Anda di halaman 1dari 42

Universitas

Senin, 24 Februari 2014

Selama lebih dari setengah abad, mungkin tak lebih dari 50 orang yang pernah datang ke ruang di Pod vodrenskou vezi 4 di Kota Praha itu. Sejak tahun 1958, di sana tersimpan 315 jilid kitab suci dari Tibet, bagian dari perpustakaan Pusat Studi Dunia Timur di Republik Cek itu. Tapi sebenarnya tak jelas adakah di sana Tibetologi diminati secara luas, dan apa pula manfaatnya bagi bangsa yang jutaan kilometer terpisah dari Asia itu. Tapi "manfaat" adalah kata yang tak selamanya pantas dipakai. Seorang filosof Cina tiga abad sebelum Masehi pernah dikutip mengatakan, "Orang semua tahu manfaatnya hal yang bermanfaat, tapi mereka tak tahu manfaatnya hal yang tak bermanfaat." Simon Leys mengingatkan kita akan kearifan Zhuang Zi itu dalam kumpulan esainya yang asyik dan pintar yang ia beri judul (tentu saja) The Hall of Uselessness. Leys berbicara tentang universitas-sebuah lembaga yang di mana saja didirikan dengan pengharapan yang muluk. Tapi, bagi Leys, itu juga lembaga yang seharusnya bebas dari kata "manfaat". "Kegunaan yang tertinggi dari universitas," tulis Leys, "terletak pada apa yang oleh dunia dianggap sebagai ketidakbergunaannya." Bisa kita bayangkan Menteri Pendidikan, para anggota parlemen yang mengurus anggaran sekolah tinggi, serta orang tua yang mengidamkan anaknya lulus dan punya karier yang tajir di perusahaan ternama akan terenyak merenungkan paradoks itu: universitas itu penting untuk dilihat sebagai sesuatu yang tak berguna. Soal ini soal lama, sebab Leys bukan orang pertama yang mengemukakannya. Lebih terkenal lagi Kardinal Newman. Rohaniwan ini pada 1854 menjadi Rektor Catholic University of Ireland. Empat tahun kemudian, setelah pensiun, ia menerbitkan kuliah-kuliahnya dalam The Idea of a University: sebuah karya klasik yang mempertahankan prinsip bahwa "pengetahuan mampu menjadi tujuannya sendiri". Dengan itu, Newman menegaskan universitas sebagai dunia keilmuan yang tak dilecut prinsip "semua-mesti-mengandung-guna", semangat utilitarianisme yang menganggap bahwa yang "tak berguna" sama dengan "tak bernilai". Kita ingat 315 jilid kitab suci kuno dari Tibet yang dirawat terus di perpustakaan yang tak mencolok di Kota Praha itu: benda-benda yang tak pernah digugat buat apa, tapi selalu bisa ditelaah oleh seorang dua orang yang dalam kesendirian mereka mengerti, ada sebuah nilai lain dalam hidup.

Nilai lain itu adalah apresiasi kepada yang "baik". Kardinal Newman: "Meskipun yang berguna tak selalu berarti baik, yang baik selalu berguna. Baik tak sekadar baik, tapi mereproduksi kebaikan." Dengan pikiran seperti itulah Kardinal Newman menyatakan bahwa baginya lebih baik sebuah universitas yang tak mengajarkan apa-apa ketimbang sebuah universitas yang "menuntut para anggotanya agar kenal dengan setiap ilmu yang ada di bawah matahari". Artinya si mahasiswa harus bisa menggeluti pengetahuan-pengetahuan yang mencerdaskan dan membuka pikiran, tapi tak berguna. Ia harus jadi seorang gentleman yang tak didera nafsu mendapat manfaat dari tiap geraknya. Pendirian Newman juga tak baru. Ia bagian dari sebuah polemik panjang yang berkecamuk di Inggris di masanya-dan berlanjut ke pelbagai penjuru dunia di masa ini. Di sebuah ruang di University College London ada mumi yang disimpan di sebuah almari: sosok bertopi yang agak memelas dan sedikit mengerikan. Tapi itulah jenazah Jeremy Bentham, filosof Inggris menjelang pertengahan abad ke-19, pelopor utilitarianisme. Berdasarkan pemikirannya, The University of London didirikan sebagai perguruan tinggi yang berniat mengajarkan segala sesuatu yang berguna. Bentham memperkenalkan asas chrestomathic. Apa itu tak jelas, tapi umumnya ditafsirkan sebagai "cocok dan bagus untuk belajar yang berguna". Adapun "yang berguna" itu bisa luas sekali: dalam prospektus universitas itu dari tahun 1825, terbaca mata kuliah matematika, teknik, hukum, bahasa Hindustan, Sanskerta, ilmu ekonomi. Mungkin ini ada hubungannya dengan kepentingan para pemegang saham yang mengongkosi universitas itu: para pejabat pemerintahan dan pengusaha yang berhubungan dengan kepentingan dagang di India. Tapi semangat chrestomathic itu juga mencerminkan kepentingan kelas sosial yang makin agresif di Inggris-yang punya model yang berbeda dari gentleman ala Kardinal Newman. Kelas ini tak ingin jadi priayi yang tinggal tenteram (dan merenung) di menara gading. Zaman memang berubah. Kata-kata Flaubert, novelis Prancis pelopor realisme, menunjukkan perubahan itu: "Aku selalu mencoba hidup di sebuah menara gading, tapi gelombang tahi selalu menerpa dindingnya, mengancam akan mengguyahkannya." Di negeri-negeri yang lahir dari revolusi sosial dan politik, setelah kolonialisme, termasuk Indonesia, "menara gading" memang tak akan dibiarkan. Dianggap dosa. Tapi bukan "gelombang tahi" yang mengguyahkan eksklusif itu, melainkan rasa keadilan, mendesaknya problem keterbelakangan yang harus dijawab, dan kehendak mengubah sejarah. Tapi ada juga "gelombang tahi" yang lain, bernama komersialisasi. Universitas bukan lagi tempat pengetahuan berproses. Ia jadi pabrik tenaga yang mau serba praktis. Ia jadi tempat orang berbelanja "keterampilan".

Dalam tulisannya yang saya kutip di atas, Leys mengambil sikap. Ketika universitas tempat ia mengajar menyebut mahasiswa sebagai "konsumen", ia tahu itu saatnya ia harus mengundurkan diri. Universitas memang akan guyah ketika ia jadi mall. Goenawan Mohamad

Mahkamah
Minggu, 23 Februari 2014 Putu Setia

Romo Imam sedang mengajari cucunya berhitung ketika saya datang. "Dua kali dua hasilnya sama dengan dua ditambah dua, empat," kata Romo sambil menepuk cucunya. Romo mengerling saya, lalu berkata, "Tapi dua kali dua bisa jadi enam kalau Mahkamah Konstitusi memutuskan begitu." Anak kecil itu tampak bingung dan berlari ke arah ibunya. Ia takut melihat tampang saya yang berjenggot. "Romo mengajarkan hal yang salah," saya nyeletuk. Setelah kami duduk, barulah Romo menjawab: "Salah dan benar di negeri ini sekarang ditentukan oleh delapan hakim konstitusi. Apa pun yang mereka putuskan, itulah kebenaran yang mutlak, tak bisa dibantah. Mantan Ketua MK Mahfud MD, berkali-kali bilang, apa pun keputusan MK harus dihormati, diterima, final, dan tak bisa didebat." "Tapi itu hanya berkaitan dengan konstitusi, Romo, bukan masalah matematika," potong saya. Romo menjawab, "Siapa tahu ada yang memohon uji coba ke MK, dua kali dua harus enam, agar tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 hasil amendemen yang berbunyi: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan seterusnya. Kalau hakim MK menganggap untuk memajukan ilmu pengetahuan harus ada revisi soal perkalian, kan harus dihormati." Saya tertawa. "Romo mengada-ada. Etika dari mana itu?" Romo makin serius: "Apa sekarang hakim MK tak mengada-ada dan punya etika? Pemerintah capek membuat Perpu untuk menyelamatkan MK, DPR sibuk bersidang mengesahkan Perpu menjadi UU. Ini melibatkan banyak orang, kok delapan orang hakim itu bisa membatalkan? Etikanya, tentu, janganlah mengadili diri sendiri untuk menguntungkan kedudukan sendiri." "Mungkin maksud hakim MK agar undang-undang tentang MK itu yang direvisi," saya memotong. Romo menjawab, "Kalau revisi undang-undang itu dibuat, lalu ada lagi yang mengajukan uji coba, ditolak lagi oleh MK jika dianggap merugikan dirinya, bisa pula kan?" Saya kehabisan argumentasi. Romo meneruskan, "Satu-satunya cara memperbaiki MK hanya mengamendemen lagi UUD 1945, menambah ayat lebih rinci di pasal 24C yang mengatur hakim konstitusi. Tapi perlu waktu panjang, dan selama rentang waktu itu, hakim MK tak bisa diutak-atik dan, kalau ada yang pensiun, syarat penggantinya memakai undang-undang lama. Lihat saja sekarang, politikus ramai-ramai mencalonkan diri. Padahal politikus itu bukan negarawan, tapi itu sah karena belum diatur konstitusi. MK akan terus dikuasai orangorang partai."

"Kok orang partai nafsu betul jadi hakim MK?" tanya saya polos. Romo yang kini tertawa: "Jelas dong, sengketa pemilu dan pilkada akan banyak, dan hakim dari partai pasti membela partainya. Kalaupun motifnya bukan itu, ya, sabetan dari sengketa itu, contohnya ya Akil." "Romo berprasangka," kata saya. "Saya pakai akal sehat," jawab Romo cepat. "Sidang pleno untuk vonis di MK itu dihadiri seluruh hakim. Apakah di era Akil Mochtar jadi Ketua MK, ke delapan hakim lainnya cuma manggut-manggut saja dengan keputusan Akil yang dibayangi suap miliaran? Apakah delapan hakim lainnya dihipnotis oleh Akil atau dihipnotis oleh sesuatu?" Saya tak bisa menjawab. Romo berkata datar: "Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 menyebutkan, hakim MK haruslah negarawan. Mestinya negarawan itu bebas dari kepentingan partai, bebas dari godaan harta benda, bebas dari perbedaan suku agama, dan sebagainya. Negarawan kok masih terima suap, silau dengan kemewahan. Dan negarawan kok masih sibuk mempertahankan jabatannya." Saya hanya melongo. Tapi saya tetap cinta Indonesia, meski sebuah negeri dengan mahkamah yang ngeri-ngeri sedap.

