Pada 1961, Yevgeny Yevtushenko menulis sajak tentang orang-orang yang terbunuh di jurang panjang yang suram di timur laut Sungai Dnieper: Akulah tiap orang tua
yang di sini
ditembak mati
Akulah tiap anak
yang di sini
ditembak mati Dua puluh tahun sebelumnya, di jurang di Ukraina itu, di Babi Yar, hampir 34 ribu orang Yahudi-termasuk anak-anak, orang tua, perempuan-dibunuh pasukan Jerman hanya dalam waktu dua hari, 29-30 September 1941. Yevtushenko bukan Yahudi; sajak itu, "Babi Yar", menyatakan, "dalam diriku tak ada darah Yahudi." Tapi ia menggugat apa yang terjadi di tempat itu sebagai kebuasan yang sedang dilupakan-dan dengan demikian juga kebuasan lain di masa lalu yang tak diakui. Penyair Rusia ini menuliskan sajaknya setelah Stalin mangkat dan orang bisa membacanya sebagai pengingat kekejaman yang pernah terjadi di masa lalunya sendiri-sebagaimana kita di Indonesia akan bisa membacanya dengan ingatan yang mirip. Tentu, pembantaian Jerman terhadap orang Yahudi tak terbandingkan-karena tiap kekejaman sebenarnya tak bisa dibandingkan. Seperti yang di Babi Yar itu. Seorang sopir truk pasukan Jerman yang berada di tempat itu menceritakan kesaksiannya: Setelah ditelanjangi, orang-orang Yahudi itu digiring ke dalam jurang, melalui dua atau tiga celah masuk. Ketika mereka sampai di dasar, para petugas Schutzpolizei mendorong mereka agar berbaring di atas mayat orang-orang yang baru saja ditembak. Semua terjadi dengan cepat. Mayat itu berlapis-lapis. Seorang polisi datang dan menembak leher tiap orang Yahudi di tempat ia terbaring dengan senapan semi-otomatis. Begitu satu orang Yahudi tewas, si penembak akan berjalan melintasi tubuh orang mati itu untuk menembak korban yang lain. Ini berlangsung tanpa henti, dan semua-laki-laki, perempuan, anak-anak-dihabisi. Anak-anak dibaringkan dekat ibu mereka dan ditembak bersama-sama. Tapi, dengan kekejaman yang membunuh hampir 34 ribu orang dalam dua hari, yang tak terbandingkan itu tetap memergoki kita dengan pertanyaan tentang manusia pada umumnya: sebuas itukah makhluk ini? Dari sejarah Jerman, jawabnya bisa bermacam-macam. Ada kebencian rasial kepada mereka yang berbeda, dan sejak sekian abad yang lalu yang berbeda itu berarti Yahudi. Ada perasaan bangsa yang terhina dan rakyat yang menderita setelah kekalahan dalam Perang Dunia I, disertai kerinduan akan negara kuat, pemimpin yang kuat, dengan dendam yang berkobar. Tapi, dengan sebab-musabab yang khas Jerman seperti itu, Hitler dan rezimnya tetap ingin diakui sebagai bagian dari sesuatu yang universal. Sang Fuehrer percaya bahwa kehidupan pada dasarnya bengis: "Hukum kehidupan di dunia," kata Hitler dalam sebuah jamuan siang 10 Oktober 1941, "mengharuskan pembunuhan yang terus-menerus, agar mereka yang mutunya lebih baik bisa hidup." Yang merisaukan adalah bahwa pembunuhan memang terjadi di tempat lain, dilakukan bangsa lain-seakan-akan sejarah tak bisa berubah, manusia pada dasarnya bengis, dan Hitler membawakan tata normatif yang benar: "hukum"-nya layak sebagai hukum, bersifat kekal, dan berlaku di mana saja. Tapi kita ingat: ia menyebut "kehidupan". Kehidupan berubah. Beberapa kekejaman yang terjadi bukanlah sekadar versi baru dari thema yang itu-itu juga. Hitler sendiri berada dalam zaman yang lain dari zaman Genghis Khan, misalnya, dengan ambisi dan hasrat yang lain dan cara-cara melaksanakan hasrat yang lain pula. Maka ketika ia mengemukakan bahwa pembunuhan adalah "hukum kehidupan", ia sesungguhnya mencoba menghalalkan kekejaman dan pembinasaan yang dirancang dan dilaksanakannya. Ia seperti hendak mengatakan, "Aku tak bersalah, aku hanya menjalankan apa yang sudah ada dan akan ada terus dalam sejarah manusia." Yang tak diakuinya ialah bahwa ia perlu mengajukan apologi itu (atas nama "hukum kehidupan") karena ada sesuatu yang lain, yang berada di luar "kehidupan" yang dilihatnya: ada suatu tata normatif yang berbeda, sesuatu yang belum ditaklukkannya. Dan itulah yang kemudian terbukti. Tata normatif Hitler tak bisa bertahan, bukan hanya karena ia kalah perang. Sajak Yevtushenko menuturkan: bila kekejaman menemukan sekutunya di masa lain, di tempat lain, demikian juga sang korban. Sang "aku" yang merasa senasib dengan mereka yang dibantai di jurang Babi Yar juga melihat dirinya di tempat pembunuhan yang jauh, di sebuah hari yang jauh: Dan di sini, pada salib, aku mereka musnahkan dalam siksa,
Dan sisa paku itu di tubuhku masih ada Dengan kata lain, kepada kekejaman baru akan selalu ada gugatan baru. Juga orang-orang yang berkata "tidak" secara baru. Goenawan Mohamad
Dolly Minggu, 01 Juni 2014
Putu Setia
Mari lupakan sejenak soal capres-cawapres. Meski segera memasuki masa kampanye, urusan copras-capres yang riuh selayaknya diselingi urusan lain. Saya tawarkan Dolly. Bukan kisah Dolly Parton dan juga tak menelusuri Tante Dolly yang mewariskan Gang Dolly itu. Ini cerita tebak-tebakan apakah upaya Ibu Tri Rismaharini berhasil menutup lokalisasi Dolly. Gang Dolly begitu populer. Lokalisasi yang berada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, ini akan ditutup oleh Wali Kota Surabaya Risma pada 19 Juni nanti, 10 hari sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Apakah Risma, wali kota dengan seabrek penghargaan, berhasil menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu? Apa pun hasilnya, ini berita penting, sepenting berita Piala Dunia di Brasil, dan jauh lebih penting dari kampanye capres yang bikin bodoh rakyat itu. Bisnis esek-esek di Dolly dilayani lebih dari seribu wanita pelacur. Mau angka lebih pasti, ini catatan bulan lalu: ada 1.187 pelacur dengan 311 muncikari. Angka itu melonjak dibanding akhir 2012 sebesar 1.022 pelacur dan 292 muncikari. Jadi, pertumbuhannya meyakinkan setiap tahun. Wali kota sebelum Risma gagal terus menutup Dolly. Wali kota Bambang Dwi Hartono, misalnya, hanya berhasil menahan pertumbuhan Dolly dengan membatasi jumlah pelacur di tiap wisma. Kini Risma tegas menutup Dolly, tapi tidak kejam, apalagi melanggar HAM. Tak ada wanita penghibur ataupun muncikari yang diculik. Risma melakukan dialog berkali-kali dan menjanjikan modal usaha kepada setiap pelacur setelah melakukan serangkaian pembinaan. Tak ada janji-janji untuk jabatan atau lapangan pekerjaan tertentu bagi yang lain, seperti tukang parkir, muncikari, dan para preman. Tak ada janji, misalnya, kalau Dolly berhasil ditutup, tukang parkir itu akan ditampung di tempat lain dengan status "tukang parkir utama". Langkah Risma tidak mulus. Muncul koalisi penentang penutupan Dolly dari ormas dan LSM dadakan. Koalisi ini adalah gabungan masyarakat sekitar yang sehari-hari mencari nafkah di gang yang kini sudah tak mirip gang itu. Alasannya, rezeki terganggu, bahkan menjadi pengangguran lantaran sulit mencari kerja. Jadi, koalisi yang semata-mata urusan cari makan. Hebatnya, koalisi ini didukung juga oleh sejumlah "intelektual" yang mungkin sakit hati kepada Risma dengan alasan yang "ilmiah". Misalnya, kalau Dolly ditutup, bagaimana jika pelacur itu bergentayangan ke jalan-jalan, bukankah lebih sulit mengontrol kesehatannya? Penutupan Dolly hanya membikin resah kota lain yang akan menampung wanita yang terusir itu. Dan mereka pun menyebut Lamongan, Tuban, juga Bali, akan terkena dampak sistemik dari tutupnya Dolly. Risma tetap konsisten, ora mikir dengan alasan itu. Ibu yang dijuluki Singa Kota itu punya alasan lebih manusiawi: memutus generasi yang merendahkan harga diri dengan menjual tubuh. Risma mengulang senjatanya yang terkenal ampuh, mengaku menangis dan miris ketika menyaksikan kehidupan di Gang Dolly, melihat anak-anak kecil dan usia remaja berada dalam "kawah prostitusi". Dan Risma pun bicara dalam bahasa agama yang sederhana: mbok mencari nafkah di jalan yang halal, jadilah wanita terhormat. Saya tak tahu siapa nanti yang menang, seperti juga saya sulit menebak siapa yang menang di Brasil, serta siapa yang menang menjadi presiden, Jokowi atau Prabowo. Tapi, kalau Tuhan memihak kebenaran, orang-orang jujur, ikhlas dan sederhana, bekerja sesuai dengan perintah agama, dialah yang lebih besar menang. Dolly mungkin berhasil ditutup seperti Kramat Tunggak di Jakarta, lenyap tanpa bekas.
Teknologi dan Keamanan Pangan
Senin, 02 Juni 2014 Clive James, Pendiri the International Service for the Acquisition for Agri-biotech Applications
Pada 2050, populasi dunia diperkirakan akan mencapai lebih dari 9 miliar jiwa, di mana 60 persen dari total tersebut, atau sekitar 5 miliar jiwa, berada di Asia. Ini berarti, Asia-sebagai benua dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia-akan menghadapi tantangan terbesar dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Sayangnya, komoditas makanan pokok masyarakat, seperti beras, gandum, dan jagung, jumlah produksinya masih berada jauh di bawah yang seharusnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, negara- negara di Asia harus mampu meningkatkan produksi pertanian secara signifikan.
Kenyataannya, pemenuhan permintaan atas kebutuhan makanan yang berkelanjutan semakin sulit. Air dan lahan subur dinilai semakin langka. Area tanah lebih banyak digunakan untuk industri ketimbang pertanian. Investasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian juga terkesan lamban, belum lagi kondisi pemanasan global yang menyulitkan proses untuk menghasilkan makanan. Semua hal ini menjadikan keamanan pangan sebagai prioritas agenda kebijakan pemerintah di negara-negara Asia.
