Anda di halaman 1dari 38

Sa'aman

Senin, 30 Juni 2014



Sa'aman membunuh Kopral Paijan. Ia membunuh ayahnya sendiri. Novel Keluarga Gerilya
Pramoedya Ananta Toer menuturkan kisah dramatis itu: seorang gerilyawan dalam perang
revolusi tertangkap pasukan Belanda dan menunggu hukuman matinya. Dengan ikhlas. Ia
begitu yakin tujuan perjuangannya hingga ia anggap adil menghukum mati ayahnya sendiri:
Kopral Paijan bekerja untuk tentara pendudukan. "Revolusi menghendaki segala-galanya,"
katanya.
Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. Kupaksa diriku menjalani
kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi
berbuat seperti itu.
Bisakah ia dikutuk? Bisakah ia dimaafkan? Dalam konfrontasi manusia dengan dunia yang
dirundung mala dan cita-cita, tiap agenda besar-revolusi, perjuangan pembebasan, atau
penegakan keadilan-akan kepergok pilihan yang sulit ini: jika untuk membuat hidup lebih
bersih kau harus menggunakan cara yang kotor, apa yang harus kaulakukan?
Pertanyaan ini datang tiap kali, dalam situasi yang berbeda, kepada tokoh yang berbeda.
Dalam Mahabharata, Yudhistira, kesatria yang menjaga kejujuran itu, pada satu saat dalam
perang di Kurusetra harus memilih: berbohong agar Durna bisa teperdaya dan dibunuh, atau
jujur dengan akibat Durna selamat dan jadi panglima perang yang ulung di kubu musuh.
Dalam konteks yang lain, Hamlet, sang Pangeran Denmark dalam lakon
Shakespeare, mengucapkan dilema itu dengan gemetar: "I must be cruel only to be kind."
Pilihan bersikap "kejam" (cruel) lebih dulu agar bisa "baik hati" (kind) nanti, "berbohong"
lebih dulu agar kejahatan kalah kelak, adalah sebuah dilema buah simalakama-setidaknya
bagi orang yang tak sanggup mengabaikan hukum moral dalam dirinya.
Buah terkutuk itu jadi seluruh ruang hidup ketika orang itu memasuki arena tindakan dan
harapan politik. Sa'aman menghuninya, dan ia memilih "kejam". Ia biarkan tangannya kotor
untuk sebuah negeri yang bersih. Kekejaman dihalalkannya demi sebuah manfaat. "Guna"
dan "hasil" dijadikannya nilai yang utama.
Orang bisa memahami itu, mungkin sebagai penjelasan, mungkin sebagai dalih agar
dimaafkan. Tapi sampai kapan?
Dalam lakon Sartre, Les Mains Sales ("Tangan-tangan Kotor"), seorang pemimpin partai
komunis direncanakan dibunuh. Ia dianggap menyimpang dari garis partai. Ia membuat
aliansi dengan partai lawan ketika sama-sama menghadapi rezim fasis yang menindas.
Hoederer, sang pemimpin, membela diri di depan pemuda yang akan membunuhnya dengan
mengaku ia memang telah membuat langkah yang tercela. Tapi tak ada alternatif. "Tanganku
memang kotor sampai ke siku. Aku telah mencelupkannya dalam darah dan tahi," katanya.
Tapi, tanyanya, bisakah orang berkuasa tanpa berkubang najis?
Bagi Hoederer, jawabnya "tak bisa". Baginya, keadaan "tanpa berkubang najis", tanpa dosa
(innocemment), berada di luar arena orang "berkuasa" (terjemahan bebas untuk gouverner).
Dengan kata lain, "tangan kotor" dilihat sebagai hakikat politik dan kekuasaan-hakikat yang
tak pernah lapuk dan lekang. Tokoh Sengkuni dalam Bharatayudha adalah personifikasinya.
Perdana menteri itu licik untuk menang. Baginya, kemenangan tak akan diraih jika orang
sibuk menjadi "baik". Di abad ke-15, Machiavelli menyambut sengkuniisme itu dalam Il
Principe. "Seorang raja yang ingin mempertahankan kuasanya harus belajar bagaimana
bersikap tak baik," tulisnya.
Tapi sikap "tak baik", "tangan kotor", mustahil dilihat sebagai hakikat, sebagaimana juga
sikap yang "baik". Sebuah hakikat, atau esensi, berada di luar situasi eksistensial yang
berubah-ubah. Machiavelli sendiri mengajarkan, memang perlu seorang pelaku kekuasaan
menerapkan ilmu "bersikap tak baik", tapi tak selalu. Tak ada formula, tak ada yang tetap.
Lagi pula, masa depan selamanya sebuah teka-teki. Kita tak pernah tahu "tangan kotor" akan
selalu melahirkan bumi yang bersih.
Maka dari luka dan kekecewaan, tak semua orang merayakan politik, dalam arti politik
sebagai Beruf. Kata ini dari Max Weber: politik sebagai karier khusus. Tak semua orang siap
berkecimpung terus dalam darah dan tahi. Sewaktu-waktu krisis bisa mengoyak diri dan
masyarakat. Sewaktu-waktu Sengkuni dituntut melihat yang busuk dalam lakunya.
Saat-saat itulah yang menyebabkan sejarah bukan hanya satu cerita, tapi pelbagai cerita: ada
kekotoran dan anti-kekotoran, ada kebengisan dan anti-kebengisan. Sa'aman adalah pahlawan
dalam tragedi modern yang bernama "politik-sebagai-pertarungan": ia sadar ia harus berdosa
tapi ia merasa pantas dituntut mengunyah najisnya sendiri. "Dosaku banyak," katanya
sebelum dibawa ke depan regu tembak. "Lebih dari 50 orang kubunuh."
Pengakuan itu penting, juga bagi yang tak hadir di sana: tiap kali kekejaman sendiri diakui
dengan pedih di depan sesama, manusia merintis kembali jalan ke bumi yang tak tepermanai.

Goenawan Mohamad




Puasa

Sabtu, 28 Juni 2014
Putu Setia

Ramadan sudah datang. Bulan suci penuh berkah yang dinanti umat Islam. Sebagai
nonmuslim, saya akan menuturkan pengalaman yang barangkali dialami oleh para sahabat
muslim ketika pertama kali memperkenalkan anak-anak pada kegiatan puasa.
Saat itu, akhir Januari lalu, umat Hindu melakukan brata (pantangan) ketika merayakan hari
Siwaratri. Salah satu pantangan adalah berpuasa, dalam Hindu disebut upawasa. Cucu kedua
saya, enam tahun, diajak "belajar berpuasa". Dia bersedia, bahkan dengan semangat.
Ternyata di siang hari yang panas itu dia masuk kamar dan minum. Ini diintip kakaknya, dan
sang kakak langsung lapor ke saya. Ketika saya konfirmasi, anak itu langsung menangis:
"Kan sudah sembunyi, kakak yang curang, kok diintip. Kalau tak diintip kan tak ada yang
tahu."
Saya rayu dia supaya berhenti menangis. "Kalau tak tahan puasa, tak apa-apa. Kan baru
pertama, nanti juga terbiasa," kata saya. Setelah tangisnya berhenti, saya katakan: "Puasa itu
bukan untuk Bunda, bukan untuk Bapak, apalagi untuk Kakek. Tidak, puasa itu untuk Tuhan.
Kan Tuhan tak pernah tidur, Tuhan melihat kita. Jadi, kita tak bisa berbohong sama Tuhan."
Ketika saya bertugas di Yogya, rutin menyelenggarakan buka puasa di kantor. Yang
diundang bukan cuma teman-teman wartawan, juga para pejabat dan aktivis. Yang memberi
siraman rohani menjelang puasa lebih banyak pengajar di Pesantren Pabelan, kebetulan saya
dekat dengan Kiai Haji Hamam Dja'far--kini almarhum--pengasuh pesantren. Kami biasa
bergurau menunggu undangan lengkap. Teman-teman wartawan suka menggoda:
"Memangnya kamu puasa?" Saya hanya tertawa. Sesungguhnya saya memang puasa. Tapi,
kalau itu harus disebutkan, terasa pamer.
"Puasa itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Kebohongan yang paling mudah dilakukan
adalah menyebut diri berpuasa padahal tidak," ini kata-kata yang saya ingat dari Kiai Hamam
Dja'far. Kalau tak salah, pada 1982 itu saya sekeluarga diundang makan siang dengan menu
lele bakar hasil ternak di pesantren, seminggu sebelum Ramadan tiba.
Cucu saya ingin berbohong, dan itu hampir sempurna kalau saja tidak diintip dan kemudian
dilaporkan oleh kakaknya. Tapi kakaknya sendiri, kelas dua sekolah dasar, memang suka
pamer. Setiap kali tiba berpuasa pada hari-hari tertentu, setelah surya terbenam pertanda
puasa diakhiri, dia selalu teriak: "Saya berhasil, mana es krimnya." Ibunya suka ngeledek:
"Benar nih...?" Dan dia langsung jawab: "Idih, kok pakai bohong."
Di sekitar kita, mendadak pada bulan-bulan puasa ada banyak orang saleh. Undangan
berbuka puasa hampir setiap hari dengan menu yang cukup menggiurkan. Yang ikut berbuka
tak cuma umat Islam, juga umat nonmuslim. Sebuah tradisi yang bagus untuk kebersamaan,
meski kalau dilanjutkan dengan tarawih hanya diikuti oleh umat Islam. Yang non-Islam
disilakan bubar.
Apakah puasa hanya memindahkan jam makan pada siang ke malam? Apakah puasa hanya
menahan lapar sambil membayangkan bahwa saat berbuka nanti akan dipuaskan lidah dengan
makanan yang lezat? Apakah puasa hanya menunda caci-maki di media sosial siang hari
untuk dilanjutkan malam hari? Kalau cuma itu, nurani kita tak bisa merasakan bagaimana
kaum duafa yang tidak makan karena tak ada yang dimakan. Hanya menunda maki dan fitnah
di siang hari--dengan akun Twitter dan Facebook palsu pula--untuk dilanjutkan malamnya.
Puasa, dalam ajaran agama apa pun, adalah mengendalikan nafsu dan membagi hati untuk
orang-orang yang menderita.
Pengalaman saya ini tak bermaksud "menggarami laut", hanya untuk berbagi. Selamat
melaksanakan ibadah puasa.















Empat Cara Menanggapi Kekalahan

Senin, 30 Juni 2014
Seno Gumira Ajidarma, Wartawan


Dalam ilmu kesempurnaan Jawa, terdapat istilah menang tanpa ngasorake (menang tanpa
mengalahkan) yang seperti tidak mungkin dilakukan, tetapi yang jika dicari padanannya
dalam kehidupan sehari-hari, mungkin setara pendekatan persuasif dalam mencapai tujuan,
dengan hasil akhir win-win solution-yang kadang terdengar rada-rada munafik itu.