Empati Sosial
Senin, 24 Februari 2014 Fauzi Sukri, Penulis

"Ora butuh difoto, butuhe bantuan." Saya mendapatkan kata-kata itu dalam foto headline di harian Kompas (18/02/2014) -yang ditulis pada papan tripleks berlatar rumah warga yang terkena dampak erupsi Gunung Kelud dan dipasang di pinggir jalan yang penuh abu vulkanis. Warga Desa Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tampaknya sudah begitu paham akan aktivitas sosial kita saat terjadi bencana, kecelakaan, atau tindak kriminal: kita lebih suka melihat-lihat atau memotret daripada melakukan tindakan penyelamatan, mengorganisasikan pengumpulan derma, ataupun berempati. Pola komunikasi atau keterlibatan dan kepedulian sosial kita dengan orang lain lebih banyak mengarah ke ekshibisionisme dan narsisisme asosial. Di depan bencana, kecelakaan, atau kriminalitas, terkadang kita lebih suka mengedepankan mata daripada rasa, apalagi tindakan. Mata seakan haus akan hal-hal yang sensasional, mengejutkan, dan luar biasa, tapi rasa empati sering kali disurutkan ke belakang. Majalah Tempo edisi 24 Juli 1982 pernah secara khusus memuat headline sampul ini: "Orang Indonesia Memotret". Pada tahun itu, sebelum kamera digital murah dikenal dan "hape" yang berkamera belum ada, "Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap tahun." Dan pada tahun itu, "Jebret! Bunyi itu kini terdengar di mana-mana di Indonesia." Ini terjadi sekitar 31 tahun silam dan sekarang pasti sangat berbeda juga jauh lebih gemebyar, apalagi mendapat sokongan dan tambahan tenaga jejaring sosial. Laku hidup di depan kamera adalah perilaku yang berjarak, bahkan menjauh dari obyek agar obyek bisa diintai, dibidik, dan difoto. Foto-juga alat perekam lainnya-dibuat agar menghasilkan efek statis, tak bergerak. Dan, walaupun manusia pemegang kamera ada di tempat kejadian, kamera tetap membuatnya harus berjarak. Kamera tak pernah bisa menyatu dengan obyeknya, selalu harus diberi jarak. Hadir tapi tetap berjarak, tak hendak terlibat, seakan semuanya tidak bisa menimpa diri kita semua, seperti kamera di hadapan obyeknya. Maka, pola komunikasi atau keterlibatan sosial ala kamera ini sering kali tak simpatik dan tak membawa rasa empati-dalam beberapa kasus seperti kejadian di area yang sangat terpencil atau terisolasi, tentu saja kamera terkadang mampu membawa empati. Seperti abu vulkanis yang menimpa kita yang berada sekian ribu kilometer dari Gunung Kelud, hidup kita selalu dalam keterlibatan, keterkaitan, dan ketergantungan pada alam dan orang lain. Empati menjadi sesuatu yang sudah seharusnya, bahkan barangkali sudah menjadi naluri hidup kita. Maka, dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang

lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain. Setidaknya, berempati berarti membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan empati, kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya (Jalaluddin Rakhmat (1992: 132). Dengan ini, akan timbul gerak dalam hati dan pikiran kita, berempati dalam tubuh-batin. Gerak ini kemudian akan mengerahkan saraf-saraf kita untuk ikut serta dalam bentuk tindakan, berderma, atau berdoa. Berempati memberi rasa aman kepada orang lain dan membuat orang merasa tidak sendirian dalam bencana. Ada kita bersama mereka. *

Tabur Bunga dan Sejarah yang Membebaskan


Senin, 24 Februari 2014 Moeldoko, Panglima TNI

Empat dekade silam, tepatnya pada 28 Mei 1973, pemimpin dan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dengan hikmat melangkah memasuki Taman Makam Pahlawan Kalibata, di Jakarta Selatan. Hari itu ia menabur bunga di pusara dua prajurit KKO, Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said. Lima tahun sebelumnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun menjalani hukuman gantung yang dijatuhkan pemerintah Singapura. Sejarah mencatat bahwa keduanya tak menampik meledakkan bom di MacDonald House, Orchard Road, pada 10 Maret 1965. Peledakan itu memang menjatuhkan korban penduduk sipil yang tak disangka, dan salah satu permintaan Usman serta Harun sebelum eksekusi adalah, mereka bisa dipertemukan dengan keluarga korban dan memohon maaf. Peristiwa Usman dan Harun memang harus dilihat dalam kerangka konfrontasi. Konfrontasi di sini bukan hanya berupa perang dingin, yang menularkan demam ke berbagai belahan dunia, tapi juga konfrontasi antara ide besar tentang pelaksanaan tugas yang diemban oleh abdi negara dan kedaulatan bangsa yang harus ditegakkan. Ide-ide besar seperti ini bisa memancing reaksi yang sangat emosional dan berskala luas. Dan kebesaran seorang negarawan akan ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi reaksi emosional itu sambil tetap menjunjung ide pelaksanaan tugas dan kedaulatan sebuah bangsa. Jatuhnya korban sipil memang layak disesali. Pemerintah serta rakyat Singapura berhak merasa terluka dan wajib menegaskan kedaulatannya. Tapi, pada 28 Mei 1973 itu, Lee Kuan Yew bersedia mengatasi luka tersebut. Dengan menabur bunga, ia ikut mengukuhkan tindakan pemerintah Indonesia yang mengangkat martabat Usman dan Harun sebagai pahlawan nasional. Langkah khidmat dan taburan bunga tersebut menunjukkan betapa Lee Kuan Yew bersedia melepaskan diri dari sejarah masa silam yang sedih untuk menyiapkan masa depan yang kian mengukuhkan kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsanya. Jika kita mengenang taburan bunga Bapak Pendiri Singapura Modern Lee Kuan Yew di Kalibata itu, kita memang bisa agak tersentak oleh reaksi rekan-rekan di Singapura berkaitan dengan penyematan nama "Usman Harun" di salah satu fregat Indonesia. Penyematan itu sungguh sejajar dengan taburan bunga: penghormatan kepada mereka, termasuk prajurit kecil, yang telah melaksanakan tugas negara sebaik-baiknya. Penyematan itu sama sekali

bukan tanda untuk menyerbu tetangga terdekat. Kita sudah hidup di abad ke-21, dan abad ini berlimpah dengan pelajaran sejarah yang menunjukkan bahwa niat menyerbu secara militer ke negara tetangga bukanlah niat yang patut dan beradab. Saya sepakat bahwa perang fisik bukanlah kelanjutan dari diplomasi yang buntu, melainkan buah pahit dari kegagalan inteligensi (failure of intelligence). Operasi militer hanya absah jika lawan sudah berhenti menggunakan inteligensinya. Kegagalan inteligensi selalu bermula dari kegagalan membebaskan diri dari kungkungan sejarah, dan dari ketakmampuan menghargai harkat hidup orang lain, bangsa lain. Indonesia tidak mungkin lagi menyerbu Singapura. Indonesia bahkan berkepentingan agar Singapura, dan negara tetangga lain, berada dalam keadaan damai dan stabil. Sebab, hanya dalam perdamaian yang kukuh Indonesia bisa menegaskan kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Betapapun juga, Indonesia dan Singapura adalah dua dari lima negara pendiri ASEAN. Perhimpunan kawasan yang semakin dihormati ini, kita tahu, didirikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya. Juga, tentu saja, untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional serta meningkatkan kesempatan untuk membahas perbedaan di antara para anggotanya dengan damai. Sejak didirikan, ASEAN secara formal telah menyediakan ruang bagi para anggotanya untuk membicarakan perbedaan-perbedaan dan membereskannya dengan damai. Ada yang mengatakan bahwa itulah cara Timur, tepatnya Asia modern, untuk menyelesaikan konfliknya. Ruang seperti ini mungkin tak memuaskan semua pihak, tapi ia terbukti dapat menopang upaya mendorong pembangunan dan perdamaian di kawasan ASEAN. Ruang seperti ini tak mungkin lahir jika para negarawan pendiri ASEAN membiarkan diri mereka terkungkung dalam sejarah yang membuat kita semua kehilangan kemampuan untuk merespons secara wajar kejadian-kejadian di sekitar kita. Kita memang tak dapat membiarkan masa silam memenjarakan masa depan kita. Di Kalibata, PM Lee Kuan Yew, yang mengikuti syarat yang diajukan Presiden Soeharto, berhasil menunjukkan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa memperlakukan sejarah secara bijak untuk bisa membebaskan masa depan bangsanya. *

Plagiat
Senin, 24 Februari 2014 Amarzan Loebis amarzan@tempo.co.id

Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan "plagiat" sebagai "pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri". Pemahaman apa yang bisa ditarik dari penjelasan ini? Pertama, plagiat adalah perbuatan lancung. Karangan yang merepresentasikan pendapat atawa buah pikiran melekat pada hak individual sang pengarang yang, sesungguhnya, dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Plagiator, dengan demikian, sudah menginjakinjak hak individual itu. Kedua, plagiat menunjukkan kemiskinan intelektual. Di kolong langit ini, kata Julius Caesar, "Tak ada hal yang tidak menarik; yang ada ialah orang-orang yang tidak tertarik." Tugas intelektual adalah mengangkat masalah-masalah yang luput dari ketertarikan awam, dan menjadikannya bahan rujukan yang mencerahkan dan menginspirasi-tanpa mencederai martabat intelektualitasnya. Ketiga-dan ini yang paling berat-plagiat merupakan "kejahatan terencana". Tidak ada tindakan spontan dalam proses plagiarisme. Sang plagiator (penjiplak) pastilah membaca lebih dulu karangan yang akan dijiplaknya, sebelum merasa tertarik mencaplok karangan itu dan mengakuinya sebagai karangan sendiri. Dalam proses "ambil alih" itu, sebetulnya plagiator masih berusaha menghapus jejak dengan mengubah satu-dua kalimat, atau satu-dua alinea, atau mengubah susunan alinea. Tapi biasanya mereka gagal karena-dan ini juga merupakan kejahatan-memandang rendah khalayak sasarannya. Pada tingkat apakah sebuah karangan bisa disebut plagiat? Ada berbagai jenjang yang sekaligus bisa digunakan untuk "menentukan" derajat plagiat. Jenjang pertama adalah yang biasa disebut "copy paste", ketika lebih dari 70 persen karangan, alinea demi alinea dan secara berurutan, sama dengan karya yang diplagiat. Jenjang kedua meliputi "pilihan kata", yang diikuti penempatan kata dalam pengkalimatan. Seorang pengarang yang sudah terbiasa mempublikasikan karya tulisnya di media massa mudah dikenali kekayaan-atau sebaliknya, kemiskinan- kosakatanya. Kesamaan kosakata, apalagi menyangkut kata yang unik, khas, dan tidak biasa, layak dicurigai sebagai bentuk plagiat yang berada setingkat di bawah "copy paste".

