Anda di halaman 1dari 21

Pesawat RI 1

Minggu, 15 Desember 2013 | 00:57 WIB

Putu Setia
Tak lama lagi, Maret tahun depan, pesawat kepresidenan yang supermewah datang. Jenisnya Boeing Business Jet 2 Green atau lebih keren disebut Boeing 737-800 BBJ-2. Kalau tak juga paham, ya, tak usah bertanya. Saya juga tak paham. Pesawat ini bukan buatan Bandung. Bayangkan saja yang gampang. Pesawat ini punya kamar tidur besar, ada ruang tamu, ada ruang istirahat, ada kamar mandi dengan pancuran. Itu khusus untuk presiden dan keluarganya. Di belakangnya ada kursikursi penumpang yang bisa diselonjorkan jadi tempat tidur. Lalu ruang rapat, ruang olahraga, dan beberapa toilet. Tak disebutkan apakah di ruang istirahat ada sarana karaoke, maklum presiden kita gemar menyanyi. Harga pesawat ini US$ 91,2 juta atau sekitar Rp 820 miliar. Lebih murah daripada membangun pusat olahraga Bukit Hambalang yang telantar itu. Bahwa masih banyak rakyat yang miskin, murid-murid belajar di bangunan yang hampir roboh, dan korban berjatuhan di persimpangan kereta api, itu urusan gubernur. Pesawat ini urusan presiden. Siapa yang akan memakai? Kalau yang membeli, saya tahu: Presiden Yudhoyono. Setidaknya, di masa beliau pesawat dibeli, dibayar, dan datang-kalau sesuai dengan rencana. Inilah jasa besar Pak SBY setelah dua periode memimpin bangsa ini menyiapkan motor mabur yang layak untuk penggantinya. Yang jelas, sepertinya SBY tak akan menikmati pesawat ini. Pesawat datang bulan Maret saat kampanye yang riuh. Bulan April pemilu legislatif. Setelah itu, pemilu presiden. SBY sebagai ketua umum partai tentu sibuk kampanye dan pastilah malu menggunakan fasilitas negara. Untuk pergi ke luar negeri supaya bisa menikmati pesawat ini, rasanya mengada-ada di tengah keributan-setidaknya situasi politik panas-di antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kalau pesawat itu hanya dibawa terbang ke Bali-dibuat seminar dadakan agar bisa mengundang Presiden-sepertinya mubazir. Belum sempat SBY tiduran, eh, sudah mendarat. Kapan menikmati pancuran? Pengganti SBY, kalau melihat calon presiden yang sudah dideklarasikan, tak ada masalah dengan pesawat ini. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan kemewahan. Yang jadi masalah, kalau Joko Widodo, yang saat ini Gubernur DKI Jakarta, yang terpilih menggantikan SBY-itu kalau PDI Perjuangan mau mencalonkanapakah Jokowi nyaman di pesawat yang ternyaman ini? Presiden Jokowi pasti tetap blusukan di negeri yang luas ini. Ia pasti akan melihat sungai-sungai tanpa jembatan di Banten, ia akan pergi ke petani sawit yang tanahnya tergusur tambang batu bara di Kalimantan dan Sulawesi, ia akan melihat bagaimana alam Papua terkuras sementara daerah itu tak pernah dibangun dengan baik. Saya menduga Presiden Jokowi akan lebih banyak blusukan ke Nusantara, untuk melihat apa yang dirasakan rakyatnya, dibanding berpidato ke mancanegara. Pertanyaannya tentu: apakah Jokowi akan memakai pesawat supermewah itu? Bagaimana pesawat itu mendarat di bandara kecil? Kapan Jokowi akan tidur nyenyak dalam pesawat kalau penerbangan paling lama tiga jam? Lalu, kapan olahraga dalam pesawat untuk mencari keringat agar bisa mandi di pancuran? Yang paling bingung, saya membayangkan

apakah baju Jokowi yang seharga Rp 70 ribu dan dibeli di Pasar Klewer itu tidak terbanting oleh kemewahan pesawat? Andai Boeing 737-800 BBJ-2 belum jadi, saya setuju pesawat ini ditunda sampai rakyat miskin berkurang dan anak-anak belajar di gedung yang kokoh. Syukur kalau tak jadi dibeli. Ini membuat nyaman presiden mendatang, juga enak untuk Pak SBY yang capek membeli pesawat tapi tak sempat menggunakan.

Gila
Minggu, 12 Januari 2014 | 00:55 WIB Putu Setia @mpujayaprema Pemilihan umum makin dekat dan orang-orang pada sibuk. Ada yang sibuk membuat baliho sembari mencari pohon di pinggir jalan yang belum digelayuti peraga kampanye. Ada yang sibuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan target pemilu legislatif dan pemilu presiden disatukan. Ada yang sibuk nge-tweet, menjelek-jelekkan calon tertentu, dan mempromosikan calon yang dijagokannya. Para menteri pun sibuk, terutama yang dari partai politik atau yang ikut konvensi calon presiden. Urusan elpiji, pengungsi Sinabung, tanah longsor, diabaikan. Kepala Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, juga sibuk. Rumah sakit ini sedang menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk mengantisipasi pasien gila setelah pemilu. Menurut Direktur Utama RSJ Menur dr Adi Wirachjanto, pengalaman Pemilu 2004 dan 2009 cukup memberi bukti, banyak orang gila setelah pencoblosan selesai. "Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan hal itu,'' katanya. Siapa yang akan gila? Para caleg yang gagal menjadi anggota Dewan. Astaga, kenapa hal itu bisa terjadi? Karena mereka mempertaruhkan uang yang tidak sedikit, dan uang itu diperoleh dengan berbagai cara. Dari cara yang halal (menjual perhiasan istri dan menjual warisan) sampai cara berutang. Bahkan, di Kalimantan Timur, ada caleg yang tertangkap karena merampok untuk mencari biaya kampanye. Para caleg ini sebenarnya sudah "gila" sebelum pemilu dimulai. Dalam otak mereka, uang yang dihamburkan sekarang ini akan kembali dalam satu tahun masa jabatannya sebagai anggota Dewan. Masa jabatan empat tahun setelahnya, sudah berarti keuntungan. Mereka tahu gajinya "belum kembali modal", tapi fasilitas sana-sini plus saweran sudah dihitungnya dengan cermat: amat banyak. Menjadi anggota Dewan di provinsi atau kabupaten, hanya dengan memainkan dana bantuan sosial saja, sudah jadi kaya. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) punya data. Pada Pemilu 2009, ada 7.376 caleg gagal yang gila. Data diambil dari Kementerian Kesehatan. "Gila karena gagal. Bahkan ada yang sampai bunuh diri," ujar Wakil Sekjen KIPP Jojo Rohi. Jadi, layak kalau rumah sakit jiwa di berbagai kota lain juga dikabarkan ikut mengantisipasi pasien gila pasca-pemilu. Persaingan caleg makin ketat, uang yang harus disediakan makin banyak. Ditambah lagi bermunculan "tim sukses dadakan" yang mengompori caleg agar aktif berkampanye, memasang baliho dan mencetak baju kaus sebanyak-banyaknya. Di kampung saya, banyak anak muda yang jadi "tim sukses dadakan" hanya supaya bisa menjual bambu untuk memasang baliho.

