Disusun Oleh :
dr. Andreas Tedi S. Karo - Karo
dr. Aisyah Tarya Utari Putri
dr. Fendy Saputra
dr. Liny Rahma Ningtyas
dr. Septy Lisdamayanti Ritonga
2018
i
LEMBAR PERSETUJUAN
PENELITIAN
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Program Internsip Dokter Indonesia
Oleh :
dr. Andreas Tedi S. Karo - Karo
dr. Aisyah Tarya Utari Putri
dr. Fendy Saputra
dr. Liny Rahma Ningtyas
dr. Septy Lisdamayanti Ritonga
Komisi Pembimbing,
dr. Datik Yuli Darwati dr. Erva Anggriana, MAP dr. Hj. Widya Narulita
NIP. 19780726 200604 2 011 NIP. 19810704 201001 2 005 NIP. 19751101 200604 2 007
ii
ABSTRAK
Andreas T.S Karo-Karo, Aisyah Tarya Utari P,Fendy Saputra, Liny Rahma
Ningtyas, Septy Lisdamayanti Ritonga
Puskesmas Kampung Bugis
Correspondent:Andreas, e-mail: andreas.tedi.karo2@gmail.com
Latar Belakang: Gangguan jiwa seperti skizofrenia dapat mempengaruhi fungsi
kehidupan seseorang, baik penderita maupun keluarga yang merawat.Rendahnya
kemampuan merawat diri serta panjangnya durasi gangguan skizofrenia
mengakibatkan adanya ketergantungan yang besar dari penderita skizofrenia
sehingga penanganan untuk pemulihan penderita skizofrenia harus melibatkan
keluarga dan menimbulkan berbagai konsekuensi bagi keluarga selaku
pendamping penderita.Merawat penderita dengan skizofrenia dapat menimbulkan
perasaan tegang dan terbebani yang dapat mengurangi kualitas hidup bagi
keluarga yang mendampingi serta seringkali menimbulkan konflik yang
menyebabkan timbulnya stres. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui gambaran tingkat stres keluarga yang merawat penderita skizofrenia
di wilayah kerja Puskesmas Kampung Bugis. Metode Kerja: Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Alat ukur yang digunakan kuesioner DASS 42
dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan diagram.Hasil Penelitian: Diperoleh
bahwa keluarga yang merawat pasien skizofrenia yang tidak mengalami stres
sebanyak 85,19%, mengalami stres ringan sebanyak 11,11%, stres sedang
sebanyak 3,70% dan stres berat sebanyak 0%. Kesimpulan: Berdasarkan hasil
penelitian dapat diketahui bahwa keluarga pasien skizofrenia tidak mengalami
stres dan ada yang mengalami stres ringan hingga stres sedang selama merawat
pasien. Maka dari itu, pihak puskesmas harus bekerjasama dengan keluarga
pasien, ketua RT maupun kader kesehatan jiwa untuk menurunkan tingkat stres
tersebut melalui upaya pelayanan kesehatan dengan mengadakan penyuluhan dan
pembinaan terutama untuk keluarga yang merawat pasien.
iii
ABSTRACT
Andreas T.S Karo-Karo, Aisyah Tarya Utari P, Fendy Saputra, Liny Rahma
Ningtyas, Septy Lisdamayanti Ritonga
Puskesmas Kampung Bugis
Correspondent:Andreas, e-mail: andreas.tedi.karo2@gmail.com
iv
DAFTAR ISI
v
4.6 Instrumen Penelitian ......................................................................................... 33
4.7 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................... 33
4.7.1Tahapan Persiapan .............................................................................................. 34
4.7.2Pelaksanaan Penelitian ........................................................................................ 34
4.7.3Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................. 34
4.7.4 Tahap Penyelesaian ............................................................................................ 35
4.8 Alur Penelitian ................................................................................................... 35
4.9 Jadwal Kegiatan Penelitian ............................................................................... 36
5. HASIL PENELITIAN .......................................................................................... 37
5.1Karakteristik Lokasi Penelitian .......................................................................... 37
5.2 Karakteristik Distribusi Responden ................................................................ 37
5.2.1Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin. ........................................... 38
5.2.2Distribusi Responden Berdasarkan Usia ............................................................. 38
5.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .................................... 39
5.2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ................................................... 40
5.2.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Waktu Merawat .............................. 40
5.2.6 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Keluarga dengan Pasien .......... 41
5.2.7 Distribusi Status Pengobatan Pasien Skizofrenia .............................................. 42
5.2.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Stres .............................................. 42
5.3 Gambaran Tingkat Stres Berdasarkan Karakteristik Responden ................ 44
5.3.1Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Jenis
Kelamin. ............................................................................................................ 44
5.3.2 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan
Usia....................................................................................................................45
5.3.3 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Tingkat
Pendidikan ........................................................................................................ 46
5.3.4 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan
Pekerjaan............................................................................................................ 47
5.3.5 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Lama
Waktu Merawat Pasien Skizofrenia................................................................... 48
5.3.6 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan
Hubungan Keluarga Dengan Pasien Skizofrenia .............................................. 49
5.3.7 Gambaran Tingkat Stres Pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Status
Pengobatan Pasien Skizofrenia .......................................................................... 50
6. PEMBAHASAN .................................................................................................... 51
6.1 Gambaran Umum Karakteristik Responden .................................................. 51
6.2 Gambaran Tingkat StresKeluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Jenis
Kelamin ............................................................................................................. 52
6.3 Gambaran Tingkat Stres Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Usia . 52
6.4 Gambaran Tingkat Stres Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Tingkat
Pendidikan ........................................................................................................ 53
6.5 Gambaran Tingkat Stres Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan
Pekerjaan ......................................................................................................... 54
6.6 Gambaran Tingkat Stres Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Lama
Waktu Merawat Pasien Skizofrenia ............................................................. 55
6.7 Gambaran Tingkat Stres Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan
Hubungan Keluarga ........................................................................................ 56
vi
6.8 Gambaran Tingkat Stres Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Status
Pengobatan ....................................................................................................... 57
7. PENUTUP .............................................................................................................. 59
7.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 59
7.2 Saran ................................................................................................................... 60
7.2.1 Bagi Puskesmas Kampung Bugis.................................................................... 60
7.2.2 Bagi Dokter Umum .......................................................................................... 60
7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 61
LAMPIRAN ............................................................................................................... 62
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
1
yang baru di Kelurahan Kampung Bugis. Namun dengan kenaikan jumlah kasus
baru tersebut, pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas Kampung Bugis masih
terkendala beberapa hal, seperti pengobatan yang terbatas, tidak ada kader khusus
untuk kesehatan jiwa, tidak ada dana khusus untuk pengadaan poli kesehatan jiwa,
tidak ada media promosi atau media informasi terkait kesehatan jiwa, dan
penyuluhan masih terbatas pada satu kelompok yang beresiko tinggi saja.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang digolongkan
sebagai psikosis yang menunjukkan afek datar, mawas diri (insight) yang buruk
sehingga skizofrenia menimbulkan efek negatif bagi penderitanya (Shah, Wadoo,
& Latoo, 2010).Rendahnya kemampuan merawat diri serta panjangnya durasi
gangguan skizofrenia mengakibatkan adanya ketergantungan yang besar dari
penderita skizofrenia terhadap keluarganya.Oleh karena itu, penanganan untuk
pemulihan penderita skizofrenia harus melibatkan keluarga.Berbagai
permasalahan yang disebabkan oleh gangguan skizofrenia menimbulkan berbagai
konsekuensi bagi keluarga selaku pendamping penderita(Kemenkes RI, 2009).
Dari berbagai penelitian, disebutkan beberapa konsekuensi yang umum
dialami penderita dan keluarga sebagai pendamping penderita skizofrenia, antara
lain: (1) biaya perawatan, (2) rasa malu dan bersalah keluarga, (3) stigma dan
diskriminasi dari masyarakat, (4) kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan
jiwa, (5) ketidaktepatan cara pemecahan masalah oleh keluarga(Caqueo,
Gutierrez, & Miranda, 2009 ;Cohen, et al., 1996; Gerson, et al., 2009).