Bioteknologi dipandang sebagai salah satu solusi paling tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Selain mampu meningkatkan produktivitas, bioteknologi dapat menyokong produksi tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim seperti yang dialami oleh sebagian besar negara di Asia, termasuk Indonesia. Hal ini karena bioteknologi memiliki dua keuntungan- ketelitian serta kecepatan-sehingga menjadikannya salah satu metode paling efektif untuk mengidentifikasi gen dengan karakteristik berbeda dalam waktu singkat, seperti gen untuk meningkatkan produktivitas atau toleransi terhadap penyakit tanaman.
Berdasarkan laporan terbaru International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applications (ISAAA), jumlah daerah yang mengadopsi tanaman biotek secara global meningkat lebih dari 100 kali lipat dari 1,7 juta hektare pada 1996 menjadi lebih dari 175 juta hektare pada 2013. Angka ini menjadi bukti tingkat ketahanan serta manfaat dari penerapan bioteknologi bagi petani dan konsumen.
Pada 2013, jumlah petani yang menanam tanaman biotek di negara berkembang telah mencapai 18 juta. Angka ini meningkat dibanding pada 2012, yaitu 17,3 juta, dengan lebih dari 90 persen di antaranya, atau kurang dari 16,5 juta, merupakan petani miskin. Selain keuntungan ekonomis, petani memperoleh dampak positif lain, yaitu dari berkurangnya penggunaan insektisida sebesar 50 persen, sehingga mengurangi risiko bagi petani terpapar insektisida serta secara signifikan memberi kontribusi yang berkelanjutan bagi lingkungan.
Pada 2012, tanaman biotek diperkirakan mampu menghemat hingga 2,1 miliar kilogram emisi CO2, setara dengan mengurangi 0,94 juta jumlah mobil di jalan. Bioteknologi juga mampu memberikan cadangan tanah untuk pangan, pakan, dan serat tanaman biotek, memungkinkan tanah menyerap CO2 sebanyak 24,61 miliar kg, setara dengan mengurangi 10,9 juta mobil di jalan selama setahun. Jika digabung, penerapan bioteknologi mampu mengurangi 26,7 miliar kg CO2, setara dengan mengurangi 11,8 juta mobil di jalan.
Penerapan bioteknologi juga berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi penggunaan air yang memiliki dampak besar bagi konservasi dan ketersediaan air secara global. Saat ini, 70 persen air di seluruh dunia digunakan untuk kebutuhan pertanian. Hal ini bukanlah sesuatu yang sifatnya berkelanjutan, mengingat populasi akan terus meningkat hingga mencapai hampir 30 persen atau lebih dari 9 miliar pada 2050.
Sampai saat ini, tanaman biotek berhasil menggarap produktivitas di atas tanah sebesar 1,5 miliar hektare. Hal ini dinilai dapat mencegah mutasi deforestasi serta melindungi keanekaragaman hayati di hutan dan kawasan konservasi lainnya. Di negara berkembang, lebih dari 13 juta hektare kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati lenyap setiap tahunnya. Apabila 377 juta ton jumlah makanan, pakan, dan serat yang dihasilkan selama periode 1996-2012 bukan hasil tanaman biotek, dibutuhkan sekitar 123 juta hektare tanaman konvensional sebagai tambahan untuk menghasilkan jumlah yang sama. Dari 123 juta hektare tersebut mungkin digunakan untuk lahan marginal yang rapuh, tidak cocok untuk produksi tanaman, membutuhkan pengolahan tanah dan khususnya hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati, ditebang untuk lahan pertanian sehingga menghancurkan keanekaragaman hayati.
Agar bioteknologi berhasil diimplementasikan dan mendukung produktivitas pertanian, diperlukan kehendak politis kuat dari pemerintah dan dukungan sektor swasta. Kerja sama yang baik diperlukan untuk mengimplementasikan teknologi demi mengatasi masalah ketahanan pangan. Lambannya proses persetujuan peraturan yang mendukung penerapan bioteknologi menjadi penghalang utama pencapaian ketahanan pangan. *
Kecamuk dalam Damai
Senin, 02 Juni 2014 Achmad Fauzi, Alumnus UII Yogyakarta
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja menerima penghargaan dari Jaringan Antariman Indonesia sebagai tokoh peduli kebebasan beragama (23/5). Sebagai kepala daerah, Sultan dinilai memiliki komitmen besar melindungi hak asasi kaum minoritas melalui program non-diskriminatif dan menunjang terciptanya kondisi kebebasan beragama. Kebijakan Sultan seolah menjadi antitesis dari menjamurnya peraturan daerah di beberapa tempat yang cenderung diskriminatif dan menindas kelompok agama tertentu. Misalnya ihwal pendirian tempat ibadah, pengusiran kelompok tertentu yang difasilitasi pemda, dan sebagainya.
Yogyakarta juga dianggap sebagai miniatur kota perdamaian karena keberhasilannya mengelola konflik horizontal secara adil serta memberi jaminan konstitusional bagi seluruh penganut agama dan kepercayaan untuk melaksanakan ibadah, tanpa intimidasi. Dua kepala daerah lainnya yang turut memperoleh penghargaan antara lain Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin dan Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif.
Namun, tak berselang lama, iklim toleransi di DIY terusik oleh peristiwa penyerangan rumah Direktur Penerbitan Galang Press, Julius Felicianus, di Kecamatan Ngaglik, Sleman (29/5). Ikatan kebinekaan terberai. Sekelompok preman berjubah secara membabi-buta menyerang jemaah yang sedang melakukan doa rosario menggunakan potongan besi dan alat setrum. Beberapa anggota jemaah terluka, wartawan, termasuk Julius Felicianus.
Kejadian ini mengindikasikan bahwa di zona yang notabene memiliki tingkat toleransi dan kesantunan berbudaya tinggi juga tersimpan bara intoleransi yang siap meledak setiap saat. Ada kecamuk dalam damai. Hal inilah yang dikhawatirkan Sultan ketika menerima penghargaan di Sentani, Papua, beberapa waktu lalu. Sultan mengatakan multikultularisme adalah fenomena yang alami di Indonesia. Sehingga jangan hanya dipahami dari aspek positifnya. Sisi gelap reformasi, yaitu munculnya kelompok masyarakat yang cenderung intoleran dan antidemokrasi, juga harus diwaspadai segenap unsur pimpinan dan masyarakat.
Kini, Sri Sultan ditantang menunjukkan peran dan keberpihakannya kepada pihak-pihak yang menjadi korban kekerasan. Penegak hukum perlu terus didorong untuk menangkap pelaku, mengungkap motif, serta menghukum seberat-beratnya agar peristiwa serupa tak terjadi lagi. Sebagai tokoh dan pemimpin karismatik yang memiliki legitimasi kultural di Yogyakarta, Sultan diharapkan mampu meredam gejolak sosial yang bermuara pada penggunaan kekerasan.
Tak ada agama mana pun yang membenarkan kekerasan sebagai jalan lurus menuju surga. Kekerasan adalah neraka bagi kehidupan. Barangsiapa menaklukkan kelompok lain dengan cara tuna adab dan mengalpakan etika kemanusiaan, maka baginya semua kutukan, dosa, dan kenistaan. Tapi kenapa kekerasan berbau agama selalu muncul?
Terus berulangnya penyerangan terhadap kelompok yang sedang beribadah menandakan bahwa masyarakat belum mampu menerjemahkan diri di tengah kehidupan beragama yang berbeda. Budaya ketertutupan masih dipelihara meski menyimpan sejuta prasangka. Karena curiga, maka setiap kegiatan suatu agama dipersepsikan sebagai ancaman bagi agama lain.
Anak-anak
Senin, 02 Juni 2014 Bagja Hidayat,@hidayatbagdja
Anak-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan mengedutkan rabu tiap janin sebagai sebuah pesan. Ia belum jera dengan manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Dan ini "bulan anak-anak" di abad ke-21, sebuah masa yang kian rumit dan tak terduga-masa depan tak cukup hanya direncanakan.
Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18 tahun, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan memelencengkannya jadi orang suci. Tak aneh jika istrinya menolak cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang zuhud sebelum waktunya.
Anak-anak melihat pertentangan-pertentangan yang diciptakan para orang tua. Mereka melihat bagaimana orang tua-orang tua membentuk dunia yang mereka inginkan. Orang- orang dewasa menciptakan mainan, seolah anak-anak adalah bentuk orang dewasa yang lebih kecil. Mereka membuat miniatur traktor, mobil truk, pesawat, dengan harapan anak-anak berimajinasi tentang dunia orang dewasa. Anak-anak tak didorong mencipta mainan-mainan sesuai dengan imajinasinya.
Pilihan, harapan, kebutuhan yang diciptakan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik-cendikia membuat pepatah: hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil kalimat ini. Mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat? Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.
Ia khawatir Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu angsa, lalu merakitnya. Dengan gagal dan coba- coba, sayap itu jadi juga.
Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa akan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayap angsanya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu jalan pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.
Di titik itulah konflik dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun-temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga diciptakan oleh-dan memakai kacamata-Daedalus, para orang tua.
Karena itu, sejarah sering kali terasa berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus- menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Jawabannya mungkin datang dari anak-anak, mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua.
Membangkitkan Kembali Sukarno
Selasa, 03 Juni 2014 Arif Novianto, Peneliti Politik di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
Sumbangsih Sukarno terhadap negara dan bangsa Indonesia tidak lagi dapat terhitung nilainya. Sukarno tidak hanya dikagumi oleh bangsa Indonesia semata, tapi juga masyarakat internasional. Pemikiran Sukarno tentang penolakan terhadap neo-imperialisme dan neo- kolonialisme yang digelorakan di berbagai forum internasional telah membuatnya menjadi salah satu pionir perjuangan bangsa terjajah dalam merebut kemerdekaan. Selain itu, Sukarno adalah penggali ideologi negara Indonesia: Pancasila. Karismanya yang begitu besar telah membuatnya disegani. Keberaniannya telah membuat negara-negara lain gentar.
Setelah Sukarno dilengserkan dari tampuk kekuasaan dan digantikan oleh Soeharto sebagai presiden pada 1966, proses desukarnoisasi pun dijalankan oleh pemerintah Orde Baru ini secara masif selama 32 tahun. Semua yang berbau Sukarno pun dikebiri. Bahkan, pemikiran Sukarno tentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme yang menginspirasi perjuangan masyarakat dunia dihilangkan paksa dari diskursus ilmu sosial dan politik di lingkungan pendidikan.
