Anda di halaman 1dari 40

Shane

Senin, 01 September 2014



Seorang asing datang berkuda ke sebuah permukiman peladang di lembah Wyoming, tahun
1889. Ia tampil bukan sebagai orang biasa. Pandangannya "angker", kata seorang bocah yang
memperhatikannya dengan kagum, "membuat merinding dalam kesendiriannya yang kelam",
chilling in his dark solitude.
Lelaki itu tak bersenjata, tapi ia tampak terbiasa dengan pistol dan bedil. Ia tak banyak
omong. Ia selalu siaga. Ia selalu menyimak. Bahaya tersirat dalam tindak-tanduknya.
Namanya "Shane", itu saja.
Kemudian nama tokoh novel Jack Schaefer ini (pertama kali terbit pada 1949) jadi
termasyhur sejak sutradara George Stevens membuatnya jadi sebuah film pada 1953, ketika
dari Hollywood jenis western masih laris.
Dalam film itu, bagi saya, Alan Ladd tak mengesankan memerankan Shane. Ia terlalu
rupawan dan tak muram dan tanpa karisma. Tapi jika film ini berhasil jadi sebuah karya
klasik, mungkin karena ia berdasar sebuah novel western yang tak lazim. Klimaksnya
memang berupa duel tembak-menembak. Tapi cerita ini dikisahkan seorang bocah berumur
10 tahun; jadi sebuah epos kecil tentang kesetiaan yang kukuh, percintaan yang lembut,
pengorbanan yang radikal.
Shane datang ke lembah itu dan bekerja jadi pembantu Joe Starrett yang sedang membangun
tanah pertaniannya. Kedua lelaki itu dengan segera jadi akrab. Joe bahkan menahan
cemburunya ketika melihat bahwa percintaan terbit lamat-lamat antara Shane dan istrinya.
Berangsur-angsur, lelaki misterius itu jadi bagian keluarga itu, terutama karena anak mereka,
Joey, terpesona dan jatuh sayang kepadanya.
Kemudian sesuatu terjadi. Rufus Ryker, tuan tanah, hendak mengusir para peladang di
lembah kecil itu. Mereka bertahan. Ryker pun menyewa seorang jago tembak yang terkenal,
Jack Wilson. Nyawa Joe terancam. Di saat itu, Shane muncul dengan penampilan yang
berubah: ia mengenakan pakaian dan senjata yang selama ini disembunyikannya. Ia
berangkat menghadapi Wilson.
Duel terjadi. Kedua orang itu penembak mahir. Wilson tewas. Shane luka-luka. Dan cerita
berakhir: lelaki pendatang itu memutuskan pergi meninggalkan keluarga Starrett,
meninggalkan Joey, meninggalkan lembah.
Tapi ia sempat berpamitan kepada anak itu. "Aku harus pergi lagi," katanya. "Orang harus
jadi dirinya, Joey. Tak bisa lepas dari cetakannya. Aku mencoba tapi tak berhasil."
Si Joey kaget melihat ada luka peluru di tubuh itu. Tapi Shane membelai rambut bocah itu
dan berkata, "Aku tak apa-apa, Joey. Pulanglah. Jadilah anak yang kuat dan lurus. Jaga
Bapak-Ibu."
Dan seperti galibnya ujung film western, sang jagoan pun mengendarai kudanya melaju ke
arah kaki langit. Adegan yang tak terlupakan ialah ketika suara Joey bergaung keras di
sepanjang lembah: "Shane, come back, Shane!"
Shane tak pernah kembali.
Ada bayang-bayang yang tragis dalam dialog akhir film ini: lelaki itu mencoba jadi orang
biasa dan hidup dalam keluarga yang biasa, tapi ia merasa gagal. Ia tak pernah menceritakan
masa lalunya tapi kita pelan-pelan tahu ia dulu seorang gunman; sebutan di mana bertaut
manusia, senjata, dan kekerasan. Ia coba tanggalkan itu. Tapi akhirnya ia kembali ke jalan
pembunuhan.
Ia memang menempuhnya karena ia hendak menyelamatkan nyawa Joe. Tujuannya mulia,
tapi jelas: tangannya kembali kotor dengan darah manusia.
Yang menyentuh hati dalam dialog terakhir itu ialah bahwa Shane merasa yang dilakukannya
tak bisa dihalalkan. "Joey," katanya, "tak ada kehidupan dengan dengan pembunuhan. Tak
ada jalan kembali dari pembunuhan." Itu sebabnya ia menghukum dirinya sendiri. Ia biarkan
luka peluru di tubuhnya dan ia berjalan jauh, mungkin untuk mati. Ia tak ingin mengukuhkan
jalan kekerasan di lembah tempat Joe, istri, dan anaknya merintis masa depan.
Dengan kata lain, pengorbanannya ganda: ia menjadikan dirinya buas dan sebab itu ia perlu
melenyapkan diri.
Tapi benarkah itu pilihan yang bernilai? Mungkin jalan akhir Shane sebuah penebusan dan
pengorbanannya bisa membawanya ke arah penyucian diri. Tapi tak ada jaminan para
peladang di lembah Wyoming itu akan aman tanpa dia. Kekuasaan tuan tanah Ryker tak
serta-merta runtuh ketika Jack Wilson mati; masih bisa datang centeng yang lain. Bukankah
akan lebih baik seandainya Shane tak memilih jalan yang soliter, melainkan jalan politik:
kembali ke lembah dan bersama yang lain memihak kehidupan?
Tapi saya mungkin keliru. Sebenarnya Shane tak sepenuhnya sebuah mithos kesendirian. Ia
datang dengan "his dark solitude", tapi ia pergi berbeda. Dalam keluarga Starrett ia alami
bahwa kasih sayang lebih kuat ketimbang apa pun.
Itu sebabnya ia tak menyingkir membisu. Ia berpesan untuk masa depan yang lebih baik. Ia
membelai kepala bocah yang disayangi dan menyayanginya itu.


Goenawan Mohamad

SBY - Jokowi

Sabtu, 30 Agustus 2014
Putu Setia

BALI ibarat kedatangan dua kepala negara yang mengadakan KTT (Konferensi Tingkat
Tinggi) pada Selasa lalu. Keamanan di kawasan Nusa Dua diperketat. Hotel tempat
pertemuan kedua tokoh itu dijaga berlapis. Wartawan, baik media cetak, televisi, maupun
online, dan wartawan media sosial (jurnalis warga, ehm, keren) sudah menunggu sejak siang,
padahal pertemuan dimulai malam hari.
Siapa kedua petinggi itu? Yang satu masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
disingkat SBY. Yang satu lagi, Presiden terpilih Joko Widodo, dipopulerkan Jokowi. Ealah,
kenapa begitu genting?
Karena pertemuan ini, menurut pengamat, bersejarah. Untuk pertama kali presiden yang akan
lengser bertemu dengan presiden yang akan menggantikan. Sejarah mencatat-begitu kata
pengamat yang belum kehilangan nyinyirnya di televisi-SBY telah menorehkan tradisi yang
bagus dalam pergantian kepemimpinan nasional.
Soeharto menggantikan Sukarno dengan mengganjar "tahanan" untuk Sang Proklamator.
Soeharto digantikan B.J. Habibie dengan "dipaksa" lewat aksi mahasiswa yang menduduki
gedung DPR/MPR. Habibie diganti Abdurrahman Wahid dengan menolak
pertanggungjawabannya di MPR, dan Abdurrahman Wahid pun digantikan Megawati dengan
"persekongkolan" di MPR juga. Mega digantikan oleh SBY dengan pemilihan langsung oleh
rakyat tetapi hubungan keduanya beku. Nah, layaklah pertemuan SBY dan Jokowi jadi
sejarah.
Rakyat yang lebih banyak di rumah menonton televisi-sulit keluar karena Premium sudah
langka di sepanjang Aceh sampai Merauke-menunggu siaran langsung pertemuan itu. Jokowi
pun terlihat tergopoh-gopoh menghampiri SBY, mengenakan baju batik, bukan baju putih
yang lengannya digulung. Jokowi sadar ini bukan blusukan, tetapi pertemuan formal, harus
berpakaian rapi sesuai dengan budaya Nusantara. Dia disambut SBY dengan kedua tangan,
sesaat melakukan cipika-cipiki (ini ritual formal yang tak perlu dijelaskan), lalu menuju meja
dengan dua kursi yang sudah disiapkan. Pertemuan empat mata.
Seusai pertemuan, kedua tokoh diberi mimbar yang bentuknya sama persis, dengan lambang
Garuda Pancasila-bukan garuda yang lain. Keduanya menjelaskan apa yang dibicarakan.
Apa? La, apa, ya? Ini adalah pertemuan awal yang akan dilanjutkan dengan pertemuan
berikutnya, begitu inti penjelasan. Ya, formal banget.
Esoknya, dan esoknya lagi, beredar berita bahwa Jokowi mengusulkan agar SBY segera
menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi SBY menolak. Berita ini terus digoreng
sehingga apa benar hal itu dibicarakan dalam "empat mata" tak jelas. Atau hanya dibicarakan
dalam "bukan empat mata", juga tak jelas. (Belum ada komentar dari Tukul Arwana, host
Bukan Empat Mata). Tiba-tiba saja Jokowi mengatakan: "Saya siap tidak populer untuk
menaikkan harga minyak."
Jika SBY takut (lebih bagus kata itu diganti hati-hati), tampaknya Jokowi sudah mantap
menaikkan harga minyak, kompak dengan Jusuf Kalla, wakilnya. Tetapi tak sesuai dengan
tuit dari Megawati (@MegawatiSSP) yang intinya lebih baik cari jalan lain, misalnya
Premium bersubsidi dilarang untuk mobil dan sepeda motor di atas 150 cc. Tak sesuai pula
dengan pernyataan Faisal Akbar, deputi tim transisi, yang menyebutkan: ada opsi lain seperti
menaikkan pajak sepeda motor dan mobil, lalu mengoptimalkan pajak tambang. Bahkan tuit
Rieke Diah Pitaloka (@Rieke_RDP) lebih keras: TOLAK KENAIKAN HARGA BBM
(huruf kapital sesuai dengan aslinya).
Minyak mudah membakar atau membuat orang tergelincir. Sebelum saya tergelincir, lebih
baik saya akhiri tulisan ini. Biarkan SBY dan Jokowi yang menulis sejarah.


















Subsidi

Senin, 01 September 2014
Bagja Hidayat, wartawan Tempo


Di perempatan itu, sebuah simpang empat yang sibuk di Jalan Matraman dan Proklamasi,
anak usia 6 atau 7 tahun menggendong bayi, menengadahkan tangan kepada para pengendara
yang menunggu lampu hijau. Ia mengemis, katanya buat makan. Bayi di gendongannya yang
melorot-mungkin usianya baru setahun-tidur terkulai. Bekas ingus mengering di pipinya,
lehernya penuh daki.

Di perempatan itu, sebuah simpang empat yang padat oleh sepeda motor dan mobil, dekat
Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, seorang bapak menyeret anak 2 tahun yang kelelahan
dipanggang terik Jakarta, mengetuk pintu mobil ke mobil. Mereka mengemis, katanya buat
makan anak kecil itu. Laki-laki ini, sekitar 40 tahun, dengan tangan kiri buntung dan jalan
pincang, mencoba membujuk setiap pengendara agar memberinya uang seribu-dua ribu
perak.