Jenjang ketiga meliputi "gaya", sesuatu yang sesungguhnya sulit dipakai sebagai bahan pembuktian plagiat. Kecenderungan kesamaan gaya lebih mudah dikategorikan sebagai "keterpengaruhan"-sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja dalam dunia tulis-menulis. Jenjang keempat meliputi kesamaan penggunaan metafora, termasuk pepatah-petitih dan tamsil ibarat. Jika dalam dua karangan yang berbeda terdapat lebih dari tiga metafora yang sama, sudah selayaknya kedua tulisan itu disimak secara lebih saksama, seraya mencari persamaannya yang lain. Terakhir adalah kesamaan gagasan, yang bisa dihisabkan kepada bentuk plagiat yang paling ringan. Kesamaan gagasan merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi secara kebetulan, dan mencari gagasan yang sepenuhnya "orisinal" nyaris mustahil dalam lalu lintas ide yang semakin dinamis. Karena itu, menggunakan kategori ini untuk menentukan plagiarisme merupakan pekerjaan yang tidak mudah dipertanggungjawabkan.

Ustad dan Pembela Islam


Selasa, 25 Februari 2014 Azis Anwar Fachrudin, Penulis

Para dai sering mengajarkan, ketika terjadi suatu kontroversi, kedepankanlah perilaku berbaik sangka. Untuk itu, saya mula-mula berusaha berbaik sangka kala ada kontroversi. Apalagi jika kontroversi itu menyangkut orang atau organisasi dengan label yang keren: ustad atau pembela Islam. Kala terjadi pembatalan diskusi buku Tan Malaka di Surabaya oleh para pembela Islam itu, saya berusaha mengajukan tiga cara alternatif dalam berbaik sangka. Pertama, dengan kejadian ini, mungkin Tuhan sedang berkehendak mewujudkan ramalan Tan Malaka. "Dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras!" ujar Tan Malaka. Kenyataanya, buku tentang Tan Malaka itu saja belum dibaca, tapi para pembela Islam sudah mengkhawatirkan nasib akidah kaumnya. Tan Malaka sakti betul rupanya. Kedua, mungkin saja para pembela Islam memahami bahwa orang Indonesia ini malas membaca sejarah bangsanya sendiri. Untuk itu, dibatalkanlah rencana diskusi buku tentang Tan Malaka itu. Alasannya, agar Tan Malaka jadi pembicaraan publik. Para pemilik buku Madilog akan kembali membaca buku itu secara lebih saksama. Atau, setidaknya akan banyak yang tanya ke Syaikh Google tentang siapa itu Tan Malaka. Jadilah kemudian ada lebih banyak orang yang pelan-pelan tahu siapa itu Tan Malaka. Ketiga, mungkin Tuhan sedang ingin menunjukkan cara berpikir para pembela Islam itu: mendiskusikan buku berisi ideologi X adalah sama dengan menyetujui dan mempropagandakan ideologi X. Dengan kejadian itu, Tuhan ingin menunjukkan bahwa: "Ini lo logika para pembela Islam itu!" Syukurlah, mayoritas orang di negeri ini tampaknya masih waras dan bisa menangkap sinyal dari Tuhan itu. Dengan beberapa kejadian mutakhir ihwal para pembela Islam, publik mendapat data-data untuk dipertimbangkan apakah kata "membela Islam" layak tersemat kepada mereka. Begitulah. Baik sangka ini juga coba saya ajukan pula kala membaca warta tentang ustad yang "mengunci" operator sound-system. Di negeri ini, ustad adalah panggilan lazim untuk para dai. Mereka bisa tenar ketika sudah melewati jenjang-jenjang seleksi media, atau setidaknya tertangkap kompetensinya oleh media. Kompetensi yang dimaksud oleh media tentunya yang sesuai dengan logika media: harus

sesuai dengan tuntutan pasar. Salah satu syarat mutlak ujian seleksi itu: harus menghibur. Syarat lainnya yang bisa jadi nilai tambah: berpenampilan menarik, bersuara bagus, syukursyukur bisa nyambi jadi penyanyi, dan alhamdulillah kalau punya diferensiasi (gaya penyampaian yang beda, unik, dan kalau perlu juga punya jargon-jargon antik). Kita jadi tahu, jadi ustad-dai itu tak mudah. Sedikit orang yang bisa menyampaikan ajaran moral dengan gaya yang disukai banyak orang. Untuk bisa memasarkan dakwahnya, caracara yang ditempuh para dai tentu tak mudah. Itulah cara alternatif pertama untuk berbaik sangka. Opsi dalam berbaik sangka yang kedua, mungkin saja ada konspirasi Tuhan yang sedang bermain di sana. Melalui adegan smackdown ustad terhadap operator sound-system itu, Tuhan sedang ingin agar umat memikirkan kembali pengertian mereka tentang ustad. Lagi-lagi kita mesti bersyukur, kenyataanya publik masih cukup waras. Ada kesadaran yang pelan-pelan kini menyeruak: ustad harusnya begini, bukan begitu. Kejadian itu menjadi blessing in disguise, sehingga publik mulai mengarahkan kritiknya kepada cara media menyeleksi dai-dainya. *

Antara Politik dan Sepak Bola


Selasa, 25 Februari 2014 Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Menengok "hasil" kerja sebagian besar lembaga survei, terlihat bahwa dua kuda balap terdepan dalam wacana calon presiden RI terus-menerus dipegang oleh dua nama: Jokowi dan Prabowo Subianto. Untuk menguji popularitasnya (bukan dalam pengertian "disukai", tapi sekadar "masuk berita" saja), melalui klak-klik-klak-klik pada mesin Indonesia Indicator yang melacak 337 media daring (online), saya bandingkan mereka dengan dua nama dari hiburan rakyat paling digemari, yakni sepak bola: Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Secara teoretis, politik mehong di Indonesia popularitasnya bukan tandingan sepak bola internasional, tapi dalam konteks dunia maya Indonesia, baiklah kita lihat apa yang terjadi. Dalam tujuh hari terakhir sebelum Senin, 24 Februari 2014, nama Jokowi terlacak dalam 65,4 persen dan Prabowo tercatat 9,8 persen dari 1.710 berita. Dalam 30 hari terakhir, Jokowi naik menjadi 65,2 persen, Prabowo masih 10,3 persen dari 8.902 berita. Dalam 3 bulan terakhir, angka Jokowi 64,6 persen dan Prabowo kebagian 10,2 persen dari 32.949 berita. Diadu dengan dua nama dari ranah sepak bola internasional, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, terjadi kompetisi menarik. Dalam 6 bulan terakhir, Jokowi menyabet 68,3 persen dan Prabowo hanya 9,5 persen, sementara Ronaldo mendapat 11,2 persen dan Messi 11 persen dari 60.740 berita. Adapun dalam setahun terakhir, tak kurang dari 73,4 persen berita memuat Jokowi dan persentase Prabowo naik menjadi 10,5 persen. Sementara itu, Ronaldo kebagian 8,1 persen dan Messi hanya 8 persen dari 87.812 berita-semua ini dalam konteks media daring Indonesia. Nama Prabowo Subianto ternyata bisa bersaing dengan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, meski angka ketiganya dari sudut mana pun tetap inferior dibanding perolehan Jokowi. Ketika Cristiano Ronaldo mendapat kartu merah dalam La Liga Spanyol, dia kurang menjadi berita dalam tiga minggu. Ini tentu menjadi keuntungan bagi Messi dalam tujuh hari terakhir, yang meraup 20,1 persen dan Ronaldo hanya 4,7 persen. Komposisi persentase ini tampak "nyata" sebagai representasi teruji, bukan kibulan. Namun bukan popularitas nama-namalah yang saya uji, melainkan antara politik dan sepak bola. Tadinya, ini ditujukan untuk menguji dugaan bahwa politik (biasanya) menyebalkan sebagai tontonan, dan sepak bola tak kalah asyiknya disaksikan sebagai sirkus politik: perang psikologis antar-pelatih, strategi dalam jual-beli transfer pemain, plus tentu saja praksis dari taktik dan keterampilan individual pemain yang berkarakter di lapangan (jangan lupa, via kacamata media). Jika mengacu pada masa Orde Baru pada 1980-1990-an, jelas persaingan

antara Napoli dan Diego Maradona di dalamnya dengan AC Milan yang mengandalkan Trio Belanda (Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten) lebih layak diikuti ketimbang "persaingan" Golkar, PPP, dan PDI (belum pakai "Perjuangan") saat itu. Sinisme? Ya, yang syukurlah gugur, karena politik Indonesia kini rupanya sudah bukan "sepakbola gajah" lagi. Persaingannya beneran, meskipun uang masih dipakai juga. Artinya, politik Indonesia sudah lebih "layak tonton". Pertanyaannya sekarang, dalam asumsi bahwa dengan segala aspek politisnya sepak bola tetap dipandang sebagai hiburan, terlacaknya popularitas berita-berita politik menunjukkan gejala apa? Sepak bola tersaingi oleh politik sebagai hiburan potensial, ataukah politik sudah lebih dihargai sebagai wacana serius yang boleh lebih diperhatikan daripada sepak bola? Dapat saya ringkaskan, meskipun konstruksi struktural persaingan politik dan sepak bola itu sama, hasil akhirnya mempunyai akibat berbeda: kalah-menangnya Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Chelsea, dan Manchester City barangkali penting bagi kebahagiaan pendukungnya-artinya mempunyai dampak "spiritual", tapi tidak memberi akibat konkret dalam kehidupan praktis. Sebab, sepak bola jika dikembalikan kepada "hakikat"-nya (astaga!) memang adalah "main bola" (baca: keterampilan memainkan bola dengan kaki) sahaja, betapapun telah menjadi fenomena bisnis hiburan (sekali lagi: via media) yang spektakuler. Adapun dalam politik, menang-kalahnya Jokowi atau Prabowo agaknya dianggap akan memberi akibat langsung bagi kehidupan masing-masing (rumah sakit gratis, sekolah gratis, dan tunjangan kemiskinan?), meskipun suka atau tidak suka kepada kepribadiannya yang maha-dahsyat (awas, via media!) itu tetap merupakan faktor determinan tak teringkari. Berbeda dengan masa Orde Baru, ketika rakyat begitu apatis terhadap politik "sepak bola gajah", politik Indonesia masa kini tak lagi sekadar "layak tonton". Dengan demikian, nama Prabowo bisa menyaingi popularitas Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, tapi juga telah dihargai dalam harkat politik itu sendiri: hasil akhir yang ikut kita tentukan akan mempengaruhi kehidupan kita bersama. Mungkin kesadaran semacam ini akan membuat angka golput berkurang dalam Pemilu 2014.