Para caleg juga saling serang. Anwar Fuadi, aktor sinetron yang "mendadak nyaleg", mengecam caleg yang hanya berpendidikan SMA dan miskin. Argumentasinya, sudah pendidikan rendah, miskin pula, bagaimana bisa menambah wawasan, bukankah nanti anggota Dewan menyeleksi pejabat-pejabat yang bergelar doktor? Fuadi dikecam, bahkan di Banten muncul "ikatan caleg miskin" yang meminta Anwar Fuadi meminta maaf. Saling jegal seperti ini marak di daerah-daerah. Betul-betul gila. Partai politik bukan hanya tak berhasil mencerdaskan masyarakat, mencari kader yang "normal" saja sulit. Hasil pemilu nanti sudah bisa ditebak. Para anggota Dewan terpilih adalah mereka yang "gila" (dalam tanda petik, yang bisa berarti gila kekuasaan, tak tahu apa yang dikerjakan, dan sebagainya), sementara yang gagal betul-betul gila dan menghuni rumah sakit jiwa. Seharusnya ada lembaga independen yang memantau para caleg "normal" dan mengumumkan ke masyarakat, hanya mereka yang layak dipilih.

Petasan
Sabtu, 04 Januari 2014 | 23:27 WIB Toriq Hadad
@thhadad

Selamat tahun baru. Konon tahun yang kita masuki ini adalah Tahun Kuda Kayu. Orang-orang yang ber-shio kuda, menurut budaya Tionghoa, biasanya tangkas, berpikiran bebas, independen, dan pintar mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Aktor laga Jackie Chan, investor dan spekulator George Soros, serta mantan wapres Jusuf Kalla, termasuk yang ber-shio kuda. Percaya atau tidak, tak jadi masalah. Tak perlu pula dipersoalkan cara kita menandai malam pergantian tahun ini. Mau berzikir semalam suntuk, itu baik dan terpuji. Berdoa memuliakan Tuhan bisa dilakukan kapan saja, termasuk di malam pergantian tahun. Mau nonton musik, berjoget sampai pagi, itu juga hak asasi. Hasrat orang mengejar bahagia, tanpa mengganggu yang lain dan tanpa melawan hukum, sama sekali tak boleh dihalangi. Saya memilih bersarung di rumah malam itu. Badan meluang, tulang-tulang rasanya copot-meniru lagu Benyamin S. di tahun 70-an. Tapi niat tidur lebih cepat malam itu berantakan. Gara-gara menonton televisi, kantuk saya lenyap mendengar laporan penggerebekan "teroris" di Graha Ciputat. Tempat itu letaknya bertetangga dengan kecamatan tempat saya tinggal. Tapi bukan itu yang mengganggu saya. Setiap kali polisi menyerbu mereka yang disebut "teroris" itu, saya selalu miris. Bukan tak percaya cerita penyerbuan versi polisi. Tapi wartawan seharusnya selalu melakukan check dan re-check. Keterangan dari satu pihak wajib di-cross check dengan pihak lain agar lebih mendekati kebenaran. Susahnya, dalam hal "teroris", hampir semua keterangan datang hanya dari satu pihak, yaitu polisi. Saya tak meragukan kesungguhan polisi bekerja. Polisi juga mempertaruhkan nyawa menghadapi kelompok "teroris" itu. Tapi wartawan biasanya tak mewawancarai korban hidup atau keluarga mereka yang diburu itu. Keterangan satu pihak itu menyebabkan berita tak seimbang. Bahasa jurnalistiknya, tidak cover both sides. Maka, selama wartawan belum bisa meliput kedua sisi, saya memilih menuliskan dalam tanda petik: "teroris". Di layar kaca, pada malam tahun baru itu, setiap kali wartawan televisi melaporkan terdengar suara tembakan, saya tak bisa membedakan suara itu dengan bunyi petasan meledak. Maklum saja, malam itu suara senapan menyalak seperti senyap ditelan ledakan ribuan petasan. "Pesta" petasan tahun ini terasa lebih hebat daripada tahun-tahun sebelumnya. Di kampung saya saja, sejak dua jam menjelang tengah malam, petasan aneka rupa sudah bersahut-sahutan di angkasa. Harga satu petasan yang bisa menaburkan bintang di udara berkisar seratus sampai dua ratus ribu. Mungkin di seluruh Kecamatan Pamulang saja sudah lebih dari seratus juta rupiah dibakar pada malam tahun baru itu. Berapa banyak uang

dihanguskan semalaman itu di Tangerang Selatan, di seluruh Banten, di Jakarta, di seluruh provinsi Indonesia? Bisa-bisa jumlahnya puluhan atau ratusan miliar rupiah. Rupanya, sulit menghapus tradisi bakar petasan yang sudah begitu mengakar ini. Pemerintah VOC Belanda, menurut majalah Historia, pada 1650 pernah melarang karena hampir sama suaranya dengan senapan "pemberontak". Presiden Soeharto pada 1971 juga hanya mengizinkan petasan "cabe rawit". Larangan terbit setelah Gubernur Jakarta Ali Sadikin menyulut berton-ton petasan menandai pergantian tahun itu. Sial, korban berjatuhan malam itu, beberapa sampai tewas. Toh, dengan berjalannya waktu, larangan itu luntur. Sampai sekarang, kalau ada sunatan atau perkawinan, si empunya hajat akan membakar petasan. Semakin kaya yang punya gawe, semakin panjang mercon yang dibakar. Dulu, di Tiongkok, petasan menandai awal pertunjukan ketangkasan silat. Sekarang, di sini, petasan dibakar demi gengsi sang sahibul hajat. Mungkin juga sebagai tanda bersyukur lantaran mampu menggelar hajatan. Tapi di akhir malam 2013, dengan ekonomi yang jauh merosot dari tahun sebelumnya, tak ada yang perlu kita syukuri dengan membakar mercon. Barangkali meledakkan petasan lebih cocok dianggap cara buang sial atas apa yang terjadi pada 2013. Setelah sial dibakar habis dengan ongkos selangit, semoga tak ada lagi menteri, gubernur, orang-orang terhormat, yang masuk bui akibat korupsi di tahun baru ini.