Kini simbolisasi politik Sukarno kembali berusaha dibangkitkan oleh dua kandidat presiden Indonesia dalam kampanye pemilihan presiden pada tahun ini, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Prabowo bahkan menasbihkan diri sebagai Sukarno Kecil. Simbolisasi politik Sukarno dengan tendensius diselipkan dalam penampilannya di depan publik. Hal ini dimulai dari mikrofon era 1950-an seperti yang sering digunakan Sukarno saat pidato kenegaraan, model pakaian ala pejuang kemerdekaan, hingga gaya pidatonya di depan publik.
Selain itu, pemikiran Sukarno tentang sikap nasionalisme serta penolakan terhadap neo- imperialisme dan neo-kolonialisme sering digelorakan oleh Prabowo. Bahkan, seperti halnya Sukarno, Prabowo mengkritik demokrasi liberal dan neoliberalisme. Padahal, bila merujuk sejarahnya, Prabowo adalah bagian dari Orde Baru yang sangat anti terhadap Sukarnoisme. Aktivisme yang dijalankan oleh Prabowo pun sangat bertolak belakang dengan sikap Sukarnoisme yang berusaha dibawakannya akhir-akhir ini.
Adapun Jokowi tidak menggunakan simbol pembawaan dari Sukarno seperti yang dilakukan oleh Prabowo. Kedekatannya dengan Megawati (Ketua PDIP), yang merupakan putri sulung dari Sukarno, telah turut mempengaruhi program politik yang ditawarkannya.
Konsep Trisakti yang merupakan visi-misi utama dari Jokowi ini di dalam mengarungi proses pemilihan presiden nantinya merupakan konsep yang dicetuskan oleh Sukarno pada 1963. Hal ini menegaskan pandangan politiknya untuk membawa perjuangan Indonesia menghadapi neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Trisakti ini bagian dari paham Marhaenisme Sukarno, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.
Melihat berbagai upaya untuk membangkitkan kembali simbolisasi dan pemikiran Sukarno ini dapat dilihat sebagai dua hal. Pertama, sebagai alat politik, yaitu digunakannya Sukarno hanya sebagai "alat" semata untuk dapat mendompleng suara. Dan kedua sebagai idiologi politik, yaitu sebuah pegangan hidup yang berusaha dicapai melalui berbagai komitmen, program kerja, dan tindakan. Untuk itu, semoga kita cerdas di dalam memilih agar tak tertipu.
Tiga Lagu
Selasa, 03 Juni 2014 Bandung Mawardi, Saudagar Buku
Di Komisi Pemilihan Umum, 1 Juni 2014, orang-orang berdiri dan melantunkan lagu-lagu legendaris: Indonesia Raya, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila. Dua pasangan calon presiden-wakil presiden berdiri, tampak bersemangat melantunkan lagu: menguak imajinasi kebangsaan dan puja Indonesia. Lagu mempertalikan mereka untuk bersetia dengan Indonesia, membuktikan janji-janji memuliakan Indonesia. Persaingan merebut kekuasaan berlangsung bersama lantunan tiga lagu, yang berisi sejarah dan doa.
Penonton televisi bisa melihat adegan melantunkan lagu ibarat "ibadah politik". Kita mengenang bahwa Indonesia Raya berlatar pergerakan politik kebangsaan, sejak 1928. Indonesia Raya adalah puncak ekspresi nasionalisme (B. Soelarto, 1993). Sejak mula, Sukarno berkepentingan dengan lagu gubahan W.R. Soepratman, yang dimaksudkan untuk menjadi referensi bagi identitas kebangsaan dan suluh membentuk Indonesia. Lagu pun berkumandang dalam pelbagai rapat politik, memberi gairah melawan kolonialisme. Lagu adalah alunan optimisme mewujudkan Indonesia!
Pihak kolonial cemas! Lagu Indonesia Raya dianggap memicu gerakan-gerakan perlawanan dari bumiputra. Di pihak kaum pergerakan, lagu Indonesia Raya semakin bermakna dengan pengakuan "politis" dalam pelaksanaan Kongres Rakjat Indonesia, 1 Oktober 1939. Peran lagu mendapat pengukuhan prestisius pada masa pendudukan Jepang melalui pembentukan Panitia Lagu Kebangsaan (1944), beranggotakan Sukarno, Ki Hadjar Dewantara, Muhamad Yamin, Sanoesi Pane, dan Kusbini. Pengesahan politik tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Lagu berjudul Padamu Negeri membuka ingatan tentang Kusbini. Dulu, orang-orang mengenal Kusbini sebagai "buaja kerontjong". Kegandrungan dalam bermusik mempertemukan Kusbini dengan Ibu Sud, penggubah lagu anak-anak. Pertemuan pun berlanjut dengan kalangan sastrawan: Sanoesi Pane, Achdiat K. Mihardja, dan Kirdjomuljo. Pada masa pendudukan Jepang, Kusbini berhasil menggubah lagu Bagimu Negeri (1942), ikhtiar melantunkan nasionalisme (Kamadjaja, 1979). Lagu ini lembut dan elok, yang merangsang kita untuk selalu "mengabdi" dan "berbakti" demi Indonesia.
Pada ujung acara penetapan nomor urut pasangan capres-cawapres di KPU, orang-orang tetap berdiri melantunkan lagu Garuda Pancasila (1956) gubahan Sudharnoto. Lagu bernada patriotik. Kita mendapati pemaknaan penuh, bertepatan dengan selebrasi Hari Pancasila, 1 Juni 1945. Ingat, lirik mengandung pesan besar: "Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur sentosa" Lihatlah, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa melantunkan dengan semangat. Mereka mesti bisa mewujudkan pesan dalam lagu Garuda Pancasila.
Pemilihan presiden 2014 tak cuma pameran foto, slogan, baju, simbol, angka, dan peci. Persaingan meraih jabatan presiden tak bisa ingkar lagu. Kita sejenak mengartikan agenda demokrasi menggunakan referensi lagu. Kemauan untuk melantunkan lagu-lagu nasional dan kebangsaan dalam pelbagai acara tentu membuktikan ingatan atas sejarah pergerakan bangsa dan penghormatan bagi para komponis. Politik memerlukan lagu. Hasrat berkuasa mesti bernada. Lantunan lagu pun mengartikan kehendak memuliakan Indonesia, dari masa ke masa. Ingat, lagu tak melulu bagian dari upacara! Lagu adalah ekspresi berbangsa dan bernegara secara beradab.
Lawanlah Permulaannya!
Selasa, 03 Juni 2014 Seno Gumira Ajidarma, wartawan
Mengapa militerisme yang diterapkan ke dalam dunia politik perlu mendapat pengawasan? Bagaimanakah faktor kekerasan, sebagai unikum dalam militerisme, akan (dapat) dihilangkan? Jawabannya terdapat dalam perbincangan totaliterisme.
Seperti diketahui, totaliterisme merupakan monster, yang dalam sejarah telah dipraktekkan oleh Nasional-sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja. Apakah bedanya pemerintahan totaliterisme dengan despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi?
Suatu usaha teoretisasi atas totaliterisme berikut memang nyaris seperti menyamakannya: (1) ideologi totalistik; (2) partai diperkuat polisi rahasia dalam fungsi teror; (3) kontrol monopoli atas: (a) komunikasi massa; (b) persenjataan operasional; (c) organisasi rencana ekonomi terpusat (Friedrich dalam Barber, 1969: 126).
Meskipun perumusan itu tampak sudah seperti totaliterisme, tetap saja mendapat kritik seperti ini: (1) hanya merupakan konsep relatif, yakni bisa sama saja dengan kediktatoran totaliter, yang seperti gejala politik lain, tidak merupakan istilah absolut; (2) masih mirip dengan konsep para tetangganya: otokrasi, kediktatoran, dan tirani, ketika seharusnya berbeda; (3) meskipun obyek teoretisasinya adalah pemerintahan dan rezim, perumusannya terlalu umum, sehingga bisa diterapkan bagi khalayak luas dan pemerintah aktual mana pun; (4) terbangun dalam formulasi sentimen moral, karena istilah "teror" dan "negara polisi" jelas mengimbaskan ketidaksetujuan (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975: 138-9).
Jadi, apa yang luput dari teoretisasi itu, setelah polemik seru antara Hayes, Brzezinski, Friedrich, dan Schapiro, dalam diskusi khusus tentang totaliterisme, yang dianggap begitu perlu setelah melahirkan makhluk-makhluk mengerikan seperti Hitler, Stalin, dan Pol Pot? Hannah Arendt (1906-1975) memang telah mengusut asal-usul totaliterisme sebagai ideologi dalam sejarah, dimulai dari kasus antisemitisme, yang sangat menarik sebagai esai, tapi belum juga menjadi jawab atas pertanyaan: mengapa suatu rezim bisa menjadi totaliter?
Penyelidikan dari sudut bahasa ternyata menemukan asal-usul yang relevan: istilah totaliter digunakan pertama kali di Jerman pada 1930, oleh Ernst Juenger, bagi pengertian mobilisasi militer! (Schapiro, 1972: 13). Dengan referensi ini, terbangun suatu "dalil": totaliter = mobilisasi militer. Apabila dalil ini dipertimbangkan bagi gagasan khalayak termobilisasi (mobilized society), ternyata hasil perumusannya mampu memisahkan pemerintahan totaliter dari sindroma sentralisasi rezim, seperti despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi.
Dengan kata lain, sumber empirik totaliterisme adalah pengalaman perang modern. Dalam teoretisasi berikut, terlacak bagaimana militerisme telah menjadi sumbernya: (1) partai monopolistik, tempat para perwira memiliki komando eksklusif; (2) khalayak massa sebagai bawahannya; (3) keterpisahan partai dan massa dikurangi sampai menjadi hubungan setara berdasarkan tujuan-dan penolakan atas "sesuatu"-bersama; (4) tujuan dan penolakan bersama, menghadirkan "musuh", baik eksternal maupun internal, kepada siapa "perang" dilancarkan, dimulai dari negara lain, revisionis, sampai kemiskinan; (5) suatu ideologi diperlukan untuk melakukan identifikasi kawan dan lawan, untuk memuji maupun mengutuknya; (6) arah ekonomi terpusat, sesuai dengan standar perang modern.
Nah, ke manakah terserapnya kekerasan dalam militerisme? Disebutkan bahwa khalayak totaliter bukanlah tentara, tapi dipahami sebagai seperti tentara yang siaga. Tentu lantas menjadi rancu, mana tentara termobilisasi, mana khalayak sipil (Orr, ibid.:142).