Merawat penderita dengan skizofrenia dapat menimbulkan perasaan tegang
dan terbebani yang dapat mengurangi kualitas hidup bagi keluarga yang
mendampingi (Thomas, et al., 1996).Selain itu juga tanggung jawab merawat
penderita skizofrenia seringkali menimbulkan konflik peran pekerjaan atau
keluarga, menambah tekanan ekonomi, menimbulkan rasa sakit secara emosional
karena melihat orang yang disayang dalam keadaan sakit, dan menimbulkan
keterbatasan dalam kegiatan sosial dan rekreasional bagi keluarga yang merawat
(Stanley & Shwetha, 2006; Grandon,Jenaro, & Lemos, 2008).
Sehingga dari berbagai konflik tersebut, akan menimbulkan tingkat stres
pada keluarga yang merawat atau yang berinteraksi lama dengan penderita
skizofrenia (Eklund, & Backstrom, 2005). Pada penelitian ini, keluarga
2
didefinisikan sebagai orang-orang yang terdekat dan banyak terlibat dalam
perawatan penderita, tinggal dengan penderita dan menjalankan peran perawatan
penderita tanpa mendapatkan imbalan ekonomis.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian tentang “gambaran tingkat stres pada keluarga pasien skizofrenia di
wilayah kerja Puskesmas Kampung Bugis tahun 2017”.
3
7. Gambaran tingkat stres pada keluarga pasien skizofrenia berdasarkan
status pengobatan pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas
Kampung Bugis.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
tuntutan kelompik, (11) mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok
atau budaya(Notosoedirdjo,& Latipun, 2005).
6
b. Jasmaniah
Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa bentuk tubuh
berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu, misalnya yang bertubuh
gemuk (endoform) cenderung menderita psikosa manik-depresif,
sedangkan seseorang yang memiliki bentuk tubuh kurus (ectoform)
cenderung menderita skizofrenia.
c. Temperamen
Orang yang terlalu peka/sensitivebiasanya mempunyai masalah
kejiwaan dan ketegangan sehingga memiliki resiko lebih tinggi mengalami
gangguan jiwa.
d. Penyakit dan Cedera Tubuh
Penyakit-penyakit tertentu terutama penyakit yang bersifat kronis
seperti penyakit jantung, kanker, diabetes mellitus, dan penyakit kronik
lainnya menyebabkan rasa murung dan sedih bagi penderitanya.Demikian
pula cedera/cacat tubuh juga dapatmenyebabkan rasa rendah diri.
2. Sebab Psikologik
a. Masa Bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun, yang
mana pada masa itu dasar perkembangan yang dibentuk adalah sosialisasi.
Pada masa ini, cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa aman dan
nyaman bagi bayi. Sehingga jika masa ini berjalan dengan baik, maka akan
menumbuhkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat.
Sebaliknya, sikap ibu yang dingin dan acuh tak acuh akanmenjadikan anak
tersebut menjadi pribadi dengan sifat yang cenderung sering menolak dan
menentang lingkungan sekitarnya.
b. Masa Anak Pra Sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)
Pada usia ini anak biasanya akan mulai bersosialisasi dan telah
tumbuh sikapdisiplin. Anak yang tidak mendapat kasih sayang, tidak
disiplin, tak ada panutan, adanya pertengkaran dan keributan yang
membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak aman
7
merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tingkah laku dan gangguan
kepribadian pada anak dikemudian hari.
c. Masa Anak Sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual.Pada
masa ini, anak mulai memperluas lingkungan pergaulannya, tidak hanya
pada keluarga saja.Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan
gangguan penyesuaian diri.Dalam hal ini lingkungan sangat berpengaruh,
anak mungkin melakukan kompensasi yang positif atau kompensasi
negatif.Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang anak
mengembangkan kemampuan dalam memperluas sosialisasi,menguji
kemampuan, prestasi, atau sebaliknya dapat menimbulkan sikap
mengekang atau memaksakan kehendaknya.
d. Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang
penting yaitu berkembangnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri
kewanitaan atau kelaki-lakian).Sedang secara kejiwaan, pada masa ini
terjadi pergolakan-pergolakan yang hebat. Pada masa ini, di satu pihak ia
merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak
belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas semua
perbuatannya. Egosentris yaitu sikap menentang terhadap otoritas, senang
berkelompok, munculnya sifat yang idealis yaitu sifat-sifat yang sering
terlihat.Sehingga dalam hal ini dengan menciptakan lingkungan yang baik
dan penuh pengertian akan sangat membantu proses kematangan
kepribadian di usia remaja.
e. Masa Dewasa Muda
Masa dewasa muda ini menunjukkan hasil dari perkembangan
sebelumnya. Jika seseorang melalui masa-masa sebelumnya dengan rasa
aman dan bahagia maka biasanya pada masa ini akanmemiliki
kesanggupan dan kepercayaan diri serta umumnya ia akan berhasil
mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi pada masa ini. Sebaliknya yang
mengalami banyak gangguan pada masa-masa sebelumnya, maka ia akan
8
beresiko tinggi mengalami gangguan jiwa jika mengalami masalah pada
masa ini.
f. Masa Dewasa Tua
Masa dewasa tua merupakan patokan berhasil atau tidaknya
seseorang mencapai status pekerjaan dan sosial yang mantap. Sebagian
orang berpendapat jika pada masa ini terjadi masalah maka akan terjadi
perubahan seperti perasaan rendah diri dan pesimis. Jika berat, maka
keluhan psikomatik yang muncul biasanya orang tersebut akanmurung,
merasakan kesedihan yang mendalam disertai kegelisahan hebat dan
mungkin muncul keinginan untuk bunuh diri.
g. Masa Tua
Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini
yaitu berkurangnya daya tangkap, daya ingat dan daya belajar serta
menurunnya kemampuan jasmaniah dan sosial ekonomi sehingga
menimbulkan rasa cemas, rasa tidak aman yang kemudian sering
mengakibatkan kesalahpahaman terhadap lingkungannya.Perasaan terasing
karena kehilangan teman sebaya disertai keterbatasan gerak dapat
menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat pada masa ini.
9
agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi pribadi
penurut yang berlebihan.
b. Sistem nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu
dengan yang lain, dan perbedaan antara masa lalu dan sekarang biasanya
sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan
moral yang diajarkan di rumah/sekolah dengan moral yang dipraktekkan di
masyarakat sehari-hari juga akan menimbulkan pergolakan-pergolakan
jiwa seseorang.
c. Ketidaksesuaian antara keinginan dengan kenyataan yang ada
Iklan-iklan di radio, televisi, surat kabar, film dan lain-lain terkadang
menimbulkan khayalan yang berlebihan tentang kehidupan modern yang
mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Sehingga hal tersebut
beresiko menimbulkan rasa kecewa yang menyebabkan seseorang
mencoba mendapatkannya dengan tindakan atau perbuatan yang dapat
merugikan masyarakat.
d. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi
Dalam masyarakat modern, kebutuhan dan persaingan semakin
meningkat dan semakin ketat dalam usaha mencapai tingkat ekonomi demi
menikmati kemajuan teknologi modern yang ada. Hal tersebut kemudian
akanmemacu seseorang untuk bekerja lebih keras. Jumlah orang yang
ingin bekerja lebih besar dari ketersediaan lowongan kerja sehingga
pengangguran meningkat.Demikian pula urbanisasi menjadi tinggi
sehingga mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang
rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat yang kurang dan waktu
berkumpul dengan keluarga yang sangat terbatas akibat kerja keras
tersebut kemudian akanmengakibatkan perkembangan kepribadian yang
abnormal.
e. Perpindahan keluarga ke lingkungan yang baru
Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya,
perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan) akancukup
mengganggu.
10
f. Masalah kelompok minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang dialami oleh masyarakat pada
kelompok ini yang berasal dari lingkungan sekitarnya dapat menyebabkan
timbulnya rasa pemberontakan yang selanjutnya akanmuncul sikap acuh
atau keinginan untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang
banyak.
1. Skizofrenia
Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas yang terbesar.Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk
psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala.Meskipun demikian
pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan patogenesisnya sangat kurang
(Maslim, 2007).
Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga
pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan
menjadi kronis, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang terjadi pemulihan
sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan
kepribadian yang buruk (Maslim, 2007).
11
2. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak
berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan& Sadock, 2010).
Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan
pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, perasaan tidak adanya
gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari,
2002).
Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan
penderitaan.Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan
marah yang mendalam(Kaplan& Sadock, 2010).
Depresi adalah gangguan mood patologis yang mempunyai karakteristik
berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang
hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah,
bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi
menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai
akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai(Kaplan&
Sadock, 2010).
3. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh
setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang
dihadapi sebaik-baiknya(Maramis, 2004).
Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi
dari ancaman yang tidak spesifik.Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak
diketahui atau tidak dikenali.Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan
tingkat ringan sampai tingkat berat.Menurut Sundeen (1995) dalam buku
karangan Maramis, mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat
tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan
panik(Maramis, 2004).
12
4. Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian secara klinismenunjukkan bahwa gejala-gejala
gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala neurosa hampir sama pada
orang-orang dengan inteligensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa
gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan inteligensi sebagian besar tidak ada
korelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian
afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian
anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian histerik, kepribadian astenik,
kepribadian antisosial, kepribadian pasif-agresif, dan kepribadian
inadekuat(Maramis, 2004).
5. Gangguan Mental Organik
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan
oleh gangguan fungsi jaringan otak.Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat
disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang
terutama diluar otak.Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan
dasar mengenai fungsi mental dan tidak tergantung pada penyakit dasarnya.Bila
hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah
yang menentukan gejala dan sindrom yang muncul(Maramis, 2004).
6. Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fisik.Sering terjadi
perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata
karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.
Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu
neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering
disebut juga gangguan psikofisiologik(Maramis, 2004).
7. Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, yang ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh,
misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial(Maramis, 2004).
13
2.3 Skizofrenia
2.3.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki karakteristik
khusus.Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, definisi
skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas
dan fundamental dalam pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek
yang tumpul atau tidak wajar (Utama, 2010).
Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang harus ada secara jelas:
1. Halusinasi yang menetap dari panca indera
2. Arus berpikir yang terputus
3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
14
4. Gejala-gejala negatif seperti sikap yang sangat apatis, jarang bicara dan
respon emosional yang tumpul (afek datar) dan tidak wajar biasanya
penarikan diri dari pergaulan sosial disertai menurunnya kinerja sosial, tetapi
hal ini harus jelas bukan disebabkaan karena depresi.
Adanya gejala khas tersebut diatas telah berlangsung dalam kurun waktu satu
bulan atau lebih.
15
2.3.3 Penatalaksanaan Skizofrenia
Pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
pengobatan, antara lain: (Williams , etal., 2014).
1. Pertama, terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang
mempunyai sifat individual, keluarga dan sosial psikologis yang
unik.Pendekatan pengobatan harus disusun sesuai bagaimana pasien tertentu
telah terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana pasien tertentu akan
tertolong oleh pengobatan.
2. Kedua, kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar
monozigot adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk
menyarankan bahwa faktor lingkungan spesifik telah berperan dalam
perkembangan gangguan. Jadi, seperti agen farmakologis digunakan untuk
menjawab ketidakseimbangan kimiawi yang diperkirakan, strategi
nonfarmakologis harus menjawab masalah non biologis.
3. Ketiga, skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap
pendekatan teraupetik tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara
memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.
16
aktif akan lebih efektif daripada institusi atau komunitas terapeutik berorientasi
tilikan (Kaplan& Sadock, 2010).
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis
kearah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan
hubungan sosial. Perawatan dir rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat
pasien dengan fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya (Kaplan& Sadock,
2010).
a. Terapi Biologi
Pemakaian terapi biologi yang menggunakan antipsikotik pada skizofrenia
harus mengikuti lima prinsip utamayaitu: (Maslim, 2007).
1. Klinisi harus cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati.
2. Melanjutkan pengobatan antipsikotik yang telah memberikan efek terapi
yang sesuai dengan gejala pasien.
3. Lama minimal pemberian antipsikotik adalah 4 – 6 minggu pada dosis
yang adekuat. Jika terapi awal tidak memberikan hasil yang baik, maka
bisa diganti dengan obat lainnya. Tetapi pengalaman yang tidak
menyenangkan yang dirasakan pasien pada pengobatan awal akan
menimbulkan respon buruk dan ketidakpatuhan di masa depan.
Pengalaman negatif tersebut meliputi perasaan subjektif yang aneh, sedasi
berlebihan, atau suatu reaksi distonik akut.
4. Antipsikotik biasanya diberikan dengan dosis tunggal. Namun pada
beberapa kasus dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti
carbamazepine.
5. Antipsikotik harus diberikan dengan pertimbangan dosis yang serendah
namun tetap memberikan hasil yang efektif untuk mencapai pengendalian
gejala selama episode psikotik.Skizofrenia diobati dengan antipsikotika
(AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme
kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau antipsikotika
generasi 1 (APG-1) dan serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau
antipsikotika generasi II (APG-II).
17
Obat antipsikotik generasi I dan II bermanfaat pada fase akut pengobatan
skizofrenia (dalam beberapa minggu atau bulan) yang berguna untuk mencegah
beratnya gejala psikosis (agitasi, agresif, gejala negatif, dan gejala afek)
(Williams , etal., 2014).
Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikalberguna
terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif
hampir tidak bermanfaat. Contoh obat yang sering di gunakan adalah
Klorpromazine dan Haloperidol(Williams , etal., 2014).
Obat APG-II yang disebut juga antipsikotika baru atau atipikal sebagai
pemeliharaan yang diberikan dengan dosis rendah setelah kekambuhan pertama.
Dosis pemeliharaan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun (Maslim,
2007).Obat APG-II bermanfaat baik untuk gejala positif maupun gejala negatif.
Beberapa obat APG-II yang sering digunakan adalah Clozapine dan Resperidone
yang mempunyai efek klinis yang besar dengan efek samping yang
minimal1(Williams, etal., 2014).
18
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali. Efek terapi
obat antipsikotikdapat berlangsung lama, sehingga efek masih akan berlangsung
sampai beberapa hari setelah dosis terakhir diberikan. Oleh karena itu pada
pengobatan antipsikotik tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat
dihentikan dan biasanya satu bulan kemudian gejala baru akankambuh
kembali.Hal ini disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat,
sehingga metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan antipsikosis
(Williams, et al., 2014).
Selain kedua golongan obat tersebut, untuk terapi skizofrenia juga
diberikan obat antipsikotik “long acting” (Fluphenazine Decanoatdengan dosis 24
mg/cc atau Haloperidol Decanoasdengan dosis 50 mg/cc, diberikan secara
intramuskular setiap 2–4minggu. Obat jenis antipsikotik ini sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau tidak teratur makan obat sehingga medikasi oral
menjadi tidak efektif. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan
pertama, kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan
(Williams , et al., 2014).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antipsikotik adalah
sebagai berikut(Maslim, 2007; Williams , et al., 2014).
1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
2. Gangguan otonomik hipotensi, antikolinergik/parasimpatololitik, mulut
kering, kesulitan defekasi, mata kabur, gangguan irama jantung.
3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson
seperti tremor, bradikinesia, rigiditas).
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), gangguan metabolik
(jaundice), gangguan hematologik (agranulositosis) biasanya pada pemakaian
jangka panjang.
Bila terjadi efek samping sindrom ekstrapiramidal seperti distonia akut,
akhitasia atau parkinsonisme, biasanya terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis
dan bila gejala yang timbul tidak dapat ditanggulangi maka sebaiknya diberikan
19
obat-obat antikolinergik seperti triheksifinidil, benztropin, sulfas atropine atau
difenhidramine. Dan yang paling sering digunakan adalah triheksilfenidin dengan
dosis 3x2 mg per hari. Jika tetap tidak berhasil mengatasi sindrom ekstrapiramidal
tersebut maka sebaiknya mengganti jenis antipsikotik lainnya (Maslim, 2007).
b. Terapi Psikososial
Terapi psikososial terdiri dari terapi perilaku dan terapi berorientasi keluarga.
1. Terapi Perilaku
Rencana pengobatan untuk skizofrenia harus mempertimbangkan
kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik perilaku ini menggunakan
latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi kebutuhan diri sendiri, latihan praktis dan
komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif penderita didorong dengan
pujian atau hadiah. Dengan demikian, teknik ini dapat menurunkan
frekuensi perilaku maladapatif atau menyimpang seperti berbicara lantang,
berbicara sendirian, dan postur tubuh yang aneh(Kaplan & Sadock, 2010).