Saya tak perlu meneruskan deskripsi grotesque itu. Di Jakarta, adegan di Matraman dan
Kebayoran Baru tersebut bisa meruyak di banyak perempatan. Para pengemis patah tumbuh
hilang berganti. Anak-anak yang turun ke jalan kian banyak.

Siapa ibu-bapaknya? Kenapa mereka tak sanggup membuatnya menikmati hidup? Saya juga
tak perlu meneruskan pertanyaan klise ini. Yang terang, di perempatan Al-Azhar itu ada juga
yang memberikan koin Rp 500 atau seribu rupiah, dan lebih banyak yang melambaikan
tangan. Namun, di depan saya, laki-laki buntung dan anak kecil itu mendapatkan kurang-
lebih Rp 5.000. Saya tak menengok ke belakang berapa orang lagi yang memberikan koin
kepadanya.

Jarak waktu dari lampu merah ke hijau, dan dari lampu hijau ke merah, sekitar tiga hingga
lima menit. Lima menit Rp 5.000. Jika si bocah dan laki-laki bertangan buntung ini
mengemis 10 jam sehari, ia akan menengadahkan tangan dalam 120 kali lampu merah. Jika
tiap kali lampu merah ia mendapatkan Rp 5.000, penghasilannya sehari bisa sampai Rp 600
ribu. Saya bolak-balik memeriksa kalkulator. Ini sama dengan, kira-kira, gaji sebulan seorang
manajer yang ke mana-mana diantar sopir dan menyandang predikat kelas menengah.

Matematika mungkin hanya eksak di buku pelajaran. Jika sepertiga dari 13 juta penghuni
Jakarta pada siang hari memberikan koin Rp 500 kepada para pengemis ini, ada Rp 2 miliar
dalam sehari berputar di jalan-jalan raya, bus-bus reyot, juga perempatan-perempatan untuk
"Pak Ogah" yang mengatur lalu lintas. Subsidi "dari rakyat untuk rakyat itu" dalam setahun
berarti Rp 730 miliar-setengah nilai subsidi kesehatan gratis di seluruh rumah sakit Jakarta.

Kini presiden baru dan presiden lama saling lempar soal siapa yang seharusnya mencabut
subsidi bahan bakar, yang dikonsumsi oleh mereka yang memberikan "subsidi" kepada para
pengemis di jalanan. Dan pencabutan subsidi berakibat harga bensin yang naik. Itu berarti
harga angkut beras bakal melonjak, dan harga nasi di Jakarta, yang menjadi bahan bakar para
pengemis, akan naik pula. Artinya, para pengemis harus lebih giat mengemis agar bisa tetap
makan.

Dengan inflasi yang naik, sementara kemampuan belanja setiap orang tak beringsut, yang
lahir adalah orang miskin, anak-anak dan laki-laki bertangan buntung itu. Akan makin
banyak orang yang punya alasan turun ke jalan menjadi pengemis. Dengan anjuran dan
pahala tentang kebaikan sedekah di televisi, dorongan kemiskinan lewat pemangkasan
subsidi, lampu-lampu merah akan kian penuh oleh orang yang meminta-minta-dengan
sandiwara atau mimik yang begitulah memang faktanya.














Dekonstruksi Subsidi

Senin, 01 September 2014
Khudori, pegiat asosiasi ekonomi politik Indonesia


Menjelang peralihan kekuasaan, dari duet SBY-Boediono ke Jokowi-JK, terjadi perdebatan
seru mengenai BBM bersubsidi. Sejumlah pihak, terutama politikus PDIP dan partai
pengusung Jokowi-JK, mendesak agar Presiden SBY menaikkan harga BBM. Tanpa
penaikan harga BBM bersubsidi, ruang fiskal yang diwariskan SBY ke Jokowi amat sempit.
Presiden SBY menolak desakan itu. Menurut SBY, saat ini tidak tepat untuk menaikkan
harga BBM. Penaikan harga BBM bakal menyengsarakan rakyat.

Untuk kesekian kalinya, kata "subsidi" menjadi materi debat seru. Dengan dalih ada lapisan
rakyat yang dimanjakan, tiba-tiba subsidi jadi barang haram. Yang dianggap subsidi adalah
pengeluaran pemerintah untuk membantu rakyat mendapatkan BBM murah. Mengapa aneka
pos pengeluaran APBN buat para politikus dan wakil rakyat di DPR, seperti uang sidang,
tunjangan jabatan, studi banding ke luar negeri, dan pelbagai fasilitas yang hasilnya tak
pernah dilaporkan ke rakyat, tidak disebut sebagai subsidi yang bisa dipangkas?

Dalam UUD 1945 tak ada kata "dibantu", "disubsidi", atau "pemerintah membantu rakyat".
Konstitusi mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang layak, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan (Pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (Pasal 31 ayat1 dan 2), dan hak dipelihara
bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (Pasal 34 ayat 1).

Rakyat berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat
2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat (Pasal 28h ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum
yang layak (Pasal 34 ayat 1), dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan
dasar (Pasal 28c ayat 1). Menurut konstitusi, itu semua merupakan hak.

Kewajiban itu belum ditunaikan oleh negara. Rakyat tentu tidak marah jika pemerintah tidak
pandang bulu menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi. Tapi pemerintah tidak
konsekuen. Salah satunya, bunga dana rekapitalisasi perbankan akibat krisis 1998 sebesar Rp
600 triliun. Tiap tahun APBN, termasuk di RUU APBN 2015, tersedot Rp 60 triliun untuk
membayar bunga yang tak perlu itu. Bunga itu berasal dari pajak rakyat. Ironisnya, bunga
hanya dinikmati segelintir pemilik bank, termasuk asing.

Subsidi bukan barang haram. Subsidi jadi tugas negara untuk membantu warga miskin.
Subsidi lazim ada di negara-negara kesejahteraan. Tapi di negara liberal pun subsidi
diberikan. Pemberian subsidi sangat ketat, melewati proses seleksi yang meletihkan, dan
antre dalam kurun waktu tertentu. Untuk melihat apakah subsidi digunakan sebagaimana
mestinya untuk meraih kesejahteraan, secara rutin petugas mendatangi sasaran subsidi,
mencatat, dan melakukan inspeksi apakah betul penerima subsidi masih layak dibantu.

Di negara maju, subsidi tidak boleh jadi alat mendongkrak popularitas pemimpin, baik itu
para politikus maupun penguasa. Subsidi disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi dengan
prinsip good governance. Subsidi tidak boleh massal, apalagi bila subsidi bisa jadi substitusi
bagi masyarakat yang kaya untuk mengambil hak kaum papa. Subsidi diberikan selektif dan
dibatasi. Subsidi dilakukan dengan pendampingan (Kasali, 2012).

Sebaliknya, di Indonesia, subsidi bersifat terbuka. Ini terjadi pada subsidi BBM dan pupuk.
Konsekuensinya, efektivitas subsidi rendah, dan subsidi sebagai alat pemerataan serta sarana
menegakkan keadilan tak tercapai. Apalagi subsidi sering kali jadi alat politik.















Solusi Konflik Palestina-Israel

Senin, 01 September 2014
Ivan Hadar, Direktur Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education)


Akhirnya disepakati gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Hal ini bisa terjadi setelah
Israel mengurangi tuntutannya dalam membatasi gerakan Hamas di Jalur Gaza. Bukan hanya
itu. Israel juga telah menyetujui tuntutan utama delegasi Palestina, yang menginginkan
penghentian blokade terhadap Jalur Gaza. Hal ini sesuai dengan persyaratan Hamas, seperti
yang diungkapkan pemimpin Hamas, Ismail Haniya, bahwa "besarnya korban dari rakyat
kami tidak mengizinkan kami untuk bernegosiasi terkait dengan tuntutan tersebut"
(Franfurter Rundschau, 14 Mei 2014).

Namun, lebih dari "sekadar" gencatan senjata, untuk mencapai perdamaian dibutuhkan
kemauan kedua belah pihak untuk saling mengakui eksistensi sebagai negara merdeka. Solusi
dua negara merupakan opsi perdamaian paling realistis yang mengatur Palestina dan Israel
hidup berdampingan dengan damai. Untuk itu, perlu dirundingkan masalah permukiman
Israel di tanah Palestina, serta sejumlah persoalan penting yang menanti diselesaikan ihwal
perbatasan Palestina, kewarganegaraan Palestina yang baru, status pengungsi Palestina yang
berada di luar perbatasan, status warga Arab Israel, dan masa depan Yerusalem Timur.

Perang 50 hari, meski telah memakan korban dan kerusakan yang jauh lebih parah di pihak
Hamas dan rakyat Palestina dibanding yang harus ditanggung Israel, telah menimbulkan
kecemasan luas dalam masyarakat Israel. Gencatan senjata dan perdamaian yang langgeng
dipastikan akan memperoleh dukungan luas. Termasuk dari warga Israel, yang sejak awal
menentang perang dan menginginkan kehidupan damai dengan rakyat Palestina.

Mengutip laporan dari laman Jerusalem Post (2 Juli 2014), misalnya, ratusan anggota
organisasi anti-rasisme Tag Meir dari Tel Aviv telah berupaya untuk hadir dalam pemakaman
Khudair, remaja Palestina yang dibakar hidup-hidup sebagai balas dendam atas kematian tiga
remaja Israel yang menyebabkan perang di Jalur Gaza. Yang menarik, sebelum terjadinya
kekerasan, pemimpin umat Katolik, Paus Fransiskus, ketika mendatangi kompleks Masjid Al-
Aqsa di Yerusalem, juga menyeru umat Kristen, Yahudi, dan muslim agar bekerja sama
untuk keadilan dan perdamaian, serta tidak mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan
kekerasan.

Sejatinya, konflik Palestina-Israel bukanlah konflik agama, suku, atau ras. Bagi pelapor
khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk situasi hak asasi manusia (HAM) di
Palestina, Makarim Wibisono, konflik berkepanjangan Israel-Palestina adalah masalah
pencaplokan wilayah yang diklaim oleh Israel sehingga memicu konflik berkepanjangan
dengan Palestina.

Akar persoalan ini, menurut dia, terjadi sejak 1948, tepatnya setelah penduduk Israel yang
tersebar di mana-mana mendapatkan lahan sebagai tanah air mereka. Dalam perjalanan
waktu, jumlah populasi Israel meningkat dan mulai memperluas wilayahnya ke Palestina.
Baginya, yang paling tepat adalah mengambil pendekatan HAM dalam penyelesaian konflik
berdarah dan sudah menewaskan ribuan orang di Palestina itu. Dengan isu HAM, semua
pihak akan tersentuh, termasuk (keluarga) warga Yahudi yang pernah menjadi korban HAM
selama pemerintahan Nazi-Hitler di Jerman.