Tokoh 2013
Sabtu, 28 Desember 2013 | 23:46 WIB

Putu Setia
Mumpung liburan, saya berkesempatan ngobrol santai bersama Romo Imam. Topik yang ingin saya mintai komentarnya adalah siapa tokoh yang layak ditulis tahun 2013. "Ya, siapa lagi kalau bukan Susilo Bambang Yudhoyono, orang pertama di negeri ini," kata Romo Imam. Saya terkesiap. Padahal sebelumnya sudah saya jelaskan, tokoh yang mau saya tulis harus kontroversial, bukan pejabat yang lurus-lurus saja seperti presiden, wakil presiden, menteri, dan sebagainya. "Lo, SBY sebagai presiden juga kontroversial," jawab Romo. "Beliau kan sudah menerbitkan perpu untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, lalu perpu itu lolos di DPR sebagai undang-undang. Tapi, ketika keppres yang mengangkat hakim MK Patrialis Akbar dibatalkan pengadilan tata usaha negara, kenapa SBY mau banding. Mestinya diterima sembari mengucap syukur alhamdulillah, karena sekalian mengangkat hakim-hakim MK yang baru. Patrialis Akbar sudah tak layak jadi hakim MK, karena syaratnya harus tujuh tahun meninggalkan partai. Patrialis masih bau partai, buktinya partainya juga mengusulkan presiden banding." "Tak berminat?" tanya Romo. "Bukan tak berminat," jawab saya cepat. "Saya takut menulis, kalau salah nanti saya disomasi pengacara SBY. Sudah dua orang kena somasi, saya tak mau jadi orang ketiga. Tokoh lain saja Romo." Romo mengambil sirih-kami memang bukan perokok. "Kalau Ketua Umum Demokrat tidak, bagaimana kalau Ketua Umum Golkar, Pak Ical alias ARB? Pasti tak berminat juga. Romo tahu ada ungkapan di sekitar ARB yang perlu diluruskan. ARB itu katanya ibarat cinta, semakin dipaksakan semakin tidak diterima." Romo tertawa, lalu mengulum sirih. Saya ikut tertawa, tanpa komentar. Romo melanjutkan: "Yusril Ihza Mahendra bagus ditulis, Majelis Syuro Partai Bulan Bintang. Dia tokoh paling berani menggugat pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dia betul, tak ada di konstitusi yang menyebut syarat pengajuan presiden dan wakil presiden harus memperoleh suara tertentu. Yang berhak mengajukan pasangan calon presidenwakil presiden adalah partai atau pasangan partai peserta pemilu. Dan Yusril merasa sendirian karena tokoh lain terganggu oleh ulahnya ini, meskipun diam-diam semua setuju untuk masa depan negeri." Saya pura-pura berpikir. "Menulis Yusril juga sulit, meski saya setuju dengan ulah dia. Bahkan banyak pemikiran Yusril yang saya sepakati dalam menata negara ini. Tapi nama partainya ada bulan ada bintang, benda-benda di langit. Eksklusif. Saya maunya simbol yang ada di bumi, yang akrab dilihat orang desa." "Ya, banteng moncong putih," Romo kembali tertawa. "Tulis Ibu Mega, kalau berani. Dugaan Romo, dia tak akan men-capres-kan Jokowi sebelum pemilu. Setelah pemilu, dia berhitung, kalau suara PDIP di atas 20 persen, dia akan maju dan Jokowi dijadikan cawapres. Kalau kurang-kurang sedikit dan PDIP harus berkoalisi, dia lihat lawannya. Kalau cuma yang itu-itu saja, Mega akan berani tampil dan menggandeng cawapres dari partai 'penggenap suara'. Jokowi jadi tim sukses andalan. Kalau suara PDIP kurang banyak, ya, apa mau dikata. Jokowi jadi cawapres mendampingi capres dari Gerindra sesuai dengan kesepakatan Batutulis. Ada pendapat?"

Saya tahu Romo menantang. "Saya tak punya pendapat, kecuali kasihan pada Jokowi." Romo menyahut: "Kalau begitu, tulis Jokowi saja, tokoh ini unik. Semakin hari semakin kelihatan ada ambisi di saat pernyataan tanpa ambisi. Ia pura-pura tak mikir, entah jika itu strategi. Atau menulis tokoh lain lagi?" "Tidak, Romo," cepat saya jawab. "Kolomnya sudah habis, ini saya lagi menulis."

Ibu
Sabtu, 21 Desember 2013 | 23:52 WIB Putu Setia Saya persembahkan tulisan ini dengan setulusnya kepada para ibu, dan perempuan-perempuan yang akan menjadi ibu. Begitu mulianya seorang ibu, bahkan ajaran agama menempatkan kaum ibu sebagai manusia yang terhormat. Jika kita ingin tahu di mana letak surga, maka kita harus sungkem kepada ibu. Dengan posisi sungkem itu, kita pun bisa melihat telapak kaki ibu. Nah, di sanalah surga. Surga tidak terletak di tubuh para lelaki. Surga dibawa ibu, tetapi tidak diletakkannya di dalam tas, meski mereknya Hermes. Tak pula di gelang berlian atau arloji yang harganya ratusan juta rupiah. Karena ibu membawa surga, ia harus membagi perhatiannya kepada suami, kepada anak dan cucu. Jika ada anak-anaknya yang setiap hari bersekolah melewati jembatan gantung yang bergoyang, ibu harus membangun jembatan yang kokoh, bukan mempersolek wajahnya. Ibu harus mengontrol perilaku suaminya agar bekerja dengan jujur, bukan malah mendorong suaminya untuk korupsi. Sang ibu harus sadar kehormatan keluarga begitu penting. Korupsi, pelan atau cepat, pasti berujung pada aib yang ditanggung seluruh keluarga. Apalagi jika sang ibu yang jadi pejabat dan melakukan korupsi, maka aibnya berkali lipat. Orang bersorak ketika ibu itu diangkut dengan mobil tahanan. Jika ibu hanya mengurusi rumah tangga, campur tangan ibu dalam pekerjaan sang suami, seharusnya juga melekat. Kenapa harus dibantah jika Ibu Negara ikut campur urusan kabinet yang jadi pekerjaan presiden? Tentu campur tangan itu tidak diobral di ruang kantor, karena tugas sudah dibagi-bagi. Campur tangan menjelang tidur malam, Ibu Negara berbisik kepada Presiden tentang kabinet dan urusan negeri, bukankah itu wajar? Saya sendiri menjelang tidur pernah dibisiki oleh ibunya anak-anak: "Sudah mulai tua, menulis yang bijak, jangan menghujat seperti dulu." Kalau misalnya Ibu Negara berbisik: "Mas, menteri itu sepertinya tak berpihak ke rakyat. Izin mal diobral, pasar rakyat tak dibangun. Menteri itu mengajarkan permusuhan, orang sembahyang saja dipersulit. Menteri itu kok suka benar impor hasil pertanian, memangnya kita tak punya tanah." Dan bisikan selebihnya. Bukankah itu pertanda ada perhatian? Tergantung kemudian sang presiden memilah, apakah itu bisikan malaikat atau bisikan setan. Jadi, tak ada gunanya membantah bertubi-tubi kalau ada tuduhan Ibu Negara ikut campur urusan presiden, karena bantahan itu justru terkesan menutupi sesuatu. Suami yang sukses karena ada istri perkasa di sampingnya, itu kata orang. Presiden yang sukses tentu karena ada Ibu Negara yang perkasa juga. Namun ada sukses yang negatif. Jika suami sukses melakukan korupsi, bisa jadi itu berkat istri yang perkasa, selalu merongrong suami dengan permintaan yang konsumtif. Lalu, ketika suami ditahan karena tertangkap tangan menerima suap, sang istri hanya bisa menangis sambil menutupi wajahnya dengan kerudung. Supaya tak menyesal berkepanjangan, jadilah istri yang mendorong suami untuk bersyukur dan