Latihan keterampilan perilaku (behavioral skills training) atau
yang sering disebut terapi keterampilan sosial (social skills therapy) dapat
secara langsung membantu dan berguna bagi pasien. Disamping gejala
personal dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang paling terlihat
adalah menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak
mata yang buruk, keterlambatan respon yang tidak lazim, ekspresi wajah
yang aneh, tidak adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi
yang tidak akurat atau tidak adanya persepsi emosi terhadap orang
lain.Latihan keterampilan perilaku dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
seperti: (1) permainan simulasi (role playing) dalam terapi, (2)
mengajarkan cara menyelesaikan pekerjaan di rumah, (3) memperlihatkan
kaset video tentang bagaimana cara bersikap terhadap orang lain
(Kaplan& Sadock, 2010).
20
2. Terapi berorientasi keluarga
Berbagai terapi dengan orientasi keluarga cukup berguna dalam
pengobatan skizofrenia. Karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan
dalam keadaan remisi parsial, sehingga pasien skizofrenia akan banyak
berinteraksi dengan keluarga. Inti dari terapi ini termasuk mengidentifikasi
dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan
dengan segera. Jika masalah timbul pada pasien di dalam keluarga, maka
terapi berorientasi keluarga ini dipusatkan pada pemecahan masalah secara
cepat (Kaplan& Sadock, 2010).
21
manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah
kekambuhan penderita. Beberapa hal yang perlu di perhatikan oleh keluarga dan
lingkungan dalam merawat penderita gangguan jiwa di rumah(Yosep, 2007 ;
Utama, 2010).
1. Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
2. Memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan penderita dan secara
bertahap ditingkatkan sesuai perkembangan.
3. Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri saat melakukan kegiatan,
misalnya makan bersama, rekreasi bersama, dan bekerja bersama.
4. Meminta keluarga dan teman menyapa saat bertemu penderita dan jangan
mendiamkan penderita berbicara sendiri.
5. Mengajak dan mengikutsertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat
seperti kerja bakti.
6. Memberikan pujian terhadap keberhasilan penderita atau dukungan untuk
keberhasilan sosial penderita.
7. Mengontrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk
selalu minum obat dengan mengingat prinsip Benar (benar nama obat, benar
dosis, dan benar cara pemberian).
8. Mengenali adanya tanda-tanda kekambuhan seperti: sulit tidur, bicara
sendiri, marah-marah, senyum sendiri, menyendiri, murung, dan bicara kacau.
9. Mengontrol suasana lingkungan yang dapat memancing amarah penderita.
2.4 Stres
2.4.1 Definisi Stres
Stres adalah respon seseorang pada suatu hal atau kejadian yang
mengancam dan menantang individu tersebut. Kehidupan manusia dipenuhi
dengan kondisi stres. Meskipun demikian, munculnya stres dapat bervariasi pada
masing-masing orang dan dipengaruhi oleh multifaktor. Faktor-faktor itu di antara
lain persepsi, interpretasi, dan peran seseorang dalam suatu hal/kejadian yang
berpotensi menjadi stressor (Feldman, 2009).
Menurut WHO (2003), stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap
tekanan mental atau beban kehidupan. Menurut Marbun (2011), stres adalah
22
setiap tekanan atau ketegangan yang dirasakan membahayakan kesejahteraan
fisik dan psikologis seseorang(Jiloha &Bhatia, 2010).
Stressor yang berupa hal-hal atau kejadian dalam hidup dapat
dikategorikan menjadi: (Jiloha &Bhatia, 2010).
1. Cataclysmic events
Stressor ini merupakan kategori stressor yang kuat, yang munculnya
mendadak dan biasanya akan banyak mempengaruhi kehidupan seseorang.
Contohnya adalah bencana alam dan kondisi konflik. Akan tetapi, pada kedua
contoh tersebut terdapat perbedaan yaitu munculnya stres akibat kejadian bencana
alam cenderung tidak setinggi kondisi konflik karena pada kejadian ini terdapat
resolusi yang jelas yang mana kejadian yang buruk telah terlewati, sehingga
orang-orang dapat kembali memandang masa depan. Selain itu ada fungsi sosial
yang mengurangi stressor dengan terbentuknya rasa simpati antarindividu.
2. Personal stressors
Stressor personal melibatkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang yang
sifatnya personal, seperti meninggalnya anggota keluarga, kehilangan pekerjaan,
bahkan hal positif seperti pernikahan pun juga termasuk dalam stressor personal.
Biasanya respon stres yang timbul bersifat sedang, dan biasanya akan membaik
seiring berjalannya waktu.
3. Background stressors
Merupakan kategori stressor yang ringan dan biasanya terjadi pada kehidupan
sehari-hari namun selain dapat menimbulkan stres ringan dapat pula menimbulkan
efek merugikan jangka panjang apabila berlangsung dalam jangka waktu yang
lama.
23
1. Alarm and mobilization
Muncul ketika seseorang menyadari adanya suatu stressor. Pada tahap ini
sistem saraf simpatis menjadi aktif sehingga membantu individu untuk menangani
stressor yang ada.
2. Resistance (adaptation to stress)
Apabila stressor tetap ada, maka individu akan menginjak tahap kedua, yaitu
tahap resistensi. Pada tahap ini, tubuh bersiap untuk menghadapi stressor tersebut
ditandai oleh adanya sekresi hormon atau zat-zat kimia tertentu.
3. Exhaustion
Merupakan tahap terakhir dari GAS, yang mana kemampuan individu untuk
beradaptasi terhadap stressor menurun menuju suatu titik dimana muncul
konsekuensi negatif dari stres, dapat berupa keluhan fisik dan gejala psikologis
(tidak dapat berkonsentrasi, perasaannya menjadi lebih sensitif, atau pada tingkat
yang lebih lanjut dapat muncul disorientasi dan lepas dari realitas). Apabila
seseorang telah mencapai tahap exhaustion, hal ini dapat menjadi suatu proses
pemulihan diri karena keluhan yang muncul akan memaksa seseorang untuk
melepaskan diri dari stressor, hal ini akan memberikan waktu untuk mengurangi
stres yang muncul.
24
c. Sikap yang tidak berkaitan langsung dengan kesehatan, seperti berkurangnya
kepatuhan terhadap pengobatan, penundaan untuk berkonsultasi dengan
tenaga kesehatan dan kurangnya minat untuk menemui tenaga kesehatan.
Stres juga dapat mempengaruhi sistem imun, yang mana sistem imun
mendapat stimulasi berlebihan. Hal ini menyebabkan sistem imun yang
seharusnya menghadapi patogen yang memasuki tubuh justru menyerang tubuh
itu sendiri dan merusak jaringan tubuh yang sehat. Selain itu juga, respon sistem
imun akan menurun sehingga mempermudah terjadinya infeksi dan penyebaran
dari sel tumor (Eaton, et all., 2011).
25
Terdapat pula mekanisme koping lainnya yang tidak sesuai untuk
menghadapi stres karena mekanisme koping ini cenderung menghindari kenyataan
dan masalah, bukannya menghadapi dan menyelesaikan masalahnya, seperti:
a. Avidant coping yakni seseorang yang menghadapi stres dengan
mekanisme ini cenderung menghindari stressor. Avidant coping
digambarkan dengan berharap sesuatu yang cenderung mustahil,
mengkonsumsi obat, meminum minuman beralkohol atau makan yaitu
berlebihan.
b. Defense mechanism dimana individu akan berusaha untuk mengurangi
kecemasan dengan menyembunyikan stressor dari dirinya sendiri dan
orang lain. Mekanisme ini akan memberi kesempatan individu tersebut
untuk menghindari stres dengan berpura-pura bahwa stressor itu tidak ada.
c. Emotional insulation yaitu dimana individu berhenti merasakan emosi
apapun, sehingga individu tetap tidak akan terpengaruh dan tergerak oleh
suatu pengalaman positif maupun negatif.
26
Hal utama dalam pemulihan psikologis adalah derajat dari resilience.
Resilience adalah kemampuan untuk tetap bertahan, mengatasi dan berkembang
setelah mengalami stressor yang sangat besar (Jiloha & Bhatia, 2010).