Pesohor
Selasa, 25 Februari 2014 Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan

Layaknya raja-raja, kini para koruptor pun dikelilingi oleh para perempuan, termasuk pesohor (selebritas). Dengan uang yang melimpah, para koruptor mampu membeli kehangatan relasi emosional dari para perempuan penghibur (penyanyi, foto model, bintang sinetron, dan lainnya), baik yang sudah punya nama atau pendatang baru. Motif relasi personal antara pesohor dan koruptor pun bermacam-macam, dari sebatas teman biasa, hubungan profesional, pacar gelap, sampai istri simpanan yang dinikahi secara siri. Perbedaan status itu bisa jadi hanya sekadar predikat untuk konsumsi publik demi menghindar dari stigma buram. Misalnya, perselingkuhan atau jual-beli jasa seksual. Namun, apa pun statusnya, para pesohor itu mengaku mendapat guyuran uang dalam jumlah besar, dari puluhan sampai ratusan juta. Mereka pun mendapatkan barang-barang mewah: mobil, perhiasan, alat-alat elektronik, rumah, dan lainnya. Dalam proses hukum, selama ini status mereka baru sebatas saksi. Mereka masih aman, belum dijerat dengan pasal pencucian uang. Kepada KPK, mereka pun dengan "suka rela" mengembalikan uang dan barang yang pernah mereka terima dari koruptor. Uniknya, sambil menyerahkan barang dan uang itu, mereka memberi pernyataan yang gagah: ikut gigih melawan korupsi. Tak jarang, layaknya pengkhotbah agama, mereka pun berbicara tentang pentingnya moralitas, etika, dan norma. Relasi intim antara pesohor dan koruptor bukan hal baru. Dalam masyarakat tradisional, para pesohor yang dikenal sebagai ledhek (perempuan penghibur) sudah biasa menjalin relasi emosional dengan para penguasa dari kelas demang, tumenggung, adipati, patih, sampai raja. Mereka ada yang dijadikan gundik oleh penguasa. Tradisi relasi ledhek-penguasa ekonomi dan politik itu mengalami transformasi dalam era modern. Ledhek menjelma menjadi selebritas/pesohor berhabitat dunia industri hiburan (budaya pop/massa). Mereka menjadi kelangenan publik dan para pemilik otoritas di berbagai lembaga pemerintah/negara. Mereka memasuki kehidupan jet-set layaknya para sosialita. Mereka bisa menjalin hubungan intim dengan orang-orang parlemen, birokrat, hakim, jaksa, polisi, dan pengusaha. Otomatis, mereka pun tumbuh dan besar dalam atmosfer kelas menengah, akibat cipratan rezeki yang berupa uang dan akses. Hedonisme menjadi ideologi yang mengatur dan menentukan langgam hidup mereka.

Gaya hidup serba mewah demi pelampiasan hedonisme akhirnya memakan diri dan integritas para pesohor. Biaya hidup yang sangat tinggi mengendurkan prinsip-prinsip moral, sehingga mereka menjadi permisif terhadap iming-iming dari para koruptor. Kehormatan pun digadaikan demi meraih kemewahan. Mereka dengan sadar memposisikan para koruptor sebagai sponsor bagi pemuasan hedonismenya. Mereka baru kaget dan malu ketika para pemberi uang dan barang yang selama ini dikenal sebagai orang baik itu ternyata tak lebih dari pemangsa uang negara. Mereka pun sibuk cuci nama dengan berbagai pernyataan yang intinya menjelaskan bahwa, terhadap para koruptor, hubungan mereka netral tanpa kepentingan. Namun, hukum dan penegak hukum (KPK) tidak gampang dibohongi. Hukum mestinya tidak meletakkan mereka sebagai korban, melainkan pihak atau orang yang turut menikmati hasil perampokan uang negara. Jika, terbukti bersalah, para pesohor hitam ini layak dihukum. *

Monorel Bukan Angkutan Massal


Rabu, 26 Februari 2014 Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

Dalam beberapa tulisan atau komentar di berbagai media, saya sering menyampaikan bahwa monorel bukanlah alat transportasi massal yang layak dipakai di kota sebesar Jakarta, seperti layaknya bus kota, kereta api, MRT, dan sebagainya. Monorel merupakan people mover atau alat angkut terbatas berbasis rel yang biasanya dioperasikan di antara terminal di bandara atau di taman wisata, dan daerah perbelanjaan, seperti di Bandara Changi Singapura, Disneyland di AS, serta pusat belanja George Street di Sydney. Untuk kota sebesar dan sepadat Jakarta, monorel sangat tidak cocok karena investasinya mahal dengan penumpang terbatas, dan akan menghasilkan tarif per orang yang sangat mahal. Apalagi monorel Jakarta adalah investasi swasta, jadi tidak berhak atas subsidi pemerintah. Artinya, kerugian bagi pengelola ada di depan mata. Proyek monorel Jakarta ini awalnya memang sudah penuh masalah setelah Temasek Singapura, yang semula akan membangunnya, mundur pada 2004/2005. Setelah itu sempat bergonta-ganti investor, akhirnya proyek PT Jakarta Monorel (JM) ini mangkrak pada masa Foke menjadi Gubernur DKI Jakarta. Padahal pembangunannya dipayungi oleh Keputusan Presiden (Kepres). Pada masa awal Gubernur Joko Widodo (JKW) pada 2013, penulis sempat diundang ke Balai Kota untuk mendengarkan paparan dari Proyek Jakarta Monorel yang seyogianya akan dibangun oleh Konsorsium BUMN. Namun tiba-tiba muncul rombongan PT JM, yang katanya datang atas undangan JKW. Panitia sempat bingung, begitu pula Tim Monorel Konsorsium BUMN yang dipimpin oleh PT Adhi Karya Persero Tbk (AK). Mereka berniat hengkang dari pertemuan tersebut. Di sini sudah terlihat betapa kencangnya PT JM melobi Gubernur JKW. Pada akhirnya memang green line dan blue line diserahkan kembali ke PT JM oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan investor Ortus Holdings milik Edward Soeryajaya. Mereka akhirnya berhasil melakukan groundbreaking bersama Gubernur JKW di Kuningan pada 16 Oktober 2013. Ternyata, eh ternyata, upaya PT JM bersama Ortus Holdings kali ini juga kembali bermasalah dan "mangkrak", yang ditengarai disebabkan oleh adanya kemacetan pembayaran ganti rugi

dari PT JM ke PT AK karena adanya perbedaan nilai pembayaran tiang-tiang monorel yang dibangun oleh PT AK. Maka Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT JM dan Pemprov DKI Jakarta sampai hari ini belum bisa ditandatangani. Sebagai informasi, kontrak antara PT JM dan PT AK untuk pembangunan monorel dilakukan dalam mata uang dolar Amerika (US$). Berdasarkan due diligence BPKP Provinsi DKI Jakarta No. LAP-3178/PW.09/5/2010 tertanggal 21 April 2010, biaya pembangunan, termasuk PPN 10 persen, adalah US$ 14.887.252,10 atau Rp 233.188.159,00. Kemudian, berdasarkan hasil laporan Kantor Jasa Penilai Publik Amin-Nirwan-Alfiantori dan Rekan tertanggal 7 Februari 2013, nilainya adalah Rp 193.662.000,00. Sedangkan berdasarkan Minute of Meeting (MoM) antara PT JM dan PT AK tertanggal 18 Maret 2013, disepakati angka final Rp 190.000.000.000, termasuk PPN 10 persen. Namun ternyata, sampai hari ini, PT JM masih ingkar janji dengan menyatakan bahwa utang PT JM ke PT AK hanya Rp 130 miliar. PT JM melalui Presiden Komisarisnya menyatakan bahwa angka Rp 190 miliar itu termasuk Rp 50 miliar untuk biaya pembuatan stasiun yang tidak pernah ada wujudnya. Karena itu, PT JM hanya mau membayar Rp 130 miliar. Berdasarkan penjelasan Dirut PT AK: "Yang dimaksud dengan stasiun adalah hitungan fondasi dan tiang di lokasi stasiun yang berbeda dengan lokasi yang non-stasiun, bukan bangunan stasiun, yang memang belum pernah dibangun." Menurut saya, PT JM memang mencari-cari masalah karena sejak awal saya ragu perusahaan ini mempunyai dana sebesar Rp 16 triliun untuk membangun monorel. Keraguan saya diperkuat oleh pencantuman ridership (penumpang) di brosur mereka, yang menurut saya "lebay". Dalam brosur dinyatakan bahwa per gerbong monorel dapat mengangkut 253 penumpang (lebih besar daripada MRT dan KRL). Patut diduga bahwa jumlah ridership digelembungkan supaya mendapatkan angka tarif per penumpang yang terjangkau, misalnya Rp 9.000 per penumpang. Menurut hitung-hitungan bodo saya, jika angka ridership-nya wajar, tarif sekali naik monorel bisa mencapai lebih dari Rp 30 ribu per penumpang. Ini tarif yang tidak akan terjangkau oleh publik, dan pasti JKW juga tidak akan setuju. Saran saya untuk Gubernur, batalkan saja Proyek Jakarta Monorel ini karena, selain monorel bukan angkutan umum, PT JM tampaknya tidak akan sanggup membangunnya. Apalagi ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak akan memberikan fasilitas apa-apa kepada investor. Masalah utang-piutang sebaiknya segera diselesaikan saja. Jika PT JM menolak hitunghitungan yang sudah disepakati (Rp 190 miliar), gunakan saja angka resmi dari BPKP dalam mata uang dolar Amerika, yaitu US$ 14.887.252,10. Ini angka sah, bukan angka hasil negosiasi.

Jika PT AK sebagai pemilik tiang-tiang yang mangkrak sanggup meneruskan pembangunan monorel ini, silakan melanjutkan bersama konsorsium BUMN-nya.