menasihati suami kalau ada tanda-tanda melakukan perbuatan tak baik. Kalau suami membeli mobil dan rumah, tanya dari mana uangnya. Bukan minta jatah mobil lain. Istri yang mengantar keluarganya hidup di jalan penuh berkah, itulah ibu yang sejati. Ibu dengan predikat mulia. Bumi ini disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertiwi, karena ia menjadi sumber kehidupan. Sungguh laknat orang yang memperkosa Ibu Pertiwi, selaknat orang yang memperkosa perempuan sebagai calon ibu. Kita berutang karena lahir dari rahim ibu. Mari sungkem kepada ibu di hari Minggu ini. Kepada ibu yang mulia: Selamat Hari Ibu.

Monumen
Senin, 16 Desember 2013 - untuk Hanung Bramantyo Tokoh sejarah rata-rata mati dua kali. Pertama kali ia dimakamkan. Kedua kali ketika ia dibangun sebagai monumen. Mandela akan mengalami itu, seperti halnya Sukarno. Sebuah monumen berniat mengekalkan, tapi akhirnya membekukan. Sang tokoh akan dianggap telah selesai, tinggal dipuja. Di tahun 1924 di Rusia, negeri yang menegakkan monumen di hampir tiap kota, satu acara resmi dibuka untuk merayakan hari kelahiran Penyair Pushkin, pencipta puisi novel Eugene Onegin yang termashur itu. Untuk acara itu Mayakovski menulis sebuah sajak. Pada suatu malam, demikian penyair itu bercerita, ia copot patung Pushkin dari pedestalnya di Trevsrakay bulvar, Moskow. Ia ajak sang penyair abad ke-19 itu berjalan-jalan, bertukar-pikiran. Bagi Mayakovski, tiap monumen, juga yang dibangun untuk dirinya, harus diledakkan dengan dinamit. "Begitu benci aku kepada tiap benda mati/Begitu gandrung aku kepada tiap bentuk hidup!" Tapi ia sendiri mati dua kali. Pertengahan April 1930, penyair berumur 37 itu menembak dirinya sendiri. Ditinggalkannya satu catatan: "Jangan salahkan siapapun karena kematianku, dan mohon jangan bergosip. Orang yang sudah mati sangat tak menyukai itu..." Gosip tak bisa dicegah - juga pertanyaan kenapa Mayakovski bunuh diri. Lunacharski, tokoh kebudayaan Revolusi Oktober, seorang penelaah puisi yang jernih pandangnya, berbicara tentang dualisme dalam diri dan puisi Mayakovski: yang satu keras bagaikan logam dan yang lain lembut. Mungkin akhirnya dualisme itu tak dapat diatasinya lagi. Mungkin ada cinta yang gagal. Mungkin Mayakovski -- penyair revolusioner ketika revolusi Rusia sedang mengkosolidasikan kekuatannya -- mulai melihat ada yang membeku dalam dirinya -- juga dalam tahap revolusi itu. Kita tak akan pernah tahu. Mayakovski sudah jadi seorang pemuda komunis yang ditahan polisi Tsar pada umur 15. Dengan antusias ia sebut Revolusi Oktober 1917 sebagai "revolusiku". Ia melihat awal masa depan yang serba baru. Lima tahun sebelumnya, dalam usia 19 tahun, bersama sejumlah seniman lain ia mengeluarkan "Manifesto Futuris". Judulnya menantang, "Tamparan ke Selera Masyarakat". Di sana dinyatakan bahwa pernyatan itu adalah suara "semangat zaman". Di sana juga diserukan agar para sastrawan lama dibuang jauh-jauh. "Lemparkan Pushkin, Tolstoi, Dostoyevski, dll., ke luar dari Kapal Modernitas!". Mungkin itu cara anak muda cari perhatian: menantang raksasa. Mayakosvki sendiri memulai penampilannya ke dunia kesenian dengan muka dicat dan jas panjang warna limun. Tapi di luar itu, ia memang berbakat istimewa. Bila ia memakai begitu banyak tanda seru dalam puisinya, bila ia selalu mendamik dada (seperti "aku" Chairil Anwar), ia tak sekedar berteriak minta dilihat.