Itu teorinya, adapun prakteknya, sejarah mencatat bahwa totaliterisme akan selalu berkecenderungan: (1) berusaha menaklukkan dunia; (2) tidak peduli hukum dan tanpa merasa bersalah melanggar hak asasi manusia; (3) mendirikan kamp tahanan kolosal; (4) tidak menghitung jumlah korban demi ideologinya; (5) melaksanakan kejahatan nyata yang lebih kreatif dari imajinasi awam; (6) atas nama utopia, hak-hak sipil-bahkan hak-hak manusia-secara sistematik dilecehkan [Ballestrem/Magnis-Suseno dalam Arendt, 1995 (1979): xiii].
Harap diperhatikan, rezim totaliter tumbuh dari situasi non-totaliter. Memang terdapat kondisi sosial ekonomi yang mendukungnya. Situasi mematangkan itu ada, bahkan dibuat seperti tampak matang melalui agitasi, propaganda, dan kampanye hitam!
Akan halnya tendensi-tendensi totaliter, orang Romawi kuno memberi jalan untuk mencegahnya: principiis obsta!-lawanlah permulaannya! (Magnis-Suseno, ibid.: viii-xxii). Jangan sampai ada rezim totaliter (lagi!) di negeri ini.
Agama Calon Presiden dan Biologi Evolusi
Selasa, 03 Juni 2014 Dyna Rochmyaningsih, Jurnalis Sains Independen
Menjelang pemilihan presiden Juli mendatang, banyak orang mempermasalahkan kedalaman agama kedua kandidat. Izinkan saya menelaah fenomena ini dari perspektif biologi evolusi. Para ilmuwan kini mulai meyakini bahwa agama dan politik merupakan bagian dari sifat dasar manusia (human nature). Mereka percaya bahwa, seperti segala sifat manusia yang lain, politik dan agama pun bersifat hereditary, yang berarti diwariskan melalui DNA.
Profesor Darren Scheiber, political neuroscientist dari Universitas Exeter, Inggris, dan salah satu pengusung teori hereditas dalam politik dan agama, mengakui bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang bagaimana biologi menentukan keputusan politik. Namun penelitian terhadap orang-orang kembar yang memiliki kecenderungan sikap yang sama, baik itu dalam politik maupun agama, meyakinkan para ilmuwan bahwa sifat yang mengatur soal kecenderungan politik dan agama juga diwariskan.
Dalam perspektif evolusi, politik dapat ditemui pada banyak makhluk hidup lain, seperti lumba-lumba, gajah, hyena, dan simpanse. Mereka berinteraksi dengan anggota dalam kelompok mereka untuk mendapatkan kekuasaan dalam komunitasnya. Hewan-hewan ini juga bisa membentuk koalisi.
Berbeda dengan politik, agama merupakan suatu hal yang baru ditemui pada spesies manusia modern (Homo sapiens). Richard Sosis, seorang ahli biologi evolusi, mengemukakan sebuah teori tentang fungsi agama dalam evolusi manusia. Tidak seperti sejawatnya dari Inggris, ahli biologi evolusi Richard Dawkins, yang mengatakan bahwa agama adalah parasit, Sosis justru berteori bahwa agama adalah sebuah bentuk adaptasi bagi keberlangsungan hidup spesies manusia modern.
Bagi Sosis, agama merupakan sebuah alat untuk mencapai kesatuan sosial (social cohesion). Dengan mempercayai Tuhan yang sama, manusia bisa lebih mudah bekerja sama.
Peran agama sebagai penyatu sosial ini terlihat jelas dalam sejarah umat manusia, walaupun sekarang peran agama sebagai penyatu sosial mulai luntur di negara-negara Barat yang perlahan meninggalkan agama. Di Amerika, misalnya, pemilihan presiden bukan lagi menyoal tentang agama, melainkan lebih ke arah ideologi partai, liberal atau konservatif, yang berwujud kebijakan-kebijakan yang sering kali bertolak belakang.
Namun, di negara-negara Islam, peran agama sebagai penyatu sosial terasa masih sangat kental. Banyak umat Islam, termasuk mereka di Indonesia, kecewa atas keterpurukan negara- negara muslim sekarang, dan kekecewaan ini berakhir pada sebuah kerinduan akan kejayaan masa lampau. Dalam pandangan mereka, Islam, sebagai identitas, haruslah dimiliki oleh pemimpin negara muslim.
Isu agama ini semakin mencuat menjelang pemilu presiden 2014 dan, menurut saya, masih menjadi faktor signifikan saat memutuskan siapa calon yang dipilih.
Keputusan memilih presiden, sebagaimana keputusan lain dalam hidup manusia, didasari pertimbangan rasional dan emosional. Pertimbangan rasional dapat berwujud dari analisis visi dan misi kedua calon presiden. Sedangkan pertimbangan emosional bisa berwujud kecintaan kepada partai pengusung, rasa kagum terhadap calon presiden, dan lain-lain. Meskipun rasio dan emosi saling bekerja sama untuk membuat sebuah keputusan, pastilah ada yang lebih dominan di antara keduanya.
Mengingat kebanyakan rakyat Indonesia tidak melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi, dan mengingat para calon presiden kita mengusung visi dan misi yang normatif, saya ragu bahwa akan banyak warga Indonesia menggunakan analisis rasional dalam pilpres nanti. Kebanyakan pasti akan menggunakan jalan pintas (short cut) dalam memilih. Jalan pintas ini merupakan analisis emosional di mana sikap keagamaan (religious behavior) bermain dan menjadi dominan.
Dengan memanfaatkan sifat manusiawi ini, banyak dari politikus kita menggunakan agama untuk menyetir kontroversi politik melalui kampanye hitam. Mereka memanfaatkan sifat natural manusia, yang cenderung memihak agamanya untuk menyerang kandidat lain. Apa yang akan terjadi setelah kampanye hitam ini?
Profesor Darren Scheiber, dalam komunikasinya dengan penulis, mengatakan: "Jika seorang politikus atau partai ingin sukses menggunakan agama untuk tujuan politik mereka, mereka haruslah terlihat 'ikhlas', bukan 'politis' (memiliki maksud tertentu). Bagaimanapun, para politikus hanya merepotkan diri sendiri jika mereka terlalu bersekutu dengan figur atau kelompok agama tertentu. Hal ini karena mereka bisa membentuk koalisi yang terlalu terbatas. Keterbatasan semacam ini akan mematikan bagi mereka."
Banyak informasi di media sosial mengenai keagamaan kandidat yang terlihat sangat politis. Alih-alih ikhlas, masyarakat melihat ibadah mereka sebagai aksi politik. Dan, menurut Darren, hal itu justru tidak menguntungkan bagi mereka.
Pilpres Juli mendatang akan menunjukkan kesahihan argumen Darren dan Sosis. Apakah rakyat Indonesia benar-benar sedang menggunakan agama sebagai penyatu sosial?
Menolak Godaan Kekerasan
Selasa, 03 Juni 2014 Sumiati Anastasia, Alumnus University of Birmingham untuk Relasi Islam-Kristen
Sejarah kita masih saja diwarnai kekerasan di semua lini. Bahkan, dalam lini interaksi antar- umat beragama, kekerasan tampak menonjol dibanding kelemah-lembutan dan kasih sayang. Simak wajah negeri ini yang kembali dinodai ulah sekelompok preman berjubah yang menyerang umat Katolik yang tengah berdoa Rosario. Ketika penyerangan dilakukan, juga ada anak disetrum. Direktur sebuah penerbitan dan jurnalis juga terluka (Tempo.co, 30 Mei 2014).
Kita pasti setuju, Islam telah dibajak oleh segerombolan pelaku kekerasan di Sleman itu untuk menjadi alat legitimasi bagi aksi-aksi mereka yang sangat bertentangan dengan akal sehat dan nilai-nilai kemanusiaan, serta mencederai semangat berbangsa dan bernegara kita yang berdasarkan Pancasila.
Tentu saja aksi itu harus dikutuk sendiri oleh umat Islam yang cinta damai, karena sungguh bertentangan dengan teladan dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Umat Islam hanya dipanggil untuk menebarkan kebaikan, kedamaian, dan rahmat bagi semesta. "Kami mengutus kamu untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (QS 21:107).
Islam itu aslama atau damai. Sayang, kini ungkapan ini konon sudah menjadi retorika, karena maraknya kelompok takfirisme, yang mengusung paham radikal serta gemar menebar bom dan kebencian, seperti tampak pada berbagai ledakan bom bunuh diri yang merenggut nyawa banyak orang, mulai dari Suriah, Irak, Afganistan, Pakistan, hingga negeri kita (bom Bali).
Kaum takfiris itu tak hanya gemar mengkafirkan umat agama lain, tapi juga umat Islam yang berbeda mazhab dengan mereka. Jelas sesungguhnya kaum pemuja takfirisme ini sangat membahayakan ajaran Islam yang cinta damai sekaligus membahayakan keutuhan Indonesia yang terdiri atas banyak suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Berulang kali presiden pertama kita, Sukarno, berpidato bahwa negeri kita dibangun oleh perjuangan, pengorbanan, bahkan darah banyak pejuang yang berasal dari berbagai latar belakang agama maupun mazhab.
Maka, demi penguatan posisi Islam yang rahmatan lil alamin, mari kita dengar ajakan Karen Armstrong. Mantan biarawati Katolik yang terkenal dengan magnum opus-nya yang berjudul A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993), itu memang punya pendapat memikat ihwal kekerasan dalam agama-agama samawi.
Setelah melakukan pengembaraan spiritual dalam berbagai agama samawi, Karen sampai pada kesimpulan bahwa memang tidak ada agama yang membenarkan kekerasan. Kekerasan terjadi karena orang keliru dalam menafsirkan atau memahami pesan-pesan mulia agama. Maka, Karen tegas menolak jika agama, khususnya Islam, dicap sebagai agama kekerasan.
Sekarang Karen memang dikenal getol menjadi pembawa pesan cinta ketiga agama samawi di tengah umat manusia yang beragam latar belakangnya. Pesan cinta itu terangkum dalam 12 butir pesan dalam karyanya, Twelve Steps to A Compassionate Life (2004). Bahkan, sejak 2009, ia membentuk gerakan global bernama Charter for Compassion.
Maka, agar Islam yang cinta damai itu tidak jatuh menjadi retorika, mari kita berani menebarkan pesan cinta dan damai dalam tindakan kita. Pesan ini juga sangat relevan di tengah suhu politik yang memanas menjelang pemilu presiden 9 Juli 2014. *
Rakyat Jelata
Selasa, 03 Juni 2014 Idrus F. Shahab, idrus@tempo.co.id
Sebuah gelas beling di atas piring kecil. Seseorang telah menuangkan kopi ke dalamnya. Dan manakala gelas terisi separuh, seorang lelaki setengah tua terbatuk-batuk. Ia tersedak, tapi kemudian menitipkan pesan kepada seorang kawannya di kota: kalau ada yang ke kota esok pagi, tolong sampaikan salam rindunya. Desa kecil ini, demikian si lelaki melanjutkan, siap menyambutnya dengan batang-batang padi yang terkembang, dan roda-roda giling yang berputar-putar, siang-malam.