Warren Buffett Versus Singkong Emas


Rabu, 26 Februari 2014 Burhan Sholihin burhan_sholihin@yahoo.com

Siapa yang tak ingin kaya mendadak? Bahkan konglomerat-konglomerat dunia, syekh-syekh asal Timur Tengah, atau taipan dari Cina pun masih bermimpi bisa melipatgandakan kekayaannya dalam tempo singkat. Cara mereka macam-macam. Ada yang menyerbu lantai bursa Wall Street, ada juga yang menyuntikkan modal ke perusahaan baru seperti Facebook. Zhao Danyang, seorang pemilik perusahaan investasi dari Hong Kong, punya cara lain lagi. Pada 2010, dia rela merogoh kocek dalam-dalam dan membayar US$ 2,6 juta (Rp 31,2 miliar) untuk mencari ilmu kaya lewat acara Dinner with Warren Buffettt. Zhao ingin makan malam sambil berguru kepada Buffettt, yang sering disebut manusia setengah dewa di dunia investasi. Bertahun-tahun Buffett memang selalu menempati posisi teratas sebagai orang terkaya sejagat. Mimpi menjadi kaya instan itu meracuni hampir semua kalangan di seluruh kolong jagat, tak terkecuali di Indonesia. Dulu, orang berbondong-bondong ke Gunung Kawi untuk mencari pesugihan. Namun kini, orang menyerbu pelatihan-pelatihan untuk kaya secara kilat. "Kaya adalah hak setiap orang," begitu kata mereka. Jangan heran, pelatihan-pelatihan seperti "Beli properti tanpa modal, tanpa DP (down payment)" selalu laris-manis. Ada lagi tawaran pelatihan yang sedang ramai: "Berkebun Emas". Demam berinvestasi itu menjadi makanan empuk para penipu ulung. Tahun lalu, misalnya, ada investasi bodong PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) dan investasi emas Raihan Jewellery. GTIS membawa kabur Rp 2 triliun duit masyarakat. Kini, dugaan penipuan investasi bodong juga muncul lagi. Kali ini modusnya adalah titip modal untuk budi daya singkong, ayam super, dan budi daya lainnya. Menjadi heboh ripuh karena kasus ini melibatkan sebuah perusahaan perencana keuangan yang sedang ngetren. Dugaan investasi bodong itu dilakukan CV Panen Mas asal Sukabumi. Tawarannya sangat menggoda. Titip modal Rp 47 juta untuk tanam singkong, pada bulan ke-11 akan menghasilkan Rp 99 juta. Investasi ini menghasilkan 110,6 persen dalam sebelas bulan. Dahsyat! Para insinyur pertanian pasti ternganga melihat tawaran yang musykil itu. "Itu singkong emas?" Hanya orang yang terhipnotis yang percaya investasi di singkong, atau produk pertanian lain, bisa menghasilkan duit sebanyak itu. "Hukum rimba" di Indonesia membuat margin laba petani nyaris tak pernah di atas angka 15-20 persen dari harga produk. Dengan

harga singkong cuma Rp 700 per kilogram, sungguh mustahil investasi itu bisa menghasilkan laba 110 persen dalam 11 bulan. Sudah banyak contoh investasi bodong, tapi masyarakat tak jera juga. Bahkan Stephen Spielberg dan perusahaan raksasa di Wall Street pun pernah dibodohi oleh Bernard Madoff. Madoff meraup keuntungan US$ 65 miliar (Rp 78 triliun) lewat skema Ponzi. Skema yang berasal dari nama mafia Italia itu menjanjikan imbal hasil yang tinggi, yang duitnya dibayar dari investor yang datang belakangan. Investasi bodong model Panen Mas memakai cara seperti itu. Tawaran laba yang luar biasa kerap membuat mata investor hijau dan lupa akan logika sederhana: masuk akal tidak tawarannya? Apa pun yang instan-kopi, bubur, apalagi investasi-terasa kurang sedap. Jika ingin kaya, kata Warren Buffett, pahami bisnisnya. *

Politik Minus Kebajikan


Rabu, 26 Februari 2014 Buni Yani, Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda

Politikus-politikus busuk sedang merancang siasat untuk melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak lagi efektif memberantas korupsi. Yang paling sistematis dan tentu saja konstitusional adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK. Apakah mereka orang-orang tua dan berasal dari partai Orde Baru? Bukan. Mereka termasuk anak-anak muda yang menikmati kebebasan politik akibat runtuhnya Soeharto yang dulu dilawan karena korupsi. Logika politik ini absurd dan gila, tak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin menentang sesuatu yang dulu diperjuangkan, lalu bergabung dengan penjahat dan menistakan diri ke dalam kubangan politik yang kotor? Anak-anak SD Banten menyeberang jembatan bambu yang bergoyang di atas sungai yang airnya deras bertaruh nyawa, sementara gubernurnya mengoleksi barang-barang mewah berharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang dibeli di luar negeri dengan uang korupsi. Harapan menyehatkan anak bangsa dengan mengkonsumsi protein jadi kandas karena harga daging sapi setinggi langit, bahkan lebih tinggi daripada negara-negara Barat karena suap dan korupsi penyelenggara negara yang diotaki oleh parpol. Kisruh pilkada bisa meledak di mana-mana karena sengketa yang diputuskan MK didasarkan pada siapa yang berani membayar lebih tinggi. Daftar keculasan dan penderitaan yang diakibatkannya ini bisa diperpanjang, dan semuanya disebabkan oleh korupsi. Pertanyaannya, apakah politikus-politikus yang tidak terhormat ini ingin bangsanya terbelakang, bodoh, miskin, dan diremehkan bangsa lain karena tak punya harga diri? Kini sebagian besar ruang publik politik dan ekonomi dikangkangi mereka yang sedang menikmati keistimewaan melalui korupsi. Sesedikit apa pun langkah masyarakat madani untuk mengubah kondisi ini merupakan ancaman yang akan ditanggapi secara reaksioner oleh mereka. Bagi para politikus busuk ini, politik bukanlah kebajikan yang akan menuntun mereka kelak menuju surga di akhirat. Politik bukanlah ibadah yang ketika setiap kali datang rapat, menemui konstituen, dan membuat undang-undang sama nilainya dengan pengabdian kepada Tuhan.

Mereka sudah tercemar sejak dalam niat dan pikiran menjadi politisi yang mengurusi hajat hidup orang banyak. Sebab, kebajikan yang semestinya menjadi penuntun mereka dalam bertindak dan merumuskan kebijakan publik bukan lagi menjadi pelita yang sakral. Mereka adalah para mafia yang menjadikan undang-undang dan peraturan sebagai pistol yang disembunyikan di balik jas mewah mereka. Pistol bisa ditembakkan kapan saja, bisa melukai siapa saja, bila mereka tersudut dan akan tertangkap. Namun mereka lebih berbahaya dibanding para mafia. Sementara mafia cuma bisa membunuh sedikit orang dengan desing peluru yang membabi-buta, para politikus busuk ini bisa merenggut nyawa jutaan orang dengan undang-undang dan peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka adalah kaum yang berpesta-pora di tengah penderitaan rakyat. Mereka ingin menjadikan negeri ini kleptokrasi. Cuma satu cara menghentikannya, yaitu dengan melawannya. Kejahatan yang merajalela, sebagiannya disebabkan oleh diamnya orang-orang baik. Masyarakat harus menandai muka, nama, dan partai para politikus busuk ini menjelang pemilu yang sebentar lagi digelar. Bila memilih mereka, itu sama artinya menciptakan neraka sejak di dunia ini. *

Bencana versus Sabda Alam


Kamis, 27 Februari 2014 Sujiwo Tejo, Dalang

Sudah saatnya kita tak terus-terusan kurang ajar kepada alam. Menyebut letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir bandang, tsunami, dan sejenisnya sebagai bencana alam adalah bentuk kekurangajaran itu. Dengan istilah bencana alam, sadar atau tidak, terkandung kemarahan atau minimal kekesalan kita kepada alam. Bukankah letusan gunung, hujan abu, dan sebagainya hanyalah peristiwa fisika-kimia biasa agar alam secara keseluruhan senantiasa mencapai keseimbangan baru? Hal yang sudah niscaya dalam hukum alam seperti itu, sama halnya dengan pemuaian, penguapan, gravitasi, dan sebagainya, kok dengan sepihak dan sewenang-wenang kita tuding sebagai bencana? Dengan istilah yang mengandung unsur penyalahan alam, aktivitas memindahkan manusia terkesan sebagai kegiatan mengungsikan orang-orang dari ruang dan waktu milik mereka sebelumnya yang kemudian direnggut oleh alam. Padahal, kesibukan itu hanyalah bahumembahu bagi sesama untuk sementara guna mengembalikan ruang dan waktu yang mereka pinjam dari alam sebagai nyonya ruang dan waktu. Saat letusan gunung, angin topan, dan semacamnya terjadi, selalu mengharukan melihat polisi dan tentara rukun dalam membantu warga-pemandangan yang langka untuk "job-job" lain. Sayang, pada saat serentak, selalu membuat sedih. Sedihnya, pekerjaan yang guyubsentosa itu sejatinya didorong oleh niat mengungsikan manusia dari hak milik ruang dan waktunya. Yang dipindahkan pun mempunyai rasa serupa. Adegan lantas tak ubahnya dengan pemandangan mengungsikan warga dari hak milik ruang dan waktunya yang terenggut oleh peperangan. Padahal, peperangan jelas-jelas berbeda dengan letusan gunung. Peperangan itu bencana. Letusan gunung, seperti halnya angin puting-beliung dan sejenisnya, adalah sabda alam. Mereka adalah keniscayaan-keniscayaan yang berlangsungnya tidak bergantung pada nafsu, hasrat, cita-cita, dan lain-lain manusia. Ini sama halnya sabda alam yang terucap dalam hukum gravitasi bumi. Buah apel akan jatuh bila dilepas. Tak peduli apa harapan Galileo maupun Newton terhadap nasib buah tersebut. Apakah jatuhnya apel adalah bencana? Rasanya semua akan sepakat untuk mengatakannya tidak. Herannya, dalam musyawarah tata nilai, sadar maupun tidak, semua masih mufakat bahwa letusan gunung adalah bencana alam.