"Itu dia sukmaku/serpih-serpih mega yang tercabik/di langit yang terbakar/di atas salib berkarat/ di menara lonceng/". Puisi panjangnya di tahun 1915, "Awan dalam Celana", segera mendapat sambutan. Dengan cepat ia dapat posisi terkemuka. Ia duta puisi Sovet untuk dunia. Boris Pasternak, yang kelak akan menerima Hadiah Nobel untuk novelnya, Dr. Zhivago, punya tilikan yang tajam atas Mayakovski yang dikenalnya di tahun-tahun itu. Penyair asal Georgia itu, tulis Pasternak, "seorang muda rupawan", dengan "suara seorang penyanyi mazmur dan tinju seorang pegulat". Puisinya adalah puisi yang diraut dengan baik oleh seorang seniman, nadanya arogan, "diabolik", liar gelap seperti suara setan, dan pada saat yang sama nasibnya "telah terpateri, tersesat selamanya, seakan-akan menjerit meminta tolong." Pasternak benar: puisi itu tanpa disadari penyairnya tersesat dalam sebuah zaman politik yang tak mau memahami keliaran dan kompleksitas kata. Zaman Stalin. Desember 1935, datang kematian Mayakovski yang kedua: ketika ia oleh Stalin dinobatkan sebagai "penyair terbaik dan paling berbakat di masa Soviet". Orang ragu benarkah Stalin menyukai puisinya. Sebab di antara penobatan itu Stalin merumuskan doktrin "Realisme Sosialis". Sejak itu, dengan kendali Partai, ekspresi artistik ditertibkan. Karya ala Mayakovski, yang sibuk dengan "aku", yang arogan, liar dan gelap, akan dianggap "kontrarevolusi". Salah satu suara "kontrarevolusi" itu teman kerja Mayakosvki: Meyerhold. Ia sutradara teater eksperimental yang karya-karynya mengungkapkan masa yang resah untuk pembaharuan itu. Juni 1939, ia ditangkap. Ia dituduh jadi mata-mata Jepang dan Inggris. -- dan ditembak mati. Di antara penangkapan dan kematian seperti itu, Uni Sovet bergema dengan titah Stalin: Mayakovski harus dikenang. Tak menghormatinya adalah "sebuah kejahatan". Maka orang pun berduyun-duyun membaca sajak-sajaknya di sekolah, di tempat pertemuan, di semua kesempatan resmi. Di saat itulah Pasternak, yang menolak untuk diberi sanjungan resmi apapun, menulis: Mayakovskiditumbuhkan dengan paksa "seperti kentang di zaman Katerina Agung" -- dan itu adalah "kematiannya yang kedua." Pada kematian kedua itu, sebuah patung didirikan di Triumfalnaya Ploshchad di Moskow. Mayakovski jadi monumen. Untunglah cerita tak berhenti. Sebuah monumen tak perlu diledakkan; ia bisa direbut. Sejak Stalin mangkat, dan kebekuan kreatif mencair, para penyair dan anak-anak muda menggunakan taman di sekitar patung itu untuk membaca sajak -- seakan-akan mereka bercengkerma kembali dengan Mayakovski, karena ini Mayakovski mereka, bukan Mayakovski di atas pedestal yang ditegakkan seperti berhala. Goenawan Mohamad

Berkabung
Senin, 23 Desember 2013 Membaca sejarah, menyusun sejarah, adalah berkabung. Kita menyadari ada kematian. Kita menemui yang tak bisa lagi dihidupkan. Kita takziah ke dunia tokoh-tokoh yang tak ada lagi dan peristiwa yang tak bisa diulangi. Kita mencoba menghadirkannya kembali tapi pada saat itu juga kita tahu, selalu ada yang luput. Bukan karena amnesia. Sebuah riwayat, lihat film Soekarno, Lincoln, atau October: Ten Days That Shook the World hadir di sebuah layar putih. Dengan kata lain, ia disusun dalam seraut bentuk. Bangunan naratif itu menghendaki awal dan akhir. Apa gerangan yang terjadi sebelum awal dan sesudah akhir itu? Sang penyusun cerita terpaksa menghilangkannya. Bentuk adalah reduksi yang meringkus dan meringkas data yang bertaburan, susup-menyusup, berubah terus, centang-perenang. Bentuk itu, kisah sejarah itu, terbangun oleh kenangan, bukan oleh ingatan. Saya membedakan ingatan dari kenangan. Yang pertama rekaman pengalaman yang kita bayangkan tersimpan di sebuah ruang imajiner dengan label "masa lalu". Ingatan mudah ditata. Kenangan sebaliknya: ia tak tertata dalam ruang terpisah. Ia mengalir memasuki masa kini, bagian dari masa kini, mengubah secara kualitatif masa kini. Kenangan membikin masa lalu manunggal dengan semua masa. Waktu bukan ruang yang terkotak-kotak. Tapi para penyusun kitab sejarah membuat arsitektur: cerita mereka terdiri atas bab demi bab, sebagaimana sebuah film terdiri atas adegan demi adegan. Keruwetan ditiadakan, bahkan dalam karya historiografis yang biasanya tak dianggap "modern". Seperti Syair Singapura Dimakan Api yang ditulis Abdullah bin Abdulkadir Munsyi di abad ke-19: cerita sejarah ini disampaikan dalam bentuk puisi, tapi bukan puisi yang ekspresif yang menyeruak acak-acakan dari jiwa yang terkena trauma. Syair itu dengan runut bercerita. Dengan bentuk serunut itu, menulis sejarah adalah sebuah perkabungan resmi. Sering kali kita memerlukannya. Kita telah bersua dengan waktu dan kematian. Kita seakan-akan menyaksikan Kronos, dewa waktu dalam mithologi Yunani yang seperti digambarkan dalam sebuah lukisan Goya mengerkah anaknya yang hidup. Dan kita gentar. Syahdan, di hadapan kita ada dua jalan. Pertama, jalan yang ditempuh Hegel. Filosof Jerman ini menampik Kronos. Ia mengukuhkan Zeus, "dewa politik" Zeus yang mengendalikan arus waktu, Zeus yang menegakkan stabilitas, Zeus (penguasa di Olimpus) yang membentuk struktur dan menegaskan hukum-hukum yang abadi di atas bumi. Jalan yang kedua: kita mengakui kematian, namun menolak Kronos dan sekaligus Zeus. Kita membangun sebuah narasi yang dekat dengan arus kehidupan yang tak abadi tapi berarti. Kita ingin merasakan geraknya, menyentuh dinginnya, menyimak pelbagai partikel yang membuat warna dan aromanya. Dengan hasrat itu kita bawa tokoh dan peristiwa yang sudah lewat ke tengah masa kini, dan novel, lakon, dan film sejarah pun diproduksi.

Dalam karya-karya itu, alur bergerak dalam "hari yang seakan-akan sekarang". Para pembaca Bumi Manusia dibawa ke masa kini Nyai Ontosoroh. Dalam bentuk lakon, seperti Sandyakalaning Majapahit Sanusi Pane, "hari yang seakan-akan sekarang" bahkan datang lebih langsung. Di pentas, sebagaimana di layar putih, para tokoh sejarah hadir di masa kini. Para sejarawan akan menegaskan, itu bukan bagian historiografi. Tapi barangkali bisa didalihkan, sebuah novel (atau sebuah lakon, juga sebuah film) tetap penting karena ia menampik Hegel. Dari puncak menara filsafat, Hegel (juga Marx) memandang perjalanan hidup manusia dengan angkuh: aku bisa melihat sejarah secara lengkap, aku tahu apa awal dan ujungnya. Novel menunjukkan bahwa hidup tak bisa disimpulkan dari menara tinggi. Para tokoh novel tumbuh dari kancah sejarah: mereka tak akan beroleh gambaran total riwayat mereka sendiri. Mereka melangkah, mereka berjuang, tapi selalu meraba-raba jalan. Biarpun mereka tampak di tengah "narasi besar" misalnya dalam perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa, hidup mereka adalah pelbagai narasi yang "kecil" dan "lokal". Yang mereka ketahui datang sepenuhnya dari praxis. Mereka adalah kerja, mereka berkreasi, berproduksi; mereka bukan makhluk teori. Tentu teori tentang sejarah diperlukan. Dengan teori bisa kita rumuskan gejala dan kita perkirakan arah; dalam sebuah ikhtiar pembebasan, misalnya dalam melawan kolonialisme, teori punya peran strategis. Namun sang pengusung teori akan salah bila ia membentuk apa yang digambarkan Michel de Certeau sebagai "kota panorama". Kota seperti itu tampil sebagai sebuah totalitas, tapi totalitas itu sebenarnya hanya anggitan seorang "dewa-pengintip", kuasa yang hanya tertarik kepada keutuhan cerita besar sejarah. Maka diabaikanlah narasi kecil yang tak bisa dicocok-cocokkan oleh teori, dan disingkirkanlah apa yang tak terduga-duga. Di "kota panorama", berkuasa sikap yang tak mau menyentuh perilaku manusia sehari-hari. Seakan-akan datang kematian yang lebih mendasar: yang sehari-hari telah tak lagi punya pesona. Tapi kita masih punya alternatif. Kita masih bisa berjalan menyusuri kota seperti dalam sebuah novel, atau sebuah puisi, atau sebuah film yang mampu memulihkan pesona itu: sebuah jam tua di dinding, selembar kain warna saga di jemuran, sekilas senyuman dalam hujan. Seakan-akan mereka buat pertama kalinya muncul di dunia. Kita akan selalu ketemu Kronos dan berkabung, tapi ada hal-hal sepele yang membahagiakan kita. Goenawan Mohamad

