Tingkat alkohol juga dapat diukur dalam darah.

Faktor Risiko Toksisitas Alkohol Toksisitas alkohol merupakan hal yang umum pada masyarakat modern, terutama karena ketersediaan secara luas. Lebih dari 8 juta orang Amerika telah ketergantungan terhadap alkohol, dan 15% dari populasi dianggap beresiko. (Tjokroprawiro, 2007).

26

Toksisitas akut terhadap salah satu alkohol dapat menyebabkan trauma pada pernafasan, aspirasi, hipotensi, dan kolaps kardiovaskuler. Toksisitas dapat melewati saluran makanan, inhalan, dan lewat kulit (Tjokroprawiro, 2007). Etanol Penggunaan kronik terhadap ethanol menyebabkan cidera pada hati dan gastrointestinal. Coma, pingsan, trauma pernafasan, hipotermia, dan kematian dapat terjadi akibat keracunan etanol akut. Pecandu alkohol kronis serta anak-anak memiliki risiko hipoglikemia. Isopropanol, Metanol, dan Etilena Glikol Pada tahun 2007, sebanyak 447 kasus ingesti isopropanol dilaporkan ke Pusat Pengendalian Racun Amerika Serikat (AS). Dari jumlah tersebut didapatkan 36 penderita diklasifikasikan sebagai morbiditas terparah dengan satu penderita meninggal. Pada tahun yang sama didapatkan 2.252 kasus metanol dan 5.395 kasus etilen glikol. Dari jumlah tersebut kasus toksisitas dengan metanol, 26

penderita diklasifikasikan memiliki tingkat kecacatan terparah dan 11 penderita meninggal. Penderita dengan kasus toksisitas etilena glikol sebanyak 135 penderita diklasifikasikan sebagai memiliki tingkat kecacatan terparah dan 16 penderita lainnya mengalami kematian. Toksisitas utama terhadap isopropanol adalah trauma sistem saraf pusat (SSP). Manifestasi SSP meliputi kelesuan, ataksia, dan koma. Isopropanol dapat menyebabkan iritasi pada saluran

pencernaan. Gejala nyeri perut, gastritis hemoragik, dan muntah dapat diamati. Isopropanol tidak menyebabkan asidosis metabolik. Toksisitas terhadap metanol menyebabkan asidosis metabolik serta anion format (asam formiat). Mata merupakan lokasi utama pada toksisitas organ dan tahap selanjutnya dari keracunan metanol yang parah terhadap perubahan spesifik yang terjadi pada ganglia basal. Pankreatitis merupakan gejala yang timbul setelah konsumsi

27

metanol. Hiperventilasi terjadi sebagai mekanisme kompensasi untuk melawan asidosis tersebut. Sebagian besar asidosis metabolik terjadi dikarenakan asam glikolat. Bentuk morbiditas terjadi ketika oksalat bergabung dengan kalsium hingga menyebabkan kristal oksalat dengan bentuk kalsium dan akan menumpuk di tubulus ginjal proksimal sehingga

menyebabkan terjadinya gagal ginjal. Hypocalcemia dapat pula terjadi dan menyebabkan koma, kejang, dan disritmia. Kristal kalsium oksalat tidak hanya di ginjal tetapi juga terdapat pada organ termasuk otak, jantung, dan paru-paru. Usia Toksisitas etanol terjadi pada remaja hingga dewasa yang lebih tua. Dosis toksik untuk dewasa adalah 5 mg/dL, sedangkan dosis toksik pada anak adalah 3 mg/dL. Anak-anak berada pada risiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia setelah konsumsi etanol daripada risiko terhadap orang dewasa.

Gejala Klinis Toksisitas Alkohol Gejala awal yang timbul setelah keracunan metanol seperti sakit kepala, pusing, mual, koordinasi terganggu, kebingungan dan pada dosis yang tinggi tidak sadarkan diri, dan kematian. Akumulasi asam format pada saraf optik dapat menyebabkan penglihatan kabur. Hilangnya penglihatan secara total dapat disebabkan oleh berhentinya fungsi mitokondria pada saraf optik. Demielinisasi saraf optik juga dapat terjadi karena penghancuran myelin oleh asam format. Akumulasi asam format dalam darah dapat menyebabkan asidosis metabolik. Interval antara masuknya toksik sampai timbulnya gejala berhubungan dengan volume metanol yang tertelan. Kadar metanol dalam darah mencapai puncaknya setelah 3090 menit. Dosis letal minimal adalah 1mg/kgbb. Asidosis merupakan faktor primer dari

28

toksisitas metanol dan depresi dari sistem saraf pusat adalah faktor sekunder. Ketika metabolisme metanol telah berlangsung asidosis metabolik dengan anion gap yang berat akan terjadi. Asidosis metabolik yang berat berhubungan dengan gangguan penglihatan merupakan tanda dari keracunan metanol. Penderita biasanya mengalami penglihatan kabur, penglihatan ganda, dan perubahan dari persepsi warna. Bisa juga terjadi pengecilan lapang pandang dan terkadang kehilangan penglihatan secara total. Tanda khas dari disfungsi penglihatan termasuk dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil. Tanda dan gejala lebih lanjut dapat terjadi pernafasan dangkal, sianosis, takipnu, koma, kejang, gangguan elektrolit dan perubahan hemodinamik yang bervariasi termasuk hipertensi dan cardiac arrest. Penderita yang bertahan dapat menderita gejala sisa seperti kebutaan yang permanen atau defisit neurologis yang lain.