Buntut lain dari penggunaan idiom bencana alam masih banyak. Di antaranya, kegiatan yang dianggap sebagai pemulihan dari akibat letusan gunung dan semacamnya disebut penanggulangan. Lahirlah, misalnya, lembaga yang dinamai Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Konsisten dengan anggapan sebagai bencana, letusan gunung pun dianggap sebagai masalah. Masalah, sebagaimana lilitan utang, skripsi yang tak kunjung rampung, dan sebagainya, harus ditanggulangi. Padahal, sejatinya, yang bermasalah itu siapa? Yang mencari perkara, ya, kita. Kita semua termasuk saya. Yang berkehendak tinggal di atas ribuan kilometer tapal kuda api. Kita sudah berkehendak menjadi perkara itu sendiri jauh sebelum gunung meletus. Alam tak demikian. Tanah yang labil lantaran tak ditahan oleh akar-akar maupun talut akan tunduk pada sabda alam untuk mencari kestabilan baru dengan cara longsor. Gunung, sungai, hutan, lautan, dan sebagainya tak punya kehendak. Mereka hanya tunduk pada hukum alam untuk selalu mencapai, itu tadi, keseimbangan baru. Konsekuensi menamai sabda alam terhadap semua itu termasuk gempa, sebagai ganti bencana alam, tentu banyak. Antara lain, tak ada lagi nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Adanya Badan Nasional Penyelarasan Sabda Alam. Sabda alam tak perlu ditanggulangi, tak perlu diatasi, apalagi dilawan. Sabda alam hanya perlu diselarasi. Ini klop dengan doa agama-agama leluhur untuk tak minta apa-apa kecuali memohon agar kita senantiasa sanggup menyelaraskan diri dan tunduk dalam harmoni hukum semesta. Harmonisasi terhadap hukum alam itu bisa ditempuh melalui jalan pengetahuan. Selama tinggal di atas tapal kuda api itu, yang percaya ilmu pengetahuan model sekarang biarlah menyimak petunjuk-petunjuk Mbah Rono dan sejawatnya. Yang percaya ilmu pengetahuan model baheula biarlah menyimak petuah-petuah Mbah Maridjan dan para sejawat serta penggantinya, yang melanggengkan cerita-cerita tentang gegunung. Jangan sampai 129 gunung berapi di Nusantara ini kehabisan kisah. Jangan sampai orang-orang berpikir bahwa Gunung Karangetang, Gunung Lokon, dan Gunung Rokatenda sebentar lagi mungkin akan meletus. Tidak! Mereka tak akan pernah meletus. Mereka, bahkan menurut Mbah Rono, hanya akan menepati janji-janjinya. Ya, senantiasa mencari keseimbangan baru dan senantiasa menepati janji-janjinya. Demikianlah sabda alam dalam dua cita rasa ilmu pengetahuan. Soal penggantian bencana alam dengan sabda alam, atau dengan istilah lain kalau ada yang lebih tepat, tidak susah. Mengafkir papan-papan nama departemen menjadi kementerian saja bisa kok. Apalagi mengganti nama-nama yang kuat terkait dengan tata-krama kita terhadap alam. *

Memahami Megawati
Kamis, 27 Februari 2014 | 00:25 WIB Flo. K. Sapto W., Praktisi Pemasaran

Desakan kepada Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP untuk segera mengumumkan kandidat RI-1 semakin kuat. Kristalisasi kandidat-seturut hasil sejumlah lembaga survei dan desakan arus bawah-agaknya menguat pada sosok Jokowi. Namun agaknya Megawati masih bergeming tidak hendak mengumumkannya. Apakah ini sebuah sikap politis yang strategis? Dalam kajian pemasaran, produsen umumnya saling berlomba untuk merilis produknya secepat mungkin. Tidak jarang, bahkan dilakukan dengan agak bombastis. Terlebih lagi jika produk itu adalah inovasi terbaru. Semakin cepat produk dengan fitur-fitur terbaru dikeluarkan, akan semakin berpeluang menguasai pangsa pasar. Itu sebuah iklim kompetisi yang wajar. Namun apakah selalu pemenang bursa adalah yang lebih cepat melepas produknya ke pasar? Seturut pemahaman berdasarkan kategori output yang dihasilkan, partai politik sebetulnya adalah pemain single industry. Sebab, jenis produknya hanya satu, yaitu kader partai politik (man power). Produk-produk hasil kaderisasi kemudian dijual ke publik dalam bursa pemilihan umum. Sebagai bagian dari mekanisme pasar, tentu akhirnya ada kategori produk yang sangat laku, cukup laku, dan kurang laku. Tidak jarang juga sebagian partai politik justru memilih produk dari partai lain untuk dijual. Bisa karena terhambat regulasi (20 persen perolehan suara legislatif), bisa juga karena tidak cukup yakin akan produk sendiri. Mungkin pula karena kurang memiliki jaringan distribusi di semua segmentasi sehingga dikhawatirkan tidak akan bisa menjangkau pangsa konsumen secara luas. Di dalam perspektif inilah agaknya sikap Megawati bisa dipahami. Memaksakan sebuah launching sebelum lulus threshold adalah sebuah keputusan politis yang tidak taktis. Sebab, hanya akan menempatkan partai politik sebagai pecundang, jika kelak tidak melewati ambang batas minimal itu. Meskipun wacana ini sebetulnya diterima dengan enggan oleh para elite PDIP sendiri, terutama para calon legislator. Sebab, dengan adanya pencalonan Jokowi, justru bisa mengangkat keterpilihan mereka dalam bursa pemilihan legislatif. Namun, sekali lagi, Megawati bukanlah politikus kemarin sore. Optimalisasi kinerja mesin partailah yang lebih diharapkan menentukan posisi PDIP. Bukan semata-mata karena faktor Jokowi. Jelas bahwa pemikiran ini akan mendorong PDIP melangkah sebagai sebuah organisasi modern karena lebih mengutamakan mekanisme organisasional daripada ketergantungan figural. Di samping itu, siapa juga yang akan kehilangan kalau pencalonan prematur Jokowi malah berisiko adanya sebuah konspirasi pembunuhan terhadapnya? Fakta lain yang terlihat adalah

bahwa rilis kandidat lebih awal tidak serta-merta meningkatkan elektabilitas, bahkan ketika pasangan itu adalah pemilik jaringan media terkemuka. Tidak juga ketika kandidat yang bersangkutan adalah pengusung romantisisme Orde Baru. Berbeda tentunya ketika produk yang di-launching lebih awal adalah memang eksklusif. Taruhlah seperti dalam setiap rilis Ferrari terkini. Hanya dengan menampilkan prototipenya, sudah akan memunculkan antrean pembeli inden. Jadi, siapa sebenarnya yang sedang berpolitik secara matang? Pemahaman ini bisa saja salah, namun setidaknya pernah dengan gemilang berhasil dilakukan Megawati dalam pemilihan kepala daerah Jawa Tengah pada 26 Mei 2013. *

Peluang Kudeta Konstitusional Pemilu 2014


Jum'at, 28 Februari 2014 Soleman B. Ponto, Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013

Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun, aneh tapi nyata, undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih dapat dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2014. Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Akibat inkonstitusional Pemilu 2014, sangat mungkin pihak terkait, baik para pendukung status quo maupun yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang. Maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa terjadi karena alamiah atau bisa pula rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi ini. Dalam kondisi chaos inilah, apalagi kalau sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, posisi TNI menjadi sangat penting. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan, "Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara."

Sudah sangat jelas positioning TNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada pihak yang mendukung pelaksanaan UUD45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga ia harus menjaga keutuhan bangsa. Bila keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos, TNI wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi pemberontakan bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2 Undang-Undang No. 34/2004. Di sisi lain, dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaos yang mengarah ke perang saudara, karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori konflik bersenjata internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum humaniter. Ini artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi chaos berada di tangan TNI. Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang bertugas di Timor-Timur dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran sehingga menyebabkan perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi saat ini sangat jelas perintah undang-undang kepada TNI agar menegakkan kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga keutuhan bangsa. Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan apabila tidak melaksanakan sumpahnya. Memang, dalam UU TNI Pasal 17 ayat (1) disebutkan, "(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden." Juga dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan tentang operasi militer untuk perang maupun selain perang dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Pertanyaan besarnya, bagaimana TNI harus tunduk ketika posisi presiden maupun DPR dianggap tidak berdasarkan UUD 1945? Dengan demikian, sangatlah jelas keputusan MK--yang membenarkan penggunaan undangundang yang bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Pemilu 2014--akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun memang dengan sengaja direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaos terjadi, terbuka peluang TNI melakukan "kudeta" konstitusional atau kudeta yang diperintah oleh undang-undang. Nah, supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan pada Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda daripada tidak legitimated.

Buku di Masa Kecil


Jum'at, 28 Februari 2014 Setyaningsih, Penulis

Masa kecil ada di lembaran buku. Ikatan pertama tercipta dari tangan yang memegang, mata yang menyaksikan wajah sampul, dan batin yang membaca setiap aksara. Permulaan menjadikan tubuh terus mengingat. Buku pertama yang selesai dibaca pada masa kecil menjadi kenangan puitis. Setelah itu, selalu saja ada buku yang membuat diri takjub, menangis, terluka, tertawa, bersedih, terdiam, marah, dan bahagia. Kita menemukan waktu, ruang, dan peristiwa dalam buku. Dalam buku Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika (1994), Michael Pearson-penulisnya-tidak luput menuliskan ingatan masa kecilnya di halaman pengantar. Buku ini menjadi ruang pertemuan Pearson dengan para pengarang dan pelbagai tempat mereka mencipta karya. Ingatan masa kecil Pearson bersama buku menjadi rujukannya untuk terus membaca dan bertualang. Pearson mengakui bahwa masa kecilnya itu menjadi bekal baginya untuk terus ada bersama buku-buku. Pearson menulis, "Kenangan yang masih begitu nyata dari masa kanak-kanak adalah hurufhuruf itu sendiri." Pearson belajar membaca di kelas I. Sejak kecintaan membaca terbit, kehendak untuk menulis buku ini pun berawal. Pearson ingin melihat tempat di mana tulisan para pengarang masih meninggalkan magis. Steinbeck dan Twain ada di ingatan Pearson sejak masih kanak-kanak. Setelah dewasa, Pearson semakin mengagumi mereka. Buku merepresentasikan bergeraknya waktu bersama para juru kisah. Buku mengasuh imajinasi. Buku mengasuh masa bocah yang lugu dan selalu ingin tahu. Hari-hari menjadikan buku teman itu kenyataan. Bersama buku, mereka seperti mendapatkan teman yang baik dan bersahaja. Namun betapa kebahagiaan itu tidak berhenti mengalir ketika orang tua menjadi peletak pertama kecintaan kepada buku. Peristiwa membeli buku pada akhir pekan, membacakan buku sebelum tubuh terlelap, atau hadiah buku akan menjadi ingatan sepanjang masa. Hari ini, kebanyakan anak tidak lagi merasakan kegairahan imajinasi dalam asuhan buku. Anak-anak diasuh oleh media yang lebih canggih sekaligus buruk. Mereka lebih akrab dengan televisi dan video game. Media-media ini mendapat keberpihakan dari orang tua untuk menjadi pengasuh selama mereka bekerja dan berkutat dengan kesibukan. Lebih baik anak tinggal di rumah dengan segala kecanggihan daripada keluar bermain di tanah lapang. Buku-buku pun sekadar menjadi selingan ketika mereka tidak belajar. Tentu, buku-buku

bergelimang imajinasi, seperti dongeng, cerita binatang, dan legenda, tidak masuk daftar buku untuk belajar. Buku-buku ini tidak akan menghuni meja belajar. Pun tidak akan menambah prestasi sekolah atau sekadar naik pangkat menjadi hadiah untuk menggantikan buku tulis. Tidak dapat disangkal bahwa buku memang menjadi salah satu produk kemajuan zaman. Dulu, anak-anak dikelilingi oleh cerita-cerita lisan dan tembang-tembang dolanan yang dinyanyikan orang tua. Namun kini, anak-anak semakin kehilangan keduanya. Pada abad ke-21, buku dan cerita-cerita lisan tertinggal jauh. Petuah dan nasihat tersegel tanpa terbaca. Sedangkan produk percepatan dan teknologi berkejaran mendapat perhatian dari anak-anak. Dan, apa yang dikatakan oleh Joko Pinurbo (1999) tak akan teralami oleh anak-anak dan imajinasinya. "Masa kecil kau rayakan dengan membaca. Kepalamu berambutkan kata-kata." *

Mengkritisi Jokowi
Jum'at, 28 Februari 2014 Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Gaya kepemimpinan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) hingga detik ini masih menjadi idola sebagian publik. Terbukti elektabilitas Jokowi bertengger pada posisi tertinggi versi hasil survei calon presiden. Aktivitas blusukan Jokowi menjadi trademark bahkan menjadi kosakata baru dalam ranah bahasa Indonesia. Mimik dan bahasa tubuh yang terkesan ndeso juga menjadi oasis di tengah sikap jumawa para politikus yang duduk asyik di singgasana kekuasaan. Namun, khususnya warga Jakarta, seyogianya sudah mulai kritis terhadap performa (kinerja) Jokowi dalam mengelola kompleksitas permasalahan di Jakarta. Memori warga Jakarta harus dibangunkan, mengingat usia politik Jokowi sudah hampir 1,5 tahun (16 bulan) dalam memimpin DKI Jakarta, apalagi jika dikaitkan dengan janji Jokowi saat berkampanye sebagai calon gubernur (2012). Misalnya Jokowi dengan tegas menyatakan "tak ada lagi kemacetan" dan "tak ada lagi banjir" di Jakarta. Dalam konteks janji kampanye "tak ada kemacetan di Jakarta...", ini nyaris belum tersentuh. Hingga detik ini, Jokowi belum menelurkan kebijakan apa pun untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Memang, pada awal kepemimpinannya, Jokowi sempat menelurkan wacana pemberlakuan sistem ganji- genap. Wacana ini tak sempat menguat, bak hilang ditelan bumi, hingga sekarang. Ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya (kepolisian) menjadi alasan utama gagalnya implementasi ganjil-genap. Bahkan electronic road pricing (ERP), yang secara konsep dan regulasi lebih siap, pun tak jelas juntrungannya. Potret pelayanan angkutan umum juga belum ada perubahan apa pun: ngetem sembarangan, sopir ugal-ugalan, memutar sebelum tujuan akhir; masih menjadi pemandangan sehari-hari. Metro Mini berkarat pun masih berseliweran di seantero Jakarta. Janji Jokowi untuk mendatangkan 1.000 bus sedang hingga kini belum nongol satu pun. Bahkan jadi atau tidak pun tidak diketahui. Paling konyol adalah kasus impor bus baru Transjakarta (dari Cina) yang terbukti sudah berkarat. Jokowi pun belum mampu menambah jalur/koridor baru Transjakarta. Standar pelayanan minimal (SPM), yang drafnya sudah ada sejak Gubernur Fauzi Bowo, belum juga diratifikasi. Akibatnya, kendati Transjakarta menjadi sistem BRT (bus rapid transit) terpanjang di dunia (191 km), toh di sisi lain Transjakarta menjadi satu-satunya sistem BRT yang beroperasi tanpa SPM.

Rencana membangkitkan kembali pembangunan monorel juga terancam gagal akibat tidak akuratnya penghitungan jumlah modal dan jumlah penumpang. Bahkan, sejak awal, pembangunan monorel--jika diestimasikan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta--tak banyak mendulang dukungan. Sebaliknya, Jokowi justru merestui pembangunan dua ruas tol dalam kota di area Jakarta Utara, dan ini merupakan pemantik untuk melanjutkan pembangunan enam ruas tol dalam kota. Sekali lagi, sudah 16 bulan Jokowi memimpin Jakarta, tapi janji untuk mewujudkan "Jakarta Baru" belum tampak, khususnya jika diukur dengan parameter manajemen transportasi dan mengatasi banjir. Apalagi, jika Jokowi benar-benar turut berkompetisi dalam pilpres mendatang (seandainya terpilih), semangat mewujudkan Jakarta Baru hanya akan menjadi dongeng belaka. Apakah ini yang akan diwariskan oleh Jokowi untuk warga Jakarta? *

Negarawan
Kamis, 27 Februari 2014 Putu Setia, @mpujayaprema

Ada 12 calon hakim konstitusi yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka akan bersaing untuk mengisi dua kursi yang ditinggal Akil Mochtar dan Harjono. Akil kini sedang diadili dalam perkara suap, sedangkan Harjono akan segera pensiun. Dari 12 calon hakim itu, sembilan orang adalah dosen yang mengajar di fakultas hukum, seorang pensiunan di Kementerian Hukum, seorang notaris, dan seorang lagi anggota DPR dari fraksi PPP, Dimyati Natakusumah. Gembar-gembor sebelumnya menyebutkan, ada empat anggota DPR yang akan "melamar pekerjaan" sebagai hakim MK, tiga yang tidak jadi itu adalah Benny Kabur Harman dari Fraksi Demokrat, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan Taslim Chaniago dari Fraksi PAN. Hakim konstitusi adalah negarawan, UUD 1945 menyebutkan demikian. Apakah mereka negarawan? Menarik ketika Dimyati, dalam sebuah tayangan di televisi, menyebutkan dirinya seorang negarawan. Alasannya, pernah menjadi pejabat negara, yakni bupati dua periode di Kabupaten Pandeglang dan menjadi wakil rakyat. Bagi dia, itulah negarawan, seperti halnya sastrawan adalah pengarang sastra dan dermawan adalah orang yang suka bederma. Kalau negarawan seperti itu, camat dan lurah pun bisa disebut negarawan. Dimyati sepertinya tak bisa membedakan antara negarawan dan orang yang bekerja untuk negara. Yang terakhir ini umum disebut pegawai negeri. Padahal negarawan bisa juga tokoh yang tak pernah menjadi pegawai negeri. Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Ada beberapa unsur di sini: ahli, taat asas, bijaksana, dan berwibawa. Beda dengan sastrawan, yang dalam kamus disebut: (1) ahli sastra dan (2) pengarang prosa dan puisi. Tak disebutkan apakah mereka harus taat asas dalam menulis puisi, apalagi dikaitkan dengan wibawa. Wartawan dalam KBBI disebut: orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, juru warta. Apakah sudah ahli dalam jurnalistik dan punya kewibawaan? Tak dipersoalkan. Dermawan dalam KBBI disebut: pemurah hati, orang yang suka bederma. Bahkan dramawan hanya dengan dua kata: pemain drama.

Jadi, "wan" dalam negarawan tak bisa disamakan dengan "wan" dalam sastrawan, wartawan, dermawan, darmawan, maupun "wan-wan" yang lain. Rujukan para ahli bahasa yang dirangkum dalam kamus ini menjadi "bahasa kebatinan" para perumus konstitusi ketika mengamendemen (ketiga) UUD 1945 dan melahirkan Pasal 24C ayat 5 yang menyebutkan persyaratan negarawan buat hakim konstitusi itu. Negarawan hanya salah satu syarat, lainnya integritas tinggi dan tidak tercela. Nah, apakah Dimyati Natakusumah seorang negarawan, seorang ahli dan bijaksana, serta berintegritas tinggi dan tidak tercela, sebagaimana disyaratkan konstitusi dan sebagaimana bunyi KBBI, tentu terpulang pada tim seleksi yang semuanya adalah koleganya sendiri di Senayan. Ke-11 calon lainnya baik juga mematut-matutkan diri, apa benar seorang negarawan. Masyarakat wajib mengawal seleksi ini agar MK bisa selamat untuk sementara, sebelum ada penyelamatan yang menyeluruh. *

Pelukis Tamu Agung


Sabtu, 01 Maret 2014 Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni

Beberapa hari lalu saya mendapatkan berita yang memprihatinkan. I.B. Said, 80 tahun, sang Pelukis Tamu Agung (Tamu Negara), yang selama 46 tahun bekerja untuk Istana Kepresidenan, sedang sakit keras, bahkan terkena stroke. Pelukis itu dirawat di rumah anaknya, setelah beberapa minggu tergolek di rumah sakit sederhana di kawasan Jakarta Selatan. Kondisi ekonominya yang relatif lemah menyebabkan ia tersengal-sengal untuk merawat dirinya sendiri. Biaya perawatan dirasakan sungguh mahal bagi seorang Said, yang selama hidupnya bermukim di rumah kontrakan di bilangan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta Pusat. Dari situ lalu muncullah rentengan keheranan lewat SMS. Misalnya: "Ganjil rasanya seorang Pelukis Tamu Agung Istana Presiden harus merana di hari-tuanya. Padahal ia telah membantu negara dalam tempo begitu lama". "Di luar negeri, seorang Pelukis Tamu Agung adalah ikon Istana Kepresidenan yang harus dijamin penuh kehidupannya". Namun SMS-SMS itu cuma berujung sebagai gumam kekecewaan. Lantaran, dalam kenyataannya, selama empat setengah dekade bekerja keras untuk Istana Presiden, Said hanya diganjar honorarium ala kadarnya, yang sangat kecil dibanding kerja keras dan kemampuannya. Upah yang berpatuh pada administrasi negara itu terhitung menyedihkan apabila dikomparasi dengan perintah kerja yang nyaris selalu mendadak dan serba tergesagesa. Menengok masa silam, alkisah, setelah belajar seni di Malang, Yogyakarta, dan Bandung, Said lantas ke Jakarta pada 1960. Di sini ia bergabung dengan Panitia Negara pimpinan Henk Ngantung yang tugasnya memperindah kota. Dua tahun kemudian kariernya sebagai Pelukis Tamu Agung dimulai. "Saya mengawali dengan melukis kancing-kancing baju Presiden Sukarno dan busana tamu agung yang akan hadir di Jakarta," ujarnya. Lalu jalan hidup kepelukisannya semakin jelas. Potensinya dalam melukis potret mengangkat dirinya dipilih Sekretariat Negara sebagai "pelukis tetap" tamu agung. Lukisan itu mirip baliho berukuran 5 x 4 meter, yang difungsikan sebagai potret penyambutan di beberapa jalan protokol. Semua itu disertai lukisan berukuran 90 x 70 sentimeter, yang dipajang di Istana Negara tatkala sang tamu agung dijamu. Tentu prestasi yang tiada dua di dunia ketika diketahui bahwa Said telah melukis lebih dari 220 tamu agung. Pekerjaan ini dilakoni dengan setia dari 1962 sampai 2008.

