Anda di halaman 1dari 34

1

SKENARIO 2

TRAUMA PADA KEPALA

Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu. Ia mengendarai motor tanpa
menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian terpental dan jatuh. Menurut pengantar, saat
jatuh ia pingsan, kemudian sempat sadar sekitar setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah
dan kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan.

Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 12 x/menit
Circulation : tekanan darah 150/100 mmHg, frekuensi nadi 50 x/menit

Regio Wajah
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Status Neurologi
GCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3mm/5mm, RCL +/-, RCTL +/-, kesan
hemiparesis sinistra, refleks patologis Babinsky -/+

2

Kata Sulit

1. Cerebrospinal rhinorrhea
Sekret cairan cerebrospinal melalui hidung

2. Maloklusi
Sejenis malposisi dan kontak antar gigi maksilar dan mandibular sedemikian rupa
sehingga mengganggu gerakan menggiling rahang yang penting untuk proses mengunyah

3. Snoring
Proses bergetarnya struktur pernapasan yang akhirnya menghasilkan suara / mendengkur

4. Anisokor
Ketidaksamaan diameter pada kedua pupil

5. RCL
Refleks Cahaya Langsung

6. RCTL
Refleks Cahaya Tidak Langsung

7. GCS (Glasgow Coma Scale)
Suatu sistem terstandardisasi untuk menilai respon terhadap rangsangan pada penderita
dengan gangguan neurologis

8. Hemiparesis
Kelemahan otot atau paralisis parsial yang mengenai satu sisi tubuh

3

Pertanyaan

1. Mengapa pasien sempat mengalami keadaan tidak sadar, kemudian sadar kembali dan
mengalami muntah disertai darah, kemudian tidak sadar kembali?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya bunyi snoring?
3. Mengapa terjadi peningkatan tekanan darah dan penurunan frekuensi nadi?
4. Mengapa terjadi perdarahan pada hidung dan telinga?
5. Mengapa terjadi pupil anisokor?
6. Mengapa terjadi CSF rhinorrhea?
7. Mengapa pasien mengalami hemiparesis sinistra?
8. Mengapa terjadi maloklusi gigi?
9. Tindakan resusitasi apa yang harus dilakukan?

Jawaban

1. Karena terjadi lucid interval yang menandakan hematoma epidural dan terjadi perdarahan
yang menyebabkan peningkatan TIK sehingga pasien mengalami muntah disertai darah.
2. Karena adanya lidah yang menyumbat jalan nafas.
3. Karena terjadi trias cushing akibat dari peningkatan tekanan intrakranial
4. Karena terjadi laserasi / pecahnya A. meningeae mediae yang kemudian bercampur dengan
cairan cerebrospinal, dan didapatkan adanya fraktur di daerah satu pertiga tengah wajah dan
fraktur di os. petrosum, sehingga menyebabkan perdarahan pada telinga dan hidung.
5. Adanya hematoma menyebabkan herniasi otak kemudian menekan N. II dan III,
menyebabkan terjadinya pupil anisokor disertai dengan RCL dan RCTL (-).
6. Karena terjadi fraktur kepala yang mengenai lamina cribrosa yang mengakibatkan keluarnya
cairan cerebrospinal melalui hidung.
7. Karena terjadi trauma kepala di hemisphere sebelah kanan yang menyebabkan terjadinya lesi
kontralateral, sehingga mengalami hemiparesis sinistra.
8. Karena terjadinya trauma yang menyebabkan pergeseran rahang fraktur Lefort
9. Bebaskan jalan nafas dari lidah, triple maneuver, dll.

4

Hipotesis


Trauma Kepala Kanan Fraktur 1/3 tengah
wajah
- Maloklusi
gigi
- Perdarahan
hidung
Laserasi A. meningeae mediae
Perdarahan di otak kanan
Peningkatan TIK
Herniasi otak
- Anisokor
- RCL & RCTL (-)
- Hemiparesis sinistra
Fraktur basis cranii - CSF rhinorrhea
- Ottorrhea
- Raccoon eyes
- Brills hematom
5

Terjadinya trauma kepala di sebelah kanan menyebabkan terjadinya fraktur di daerah 1/3
tengah wajah yang mengakibatkan terjadinya maloklusi gigi dan perdarahan pada hidung dan
telinga. Selain itu, trauma kepala pada kasus tersebut juga menyebabkan terjadinya laserasi pada
A. meningeae mediae. Pecahnya arteri tersebut, menyebabkan perdarahan di otak kanan yang
dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Kemudian terjadi herniasi otak yang menekan saraf
kranial II dan III yang menyebabkan pupil anisokor dan RCl dan RCTL (-). Selain itu, adanya
lesi yang kontralateral dari daerah trauma mengakibatkan terjadinya hemiparesis sinistra.
Trauma kepala tersebut juga menyebabkan terjadinya fraktur pada basis cranii yang ditandai
dengan gelaja CSF rhinorrhea, ottorrhea, raccoon eyes, dan Brills hematom.
6

