Anda di halaman 1dari 16

Definisi Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi
yangmenyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang
fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman
oksigen ke jaringan.
Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditandai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi karena
kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan
penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir diastole yang akibatnya juga menyebabkan
menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya
mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin
sehingga perfusi makin memburuk.

Fase Syok
Secara fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase Inisial
Pada fase ini, gejala dan tanda yang muncul tidak terlalu signifikan karena tubuh
masih mentoleransi jumlah cairan yang hilang. Namun, pasien dapat cepat berpindah
ke fase berikutnya bahkan tidak melewati fase ini apabila jumlah cairan yang hilang
dari tubuh cukup banyak.
Gejala dan tanda :
Tekanan darah menurun 5-10 mmHg
Denyut jantung agak meningkat
2. Fase Kompensasi
Pada fase ini tubuh berusaha lebih keras untuk mengkompensasi hilangnya volume
cairan, sehingga akan terjadi perubahan besar pada tanda vital. Pemberian resusitasi
cairan dan pencegahan kehilangan cairan lebih lanjut pada fase ini sangat penting.
Gejala dan tanda:
Penurunan tekanan darah 10-15 mmHg
Takikardi (untuk mencukupi jumlah cardiac output)
Takipnea (sebagai kompensasi terhadap penurunan perfusi jaringan)
Peningkatan aliran darah ke organ vital (otak, paru-paru, dan jantung)
Penurunan jumlah urin
Vasokontriksi perifer :
- Akral dingin, peningkatan capillary refill time
3. Fase Progresif
Apabila tubuh tidak dapat mengkompensasi kehilangan cairan yang terjadi, maka
syok akan berlanjut pada fase ini. Pada fase ini akan terjadi hipotensi yang
menyebabkan perfusi pada organ vital menurun yang kemudian dapat berujung pada
kerusakan organ.
Gejala dan tanda :
Penurunan tekanan darah
Nadi meningkat dan lemah
Penurunan vaskularisasi pada kulit, abdomen, dan ginjal :
- Kulit dingin
- Penurunan bising usus akibat motilitas usus yang menurun
- Penurunan jumlah urin
4. Fase Refraktor
Pada fase ini telah terjadi kerusakan organ multipel yang bersifat irreversible.
Gejala dan tanda:
Hipoksia
Oligouria
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
1


Derajat Syok Hipovolemik
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, syok hipovolemik merupakan kondisi
dimana terjadinya kehilangan volume sirkulasi yang berujung pada kegagalan organ
akibat perfusi yang inadekuat. Syok hipovolemik sendiri paling sering disebabkan oleh
perdarahan. Selain itu dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Berdasarkan jumlah darah
yang hilang, maka syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas :
2




Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.
Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan defisit volume darah lebih dari 45 persen
umumnya fatal. Syok hipovolemik disebabkan oleh perdarahan (internal atau
eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio.
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,
misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ dalam
seperti hemothoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau
fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
Gastrointestinal : peritonitis,pankreatitis, dan gastroenteritis.
Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
Luka bakar ( kombusio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah
dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting
dalam klinik adalah fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah
saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera
dipulihkan dengan penggantian cairan.
2


Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul sebanding dengan volume darah yang
berkurang. Semakin banyak volume darah yang hilang, semakin berat gejala klinis
yang dapat ditemui.
1. Takikardi
Terjadi karena tubuh berusaha mencukupi cardiac output. Seperti yang diketahui,
cardiac ouput merupakan hasil perkalian antara stroke volume dengan heart rate (CO
= HR x SV). Pada keadaan syok hipovolemik, yang terjadi adalah penurunan stroke
volume, sehingga untuk tetap mempertahankan cardiac output, maka kompensasi
yang dilakukan adalah dengan meningkatkan heart rate.
2. Nadi yang cepat dan lemah
Berhubungan dengan poin sebelumnya, akibat denyut jantung yang meningkat,
maka denyut nadi juga akan meningkat, namun lemah akibat volume vaskuler yang
menurun pada keadaan syok serta pengalihan vaskularisasi ke organ vital yaitu otak,
paru, dan jantung.
3. Hipotensi
Hipotensi terjadi akibat volume darah yang berkurang, yang kemudian
menyebabkan venous return menurun dan lama-kelamaan tekanan darah juga akan
menurun sebagai hasil dari volume sirkulasi yang menurun.
4. Perubahan Status Mental
Hal ini terjadi akibat penurunan perfusi oksigen ke otak. Pasien akan menunjukkan
gejala seperti agitasi. Penurunan kesadaran dapat terjadi apabila terjadi kehilangan
darah yang lebih dari 2 liter.
5. Penurunan Jumlah Urin
Akibat pengalihan vaskularisasi ke otak, jantung, dan hati, maka akan terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal yang bermanifestasi klinis pada penurunan jumlah
urin.