Dan, sesuai dengan aturan, lukisan-lukisan tamu agung itu selalu didampingi lukisan potret presiden Indonesia dan ibu negara, yang juga ciptaannya. Lalu era Orde Baru pun memunculkan realitas yang luar biasa: Said harus melukis potret Presiden Soeharto dan Ibu Tien sebanyak hampir 500 kali! Hitungannya, dalam setahun ia melukis sepasang penguasa ini sekitar 16 kali. Jumlah ini dikali dengan masa Pak Harto menjabat presiden, 32 tahun. Alhasil, ketika Pak Harto lengser, prestasi Said ini diceritakan oleh berbagai media massa Indonesia dan internasional, seperti CNBC, Reuters, dan AFP. Bahkan ada yang mengusulkan agar Said diganjar "Soeharto Award". Namun, ha-ha-ha!, jangankan "Soeharto Award". Ganjaran paling mendasar seperti "Kecukupan Award" saja belum sempat ia terima. Tampaknya dedikasi Said sebagai Pelukis Tamu Agung Istana Presiden (sejak dulu) tidak dianggap istimewa oleh pemerintah. Atau jangan-jangan, nasib Said adalah potret nasib semua seniman pengabdi negara Indonesia.

Sikap Risma, Kebisuan Mega


Sabtu, 01 Maret 2014 Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center

Satu lagi kepala daerah mencuri perhatian publik. Setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, kini nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencuat menjadi bahasan utama berbagai pemberitaan di media massa. Beberapa hari belakangan, Risma-sapaan akrab Rismaharini--memang tengah mendapatkan sorotan publik terkait dengan isu rencana pengunduran dirinya dari jabatan Wali Kota Surabaya. Rencana itu menjadi isu nasional lantaran berembus kabar adanya tekanan-tekanan politik terhadap Risma. Harus diakui, sejak terpilih sebagai Wali Kota Surabaya atas sokongan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilukada 2010, Risma segera mencuri perhatian publik. Berbagai kebijakan dan langkah berani diambil Risma demi membenahi wajah Kota Pahlawan. Sejumlah kebijakan dan langkah berani itu antara lain menutup lokalisasi prostitusi Dolly dan menolak pembangunan ruas jalan tol dalam kota atas alasan pembangunan sarana transportasi massal. Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, tanpa rasa canggung, Risma turun langsung ke lapangan melayani masyarakat, seperti membagikan masker kepada masyarakat ketika terjadi erupsi Gunung Kelud. Tidak kalah penting catatan positif lain dari Risma adalah bersih dari tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Risma pernah dengan tegas menolak titipan sejumlah nama camat dan lurah untuk dipromosikan di jajaran birokrasi Pemerintah Kota Surabaya, meski titipan namanama itu berasal dari PDIP. Berbagai catatan positif kinerja Risma di atas tentu menjadi nilai plus tersendiri bagi PDIP. Belum lagi catatan positif yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta sekaligus bekas Wali Kota Solo Joko Widodo. Alhasil, PDIP pun berpeluang menuai dukungan elektoral terbesar dalam pemilu legislatif 2014. Apresiasi positif publik dengan segala puja-puji terhadap kedua kepala daerah asal PDIP tersebut tentu merupakan berkah tersendiri menjelang pelaksanaan pemilu legislatif April mendatang. Untuk itu, sudah semestinya PDIP "menjaga" mereka dengan cara selalu memberikan dukungan politik terhadap segala langkah dan kebijakan yang diambil oleh kedua kepala daerah tersebut. Dengan selalu memberikan dukungan terhadap Joko Widodo dan Risma, PDIP akan tercitrakan sebagai partai politik yang memperjuangkan kepentingan publik luas dan memiliki semangat antikorupsi. Namun kesempatan untuk memperoleh citra positif itu

perlahan mulai menjauh seiring dengan keputusan PDIP mengajukan Ketua DPC PDIP Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota menggantikan Bambang Dwi Hartono yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur. Segera setelah Wisnu ditunjuk sebagai wakil wali kota, Risma langsung bereaksi menunjukkan rasa ketidaksukaan dengan tidak menghadiri pelantikan sang wakil. Sudah menjadi rahasia umum bila secara politik Risma dan Wisnu cenderung berseberangan dan bertolak belakang. Saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, Wisnu merupakan salah satu inisiator hak interpelasi terhadap Risma. Hak interpelasi diajukan sebagai respons terhadap kebijakan Risma menaikkan pajak papan reklame. Selain itu, Wisnu dikenal sebagai pendukung pembangunan ruas jalan tol dalam kota yang ditolak Risma. Dari sini kemudian berembus kabar bahwa Risma memiliki rencana untuk mengundurkan diri. Di tengah dukungan publik Kota Pahlawan dan sejumlah pihak, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), agar Wali Kota Terbaik Dunia Februari 2014 versi The City Mayors Foundation tersebut tidak mengundurkan diri, PDIP justru terlihat pasif. Bahkan, sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pun terlihat membisu. Wajar jika kemudian muncul sejumlah pertanyaan di benak publik. Mengapa PDIP bersikap pasif terhadap kegelisahan Risma? Apa maksud politik PDIP mengajukan Wisnu mendampingi Risma sebagai wakil wali kota, padahal mereka mengetahui kedua tokoh itu sangat berseberangan dalam sikap politik? Sikap pasif PDIP dan kebisuan Megawati hanya akan mengundang kecurigaan publik bahwa PDIP tidak tulus mendukung Risma sebagai wali kota dalam pemilukada empat tahun lalu. Lebih dari itu, rasa curiga publik terhadap sikap pasif PDIP juga dapat berujung pada penilaian bahwa Risma sesungguhnya memang tengah dinantikan untuk segera mengundurkan diri oleh partai berlambang moncong putih tersebut. Jika langkah pengunduran diri diambil oleh Risma, maka Wisnu, yang dinilai lebih mudah dikendalikan, dapat didorong untuk menduduki kursi wali kota. Apabila kelak hal itu memang benar terjadi, akan menjadi sebuah blunder politik serius bagi PDIP menjelang pelaksanaan pemilu legislatif April mendatang. Keberpihakan PDIP terhadap Wisnu dalam konflik politik dengan Risma akan berpotensi membawa dampak buruk terhadap pencapaian elektoral PDIP di Kota Pahlawan atau bahkan juga di tingkat nasional. Hal itu tidak mustahil terjadi mengingat selama ini Risma--bersama Joko Widodo--telah mengukuhkan (kembali) positioning politik PDIP sebagai partai wong cilik. *

Sertifikasi Halal
Sabtu, 01 Maret 2014 Benni Setiawan, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta

Memalukan. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan "jual-beli" sertifikasi halal oleh oknum Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI, sebagai kumpulan orang alim (berilmu) dan menjadi corong umat Islam, ternyata belum mampu membentengi diri terhindar dari "urusan dunia". Mereka seakan tidak ada bedanya dengan manusia lain yang culas dan korup. Mereka hidup bergelimang kemewahan dan kedudukan yang diraih tanpa kerja keras dan menggadaikan idealisme. Ironisnya, dalam sertifikasi halal, mereka menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga murah. Terungkapnya "jual-beli" sertifikasi halal ini mengingatkan saya akan perkataan Profesor M. Amin Abdullah enam tahun lalu. Saat perkuliahan "Pendekatan dalam Pengkajian Islam", mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga itu menyatakan, sertifikasi halal selayaknya diberikan kepada universitas (perguruan tinggi). Guru besar bidang filsafat Islam itu beralasan, melalui pengkajian berbasis integratif-interkoneksi, labelisasi/sertifikasi halal/haram dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih lanjut, ia menyatakan sertifikasi halal bukan hanya domain ilmu agama. Tapi juga berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pasalnya, dalam menyatakan bahwa daging babi itu haram tidak hanya berdasar pada narasi besar dalam teks Al-Quran. Tapi juga perlu pengkajian tentang ilmu biologi, kimia, dan gizi. Pengkajian ilmu itu tentu menjadi keseharian akademisi di perguruan tinggi. Pendapat tersebut tentu sangat beralasan. Pasalnya, jika sertifikasi halal mutlak hanya menjadi milik MUI, yang terjadi adalah "monopoli fatwa". Artinya, perspektif kehalalan hanya muncul dari satu bidang ilmu. Padahal ilmu tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan bidang ilmu lain. Monopoli fatwa ini pun cenderung menyeret oknum di dalamnya bersikap tidak independen. Mereka akan mudah tergoda oleh banyaknya uang yang digelontorkan pengusaha demi mendapatkan stempel halal. Uang pun kembali menunjukkan kuasanya. Ia dapat membeli kehendak seseorang. Uang mengendalikan alam bawah sadar dan kesalehan menuju pengingkaran keimanan dan kemaslahatan (kepentingan orang banyak). Oleh karena itu, sudah selayaknya sertifikasi halal tidak hanya menjadi pekerjaan utama

MUI. MUI seyogianya menyerahkan pengkajian kehalalan kepada perguruan tinggi. Sertifikasi halal yang dilakukan oleh perguruan tinggi pun dapat menjauhkan ulama dari kepentingan duniawi. Kedudukan ulama dikembalikan sebagai lentara umat. Ia senantiasa menerangi dan menyatu dalam nadi kehidupan bermasyarakat. Labelisasi ulama suu' (buruk) pun akan lenyap dengan sendirinya. Pasalnya, ulama jauh dari "pekerjaan" yang dapat menyeret mereka ke dalam lembah kenistaan. Lebih dari itu, sertifikasi halal merupakan pintu masuk ketenteraman batin umat Islam. Guna menjamin itu, meminjam istilah Imam al-Ghazali (w. 1111 M)-dalam merumuskan tujuan adanya syariat (maqasid syariah)--aktivitas penghalalan selayaknya juga mencerminkan kerja intelektual yang menjamin pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs) dan menjamin optimalisasi kerja akal (hifz al-aql). Pada akhirnya, dugaan "jual-beli" sertifikasi halal oleh oknum MUI selayaknya menyadarkan semua pihak bahwa kehalalan bukan hanya menjadi ranah keagamaan an sich, tapi juga berkaitan erat dengan produk keilmuan lain (hajat hidup orang banyak).

Anda mungkin juga menyukai