Penatalaksanaan Toksisitas Alkohol Hasil pemeriksaan fisik pada toksisitas alkohol biasanya tidak spesifik. Merupakan hal yang sangat perlu untuk menentukan kadar metanol dalam darah secepat mungkin bila diduga suatu toksisitas metanol. Kadar metanol >50 mg/dL merupakan indikasi mutlak untuk hemodialis dan pengobatan dengan etanol meskipun kadar format dalam darah merupakan indikasi yang lebih baik. Hasil laboratorium tambahan termasuk asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan osmolar gap. Penatalaksanaan pertama untuk toksisitas metanol, seperti pada keadaan kritis ialah untuk membebaskan jalan nafas, bila perlu dengan trakeotomi. Muntah dapat dibuat pada pasien yang tidak koma, tidak mengalami kejang, dan tidak kehilangan refleks muntah. Bila salah satu

29

kontraindikasi ini ada maka harus dilakukan intubasi endotrakeal dan bilasan lambung dengan selang berdiameter besar setelah saluran nafas terlindungi Ada tiga cara yang spesifik untuk toksistas metanol berat, penekanan metabolisme oleh alkohol dehidrogenase untuk pembentukan produk-produk toksiknya, dialisis untuk meningkatkan netralisir metanol, serta alkalinasi untuk menetralkan asidosis metabolik. Alkalinasi adalah penatalaksanaan paling lama dipakai bertujuan untuk mengatasi asidosis metabolik dan diperlukan dosis yang sangat besar dari sodium bikarbonat. Karena sistem-sistem yang bergantung pada folat bertanggung jawab dalam oksidasi pembentukan asam format menjadi karbondioksida pada manusia, sehingga dapat berguna untuk memberikan asam folat kepada penderita-penderita toksisitas metanol.

30

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Biomonitoring merupakan suatu teknik ilmiah untuk mengetahui risiko bahan kimia alami dan sintetis terhadap manusia berdasarkan sampling dan analisis jaringan individu dan cairan. Biomarker merupakan penanda suatu peristiwa atau kondisi dalam sistem biologi dan memiliki ukuran paparan, dampak, atau kerentanannya. Prosedur dari biomonitoring terdiri atas: memilih apa yang akan dimonitor (termasuk kapan dan dimana terjadinya), mengumpulkan contoh jaringan, memutuskan zat kimia mana yang akan dipelajari serta dianalisis diantara zat kimia dalam contoh yang dikumpulkan. Biomonitoring menyediakan informasi yang dapat digunakan dalam berbagai cara. Data ini mendeteksi zat mana yang terdapat di lingkungan dan kadarnya, bagaimana kadar dapat berubah dan bagian mana pada populasi memiliki paparan tinggi terhadap zat tertentu. Teori simpul pada biomonitoring terdiri atas: simpul 1 (sumbernya), simpul 2 (media lingkungan), simpul 3 (tubuh manusia), dan simpul 4 (dampak kesehatan). Risiko paparan toksisitas zat kimia yang ditemukan dalam tubuh mengandung risiko yang dipengaruhi oleh: besarnya zat kimia tersebut, rangkaian waktu, rute (proses pencernaan, pernapasan atau kontak kulit) paparan, tingkat/dosis toksiknya (bilamana efek buruk dihubungkan dengan jenis paparan).

3.2 Saran Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam referat ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau

30

31

referensi yang ada hubungannya dengan judul ini. Penulis berharap para pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya referat ini dan penulisan referat di kesempatan berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

32

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Universitas Indonesia. Jakarta. 56 hal. Anies. 2006. Manajemen berbasis Lingkungan. Elexmedia Komputindo. Jakarta. 2021 hal. Baldwin, Dianne R. and Marshall, William J. 1999. Heavy metal poisoning and its laboratory investigation. Department of Clinical Biochemistry, King's College Hospital. London. 34 hal. Ibrahim, Danyal (dkk). 2006. Heavy Metal Poisoning: Clinical Presentations and Pathophysiology. Department of Emergency Medicine. USA. 31 hal. Lestarisa, Trilianty. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan Merkuri (Hg) Pada Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) Di Kecamatan Kurun, Kabupaten Tengunung Mas, Kalimantan Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 112 hal. Soghoian, Samara. 2011. Heavy Metal Toxicity: diunduh pada

http://emedicine.medscape.com/article/814960-overview tanggal 26 September 2012.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Universitas Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. EGC. Jakarta. 286 hal. Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmpu Penyakit Dalam. Airlangga Iniversity Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai