Anda di halaman 1dari 26

Disusun Oleh: Daksa Pradhana 030.03.

051 Azhani Haliyati

Pembimbing: dr Bambang Wiratno Sp.Pd

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Periode 30 Maret 6 Juni 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul Nefropati Diabetik. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUP Fatmawati, Jakarta. Dengan selesainya referat ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Bambang Wiratno , SpPD. Selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga referat ini dapat selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam pengumpulan data dan penulisan referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Mei 2009 Penulis

BAB I PENDAHULUAN Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang kronik. Kerusakan atau kekurangan respon sekresi insulin menyebabkan gangguan penggunaan karbohidrat sehingga mengakibatkan hiperglikemi yang merupakan gejala khas dari diabetes melitus. Secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, neuropati dan penyakit vaskular mikroangiopati (retinopati dan nefropati). Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahuntahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolik diabetes. Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti bahwa insidensi DM meningkat menyeluruh di semua tempat di dunia. Penelitian epidemiologis yang di Indonesia dan terutama di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia menunjukkan kecenderungan serupa. Peningkatan insidensi DM di kota besar yang eksponensial ini tentu diikuti juga oleh insidensi dari komplikasi kronik diabetes. Retinopati merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita DM. Semakin banyak pula penyandang DM yang memenuhi ruang dialysis. DM memberikan pengaruh terhadap terjadinya komplikasi kronik melalui adanya perubahan pada sistem vaskuler. Semakin banyaknya perubahan biologis vaskuler pada penyandang DM semakin banyak kemungkinan komplikasi yang akan terjadi. Rata-rata gejala komplikasi kronik DM terjadi 15 hingga 20 tahun setelah terjadinya hiperglikemi. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM. Sebaliknya DM juga penyebab tersering gagal ginjal kronik terutama di Negara-negara barat. Sekitar 50% gagal ginjal tahap akhir di AS disebabkan

nefropati diabetik.5,6 Kira-kira 35% penderita DM tipe 1 menderita nefropati diabetik. Prevalensi pada DMM tipe 2 bervariasi antara 15 hngga 60% tergantung dari latar belakang etnis. Indian Pima mempunyai angka tertinggi sedangkan orang Eropa paling rendah. Mungkin nefropati juga dipengaruhi oleh latar belakang genetic pasien. Pada sebagan keluarga berpenyakit DM ada yang sedikit menderita nefropati. Sedangkan pada keluarga penyandang DM yang lain ada yang sebagian besar anggotanya mengidap nefropati diabetic. Mengingat adanya berbagai kemajuan dalam bidang ilmu biologi kedokteran dan teknologi informasi, para klinis dan para peneliti ditantang untuk selalu menambah khasanah pengetahuannya dan menerapkan apa yang diketahuinya sedemikian rupa sehingga bermanfaat untuk efisiensi dan keberhasilan pengelolaan kesehatan terutama untuk penyandang DM. Dengan demikian pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasinya baik mengenai mekanisme terjadinya, metode deteksi dini maupun strategi pengelolaannya sangat penting untuk dimengerti dan diketahui. Hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi beban biaya yang harus dipikul pasien ketimbang bila harus mengelola komplikasi yang ada.

BAB II MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DM

Jika dibiarkan tidak dikelola dekelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik pada DM. Perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan komplikasi vaskuler diabetes. Pada retinopati diabetic proliferatif terjadi didapatkan hilangnya sel perisit dan terbentuknya mikroaneurisma. Di samping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskuler berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina kemudian merespon dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskuler ( Vascular Endothelial Growth Factor = VEGF) dan selanjutnya memicu timbulnya neovaskularisasi pembuluh darah. Pada nefropati diabetic terjadi peningkatan tekanan glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulosklerosis. Patogenesis terjadinya kelainan vaskuler pada DM terjadinya kelainan vaskuler pada DM meliputi terjadinya imbalans metabolic maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2. Di pihak lain hiperinsulinemi seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot

polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskuler diabetes. Jaringan kardiovaskuler, demikian juga dengan jaringanlain yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik DM (jaringan saraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa mata) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam sel tanpa memerlukan insulin (insulin independent) , agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut digunakan untuk energi di otot maupun untuk disimpan disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglkemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem transportasi glukosa yang insulin independent ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia. Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi jalur intraseluler. Jalur Reduktase Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan adanya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida teroksidasi (NAD), sorbitol akan dioksidasi menjadi fluktosa. Sarbitol dan fluktosa keduanya tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat sangat hidrofilik, sehingga lamban penetrasinya melalui membran lipit bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan kembang, bengkak akibatnya masuk air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yang secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait.

Altivitas jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya trun over NADPH, diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP+. Rasio sitosol NADPH terhadap NADP+ ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi pembuluh darah. Menurunya rasio NADPH sitosol terhadap NADP+ ini dikenal sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal lain yang penting pula adalah bahwa sitosolik NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defens antioksidans. Glutation reduktase juga memerlukan sirosolik NADPH untuk menetrallisasikan sebagai oksidans interaselular. Menurunnya rasio NADPH dengtan demikian menyebabkan terjadinya stres oksidarif yang lebih besar. Terjadinya hipergliksolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti terjadinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi protein kinase C. Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ektraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada sifat sel melalui terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung , dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri. Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE ( RAGE = Receptor for Advence Glycation End Product ) mungkin merupakan hal penting untuk kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen acrivated protein kinase ( MAPK) dan tranformasi inti dari faktor transkipsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan.

Jalur Protein Kinase Hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivasi melalui keadaan meningkatnya endotelin 1 dan menurunnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitolin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivasi fibronolis. Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan- perubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada proses angiopati diabelik.

Jalur Stres Oksidatif Stress oksidatif terjadi apabila ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya sistem pentralan dan pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya peningkatan stress oksidatif pada penyandang diabetes akan menyebabkab terjadinya proses autooksidasi gkukosa dan berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stress oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya perokdidasi membran lipid, akrifasi faktor transkripsi (NF-B), peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk glikasi lanjut. Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies = ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies oksigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi,

cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan stuktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membrab sel dsb ). Seperti telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai proses patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM.

Inflamasi Dari pembicaraan diatas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antara lain aktivasi jalur reduktase aldosa, stes oksidatif, terbentuknya jalur akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktifasi PKC, yang semua itu akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan merubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti TGF-B dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi (ICAM,VICAM, E-selectin, P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbukti meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses inflamasi yaitu CPR dan NF-B pada penyandang DM juga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya kadar A1c. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya komplikasi kronik DM. Peptida Vasoktif Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan pada penyandang DM dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai hormon vasoaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari endotel mempunnyai pengaruh terhadap

terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent). Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun. Peptida vasoaktif yang lain adalah angiotensin II, yang dikenal berperan pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskular dan jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu reseptor AT1 dan reseptor 2. Sebagian besar respons fisiologis terhadap angiotensin berjalan melalui reseptor AT1. Penghambatan terhadap kerja angiotensin II memakai Aceinhibitor terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskular. Prokoagulan Segera setelah terjadi aktivasi PKC akan terjasi penurunan fungsi fibrinolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagukasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembukuh darah. Pada penyandang DM denga adanya hiperglikemia melalui berbagai mekanisme akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM. Dengan demikian jelas adanya peran faktor prokoagulasi pada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. PPAR Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagi jaringan vaskular dan berbagai kelainan vascular, terutama pada sel otot polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai efek inflamasi. Pada tikus percobaan yang tidak mempunyai PPAR alpha didapatkan respons inflamasi yang memanjang jika tikus tersebut distimulasikan dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh darah, asam fibrat, ( suatu ligand PPAR) terbukti dapat menghambat signal proinflamotori akibat rangsangan sitolin dari NF-kB dan AP1. Dari beberapa kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga sebab terjadinya komplikasi kronik DM.

Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya kompikasi kronik DM serta kelanjutan keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vascular diabetes adalah hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apapun jalur mekanisme yang terjadi dan proses lain yang terlihat yang terpenting adalah adanya hiperglikemia klonik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia). Apakah dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menurunkan komplikasi kronik DM. Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki hiperlikemia melalui berbagai cara dapat secara bermakna menurunkan komplikasi kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskular, yang merupakan komplikasi kronik khas DM akibat hiperglikemia. Sedangkan untuk komplikasi makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makrovakular banyak sekali faktor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti faktor tekanan darah dan juga faktor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunnya tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang nyata bermakna teryhadap penurunan komplikasi makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi kronik DM , termasuk merokok tentu saja harus diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi kronik DM. Pada pembicaraan berikut akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk berbagai faktor terkait komplikasi DM tersebut, yaitu untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.

BAB III NEFROPATI DIABETIK

1. Pendahuluan Pada umumnya nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah kasus baru DM tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Di Amerika nefropati diabetik merupakan penyebab kematian kedua tertinggi kedua diantara semua komplikasi DM. Penyebab kematian nomor satu adalah komplikasi kardiovaskular. Secara epidemiologis, ditemukan perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati diabetik, antara lain dipengaruhi etnis, umur, dan jenis kelamin serta umur saat DM timbul.

2. Klasifikasi Perjalanan penyakit pada serta kelainan ginjal pada DM tipe 1 lebig banyak dipelajari ketimbang DM tipe 2. Oleh mogensen dibagi menjadi 5 tahapan.
Tabel 1. Tahapan Nefropati Diabetik Oleh Mogensen Tah ap Kondisi Ginjal AER LFG TD Prognosis

1 2

Mungkin reversible 3 Mikroalbuminuria 20 200 /N Mungkin persisten mg/mnt reversible 4 Makroalbuminuria >200 Rendah Hiperte Mungkin bisa persisten mg/mnt nsi stabilsasi 5 Uremia Tinggi/Renda < 10 Hiperte Kesintasan 2 th h ml/mnt nsi 50% Ket : AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, N = Normal, TD = Tekanan Darah
Sumber: Mogensen CE : Nephropathy and hypertension in diabetic patient, 2000.

Hipertrofi/Hiperfun gsi Kelainan struktur

N N

N /N

Reversible

Tahap 1 Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. LFG meningkat. Tahap 2 Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, LFG meningkat, AER dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks mesangium). Tahap 3 Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. AER dalam urin adalah 20-200 ig/menit (30-300 ig/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap 4 Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebh jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. LFG menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah. Tahap 5 timbulnya gagal ginjal terminal. Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa pembagian pembagian lain seperti oleh National Kidney Foundation (NKF) (dalam kelompok Diabetic Kidney

Disease), kementrian kesehatan Jepang dan lan-lain yang umumnya bertujuan untuk menyeragamkan serta memudahkan diagnosis dan tatalaksana. 3. Mikroalbuminuria Mikroalbuminuria umumnya didefnisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg/ hari dan dianggap sebagai prediktor penting tmbulnya nefropati diabetik.

Tabel 2. Laju Ekskres Albumin Urin Kondisi Laju Ekskresi Albumin Urin Perbandngan Albumin Urin Kreatinin (ug/mg)

24 jam (mg/hari) Normoalbumin uria Mikroalbumnur ia Makroalbumin uria <30 30-300 >300

Sewaktu <20 20-200 >200 <30 30-300 (299) >300

Sumber : International Society of Nephrology

Perlu dingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping DM. Penyebab proteinuria lain yang sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi umur lanjut, kehamilan, asupan protein yang tinggi, stres, infeksi sistemk atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan gagal jantung. Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuria. (gambar 1) Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria antara lain : 1.) mikroangiopati diabetik; 2.) penyakit kardiovaskuler; 3.) hipertensi; 4.) hiperlipidemia karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria maka perlu dilakukan pemeriksaanpemeriksaan lanjutan lain. (gambar 2)

4. Patofisiologi

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Bremmer dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi dari nefron yang sehat lambat launakan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Mekanisme terjadinya peningkatan laju fltras glomerulus pada nefropati diabetikini mash belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF- yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemi kronik dapat menyebabkanterjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlangsung terus akan terjadi Advance Glycation End Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel,sintesa sel matriks ekstraseluler, serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjad ekspansi sesuai tahap-tahap pada mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. Penelitian pada hewan DM menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus. Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetic adalah : Kurang terkendalinya kadar gula darah ( gula darah puasa >140-160 mg/dl [7,78,8mmol/l]) A1C > 7-8%. Faktor-faktor genesis

Kelainan hemodimatik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus) Hipertensi sistematik Sindrom resistensi insulin ( sindroma metabolik ) Keradangan Perubahan permeabilitas pembuluh darah Asupan protein berlebih Gangguan ,metabolic ( gangguan metabolism polyol,pembentukan advance glycation end products , peningkatan produksi sitokin) Pelepasan growth factor Kelainan metabolism karbohidrat / lemak / protein Kelainan struktural (hipertropi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus) Gangguan ion pumps ( peningkatan na+ -H+ pump dan penurunan Ca+ - ATPase pump) Hiperlipidemia ( hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia) Aktivasi protein kinase C
Urinalisis rutin untuk deteksi protein

Negati f

Positif

Tes untuk mikroalbumin (30-300mg/hari) Jika tes mikroalbumin Positif, ulang dua kali Dalam 3 bulan

Nefropati yang jelas Tentukan jumlah eskskresi protein Memulai terapi

Jika 2 dari 3 tes positif, diagnosis mikroalbuminuria ditegakan

Memulai Terapi

Gambar 1. Penapisan untuk mikroalbuminuria. ( disadur dari DenFronzo Diabetic Nephropaty, ADA, 2004 )

Pantau kreatinin serum Periksa adanya kelainan penyakit jantung skemik Periksa dab obati hipertensi secara agresif

Periksa adanya retinopati mikroalbuminu ria

Cari penyebab lain kelainan ginjal Periksa adanya penyakit pembuluh darah perifer Perketat kendali gula darah

Periksa profil lemak

Stop merokok

Gambar 2. Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria. (Disadur dari Vora JP & Ibrahim AA : Clinical Manifestations and Natural History of Diabetic Nephropathy, 2003)

Metaboli k Glukosa
Protein Kinase Cb

Geneti k Hormon-hormon vasoaktif (mls. Angiotensin II,

Hemodina mik Aliran /tekana n

Advenced glycation

Sitokin Tranforming Vascular ECM Permeablitas

Extracellular Matrik

Penimbunan ECM

Proteinuri a

Gambar 3. Patogenesis nefropati diabetik. (Disadur dari Cooper ME, Gilbert RE: Pathogenesis, Prevention, and Treatment of Diabetic Nephropathy, 2003)

5. PATOLOGI Secara histologist gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi mesangium ( berupa akumulasi matriks ekstra selular; penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan / atau difus ( Kimmelstiel Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo interstisial ( Tabel 3).
Tabel 3. Karakteristik Nefropati Diabetik Peningkatan material matriks mesangium Penebalan membran basalis glomerulus Hialinosis arteriol aferen dan eferen Atrofi tubulus Fibrosis interstisial

6.

TATA LAKSANA

Evaluasi. Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Assaciation (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kretinin serum dan klirens kretinin (Table 4). Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu :

( 140 umur ) x Berat badan Klirens Kreatinin * = ------------------------------------------- x ( 0,85 untuk wanita ) 72 Kreatinin Serum * Glumerular Filtration Rate / laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit/1,73m.

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalahg diabelik nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama bila ada gambaran klinis dab hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus nondiabetik ( hematuria makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati ( terutama pada diabetes mellitus tipe 1), atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsy ginjal ( Gambar 4).
Tabel 4. Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes Enrollment in local colleges, 2005

Tes

Evaluasi awal Undergraduate

Follow-up*

Penentuan Mikroalbuminuria

Sesudah pengendalian gula darah awal (dalam 3 bulan diagnosis ditegakkan)

Diabetes tipe 1 : Tiap tahun setelah 5 tahun Diabetes tipe 2 : Tiap tahun setelah diagnosis ditegakkan. Tiap 1-2 tahun sampai LFG <100 ml/men/1,73m2, kemudian tiap tahun atau lebih sering Tiap tahun atau lebih sering tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal

Klirens Kreatinin

Saat awal diagnosis ditegakkan

Klirens serum

Saat awal diagnosis ditegakkan

Proteinuria pada Diabetik Singkirkan infeksi saluran kemih Sedimen urin : cast eritrosit, leukosit Hitung proteinuria kualitatif USG ginjal

Nefropati Diabetik yang khas DM tipe 1 > 10 tahun Retinopati Mikroalbumminuria sebelumnya (+) Tak perlu biopsi ginjal ginjal

Proteinuria yang tidak khas DM tipe 1 < 10 tahun Tidak ada retinopati Prokteinuria (nefrotik) tanpa Biopsy ginjal ginjal

Tidak khas Azotemia dengan proteinuria < 1 g / hari Nekrosis papiler (piuria, hematuria) penyakit Tak perlu biopsi ginjal ginjal

Gambar 4. Evaluasi klinis nefropati diabelik. (disadur dari Vora JP & Ibrahim AA : Clinical manifestation and natural history of diabetic nephropathy, 2003)