Tentu saja, ada penghalang psikologis. Psikolog terkenal Israel, Dan Bar-On, menulis,
"Warga Israel masih merasa dirinya sebagai korban. Puluhan tahun lalu, di Eropa, bangsa
Yahudi menjadi korban Nazi-Hitler dan negara-negara lainnya. Salah satu tujuan utama
eksodus ke Israel adalah untuk meninggalkan peran sebagai korban. Namun, di Timur
Tengah, mereka juga diserang oleh negara-negara Arab. Merasa menjadi korban dan sebagai
bagian dari kebaikan, memunculkan pandangan dunia yang simplistik dan percaya harus
melakukan pembalasan dengan semboyan 'siapa yang mencoba membunuhmu, bunuhlah dia
sebelum itu terjadi'."

Sebenarnya, pada nurani terdalamnya, rakyat Israel dipastikan menginginkan hidup damai.
Namun mereka diberondong opini para politikus dan militer tentang tiadanya alternatif selain
perang. Kalkulasinya, ketika melakukan agresi di Gaza, setelah kehancuran total, setelah
bantuan kemanusiaan pun dilarang masuk dan dihancurkan, rakyat Palestina akan jenuh dan
berhenti melawan. Logika militer yang patut diragukan.

Tentu saja, selain upaya melakukan perubahan "cara berpikir" tadi, diperlukan terus-menerus
tekanan internasional terhadap Israel untuk terlibat dalam perundingan dengan Palestina.
Sebab, terkadang, pada saat-saat "terkucil", Israel akhirnya mengalah. Itulah, misalnya, yang
terjadi pada masa Bill Clinton dan George Bush Sr dalam perundingan damai Oslo dan Taba.

Indonesia bisa berperan aktif sebagai mediator dalam mengupayakan perdamaian Palestina-
Israel. Pada era Gus Dur, Indonesia pernah membuka hubungan dagang dengan Israel dengan
maksud sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta
sebagai media bagi Republik Indonesia untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam
upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.





Formasi Kepemimpinan KPK

Selasa, 02 September 2014
Joko Riyanto, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta


Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas akan mengakhiri
masa baktinya pada 10 Desember mendatang. Presiden SBY pun telah membentuk panitia
seleksi pemimpin KPK yang diketuai Menkumham untuk mencari pengganti Busyro.

Namun ada yang berpendapat bahwa Busyro sudah tidak bisa lagi mendaftar sebagai
pimpinan KPK, karena pimpinan KPK hanya boleh menjabat untuk dua masa jabatan. Busyro
dinilai sudah menjabat selama dua periode. Periode pertama dijalani saat menjadi ketua KPK
pada 2010-2011 dan periode kedua 2011-2014. Namun panitia seleksi calon pimpinan KPK
akhirnya memutuskan Busyro bisa kembali maju menjadi pimpinan KPK. Dari hasil
pembahasan panitia, Busyro baru menjalani satu masa jabatan, yakni selama empat tahun,
meski di dua kepemimpinan, yakni era Antasari Azhar dan Abraham Samad.

Mengubah formasi kepemimpinan KPK saat ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.
Formasi kepemimpinan KPK pada masa mendatang sangat bergantung pada pemerintah baru
dan DPR yang memilihnya. Calon pimpinan KPK yang dipilih panitia dan disetujui Presiden
SBY belum tentu disukai oleh Jokowi sebagai presiden baru. Belum lagi, menghadapi jurus-
jurus anggota DPR baru di Komisi III. Penggantian satu komisioner KPK bisa jadi bumerang
bagi kinerja KPK jika proses pemilihan tersebut tidak dilakukan secara ketat. Hadirnya satu
sosok baru saat empat pemimpin KPK yang lain akan mengakhiri masa jabatan pada 2015
tentu berdampak pada kesolidan KPK.

Merujuk pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, secara eksplisit tidak ada pengaturan
yang menegaskan masa jabatan jika terjadi pergantian/kekosongan jabatan pimpinan KPK.
Pasal 33 ayat (1) menyatakan, dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, presiden
mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Sedangkan Pasal 34 UU menegaskan,
pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk
sekali masa jabatan. Karena secara hukum tidak ditemukan rujukan yang jelas, seharusnya
pertimbangan untuk menentukan satu tahun atau empat tahun periode pimpinan KPK terpilih
didasarkan pada asas kemanfaatan publik luas, khususnya dalam pemberantasan korupsi.

Ada dua opsi. Pertama, biarkan formasi kepemimpinan KPK minus Busyro. Biarkan kursi
yang ditinggalkannya kosong, apalagi jika dikhawatirkan tidak dapat menemukan sosok baru
pengganti Busyro yang lebih baik. Bahkan, menurut Ketua KPK Abraham Samad, posisi
wakil ketua yang akan ditinggalkan Busyro tak terlalu urgen untuk segera diisi karena masih
ada tiga wakil. Pimpinan KPK yang lain masih bisa menjalankan fungsi koordinasi dan
supervisi (Tempo.co, 27 Agustus 2014). Formasi pimpinan KPK saat ini, sebagai the dream
team, meski minus Busyro, masih dibutuhkan dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi kelas
kakap.

Kedua, membuat terobosan hukum bersama presiden, yakni mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang untuk memperpanjang/menunjuk langsung Busyro
dengan masa jabatan hingga Desember 2015. Pertimbangannya, selain menghemat anggaran,
soliditas dan agresivitas KPK dalam membabat koruptor tetap terjaga. Dan, pada 2015,
penggantian pimpinan KPK bisa dilakukan serentak serta melakukan revisi UU KPK terkait
dengan periode jabatan pimpinan KPK pengganti. Ingat, perubahan formasi kepemimpinan
KPK tak boleh merusak agenda pemberantasan korupsi yang sudah berjalan baik.
















Buku

Selasa, 02 September 2014
Agus M. Irkham, Pegiat Literasi


David C. McClelland (1917-1998) adalah seorang psikolog sosial asal Amerika Serikat yang
tertarik pada masalah-masalah pembangunan. McClelland mempertanyakan, mengapa ada
bangsa-bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, dan ada yang tidak. Dia
membandingkan antara bangsa Inggris dan Spanyol, yang pada abad ke-16 merupakan dua
negara raksasa yang kaya raya. Sejak saat itu, Inggris terus berkembang menjadi semakin
besar. Namun Spanyol menurun menjadi negara lemah. Mengapa bisa terjadi demikian? Apa
penyebab timbulnya ketimpangan kemajuan tersebut?

Berdasarkan tuturan Arief Budiman dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995),
setelah mencari beberapa aspek melalui penelitian dan pembuktian yang nyata, akhirnya
McClelland menemukan jawabannya. Ternyata faktor penentu perbedaan itu terletak pada
(buku) cerita dan dongeng anak-anak yang terdapat di kedua negeri tersebut. Kelihatannya,
dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu mengandung semacam
virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for
achievement). Sedangkan cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh
cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak
hati, meninabobokan.

McClelland juga mengumpulkan 1.300 cerita anak-anak dari banyak negara dari era 1925 dan
1950. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerita anak-anak yang mengandung nilai
achievement (hasrat berprestasi) yang tinggi pada suatu negeri selalu diikuti oleh adanya
pertumbuhan yang tinggi pula pada negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.
Penelitian McClelland menghasilkan satu kesimpulan: buku (bacaan) mempunyai kekuatan
untuk mengubah seseorang.

Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi, yang mengukuhkan pengusung revolusi mental
Jokowi-JK menjadi Presiden-Wakil Presiden RI ke-7-merujuk pada hasil penelitian
McClelland-salah satu strategi kebudayaan untuk melakukan revolusi mental adalah melalui
buku.

Berdasarkan penelitian McClelland, perubahan mental di Spanyol dan Inggris membutuhkan
waktu 25 tahun. Jepang memerlukan waktu "sangat singkat" untuk mengubah mental para
generasi muda tentang sepak bola. Melalui penerbitan komik manga Captain Tsubasa yang
untuk pertama kalinya terbit pada 1994, pemerintah Jepang betul-betul melakukan revolusi
mental. Hanya butuh waktu sewindu-terhitung dari pertama terbit-yakni pada 2002, berbagi
dengan Korea Selatan, Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia sekaligus berhasil lolos ke
babak kedua.

Pada titik kesadaran itu, kebijakan tentang perbukuan tidak bisa diandaikan lagi. Besar
harapan saya, Jokowi memberi kesempatan kepada para stakeholder budaya baca, terutama
yang diprakarsai oleh para penulis, penerbit, jurnalis, media massa, perguruan tinggi, dan
para pegiat literasi, untuk bertemu dan secara khusus membahas ihwal buku, visi dunia
penerbitan kita sebagai strategi kebudayaan dan "jalan cepat" menuju perubahan mental
tersebut. Dan ini pula yang menjadi harapan para pengelola Taman Bacaan Masyarakat yang
terlibat dalam Rembuk Budaya Baca di Yogyakarta pada 11-14 Agustus lalu.

















Koalisi Permanen

Selasa, 02 September 2014
Said Zainal Abidin, Guru Besar STIA LAN dan Mantan Penasihat KPK


Sebuah strategi alternatif yang mungkin dipilih oleh kubu Merah Putih (Prabowo-Hatta)
setelah keluar keputusan sidang Mahkamah Konstitusi adalah pembentukan koalisi permanen
di DPR.

Apa yang dimaksudkan dengan koalisi permanen itu? Sebagai fraksi di DPR, pengertian
"permanen" bisa diartikan dalam dua bentuk. Pertama, sebagai kerja sama tetap, tapi bersifat
fleksibel. Artinya, setiap sikap dan keputusan yang diambil selalu dengan kesepakatan
bersama yang sifatnya fleksibel. Boleh jadi suatu saat mendukung kebijakan pemerintah, dan
pada waktu yang lain bersikap menolak. Yang penting, keputusan itu selalu diambil secara
bersama. Maksudnya, keputusan itu dilakukan secara bersama dengan menggunakan prinsip
rasionalitas dan kepentingan publik. Kalau ini yang akan terjadi, situasi politik menjadi
normal dan kondusif untuk segala pihak.

Kedua, boleh jadi pengertian permanen itu diartikan sebagai sikap oposisi permanen yang
rigid. Artinya, setiap inisiatif pemerintah dalam memasukkan sebuah isu dalam agenda
kebijakan (policy agenda, daftar yang mendapat prioritas untuk dibahas dalam DPR) akan
ditolak tanpa memperhitungkan wujud dan tujuan dari kebijakan itu. Kalau ini yang terjadi,
situasi perpolitikan di Indonesia akan lain. Jauh dari normal dan rasional.

Sudah dimengerti bahwa fungsi DPR adalah menilai jalannya pemerintahan dengan
mempertimbangkan pokok kepentingan rakyat, siapa pun dia dan apa pun partai politiknya.
Jika bertindak di luar fungsi itu, DPR dapat dianggap tidak bekerja secara wajar.

Seorang anggota DPR harus selalu menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai dengan
ketentuan konstitusi dan undang-undang yang berlaku demi kepentingan rakyat yang
diwakilinya.

Kita semua berharap bahwa DPR RI periode 2014-2019 cukup rasional dan bertindak secara
wajar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang matang. Dalam arti, kepentingan
umum/rakyat berada di atas kepentingan pribadi dan partai. Ini dapat diharapkan karena DPR
periode ini adalah pilihan rakyat secara langsung untuk ketiga kali dalam era Reformasi dan
sesudah Republik berusia 69 tahun sejak merdeka.