Terdapat lima keterampilan untuk manajemen stres, yaitu:
(Jiloha & Bhatia, 2010).
1. Self Observation
Observasi diri dalam menghadapi stressor penting dalam memahami
penyebab dari stres dalam hidup dan dapat memberikan pandangan tentang
bagaimana diri bereaksi terhadap stres dan membantu mengidentifikasi
pada tingkat stres mana yang dapat ditangani.
2. Cognitive Restructuring
Kemampuan kognitif berperan penting dalam stres dan proses
koping. Terapi sikap kognitif dapat membantu individu untuk menyadari
dan mengubah pikiran, keyakinan dan ekspektasi yang mempersulit
adaptasi.
3. Relaxation Training
Kemampuan seseorang untuk menenangkan diri sangat penting
dalam manajemen stres. Orang dengan kemampuan relax yang baik akan
dapat berfikir dengan lebih rasional dan mampu untuk merestrukturisasi
kognisi yang negatif ketika dihadapkan dengan kejadian yang memicu
stres.
4. Time Management
Manajemen waktu sangat penting dalam menentukan prioritas
sehingga individu dapat belajar untuk memfokuskan diri dan mencegah
individu untuk terlarut dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting dan
tidak urgent (prioritas terendah) sehingga dapat membantu individu untuk
menjaga beban kerjanya lebih terkontrol.
5. Problem Solving
Pemecahan masalah meliputi beberapa tahap, yaitu identifikasi
masalah, menciptakan beberapa alternatif, dan mengevaluasi alternatif
yang ada kemudian menemukan solusi terbaik.
27
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Keluarga Pasien
Skizofrenia Kuisioner
Tingkat Stres
- Jenis Kelamin
- Usia Hubungan Setiap
- Tingkat Pendidikan Indikator Terhadap
- Pekerjaan Tingkat Stres
- Lama merawat pasien Keluarga
skizofrenia
- Hubungan keluarga
- Status pengobatan pasien
Keterangan:
28
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
29
4.5 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala Ukur
Jenis Perbedaan seks dilihat dari ciri fisik dan biologis individu 1. Laki-laki Nominal
Kelamin yangmenjadi responden yang diukur melalui pertanyaan pada 2. Perempuan
data karakteristik dan dipastikan kebenarannya dengan Kartu
Keluarga
Usia Satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan individu yang 1. Usia 18 – 40 tahun (dewasa awal) Interval
menjadi responden yang diukur melalui pertanyaan pada data 2. Usia 41 – 54 tahun (dewasa madya)
karakteristik dan dipastikan kebenarannya dengan Kartu 3. Usia 55 – 77 tahun (dewasa lanjut)
Keluarga atau KTP
Tingkat Jenis pendidikan formal yang terakhir diselesaikan oleh 1. Tidak sekolah Nominal
Pendidikan responden yang diukur melalui pertanyaan pada data 2. SD
karakteristik dan dipastikan kebenarannya dengan Kartu 3. SMP
Keluarga 4. SMA
5. S1
6. Lain-lain
Pekerjaan Suatu kegiatan atau aktivitas responden sehari-hari untuk 1. PNS Nominal
pemenuhan kebutuhan hidup yang diukur melalui pertanyaan 2. ABRI/Polisi
pada data karakteristik dan dipastikan kebenarannya dengan 3. Wirausaha/swasta
Kartu Keluarga atau KTP 4. Petani
30
5. Ibu Rumah Tangga
6. Lain-lain
Lama Lamanya waktu yang digunakan oleh anggota keluarga 1. Kurang dari 12 bulan Rasio
merawat merawatpasien skizofrenia dalam satuan bulan yang diukur 2. 12 – 24 bulan
melalui pertanyaan pada data kuesioner 3. Lebih dari 24 bulan
Hubungan Hubungan kekerabatan responden dengan pasien dalam 1. Orang tua Nominal
keluarga lingkup keluarga baik hubungan darah atau hubungan karena 2. Suami
pernikahan. 3. Istri
4. Anak
5. Kakak/Adik
6. Lain-lain
31
Tingkat stres Tingkat stres yang diderita keluarga pasien skizofrenia di Tingkat stres dibagi menjadi: Interval
wilayah kerja Puskesmas Kampung Bugis yang diukur dengan 1. 0 – 29 : normal
menggunakan kuesioner DASS 42 2. 30 – 59 : stres ringan
3. 60 – 89 : stres sedang
4. 90 – 119 : stres berat
5. Lebih dari 120 : stres sangat berat
32
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan kuesioner DASS 42.
33
Stres berat :90 – 119
Stres sangat berat : > 120
a. Validitas instrumen
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji coba terpakai yaitu
penelitian langsung dijadikan sebagai dasar analisis. Penelitian ini
menggunakan instrumen DASS 42, skala stres ini tidak dilakukan uji
validitas karena menggunakan instrumen baku DASS 42 dengan nilai
koefisien alfa stres 0,933(Henry & Crawford,2005).
b. Reliabilitas Instrumen
Cronbach alpha DASS 42 ditemukan memiliki nilai alfa 0,933 sehingga
instrumen penelitian ini reliabel (Henry & Crawford,2005).
34
4.7.3 Pengolahan dan analisis data
a. Pengolahan data
Dalam tahap ini, data yang diperoleh melalui penelitian diolah
sesuai susunan kebutuhan peneliti. Setelah itu dilakukan análisis data.
Membuat lembaran kode (Coding Sheet)
Memasukkan data (data entry)
Tabulasi
b. Analisis masalah
Dilakukan dengan mendeskripsikan masing-masing karakteristik
responden, yaitu berdasarkan masing-masing variabel penelitian
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan bantuan komputer progran SPSS.
4.7.4 Tahap Penyelesaian
a. Menyusun laporan hasil penelitian
b. Merevisi hasil laporan dan melakukan proses bimbingan
Kuisioner
Responden Responden
Menolak Menerima
Pengolahan, penyajian,
dan analisis data
Pembahasan
Kesimpulan
35
4.9 Jadwal Kegiatan Penelitian
2018
No Januari Februari
Kegiatan 2 3 4 1 2
1 Penyusunan awal
3 Penelitian
4 Penyusunan laporan hasil
5 Seminar hasil
36
BAB 5
HASIL PENELITIAN
37
5.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin
26%
Laki-laki
Perempuan
74%
Usia
38
Diagram 5.2menggambarkan bahwa sebagian besar responden berada
pada kelompok usia dewasa lanjut (55-77 tahun) yaitu dengan persentase sebesar
48% (13 orang). Sedangkan jumlah responden pada kelompok usia dewasa madya
sebesar 30% (8 orang) dan pada kelompok dewasa awal sebesar 22% (6 orang).
Tingkat Pendidikan
3.70% 0%
0%
Tidak Sekolah
18.51% SD
SMP
51.85% SMA
25.92% S1
Lain-lain
39
5.2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
3.70% 0.00%
11.11% PNS
18.52% ABRI/Polisi
Wiraswasta/Swasta
3.70%
Petani
Ibu Rumah Tangga
62.96%
Lain-lain
Lama Merawat
11.11%
40
Diagram 5.5 menggambarkan bahwa sebagian besar responden yaitu
77,78% (21 orang) telah merawat lebih dari 24 bulan. Sedangkan responden yang
lama merawat kurang dari 12 bulan dan 12 sampai 24 bulan masing-masing
mempunyai persentase yang sama sebesar 11,11% (3 orang).
Hubungan Keluarga
41
5.2.7 Distribusi Status Pengobatan Pasien Skizofrenia
22.22%
Rutin
40.74%
Tidak Rutin
Putus Berobat
7.41%
0.00%
Tingkat Stress
12,50%
0.00%
0-29 (Normal)
42
Diagram 5.8 menggambarkan bahwa responden terbanyak adalah keluarga
pasien yang tidak mengalamistres atau normal yaitu dengan persentase sebesar
85,19% (23 orang). Sedangkan keluarga pasien dengan tingkat stres ringan
sebesar 11,11% (3 orang), tingkat stres sedang sebesar 3,70% (1 orang), dan
tingkat stres berat dan stres sangat berat tidak ada responden (0%).