Ia Leo Kristi. Ada batuk dan gelas kopi yang perlahan menggiring panorama padesan dalam Salam dari Desa. Leo Kristi terus menyanyi. Tambur di belakangnya dan gitar di tangannya mengisi irama pada setiap jengkal musik yang mengalir dalam ketukan dua perempat itu.
Dan ketika block flute mengalunkan potongan-potongan melodi, panorama desa, panorama yang amat dikenalnya, semakin jelas tergambar. Desa kecil yang tengah menyambut panen raya, ritual yang paling ditunggu-tunggu tiap-tiap tahun. Musik riang, dan semua berlangsung seperti waktu-waktu sebelumnya. Kecuali pada setiap akhir bait, suaranya yang berat membawakan ironi: sawah-sawah itu bukan lagi milik mereka.
Leo tidak menunjuk penyebabnya, tidak menawarkan solusi. Ia tidak menyerukan perlawanan, tidak menuntut land reform yang memang tak kunjung menjadi kenyataan di republik ini. Ia hanya menyodorkan sebuah potret kenyataan kepada lawan bicaranya, seperti seorang pedagang kaki lima meletakkan barang dagangannya di atas alas koran.
Indonesia, di mata Leo, bukan negeri yang gampang menyerah. Dalam Sayur Asam Kacang Panjang, ia berkisah tentang seorang nelayan yang bergulat mencari ikan di tengah laut. Hidup memang berat, harapan-harapan harus disederhanakan, dan nelayan yang berjuang itu seakan berbisik kepadanya: setumpuk ikan di perahu sudah cukup untuk mengusir segenap kecemasan di hatinya. Ia akan pulang ke darat dan memperpanjang hidupnya sekeluarga sehari lagi. Adanya setumpuk ikan di perahu berarti banyak: selalu ada cahaya harapan di ujung perjuangan ini.
Sayur Asam Kacang Panjang musik yang sederhana. Nada-nadanya pentatonis, mengandung repetisi layaknya mantra.
Tak seperti kandidat pemilihan presiden 2014 yang di atas podium dan di hadapan kamera televisi senantiasa menjanjikan perubahan dan keberpihakannya kepada rakyat; dalam musik- musiknya Leo Kristi melupakan slogan dan tangan-tangan yang terkepal. Cukup memperlihatkan keakrabannya dengan kebersahajaan, kemiskinan, kenaifan, dan kesederhanaan, baladeer ini sudah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat jelata.
Seorang calon pemimpin memang diharapkan dapat menangkap aspirasi dan memenuhi angan-angan para pemilih. Ya, mula-mula kedua kandidat menampilkan dirinya sebagai antitesis dari pemimpin lama yang dinilai peragu dan tidak teguh pendirian. Kemudian, sesuai dengan angan-angan para pemilih, kita menyaksikan dua kandidat presiden 2014-2019 bergantian menegaskan visinya tentang Indonesia yang hebat dan disegani kawan-lawan, serta bagaimana "hijrah" ke kondisi ideal tersebut.
Mereka berbicara dalam skala makro. Padahal, ketika membahas seorang petani yang kehilangan sawah, atau nelayan pulang ke darat dengan setumpuk ikan, kita menggunakan skala mikroseperti yang disampaikan Leo dalam lagunya.
Karna dan Kumbakarna
Rabu, 04 Juni 2014 Putu Setia, @mpujayaprema
Kedua kesatria ini berbeda zamannya. Karna pada zaman Mahabharata, sedangkan Kumbakarna di zaman Ramayana. Namun keduanya punya ilmu tinggi. Dan keduanya terlibat dalam perang.
Karna lahir dari rahim Kunti, ibu para Pandawa. Kunti, saat remaja, mendapat ilmu dari seorang maharesi, kelak, jika sedang bercinta, berdoalah kepada dewa tentang sifat anak yang diinginkan. Saat Kunti bercinta dengan pacarnya, ia membayangkan Dewa Surya. Lahir seorang bayi tampan sebelum Kunti menikah.
Heboh di kerajaan. Kunti adalah putri bangsawan akan dinikahkan dengan Pandu. Maka, bayi lelaki itu dibuang ke Sungai Gangga. Namun Kunti mengawasi anaknya sampai ada orang yang memungutnya. Di telinga anak itu dipasang anting-anting sebagai tanda. Anak itu kelak dipanggil Karna, yang artinya telinga.
Namun, Atiratha-kusir dokar yang memungut bayi itu-memberi nama Radheya untuk sang bayi. Istri Atiratha, seorang perajut benang bernama Radha, mengasuh sang bayi dengan telaten. Maklum, dia tak punya anak.
Syahdan, Radheya remaja tumbuh dengan kekar. Tapi dia ditolak belajar di pedepokan Guru Drona karena status sosialnya rendah. Ia berkasta Sutha, kasta terendah saat itu. Radheya tak putus asa, ia mencari guru lain, Bagawan Bhargawa. Bahkan ia membanggakan kastanya yang rendah dengan menyebut namanya Radheya Suthaputra.
Sementara itu, Kunti menikah dengan Pandu, lalu melahirkan tiga putra: Yudistira, Bima, Arjuna. Istri Pandu yang kedua, Madri, melahirkan anak kembar: Nakula dan Sahadewa. Ketika Pandu meninggal dunia, Madri memilih ritual satya (menceburkan diri pada api yang membakar Pandu). Imbalannya, Kunti mengasuh kelima anak lelaki itu tanpa pilih kasih. Itulah Panca Pandawa.
Nah, ketika Radheya menginjak dewasa dan tahu asal-usulnya bahwa dia adalah anak Kunti yang pertama, dia pun menuntut haknya. Koalisi kelima Pandawa menolak. Bahkan sempat Pandawa meragukan Radheya sebagai kakak sulungnya. Kunti serba salah, karena ia membenarkan bukti anting-anting yang dibawa Radheya. Dan Radheya berang, lalu memperkenalkan nama Karna.
Kekesalan Radheya, yang sudah populer bernama Karna, didengar oleh pihak Kurawa. Duryodana membujuk Karna agar bergabung ke Kurawa dengan janji jabatan di atas menteri, waktu itu disebut Adipati. Karna setuju dan siap berlaga untuk membalas sakit hatinya ditolak Pandawa. Jadi, Adipati Karna memihak Kurawa bukan karena senang kepada Korawa, tapi semata-mata untuk membalas sakit hati dan memamerkan kedudukannya yang tinggi.
Bagaimana dengan Kumbakarna? Ia tak setuju dengan kakaknya, Rahwana, yang menculik Dewi Sinta. Alengka menjadi morat-marit dan tercela gara-gara sifat kakaknya yang sombong dan doyan cewek. Tapi saat ia dibangunkan untuk berperang melawan pasukan Rama, Kumbakarna siap bertempur. "Saya bertempur tidak untuk membela kakak saya, tidak membela pemimpin yang congkak, tapi saya membela tanah air saya," katanya. Jadi, Kumbakarna ingin negerinya aman dan damai, rakyat tidak menderita, dan untuk itu dia berperang. Bukan berperang membela pemimpin kerajaan.
Pada akhirnya, kita semua tahu, Karna dan Kumbakarna kalah dalam peperangan. Perang berbekal sakit hati karena ditolak bergabung dan perang dengan sikap idealis tinggi tanpa mempertimbangkan sosok pemimpinnya, sama-sama berbuah buruk. Rupanya, untuk berlaga atau sekadar berpihak, perlu akal sehat. *
Sang Jenderal
Rabu, 04 Juni 2014 Munawir Aziz, Peneliti
Sejarah militer Indonesia dibangun dari kecemasan dan kegelapan. Narasi panjang sejarah militer seolah merupakan tumpukan dokumen senyap yang belum selesai dimaknai. Militer menjadi senjata ampuh untuk melanggengkan sekaligus meringkus kekuasaan. Historiografi Indonesia tidak lepas dari sejauh mana sang pemimpin menempatkan diri sebagai jenderal, sebagai pijakan komando. Dan, panggung politik di negeri ini ibarat papan catur, dengan bidak yang siap digerakkan menggunakan strategi, isu, dan kepentingan.
Pada titik ini, militer menempati ruang utama dalam panggung politik negeri ini. Pada kisaran dua abad lalu, awal abad XIX menjadi panggung utama di mana militer menjadi basis utama untuk melawan kolonialisme. Pangeran Diponegoro, dengan barisan laskar santri, tumenggung, dan janissary pribumi, berhasil mengacaukan "tatanan politik-ekonomi" Belanda. Periode perang Jawa (1825-1830) menjadi fase di mana kekuatan imperial dilawan dengan strategi jihad berbasis gerilya. Diponegoro, bersama Kiai Maja, Sentot Ali Basah, Pangeran Sasradilaga, dan sejumlah pasukan tempur, berhasil membuat bangkrut kekuasaan Kompeni.
Kemudian, lebih dari satu abad kemudian, pada paruh pertama abad XX, Jenderal Soedirman menjelma menjadi sosok penting, di mana kekuatan rakyat dipadukan dengan basis perlawanan gerilya. Raden Soedirman (1916-1950) menjadi referensi kekuatan militer negeri ini di masa transisi antara perjuangan melawan Belanda, Jepang, dan agresi militer untuk mempertahankan kemerdekaan.
Jika dirunut, Diponegoro dan Soedirman masing-masing menggunakan kekuatan militer yang hampir sama, dengan peta dan konteks zaman yang berbeda. Racikan militer antara kultur kiai-santri, karisma bangsawan, dan kekuatan tempur rakyat menjadi bagian dari skema yang dipakai oleh Diponegoro dan Soedirman. Inilah referensi historis yang melahirkan peta kekuatan militer saat ini. Dari periode zaman yang memanggungkan kisah Diponegoro dan Soedirman inilah, Indonesia belajar menggunakan siasat militernya.
Menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, rakyat Indonesia membutuhkan referensi tentang masa depan negara dan komando politiknya. Kultur warga negeri ini masih menempatkan simbol kepemimpinan sebagai instrumen penting. Pada titik ini, Diponegoro dan Soedirman menjadi simbol kuasa politik. Prabowo Subianto menautkan silsilah sebagai transformasi simbolik pasukan Pangeran Diponegoro Sayyidin Panatagama, sedangkan Joko Widodo dianggap mewakili karakter Jenderal Soedirman, dengan strategi blusukan dan tak kenal lelah menyapa warganya. Inilah racikan simbol kepemimpinan yang menjadi sajian dalam kontestasi kuasa menjelang pilpres.