Salah satu prinsip yang perlu dipegang adalah, apa yang pernah diucapkan oleh Abraham
Lincoln, Presiden America Serikat, my loyalty to my party ends, where my loyalty to my
country begins (cintaku kepada partaiku berakhir, ketika cintaku kepada negeriku dimulai).

Bersamaan dengan itu, sambil mengharapkan pilihan yang tepat, pada tempatnya pula kita
ingin mengingatkan jika seandainya para politikus tersebut tergelincir dan memilih jalan
oposisi permanen yang rigid. Pertama, dengan jumlah suara anggota DPR dari koalisi
permanen tersebut yang lebih besar, mengandung akibat setiap isu kebijakan (policy issue)
inisiatif pemerintah akan mengalami hambatan untuk masuk ke agenda kebijakan (policy
agenda). Pertanyaannya, bisakah mereka melakukan hal yang demikian jika isu yang
disampaikan tersebut mendapat dukungan besar dari rakyat?

Dalam era keterbukaan sekarang, rakyat secara mudah dapat mengikuti apa yang terjadi di
DPR. Kalau koalisi permanen yang dimaksud menolak kepentingan rakyat yang
diperjuangkan pemerintah, saya khawatir mereka tidak akan pernah lagi mendapat dukungan
untuk seterusnya pada masa yang akan datang. Partai-partai yang bersangkutan akan surut
popularitasnya di mata rakyat-untuk tidak menyebutkan akan gulung tikar. Kedua, sebagai
partai politik pada umumnya, tokoh-tokoh partai mempunyai keinginan mendapatkan
kekuasaan atau posisi dalam pemerintahan. Karena itu, oposisi permanen yang lepas sama
sekali di luar pemerintahan Indonesia dapat dikatakan sulit terbentuk. Dalam banyak hal,
oposisi itu selalu bersifat setengah-setengah. Oposisi, ya, menerima jabatan juga OK.

Pada periode yang lalu, secara gamblang sikap setengah-setengah itu sering dituduhkan
kepada PKS. Sebenarnya, semua partai juga mengandung potensi yang sama. Kecuali hanya
satu-dua partai yang sudah lama berpengalaman sebagai partai oposisi.

Memahami kondisi perpolitikan inilah, mengapa Jokowi dan Surya Paloh secara terbuka
menawarkan kemungkinan bergabung bagi partai-partai yang dulu tidak mendukung Jokowi-
JK untuk ikut dengan koalisi partai pemerintah? Secara halus, mungkin mereka dapat
membaca adanya keinginan dari partai-partai tersebut yang sedang mempertimbangkan cara
yang lebih elegan untuk bergabung. Dengan harapan, mudah-mudahan dapat memperoleh
kursi di kabinet. Ketiga, dengan alasan di atas, ada kemungkinan terbentuk koalisi permanen
yang bersikap oposisi permanen kecil. Koalisi permanen dari partai-partai yang bergabung
dalam kelompok tersebut tidak mempunyai sesuatu landasan ideologis untuk mau berkorban
tanpa alasan yang jelas.

Kalau ada di antara pemimpin partai yang telanjur tetap berkukuh mempertahankan koalisi
permanen, saya kira mereka akan digeser dari kedudukannya oleh tokoh-tokoh lain dalam
partai itu sendiri. Hal ini mulai kelihatan dengan guncangan yang timbul dalam Partai Golkar
dan PPP. Kita tidak mengharapkan hal-hal yang tidak wajar itu akan terjadi, karena
kestabilan politik nasional yang ditopang oleh kematangan partai politik merupakan modal
utama dalam pembangunan nasional.


Perampingan Kabinet

Rabu, 03 September 2014
Ali Rif'an, Peneliti Poltracking


Tidak lama lagi, tepatnya 20 Oktober nanti, pasangan presiden dan wakil presiden Jokowi-
Jusuf Kalla akan diambil sumpahnya untuk menjadi nakhoda baru bagi kapal besar bernama
Indonesia. Pekerjaan pokok Jokowi-JK menjelang pelantikan itu tentunya adalah penyusunan
kabinet. Tak pelak, rencana Jokowi akan merampingkan kabinet pun terus menggelinding,
bahkan menuai pro dan kontra.

Bukan hanya partai penyokong koalisi yang berbeda pandangan, tapi antara Jokowi dan JK
juga sedikit berbeda. Tim Jokowi, misalnya, mengusulkan postur dan formasi kabinet yang
saat ini 34 kementerian menjadi hanya 27 atau bahkan 24 kementerian saja. Sedangkan JK
memandang tak perlu ada perubahan yang terlalu besar. Restrukturisasi besar memerlukan
waktu lama, sehingga akan mengganggu roda pemerintahan (Tempo, 29/8).

Beda pandangan terkait dengan formasi kabinet merupakan hal yang lumrah. Namun,
menurut saya, jika Jokowi mampu merampingkan kabinet, hal itu akan menjadi tradisi baru
dalam peta penyusunan kabinet seusai reformasi. Sebab, satu hal yang tak pernah berubah
dalam riuh rendah pergantian kabinet adalah formasinya yang selalu gemuk-atau dalam
bahasa saya mengalami "obesitas". Jumlah menteri selalu lebih dari 30.

Misalnya, pada Kabinet Persatuan Nasional Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001),
jumlah menteri ada 34 orang. Sedangkan pada Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001-2004), jumlahnya terdiri atas 30 menteri.Kabinet Indonesia Bersatu I
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdiri atas 34 menteri. Begitu pula Kabinet Indonesia
Bersatu II era SBY, yang juga 34 menteri. Bukan hanya itu, obesitas tersebut juga menjalar
pada birokrasi dengan semakin banyaknya jumlah pejabat eselon satu di setiap kementerian.
Bahkan pada pemerintahan SBY periode kedua ini, ditambahkan wakil menteri yang bertugas
membantu kinerja menteri.

Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan formasi kabinet gemuk. Sebab, dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa jumlah
kementerian bisa mencapai 34. Begitu pula seorang presiden memiliki kewenangan
menunjuk wakil menteri. Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien,
perampingan kabinet lebih banyak maslahatnya.

Pertama, perampingan kabinet dapat menghemat anggaran belanja negara. Dengan begitu,
dapat dialihfungsikan pada hal-hal penting lainnya, seperti subsidi BBM, biaya pendidikan,
kesehatan, dan lain-lain. Kedua, semenjak otonomi daerah, watak pemerintahan pusat tidak
lagi sentralistik. Ada kepala daerah yang berperan penting dalam membangun daerah masing-
masing. Pada titik inilah, tugas-tugas dari kementerian pusat sudah banyak terbantu dengan
adanya peran kepala daerah yang semakin kuat otoritasnya.

Ketiga, gemuknya formasi kabinet tidak menjamin kinerjanya membaik. Justru kabinet
obesitas, selain menjadi beban APBN, dapat merepotkan presiden. Lihat saja bagaimana
repotnya Presiden SBY ketika para pembantunya ada yang tersangkut korupsi. Sudah
mendapat malu, SBY juga harus "mengernyitkan kening" untuk mencari penggantinya.
Bahkan berdasarkan hasil survei Poltracking 2013, meski dengan postur kabinet yang gemuk,
kinerja pemerintahan SBY-Boediono masih jauh dari harapan masyarakat. Sebab, hanya 40,5
persen masyarakat yang menyatakan puas atas kinerja pemerintahan SBY-Boediono.
Sedangkan 51,5 persen lainnya menyatakan tidak puas dengan rincian 41,5 persen merasa
kurang puas dan 10 persen sangat tidak puas. Sisanya, 8 persen, menyatakan tidak tahu.

Karena itu, Jokowi tidak perlu ragu-ragu merampingkan kabinet jika hal itu positif untuk
penyegaran pemerintahan. Sebab, buat apa membuat kabinet dengan postur gemuk jika
kinerjanya justru ramping? Hal tersebut malah sia-sia belaka. Menilik negara maju, seperti
Amerika Serikat, jumlah kementeriannya hanya 15. Begitu pula di Jepang dan Korea Selatan,
hanya 15.

Sebagai pemimpin tertinggi yang memiliki hak prerogatif, Jokowi semestinya menggunakan
pengaruhnya untuk merampingkan kabinet jika itu dipandang sangat perlu. Hal itu,
sebagaimana dikatakan Steven Lukes (1974), menunjukkan bahwa inti dari kekuasaan adalah
pengaruh. Perampingan kabinet pada awal pemerintahan menjadi hal yang realistis untuk
dilakukan. Sebab, ketika perampingan dilakukan di pertengahan, hal itu akan mendatangkan
banyak resistansi, selain mengganggu jalannya pemerintahan.

Akhir kata, bandul kabinet saat ini ada di tangan Jokowi, apakah akan diubah menjadi
ramping ataukah tetap mengalami obesitas?







Kembali ke Ontel

Rabu, 03 September 2014
Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM


Beberapa hari terakhir, di stasiun pengisian bahan bakar umum, kita miris dan nanar
menyaksikan kendaraan bermotor mengular begitu panjang sampai di bahu jalan. Peristiwa
tersebut acap terulang di negeri yang dilimpahi sumber daya alam ini. Wacana kenaikan
harga bahan bakar minyak senantiasa disambut dengan kepanikan warga. Warga rela
mengantre berjam-jam dan diguyur sengatan sinar mentari yang terik. Apes jika Premium
kadung kandas dan pasokan datang terlambat. Alhasil, banyak dari mereka mengisi
kendaraan roda dua dengan Pertamax ketimbang gagal berangkat beraktivitas.

Setiap kali fenomena itu berulang, saya langsung teringat dosen saya, Suyatno Kartodirdjo,
yang berangkat ngantor memakai sepeda ontel. Dia pensiun ngontel di usia yang ke-70 gara-
gara terjatuh dan tulang di tubuhnya bermasalah. Meski bergelar doktor dan lulusan Australia
National University pada 1983, lelaki yang bertanggal lahir 17 Agustus 1939 tersebut tidak
malu mengayuh sepeda dari rumahnya ke kampus ataupun menghadiri seminar sebagai
pembicara di Kota Solo.

Salah satu murid terbaik Indonesianis Anthony Reid itu menganggap bike to work adalah
manifestasi sikap hidup sederhana dan upaya menjaga kebugaran tubuh. Dan, itu ternyata
terbukti benar. Raganya rapuh lantaran usia yang menua. Namun kesehatan dan daya
tangkapnya terhitung masih lumayan alias belum pikun kendati usianya sudah senja.

Jauh sebelum kampanye bike to work digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah,
sejarawan sepuh itu bersama-sama para buruh pemakai sepeda kayuh sudah
mengkampanyekan untuk hemat energi dan mengurangi beban emisi udara yang kian tinggi.
Di Kota Solo dan Yogyakarta, misalnya, jumlah orang yang ngontel tidak sedikit. Mereka
yang berasal dari pinggiran kota memilih ngontel lantaran banyak teman kerja mereka yang
bersepeda, selain menghemat pengeluaran. Rasa grusa-grusu belum melanda hati mereka
sepenuhnya. Berbeda dengan warga kota yang terengah-engah berpacu dengan waktu. Agar
tidak terlambat dan menghindari kemacetan, mereka siasati berangkat lebih awal.