43
5.3 Gambaran Tingkat Stres Berdasarkan Karakteristik Responden
5.3.1 Gambaran Tingkat Strespada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Jenis Kelamin.
Tabel 5.1 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin
No Tingkat Stres Jumlah %
Laki-laki % Perempuan %
1 Normal 7 25,93 16 59,26 23 85,19
2 Stres Ringan 0 15 3 11,11 3 11,11
3 Stres Sedang 0 5 1 3,70 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0
5 Stres Sangat Berat 0 0 0 0 0 0
Total 7 25,93 20 74,07 27 100
Tabel 5.1 menggambarkan bahwa jumlah responden yang mengalami stres yaitu sebanyak 4 orang (14,81%) dengan
responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami stres yaitu sebanyak 4 orang (14,81%). Sedangkan responden
berjenis kelamin laki-laki yang mengalami stres tidak ada.
44
5.3.2 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Usia.
Tabel 5.2 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Usia.
Usia
No Tingkat Stres Dewasa Dewasa Dewasa Jumlah %
% % %
Awal Madya Lanjut
1 Normal 5 18,52 6 22,22 12 44,44 23 85,19
2 Stres Ringan 1 3,70 1 3,70 1 3,70 3 11,11
3 Stres Sedang 0 0 1 3,70 0 0 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Stres Sangat Berat 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 6 22,52 8 29,92 13 48,44 27 100
Tabel 5.2 menggambarkan bahwa responden dengan kelompok usia dewasa madya paling banyak mengalami stres yaitu
sebanyak 2 orang (7,40%). Sedangkan responden dengan kelompok usia dewasa awal dan dewasa lanjut yang mengalami stres
mempunyai persentase yang sama yaitu masing-masing sebanyak 1orang (3,70%).
45
5.3.3 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 5.3Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Tingkat Pendidikan.
Pendidikan
No Tingkat Stres Jumlah %
Tidak Sekolah % SD % SMP % SMA % S1 % Lain-lain %
1 Normal 0 0 11 40,74 6 22,22 5 18,52 1 3,70 0 0 23 85,19
2 Stres Ringan 0 0 2 7,41 1 3,70 0 0 0 0 0 0 3 11,11
3 Stres Sedang 0 0 1 3,70 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Stres Sangat Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 0 0 14 51,85 7 25,93 5 18,52 1 3,70 0 0 27 100
Tabel 5.3 menggambarkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan yang terbanyak mengalami stres yaitu responden
dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 3 orang (11,11%). Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SMP yang mengalami
stres sebanyak 1 orang (3,70%), responden dengan tingkat pendidikan tidak sekolah, SMA, S1, lain-lain yang mengalami stres
tidak ada.
46
5.3.4 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Pekerjaan
Tabel.5.4 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Pekerjaan.
Pekerjaan
No Tingkat Stres ABRI Wiraswasta/ Lain- Jumlah %
PNS % /Polisi % Swasta % Petani % IRT % lain %
1 Normal 1 3,7 0 0 5 18,52 1 3,70 13 48,15 3 11,11 23 85,19
2 Stres Ringan 0 0 0 0 0 0 0 0 3 11,11 0 0 3 11,11
3 Stres Sedang 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3,70 0 0 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Stres Sangat
5 Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 1 3,7 0 0 5 18,52 1 3,70 17 62,96 3 11,11 27 100
Tabel 5.4 menggambarkan responden yang mengalami stres berdasarkan jenis pekerjaan terbanyak adalah responden dengan
pekerjaan ibu rumah tangga yaitu sebanyak 4orang (14,81%). Sedangkan responden PNS, ABRI/Polisi, wiraswasta/swasta, petani,
dan lain-lain yang mengalami stres tidak ada.
47
5.3.5 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Lama Waktu Merawat Pasien Skizofrenia
Tabel 5.5Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Lama Waktu Merawat Pasien Skizofrenia.
Lama Merawat
No Tingkat Stres Jumlah %
<12 Bulan % 12-24 Bulan % >24 Bulan %
1 Normal 2 7,41 2 7,41 19 70,37 23 85,19
2 Stres Ringan 0 0 1 3,70 2 7,41 3 11,11
3 Stres Sedang 1 3,70 0 0 0 0 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Stres Sangat Berat 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 3 11,11 3 11,11 21 77,78 27 100
Tabel 5.5 menggambarkan bahwa responden yang termasuk didalam kelompok yang telah merawat pasien skizofrenia
selama >24 bulan adalah responden terbanyak yang mengalami stres dengan persentase sebanyak 2 orang (7,41%). Sedangkan
kelompok responden yang telah merawat pasien skizofrenia< 12 bulan dan antara 12-24 bulan yang mengalami stres mempunyai
persentase yang sama yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (3,70%).
48
5.3.6 Gambaran Tingkat Strespada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Hubungan Keluarga Dengan Pasien Skizofrenia
Tabel 5.6 Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Hubungan Keluarga Dengan Pasien Skizofrenia.
Hubungan Keluarga
No Tingkat Stres Orang Kakak/ Lain- Jumlah %
Tua % Anak % Suami % Istri % Adik % lain %
1 Normal 14 51,85 1 3,70 0 0 2 7,41 4 14,81 2 7,41 23 85,19
2 Stres Ringan 1 3,70 0 0 0 0 0 0 1 3,70 1 3,70 3 11,11
3 Stres Sedang 1 3,70 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Stres Sangat Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 16 59,26 1 3,70 0 0 2 7,41 5 18,52 3 11,11 27 100
Tabel 5.6 menggambarkan bahwa responden yang mengalami stres berdasarkan hubungan keluarga dengan pasien
skizofrenia terbanyak adalah responden yang memiliki hubungan keluarga sebagai orang tua pasien skizofrenia yaitu sebanyak
2orang (7,41%). Sedangkan responden yang memiliki hubungan keluarga sebagai kakak/adik dan lain-lain dengan pasien
skizofrenia mengalami stres mempunyai persentase yang sama yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (3,70%), responden yang
memiliki hubungan keluarga sebagai anak, suami, dan istri pasien skizofrenia yang mengalami stres tidak ada.
49
5.3.7 Gambaran Tingkat Stres Pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Status Pengobatan Pasien Skizofrenia
Tabel 5.7Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga Pasien Skizofrenia Berdasarkan Status Pengobatan Pasien Skizofrenia.
Status Pengobatan Pasien
No Tingkat Stres Jumlah %
Rutin % Tidak Rutin % Putus Berobat % Belum Berobat %
1 Normal 10 37,04 1 3,70 7 25,93 5 18,52 23 85,19
2 Stres Ringan 1 3,70 0 0 1 3,70 1 3,70 3 11,11
3 Stres Sedang 0 0 1 3,70 0 0 0 0 1 3,70
4 Stres Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Stres Sangat Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 11 40,74 2 7,41 8 29,63 6 22,22 27 100
Tabel 5.7 menggambarkan bahwa tingkat stres pada responden berdasarkan status pengobatan pasien skizofrenia sama
banyak yaitu masing-masing pengobatan sebesar 3,70 % (1 orang).
50
BAB 6
PEMBAHASAN
51
yang terbanyak 66,7% menunjukkan tingkat stres sedang (Mubin & Andriani,
2013).
Menurut teori, seseorang dapat menunjukkan beberapa gejala stres tetapi
tidak dirasakan menganggu keseimbangan antara keadaan fisik, psikologis dan
perilaku. Sedangkan sebagian responden lainnya yang mengalami stres ringan
hingga sedang menunjukkan bahwa keluarga pasien skizofrenia tersebut secara
bertahap terjadi penurunan kemampuan untuk beradaptasi terhadap stresor yang
muncul dalam kehidupannya( Eaton, et al., 2011).
52
dewasa awal (18-40 tahun) adalah 22%. Berbeda dengan karakteristik responden
pada penelitian yang dilakukan Mirza, Raihan, dan Kurniawan, 2015 bahwa
responden yang paling banyak berada pada kelompok usia dewasa awal (38,2%),
sedangkan dewasa madya sebanyak 35,3% dan dewasa lanjut sebanyak
26,5%.Interval tersebut didasarkan pada pembagian usia menurut Hurlock (2001)
yaitu: dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai usia 40 tahun, dewasa
madya dimulai pada usia 41 tahun sampai usia 54 tahun, dewasa lanjut dimulai
pada usia 55 tahun(Hurlock, 2001).