Lalu, bagaimana kekuatan militer diartikan sebagai instrumen politik? Pada panggung kampanye politik saat ini, penting untuk melihat lingkaran-lingkaran kekuatan politik, militer, dan ekonomi yang mengelilingi sang capres-cawapres. Meski Prabowo memiliki latar belakang militer yang terekam jelas, Jokowi pun didukung oleh barisan jenderal militer dengan rekam jejak di pelbagai masa. Pertarungan para jenderal inilah yang menjadi bagian penting dalam episode panjang menjelang pemilu presiden 9 Juli. Perebutan kepentingan politikus-pengusaha dan strategi politik militer menjadi fase sejarah dalam ruang politik negeri ini. *
Mengapa Masyarakat Sipil Berpolitik?
Rabu, 04 Juni 2014 Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
Ada perbedaan yang cukup mencolok pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 ini. Pada pilpres sebelumnya, kalangan masyarakat sipil (civil society) umumnya mengambil jarak dari pertarungan politik memperebutkan kursi presiden, dan lebih memposisikan diri sebagai "pendamping" masyarakat. Namun, pada pilpres kali ini, sangat banyak kalangan masyarakat sipil yang terang-terangan atau setengah terbuka menerjunkan diri sebagai bagian dari simpatisan, bahkan tim pemenangan kandidat capres-cawapres, khususnya pasangan Jokowi- Jusuf Kalla.
Bagaimana menjelaskan perkembangan ini, dan apa implikasinya? Sejauh ini, kita telah terbiasa dengan analisis yang memperlawankan sistem politik formal versus gerakan masyarakat sipil, negara vs NGO, gerakan politik vs gerakan kultural. Dikotomi ini jelas perlu ditelaah ulang dengan kondisi seperti di atas. Masyarakat sipil dalam perkembangannya tidak lagi secara konsisten menempatkan diri sebagai pengontrol gerakan-gerakan politik dan penyelenggaraan kekuasaan. Masyarakat sipil tidak hanya memperjuangkan platform, tapi juga secara aktif memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemegang kekuasaan.
Perkembangan ini tentu seperti sebuah penyimpangan jika kita bertolak dari pengertian standar tentang gerakan masyarakat sipil dalam wacana sosial-politik di Indonesia dewasa ini. Pengertian yang merujuk kepada gerakan kritis-oposisional terhadap sistem penyelenggaraan kekuasaan, sebagaimana terepresentasikan dalam gerakan lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, pers, dan aktivis demokrasi untuk mengoreksi atau menentang kebijakan- kebijakan negara yang dinilai tidak berkeadilan sosial atau tidak berperspektif "kemanusiaan yang adil dan beradab".
Namun perkembangan di atas justru seperti mengembalikan gerakan masyarakat sipil kepada khittah-nya (pijakan dasar) jika kita merujuk kepada asbabun-nuzul (latar belakang) konsep masyarakat sipil. Katakanlah merujuk kepada pemikiran John Locke, masyarakat sipil adalah gagasan tentang penciptaan tatanan masyarakat yang beradab nir-kekerasan dan penindasan. Problem masyarakat sipil pada mulanya bukanlah negara atau sistem pemerintahan, melainkan tatanan yang tidak beradab, benturan antara state of nature dan individualitas, serta kehidupan bersama yang penuh kekerasan dan penyerobotan hak.
Terciptanya negara dan sistem pemerintahan justru menjadi tujuan dari masyarakat sipil. Negara yang otoriter memang menjadi musuh masyarakat sipil. Namun pemerintahan yang demokratis justru menjadi tanda-tanda eksisnya masyarakat sipil. Meminjam istilah Richard Hooker, masyarakat sipil justru ditandai dengan adanya komunitas politik, pemerintahan, dan hukum. Esensi dari masyarakat sipil adalah ketaatan pada hukum, kontrak sosial, kesetaraan, dan penyelenggaraan pemerintahan. Lawan masyarakat sipil adalah kondisi-kondisi tidak adanya hukum, pemerintahan, dan komunitas politik.
Untuk mewujudkan pemerintahan demokratis atau tatanan hukum itu, masyarakat sipil harus bertindak secara riil, membantu orang-orang terbaik untuk memimpin pemerintahan, bahkan mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dengan menduduki posisi-posisi strategis.
Dalam konteks ini, keputusan kalangan masyarakat sipil untuk terjun ke gelanggang perebutan kursi presiden menemukan pembenaran historisnya. Masyarakat sipil seperti kembali kepada khittah-nya sebagai masyarakat politik. Konsekuensinya, batas antara aktivis sosial dan aktivis politik akan melebur, dan kalangan masyarakat sipil harus siap menghadapi perubahan pandangan masyarakat. Tak perlu dirisaukan jika gambaran tentang aktivis, pengamat, atau intelektual yang netral, kritis, dan tidak berkubu perlahan-lahan memudar. Aktivis LSM, pengamat, dan intelektual mungkin juga akan semakin lekat dengan julukan "makhluk politik" yang berpihak, meskipun kemudian dapat dijelaskan bahwa keberpihakan itu memang tidak dapat dihindari. Masyarakat sipil harus memastikan presiden mendatang adalah orang yang mumpuni dalam hal pemberantasan korupsi, perwujudan good governance, pelembagaan HAM, dan perlindungan kebebasan pers.
Persoalan selanjutnya, jika capres yang dijagokan masyarakat sipil akhirnya menang, bagaimana langkah berikutnya? Kembali menjadi pengamat dan akademikus, atau akan ikut dalam gerbong kekuasaan? Kalau ternyata tak kebagian tempat duduk juga, bagaimana antisipasi agar tidak lahir "barisan sakit hati" yang akan terus merecoki presiden terpilih?
Sama problematisnya adalah jika capres yang dijagokan ternyata kalah, bagaimana masyarakat sipil kemudian harus bersikap kepada presiden yang menang? Bukankah masyarakat sipil harus tetap menjalin kontak dan memberikan masukan kepada pemerintah yang akan datang? Hal ini yang menurut penulis perlu dipikirkan masak-masak. Bagaimanapun, seharusnya tetap ada unsur masyarakat sipil yang berada di "poros tengah". Tidak ke mana-mana, tidak mencari kawan, dan tidak mencari lawan, senantiasa mendampingi masyarakat agar mampu menggunakan hak pilih secara benar dan rasional.
Seleksi Masuk Mahasiswa dan Rekayasa Sosial
Kamis, 05 Juni 2014 Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan
Sistem penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur undangan terus berlanjut. Sistem ini dilaksanakan sejak awal dekade 1980-an melalui program Proyek Perintis II (PP II). Pada periode berikutnya, sistem tersebut diadopsi menjadi PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Bedanya, pada PP II, pesertanya terbatas hanya beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka. Sedangkan pada PMDK diikuti oleh semua PTN, tapi jumlah calon mahasiswa yang diterima melalui jalur PMDK sekitar 10 persen saja. Sedangkan jalur undangan ini menjaring 60 persen dari total calon mahasiswa baru.
Sistem penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur undangan ini patut dicermati karena akan memiliki dampak sosial dan budaya yang amat luas, terutama terkait dengan formasi sosial yang akan terbentuk di masyarakat pada masa mendatang. Hal ini terkait dengan salah satu kriteria penerimaan calon mahasiswa baru yang didasarkan pada track record sekolah. SMA-SMA yang memiliki track record lulusannya banyak diterima di PTN terkemuka, sebut saja SMA favorit, akan mendapat porsi lebih banyak dibanding SMA-SMA yang tidak memiliki track record yang bagus atau tidak favorit. Akhirnya, meskipun yang satu memiliki nilai rapor rata-rata 9 tapi berasal dari SMA yang tidak favorit, dan satu lagi memiliki nilai rapor rata-rata 8,5 tapi berasal dari SMA favorit, maka yang memiliki peluang besar untuk diterima adalah justru yang nilainya 8,5.
Berdasarkan hasil penelusuran data alumnus SMA-SMA negeri favorit di beberapa kota menunjukkan bahwa mereka cukup mendominasi penerimaan calon mahasiswa baru di PTN melalui jalur undangan. Sebagai contoh, lulusan SMAN 8 Jakarta, yang cukup populer, pada 2014 ini ada 99 dari 359 (27,57 persen) lulusannya lolos melalui jalur undangan di ITB, UI, UNS, UNPAD, dan IPB. Hal yang sama dialami SMAN 3 Bandung, SMAN 5 dan 11 Surabaya, serta SMAN 1 dan 3 Yogyakarta. Rata-rata alumnus mereka yang diterima di PTN terkemuka melalui jalur undangan mendekati angka 100 atau bahkan lebih. SMAN 1 Yogyakarta, misalnya, pada 2013 mencapai 167 murid dan 2014 mencapai 121 murid. Bila dikombinasikan dengan ujian masuk melalui seleksi bersama, alumnus dari SMA negeri favorit yang diterima di PTN mencapai 80-100 persen, ibarat pindah kelas saja.
Dilihat dari penyebaran wilayah geografisnya, daerah-daerah yang memiliki murid diterima melalui jalur undangan berkisar 10-15 ribu adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sedangkan Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta berjumlah 5.000-10.000 murid. Daerah-daerah lain, termasuk DIY, jumlah lulusan SMA yang diterima melalui jalur undangan di bawah 5.000 murid.
Data di atas memperlihatkan adanya pengelompokan golongan tertentu saja di PTN-PTN kita, baik secara mikro (asal sekolah) maupun makro (asal daerah). PTN terkemuka (di Jawa) akan dihuni oleh mayoritas dari SMA tertentu yang dikenal favorit dan dari daerah-daerah yang mampu mengantarkan warganya lolos ke jalur undangan lebih dari 10 ribu orang setiap tahunnya.
Bila PTN, terlebih yang berbentuk universitas, dihuni hanya oleh kelompok masyarakat tertentu, sesungguhnya kurang sehat. Karena itu, berarti akan melahirkan satu jenis golongan masyarakat tertentu juga yang sifatnya elitis. Dan, dengan didukung oleh budaya geng- gengan (mafia) yang berbasis alumnus pada saat bekerja, PTN memiliki andil besar dalam membentuk formasi sosial yang timpang dan kurang sehat. Ini jelas kurang baik untuk kepentingan integrasi bangsa dan integrasi sosial. Formasi sosial yang demikian amat rapuh karena mudah digoyang dengan isu ketidakadilan dan kedaerahan.