Fenomena migran ulang-alik memang ditandai dengan sepeda kayuh. Pada jam-jam tertentu
pengguna sepeda ontel berjalan beriringan menuju luar kota karena mereka menerapkan
konsep nglajo alias pulang-pergi. Jangan salah, para pengayuh sepeda ini merupakan bagian
kelompok yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan.

Sayangnya, tindakan mulia mereka yang menghemat energi ini justru diperlakukan bak anak
tiri di jalan raya. Selain tiadanya fasilitas jalur sepeda yang memadai-jikalau ada malah sering
untuk tempat parkir mobil-banyak pengendara mobil dan sepeda motor merebut hak mereka
di jalan raya. Padahal, mereka sudah berusaha bertahan menyelinap di antara asap knalpot
dan debu serta berebut jalur dengan pemakai alat transportasi bermesin.

Pada masa silam, pit ontel pernah menjadi kegemaran dan gaya hidup bangsawan-priayi yang
meniru kaum Eropa yang bercokol di Hindia Belanda. Sepeda merupakan gantinya kuda.
Lalu bunyi tromol dan lonceng yang berdenting nyaring bikin pengayuhnya bangga. Kini,
orang yang berangkat glidig (bekerja) dengan ontel dianggap orang yang kalah dan berstatus
sosial rendah.
Sewaktu memimpin Kota Solo, presiden terpilih Joko Widodo rajin menggelar mider praja
(blusukan) dengan bersepeda ontel bersama bawahannya. Sekarang, sudah saatnya Jokowi
menjungkirbalikkan persepsi yang salah ke yang benar, bahwa bike to work adalah upaya
hidup sehat dan hemat energi.














Nama sebagai Merek Politik

Rabu, 03 September 2014
Muhidin M. Dahlan, kerani@warungarsip


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh pemasar inisial nama sendiri sebagai
sebuah merek politik. Tak ada yang menduga bahwa singkatan namanya, SBY, seperti aksara
biru yang tercetak di lambung roket yang melontarkan karier politiknya setinggi yang
barangkali ia pun tak pernah menduganya.

Jurnalis yang memberikan inisial itu pertama kalinya. Dan anehnya, SBY tak menolaknya.
Pada 2004, inisial itu justru dipakainya sebagai bagian penting dari propaganda pada alat-alat
peraga kampanye.

Sadar dengan nama "SBY" sebagai merek politik inilah, PDIP, yang menjadi kompetitor
politik pada Pemilu 2004 dan 2009, mencoba menyingkirkannya lewat komentar-komentar di
depan layar kaca. Misalnya, para fungsionaris PDIP emoh menyebut Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai SBY, melainkan "Jenderal Susilo". Tujuannya, agar publik tetap
mengingatnya sebagai seorang jenderal yang dibesarkan di barak-barak militer.

Namun sejarah menghendaki lain. Justru merek "SBY" mampu mengantarkannya mencapai
titik karier paling puncak dalam pasar politik Indonesia dalam dua kali pemilihan presiden
langsung. Tuah nama ini melahirkan pengikut. Beberapa tokoh partai mencoba mencari
peruntungan dengan singkatan nama sebagai merek politik. Pernah, suatu masa pada Pemilu
2009, pengusung Megawati Soekarnoputri membuat singkatan "MSP". Tapi kita tahu "MSP"
berakhir hanya sebagai merek bibit padi, bukan merek politik yang membawa berkah.

Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dengan penuh percaya diri menyingkat namanya
menjadi "ARB". Merek "ARB" terus digeber dalam iklan politik enam purnama sebelum
pendaftaran capres dibuka KPU. Dan nama "ARB" itu, jangankan terdaftar dalam "buku
kandidat" yang disediakan KPU, malah terlempar dan nyungsep ke pasir beberapa pekan
sebelum hari "H" pendaftaran yang diawali peristiwa memalukan "boneka Teddy Bear".

Ada hal lain yang dilupakan para pengikut yang tak kreatif ini, bahwa singkatan atau inisial
nama sudah menjadi domain utama reserse untuk menyebut para bromocorah di hadapan
publik. MN, AM, AU, AM, adalah sejumlah nama inisial yang diproduksi para reserse
antirasuah untuk bromocorah.

Alhasil, inisial nama, alih-alih membawa keberuntungan politik, malah menjadi bagian dari
kesialan hidup. Dan inisial "ARB" adalah salah satu merek politik yang paling sial yang
dilahirkan Pemilu 2014.

Mengambil trek yang sama, tapi sedikit berbeda, Joko Widodo maju mengarungi karier
politiknya dengan akronim dan bukan singkatan. Akronim, sebagaimana penjelasan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, mengambil dua atau lebih huruf dari setiap kata yang diucapkan
secara wajar.

"Jokowi" adalah akronim sekaligus merek politik yang diusung Joko Widodo sejak membuka
palagan di Solo. Yang menarik, merek itu didapatkan secara natural dari pelanggan mebelnya
dari Prancis. Merek dari akronim ini, kita tahu kemudian, melejit begitu cepat. Mula-mula di
Solo, lalu mengejutkan Ibu Kota, dan pada akhirnya, dalam waktu sesingkat-singkatnya,
merek politik "Jokowi" ini menjadi penguasa tertinggi RI.





















Mengelola Nasionalisme Ekonomi
Indonesia

Kamis, 04 September 2014
Dian Ediana Rae, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Bandung


Pemilu presiden/wakil presiden baru saja berlalu. Selama berlangsungnya kampanye, kedua
kubu, meski dengan jargon yang berbeda, menyampaikan visi pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada nasionalisme dan kemandirian ekonomi. Seandainya visi dan misi
"nasionalisme ekonomi" yang disampaikan akan benar-benar diwujudkan, hal tersebut
tampaknya akan membawa konsekuensi dalam banyak kebijakan perekonomian yang akan
diterapkan.

Dalam dunia yang mengglobal dan terintegrasi dewasa ini, kesatuan strategi pembangunan
ekonomi domestik dan strategi untuk bersaing secara internasional mutlak diperlukan.
Pemisahan antara strategi domestik dan strategi global dalam era globalisasi ini tidak relevan.
Hal ini antara lain terjadi karena proses negosiasi dalam berbagai forum internasional telah
semakin inklusif, di mana setiap negara diberi kesempatan yang sama untuk memberi usul,
mendiskusikan, serta menerima atau menolak suatu kesepakatan. Pemberlakukan dari
kesepakatan internasional tersebut juga sudah mengikuti prosedur hukum dan politik di
masing-masing negara.

Isu kebijakan dan regulasi ekonomi masih banyak diperlakukan sebagai suatu pekerjaan
dalam konteks "kedaulatan negara yang eksklusif". Globalisasi yang ditandai dengan
keterkaitan keuangan dunia yang semakin dalam, revolusi komunikasi yang membentuk
hyper-connected world, serta pertumbuhan perdagangan dan perekonomian yang sangat
tinggi telah mengubah secara signifikan konsep "kedaulatan negara" yang dipahami selama
ini.

Harus diakui, Indonesia menghadapi anomali saat proses percepatan globalisasi
perekonomian terjadi. Pada saat terjadinya proses multilateralisasi perdagangan dan investasi
internasional setelah dibentuknya World Trade Organization (WTO) pada 1995, tiga tahun
kemudian Indonesia mengalami krisis perekonomian (dan politik) yang sangat parah,
sehingga terpaksa meminta bantuan IMF. Dalam situasi seperti itu, proses negosiasi
multilateral bagi Indonesia tidak lagi berjalan dengan irama dan strategi yang normal atau
yang sesuai dengan kebutuhan strategis Indonesia, melainkan harus mengikuti berbagai
tekanan bilateral ataupun melalui kesepakatan dengan IMF. Tekanan tersebut telah
mengakibatkan terjadinya percepatan tahapan liberalisasi dan kebijakan ekonomi yang
bersifat emergensi (crisis mode).

Secara mendasar, dengan disepakatinya pendirian WTO beserta seluruh perjanjian yang
menyertainya, dunia perdagangan internasional telah menjadi semakin terikat pada aturan
(rule-based). Karena itu, tentu diperlukan tingkat pemahaman dan ketaatan dari para
anggotanya untuk menegaskan adanya kepastian perdagangan dan investasi global serta
adanya level playing fields bagi seluruh anggota suatu forum internasional, baik pada tingkat
bilateral, regional, maupun internasional. Perlu dipahami, mengingat banyak perjanjian
internasional dilakukan secara paket (balanced package) dan bersifat single undertaking
(seluruh sektor harus disetujui), ukuran apakah suatu negara dapat atau tidak dapat
memanfaatkan akses pasar kurang tepat jika diukur pada masing-masing sektor. Dalam
kenyataan perekonomian dunia dewasa ini, tidaklah mungkin suatu negara akan dapat unggul
dalam semua sektor.

Data neraca perdagangan yang masih mengkhawatirkan dan masih ditandai oleh kelemahan
fundamental menunjukkan perlunya pengelolaan nasionalisme ekonomi dengan lebih cermat
dan bijaksana. Dalam kehidupan ekonomi global dewasa ini, negara-negara berkembang,
seperti Indonesia, serta negara-negara maju masih membutuhkan modal dan keahlian
(expertise) dari luar negeri dalam upaya mendorong daya saing masing-masing.

Karena itu, dirasakan perlu untuk memaknai arti nasionalisme ekonomi secara lebih
kontekstual karena tujuan akhir suatu kebijakan membuka pasar domestik harus diukur dari
dampak positifnya terhadap daya saing negara dalam berbagai bidang untuk jangka
menengah dan panjang. Pada dasarnya, kunci dari globalisasi adalah kerja sama yang saling
menguntungkan atas dasar kesetaraan. Selain itu, diharapkan suatu negara tidak mengarah ke
proteksionisme yang merugikan negara itu sendiri.

Ihwal apakah Indonesia dapat keluar dari kemelut perdebatan politik "domestik-asing" dan
dapat memanfaatkan akses pasar yang terbuka secara global, jawabannya sangat bergantung
pada strategi dan cara kerja yang lebih sesuai dengan era globalisasi ekonomi saat ini. Karena
itu, perlu dibangun mentalitas global (global mentality) yang tidak menafikan upaya
multilateralisasi yang sudah dilakukan dengan membangun semangat tanggung jawab
bersama (collective responsibility) demi keuntungan bersama. Mentalitas global antara lain
mencakup keterbukaan berpikir dan wawasan, pengelolaan perekonomian negara yang cerdas
untuk membangun strategi globalisasi yang koheren dalam industri dan perdagangan, serta
bekerja bersama dengan semangat "Indonesia Incorporated". *




Diskriminasi terhadap Anak dengan HIV

Kamis, 04 September 2014
Natasya Evalyne Sitorus, Manajer Advokasi dan Psikososial Lentera Anak Pelangi Pusat
Penelitan HIV Unika Atma Jaya


Mata Nenek Arni berkaca-kaca. Perlakuan diskriminatif terhadap cucunya, Rahmat, yang
ditolak bersekolah karena berstatus HIV positif, selalu membuat ia menangis. Padahal
kejadian itu sudah enam tahun berlalu. "Nenek selalu dihantui rasa bersalah karena
menceritakan penyakit Rahmat waktu itu kepada kepala sekolah. Sejak itu, Nenek sebisa
mungkin merahasiakan status HIV-nya kepada siapa pun," tuturnya.