Ini menandakan makna kalah itu lebih dari sekadar artinya. Taufiq Ismail menulis lirik pada
1973: Dalam badminton kalah menang tidak jadi soal. Yang jadi soal adalah/bagaimana
supaya selalu dapat angka 15 lebih dahulu.

Namun telah diketahui bersama, betapa seperti hubungan Brasil dengan sepak bola,
kekalahan tim bulu tangkis nasional bagi Indonesia diterima sebagai kekalahan bangsa.
Kalah, bukan mengalah, adalah tetap kalah. Jika mengalah memiliki segi kemenangan,
seperti dalam kalimat sing waras ngalah (yang waras mengalah); atau mengalah seperti
dalam propaganda Mao Zedong: mundur selangkah untuk maju beberapa langkah, maka
dalam kekalahan yang sebenar-benarnya kalah, yakni kekalahan telak, tak ada wilayah
penafsiran bagi kemenangan, karena-apakah itu perang, sepak bola, atau cinta-peraturan
permainannya mengatakan demikian. Maka yang tersisa adalah cara dalam menerima
kekalahan itu.

Dalam cerita wayang, terdapat sejumlah cara menerima kekalahan. Pertama, kekalahan
Sumantri. Tokoh ini tercatat dua kali mengalami kekalahan dalam adu kesaktian, pertama
adalah kekalahan dari Arjuna Sasrabahu, kedua dari Dasamuka. Kekalahan pertama adalah
justru kekalahan yang diharapkannya, karena Sumantri hanya bersedia mengabdi kepada raja
yang mampu mengalahkannya-jadi, dalam kekalahannya, ia tak sekadar rela, tetapi seperti
menemukan apa yang dicarinya. Kekalahan kedua, meskipun tentu tidak diharapkannya,
dapat dikatakan juga direlakannya, karena sebagai Patih Suwanda yang bahkan
Ranggawarsita menjadikannya teladan, seorang kesatria memberikan raga maupun jiwanya
dalam pengabdian. Dengan begitu, keduanya adalah kekalahan yang direlakan.

Kedua, kekalahan Yudhistira. Kekalahan paling terkenal dari maharaja terbijak ini
berlangsung di meja judi, dapat dikatakan sebagai kekalahan terkonyol dalam sejarah
peradaban, karena sungguh-sungguh tidak perlu terjadi. Kekalahan yang mempertaruhkan
kerajaan, Pandawa Lima, dan Drupadi, istrinya sendiri, layak disebut konyol bukan sekadar
karena berlangsung di meja judi, melainkan karena dilakukan penjudi yang seumur hidupnya
belum pernah menang sama sekali! Sebegitu jauh mereka relakan kekalahan terkonyol ini.

Ketiga, kekalahan Suyudana. Dalam akhir Perang Bharatayudha, Prabu Hastina itu tidak
dapat dicari di perkemahannya, karena merendam diri di dalam kolam. Ia tinggal sendiri,
tanpa prajurit dan tanpa punggawa, tidak bersedia melanjutkan peperangan, karena
semangatnya sudah tidak ada lagi. Jika seorang Bhisma, Gatotkaca, dan Karna dalam
kekalahannya tetap mendapat penghormatan tinggi, sampai titik ini Suyudana mengalami
kekalahan ganda, sebagai prajurit yang wajib berperang maupun sebagai kesatria yang tidak
mementingkan kalah dan menang. Memang kemudian Yudhistira berhasil mengingatkannya,
dan Suyudana bersedia menyelesaikan kewajiban melawan Bima. Namun sebetulnya
Suyudana sudah kalah segalanya.

Keempat, kekalahan Aswatama. Dalam Bharatayudha, putra Begawan Durna ini tercatat
hanya berperang setelah ayahnya gugur. Namun, setelah mengamuk sebentar, dan terdesak,
Aswatawa bahkan melarikan diri. Menerima kecaman Suyudana, ia melepaskan diri dari
keterlibatan perang, tetapi masih menyimpan dendam. Setelah Bharatayudha selesai dengan
kekalahan Kurawa, barulah suatu malam ia menyusup seperti ninja ke dalam perkemahan
Pandawa, membunuh Drestajumena, Srikandi (atau Sikhandi yang pria dalam versi India),
dan putra Drupadi bernama Pancawala. Dalam Sauptika Parwa atau Pembantaian Malam
yang berbahasa Sanskerta, masih banyak lagi yang dibunuh dan dibantai dengan kejam. Ini
bukan cara menerima kekalahan, ini adalah cara tidak menerima kekalahan-yang tak dapat
diterima. Maka nyawa Aswatawa yang dibunuh Arjuna, terkutuk untuk luntang-lantung 3.000
tahun lamanya. Di Indonesia hampir tak pernah terdengar dalang memainkannya.

Dari empat cara menanggapi kekalahan, yang terakhir ini paling berbahaya, dan meskipun tak
pernah dipentaskan dalang, merupakan gejala yang tertunjukkan penanda-penandanya.

Diskursus Teater Narcis menyebutkan tentang pemimpin teater yang akan menyalahkan
penonton jika pertunjukannya gagal. Padahal publik dalam politik itu seperti penonton teater,
yang dalam posisi apa pun akan disalahkan pemimpin semacam ini (Soekito, 8/5/1972: 6;
15/3/1985: 4).

Jika kedewasaan dapat dilihat dalam cara menerima kekalahan. Seberapa dewasa dunia
politik Indonesia? *





Bumbu Statistik dalam Debat Capres

Senin, 30 Juni 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik


Penguasaan data statistik dan kemampuan menerjemahkannya dengan benar merupakan
petunjuk bahwa seseorang menguasai permasalahan dengan baik. Itulah sebab dalam debat
calon presiden (capres) atau calon perdana menteri di negara-negara maju, kemampuan
kandidat dalam membedah masalah dengan data sangat menentukan performanya di mata
publik.

Hal ini, misalnya, terlihat dalam debat antara John F. Kennedy dan Richard Nixon pada 26
September 1960. Dalam debat perdana yang menurut sejumlah kalangan merupakan faktor
krusial penyebab kekalahan Nixon itu, Kennedy menunjukkan kemampuannya dalam
membedah dan menyodorkan solusi atas berbagai persoalan sosial-ekonomi yang tengah
dihadapi Amerika Serikat dengan dukungan penguasaan data statistik yang baik. Walhasil,
Kennedy, yang semula tidak dijagokan, berhasil mengungguli Nixon (Tangguh dengan
Statistik, 2013).

Sayangnya, dalam debat capres yang sudah dihelat sebanyak tiga kali antara Prabowo dan
Jokowi, kita sama sekali tidak pernah disuguhi kemampuan keduanya dalam membedah
persoalan dengan data. Dalam debat kedua yang mengusung tema pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan sosial, misalnya, kedua capres seharusnya mengupas persoalan investasi,
daya saing, kemiskinan, pengangguran, dan tingginya angka kematian ibu dengan data-data
statistik. Faktanya, keduanya cenderung mengumbar bahasa-bahasa verbal yang terkesan
normatif, konseptual, dan kurang terukur (kualitatif). Data-data statistik memang sesekali
dilontarkan oleh kedua capres. Namun hal ini tanpa dibarengi dengan penguasaan yang
dalam.

Prabowo, misalnya, berulang kali menyebut bahwa kebocoran anggaran negara mencapai Rp
1.000-1.200 triliun per tahun. Namun, alih-alih menunjukkan bahwa beliau mampu memberi
solusi atas keterbatasan anggaran nasional untuk mendanai pembangunan, angka kebocoran
tersebut justru dianggap tidak realistis dan dipertanyakan kesahihannya oleh para ekonom.
Soalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya Rp 1.800 triliun.

Begitu pula ketika Prabowo menyodorkan gagasan untuk membuka 4 juta hektare lahan
pertanian baru dalam lima tahun mendatang sebagai solusi atas persoalan kemiskinan dan
pengangguran. Secara konseptual, gagasan ini memang menarik. Namun secara teknis, hal ini
sangat sulit untuk diwujudkan. Faktanya, dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah hanya
mampu menambah 700 ribu hektare lahan pertanian baru, jauh dari target ambisius
pemerintah, yang sebesar 6,15 juta hektare.

Sementara itu, Jokowi juga setali tiga uang. Meski solusi yang ditawarkannya lebih bersifat
implementatif ketimbang Prabowo yang cenderung konseptual, Jokowi hampir sama sekali
tidak menggunakan data statistik ketika membedah persoalan. Jokowi memang sempat
menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen per tahun adalah sesuatu yang
mudah untuk diwujudkan. Namun jawaban yang diberikan untuk mencapai target
pertumbuhan tersebut cenderung normatif dan tidak terukur.

Karena itu, alangkah lebih elok bila bumbu statistik ditambah dan diperbanyak dalam dua
debat yang tersisa. Hal ini penting karena, bukan hanya sebagai bukti bahwa para kandidat
betul-betul menguasai persoalan yang membelit bangsa ini secara faktual, tapi juga bakal
mendorong terwujudnya based evidence society, yakni masyarakat yang rasional, obyektif,
dan fair ketika menentukan pilihan politik. *















Lagu dan Kampanye Presiden

Senin, 30 Juni 2014
Denny Sakrie, Pengamat Musik


Kampanye pemilihan presiden Indonesia 2014 diriuhkan dengan lagu-lagu yang dinyanyikan
oleh sederet pemusik. Malah beberapa pemusik sengaja membuat lagu orisinal untuk capres
dan cawapres yang didukungnya, misalnya Slank menulis lagu Salam Dua Jari untuk
pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla. Kelompok Jogja Hip Hop Foundation juga menulis lagu
khusus untuk Jokowi dan Jusuf Kalla bertajuk Bersatu Padu Coblos Nomor 2.

Namun yang mengundang kontroversi adalah ketika pemusik Ahmad Dhani menyanyikan
lagu We Will Rock You, milik grup rock Inggris, Queen, sebagai melodi lagu kampanye untuk
pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta yang diberi judul Indonesia Bangkit yang ternyata
tidak meminta izin kepada penulis lagu tersebut, yaitu gitaris Queen, Brian May.

Sebetulnya tak ada yang salah, jika saja Ahmad Dhani meminta izin kepada penulis lagu We
Will Rock You untuk digubah menjadi lagu kampanye. Ketika Brian May berkicau di akun
Twitter mengenai penggunaan lagu We Will Rock You tanpa izin, dalam sekejap merebaklah
berita ke seantero jagat yang pada akhirnya membuat malu Indonesia di mata dunia. Peristiwa
ini setara dengan kejadian pada 1985 ketika Bob Geldof menuntut pemerintah Indonesia
karena ditemukan banyak perekam kaset di Indonesia yang sengaja membajak rekaman
konser amal Live Aid dan dijual secara komersial.

Di Amerika Serikat sendiri sejak kampanye presiden Andrew Jackson pada 1824 memang
telah berlangsung tradisi membuat lagu kampanye untuk presiden. Saat itu Andrew Jackson
menggunakan lagu The Hunters of Kentucky karya Samuel Woodworth sebagai bagian dari
kampanyenya. Pada 1960 Presiden John F. Kennedy menggunakan lagu High Hopes (1959)
milik Frank Sinatra sebagai lagu kampanye presiden. Frank Sinatra lalu mengganti lirik
lagunya sesuai dengan kepentingan kampanye Kennedy. Presiden Bill Clinton malah
menggunakan lagu Don't Stop milik band Inggris, Fleetwood Mac, sebagai lagu kampanye.
Sebetulnya lagu Don't Stop tersebut liriknya bertutur tentang perceraian. Namun Bill Clinton
mengambil sari pati optimisme dari lirik tersebut sebagai bagian dari kampanyenya: Don't
stop, thinking about tomorrow/ Don't stop, it'll soon be here/ It'll be, better than before/
Yesterdays gone, yesterdays gone.

Kita, di Indonesia, sering kali lupa dan tidak peduli terhadap hak cipta sebuah karya lagu
dengan seenaknya menggunakan lagu-lagu yang populer sebagai bagian dari kampanye
politik. Dua tahun lalu, saat kampanye pemilihan Gubernur DKI, para pendukung Jokowi dan
Ahok malah menggunakan lagu What Makes You Beautiful yang dipopulerkan boyband
Inggris, One Direction, tanpa izin sama sekali. Apalagi yang menggunakan lagu-lagu rakyat
atau tradisional yang tak diketahui siapa penciptanya, semisal lagu Apuse yang kemudian
judul dan liriknya diubah menjadi Garuda di Dadaku.

Meskipun sebuah lagu telah masuk kategori public domain setelah melewati kurun lebih dari
50 tahun, tetap ada yang namanya etika dan kewajiban menuliskan nama penulis lagunya.
Bahwa sebuah lagu tak mungkin jatuh dari langit begitu saja tanpa ada yang menuliskannya,
mungkin perlu lebih jauh dipahami dengan kesadaran yang tinggi pula.


















Melawan Lupa

Senin, 30 Juni 2014
Anton Kurnia, Cerpenis dan Esais


Milan Hubl, sejarawan Republik Cek, menyatakan, "Langkah pertama untuk menaklukkan
sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya .... Tak akan lama, masyarakat
itu akan lupa pada masa kini dan masa lampaunya."

Begitulah, saat para pemilik kekuasaan-kekuasaan politik, kapital, atau media-berupaya
mensterilkan kesadaran sebuah masyarakat, dipergunakan metode organized forgetting.
Kesadaran kolektif dienyahkan lewat proses melupakan secara terstruktur dan sistematis
dengan berbagai cara: propaganda hitam, pemalsuan fakta, dan pembelokan sejarah.

Hari-hari belakangan, perebutan kursi presiden di negeri kita yang tengah menjelang
puncaknya berimbas pada perang propaganda dan kampanye kotor yang telah sampai pada
tahap menghalalkan segala cara. Maka, proses pelupaan dan pemalsuan fakta pun dilakukan
secara sistematis. Kasus memalukan penyebaran tabloid Obor Rakyat yang berisi fitnah dan
hujatan terhadap capres Joko Widodo dengan berkedok jurnalisme adalah salah satu
contohnya.

Contoh lain adalah pernyataan Gus Dur tentang Prabowo Subianto yang dikutip sepotong-
sepotong sehingga menyimpang dari konteks semula, seakan ulama karismatis itu
mendukung Prabowo sebagai capres. Padahal baru-baru ini terungkap wawancara Prabowo
dengan wartawan Amerika Serikat, Alan Nairn, pada 2001 yang berisi hujatan fisik dan
serangan Prabowo terhadap Gus Dur saat beliau menjabat Presiden RI.

Sebelumnya, Amien Rais, tokoh reformasi 1998 yang kini makin menyimpang dari semangat
reformasi, dicemooh banyak orang di media sosial karena sikapnya yang tak konsisten. Pada
masa lalu, dia bersuara lantang menuntut Prabowo diseret ke mahkamah militer berkaitan
dengan penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, dan kerusuhan di Jakarta pada Mei 1998.
Namun, kini dia pasang badan membela mantan jenderal itu sebagai calon presiden yang
seakan tak punya catatan kelam di masa lalu, padahal layak dipertanyakan integritas dan
komitmennya terhadap demokrasi dan civil society.

Kasus terbaru yang menunjukkan ketidakpekaan dan sikap abai terhadap sejarah adalah
rekaman video propaganda dukungan terhadap capres Prabowo oleh musikus Ahmad Dhani
yang mendapat kecaman dari berbagai penjuru dunia.

Di situ, Dhani mengenakan kostum yang amat mirip seragam Heinrich Himmler, pendiri
pasukan SS Nazi yang dikenal telengas dan haus darah. Pengikut setia Hitler itu yakin,
"Senjata terbaik adalah teror. Keganasan membuat kita disegani." Tindakan gegabah Dhani
ini tentu justru mencoreng capres yang didukungnya karena sama saja dengan mencitrakan
Prabowo sebagai pemimpin fasistis, chauvinistis, dan kejam layaknya citra Nazi dalam
sejarah.

Demikianlah. Kita sibuk memproduksi kebodohan tanpa kesadaran untuk mawas diri. Sejarah
ada bagi kita hanya untuk dilupakan sehingga kesalahan terus diperbarui tanpa rasa jera.
Sejarah tak digunakan sebagai cermin tempat kita bisa melihat kekuatan dan kelemahan di
masa silam untuk bekerja keras menuju masa depan bersama yang lebih baik. Tapi sekadar
lalu waktu yang sirna begitu saja bersama retorika politik.

Rupanya kita memang telah mengidap semacam amnesia sejarah yang amat parah. Kita telah
menjelma sebuah masyarakat yang sakit dan "lupa ingatan" sehingga menjadi bebal terhadap
kenyataan, sibuk memperebutkan "kekuasaan" tanpa sadar telah berdiri di tepi jurang
kehancuran.














Krisis di Suriah

Senin, 30 Juni 2014
Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa


Perang yang mengerikan di Suriah terus memburuk dan berdarah di luar perbatasannya.
Korban tewas sekarang mungkin lebih dari 150 ribu orang. Fasilitas penjara dan penahanan
darurat membengkak isinya dengan pria, wanita, dan bahkan anak-anak. Kematian oleh
eksekusi dan penyiksaan yang tak terkatakan ditemukan di mana-mana di wilayah tersebut.
Orang-orang juga mati karena kelaparan dan penyakit yang menular sekali dan langka.
Seluruh pusat kota dan beberapa arsitektur serta warisan budaya manusia termasyhur
terhampar di reruntuhan. Suriah sekarang menjadi negara yang semakin parah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mencoba untuk mengatasi akar konflik dan dampak yang
menghancurkan. Upaya kemanusiaan kami dan upaya lainnya adalah untuk menyelamatkan
nyawa serta mengurangi penderitaan. Namun tujuan dasar kami-mengakhiri konflik-tetap
belum terpenuhi.

Enam poin berikut ini dapat memetakan cara yang prinsip dan terintegrasi ke depan.

Pertama, mengakhiri kekerasan. Tidak dapat dipersalahkan atas kekuatan asing yang
memberikan dukungan militer lanjutan kepada pihak di Suriah yang melakukan kekejaman
dan terang-terangan melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan hukum
internasional. Saya telah mendesak Dewan Keamanan untuk memberlakukan embargo
senjata. Pihak yang bertikai harus duduk bersama lagi di meja perundingan.

Kedua, melindungi masyarakat. PBB terus melaksanakan upaya bantuan kemanusiaan yang
besar. Namun pemerintah terus memaksakan pembatasan akses yang tidak masuk akal.
Beberapa kelompok pemberontak telah bertindak sama. Selain itu, masyarakat internasional
telah memberikan hampir sepertiga dari dana yang dibutuhkan untuk upaya bantuan. Saya
terus meminta untuk mengakhiri pengepungan dan akses kemanusiaan yang tak terkekang di
garis depan perbatasan internal serta perbatasan internasional.

Ketiga, memulai proses politik yang serius. Pihak-pihak yang bertikai secara sistematis
menghambat tanpa henti inisiatif dua diplomat terkemuka di dunia, Kofi Annan and Lakhdar
Brahimi. Pemilihan presiden awal bulan ini merupakan pukulan lagi, dan gagal memenuhi
standar, bahkan standar minimal, untuk pemilihan suara yang dapat dipercaya. Saya akan
segera menunjuk Utusan Khusus baru untuk melibatkan tokoh dan transisi ke Suriah baru.
Negara-negara regional memiliki tanggung jawab khusus untuk membantu mengakhiri
perang ini. Saya menyambut dengan senang hati kontak baru-baru ini antara Iran dan Arab
Saudi serta berharap bahwa mereka akan membangun keyakinan dan mengubah sebaliknya
persaingan yang destruktif di Suriah, Irak, Libanon, dan di tempat lain.

Keempat, memastikan pertanggungjawaban atas kejahatan serius. Bulan lalu, sebuah resolusi
yang bertujuan untuk merujuk konflik ke Mahkamah Pidana Internasional gagal lolos Dewan
Keamanan. Saya bertanya kepada negara-negara anggota yang mengatakan tidak untuk
Mahkamah Pidana Internasional, tapi mereka mengatakan mendukung akuntabilitas di
Suriah, untuk maju dengan alternatif yang kredibel. Orang-orang Suriah memiliki hak untuk
keadilan dan mengakhiri tindakan impunitas (kebebasan dari hukuman).

Kelima, menyelesaikan penghancuran senjata kimia di Suriah. PBB dan Organisasi
Pelarangan Senjata Kimia telah bekerja sama untuk menghancurkan atau melucuti dari
negara tersebut semua bahan kimia yang dilaporkan pada suatu kesempatan di gudang besar.
Banyak negara anggota telah menyediakan sumber daya kritis dan dukungan untuk tugas
yang menantang ini, yang dilakukan dalam zona perang aktif, dan yang tidak akan selesai
pada berbagai fasilitas kehancuran di luar Suriah.