6. Akral Dingin
Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama, yaitu peningkatan aliran darah ke
organ vital, dan penurunan aliran darah ke tempat lain yang berarti penurunan perfusi
ke kulit sehingga kulit teraba dingin, dan lembab, terutama daerah akral.
1


Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
1. Sistem hematologi
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan
tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber
perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu
sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi
bentuk yang sempurna.
2. Sistem Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh
baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
3. Sistem Renal
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab
pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
4. Sistem Neuroendokrin
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
2,3


Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap
- Analisa Gas Darah
- Kadar Elektrolit (Na, K, Cl)
- Tes faal ginjal (ureum, kreatinin, BUN)
- Golongan darah (bila perlu transfusi darah)
- Tes kehamilan
- EKG (untuk monitoring jantung)
4


Penatalaksanaan
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus
segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan
pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (airway) harus
bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (breathing) harus
terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen
100%. Defisit volume peredaran darah (circulation) pada syok hipovolemik harus
diatasi dengan pemberian cairan intravena. Segera menghentikan perdarahan yang
terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam
menghadapi syok :
Posisi Tubuh
1. Secara umum posisi pasien dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital

2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, jangan digerakkan
pada bagian tersebut agar tidak memperparah kondisi pasien

3. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengankaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanandarah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi
lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan
kakinya kembali.

Pertahankan Respirasi
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila terdapat muntah.
2. Ekstensikan kepala, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway)
3. Berikan oksigen 6 liter/menit
4. Bila pernapasan / ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan
pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT
Pertahankan Sirkulasi
1. Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus.
2. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, dan produksi urin
Cari dan atasi penyebab syok hipovolemik
5


Primary survey meliputi : airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Secondary
survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey dilakukan selain pengkajian
primary dan secondary survey, misalnya terapi atau resusitasi cairan.

Primary Survey
Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon
penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan
tingkat kesadaran.
a) Airway & Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
Airway (Jalan Nafas) :
Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look, listen,
dan feel. Look atau melihat yaitu melihat ada tidaknya obstruksi jalan
napas, berupa agitasi: (hipoksemia), penurunan kesadaran (hipercarbia),
pergerakan dada dan perut pada saat bernapas (see saw-rocking
respiration), kebiruan pada area kulit perifer pada kuku dan bibir
(sianosis), adanya sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan mulut
untuk melihat ada tidaknya darah. Tahapan kedua yaitu listen atau
mendengar, yang didengar yaitu bunyi napas. Ada dua jenis suara napas
yaitu suara napas tambahan obstuksi parsial, antara lain: snoring,
gurgling, crowing/stridor, dan suara parau (laring) dan yang kedua yaitu
suara napas hilang berupa obstruksi total dan henti napas. Terakhir yaitu
feel, pada tahap ini merasakan aliran udara yang keluar dari lubang
hidung pasien.
b) Breathing (Pernafasan) :
- Look (Melihat)
Melihat apakah pasien bernapas, pengembangan dada apakah napasnya kuat atau
tidak, keteraturannya, dan frekuensinya.
- Listen (Mendengar)
Suara nafas vesikuler atau tidak, terdapat suara nafas tambahan atau tidak
- Feel
Merasakan pengembangan dada saat bernapas, lakukan perkusi, dan pengkajian suara
paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.

c) Circulation
- Look
Mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali per menitnya, ada tidaknya
sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat dingin pada tubuh pasien,
menghitung capillary refill time, ada tidaknya akral dingin-
- Feel
Yang dirasakan yaitu gerakan nadi (nadi radialis, brakhialis, dan carotis)
- Listen
Bunyi aliran darah pada saat dilakukan pengukuran tekanan darah

d) Disability Pemeriksaan Neurologi
Yang dikaji pada tahapan ini yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), dan kedaan
pupil dengan menggunakan penlight. Pupil normal yaitu isokor. Dilakukan
pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata
dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik.
e) Exposure Pemeriksaan Lengkap
Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya dan diperiksa dari ubun-ubun
sampai jari kaki untuk mencari ada atau tidaknya bagian yang cedera.
f) Dilatasi lambung Dekompresi
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada
anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat
diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi nervus vagus yang berlebihan.
Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar
distensi lambung membesarkan resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu
komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukan selang atau pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan
memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung.
g) Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kemih memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria
dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.