Nenek Arni tidak sendirian. Saya percaya ada banyak kasus diskriminasi lainnya di
lingkungan sekolah akibat status pengidap HIV. Ke depan, kasus semacam ini bisa lebih
banyak lagi karena orang dengan HIV positif terus meningkat. Saat ini saja jumlah anak
dengan HIV yang dilaporkan di Indonesia mencapai 3.408 orang, sedangkan jumlah orang
dewasa dengan HIV positif adalah 134.042 orang (Ditjen P2PL, 2014).

Perlakuan diskriminatif itu niscaya justru membuat anak-anak dengan HIV dan keluarganya
kian sulit mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak-anak. Mereka bahkan bisa
membahayakan orang-orang di sekitarnya tanpa disadari. Akibat trauma atas perlakuan yang
didapat Rahmat, misalnya, Nenek Arni menyembunyikan status HIV cucunya, bahkan dari
sang anak sendiri. Ia tidak pernah menceritakan status HIV itu kepada Rahmat, yang
sekarang sudah masuk SMP, dan cucu ketiganya, Hafidz, 7 tahun, yang juga berstatus HIV
positif.

Rahmat dan Hafidz hanya tahu bahwa mereka harus minum obat 12 jam sekali, setiap hari
dan seumur hidup. Mereka tak tahu obat itu adalah anti-HIV. Yang mereka ketahui, obat
yang diminum itu adalah obat jantung, asma, anemia, atau bahkan obat cantik.

Kepada guru kelas Rahmat, Nenek Arni juga terpaksa berbohong, bahwa cucunya sakit
jantung sehingga pasti akan ada satu hari-Selasa atau Jumat setiap bulan-ketika Rahmat harus
izin tidak masuk sekolah untuk berobat ke rumah sakit. Orang tua lainnya, dalam catatan
kami, juga terpaksa melakukan hal yang sama.

Ini jelas tak boleh dibiarkan. Nenek Arni tidak pernah tahu sampai berapa lama ia akan
menutupi status HIV cucunya. Tapi ia tahu, dia dan cucunya belum siap untuk tahu soal HIV.
Mungkin tak akan pernah siap. Karena itu, negara harus turun tangan membantu.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengamanatkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya.
Prof dr Fasli Jalal, PhD-saat itu menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional-menyampaikan
dalam film berjudul Berikan Kami Harapan, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh
Lentera Anak Pelangi pada 2010, bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
menegaskan tidak boleh ada diskriminasi terhadap setiap anak dalam mendapatkan hak-hak
pendidikannya.

Sayangnya, sikap pemerintah yang terang-benderang ini belum terimplementasi dengan baik
di sekolah, bahkan di sekolah yang tak jauh dari Ibu kota. Agaknya, upaya penyuluhan serta
advokasi tentang HIV kepada sekolah, guru, dan orang tua murid belum cukup meresap.
Lantas kapan kemerdekaan yang sesungguhnya bisa dirasakan anak-anak dengan HIV?
















Thukul

Kamis, 04 September 2014
Anton Kurnia, cerpenis, @AntonKurnia9


Tubuhnya kurus kerempeng. Rambut ikalnya gondrong acak-acakan. Wajahnya bernuansa
agraris alias ndeso. Namun kekuatan kata-katanya sanggup membikin jeri penguasa, sehingga
dia harus diburu dan dibungkam. Dialah Wiji Thukul. Penyair legendaris yang hilang sejak
1998 itu terlahir ke dunia pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, sebagai Wiji
Widodo. Jika saat ini dia masih hidup, usianya genap 51 tahun.

Walau dia tak lagi ada bersama kita, kata-kata pusakanya yang terabadikan lewat sajak-sajak
perlawanan terus berkumandang dan abadi dalam ingatan. Seperti larik-larik ini: "Apabila
usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/Dituduh
subversif dan mengganggu kenyamanan/Maka hanya ada satu kata: Lawan!" (Peringatan,
1986).

Thukul adalah potret anak bangsa yang kritis dan mencintai negerinya. Tapi itu membuatnya
tak disukai penguasa yang malah bernafsu membungkam suara jujurnya yang sumbang.
Seperti kata-kata dalam sajaknya yang lain: "Seumpama bunga/Kami adalah bunga/Yang tak
kau kehendaki adanya/Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi//Seumpama
bunga/Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri" (Bunga dan Tembok,
1987).

Walau suaranya dicoba dibungkam dan jasadnya telah dihilangkan, kata-kata Thukul terus
bergema menyuarakan perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Serupa larik-larik ini:
"Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam/Mulut bisa dibungkam/Namun siapa yang mampu
menghentikan nyanyian bimbang/Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku Mengapa
kau kokang senjata/Dan gemetar ketika suara-suara itu/Menuntut keadilan?" (Sajak
Suara).

"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa," ujar
novelis Milan Kundera. Belasan tahun telah berlalu sejak Wiji Thukul diculik dan
dihilangkan penguasa tanpa pertanggungjawaban dan kabar yang pasti hingga kini. Istrinya
terus hidup menjanda. Kedua anaknya tumbuh dewasa tanpa kehadiran sosok ayah tercinta.
Namun kasus penculikan terhadap Thukul dan para aktivis politik yang terjadi di ujung
kekuasaan Orde Baru jangan sampai dilupakan dan lenyap begitu saja seiring dengan
berlalunya waktu serta hiruk-pikuk politik.

Peristiwa kelam itu harus terus diperingati agar bisa dijelaskan dan dituntaskan. Orang-orang
yang bertanggung jawab atas perbuatan keji itu mungkin hingga kini masih ongkang-ongkang
kaki menikmati kekuasaan. Mereka harus diadili dan menerima hukuman setimpal. Hukuman
ini tentu saja bukan untuk membalas dendam, melainkan sebagai pelajaran moral agar kasus
semacam ini jangan sampai terulang di kemudian hari.

Kita berharap pemerintah baru, yang akan mulai bertugas pada 20 Oktober mendatang,
memiliki keberanian dan niat baik untuk membongkar dan menuntaskan kasus misterius ini.
Siapa pun yang bersalah-tak peduli dia punya saham dalam menaikkan penguasa ke tampuk
kekuasaan atau orang kuat yang berada di luar pemerintahan-harus diseret ke meja hijau dan
mempertanggungjawabkan dosa-dosa mereka secara kesatria.

Apa pun alasannya, penghilangan paksa dan pembungkaman rakyat hanya karena perbedaan
pendapat tidak bisa dibenarkan dan wajib dihentikan. Kewajiban negara adalah melindungi
keselamatan segenap rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah konstitusi tertinggi. Salus
populi suprema lex esto.


















Kepemimpinan Partai Beringin

Kamis, 04 September 2014
Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute


Pelantikan anggota DPR RI tak lebih dari sebulan lagi, 1 Oktober 2014, dan pada hari itu
pimpinan alat kelengkapan Dewan akan dipilih. Sementara itu, pelantikan presiden terpilih
terpaut tiga minggu setelahnya, 20 Oktober 2014, dengan komposisi menteri kabinet Jokowi-
JK.

Tahun politik 2014 belum selesai. Selain mendapat perolehan suara akumulatif terbesar
kedua (14,75 persen) pada April 2014, harus diakui persebaran suara-dan perolehan kursi-
Golkar paling merata dibanding partai lain. Hanya dua provinsi (Kepri dan Bengkulu) yang
tidak dimiliki Golkar, sementara PDIP (18,9 persen)-partai pemenang pemilu legislatif
sekaligus pilpres 2014-absen di tiga provinsi (Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi
Tenggara).

Posisi kelembagaan Golkar, apakah berada di pemerintahan bersama Jokowi-JK atau di luar
bersama Koalisi Merah Putih, akan menentukan konstelasi politik lima tahun ke depan. Tentu
hal ini tidak menegasikan pengaruh partai lain yang semuanya berkekuatan lebih dari 3,5
persen suara sah. Oktober 2014 menjadi momentum paling krusial bagi semua partai,
termasuk Golkar. Artinya, September ini adalah the last minute sebelum kita menyaksikan
"gol kemenangan" atau "gol bunuh diri" yang akan terjadi.

Meski demikian, konstelasi pemerintahan ke depan juga ditentukan oleh produk politik yang
dihasilkan dari turbulensi di lingkup internal Golkar saat ini: Munas 2014 versus Munas
2015, kepemimpinan lama versus kepemimpinan baru, di luar pemerintahan versus di dalam
pemerintahan. Faksionalisme adalah klise bagi Golkar. Tapi buntut faksionalisasi Golkar,
dengan berusaha menganulir keterpilihan kadernya sebagai anggota Dewan, menyentak
asumsi perihal pelembagaan Golkar yang dianggap mapan (Dirk Tomsa, 2008). Atau, jika
kita meminjam istilah Indonesianis lainnya (McBeth, 2001), Golkar bukan lagi a genuine
political party di Indonesia.

Dalam tradisi politik Golkar, pemecatan kader oleh institusi adalah tabu--beda soal dengan
kader yang hijrah ke partai lain, atau membentuk partai. Harus jujur kita katakan, banyak
partai saat ini adalah partai yang lahir dari faksionalisme kader Golkar. Dari 12 partai peserta
Pemilu 2014 saja, paling tidak ada empat partai yang lahir dari pimpinan eks-kader Golkar:
Gerindra, Hanura, NasDem, dan PKPI. Hasilnya, dalam Pemilu 1999, Golkar tetap berada di
dua digit dengan 22,4 persen suara. Namun suara Golkar terus menurun: 21,6 persen pada
2004; stagnan 14,45 persen pada pemilu 2009; dan 14,75 persen pada 2014 ini.

Golkar tak lagi bisa bergerak menggunakan "partisipasi top-down" ala militer dan birokrasi
yang dulu pernah seatap. Terminologi pemersatu pembilahan sosial tak lagi menggaung
sebagai vote getter. Kelompok induk organisasi atau kino-kino Golkar, seperti Kosgoro,
MKGR, dan Soksi, tak lagi bisa menjadi pupuk penyubur suara Golkar. Jika Golkar kembali
gagal mengelola faksionalisasi, diskursus terhadap dirinya akan berpindah dari "mesin
elektoral" menjadi sekadar "strategi survival".

Pengalaman dinamika faksi Golkar juga terjadi pada Partai Sosialis di Prancis, yang kini
tengah berkuasa di bawah kendali Francois Hollande. Namun faksionalisasi Partai Sosialis di
Prancis era 1990-an berdampak positif pada revitalisasi ideologi dan munculnya
kepemimpinan baru (leadership renewal) dalam partai (Serenella Sferza, 2002).