Keenam, menyikapi dimensi regional konflik, termasuk ancaman ekstremis. Pejuang asing
dalam aksi di kedua belah pihak, menambah tingkat kekerasan dan memperburuk kebencian
sektarian. Sementara kita tidak boleh begitu saja menerima demonisasi pemerintah Suriah
dari semua oposisi seperti teroris, kita juga tidak harus dibutakan oleh ancaman nyata teroris
di Suriah. Dunia harus bersatu untuk meniadakan pendanaan dan dukungan lainnya untuk
Jabhat al-Nusra serta Islamic State of Iraq dan al-Sham. ISIS juga merupakan ancaman
terhadap semua komunitas di Irak; sangat penting bagi para pemimpin di kawasan ini-politik
dan agama-mengimbau untuk menahan diri serta menghindari serangan spiral dan
pembalasan.

Untuk saat ini, hambatan terbesar untuk mengakhiri perang Suriah adalah gagasan bahwa hal
itu dapat dimenangkan secara militer. Saya menolak narasi saat ini bahwa pemerintah Suriah
"menang".

Ketegangan sektarian berbahaya, gerakan besar pengungsi, serta kejahatan yang terjadi setiap
hari dan menyebarkan ketidakstabilan yang menimbulkan perang saudara di Suriah adalah
ancaman global. Semua nilai di mana kita berpijak, dan alasan mengapa PBB ada,
dipertaruhkan di lanskap yang hancur yang merupakan Suriah sekarang ini. Waktu adalah
masa lalu yang panjang bagi komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan, untuk
menegakkan tanggung jawabnya.



Infotainmen Politik

Senin, 30 Juni 2014
Musyafak, Staf Balai Litbang Agama Semarang


Pemilu selalu menghadiahi informasi politik yang tumpah-ruah kepada publik. Namun
melimpahnya informasi politik berbanding terbalik dengan makna politik yang kian
menyusut. Berita politik bak gelombang besar di lautan, sedangkan substansi politik ibarat
buih-buih busa yang terombang-ambing di atas gelombang itu.

Meluapnya informasi politik memberi berkah tersendiri kepada industri media. Libido
industri media terus mengondisikan agar berita terkemas semenarik mungkin demi rating dan
raupan iklan. Pada momentum ini, kerja-kerja jurnalisme benar-benar memperhitungkan
unsur hiburan. Malu-malu tapi mau, jurnalisme kian mencelup dalam ke ranah infotainmen.

Infotainmen berprinsip menggabungkan informasi dengan hiburan. Corak siaran
informasinya lebih mementingkan kemasan ketimbang isi. Informasi mengarah pada unsur-
unsur individualitas tokoh yang didramatisasi dengan unsur-unsur emotif sehingga mampu
menimbulkan reaksi-reaksi psikologis.

Dalam pilpres kali ini, banyak corak infotainmen yang dikonstruksi seolah-olah berita.
Incarannya adalah aspek-aspek individualitas capres atau cawapres yang dikomodifikasi
untuk konsumsi publik. Masyarakat konsumen media massa tentu belum lupa paparan media
tentang sederetan "kisah sisi lain" dari para politikus yang terkesan lucu, membikin
penasaran, bahkan konyol. Taruhlah Aburizal Bakrie suka memeluk boneka, Joko Widodo
membawa secarik kertas bertulisan doa dari sang ibu ketika debat, artis Julia Perez menggoda
seorang capres di media sosial, Prabowo Subianto konon hendak rujuk dengan Titiek
Soeharto, atau soal anggapan penolakan cium pipi salah satu kandidat sebelum memasuki
ring debat capres. Serentetan informasi yang mencuat di arena politik itu dikemas sebagai
hiburan yang terasa lebih menarik daripada informasi-informasi politik yang lebih substansial
menawarkan ide-ide politik kepada publik.

Wartawan menjadi mesin jurnalisme yang mengutamakan kecepatan dan up date ketimbang
verifikasi atau investigasi. Sisi individualitas politikus diramu sebagai kasak-kusuk yang
menghibur. Gaya hidup, penampilan, dan gesture seorang capres atau cawapres menjadi
prioritas pemberitaan. Itulah yang justru lebih dinikmati dan menyita banyak energi publik.
Sejalan dengan itu, jurnalis bukan lagi sekadar sebagai pencari atau penyampai berita, tapi
juga sebagai penjual berita.

Informasi yang bersifat kasak-kusuk dan sas-sus seolah cuaca lembap bagi jamur fitnah.
Berbagai kabar burung punya ruang tumbuh lebih luas. Penikmat infotainmen justru
mengalami ekstase pada kabar politik yang kabur dan belum jelas kebenarannya.

Bagi politikus yang bernalar selebritas, lensa kamera adalah ruang untuk unjuk diri. Bukan
hanya informasi seputar ide dan aksi politik yang ditampilkan, tapi ruang-ruang privat juga
dieksplorasi untuk mengatrol popularitas. Ekses pemanfaatan media oleh politikus ini
menampakkan libido kekuasaan yang berjodoh dengan libido kapitalistis industri media.

Kini infotaimen politik bukan cuma bumbu, apalagi sekadar pemanis, tapi juga sajian utama
di media massa. Infotainmen politik sebetulnya bisa merelaksasi ketegangan di arus lalu
lintas informasi publik. Namun, pada waktu yang sama, infotainmen mementaskan drama
demokrasi sebagai tayangan ulang tentang banalitas politik yang kesekian.















Pekerjaan Rumah dalam Pembangunan
Pertanian

Rabu, 02 Juli 2014
Agus Pakpahan, Ketua Umum Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan
Indonesia (Gapperindo)


Sudah banyak dikemukakan hal-hal penting dalam pembahasan pembangunan pertanian
Indonesia oleh para analis atau pemikir kebijakan pembangunan kita. Dalam tulisan singkat
ini, saya hanya akan melengkapi satu hal, tapi sangat prinsip, yaitu bagaimana kita mengatasi
kecenderungan menurunnya harga-harga komoditas primer pertanian dalam konteks tren
jangka panjang dari komoditas tersebut, yang akan berpengaruh pada perekonomian kita
secara keseluruhan.

Bank Dunia meramalkan pada 2025 nanti, antara lain, harga CPO akan menurun dari US$
835 per ton menjadi US$ 629 per ton; harga kakao akan menurun dari US$ 2,30 per kilogram
menjadi US$ 1,75 per kilogram; harga kopi robusta akan menurun dari US$ 1,97 per
kilogram menjadi US$ 1,42 per kilogram; harga gula akan turun dari US$ 0,36 per kilogram
menjadi US$ 0,28 per kilogram; dan harga beras akan turun dari US$ 403,3 per ton menjadi
US$ 314,5 per ton. Mengingat kita menyaksikan kebenaran ramalan Bank Dunia dalam
periode 1970-2000, seperti harga riil CPO turun dari US$ 1.000 per ton ke US$ 300 per ton,
kita perlu secara serius menyiapkan kebijakan dan strategi untuk mengatasi kecenderungan
jangka panjang (hingga 2025) harga-harga riil komoditas pertanian yang diperkirakan akan
menurun secara nyata.

Kebijakan yang sering disodorkan adalah peningkatan produksi dan produktivitas. Apabila
ini sukses dalam kondisi karakter ekonomi pertanian tidak berubah, yang akan terjadi
hanyalah involusi pertanian sebagaimana yang telah disampaikan Geertz pada 1970-an.
Artinya, petani akan semakin sengsara.

Jadi, apa kira-kira terobosan kebijakan untuk mengatasi masalah ini? Agar kita lebih mudah
melihat, kita lihat saja negara lain yang telah mampu mengatasi masalah kecenderungan
penurunan harga komoditas primer ini. Dari pengamatan ini, kita bisa menarik kesimpulan:
pertama, kita perlu berkonsentrasi dan bersungguh-sungguh menyukseskan industrialisasi
agro atau agroindustri. Sebagai ilustrasi, Malaysia sudah lama menjadi net importir karet.
Malaysia, dalam hal minyak kelapa sawit, pun mengimpor cukup besar dari Indonesia. Kita
bisa amati hasil industri pangan Malaysia di kota-kota di Sumatera atau Kalimantan, cukup
banyak. Nilai tambah agroindustri merupakan penyumbang terbesar dalam keseluruhan
sistem agrobisnis. Karena itu, ia sangatlah strategis.

Kedua, perlunya membangun sistem pemasaran yang membangun kepastian harga melalui
sistem kontraktual antara pelaku bisnis besar dan petani yang berhimpun dalam asosiasi-
asosiasi petani atau koperasi petani. Sistem ini dengan sendirinya menyeleksi pelaku bisnis
besar yang berpihak pada pengembangan ekonomi nasional, bukan pencari rente dari impor
atau dari lahan yang dikuasainya untuk tujuan rent seeking. Model sistem pemasaran gula
dengan menggunakan sistem dana talangan, yang telah melibatkan perguruan tinggi dalam
hal menilai titik impas usaha tani (break event point/BEP), dapat dijadikan referensi.
Kesuksesan model ini dibuktikan oleh dirinya sendiri, telah meningkatkan produksi gula dari
1,5 juta ton (1999) menjadi 2,8 juta ton (2008).

Inti dari model institusi di atas adalah ia telah mampu memberikan kepastian harga kepada
para pelaku ekonomi, khususnya para petani; membangun transparansi; melibatkan pihak
terkait dengan akuntabilitas dan responsibilitasnya yang terukur; membangun insentif untuk
berpartisipasi secara positif; dan menempatkan pemerintah pada posisinya yang pas untuk
menciptakan situasi positif baru dalam perekonomian yang menjadi target kebijakannya.
Tidak kalah penting, model institusi tersebut juga mampu memberikan pendapatan langsung
bagi pemerintah, bukan menggunakan dana APBN dalam menjalankan program
kebijakannya.

Ketiga, tentu saja efisiensi dan produktivitas pertanian tak boleh tertinggal. Peningkatan
efisiensi dan produktivitas ini sangat bergantung pada kesungguhan investasi dalam R&D
dan edukasi (RDE). Paling tidak 2,5 persen dari PDB pertanian dialokasikan untuk RDE.
Dari RDE ini janganlah kita berorientasi jangka pendek, tapi kita persiapkan RDE ini untuk
Indonesia jangka panjang, dengan siklus 25 tahun.

Ketiga hal di atas merupakan kesatuan. Apabila saya namakan strategi di atas Trimatra
Utama Pembangunan Pertanian (peningkatan produksi dan produktivitas, pengelolaan pasar
komoditas pertanian dan peningkatan nilai tambah produk pertanian), maka secara
institusional bidang agroindustri dan perdagangan komoditas pertanian perlu menjadi
yurisdiksi Kementerian Pertanian.