Religio
Senin, 30 Desember 2013 Agama adalah monster: beberapa dasawarsa menjelang kelahiran Isa Almasih, Lucretius, penyair dan pemikir Romawi, menggambarkan religio sebagai makhluk mengerikan yang menindas manusia. di seluruh negeri, hidup manusia rusak terlindas di bawah beban berat agama, yang menampakkan kepalanya, dari lapis langit, mengancam manusia yang fana dengan wajah yang menakutkan. Lucretius menuliskan itu di pembukaan De Rerum Natura ("Tentang Kodrat Benda-benda"). Ia menuliskannya ketika Republik Romawi berkecamuk oleh revolusi dan kontrarevolusi, tahun 145-130 sebelum Masehi. Sampai hari ini, kita hampir tak tahu apa-apa tentang Lucretius, kecuali karyanya itu. Kita hanya bisa memperkirakan bagaimana suasana dalam periode yang disebutnya sebagai "masa rusuh tanah air kita" itu, dan bagaimana agama berperan. De Rerum Natura menggambarkan betapa gelap dan gairahnya hasrat manusia untuk masyhur dan berkuasa-gelap dan sia-sia. Seraya orang-orang mendaki ke puncak kehormatan, mereka selalu dalam bahaya. "Rasa iri, bagaikan sambaran petir, terkadang melontarkan mereka dari puncak hingga terperosok ke dasar Tartarus yang busuk." Dalam pandangan Lucretius, ambisi dan kecemburuan itu akan berakhir ke titik yang kosong. Sisyphus membawa batu berat itu ke puncak, tapi tiap kali batu itu terlontar kembali ke kaki gunung. Tiap kekuasaan-seperti ditunjukkan dalam sejarah Romawi-segera berakhir. Maka manusia, kata Lucretius, jika harus memilih, sebaiknya "tinggal diam", ketimbang punya kuasa dan mahkota. Yang hendak ditawarkan Lucretius sebenarnya ajaran Epicurus, seorang pemikir Yunani yang dikaguminya. Bagi Epicurus, tujuan hidup adalah kenikmatan, dalam arti yang khusus: kenikmatan yang tenang tenteram, justru dengan cara meniadakan hasrat yang berlebihan.

Tapi manusia takut. Ia takut mati. Dalam ketakutan itu-ketakutan yang tak berdasar, sebab mati harus diterima sebagai bagian dari hidup-orang-orang menghimpun harta, kalau perlu dengan "pertumpahan darah di antara sesama warga". Dengan rakus mereka "menggandakan kekayaan", "menumpuk pembantaian di atas pembantaian". De Rerum Natura-yang terdiri atas enam buku-ditulis dengan keinginan untuk membebaskan zamannya dari semua itu. "Kita harus mengusir ketakutan dalam jiwa ini, kegelapan ini," tulis Lucretius, "bukan dengan sinar surya atau anak panah hari yang bercahaya, melainkan dengan nalar dan tatapan alam." Memakai nalar, menelaah alam: Lucretius, sebagaimana Epicurus, adalah pendahulu ilmu modern dan filsafat "serba-zat". Ia menjelaskan terjadinya wabah-yang dilukiskan dengan sangat mengerikan di Buku VI-bukan sebagai tulah dari langit, melainkan akibat "partikel-partikel yang beterbangan sekitar manusia yang membawa penyakit dan kematian". Baginya, yang ada hanya "atom dan kehampaan", zat dan ruang. Atom tak bisa dihancurkan; tiap kehancuran sebenarnya hanya perubahan bentuk. Atom (Lucretius menyebutnya dengan primordia, elementa, atau semina) saling bertaut membentuk kombinasi yang tanpa henti, dan bergerak terus-menerus, tanpa wujud akhir yang disiapkan. Maka kematian bukanlah titik putus. Tak ada akhirat. Neraka ada di dunia ini sebagai akibat kebodohan dan keserakahan. Surga ada di dunia dalam bentuk sapientum templa serena, "kuilkuil tenteram para aulia". Dari sajak panjangnya, bisa dilihat Lucretius bukan seorang atheis. Tapi baginya Tuhan, atau dewa-dewa, tak terlibat dengan hidup kita. Mereka bukan pencipta makhluk, bukan sebabmusabab kejadian. Alam menjalankan roda hidupnya sendiri. Maka tak ada gunanya bersikap salih seperti yang dilembagakan agama: "Kesalihan bukan karena kita sering menundukkan kepala yang bercadar ke arah batu-batu," demikian tertulis dalam De Rerum Natura. "Bukan karena kita menghampiri semua altar, bukan dengan bersujud di kuil para dewa, bukan pula karena kita membasahi altar dengan darah hewan korban." Kesalihan adalah kesanggupan kita menatap semua hal "dengan pikiran yang damai". Pikiran yang damai itu-dengan menghalau "teror dan kemuraman jiwa"-tumbuh bila manusia bisa menangkis "ancaman nabi-nabi". Lucretius menyatakan bahwa ia menulis De Rerum Natura untuk "membebaskan pikiran manusia dari belenggu agama yang menjerat". Dengan sikap yang seperti itu, tak mengherankan bila berabad-abad kemudian, setelah teks De Rerum Natura ditemukan pada tahun 1417, muncul tangkisan demi tangkisan, terutama dari Gereja Katolik. Tapi tak mengherankan pula bila pandangannya disambut orang di zaman "Pencerahan", yang merayakan kemerdekaan berpikir-sebuah zaman yang, seperti dikatakan Kant, didukung Frederick II. Penguasa Prusia ini, yang berteman dengan Voltaire, berkata pada tahun 1741: agama adalah "monster kuno".