Secondary Survey
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena nomor 18/16. Infus dengan cepat
larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (V. Jugularis)
yang kolaps terisi. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah edema paru, terutama pada pasien tua.
Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus :
1. Nadi
Nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
2. Tekanan darah
Bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah menurun
> 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.
3. Produksi urin.
Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin
harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya
hipovolemia.
Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume
intravaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisadiberikan Lasix
20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 25 g/kg/menit bisa juga
digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12 cm H2O), dan bila masih terdapat
gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin,
menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

Tersiery Survey : Terapi cairan



Resusitasi Cairan
Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan
keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang
hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan
angka mortalitas. Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan
elektrolit, plasma, atau darah. Dapat dimulai dengan memberikan infus Saline atau
Ringer Laktat isotonis. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik
adalah tranfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi
syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar
dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang
cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab
yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh
lainnya seperti lukabakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan
pankreatitis akut.

Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien. Larutan parenteral pada syok hipovolemik
diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik
untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah
tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek
samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema
seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan
dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia
dengan asidosis metabolik atau sindroma syok.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat
metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat di metabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat.
Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan
dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk
mengganti kebutuhan harian.

Beberapa contoh cairan kristaloid :

A. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,
Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini
dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam ginjal.
Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi
hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO
2
dan
H
2
O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis
oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini
Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi elektrolitnya lebih
mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan untuk mengatasi
kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS
pemberiannya bisa diguyur.

B. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium
4mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir
di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250
400mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Cairan ini bisa mengganti pemakaian
Ringer Laktat.

C. Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter, 100 gr/liter, 200 gr/liter. Glukosa 5%
digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20% digunakan
pada keadaan hipoglikemi, gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal ginjal akut
dengan oliguria.

D. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L
Klorida,yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau
alkalosis metabolik.

Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
1) Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu :
Albumin endogen
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di hati
dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam amino.
Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan onkotik
plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan onkotik
plasmanya 1/3-nya.
Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin eksogen
yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang dimurnikan
(Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yangdimurnikan. Albumin ini
tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis. Albumin 25% bila
diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah
yang diberikan. Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik plasma.
Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang
jumlah cairan intersisial mencukupi.
2) HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Tersedia dalam bentuk
larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan
osmolaritasnya 310 mosm/l. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.
Pengikatan cairan intravaskuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena
tekanan onkotiknya yang lebih tinggi.

Prinsip Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien. Pemilihan
cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan
kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan dibagi atas resusitasi
atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk
mengganti kehilangan harian. Kebutuhan air dan elektrolit sebagai terapi dapat dibagi
atas 3 kategori :
1. Terapi pemeliharaan atau rumatan
Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja
(Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit
disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini
dihitung berdasarkan kg BB.

2. Terapi defisit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal
(PreviousWater Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar
antara 5-15% BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini
disebabkanoleh diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan
pemasukan oral dan asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini derajat
dehidrasi dibagi atas ringan yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB, dehidrasi
sedang kehilangan cairan sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat kehilangan cairan
berkisar 10% atau lebih BB.

3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung (Concomitant
water losses = CWL)
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung. Jumlah kehilangan CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk
semua umur. Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan.
6




DAFTAR PUSTAKA

1. Garner K. Management of Hypovolemic Shock in the Trauma Patient. 2013
2. Butler A. Shock Recognition, Pathophysiology, and Treatment. 2010. Available at :
http://www.dcavm.org/10oct.html. Accessed on July 3
th
, 2013.
3. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 2012. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview#a0104. Accessed on July
3
th
, 2013.
4. Maier RV. Pendekatan Pada Pasien Dengan Syok. Dalam: Fauci AS, TR Harrison,
eds. Harrison 's Prinsip Kedokteran Internal . 17 ed. New York, NY: McGraw Hill,
2008: chap 264.
5. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara. Jakarta. 2011;
47-53.
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2009; 133-140..
7. Spaniol JR, AR Knight, Zebley JL, Anderson D, JD Pierce. Resusitasi Cairan Terapi
Untuk Syok Hemoragik. J Trauma Nurs . 2007; 14:152-156.

Anda mungkin juga menyukai