Keberadaan SMA favorit itu memang perlu diperhitungkan. Tapi mengabaikan yang tidak favorit juga merupakan kesalahan besar karena, secara individual, mereka yang bersekolah di SMA yang tidak favorit belum tentu berkualitas buruk. Ambil saja contoh figur nasional yang muncul saat ini. Jokowi. Capres dari PDIP itu lulusan SMAN 6 Solo yang, pada saat dia masuk, merupakan sekolah yang baru berdiri. Demikian pula Anies Baswedan, bukan alumnus sekolah favorit SMAN 1 atau 3 Yogyakarta, melainkan SMAN 2 Yogyakarta, yang ranking-nya di bawah SMAN 1 atau 3.
Betul bahwa berdasarkan pengalaman para pengelola PTN, mahasiswa yang masuk melalui jalur undangan memiliki prestasi akademik yang konsisten dengan nilai rapor dan ujian nasional (UN) mereka. Tapi ini tidak berarti harus menjadi pembenaran untuk memberikan kuota lebih besar pada jalur undangan karena jalur ini dirasakan tidak adil bagi para murid dari SMA-SMA yang tidak favorit. Kuota terbesar (70 persen) semestinya diberikan pada seleksi melalui jalur ujian tertulis bersama secara nasional. Betul bahwa hasil akhirnya, mereka yang lolos masuk ke PTN terkemuka itu dari SMA-SMA favorit, tapi prosesnya jauh lebih adil karena setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperebutkannya. Semoga kebijakan ini dapat ditinjau kembali sebelum dampak sosialnya yang luas muncul di masyarakat. *
Akhlak versus Intoleransi
Kamis, 05 Juni 2014 Husein Ja'far Al Hadar, Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta
Kasus penyegelan, penutupan, hingga penyerangan rumah ibadah kerap kali dilakukan oknum umat Islam di Indonesia terhadap umat minoritas di negeri ini, seperti Kristen dan Ahmadiyah. Yang terbaru terjadi di Sleman, Yogyakarta.
Kasus serupa di negara lain, dengan umat Islam sebagai korbannya dalam posisinya sebagai umat minoritas, juga kerap terjadi. Seperti Geert Wilders (politikus Belanda), yang dalam KTT Konservatif Barat di Amerika Serikat (AS) pernah menyampaikan agar AS melarang pembangunan masjid di Negeri Abang Sam. Atau sebagian politikus Partai Republik di AS yang pernah menentang rencana pembangunan masjid di dekat Ground Zero, lokasi bekas WTC. Artinya, penulis hendak menegaskan bahwa pada dasarnya ini tentang oknum yang berpikiran dan bersikap ekstremis serta logika eksklusif kalangan mayoritas beragama. Di mana pun itu, dan apa pun agamanya.
Sebenarnya, pada tingkat ajaran, Islam justru menekankan tentang signifikansi penghormatan terhadap peribadahan setiap umat beragama. Bahkan, dalam kondisi perang pun, peribadahan merupakan salah satu nilai yang patut dijunjung dan dihormati, sehingga selalu ada jeda untuk mempersilakan musuh beribadah saat waktunya tiba. Sebab, Islam tak pernah memerangi umat lain karena ibadah atau imannya, melainkan karena sikapnya yang menyerang umat Islam. Dan perang pun tetap dilancarkan dalam bingkai akhlak (etika).
Selain itu, menurut penulis, ibadah sebenarnya bukan perkara tempat ibadah. Namun ibadah adalah aktualisasi keimanan. Sedangkan iman sejati pada dasarnya terletak dalam hati. Ia takkan pernah bisa ditekan, dipaksa, diruntuhkan, apalagi dirampas. Para oknum muslim itu mungkin tak sadar bahwa jika jemaah Ahmadiyah atau umat Kristen itu tak bisa menghampiri Tuhan dalam ibadahnya di rumah ibadah, mereka bisa melakukannya di mana saja dalam hati mereka. Justru Tuhan yang akan "menghampiri" mereka dalam ketertindasannya, jika mereka dilarang menghampiri Tuhan melalui rumah ibadah. Karena itu, sufi Jalaluddin Rumi mengingatkan bahwa Tuhan sejati tak "bersemayam" di rumah ibadah agama mana pun, melainkan dalam hati setiap hamba-Nya yang beriman.
Tentu sikap intoleransi itu patut dilawan. Sebab, beragama, berkeyakinan, dan beribadah merupakan hak setiap warga negara yang diatur oleh undang-undang kita dan diagungkan oleh setiap agama, terlebih Islam. Dan Tuhan pun telah memfirmankan agar hamba-Nya tak pernah takut. Namun mereka juga patut sadar akan letak keimanan yang berada di hati itu. Agar, seperti juga difirmankan Tuhan, mereka tidak pula bersedih. Sebab, sesungguhnya Tuhan bersama mereka.
Pada akhirnya, seperti kata filsuf Muhammad Baqir Shadr, keimanan sekelompok umat bukan hanya bisa dilihat dari peribadahan mereka sendiri, tapi juga dari penghormatan mereka pada peribadahan umat beragama lain. Sebab, sekali lagi, ibadah sejatinya adalah aktualisasi iman (akidah): bukan hanya dalam fiqih-syariah (peribadahan), tapi juga akhlak (penghormatan pada yang lain dan berbeda). Ketiganya adalah integral dalam Islam. Karena itu, seperti ditulis Jalaluddin Rakhmat (Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, 2007), Al-Quran selalu menjadikan keluhuran akhlak sebagai parameter kesuksesan ibadah. *
Yogyakarta, kota yang disebut-sebut sebagai ruang sosial yang plural dan menjunjung tinggi toleransi, terkoyak. Dua aksi kekerasan bernuansa agama pecah di Kota Gudeg dalam rentang tempo yang dekat. Penyerangan di kota tua warisan dinasti Mataram Islam tersebut jelas merusak kerukunan kehidupan beragama.
Bicara agama Islam, toleransi, dan kota kuno di Jawa segera yang membayang adalah Masjid Gedhe. Bangunan masjid memang tidak pernah luput ditempatkan dalam tata ruang istana Mataram Islam, kendati pusat pemerintahan kerajaan acap kali mengalami perpindahan lokasi lantaran berbagai hal. Di ibu kota kerajaan, seperti Demak, Pajang, Kota Gedhe, Pleret, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta, selalu melekat situs Masjid Gedhe. Sekalipun artefaknya sudah roboh dan tak ditemukan jejak fisiknya, toponimi (asal-usul nama tempat) masjid masih dirawat warga dalam memori kolektif.
Dalam pandangan Islam-Jawa yang mengedepankan toleransi, masjid tergolong sebagai "pusaka" yang tak ternilai di seluruh tanah Jawa. Karena itu, maklum jika dijadikan pedoman para penguasa dinasti Mataram Islam. Sumber klasik Babad Tanah Jawa merekam bagaimana Paku Buwana I melukiskan kesakralan Masjid Gedhe dan makam sewaktu dia mengenang pusaka-pusaka keraton: "Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah diambil oleh putera saya raja (Amangkurat Mas). Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dan Makam Adilangu tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati tanah Jawa."
Bentuk toleransi dan upaya menjaga warisan leluhur adalah halaman masjid dipakai untuk gelaran upacara tradisional Grebeg Sekaten. Sebab, melalui cara itulah proses islamisasi bisa diterima masyarakat Jawa. Tidak harus lewat pemaksaan fisik dan penutupan tempat ibadah. Fakta berharga lainnya adalah Masjid Gedhe sangat terbuka bagi siapa pun. Masjid Gedhe di Kota Solo, misalnya, sejak dulu dikenal tidak "berideologi", alias bukan untuk kalangan Islam tertentu. Hal tersebut tidak lepas dari terobosan Paku Buwana X (1893-1939), yang memanfaatkan bahasa Jawa untuk komunikasi dalam acara khotbah di Masjid Gedhe.
Bahasa Jawa menjadi penyatu pemeluk Islam lokal yang baru, dan mereka bertatap muka di masjid kendati hanya seminggu sekali. Dengan begitu, Masjid Gedhe menjelma menjadi pusat dari kesatuan sosial muslim. Kesatuan sosial muslim itu beragam bentuknya. Ada kesatuan sosial dengan rukun kampung, komunitas abdi dalem, komunitas bangsawan, dan bentuk kesatuan lainnya. Saban Jumat mereka berhimpun, waktu di mana ulama mengucapkan khotbahnya di muka berbagai kesatuan sosial itu.
Saat itu, dalam lingkungan kerajaan hidup pemikiran bahwa agama Islam ataupun kebudayaan Jawa merupakan inti pendidikan moral dan etika untuk anak-anak pribumi. Agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah falsafah kehidupan yang diyakini masyarakat Jawa dan mengutamakan rasa. Tak ayal, toleransi terus dipupuk, dan kerukunan sosial senantiasa dijaga. Demikianlah, situs Masjid Gedhe menyimpan kisah apik islamisasi dan kearifan masa lalu dalam mengelola toleransi tanpa memakai kekerasan. *
Dampak Kampanye Hitam
Sabtu, 07 Juni 2014 Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu
Menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, isu sentral yang menimbulkan keprihatinan kita bersama adalah maraknya kampanye hitam, khususnya di dunia maya. Yang kita maksudkan dengan kampanye hitam adalah semua model atau perilaku atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut, atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya.
Negara demokrasi yang sehat tidak mungkin memblokir aktivitas warganya di dunia maya untuk menghilangkan aktivitas kampanye hitam tersebut. Karena itu, kampanye hitam bisa kita katakan sebagai keniscayaan negatif dari kehidupan demokrasi.
Kajian empiris di negara dengan kehidupan demokrasi yang matang menunjukkan bahwa kampanye negatif itu tidak efektif dalam meningkatkan elektabilitas calon yang didukung atau menekan elektabilitas calon lawan. Anda bisa melihat temuan itu pada kajian Lipsitz et.al (2005) untuk kasus pemilu gubernur di Negara Bagian California, Amerika Serikat, atau Lau et.al (2007) untuk konteks pemilihan presiden AS.
Lalu, bagaimana dalam konteks negara kita? Dengan menggunakan pendekatan teori bounded rationality dalam perilaku memilih, kita bisa memprediksi efektivitas "kampanye hitam" dalam konteks pilpres tahun ini.
Bounded rationality adalah teori tentang perilaku manusia yang memilih karena dihadapkan pada keterbatasan kognitif, khususnya karena keterbatasan informasi tentang hal yang akan dipilih. Faktor yang menentukan adalah apa yang dinamakan dengan perilaku heuristics.