Gambaran tingkat stres berdasarkan usia pada penelitian ini menunjukkan
bahwa secara merata terdapat 1 responden yang memiliki tingkat stres ringan pada
setiap kelompok usia, sedangkan tingkat stres sedang dialami oleh responden
dengan usia rentang 41-54 tahun.
Menurut klasifikasi WHO, usia tersebut termasuk dalam kategori
pertengahan (middle age). Dimana usia tersebut merupakan massa transisi
seseorang dari usia dewasa menuju usia lansia. Pada masa ini banyak terjadi
perubahan dalam bentuk kemampuan dan kondisi fisik serta pekerjaan.
Responden yang mengalami stres ringan sampai sedang pada penelitian ini adalah
perempuan, dengan usia rata-rata dewasa madya. Secara teori, usia peralihan
menuju lansia pada perempuan berkaitan dengan masa menopause dimana akan
terjadi perubahan secara hormonal yang mempengaruhi emosi, seperti suasana
hati cepat berubah, mudah marah dan sedih tanpa sebab yang jelas, dan sulit tidur
pulas (Mubin dan Andriani, 2013).
53
Munculnya stres dapat bervariasi pada masing-masing orang dan
dipengaruhi oleh multifaktor. Faktor-faktor itu diantaranya adalah persepsi,
interpretasi, dan peran seseorang dalam suatu hal/kejadian yang berpotensi
menjadi stresor (Feldman, 2009). Pendidikan pada umumnya berguna dalam
merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan.
Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stressor
dalam diri sendiri (Brown & Bradley, 2002).
54
Pekerjaan tersebut akan menyebabkan adanya perubahan dalam tingkat
ekonomi keluarga pasien. Dan pasien skizofrenia memerlukan perawatan serta
pengobatan yang berkesinambungan sehingga hal tersebut dapat menjadi beban
tanggung jawab tambahan bagi keluarga pasien, tidak hanya tuntutan untuk
mendapatkan tingkat ekonomi yang lebih baik sekaligus tuntutan untuk peran
pengasuhan (Hurlock, 2001) (Fitri, 2013).
Beban kerja yang tidak normal, baik beban yang terlalu tinggi maupun
terlalu rendah akan menjadi penyebab munculnya stres. Beban kerja mental terlalu
tinggi akan menyebabkan pemakaian energi yang berlebihan, sehingga memicu
terjadinya kelelahan, baik kelelahan mental maupun kelelahan fisik yang dapat
menyebabkan terjadinya overstres. Sedangkan intensitas pembebanan yang terlalu
rendah akan menyebabkan rasa jenuh dan menimbulkan kebosanan pada pekerja
yang menyebabkan terjadinya stres (Fitri, 2013).
55
Ketika awal merawat pasien, sebagian besar responden mengungkapkan
adanya peningkatan beban yang mereka tanggung, baik beban psikologis maupun
beban sosial. Penelitian yang dilakukan Magliano (2000), keluarga yang tinggal
bersama ODS (orang dengan skizofrenia) dalam waktu yang lama cenderung
mengadopsi emotion-focused coping. Selama merawat penderita skizofrenia
dalam jangka waktu lama, keluarga akan mengalami kesulitan dalam hal finansial,
menjalankan aktivitas sehari-hari dan terganggunya interaksi antara keluarga
(Magliano, Fadden & Economou, 2000).
Sebaliknya, sebagian keluarga juga mampu berpikir positif dan menerima
situasi yang ada sebagai cobaan dalam hidupnya(Magliano, Fadden & Economou,
2000).Merawat dengan masa rawat lebih lama cenderung mempunyai kemampuan
dan pemahaman yang lebih baik mengenai pekerjaannya dibandingkan dengan
masa rawat lebih pendek. Hal ini dikarenakan pengalaman yang dimilki oleh
pekerja/perawat dengan masa waktu yang lebih lama mempunyai pengalaman
yang lebih banyak terhadap apa yang dilakukannya (Fitri, 2013).
56
bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan (Magliano, Fadden & Economou, 2000)..
Menurut Hassan (2011), distancing dapat menuntun keluarga untuk
menurunkan stres. Ini terjadi karena untuk sementara waktu, keluarga tidak
disibukkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan penderita skizofrenia.Hal ini
secara tidak langsung dapat meregulasi tekanan emosional yang dirasakan
anggota keluarga. Namun, apabila keluarga terus melakukan penghindaran
terhadap masalah ini, maka masalah yang ada tidak akan pernah hilang atau
terselesaikan (Hasan et al., 2011).
Self controlyang dilakukan keluarga untuk meregulasi perasaan maupun
tindakan tidaklah mudah. Keluarga mengalami kejenuhan dalam merawat
penderita skizofrenia di rumah, harus selalu mengontrol semua kegiatan penderita,
harus menghadapi kesulitan dalam menanggung biaya perawatan dan pengobatan
penderita dalam waktu yang lama(Hasan et al., 2011).
Menurut Hassan, et al (2011) keluarga yang cenderung merasa
bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada anggota keluarganya justru akan
meningkatkan stres yang sudah ada sebelumnya. Keluarga cenderung mengakui
peran dirinya sebagai penyebab masalah kejiwaan yang dialami anggota
keluarganya dakan memiliki rasa penyesalan yang harus selalu mereka
tanggung.Selain itu, tidak sedikit keluarga yang tidak ingin mencampuri atau
memperdulikan permasalahannya. Keluarga memilih untuk melakukan kegiatan
lain yang dianggap lebih menyenangkan. Hal ini dilakukan keluarga demi
menenangkan emosinya daripada harus memikirkan masalah yang diakibatkan
oleh penderita skizofrenia di rumah (Hasan et al., 2011).
57
keluarga dengan tingkat stres sedang adalah keluarga yang merawat pasien tidak
rutin berobat (1 orang).
Pengobatan pasien yang rutin tersebut dapat mengurangi gejala positif
maupun gejala negatif yang biasanya menganggu dan menimbulkan konflik
selama masa perawatan. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mayoritas
keluarga pasien memiliki tingkat stres yang normal.
58
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Gambaran tingkat stres keluarga yang merawat pasien skizofrenia
berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden didominasi jenis kelamin
perempuan yang memiliki tingkat stres ringan hingga sedang. Sedangkan sebagian
besar keluarga pasien memiliki tingkat stres yang normal.
Berdasarkan usia, diperoleh responden banyak pada usia dewasa lanjut
yakni mulai usia 55-77 tahun, namun responden yang mengalami tingkat stres
ringan-sedang merata pada semua kelompok usia.
Dari hasil penelitian, tingkat stres pada keluarga pasien skizofrenia
ditemukan sebagian besar pada lulusan SD. Sedangkan berdasarkan karakteristik
pekerjaan, gambaran tingkat stres keseluruhan adalah ibu rumah tangga.
Mayoritas keluarga pasien yang telah merawat selama lebih dari 24 bulan
memiliki tingkat stres yang normal.Namun dari hasil penelitian, keluarga pasien
yang telah merawat selama 12 – 24 bulan dan lebih dari 24 bulan memiliki
gambaran stres yang tidak jauh berbeda. Sedangkan keluarga yang memiliki
tingkat stres sedang adalah yang merawat pasien selama <12 bulan.
Keluarga yang memiliki tingkat stres ringan antara lain merupakan orang
tua, saudara kandung, dan lain-lain. Sedangkan keluarga yang memiliki tingkat
stres sedang merupakan orang tua pasien. Mayoritas responden yang merawat
pasien adalah orang tua pasien 59,26%.
Berdasarkan status pengobatan, sebagian besar keluarga pasien memilki
tingkat stress normal selama merawat pasien yang memiliki status pengobatan
yang rutin. Sedangkan pasien yang tidak rutin, putus obat atau bahkan belum
pernah berobat memilikikeluargadengan tingkat stres ringan-sedang.
59
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Puskesmas Kampung Bugis
Sesuai dengan visi Puskesmas Kampung Bugis yaitu terwujudnya
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kampung Bugis sehat dan mandiri, maka
puskesmas sebaiknya mengadakan beberapa kegiatan seperti:
a. Pembinaan keluarga mengenai cara menghadapi dan merawat pasien
skizofrenia.
b. Pembinaan kader kesehatan jiwa.
c. Berkolaborasi lintas sektoral dan lintas program untuk mengadakan kelas
atau kursus keterampilan agar pasien skizofrenia menjadi produktif dan
mandiri.
d. Memberikan pelayanan dan fasilitas khusus di bidang kerohanian dari
tokoh agama setempat.
e. Mengadakan poli kesehatan jiwa sebagai wadah untuk konseling dan
konsultasi baik pasien maupun keluarga pasien.