Pembaruan kepemimpinan, sebagai sebuah produk faksionalisasi, akan menggiring pada
revitalisasi ideologi. Mengutip Takashi Siraishi dalam The Authoritarian Bureaucratic
Politics of Development: Indonesia under Suharto's New Order, "Ideologi Golkar seolah
menjadi pemersatu semua kekuatan di bawah beringin yang besar". Pemecatan kader (caleg
terpilih) partai sebagai anggota belakangan ini tentu kontra-ideologis sebagai partai
pemersatu bagi beringin yang besar. Kita perlu ingat, Golkar lahir dari sedikitnya 61
organisasi lintas profesi (dan kepentingan) di bawah Sekber Golkar (Suryadinata dan
Emmerson, 1991).

Jika eksklusivitas terus berlanjut, tentu partai beringin akan meranggas kering oleh benalu.
Golkar mungkin saja akan menjadi party without members alias partai tanpa anggota (Susan
E. Scarrow, 2000), karena elite partai tercerabut dari akar-akar konstituen. Atau jika bukan
demikian, Golkar-seperti juga beberapa partai lain-hanya sampai pada partai politik sebagai
campaign organization alias organisasi kampanye (David Farrel dan Paul Webb,2002).

Dalam konteks partai sebagai organisasi kampanye inilah, menurut Farrell dan Webb, partai
cenderung bergerak ke tiga fitur utama: 1) terjadi sentralisasi pengorganisasian dan
profesionalisasi peran fungsionaris partai, 2) gerak partai (sikap dan keputusan) banyak
dipengaruhi oleh opini dan tuntutan publik sebagai pemilih, 3) persepsi terhadap pemimpin
partai memegang peran dan tema penting dalam agenda elektoral. Dalam paradigma realis,
tujuan utama partai adalah menang pemilu, dan pragmatisme adalah salah satu jalan cara
partai bekerja. Jika demikian, leadership renewal menjadi poin kunci bagi Golkar untuk
menghadapi momentum terakhir tahun politik ini, Oktober 2014.



Haji Mabrur

Kamis, 04 September 2014
Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme


Ibadah haji menyimpan pesan egalitarianisme. Jutaan umat manusia dengan beragam suku
bangsa, peradaban, dan budaya bertemu di satu tempat yang sakral tanpa sekat perbedaan.
Tak penting pangkatnya apa, hartanya berapa, dan keturunan siapa, semua melebur dalam
satu semangat menunaikan rukun Islam. Ratapan spiritual tertumpah menarasikan penyesalan
dan kadar taubat, hingga manusia menemukan pengertian maknawi untuk apa sesungguhnya
agama itu diturunkan. Tak lain, kata Romo Y.B. Mangunwijaya, agama untuk memanusiakan
manusia.

Pesan kesetaraan dalam haji semakin diteguhkan oleh simbol baju ihram. Semua baju jemaah
haji ditanggalkan kecuali mengenakan kain berwarna putih dan tidak berjahit bagi jemaah
haji laki-laki. Ini menjadi perlambang bahwa, di pusaran Ka'bah, baju primordialisme
dilepaskan. Di hadapan Tuhan, superioritas suku bangsa dan strata sosial dinafikan. Semua
manusia sederajat dan bebas dari kecongkakan serta angkara murka.

Tak ada yang bisa didustakan dalam beragama karena setiap kepura-puraan dalam beritual
seketika mendapat balasan. Banyak cerita dari jemaah haji, bahwa keburukan yang dilakukan
selama berhaji langsung mendapat balasan keburukan pula. Seandainya peristiwa spiritual
tentang makna pembalasan atas kebajikan dan keburukan yang terjadi di Mekah menggumpal
menjadi kesadaran hidup sehari-hari, tentu kita tak akan menemukan kejadian tragis
pembunuhan sesama manusia, saling sengketa, amuk, pemberangusan, dan intoleransi. Hati
manusia akan selalu putih sewarna dengan kain ihram.

Tapi, dalam kenyataan sosial, sering dijumpai fakta sebaliknya. Predikat lafdziah haji
ternyata belum sepenuhnya memberikan sumbangsih secara maknawi dalam kehidupan
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap prosesi haji. Sebutan haji di
masyarakat diberikan hanya karena telah menunaikan ibadah haji. Padahal, harapannya,
predikat haji yang begitu agung di dalamnya membawa konsekuensi komitmen keteladanan
tentang sosok haji mabrur. Yakni, haji yang dilaksanakan dengan baik dan setelah pulang ke
tanah air tidak melakukan hal-hal yang dilarang atau merugikan orang lain.

Kini, negeri kita sedang menghadapi persoalan serius dalam beragama. Suatu kelompok tak
segan menyesatkan kelompok lain yang berlainan bendera keyakinan dan acap disertai
tindakan intoleran. Seolah porsi kebenaran diborong untuk golongannya dan tak ada jatah
kebenaran buat kelompok lain. Fenomena ini membutuhkan sumbangsih para haji agar
manusia Indonesia lebih dewasa dalam beragama dan memiliki cara pandang terbuka dalam
melihat orang lain. Apalagi, orang yang sudah berhaji, secara status sosial, di masyarakat
sangat dihormati dan petuahnya didengar banyak orang.

Haji sangat dimuliakan di masyarakat karena pernah mengunjungi tempat yang sangat
dimuliakan. Karena itu, sebaik-baik seorang haji mabrur adalah yang mampu memberikan
suri-teladan. Seorang haji tak boleh melumuri jiwanya dengan perbuatan memprovokasi,
mempolitisasi ayat Tuhan untuk kepentingan golongannya, apalagi melakukan anarki atas
nama agama. Seorang haji harus guyub, saling menolong, memanusiakan orang lain, dan
bersikap egaliter terhadap siapa pun.


















Gerakan Bersepeda Massal

Kamis, 04 September 2014
Arfanda Siregar, Dosen Politeknik Negeri Medan


Tak ada salahnya presiden terpilih Joko Widodo menjadikan Instruksi Gubernur DKI Nomor
150 Tahun 2013--tentang penggunaan kendaraan umum bagi pejabat dan pegawai di
lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta--sebagai peraturan nasional. Setiap Jumat,
Jokowi kerap menggunakan sepeda ke Balai Kota Jakarta. Meski menuai pro dan kontra,
iring-iringan Gubernur DKI Jakarta bersepeda menjadi napas segar pengurangan konsumsi
BBM.

Sepeda merupakan model transportasi ramah lingkungan yang antipolusi, hemat energi,
menyehatkan, dan terjangkau oleh seluruh strata masyarakat. Selain itu, bersepeda secara
massal memberikan sederet manfaat lain. Pertama, para pejabat negara lebih merakyat. Jika
selama ini mereka terkesan angker karena selalu dikawal dengan sederet kendaraan bermotor
yang boros bensin, dengan bersepeda, pengawalan jadi lebih sederhana. Semakin banyak
pejabat dan pengusaha bersepeda, otomatis kecemburuan sosial di antara anggota masyarakat
akan berkurang.

Kedua, pembangunan jalur khusus sepeda akan membuka peluang kerja baru pada pelayanan
kendaraan roda dua, baik di hari libur maupun hari biasa. Pastilah bengkel sepeda, penjual
sepeda, penjual aksesori sepeda, hingga pabrik sepeda akan berdiri di seluruh penjuru
Indonesia untuk melayani kebutuhan pengendara sepeda.

Ketiga, mengendarai sepeda juga identik dengan gaya hidup sederhana dan bersahaja.
Seorang pengendara sepeda mau tidak mau harus menyesuaikan penampilannya dengan
berpakaian sederhana. Berbeda dengan pengendara mobil yang selalu berpenampilan necis,
glamor, dan cenderung "jaim" (jaga image). Perbuatan korupsi juga dapat dicegah dengan
membiasakan orang naik sepeda.

Untuk mewujudkan gerakan bersepeda ini, pemerintah perlu membangun jalur khusus sepeda
di pinggir trotoar, namun terpisah dengan area pejalan kaki. Sementara itu, pada hari libur,
jalan utama ditutup untuk kendaraan bermotor sampai batas waktu tertentu untuk para
pengendara sepeda. Dengan adanya tempat khusus bersepeda, para pengendara sepeda tidak
perlu merasa cemas dan khawatir akan tersenggol oleh kendaraan bermotor, seperti yang
sering dirasakan para pengendara sepeda saat ini.

Jokowi telah memulai contoh yang baik ketika memimpin Jakarta. Di tengah persoalan BBM
yang harus dicari solusinya, tidak ada salahnya beliau memberlakukan instruksi Gubernur
DKI tentang pelarangan penggunaan kendaraan bermotor, khususnya dengan bersepeda
sebagai kendaraan alternatif pada hari tertentu, agar berlaku secara nasional dan mengikat
seluruh rakyat Indonesia.

Secara langsung, jika hal ini direalisasi, konsumsi BBM yang terus meningkat setiap tahun
dapat dikurangi. Sebagai negara net importer BBM, bersepeda menjadi alat transportasi
alternatif mengurangi konsumsi BBM.

Tentu bukan sekadar kesiapan infrastruktur bersepeda yang dibutuhkan Jokowi guna
merealisasi gerakan bersepeda massal, tapi juga kerendahan hati para pejabat negara.
Kebiasaan diistimewakan dan merasa istimewa membuat banyak pejabat-diperkirakan--
memprotes jika disuruh menggenjot sepeda seperti yang dilakukan Jokowi setiap Jumat.




















Kembali ke Khitah Pers Profesional

Jum'at, 05 September 2014
Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia


Pemilihan presiden 9 Juli 2014 benar-benar telah menguji kredibilitas pers Indonesia. Muncul
penilaian umum bahwa pers menjadi bagian dari masalah. Pers dianggap turut memperkeruh
suasana politik meskipun harus diakui tetap ada media yang bersikap hati-hati dan
proporsional. Karena itulah, ketika pemilihan presiden telah selesai, kini tiba saatnya untuk
mengingatkan seluruh komunitas pers Indonesia tentang pentingnya mengembalikan khitah
pers profesional sebagai pilar keempat demokrasi.

Dalam tatanan demokrasi modern, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dilengkapi
dan dikontrol oleh pers yang bebas dan profesional. Meskipun berada di luar sistem politik
formal, pers dianggap sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi mengontrol jalannya
kekuasaan. Pers adalah peniup peluit jika muncul indikasi pelanggaran atau kecurangan
dalam penyelenggaraan kekuasaan di semua lini dan level pemerintahan. Demokrasi akan
maju jika pers bebas menjalankan fungsinya. Sebaliknya, pers juga harus senantiasa menjaga
etika dan profesionalismenya.

Mewujudkan komitmen tersebut pada saat ini tentu bukan perkara yang mudah. Beban lebih
berat justru ditanggung pers yang telah mendukung atau bersimpati kepada pencalonan
Jokowi. Kemenangan Jokowi tidak lepas dari dukungan komunitas pers. Namun, begitu
Jokowi menjadi presiden, pers harus kembali menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tanpa
peduli siapa presidennya. Pers harus dapat menanggalkan simpati atau preferensi pribadi
kepada Jokowi. Lupakan gambaran Jokowi sebagai "wong cilik" yang harus dibela! Begitu
resmi menjadi presiden, Jokowi menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang harus diawasi.