SASARAN BELAJAR

LI. 1. Memahami dan Mempelajari Trauma Kepala
1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Kepala
1.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Kepala
1.3. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala
1.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala
1.5. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Trauma Kepala
1.6. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Trauma Kepala
1.7. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Trauma Kepala
1.8. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala

LI. 2. Memahami dan Mempelajari Perdarahan Intrakranial
2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Perdarahan Intrakranial
2.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Perdarahan Intrakranial
2.3. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Perdarahan Intrakranial
2.4. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Perdarahan Intrakranial
2.5. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Perdarahan Intrakranial

LI. 3. Memahami dan Mempelajari Fraktur Basis Cranii
3.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Fraktur Basis Cranii
3.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Fraktur Basis Cranii
3.3. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Fraktur Basis Cranii
3.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Fraktur Basis Cranii
3.5. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Fraktur Basis Cranii
3.6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Fraktur Basis Cranii
3.7. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Fraktur Basis Cranii

LI. 4. Memahami dan Mempelajari Trias Cushing
4.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Trias Cushing
4.2. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trias Cushing

7

LI. 1. Memahami dan Mempelajari Trauma Kepala
1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan
otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-
Brown, Thomas, 2006).
1.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Kepala
Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul
Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
Trauma kepala akibat tembakan
Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.3. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme, beratnya cedera, dan
morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan
otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang
tengkorak.
b. Cedera kepala tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang
keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan
nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic
Brain Injury yaitu :
8


3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak
tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut :
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan splintering
Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak
Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas (kubah/atap tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada
duramater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
b. Tertutup
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization
2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
9

pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak.
4. Luka pada kepala :
Laserasi kulit kepala
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,
sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung
pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
Luka memar (kontusio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung
saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal
istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan
prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan
ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
10

dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral
yang membutuhkan tindakan operasi.

1.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang
area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka
lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan
secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah
lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi
dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

1.5. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan keperibadian diri
f. Letargi
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat :
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau
meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

11

1.6. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Trauma Kepala
Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain :
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan
mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan
memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13 : cedera kepala sedang
GCS > 13 : cedera kepala ringan
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran,
tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan
melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang
lebih baik atau lebih buruk.
Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
Respon membuka mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Nilai
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
12

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk
dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang
terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.


(sumber ; Greaves dan Johnson, 2002)
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan
ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan
fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor and Employment,
2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam memperkirakan
prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih
baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.
13

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal
akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di
samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya
struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada
MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus
(CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita
cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus
kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong
menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

1.7. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Trauma Kepala
Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD :
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:
Airway
Breathing
Circulasi
Disability
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :
Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya normal
antara 16 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan,
kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO
2
antara 28 35 mmHg
karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema
serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang berakibat
terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO
2
) 100 mmHg jika kurang beri Oksigen masker
8 liter/ menit.
14

Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :
Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak
pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka
kematian 2 X
Hentikan perdarahan dari luka terbuka
Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:
Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale
Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung
maupun konsensual./tidak langsung
Periksa adanya hemiparese/plegi
Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur
misal adanya aphasia
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan
sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan
pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah (pemeriksaan ini sebenarnya
dikerjakan secara stimultan dan seksama).

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14-15)
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-
obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya
fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battles sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
15

Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b.Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)
Pada 10 % kasus :
Masih mampu menuruti perintah sederhana
Tampak bingung atau mengantuk
Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 20 % kasus :
Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
Tindakan di UGD :
Anamnese singkat
Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
Pemeriksaan CT. scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
Status neulologis membaik
CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi
apnoe yang berlangsung lama
16

Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg
2. Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti
cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B. Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri
dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan
sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik,
bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
17

Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci
bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan
penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya
18

CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal ,
hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.

1.8. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala
Komplikasi trauma kepala :
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres
terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral
atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV
selama 5 hari.

LI. 2. Memahami dan Mempelajari Perdarahan Intrakranial
2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium, yang
mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan
intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor
otak dan lain-lain. 8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan
spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH
umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan
edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi
neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan
sindrom herniasi yang berpotensi fatal.
19



2.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Perdarahan Intrakranial
Menurut (Tobing, 2011) perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi :
o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil
itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi
akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding
pada perdarahan epidural.
o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3
minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah
darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga
akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari
akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan
dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di
ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor
diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,
kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
20

attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang bervariasi seperti kelemahan
motorik dan kejang
o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan
antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi
dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak
lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala
klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat
penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang
dialami.
o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna
prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi
dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim
yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :
o Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan
inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan
inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis
ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara inti profunda dengan inti permukaan .
o Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri
adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya
gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh
tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah
kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang
mengenai kepala.
o Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat
pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena
episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
o Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan
karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
21


Klasifikasi perdarahan intrakranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis :
1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan epidural
yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria
pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di
daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Perdarahan subdural akut
- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah.
- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera
batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
- Terjadi karena luka ringan.
- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelan-pelan ia meluas.
- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
- Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang
dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan
intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi
penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai
counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto, 2008).