Tapi agama tak mati-mati. Mungkin karena tak seluruhnya Lucretius benar bahwa agama "mengarahkan manusia ke dalam mala dan kekejian". Mungkin karena proyek pencerahan Lucretius gagal. Pada tahun 1771 Voltaire mengarang surat-menyurat imajiner yang membicarakan penyair Romawi itu. Di sana disebutkan Lucretius mati bunuh diri. Kita ingat De Rerum Natura yang dibuka dengan semangat berpendar-pendar diakhiri dengan deskripsi suram tentang Athena yang kena sampar. Sang filosof tak kunjung menemukan "kuil-kuil tenteram para aulia". Yang ia lihat hanya neraka: kebodohan, kerakusan. Meskipun sesekali ada secercah kemerdekaan. Goenawan Mohamad

Pelan
Senin, 06 Januari 2014 Liquor is quicker Ogden Nash Saya menyukai pagi: dengan gerimis atau sinar matahari, saya akan berjalan mengikuti bayangbayang pohon sepanjang alur, atau sebaliknya, duduk tiga menit memejamkan mata di depan jendela terbuka. Ada sisa harum kemuning yang mekar semalam dan bau daun-daun yang lumat di rumput becek. Ada suara burung yang cerewet, ya, pagi adalah suara burung yang cerewet. Juga suara tokek, bunyi berat yang sabar satu demi satu, seakan-akan melawan kecepatan detik. Mungkin saya menyukai pagi karena di sana saya berlindung dari kecepatan detik. Meskipun bisa tak bertahan. Sebab jika pada menit berikutnya saya buka laptop, akan menghambur apa yang disebut "informasi", ribuan kata, suara, angka, dan gambar yang desakmendesak, singkir-menyingkirkan: kabar dari situs dot.com, salam dan umpatan dan keluhan minta perhatian di Twitter, foto-foto pamer diri di Facebook, pesan-pesan sejenak dari teman dan orang yang tak dikenal di telepon seluler. Mereka melintas. Mereka tenggelam. Mereka diingat, tak lengkap. Mereka mungkin statemen, mungkin salah paham yang bergegas. Mereka berubah. Di depan laptop, dunia melawan pagi. Di depan laptop, di luar iPad, di luar kamar, kita diproyeksikan seolah-olah terancam: makhluk yang akan runtuh bila tak bergerak cepat. Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, menyebarluaskan kecemasan itu: "Kita bergerak dari sebuah dunia di mana yang besar memakan yang kecil ke arah dunia di mana yang cepat menelan yang pelan." Saya tak ingin mengamini itu. Kecepatan itu riuh-rendah. Saya lebih menginginkan apa yang digambarkan Chesterton sebagai "the gift of loneliness, which is the gift of liberty". Kesunyian itu mengandung karunia: kebebasan. Tapi memang ada, memang makin banyak, orang yang menampik karunia itu: mereka yang waswas bila tak melakukan apa-apa, mereka yang tak mengerti bagaimana duduk dengan mata terpejam mendengarkan bunyi hujan dan suara katak di selokan, orang-orang yang mau cepatcepat mengakhiri sunyi, orang-orang yang dikerubuti waktu yang selalu dihitung. Saya tak pernah merasa merdeka dengan waktu yang dihitung, bukan karena tiap kali dikejar deadline, tapi mungkin karena saya datang dari generasi yang berbeda. Di waktu kecil, di malam hari, sambil terbaring di ambin, saya sering mendengarkan suara orang uraura membawakanWedhatama dalam tembang. Ada kalimat "sepa sepi lir sepah samun" yang tak saya pahami artinya tapi saya rasakan sendunya. Saya juga datang dari sebuah masa ketika sehabis isya anak-anak tergolek di samping ibu, dibimbing ke mimpi dengan dongeng yang panjang.

Mungkin sebab itu saya bisa mengerti mengapa Carl Honor berubah. Ia koresponden pelbagai surat kabar, antara lain The Economist, yang menulis berita-berita luar negeri. Ia mengejar (atau dikejar?) berita dari kota ke kota asing, masuk-keluar bandara dan pesawat, terus-menerus menelepon editor dan sumber-sumber berita (dan tak lagi mendengarkan musik di Walkmannya), tak sempat pula bercerita panjang untuk mengantar tidur anak-anaknya. Pada suatu saat, ketika ia sedang antre di sebuah bandara, terbaca olehnya sebuah tulisan, "The One-Minute Bedtime Story". Eureka! Ia bergembira: akhirnya orang bisa membuat dongeng yang cuma satu menit panjangnya. Ia perlu kemudahan seperti itu, sebab ia tak bisa melayani permintaan anak-anaknya untuk membawakan cerita yang asyik. Hampir saban malam ia harus menulis, mengirim artikelnya, menjawab sur-el, membaca kabar, dan berdiskusi. Tapi bagaimana membawakan dongeng Hans Christian Andersen dalam 60 detik? Hanya dalam gerak yang pelan, kita bisa menyusuri hidup Si Thumbelina. Sebuah dongeng akan mati ketika ia jadi ikhtisar. Ia tak hidup dengan ketakjuban dari saat ke saat, sejak si tokoh alit lahir, diculik katak, diselamatkan ikan, kupu-kupu, dan tikus, dan akhirnya mendapatkan pangeran peri-bunga sebagai pasangannya, seraya si burung biru patah hati menyaksikannya pergi. Carl Honor pun berubah. Ia menulis buku In Praise of Slowness. Yang agak kurang ditekankan Honor ialah hubungan gerak yang tak terburu-buru dengan karunia kesunyian dan kebebasan, sesuatu yang telah rusak karena zaman berubah dan manusia resah untuk bekerja dan bekerja. Nietzsche pernah menyebutnya sebagai "kehausan Amerika". Bujukan-bujukan berlomba cepat ("liquor is quicker", kata penyair Amerika, Ogden Nash), juga pertukaran. Dalam proses itu, hilang kemampuan orang menghayati waktu sebagai ketakjuban yang selalu baru. Orang pun terus-menerus berbicara soal "kurang waktu". Tak ada lagi yang hendak memasuki keheningan "vita meditativa". Tak ada renungan sebelum tindakan. Dan lahirlah Twitter, Facebook, san-dek, yang dengan seketika menembakkan kata. Sementara dulu tiap ekspresi yang akan disiarkan harus menempuh prosedur berlapis, ada editor, ada penerbit, ada penyebar, kini semua itu diterabas. Bersaing cepat, berlomba menarik perhatian, bersaing mau diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada. Kecepatan dan kekuatan bisa efektif seperti peluru. Tapi peluru tak perlu nalar dan tak menumbuhkan tukar pikiran. "Media sosial" akhirnya hanya (mengutip seorang teman yang mengutip Macbeth untuk ini) "full of sound and fury, signifying nothing". Maka saya menyukai pagi. Sesekali masih ada sisa mimpi, ingatan akan dongeng ayah, ninabobok ibu, gema di kepala dari sebuah lagu, novel yang semalam hadir dalam kesendirian dan kesunyian, dalam karunia kebebasan. Goenawan Mohamad