Terapi. Tatalaksana nefropati diabetic tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalnuminuria atau makroalbuminurial, tetapi pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetic adalah melalui :1). Pengendalian gula darah (olahraga, diet,obat anti diabetes); 2). Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi); 3). Perbaikan fungsi ginjal ( diet rendah protein, pemberian Angiotensin Receptor Blocker [ARB]; 4). Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas dll). Terapi non farmakologis nefropati diabetic berupa gaya hidup yang sehat meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan rokok serta membatasi kosumsi alcohol. Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/ hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam adalah 4-5g/hari ( atau 68-85 meq/hari) serta asupan protein hingga 0,8g/kg/berat badan ideal/hari. Target tekanan darah pada nefropati diabetic adalah < 130/80 mmHg (Tablee 5 ). Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB, sedangkan pilihan lain adalah diuretika, kemudian beta-blocker atau calcium-channel blocker.

Table 5. Pengobatan pasien Diabetes dengan atau tanpa Mikroalbuminuria atau dengan Nefropati Diabetik yang jelas. Tanpa Mikroalbuminu ria Mikroalbuminu ria Albuminuria Klinis/ Insufisiensi Ginjal

A1C TD sistolik/diastolik (mmHg) Mean Arterial Preassure (mmHg) Asupan Protein (g/kg/hari)

<6-7% 120-130/80 90-95 >1,0-1,2

<6-7% 120-130/80 90-95 0,8-1,0

<7-6% 120-130/80 90-95 0,6-0,8

Jika tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan <120-130/80-85 mmHg, nilai ini dipakai sebagai end-point terapi. Jika pasien mendapat ACE-I, asupan diet bisa lebih tinggi (0,8-1,0g/kg/hari)

[ADA]

Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan darah normal, penelitian muktahir menunjukan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat penurunan tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi

matriks, sitokin dan sintesa growth factor, disamping hambatan altivasi, proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan sensitivitas tergadap insulin. Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10-12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialysis ( hemodialisis atau peritoneal dialisis), walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi pengganti ginjal ini dimulai . Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pankreas sekaligus. Rujukan : Baik ADA maupun ISN dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60ml/men/1,73m, atau jika kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemi, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika LFG mencapai <30 ml/men/1,73 m2, atau lebih awal jika pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan.

BAB IV KESIMPULAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang kronik. Kerusakan atau kekurangan respon sekresi insulin menyebabkan gangguan penggunaan karbohidrat sehingga mengakibatkan hiperglikemi yang merupakan gejala khas dari diabetes melitus. Jika dibiarkan tidak dikelola dekelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik pada DM. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM. Di Amerika nefropati diabetik merupakan penyebab kematian kedua tertinggi kedua diantara semua komplikasi DM. Penyebab kematian nomor satu adalah komplikasi kardiovaskular. Usaha pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM seyogyanya dilakukan secara cermat dan sedini mungkin, yaitu dengan melakukan pengelolaan DM sedemikian rupa

sehingga tercapai sasaran pengendalian metabolik DM secara komprehensif dan holistik. Kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM harus diantisipasi sedini mungkin dengan usaha deteksi dini, dan kemudian komplikasi yang sudah timbul segera dikelola sebaik-baiknya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan cara yang mungkin dilakukan baik cara yang non-invasif atau invasif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Coolins, Kumar, Cotran. Robbins Pathologic Basis of Disease. 6th edition. United States

of America. 1999 : 913 926 2. Prince, Sylvia A. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6, buku 2. Jakarta :EGC 2002. :1259-1267 3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbitan FKUI : 1868-1869
4. Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons Principles of Internal

Medicine. Vol 11.16th edition . United States of America : mc graw hill. 2125-2180 5. Koch, K. M.; Stein, Gunther. Pathogenetic and Therapeutic Aspects of Chronic Renal Failure. CRC Press 1997. 45-51.
6. Mogensen CE : Nephropathy and hypertension in diabetic patient, 2000.

7. DeFronzo. Diabetic Nephropathy, ADA, 2004

8. Vora JP &Ibrahim AA: Clinical Manifestation and Natural History of Diabetic Nephropathy,2003 9. Cooper ME, Gilbert RE: Pathogenesis, Prevention, and Treatment of Diabetic Nephropathy, 2003

Anda mungkin juga menyukai