Dalam konteks bounded rationality, kampanye hitam dilakukan untuk menghadirkan perilaku heuristic (menyelidiki sendiri), yang disebut dengan affect referral. Perilaku affect referral (rujukan pengaruh) terjadi ketika para pemilih memilih kandidat yang menurut mereka paling menarik secara emosional. Perilaku inilah yang coba dipengaruhi oleh kampanye hitam. Dengan mengungkapkan rumor, disinformasi tentang kelemahan-kelemahan lawan diharapkan hadir "ketidaksukaan" emosional dari pemilih kepada kandidat yang dijadikan target kampanye hitam.
Tapi, yang harus diingat, kampanye hitam dengan tujuan yang sedemikian ini tidak akan efektif jika calon yang diserang mampu menghadirkan perilaku heuristics berikut ini. Pertama, endorsement, pemilih akan memilih kandidat berdasarkan hasil rekomendasi dari orang atau tokoh yang mereka percayai, seperti kerabat dekat, atau hubungan patron-klien lainnya, ataupun kelompok-kelompok sosial yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, individu membiarkan orang lain di luar dirinya yang memutuskan pilihannya. Artinya, calon presiden yang banyak memiliki social capital dan social networking yang kuat di tingkat akar rumput bukan hanya akan tahan terhadap segala bentuk kampanye hitam, tapi juga bisa memetik keuntungan dari kampanye negatif yang dilancarkan lawan politik kepada pihaknya. Sebabnya, akar rumput mengidentikkan kampanye hitam tersebut sebagai bentuk ketidakadilan yang bahkan akan meningkatkan simpati dan empati.
Kedua, familiarity (keakraban), di mana pemilih merasa ada kesamaan atau hubungan yang akrab dengan kandidat karena perilaku kandidat yang dinilai identik dengan mereka. Seorang calon presiden yang mampu menghadirkan jenis heuristic ini di kalangan pemilihnya juga akan imun terhadap kampanye hitam.
Yang harus kita sadari, figur yang mampu hadir sebagai seorang capres atau cawapres pastilah seorang yang mempunyai kemampuan menggalang kekuatan-kekuatan sosial-politik- ekonomi yang signifikan di luar dirinya. Mereka juga tentunya telah berhasil melakukan investasi sosial-politik yang bermakna. Tanpa itu semua rasanya tidak mungkin seorang bisa dihadirkan untuk berkontestasi dalam pemilihan presiden pada negara yang sangat besar keragaman sosialnya seperti Indonesia ini.
Artinya, kampanye hitam hampir mustahil bisa efektif meruntuhkan bangunan investasi, jaringan, serta modal sosial yang telah diakumulasi oleh seorang figur selama karier kehidupan sosial-politiknya.
Sesungguhnya, yang lebih kita khawatirkan dari kampanye hitam tersebut adalah timbulnya bentrokan di tingkat akar rumput karena pembelaan yang tidak proporsional dari masing- masing pendukung calon, khususnya ketika kandidat yang didukungnya kalah. Kekalahan itu dianggap karena perilaku tidak adil yang diterima kandidat yang mereka dukung oleh pihak lawan.
Karena itu, kita mengingatkan kembali, khususnya kepada tim sukses dan pendukung para capres-cawapres, hendaknya tidak menjadikan kampanye hitam sebagai strategi pemenangan pemilu, kalau benar kita menginginkan hadirnya demokrasi yang substantif dan berorientasi publik. *
Ekoteologi
Sabtu, 07 Juni 2014 Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St. Vincent de Paul
Ada yang menyebut kerusakan lingkungan hidup saat ini terparah dalam sejarah umat manusia. Sayangnya, agama atau teologi "monoteisme" konon malah punya andil dalam penghancuran lingkungan karena ajarannya yang menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan. Ajaran yang antroposentris ini kerap dijadikan legitimasi bagi para pelaku kerusakan lingkungan hidup di mana pun.
Ayu Utami, dalam novel Bilangan Fu (KPG, Jakarta, 2008), mencoba mengkritisi pandangan agama atau teologi monoteisme yang justru menjerumuskan ekologi dalam kerusakan. Monoteisme hanya mengajarkan agar manusia memperbaiki akhirat, tapi merusak dunia. Novel ini mengapresiasi ajaran agama tradisional, seperti "sakralisasi alam". Dalam ajaran ini, setiap unsur di alam, seperti gunung, hutan, pohon, atau danau, memiliki penghuni yang harus dihormati. Tanpa disadari, ajaran animistis ini justru menghindarkan gunung, hutan, pohon, atau danau dari destruksi.
Sedangkan teolog feminis, Rosemary Radford Ruether, mengecam budaya patriarki. Sebabnya, kata dia, budaya ini memberikan kontribusi negatif bukan hanya terhadap kemanusiaan perempuan, tapi juga terhadap perusakan lingkungan di sepanjang sejarah.
Syukurlah, agama atau teologi monoteisme mau menerima kritik seperti yang dilontarkan Ayu Utami atau Ruether. Kini sudah muncul apa yang disebut dengan ekoteologi, yang mencoba menata ulang posisi manusia. Manusia bukan sebagai pusat (antroposentris) lagi di alam semesta. Citra palsu manusia sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lain harus dilepas atau ditanggalkan karena manusia adalah mitra Tuhan atau sahabat Sang Pencipta guna menyelamatkan dunia dari kerusakan ekologi yang lebih parah. Dosa-dosa ekologis manusia modern yang mengeksploitasi bumi dan merasa memiliki keunggulan dibanding ciptaan lain perlu terus dikoreksi dan dikritisi.
Ekoteologi menawarkan ajaran atau ekologi baru bahwa segenap penganut agama monoteis kini hanya menjadi pendatang belakangan di dunia dan punya tugas menghindarkan lingkungan hidup dari destruksi (David G.Hallman, "Beyond 'North/South Dialogue'", dalam David G. Hallman, Ed., Ecotheology: Voices from South and North (Maryknoll, New York: OrbisBooks, 1994, p 6)).
Sayang, gema dari ekoteologi ini baru mulai muncul di negeri kita beberapa tahun belakangan ini. Tidak mengherankan jika destruksi terhadap lingkungan hidup di negeri ini justru terus dilakukan di tengah alpanya kaum politikus dan pengambil kebijakan akibat ingar-bingar perpolitikan menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014.
Kalau politik yang diusung para politikus kita sungguh bervisi lingkungan (green politic), jelas kita tidak perlu cemas. Tapi, sayang, politik yang diusung lebih mengutamakan politik bagi-bagi kekuasaan. Isu-isu ekologi pun tersisih. Kita sudah melihat betapa memuakkannya ketika para anggota parlemen justru turut berandil dalam kejahatan ekologi, seperti kasus alih fungsi hutan di Sumatera yang merusak lingkungan hidup.
Kita berharap presiden dan pemerintahan baru kelak serta segenap komponen bangsa lainnya di negeri ini sungguh akan punya kepedulian sejati pada lingkungan hidup. *
Merah Putih
Sabtu, 07 Juni 2014 Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni
Pada pekan-pekan penuh gelora pemilihan presiden, mitos merah-putih kembali berkelindan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ketika deklarasi calon presiden-wakil presiden, misalnya, Jokowi dan JK tampak mencium bendera Merah Putih. Sementara itu, koalisi gemuk pendukung Prabowo-Hatta dengan bangga menamakan diri mereka Koalisi Merah- Putih.
Semua tahu bahwa merah-putih disanjung sebagai ikon nasional sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Tapi bahwa merah-putih telah termitos di masyarakat Nusantara sejak dulu kala, dokumen prasejarah siap menuturkannya. Catatan-catatan kuno menyebut bahwa merah-putih adalah presentasi bayangan dari matahari dan rembulan yang melintas di khatulistiwa. Orang-orang Nusantara masa lalu memang sangat mempercayai dua bulatan jagat raya itu sebagai pemberi tuah kesaktian. Yang merah tentulah matahari: lambang kejantanan, semangat keberanian dan bertindak. Sedangkan putih adalah rembulan: lambang kelembutan, keagungan, dan kesucian.
Walmiki, dalam kisah Ramayana yang ditulis pada 400 SM, menyinggung ihwal tanah sekitar Asia Selatan dengan sebutan Nusa Emas dan Nusa Perak, alias Kepulauan Merah dan Putih. Gugusan pulau yang ditafsirkan sebagai Nusantara ini konon kekayaannya telah terdengar sampai Cina dan Mesir. Pada perkembangan lanjut, penduduk Nusantara mengembangkan mitos merah-putih ini dengan membuat metafora getih dan getah. Getih, atau darah, yang semula untuk menyimbolkan zat kehidupan, diangkat sebagai wakil dari warna merah. Sedangkan getah adalah cairan yang keluar dari tumbuh-tumbuhan (sumber kesejahteraan hidup), sebagai wakil dari warna putih. Pilihan simbol ini mengisyaratkan bahwa manusia dan tumbuh-tumbuhan adalah dua sekawan yang tak boleh terpisahkan.
Itu sebabnya, pada era Majapahit, merah-putih dijadikan warna untuk sebagian umbul-umbul. Pada sisi belakang, di dunia kuliner, mereka menciptakan bubur bang-putih (bubur sumsum merah-putih), yang mengkomposisikan gula merah (dari kelapa dan aren) di atas bubur putih yang dibuat dari beras. Bubur bernilai ritual ini, setelah ditegaskan keberadaannya oleh Syekh Siti Jenar pada masa setelah Majapahit, tampak terus diolah sampai sekarang.
Dalam perang Jawa yang memakan waktu lima tahun sejak 1825, pasukan Diponegoro berkali-kali mengibarkan merah-putih sebagai "tanda kemuliaan". Sedangkan di Minangkabau, pada zaman Perang Paderi (1818-1838), merah-putih tumbuh sebagai simbol sosial. Merah di sini disebut sebagai warna hulubalang. Sedangkan putih sebagai warna petinggi alim ulama. Ini di samping junjungan atas warna hitam, yang disebut sebagai warna penghulu atau kepala adat.
Merah-putih pada era Indonesia modern secara simbolik-seremonial terwujud dalam bendera kebangsaan, untuk kemudian diaplikasikan dalam berbagai tanda yang menyatakan keindonesiaan.
Namun bukan hanya Indonesia yang meluhurkan merah dan putih. Masyarakat di kepulauan Hawaii, misalnya, juga menjunjung dua warna itu dengan puitis dan demografis. Pulau Hawaii memuliakan merah (ulaula) lewat kembang lehua, sedangkan Oahu dan pulau lain memuliakan warna putih (keokeo) lewat bunga pupu. Begitu pula negara Polandia, Austria, serta Kerajaan Monako yang mengerek bendera merah-putihnya sejak 1861. Meski tentu hanya Merah Putih Indonesia yang selalu diikuti teriakan: Merdeka! *