Obor Rakyat

Rabu, 02 Juli 2014
Ahmad Taufik, Dosen Etika dan Hukum Jurnalistik di STIKOM Bandung


Namanya saja "Obor Rakyat", bisa digunakan untuk tujuan positif atau negatif. Nah, tabloid
Obor Rakyat bisa menjadi alat bukti polisi untuk menyeret seseorang ke proses pidana, jika ia
digunakan untuk tujuan negatif. Sekarang, dari sudut mana kita melihat tabloid Obor Rakyat
itu? Menjadi penerang sas-sus yang belum jelas atau membakar (baca memprovokasi) orang
yang membacanya.

Senin pekan lalu, tim hukum Joko Widodo dan Jusuf Kalla melaporkan pengelola Obor
Rakyat ke polisi. Biasanya, aturan yang dikenakan dalam kasus seperti ini adalah penghinaan
dan atau pencemaran nama baik, yang terdapat dalam Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Laporan itu bertambah kuat setelah Dewan Pers memberi
sinyal Obor Rakyat bukan produk jurnalistik dan Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) juga lepas tangan sebagai bukan pelanggaran pemilu.

Berkaitan dengan pelanggaran pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik, saya
teringat makalah Nono Anwar Makarim, saat menjadi saksi dalam uji materi Pasal 310 dan
311 KUHP di Mahkamah Agung pada 24 Mei 2008. Menurut Nono, kriminalisasi
penghinaan/pencemaran nama mulanya dimaksudkan guna menjaga ketertiban umum.

Pada abad ke-13, orang yang merasa dihina menganggap dirinya wajib menantang si
penghina untuk berduel. Di Inggris, pada 1275, jumlah korban dan kegaduhan yang
ditimbulkan oleh penghinaan sedemikian rupa meningkat, sehingga dibuat ketentuan tentang
itu yang disebut Scandalum Magnatum dalam Statute of Westminster.

Scandalum, sebut saja begitu, berisi antara lain: "sejak sekarang tidak boleh lagi orang
secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat
menimbulkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau
orang-orang besar di dalam negeri ini." Aturan itu bertujuan untuk menciptakan proses
pemulihan nama baik secara damai. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa
(saat itu) yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan
oleh orang lain. Desas-desus pada masa itu gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan
pistol di depan umum.

Saya sepakat dengan Budiarto Shambazy dalam dialog di Metro TV, agar persoalan ini
diselesaikan segera. Para pihak duduk bersama, tak perlu mengajak polisi masuk dalam
persoalan seperti ini. Cuma ada yang saya tak bisa terima, ketika pengelola Obor Rakyat itu
menyebut terbitannya sama dengan tabloid Suara Independen di zaman Orde Baru saat
Soeharto berkuasa. Saya melihat ada kekeliruan pikiran pengelola Obor Rakyat. Terutama
dalam konteks zaman terbitnya.

Penerbitan alternatif muncul biasanya terjadi pada zaman rezim yang menindas (otoriter),
saat suara-suara kritis dibungkam penguasa, dipenjara, "dihilangkan", bahkan dibunuh.
Media massa disensor, dibreidel, dan dimatikan. Lalu kebebasan berekspresi dikekang. Di
berbagai belahan bumi, di mana negaranya dipimpin pemerintahan yang otoriter dan
militeristik, terbit media "bawah tanah". Menyamakan Independen dengan Obor Rakyat
adalah kekeliruan besar. Karena zaman seperti yang disebut di atas tidak ada lagi. Media
massa kini tak perlu lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) seperti pada saat
Harmoko memimpin Kementerian Penerangan atau Surat Izin Terbit (SIT) saat militer
berkuasa.















Menjual Kreativitas

Rabu, 02 Juli 2014
Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni


Dalam debat calon presiden edisi 15 Juni, juga dalam dialog ekonomi dengan Kamar Dagang
dan Industri Indonesia pada 20 Juni lalu, Prabowo Subianto dan Joko Widodo bersepakat
bahwa sektor ekonomi kreatif harus dikembangkan. Tekad pengembangan ini diyakini karena
hitung-hitungan betapa sektor ini menjanjikan buah ekonomi yang amat besar.

Kesepakatan di atas panggung itu tentulah diharapkan terwujud dalam realitas sosial, siapa
pun presiden yang akan terpilih nanti. Dan perwujudan itu dimulai dari kebijakan politik yang
secara resmi digariskan, sehingga menjadi agenda politik-ekonomi yang tak pernah putus.

Hasrat mengembangkan sektor ekonomi kreatif pastilah membesarkan hati, walau niat ini
sesungguhnya amat terlambat sehingga Kementerian Ekonomi Kreatif baru didirikan
beberapa tahun lalu. Itu pun digabungkan dengan bidang pariwisata.

Belum pernah ada data statistik yang menghitung jumlah pelaku ekonomi kreatif di
Indonesia. Namun sejumlah pengamat mengakumulasi bahwa Indonesia saat ini memiliki tak
kurang dari 80 ribu pelaku ekonomi kreatif profesional (perajin ukir sampai batik, desainer,
penari, pemain sandiwara, pemusik, perupa, sastrawan, penata panggung, arsitek, fotografer,
hingga animator). Para pelaku ini didukung oleh ratusan ribu pekerja yang sibuk di
belakangnya. Namun, selama puluhan tahun hidup di Indonesia merdeka, para kreator itu
bekerja mandiri. Berkarya dalam sepi, berpentas sendiri, membuat pameran sendiri,
berpromosi sendiri, hingga mencari pembeli dan penonton sendiri. Ironisnya, beriringan
dengan itu, negara tiba-tiba masuk: untuk menyensor atau memungut pajak!

Ke depan, bersama Presiden yang baru, Indonesia harus memberdayakan potensi ekonomi-
kreatif lewat berbagai dorongan. Model upaya pemberdayaan sejumlah negara berikut ini
mungkin bisa jadi stimulan. Belanda, sejak 1936, membuat ketetapan bahwa Kementerian
Perumahan dan Perencanaan Fisik serta Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan harus
menyisihkan 1-1,5 persen anggaran untuk pembelian karya kreatif. Perhatian ini mendorong
masyarakat domestik dan internasional untuk memandang karya kreatif Belanda sebagai
komoditas penting. Kebijakan yang sejalan juga dilakukan oleh Prancis, Jerman, Kanada,
Jepang, apalagi Korea Selatan.

Di Amerika, penyediaan anggaran untuk karya kreatif menunjukkan angka spektakuler pada
dekade terakhir. Anggaran itu untuk menghidupkan sekitar 600 sekolah seni serta lebih dari
700 rumah karya kreatif (museum, gedung teater, konservatori, dan lain-lain). Hal itu juga
untuk memberi rangsangan bagi lebih dari sejuta seniman amatir. Kebijakan politik ini
mengarahkan minat masyarakat, sehingga rumah karya kreatif, yang diekonomisasi lewat
tiket, dijejali lebih dari 100 juta penonton setiap tahun.

Sejak memasuki era kapitalisme-sosialis pada 1990-an, jagad ekonomi kreatif Cina sungguh
mengguncangkan. Pemerintah membina sektor industri budaya sampai ke tingkat kota,
distrik, dan desa. Jutaan kreator bekerja giat. Ratusan ahli seni dari luar negeri didatangkan
untuk mengajarkan teknologi panggung sampai teknik berseni visual yang baru. Ujung dari
itu adalah usaha pemerintah dalam membuka pasar. Hasilnya, kini Cina menjadi maharaja
ekonomi-kreatif tiada tara!

Indonesia adalah lumbung besar pelaku ekonomi kreatif. Namun, apabila komitmen para
capres cuma retorika, lumbung itu akan menjadi dongeng sebelum tidur belaka.*















Fitnah

Rabu, 02 Juli 2014
Bandung Mawardi, ESAIS


Hari-hari politik di Indonesia bergelimang fitnah. Tempo edisi 23-29 Juni 2014 memberi
peringatan bagi pembaca: "Fitnah dan kebencian dihidangkan setiap hari." Kita lekas
mengingat Obor Rakyat, yang berisi fitnah-fitnah untuk menghancurkan Joko Widodo. Fitnah
terus berbiak, tak selesai mengotori niat berdemokrasi secara beradab.

Kita mulai menengok ke masa silam, saat demokrasi berisi fitnah-fitnah. Robert Harris,
dalam novel berjudul Imperium, mengisahkan tokoh-tokoh politik yang saling menyebar
fitnah dengan dalih jabatan dan otoritas kekuasaan. Fitnah membuat orang dipersalahkan dan
disingkirkan dari arena politik. Fitnah pun berlanjut dengan pembunuhan. Ironis! Sejarah
berdemokrasi memang sulit mengelak dari fitnah sejak demokrasi bertumbuh di Yunani.

Fitnah bisa mengalahkan seribu panah dan pedang. Fitnah juga bisa bersaing dengan bedil,
bom, dan ranjau. Olahan kata bermaksud jahat dalam fitnah memang bertujuan
menghancurkan: kejam dan biadab. Fitnah selalu mengiringi idealitas berbangsa-bernegara,
dari masa ke masa. Sebaran fitnah melalui omongan, koran, puisi, lagu, dan film mirip
pelipatgandaan petaka. Di Indonesia, fitnah telah berbiak sejak ribuan tahun silam,
mengiringi sejarah kerajaan dan kolonialisme. Fitnah menimbulkan suksesi, pemberontakan,
perang, serta pembunuhan. Fitnah menggunakan simbol-simbol agama, gender, etnis, dan
seks demi raihan kekuasaan. Sejarah Indonesia memiliki catatan berlimpah tentang fitnah.

Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan fitnah sebagai
"perkataan jang bermaksud mendjelekkan orang, menodai nama baik, merugikan kehormatan
orang". Konsekuensi fitnah perlahan merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Fitnah tak
cuma pengertian dalam kamus. Sekarang, fitnah adalah "raksasa" atau "monster" penghancur
etika politik dan demokrasi beradab. Goenawan Mohamad pun mengingatkan bahwa sebaran
fitnah bisa melukai bangsa. Fitnah melukai akal sehat dan kejujuran (Koran Tempo, 25 Juni
2014). Peringatan mengacu pada pola serangan fitnah telah berlebihan mengarah ke calon
presiden. Fitnah menciptakan narasi ketokohan agar mendapat kebencian, hujatan, dan
kutukan.

Produksi fitnah menimbulkan rasa cemas dan kesedihan saat muncul berbarengan dengan
resepsi publik atas iklan, debat capres, serta lagu. Sebaran fitnah semakin menambah daftar
ironi berdemokrasi di Indonesia. Sukarno mengalami keruntuhan politik akibat fitnah.
Soeharto tak terlalu mendapat serangan fitnah. Gus Dur, saat menjadi presiden, mesti
"bertarung" melawan serbuan fitnah. Demokrasi mengalami luka. Fitnah belum selesai. SBY
adalah "korban" petaka dari fitnah sejak 2004. SBY, dalam buku berjudul, Selalu Ada Pilihan
(2014), tanpa sungkan memberikan predikat kepada dirinya sebagai "korban". Puluhan
istilah fitnah hadir dalam buku, pembuktian bahwa SBY mendapat serangan fitnah. Kita tentu
masih mengingat "ratapan" SBY saat berpidato mengenai fitnah.