Di sini posisi tim sukses dan pers perlu dibedakan. Ketika Jokowi menjadi presiden, tim
sukses tetap dapat mendampinginya dengan menduduki jabatan strategis atau menjalankan
fungsi-fungsi ad hoc tertentu. Namun, sebaliknya, pers yang bersimpati kepada Jokowi harus
segera kembali kepada posisinya sebagai pers profesional dan kritis terhadap kekuasaan.
Sistem demokrasi tak memberi tempat kepada pers yang partisan. Terjadi suatu kemunduran
serius jika lima tahun ke depan ada pers yang terus-menerus dan tanpa reserve membela
presidennya. Yang dibutuhkan adalah pers yang mampu bersikap proporsional, kritis, dan
menjaga etika. Tranformasi dari pendukung calon presiden Jokowi menjadi pengontrol
Presiden Jokowi inilah uji kedewasaan dan kematangan berikutnya yang harus dilalui pers
Indonesia pada umumnya.

Di sisi sebaliknya, perlu ditegaskan bahwa media massa dan wartawan yang selama ini
mendukung Prabowo Subianto tidak perlu menghilangkan sikap kritis kepada Jokowi. Publik
justru akan menertawakan mereka jika tiba-tiba berubah jadi memuji-muji Jokowi. Yang
harus dihilangkan dari diri mereka adalah kecenderungan menuduh tanpa dasar, menghakimi,
dan memfitnah. Yang mutlak harus ditambahkan dalam kinerja mereka adalah disiplin
verifikasi dan asas praduga tak bersalah. Sikap kritis dan skeptis terhadap Jokowi justru harus
tetap dipertahankan.

Bagaimana dengan Jokowi sendiri? Jokowi perlu menyadari bahwa "bulan madu" dengan
pers telah selesai begitu dia resmi menjadi presiden. Selanjutnya, Jokowi harus siap mental
menjadi sasaran kritik pers, tak terkecuali pers yang telah mendukung pencalonannya. Dalam
hal ini, Jokowi perlu belajar dari Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta. Sebagai
gubernur, Ali Sadikin sulit percaya kepada para bawahannya yang selalu datang dengan
laporan bertipe "asal bapak senang".

Laporan itu selalu menyatakan penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, meskipun
kenyataannya sarat kekurangan dan pelanggaran. Dalam mengevaluasi kinerja
pemerintahannya, Ali Sadikin kemudian lebih mengandalkan pemberitaan pers atau kritik
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dia tidak alergi terhadap kritik pedas media atau LSM,
bahkan menggunakannya sebagai "audit-gratis" kinerja pemerintahan. Dia tidak perlu
menyewa auditor swasta, cukup dengan menyimak kritik media dan LSM yang, meskipun
tidak seratus persen benar, tetap dapat digunakan sebagai tolok ukur.

Namun, sebaliknya, Bang Ali tak ragu-ragu memperkarakan kritik yang serampangan atau
menghakimi. Ali Sadikin sangat tegas terhadap media atau LSM yang asal tuduh. Sikap yang
demikian ini patut menjadi rujukan Jokowi-Jusuf Kalla. Ambil sisi positif pemberitaan media
sebagai bahan evaluasi kinerja pemerintah dan jangan ragu-ragu mempersoalkan pemberitaan
yang dianggap berlebihan dengan memanfaatkan otoritas Dewan Pers, Komisi Penyiaran
Indonesia, bahkan penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pers.








Apresiasi Sastra

Jum'at, 05 September 2014
Mustafa Ismail, Pegiat Kebudayaan, @musismail


Muhibah sastra ke beberapa sekolah di Aceh baru-baru ini memberi gambaran miris bagi
saya. Ternyata tidak banyak siswa yang mengenal sastrawan Indonesia. Hanya sedikit yang
mengenal Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bahri, Hamid Jabbar, Sitor Situmorang, KH
Mustofa Bisri, dan lain-lain. Apalagi nama-nama yang lebih muda dan belum tercatat dalam
buku ajar sekolah.

Lebih miris lagi, mereka tidak kenal nama-nama sastrawan dari daerah mereka sendiri.
Bahkan mereka tidak mengenal sastrawan sufi, Hamzah Fansuri, yang oleh Profesor A.
Teeuw disebut "Sang Pemula Puisi Indonesia". Mereka juga tidak kenal Teungku Chik
Pantee Kulu yang digelari penyair perang karena puisi-puisinya mampu membangkitkan
semangat perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah Belanda.

Dari tiga SMA di tiga kabupaten yang kami kunjungi lewat kegiatan Sastrawan Saweue
Sikula yang dinisiasi Balai Bahasa Banda Aceh itu, dua sekolah memperlihatkan apresiasi
sangat minim terhadap sastra. Hanya satu sekolah, yakni di Takengon, Aceh Tengah, yang
menggembirakan. Sebagian dari mereka sangat antusias dan akrab dengan sastra. Bahkan,
akhir acara ditutup dengan aksi baca puisi sejumlah siswa.

Sekilas ini hal biasa saja. Apalagi sastra memang tidak menjadi pelajaran utama di sekolah-
sekolah. Ia bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Maka sebagian besar guru pun-seperti
disinyalir peneliti sastra di Balai itu, Ibrahim Sembiring-adalah guru bahasa Indonesia.
Akibatnya, mereka lebih memberi tekanan pada pelajaran bahasa, sesuai dengan keahlian
mereka, ketimbang sastra.

Akibatnya, sastra menjadi "nomor sekian". Logikanya, jika mereka mengikuti perkembangan
sastra, tentulah hal itu sudah disampaikan kepada para siswa. Sebagai ujung tombak
pendidikan, guru menjadi penentu penguasaan materi tertentu oleh siswa. Bahkan menjadi
penentu apakah siswa menyenangi pelajaran tertentu.

Jika guru tidak menguasai bahan, selain tidak bisa membuat siswa menambah pengetahuan,
ia juga tidak akan berhasil mendorong siswanya untuk "mencintai" pelajaran itu. Ungkapan
"tak kenal maka tak sayang" berlaku di mana pun. Ini belum bicara kreativitas mengajar-yang
mampu membuat siswa merasa menyerap materi pelajaran dengan riang gembira.

Maka, dalam konteks pelajaran sastra, perlu ada terobosan. Salah satu alternatifnya adalah
melibatkan sastrawan lokal. Sastrawan setempat, yang berdomisili di sebuah kota/kabupaten,
diintensifkan menjadi guru sastra tamu secara terjadwal di sekolah-sekolah terdekatnya.

Dengan demikian, siswa dapat menimba pengetahuan dan pengalaman dari sumber utama.
Para sastrawan itu tentu tidak hanya mengajarkan menulis, misalnya puisi dan prosa, tapi
juga memberi perspektif tentang sastra, termasuk perkembangannya. Walhasil, para siswa
bisa terus memperbaharui pengetahuan dan informasi mereka tentang sastra. Keuntungannya
ganda: mereka terampil menulis sastra sekaligus melek terhadap perkembangan sastra.

Selama ini memang ada program sastrawan masuk sekolah yang diadakan baik oleh lembaga
pemerintah maupun komunitas sastra. Namun kegiatan itu tidak menyentuh banyak sekolah,
sporadis, dan hanya berlangsung sesekali. Tapi, jika sastrawan menjadi pengajar sastra tamu,
proses pengenalan dan berakrab-akrab dengan sastra akan berkelanjutan. Dari situlah
motivasi untuk membaca dan mencintai sastra akan tumbuh.















Batas Garis Keras

Jum'at, 05 September 2014
Ahmad Sahidah, Dosen Universitas Utara Malaysia


Kami mudik di luar waktu arus utama. Ketika banyak orang memilih menjelang perayaan
hari besar, kami justru menikmatinya pada waktu yang tak merayakan apa-apa selain
mengunjungi keluarga.

Hanya, setelah tak lama mereguk udara kampung halaman, saya merasa aneh dengan bapak
dan adik-adik yang tak pergi ke surau terdekat. Ketika ditanya, jawabannya pendek,
"Cinkrang"! Lema terakhir adalah sebutan bagi celana yang berada di atas lutut yang dipilih
oleh kaum Salafi untuk meneladani cara berpakaian Nabi secara murni.

Benar! Ternyata surau telah diambil alih oleh kaum Salafi, yang berjenggot, berjubah putih,
bersorban, dan menolak pujian menjelang sembayang berjemaah. Tiba-tiba, pesona langgar
raib. Padahal, sebelum pindah ke rumah baru ini, kami tinggal di sebuah kampung transisi,
Kenayan, Yogyakarta, yang ramah dengan bacaan salawat dan terjemahannya dalam bahasa
Jawa. Salah seorang jemaah yang membawakan pujian dengan logat lokal dan Arab tak fasih
justru hadir jauh emosional. Malah, kami lebih mudah akrab. Sedangkan di kampung baru,
perasaan asing menyergap, meskipun ada satu-dua orang yang mencoba bertukar sapa.

Untungnya, di sela-sela menanti subuh, pujian masih terdengar sayup-sayup dari surau lain
terdekat di dusun yang sama. Syahdan, langgar tersebut dulu dimakmurkan oleh orang
kampung yang merawat tradisi dengan menikmati pujian dan barzanji. Malah, ia berdiri
lewat sumbangan warga yang tak terkait dengan aliran tertentu. Malangnya, setelah dikelola
oleh kaum Salafi, rumah Tuhan ini tak ramah dengan kebiasaan lama. Amalan apa pun yang
tak sejalan dengan keyakinan mereka diberangus.

Betapapun kepengurusan takmir berada di tangan mereka, segelintir warga sekitar masih rela
datang. Seorang lelaki tua dengan songkok hitam, baju batik, dan sarung tak hirau dengan
pesona budaya Arab. Ia hadir dengan keluguannya. Sementara itu, salah seorang jamaah
pemurnian tak hanya mengenakan jubah untuk dirinya, bahkan anak kecilnya yang masih di
bawah lima tahun pun telah berkain dan bersongkok layaknya anak dari keluarga Saudi.
Betapa magisnya sehelai baju bagi pengikut Salafi!

Di tengah kerisauan ideologi keras menerabas batas, ada fenomena unik. Salah seorang dari
mereka membuka suara tentang pekerjaannya selepas menunaikan salat magrib berjemaah.
Betapapun ia adalah tipikal Salafi, istrinya membawa diri seperti jiran dusun yang lain:
berkepala terbuka dan hanya bergaun biasa, daster. Malah, sekali waktu, seorang perempuan
bercadar terlihat mengendarai sepeda motor dengan cukup laju di jalan beraspal tak jauh dari
rumah, Ngaglik, Sleman. Aha!

Pemandangan serupa tak ada di negeri asal Salafi, Arab Saudi. Namun, warga lokal punya
cara tersendiri untuk melawan gerakan pemurnian. Mereka tak datang ke surau dan, kalaupun
segelintir yang lain berjemaah, mereka hadir dengan kearifan sendiri, yakni bersongkok
hitam dan berbatik. Malah sebagian lain hanya berkaos dan bercelana jins. Sementara itu,
pada hari Jumat, para pelajar masih berseragam sekolah saat menunaikan kewajiban. Rakyat
setempat pun tak terganggu dengan banyaknya orang luar yang beraliran Wahabi mendatangi
masjid mereka, karena batas telah kukuh bahwa di sana orang ramai mesti menerima
perbedaan dan berbagi. Kalau tidak, siapa pun harus pergi.

Anda mungkin juga menyukai