Heteroglossia
Senin, 13 Januari 2014 Di lantai pentas itu bisa ada rebana, suling dan ukulele, gambang dan wayang, gunungan dan kecrek, payung dan setandan pisang. Pernah ada balon yang sebenarnya kondom-kondom yang ditiup, tak jauh dari seonggok nasi tumpeng. Pernah ada dua benda yang dibungkus kain, dan sebuah struktur yang mirip pintu masjid, di sebelah sebuah tabung. Begitu banyak barang, masing-masing sepele dan tak jelas fungsinya. Tapi ada pesona. Di panggung, atau mungkin di lantai pentas, banyak hal bisa terjadi, sebab seorang dalang adalah seorang pesulap, dan Ki Dalang Slamet Gundono adalah pesulap yang tak tepermanai. Kini ia tak ada lagi di antara kita. Ia meninggal, Minggu, 5 Januari 2014, hanya sekitar lima hari setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Sukoharjo, dekat Surakarta. Saya sudah cemas ketika ia mengirim sandek ke telepon seluler saya pada 31 Desember 2013: "Mas Goen, saya sakit. Kaki saya tak bisa jalan dan sakit luar biasa." Terakhir kali saya melihat ia di Teater Salihara: pementasan tanggal 16 November 2013 itu, yang dinantikan tamu dari pelbagai negara, tak selesai. Ia sudah tak sehat. Tapi orang tahu, ia luar biasa. Saya tak berhenti takjub bagaimana pesona itu bukan saja membuat pentasnya yang seakan-akan kacau itu jadi hidup-dan bagaimana ia, dengan warna lokal yang tebal, bisa menyentuh secara universal. Saya pernah menonton ia memainkan lakon Taliputra-Taliputri dengan gaya wayang klasik, mengenakan beskap hitam dan blangkon warna cokelat tua. Tapi ia lebih dikenal sebagai dalang dengan kostum yang ia rancang sendiri, dengan dadanya yang penuh lemak itu terbuka, memainkan "wayang suket", "wayang lindur", dan "wayang air"-pertunjukan yang dinamainya sendiri tanpa mencoba menjelaskannya sampai tuntas. Ia anti-batasan. Saya pernah menulis: Gundono adalah "teater tanpa definisi". Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah. Repertoarnya sering tak terduga. Ia menggubah satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Durga. Ia mampu memukau dengan kisah seorang kiai lokal yang melawan ulama yang berkuasa, tafsir atas Serat Cabolek karya Yasadipura I dari Keraton Surakarta abad ke-18. Di ketika lain, ia bergabung dengan teks Prancis terjemahan Elisabeth Inandiak atas satu fragmen Serat Centhini. Slamet Gundono adalah sebuah heteroglossia. Ketika Mikhail Bakhtin memperkenalkan kata ini, orang Rusia ini hendak menunjukkan keistimewaan bentuk novel dalam sastra. Novel adalah medium tempat pelbagai ragam bahasa

bisa masuk, karena ia menampung percakapan sehari-hari: dialek daerah, bahasa khas satu kelompok sosial, bahasa dengan istilah profesional, bahasa birokrasi. Bakhtin berangkat dari pengamatannya tentang kehidupan verbal petani Rusia. Petani di pedalaman itu berbahasa Slavonik Gereja kepada Tuhannya, berbahasa dengan dialek lokal kepada anak-istrinya, dan mencoba meniru frasa pejabat kelas atas ketika mendiktekan sebuah permintaan kepada pemerintah setempat. Di Indonesia heteroglossia juga kita temui tiap kali-meskipun dengan sejarah sosial yang berbeda. Terutama dalam tradisi daerah. Ketika pepatah lama mengatakan bahwa "bahasa menunjukkan bangsa", yang dimaksudkan adalah hubungan bahasa dengan hierarki: tiap "bangsa"-lapisan sosial-akan menggunakan tata krama verbal yang sesuai. Saya ingat satu adegan dalam novel monumental Putu Wijaya, Putri: sang tokoh, perempuan muda lulusan Universitas Udayana, pada suatu ketika bertemu dengan tiga orang berkasta tinggi yang di kampus itu bekerja sebagai tukang parkir, pegawai kantin, dan pesuruh kantor. Putrianak petani Meliling yang jadi abdi dari puri setempat-tetap menggunakan bahasa halus kepada mereka. Sapaan Putri "langsung menusuk ketiga orang itu". Mereka terkejut: "Hidup yang tambah keras membuat mereka terbiasa menerima segala bahasa." Dan gadis itu pun sadar: bahasa "mungkin tak sengaja menjadi alat kekuasaan". Bahasa, kesimpulan Putri pula, "mencoba mengendalikan manusia dari dalam suaranya". Slamet Gundono lahir dan dibesarkan di Slawi, dekat Tegal, dengan bahasa yang sering diolokolok orang Jawa Tengah yang lain, terutama dari kalangan priayi. Tapi Slamet juga anak seorang dalang yang tak asing dengan bahasa Jawa literer wayang kulit. Sumbangan besar Slamet Gundono di sini tampak: heteroglossia-nya menyingkirkan otoritas bahasa yang dirawat di rumah-rumah bangsawan. Dengan lancar, tanpa beban, ia masukkan ungkapan verbal orang Slawi yang biasa dipakai nelayan pantai utara. Di sana-sini, begawan Manikmayanya akan menggunakan kata nyong untuk "aku", kata nok untuk memanggil si upik. Heteroglossia Slamet, dengan demikian, bukan sekadar suara yang beragam. Ia mengandung perlawanan kelas yang dibisukan menghadapi kelas yang memonopoli wibawa dan ukuran keindahan. Kesenian Slamet Gundono bukan punya komitmen sosial dalam pesan-pesannya, tapi lebih dalam: dalam pilihan ekspresinya. Dan ia melakukannya tanpa berteriak karena semua wajar, tanpa kemarahan, sebab resistansi terbaik menghadapi wibawa yang kaku adalah humor. Ketika ia pergi di usia 47 tahun, yang tetap kembali adalah sumbangan itu, senyum itu, pesona itu. Goenawan Mohamad

Anda mungkin juga menyukai