Kemanjuran fitnah untuk penghancuran mulai mengarah ke Joko Widodo saat berkehendak
menjadi presiden. Fitnah disebarkan melalui Obor Rakyat, yang bermaksud mempengaruhi
kalangan pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur agar membenci Joko Widodo. Tanggapan-
tanggapan atas fitnah sudah diajukan meski tak merampungkan ulah orang atau institusi yang
bermaksud menghancurkan Joko Widodo. Fitnah telanjur bersebaran, mengusik dan melukai
bangsa. Fitnah adalah "neraka" bagi Indonesia! *
















Politik Kutipan

Rabu, 02 Juli 2014
Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip


Warisan pemikiran sesungguhnya adalah serangkaian kutipan. Yang dimaksudkan dengan
kutipan di sini adalah pernyataan pendek utama dan penting yang diambil dari sebarisan
panjang paragraf dari tulisan atau sekian panjang tuturan yang dinarasikan.

Kutipan adalah mata rantai pembentukan peradaban di mana kita terus-menerus tersambung
oleh masa silam yang merupakan tali pusar asali. Lewat kutipan, pemikiran masa silam
diwariskan, dikuatkan, dan diinovasikan. Kalimat-kalimat kunci penting dalam inovasi yang
pernah ada terus hidup tatkala ia dijadikan kutipan bagi generasi terkini untuk membantunya
memperkuat argumentasi.

Demikianlah kutipan menjadi salah satu memetika. Sementara gen atau genetika disebut-
sebut sebagai kunci pembentuk pertumbuhan fisik kita, meme (mim)/memetika adalah virus
pembangun pemikiran/ide. Meme (mim), karena itu, bukan cuma soal gambar-gambar yang
lucu, yang kita baca nyaris tiap detak waktu pada lini masa media sosial.

Penulis macam Richard Dawkins dan Richard Brodie percaya betul kehidupan manusia tak
hanya sekadar genetika yang mempengaruhi faal manusia. Manusia juga tersusun oleh
abstraksi dalam pemikirannya, dan itu virus mim. Gagasan, ide, dan kreativitas adalah jejak-
jejak bekerjanya mim dalam kehidupan manusia.

Namun ide atau gagasan adalah bentukan dari satu kutipan ke kutipan lain yang sudah
berlangsung bergenerasi-generasi. Gagasan/ide tak pernah hidup sendiri di pulau terpencil.
Mim dalam bentuk kutipan adalah legitimasi sekaligus tambang penguat argumentasi dari
sebuah ide atau gagasan.

Dari sinilah mengutip menjadi tindakan politik ketika kita membangun posisi dan langgam
politik dari mim kutipan. Untuk membuat konstruksi bangunan ide/argumentasi nasionalisme
dan gotong-royong (persatuan nasional), Sukarno perlu mengutip kata-kata puluhan pemikir
dunia dari beragam aliran ideologi yang diserapnya dari bacaan dan diujinya dalam tindakan
selama puluhan tahun.

Untuk melegitimasi kekuasaannya, Soeharto terus-menerus memproduksi kutipan dari
kesatria-kesatria jebolan Revolusi 1945 dan mereka yang berjasa dalam penjatuhan Sukarno
dan pengganyangan PKI dalam bentuk film, pidato, monumen, diorama, museum, cerita, dan
kurikulum pendidikan.

Peristiwa-peristiwa yang menyertai senjakala dan kejatuhan Soeharto pada 1998 juga menjadi
legitimasi siapa yang "paling patut dan berhak" berada dalam arus kekuasaan saat ini.
Pahlawan-pahlawan massa (l) saling sikut untuk mendapat kalungan medali. Dan yang paling
apes nasibnya tentu saja kalangan militer yang belasan tahun kemudian naik ke panggung
politik utama tapi terlibat dalam aksi penculikan dan penembakan saat demonstrasi
mahasiswa berlangsung pada 1997-1998.

Nah, tiga sumur warisan politik itulah yang kita lihat mengarus dalam politik hari ini,
terutama menyangkut mim kutipan. Lini masa media sosial menunjukkan bagaimana mim
kutipan politik itu berseliweran merebut pengaruh dan kepercayaan. Seperti virus akal budi-
meminjam istilah pemikir memetika, Richard Brodie-kutipan-kutipan menjadi senjata
mematikan untuk mengunci arus suara politik.

Untuk meraih suara kaum nasionalis dan menunjukkan bahwa sang calon presiden mewarisi
kemegahan dan karisma pribadi Sukarno, sang kandidat dengan atraktif mengutip cara bicara
(termasuk mikrofon), cara berpakaian, dan kutipan pikiran besarnya. Bahkan, pada Mei-Juni
2014, produksi mim kutipan untuk dukungan kepada sosok calon presiden tertentu bekerja
sangat masif, yang kemudian menjadi trendsetter.

Sebagaimana alat peraga kampanye, mim kutipan politik itu disebar secara sadar seperti virus
akal budi untuk membangun gugus kepercayaan. Tapi kepercayaan itu bisa melempem oleh
kontradiksi dalam kutipan itu sendiri.

Ketika selapisan orang secara terus-menerus membagi kutipan Gus Dur tentang kelayakan
seseorang kandidat menjadi presiden, orang kemudian percaya bahwa demikianlah adanya.
Tapi ada yang terlupa, bahwa ada kutipan tandingan yang terkubur, di mana sang kandidat
pernah pada suatu masa menghina secara kasar si pemilik kutipan yang dijadikan bantalan
untuk meraih simpati.

Sampai di sini, mim kutipan menjadi banal justru karena ada kontradiksi. Menunjukkan
kontradiksi adalah salah satu cara mencegah dan memfilter bahwa virus yang menyebar
bukan virus sampah akal budi. Dan pencegahan itu menjadi budaya bila tradisi
mendokumentasi kutipan (lisan/tulisan) menjadi kebiasaan sehari-hari kita. Dan praktik
tradisi itu kita temukan bentuk awalnya justru pada pemilihan umum presiden 2014. Tak
pernah pemilu berjalan seatraktif ini sebelum-belumnya.



Produksi Padi dan Pemilihan Presiden

Jum'at, 04 Juli 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik


Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional selama beberapa
tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi pada tahun-tahun saat pemilihan
presiden dihelat.

Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran pertama, Badan Pusat
Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional yang menyebutkan bahwa produksi
padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling, atau mengalami
peningkatan sebesar 1,5 juta ton (2,93 persen) dibanding produksi pada 2003.

Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat pada 8 Juli, BPS
mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta
ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71 persen) dibanding produksi pada 2008.

Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data produksi
padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan tersebut ditengarai
merupakan indikasi bahwa data produksi yang dirilis BPS selama ini tidak obyektif. Boleh
jadi, statistik produksi telah diramu sedemikian rupa untuk membikin senang dan mendukung
kepentingan politik (pencitraan) penguasa.

Sangkaan tersebut tentu mengada-ada. Buktinya, angka ramalan satu (Aram I) produksi padi
2014 yang dirilis BPS pada awal bulan ini (1 Juli)-seminggu menjelang pilpres-menyebutkan,
produksi padi pada 2014 diperkirakan sebesar 69,87 juta ton, atau turun sebesar 1,41 juta ton
(1,98 persen) dibanding produksi pada 2013. Anjloknya produksi diperkirakan terjadi karena
penurunan luas panen dan produktivitas masing-masing sebesar 265,31 ribu hektare (1,92
persen) dan 0,03 kuintal per hektare (0,06 persen).

Aram I juga memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, target ambisius pemerintah
untuk mewujudkan surplus beras 10 juta ton pada tahun ini mustahil bakal tercapai. Soalnya,
berdasarkan hitung-hitungan pemerintah, surplus beras 10 juta ton hanya bisa direngkuh bila
produksi padi mencapai 76,57 juta ton.

Memang, angka perkiraan sebesar 69,87 juta ton masih mungkin berubah bila realisasi
pertanaman padi hingga awal September tahun ini mampu dimaksimalkan. Namun, mengejar
tambahan produksi sebesar 7 juta ton merupakan pekerjaan maha berat. Apalagi, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini bakal
lebih panjang.

Sejumlah kalangan bahkan memperkirakan, pada tahun ini, Badan Urusan Logistik (Bulog)
bakal kembali mengimpor beras sebanyak 500 ribu-1,5 juta ton (The Jakarta Globe, 10 Juni).
Artinya, prestasi gemilang Bulog tahun lalu, yang berhasil menstabilkan harga beras dalam
negeri tanpa impor, berkemungkinan besar bakal gagal dipertahankan.

Kedua, peningkatan kapasitas produksi padi nasional harus menjadi fokus perhatian
pemerintah mendatang. Siapa pun yang bakal menjadi pemenang pada pilpres 9 Juli nanti
harus mengupayakan pencetakan sawah baru dan peningkatan produktivitas dalam skala
besar. Tak bisa ditawar, hal ini harus menjadi agenda utama pembangunan di bidang pangan.
Bila tidak, negeri ini bakal sulit keluar dari jebakan impor beras.
















Krisis Irak

Jum'at, 04 Juli 2014
Tom Sapttatmaja, Alumnus St. Vincent de Paul


Irak menjadi negeri yang terus dilanda berbagai macam krisis, sejak Presiden Amerika
Serikat George W. Bush menginvasi Irak pada 2003 dan menggulingkan Saddam Hussein
yang berkuasa sejak 1979. Spiral kekerasan terus menjebak Irak. Nyaris sejak invasi AS itu,
perang menjadi keseharian di negeri yang dulu bernama Babilonia atau Mesopotamia serta
menjadi pusat peradaban dunia tersebut.

Kini hanya ada ledakan bom bunuh diri dan terinjak-injaknya martabat manusia akibat perang
dan bom bunuh diri, meski Presiden Obama sudah menarik pasukan AS sejak akhir 2011.
Ketika Bush hendak menginvasi Irak pada Maret 2003, mendiang Paus Yohannes Paulus II
sudah mengingatkan perang hanya mengakibatkan kekalahan bagi kemanusiaan dan menjadi
aib bagi agama-agama. Ketika itu, Paus hendak dibujuk Bush yang berusaha meyakinkan
bahwa serangan ke Irak merupakan perang kristiani yang sah atau Perang Salib baru (Koran
Tempo, 11/2/2002).