60
DAFTAR PUSTAKA
Brown JJ., & Bradley C.S. 2002. The Sensitivity and Specificity of a Simple Test
Distinguish Between Urge and Stress Urinary Incontinence.
Caqueo-Urizar, A., Gutierrez-Maldonado, J., & Miranda-Castillo, C. (2009).
Quality of Life in Caregivers of Patients with Schizophrenia: A Literature
Review.
Cohen, A., Thomas, J.D., Tasha, M.N., Doug, A.S., Beth, S., Nancy, M.D. (1996).
Diminished Emotionality and Social Functioning in Schizophrenia in The
Journal of Nervous and Mental Disease. 193 (12), 796-802.
Eaton, P. M., et all. (2011). Coping Strategy of Family Members of Hospitalized
Psychiatric Patients. Hindawi Publishing Corporation. Available at:
http://www.hindawi.com/journals/nrp/2011/392705/ (diakses tanggal 8
Maret 2016)
Eklund, M., & Backstrom, M. (2005).A Model of Subjective Quality of Life for
Outpatients with Schizophrenia and Other Psychoses.Qual Life Res Journal
of Psychology. 14(4), 1157-1168.
Feldman R.S. (2009). Understanding Psychology. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Fitri, A. M. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Stres Kerja Pada Karyawan. Semarang: FKM UNDIP.
Gerson, R., Davidson, L., Anglin, D., et.al. (2009). Families Experience with
Seeking Treatment for Recent-Onset Psychosis, Psychiatric Services.60
(6).812-816.
Grandon, P., Jenaro, C., & Lemos, S. (2008). Primary Caregivers of
Schizophrenia Outpatients: Burden and Predictor Variables. Psychiatry
Research. 158 (3), 335-343.
Hassan, W.A.N., Mohamed, I.I., Elnaser, A.E.A., & Sayed, N.E. (2011).Burden
and Coping Strategies in Caregivers of Schizophrenic Patient.Journal of
American Science.7 (5): 802-811.
Hawari. (2002).Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.Jakarta:
FK-UI.
61
Henry, J.D., & Crawford, J.R. (2005). The Version of The Depression Anxiety
Stres Scales (DASS-42): Construct Validity and Normative Data in a Large
Non-Clinical Sample. British Journal of Clinical Psychology. 44, 227-239.
Hurlock, E. B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (Edisi 5). Jakarta: Erlangga.
Jiloha R.C. &Bhatia M.S. (2010).Psychiatry for General Practitioners. New
Delhi: New Age International (P) Ltd., Publisher.
Kaplan K.I & Sadock, B.J. (2010).Sinopsis Psikiatri Edisi 7, Jilid ke-2, Alih
BahasaWidya Kusuma. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Kemenkes RI. (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III, Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I
Direktorat Jendral Pelayanan Medik.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil Kesehatan Indonesia
2008. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Depkes RI.
Maramis, W.F. (2004). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Ketujuh.
Surabaya:Airlangga Universitas Press.
Maslim R. (2007). Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi
Ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya.
Magliano, L., Fadden, G., & Economou. (2000). Family burden and coping
strategies in schizophrenia: 1-year follow-up data from the BIOMED I
study. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology.35: 109-115.
Mirza, Raihan, & Kurniawan H. 2015. Hubungan Lamanya Perawatan Pasien
Skizofrenia dengan Stres Keluarga. Yogyakarta : Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala.
Mubin M.F., & Andriani T. 2013. Gambaran Tingkat Stres pada Keluarga yang
Memiliki Penderita Gangguan Jiwa di RSUD DR. H. Soewondo Kendal.
Jawa Tengah : PPNI.
Notosoedirdjo, M. & Latipun. (2005).Kesehatan Mental: Konsep dan
PenerapanEdisi 4. Malang: UMM Press.
62
Santrock, J. (1999). Psychology The Sciences of Mind and Behaviour. University
ofdallas: Brown Publiser.
Shah, A.J., Wadoo, O., & Latoo, J. (2010).Psychological Distres in Carers of
People with Mental Disorders.In British Journal of Medical Practitioners. 3
(3), 327-334.
Stanley, S., & Shwetha, S. (2006).Integrated Psychosocial Intervention in
Schizophrenia: Implications for Patients and Caregivers.International
Journal of Psychosocial Rehabilitation. 10 (2), 113-128.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Utama H. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Williams R, et.al.(2014). Risperidone Long-Acting Injection in the Treatment of
Schizophrenia: 24-Month Results From Electronic Schizophrenia Treatment
Adherence Registry in Canada. Neurophyschiatric Disease and Treatment.
10, 417-425.
Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika Aditama.
63
LAMPIRAN
Lembar Persetujuan
(INFORMED CONSENT)
Umur :
Pekerjaan :
Setelah mendapat penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian, maka saya :
Bersedia / TidakBersedia*)
Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa adanya sanksi
atau paksaan.
Adapun catatan mengenai data responden akan dirahasiakan dan peneliti akan
demikian, secara sukarela dan tidak ada unsure paksaan dari siapapun, saya bersedia
Yang menyatakan,
______________
Keterangan :
64
Kuisioner DASS 42
KUESIONER
TES DASS 42
- Nama : ...............................................................
- Usia : ...............................................................
- Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan
- Tanggal : ...............................................................
- Agama : ...............................................................
- Pendidikan : ...............................................................
- Pekerjaan : ...............................................................
- Lama Merawat : ...............................................................
Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini terdiri dari berbagai pernyataan yang mungkin sesuai dengan
pengalaman Saudara/i dalam menghadapi situasi hidup sehari-hari. Terdapat empat
pilihan jawaban yang disediakan untuk setiap pernyataan yaitu:
0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah.
2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan, atau lumayan sering.
No 1.1. PERNYATAAN 0 1 2 3
1 Saya merasa bahwa diri saya menjadi marah karena hal-hal sepele.
2 Saya merasa bibir saya sering kering.
3 Saya sama sekali tidak dapat merasakan perasaan positif.
Saya mengalami kesulitan bernafas (misalnya: seringkali terengah-
4 engah atau tidak dapat bernafas padahal tidak melakukan aktivitas
fisik sebelumnya).
65
5 Saya sepertinya tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan.
6 Saya cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi.
7 Saya merasa goyah (misalnya, kaki terasa mau ’copot’).
8 Saya merasa sulit untuk bersantai.
Saya menemukan diri saya berada dalam situasi yang membuat saya
9 merasa sangat cemas dan saya akan merasa sangat lega jika semua
ini berakhir.
10 Saya merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan di masa depan.
11 Saya menemukan diri saya mudah merasa kesal.
Saya merasa telah menghabiskan banyak energi untuk merasa
12
cemas.
13 Saya merasa sedih dan tertekan.
Saya menemukan diri saya menjadi tidak sabar ketika mengalami
14
penundaan (misalnya: kemacetan lalu lintas, menunggu sesuatu).
15 Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
No 1.2. PERNYATAAN 0 1 2 3
66
31 Saya tidak merasa antusias dalam hal apapun.
Saya sulit untuk sabar dalam menghadapi gangguan terhadap hal
32
yang sedang saya lakukan.
33 Saya sedang merasa gelisah.
34 Saya merasa bahwa saya tidak berharga.
Saya tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi saya
35
untuk menyelesaikan hal yang sedang saya lakukan.
36 Saya merasa sangat ketakutan.
37 Saya melihat tidak ada harapan untuk masa depan.
38 Saya merasa bahwa hidup tidak berarti.
39 Saya menemukan diri saya mudah gelisah.
Saya merasa khawatir dengan situasi dimana saya mungkin menjadi
40
panik dan mempermalukan diri sendiri.
41 Saya merasa gemetar (misalnya: pada tangan).
Saya merasa sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam melakukan
42
sesuatu.
TOTAL
Harap diperiksa kembali, jangan sampai ada yang terlewatkan. Terima kasih.
67
52