Memang, krisis Irak selalu kental dengan sentimen keagamaan. Simak Saddam, yang
penganut Sunni, digulingkan dan diganti oleh pemerintahan yang didominasi Syiah, kini
mayoritas warga Irak yang Syiah cemas atas munculnya Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS). Bukan hanya kaum Syiah, umat kristiani Irak yang sudah ada sejak awal Masehi juga
terjepit oleh kehadiaran ISIS, seperti yang terjadi di Mosul (baca Tempo.co, 20 Juni 2014).

ISIS sudah memproklamasikan dibentuknya sebuah "kekhalifahan Islam" di wilayah yang
mereka kuasai di Irak dan Suriah, dari Aleppo di Suriah utara hingga Diyala di Irak timur.

Sayang, kekhalifahan ISIS ini jelas anti-keberagaman, sehingga kaum minoritas Kristen di
Irak yang sudah ada sejak awal Masehi juga cemas. Padahal, pada kekhalifahan Abbasiyah
dengan khalifah Al Mahdi (775-785) dan Harun al-Rasyid (785-809) yang disebut "Golden
Age" dalam sejarah Islam, orang Kristen Irak pernah memperoleh tempat istimewa.
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya, Baghdad, juga berkisah bagaimana
khalifah Al Makmun (830) menyuruh Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen, untuk
mengkoordinasi proyek penerjemahan risalah-risalah dari bahasa Aram, Pahlavi, dan Yunani
ke bahasa Arab (Tempo, 17-23 Februari 2003).

Jalinan harmonis orang Kristen dan muslim Irak itu terus berlanjut sampai rezim Saddam.
Saddam juga memilih pembantu dekat seorang Katolik Kaldean, yakni deputi PM Tareq
Azis, yang loyalitasnya bagi bangsa Irak tidak perlu diragukan lagi. Di bawah Saddam,
gereja-gereja di Irak bebas menggelar misa dan kebaktian. Pendirian tempat ibadah juga
dijamin. Di Baghdad, misalnya, terdapat tujuh masjid agung dan lima gereja simbol dari
kebebasan dan toleransi beragama yang bukan basa-basi.

Seolah hendak menggambarkan relasi yang harmonis di antara kedua umat, gedung gereja di
Irak juga memakai kubah seperti di masjid. Tidak pernah terdengar di Irak ada perusakan
tempat ibadah. Andrao Abouna, mantan Uskup Baghdad, sampai bangga menyebut negerinya
sebagai "Tanah Suci", karena menjadi tempat lahir Nabi Ibrahim, Bapak Ketiga Agama
Samawi. Tapi ISIS yang berafiliasi dengan al-Qaeda lupa akan fakta itu. Saling menghormati
di antara sesama umat yang berbeda agama, sudah sirna di Irak. *

















Pekerjaan Rumah Defisit Demokrasi

Jum'at, 04 Juli 2014
Wawan Sobari, Dosen Universitas Brawijaya


Ada dua fakta paradoksal mengenai pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Di satu sisi,
tingkat ketertarikan publik terhadap politik dan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga
publik terbilang rendah. Di sisi lain, indikasi defisit demokrasi itu tidak menyurutkan minat
publik terhadap pilpres 2014.

Menurut survei nasional Saiful Mujani Research & Consulting pada Februari 2012,
ketertarikan publik terhadap masalah politik hanya 32 persen. Sementara itu, data survei
nasional Cirus Surveyors Group (CSG) pada Desember 2013 mengungkapkan pesimisme
publik terhadap kinerja partai politik, DPR, dan pemerintah. Sebanyak 79,2 persen responden
tidak dan kurang percaya terhadap parpol; rerata 51,13 persen responden yakin DPR belum
menjalankan tiga fungsinya dan 59,7 persen merasa tidak diperjuangkan; dan rerata 34,68
persen responden menyatakan kurang puas dan kecewa terhadap 13 jenis pelayanan publik.
Adapun survei CSG pada Februari 2014 menemukan sedikit perbaikan atas tingkat
ketidakpercayaan terhadap parpol menjadi 75,01 persen.

Begitu pula tren partisipasi publik dalam pemilu legislatif dan pilpres. Pemilu legislatif 2009
mencatat partisipasi tertinggi hingga 92,74 persen. Sepuluh tahun kemudian, angka
partisipasi menurun hingga 70,96 persen. Angka partisipasi pilpres setali tiga uang. Jumlah
pemilih yang menggunakan haknya dalam pilpres 2009 tinggal 72,56 persen.

Sebaliknya, survei nasional Pol-Tracking Institute (PTI) pada Oktober 2013 menemukan 84
persen responden berminat mengikuti pilpres 2014. Lalu, survei PTI Januari dan Juni 2014
menunjukkan angka peningkatan minat untuk memilih dalam pilpres 2014 menjadi 84,9
persen dan 92,4 persen. Demikian juga angka partisipasi pada pemilihan legislatif 2014, naik
4,15 persen (75,11 persen).

Kemeriahan dukungan para sukarelawan terhadap kubu-kubu capres-cawapres merupakan
fakta kontras lainnya. Kubu Jokowi-JK mengklaim telah mendapat dukungan dari hampir
sejuta sukarelawan. Kubu Prabowo-Hatta mencatat sudah 820 elemen sukarelawan
mendeklarasikan dukungannya di rumah Polonia, Jakarta, hingga akhir Juni 2014. Jumlah
tersebut belum termasuk elemen sukarelawan yang mendeklarasikan dukungannya di daerah-
daerah.

Kamus bahasa Indonesia mengenal kata sukarelawan atau volunter sebagai orang yang
melakukan suatu pekerjaan secara sukarela. Para volunter bekerja atas dasar kemauan sendiri,
dengan kerelaan hati.

Dalam kajian sosial, praktek-praktek volunterisme atau keterlibatan dalam lembaga-lembaga
volunter merupakan indikasi utama tumbuhnya modal sosial (social capital). Putnam (1995)
merinci elemen utama modal sosial dalam bentuk jejaring, norma, dan kepercayaan yang
mendorong para volunter bekerja untuk mencapai tujuan bersama.

Sayangnya, penguatan praktek volunterisme dalam hal pilpres 2014 terjadi saat demokrasi
mengalami defisit. Selain karena dominasi lembaga politik ketimbang aspirasi publik dalam
membuat keputusan publik, lembaga-lembaga pilar demokrasi kurang mampu meredam
tekanan nonpublik dalam mewujudkan tuntutan rakyat (Luckham, 2000). Padahal, lembaga-
lembaga itu semestinya lebih responsif terhadap suara publik sebagai bukti menjalankan
amanah suara publik (akuntabilitas).

Untuk itu, gejala paradoks penguatan jejaring sukarelawan capres-cawapres di tengah defisit
demokrasi atau keterpurukan kinerja parpol dan DPR bisa dimengerti. Penyebabnya, basis
gerakan para sukarelawan bersandar pada tujuan mendukung figur capres atau cawapres,
bukan identitas parpol pengusungnya. Bahkan, sangat mungkin para sukarelawan tak tertarik
dengan parpol. Dengan tanpa mengatasnamakan parpol, gerakan mereka bisa lebih kuat
karena tidak dibatasi sekat identitas politik yang kental kepentingan, cenderung konfrontatif,
dan rendah kepercayaan.

Bonus modal sosial di tengah demokrasi yang nirsurplus merupakan pekerjaan rumah bagi
siapa pun pemimpin terpilih dalam pilpres 2014. Presiden dan wapres terpilih mesti memiliki
karakter kepemimpinan dan kebijakan yang mampu mengundang keterlibatan publik,
sebagaimana antusiasme para sukarelawan.

Bukan sekadar populis, tipe kemimpinan partisipatoris sangat dibutuhkan dalam situasi
melemahnya peran pemerintah karena berbagai tekanan. Terbitnya Inpres Nomor 4 Tahun
2014 yang menargetkan pemotongan belanja negara hingga Rp 100 triliun merupakan salah
satu indikasinya. Peran entitas non-negara sangat dominan dalam menggerakan roda
ekonomi, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.

Walhasil, siapa pun capres-cawapres terpilih nanti bukan saja harus mampu
mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang terpecah karena perbedaan dukungan. Lebih
dari itu, pemimpin terpilih mesti mampu memanfaatkan potensi besar volunterisme para
sukarelawan. Kemudian, pemimpin dapat mentransformasikannya menjadi modal sosial
untuk meminimalkan keterbatasan negara dalam memberi manfaat kepada rakyat.


Visi Pendidikan Calon Presiden

Sabtu, 05 Juli 2014
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan


Debat calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla pada 29 Juni lalu
memberi kesan bahwa visi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa seakan lebih baik bila dibanding
visi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Hal itu lantaran cara penyampaian Hatta Rajasa
lebih terstruktur dan terukur dibanding JK yang terkesan retorik. Namun, bila membaca visi-
misi kedua calon, sesungguhnya tidak demikian. Boleh jadi visi-misi Jokowi jauh lebih
realistis dan implementatif, sekaligus menjawab persoalan di lapangan.

Berikut ini kutipan visi-misi kedua capres dalam bidang pendidikan yang berguna bagi
mereka yang belum sempat menonton langsung. Pertama, visi-misi Prabowo-Hatta, antara
lain: realokasi dan peningkatan efesiensi penggunaan anggaran; wajib belajar 12 tahun;
menghapus pajak buku pelajaran; menghentikan penggantian buku pelajaran setiap tahun;
mengembangkan pendidikan jarak jauh; pengiriman tunjangan profesi guru langsung ke
rekening guru, merekrut 800.000 guru selama lima tahun; menaikkan tunjangan profesi guru
menjadi rata-rata Rp 4 juta per bulan; merevisi kurikulum nasional; dan mewajibkan kembali
kurikulum matematika dan bahasa Inggris untuk sekolah dasar serta pendidikan antikorupsi.

Kedua, visi-misi Jokowi-JK adalah wajib belajar 12 tahun; menata kembali kurikulum
pendidikan nasional; memperjuangkan agar biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga
negara; menghentikan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional (termasuk
ujian nasional); melakukan perekrutan dan distribusi tenaga pengajar (guru) yang berkualitas
secara merata; dan memberikan jaminan hidup yang memadai para guru yang ditugaskan di
daerah terpencil, dengan pemberian tunjangan fungsional yang memadai dan asuransi yang
menjamin.

Visi-misi kedua capres tersebut ada yang beririsan, seperti program wajib belajar 12 tahun,
penataan kurikulum, serta perekrutan dan peningkatan kesejahteraan guru.

Bila kita melihat statistik dan persoalan pendidikan di lapangan, visi Jokowi tentang guru
lebih realistik. Janji Prabowo-Hatta untuk mengangkat 800.000 guru mustahil terealisasi.
Mengapa? Problem dasar kita bukan kekurangan guru, melainkan distribusi yang tidak
merata. Jumlah guru saat ini 2,9 juta dengan murid 40-an juta. Rasio guru dengan murid
adalah 1:13,7. Rasio ini amat ideal, karena menurut UNESCO, rasio guru-murid yang ideal
itu adalah 1:20. Jadi kita bukan kekurangan guru, melainkan kelebihan guru. Oleh karena itu,
solusinya bukan mengangkat guru baru-kecuali mengganti yang pensiun-melainkan distribusi
guru ke seluruh negeri agar merata. Mereka juga harus diberi insentif dan tunjangan tertentu,
seperti visi Jokowi.

Janji Prabowo-Hatta yang akan memberikan tunjangan profesional Rp 4 juta sebulan juga
mustahil, karena melanggar UU Guru dan Dosen. Hal ini tidak realistis. Pasal 16 ayat (2) UU
Guru dan Dosen menyebutkan bahwa tunjangan profesi guru tersebut setara dengan satu kali
gaji pokok guru pegawai negeri. Gaji pokok guru pegawai negeri tidak mencapai Rp 4 juta.
Artinya, janji Rp 4 juta itu tidak punya dasar yang jelas. Itu pun tidak realistis, karena
tunjangan profesional sebesar gaji pokok saja belum mampu terbayar semua. Belum ada 50
persen dari 2,9 juta guru yang menerima tunjangan profesional karena keterbatasan dana.
Dengan menambah besaran tunjangan guru, berarti semakin sedikit jumlah guru yang dapat
menerimanya. Adapun pembayaran tunjangan profesional langsung ke rekening guru telah
dilaksanakan pada masa awal pemberian tunjangan profesional dulu, dan sekarang diterapkan
lagi, sehingga tidak perlu menunggu presiden baru. Janji menambah 800 ribu guru dan
tunjangan guru Rp 4 juta per bulan justru bisa menjadi beban APBN yang sangat besar dan
membuat negara bangkrut. Tapi, mendistribusikan guru ke daerah-daerah dengan pemberian
insentif, selain jauh lebih efisien, juga menjawab persoalan dasar pendidikan nasional, yaitu
masalah kesenjangan kualitas antara kota Jawa-luar Jawa dan kota-desa.

Janji pelaksanaan wajib belajar 12 tahun oleh kedua capres tidak sulit untuk dilaksanakan,
asalkan mau. Kebutuhan dana tambahan sebesar Rp 40 triliun akan dapat diwujudkan dengan
mengalihkan sebagian subsidi untuk BBM ke sektor pendidikan. Kenaikan harga BBM tidak
akan menimbulkan protes, asalkan layanan pendidikan sampai SMTA gratis dan kesehatan
ataupun transportasi terjangkau.

Adapun mengenai penataan kurikulum yang dijanjikan oleh kedua capres, masih mungkin
dilakukan, mengingat sekarang implementasi Kurikulum 2013 masih dalam taraf permulaan
dan masih banyak kendala, sehingga belum tentu semua sekolah siap. Pemenang pilpres 9
Juli mendatang dapat langsung menyerukan kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk menunda implementasi Kurikulum 2013 sambil menunggu perbaikan
dokumen, sesuai dengan visi-misi pemenang, terutama penekanan pada aspek muatan lokal
dan nasionalisme.






Palestina

Sabtu, 05 Juli 2014
Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme


Palestina mendapat dukungan untuk menjadi negara berdaulat dari calon presiden (capres)
Joko Widodo. Dukungan itu disampaikan ketika acara debat capres bertajuk "Pertahanan dan
Politik Luar Negeri" yang digelar beberapa waktu lalu. Parlemen Negara-negara Anggota
Organisasi Kerja Sama Islam dalam konferensi ke-7 PUIC di Palembang, dua tahun lalu, juga
mengimbau agar negara dengan basis masyarakat Islam mendukung Palestina merdeka.
Perjuangan itu harus didukung karena kemerdekaan yang diidamkan warga Palestina
merupakan hak dasar yang harus diperoleh setiap manusia.

Meskipun demikian, prospek perjuangan sebagai negara berdaulat yang diupayakan sejak
dulu menghadapi batu sandungan. Israel, misalnya, acap melancarkan agresi politik global
dengan melibatkan banyak negara. Mereka memobilisasi organisasi politik serta media untuk
menggalang opini publik.

Perang opini di media internasional pun bergulir panas. Amerika Serikat, sebagai tumpuan
utama dalam menyokong arogansi Israel, berkemungkinan besar mempergunakan kekuatan
politiknya di PBB. Karena itu, harapan dunia internasional adalah pandangan umum dan
sikap politik DK PBB tidak boleh kalah posisi tawar dengan obsesi politik AS. DK PBB
bertugas memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, dalam
menjalankan tugasnya, mereka tidak boleh terikat oleh kepentingan blok mana pun, kecuali
untuk terciptanya perdamaian dunia.

Jika ditilik akar historisnya, sejatinya konflik Israel dengan Palestina hanyalah pertengkaran
antarkeluarga. Konflik yang pada akarnya merupakan perebutan teritori ini bisa dibilang
sudah berumur tua, yaitu sejak keduanya masih menjadi persekutuan tribal yang nomaden.
Konflik itu mulai meruncing tatkala kepentingan politik internasional Barat membonceng di
belakangnya. Israel yang merasa punya "sertifikat tanah dari Tuhan" itu semakin
mengukuhkan hak kepemilikannya secara Ilahi.
Konflik berjalan ratusan tahun dan menang-kalah silih berganti. Tapi, dalam perkembangan
kemudian, tidak dapat dimungkiri hal ini bereskalasi. Ketika kekuatan Barat secara
menyeluruh mengambil posisi di belakang Israel, negara-negara berbasis Islam, baik dekat
maupun jauh, bersimpati kepada Palestina. Bahkan, dampak dari sikap memihak itu secara
politik terasa sampai ke Indonesia.

Kini penerapan opsi perjuangan bersenjata tidak akan mampu mendongkrak posisi tawar
Palestina, sebagaimana diutarakan para penganjurnya. Justru, perjuangan bersenjata dinilai
sebagai bentuk pengabadian konflik dan pembangkangan perdamaian. Dalam kalkulasi
politik, tensi ketegangan yang dibentuk oleh faksi perjuangan bersenjata justru membuyarkan
konsentrasi perundingan. Karena itu, faksi-faksi perjuangan yang terjadi di Palestina
selayaknya menyatukan tekad untuk bersama-sama meraih kedaulatan dengan cara dialog.
Dialog dan lobi politik internasional yang melibatkan semua pihak merupakan pilihan elegan
dan manusiawi. Tidak ada yang dimenangkan ataupun dikalahkan dalam opsi perjuangan
bersenjata. Semuanya akan diakhiri dengan kehancuran bersama.


















Daya Tarik Stasiun Televisi Lokal

Sabtu, 05 Juli 2014
Aris Setiawan, Penulis


Kini hampir semua stasiun televisi nasional pendukung capres-cawapres dikemas semenarik
mungkin untuk mengangkat popularitas calon yang dipuja. Otomatis, setiap saat pemberitaan
hanya dimonopoli oleh satu informasi yang sama. Mereka berharap masyarakat terpengaruh
dan menaruh simpati. Namun, justru sajian tayangan tersebut membuat penat, jenuh,
monoton, dan membosankan. Pada saat seperti itu, kita masih memiliki alternatif pilihan lain
dengan mengubah saluran ke stasiun televisi lokal.

Tahukah kita bahwa program-program yang disajikan oleh stasiun TV lokal kini cenderung
menghibur dan mencerdaskan. Kebanyakan berita disajikan secara proporsional. Kita pun
masih dapat menikmati sajian informasi yang sifatnya lokal, seputar daerah stasiun televisi
tersebut berada. Kehadiran stasiun TV lokal menjadi oase yang menyegarkan di balik hiruk-
pikuk informasi pemilihan calon presiden yang tak berimbang. Masyarakat pun mulai
menaruh simpati terhadap keberadaan stasiun TV lokal. Hal ini terlihat dari jumlah stasiun
TV lokal yang semakin bertambah setiap saat.

Menurut data 2004, jumlah stasiun TV lokal di Indonesia 50 stasiun. Saat ini, jumlah stasiun
TV lokal telah menembus lebih dari 200 stasiun. Jumlah ini masih terus berkembang seiring
dengan pembukaan loket perizinan di pelbagai daerah.

Beberapa stasiun TV lokal yang memiliki keunikan progam sajian di antaranya JTV
Surabaya, yang menggarap siaran berita berbahasa Jawa-timuran dan Madura. Hal itu
dimaksudkan untuk meraih simpati publik yang memiliki latar belakang budaya bahasa sama.
Bali TV dan Yogya TV berisi program-program kebudayaan (kesenian) lokal. Favorit TV
(Padang) menggarap adat-istiadat sebagai sajian khasnya. Adapun TV Manado dan TOP TV
(Papua) mengambil siaran utama dengan tajuk kelucuan-kelucuan (humor) khas daerah.
Sementara itu, TA TV (Solo) dengan rutin masih melangsungkan siaran kesenian-kesenian
tradisi seperti klenengan gamelan, wayang kulit, dan ketoprak. Semua keunikan stasiun TV
lokal tersebut tentu saja tak dapat dijumpai pada stasiun TV nasional. Iklan yang masuk juga
bersifat lokal, seperti iklan penjual bakso dan jamu, air isi ulang, kontrakan, dan kos-kosan
mahasiswa. Bahkan, di beberapa stasiun TV lokal seperti Grabak TV di desa Grabak,
Magelang, Jawa Tengah, pembiayaan dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat.

Stasiun TV lokal kian dinikmati karena mampu memberi suguhan yang berbeda daripada
stasiun TV nasional. Saat ini, hampir semua acara stasiun TV nasional seragam, dari berita
politik, film, hiburan, hingga gosip artis. Mereka miskin kreativitas, karena semata memburu
untung-rugi pasar berupa iklan dan rating. Pada konteks inilah posisi stasiun TV lokal
menjadi penting kembali untuk dilihat dan sekaligus direnungkan.

Sarah Anabarja (2011) mengungkapkan bahwa televisi merupakan media yang paling
potensial untuk mempengaruhi dan membentuk perilaku seseorang. TV mampu merebut 94
persen saluran masuknya pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia lewat mata dan telinga.
TV mampu membuat orang umumnya mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat dan
dengar, walaupun hanya sekali ditayangkan. Wajar jika kemudian banyak anarkisme,
kekerasan, dan pelecehan seksual terjadi, karena efek tontonan yang selama ini mereka lihat
dan dengar di televisi. Karena itu, sudah saatnya kita menonton tayangan yang bermutu.

Anda mungkin juga menyukai