Dugaan adanya perdarahan di dalam kepala dapat dilihat dari tanda dan gejala yang ada.
Pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau MRI dapat digunakan untuk melihat perdarahan
yang terjadi.

1. Epidural Hematom
22


Gambar CT-scan epidural hematom
Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea median
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak
yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan oleh regangan
dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal
atau tulang sfenoid.
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,
seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial
linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati
lekukan minengeal pada squama temporal.
Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari :
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya
jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval
lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena
trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi
23

transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan
yang dimungkinkan berasal dari arteri.
- Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
- Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

2. Subdural Hematoma

Gambar CT-scan subdural hematom
Etiologi
- Trauma kepala
- Malformasi arteriovenosa
- Diskrasia darah
- Terapi antikoagulan
Klasifikasi
- Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebihlanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
- Perdarahan sub akut
24

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah .Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
- Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisamenjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih
belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma.Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral
dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam
exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan
kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera
neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas
dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.
Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).

3. Intraserebral Hematom
25


Gambar CT-scan Intraserebral hematom
Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
- Trauma kepala.
- Hipertensi.
- Malformasi arteriovenosa.
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah
Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
- Hematom supra tentoral.
- Hematom serbeller.
- Hematom pons-batang otak.
Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia
basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom
ekstra aksial lainnya.Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera,
namun dengan adanya scan computer tomografi otakdiagnosanya dapat ditegakkan lebih
cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
- nyeri kepala mendadak
- penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
- Tanda fokal yang mungkin terjadi ; Hemiparesis / hemiplegi, Hemisensorik, Hemi
anopsia homonym, Parese nervus III.
- Kriteria diagnosis hematom serebeller ; Nyeri kepala akut, Penurunan kesadaran, Ataksia,
Tanda tanda peninggian tekanan intracranial
- Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma, Tetraparesa,
Respirasi irregular, Pupil pint point, Pireksia, Gerakan mata diskonjugat.
Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif.Tekanan darah harus
diawasi.Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi.Intra cerebral hematom yang luas
dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan
26

intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi
tekanan intrakranial karena terapi medis
a. Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebellar
- Bila perdarahan pons batang otak
b. Pembedahan
- Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan effek massa

2.3. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Perdarahan Intrakranial
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,
perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan
kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.

PENCITRAAN
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
27

tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.

2.4. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Perdarahan Intrakranial
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik
pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak
yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih
cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang
sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis,
publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm
tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani
secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya
ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural
terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.
Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural,
khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang
mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan
diatas.


28

Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury, perdarahan
epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan
GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan
15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan
perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan
tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal,
jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat.
Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus
venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas
dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.
Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

2.5. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Perdarahan Intrakranial
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.
Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata
ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau
fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

LI. 3. Memahami dan Mempelajari Fraktur Basis Cranii
3.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Fraktur Basis Cranii
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal.Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.Fraktur basis cranii
paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital
condylar.Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.



29

3.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Fraktur Basis Cranii
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur
calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.

FRAKTUR BASIS TENGKORAK
Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)
bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar mata
tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila
dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoons eyes.
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus Olfactorius)
sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai
hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS
bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga
telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah
(otorrhoea).
Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan
pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars
posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan
Diabetes Insipidus.
Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri
Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus >
Carotid Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti
air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang
terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna
merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrom.
Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battles Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak
Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

Jenis fraktur basis cranii :
Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur
30

temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini. (A)Transverse
temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam
Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe
fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan
labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada
mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-
90%).Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea
dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur
unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi
fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk
fraktur yang melibatkan mastoid air cells.Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus
cranialis.
Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini
dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen.
Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus
oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan
langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai
fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan.Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal
ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraan nbermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam
literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem
vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe
ini.

3.3. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang tekanan
yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya
31

segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai
(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah
mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut
cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor
berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar.
Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla
oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian
meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe
vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari
arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibat
hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang
disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para
peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

3.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Fraktur Basis Cranii
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os. temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower
cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X,
dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

3.5. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Fraktur Basis Cranii
Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
o Radiografi
32

Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan
bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray
skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
o CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
o MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus
yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada
kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan
menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

3.6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Fraktur Basis Cranii
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan
waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika
kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan
pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur
depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi
fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan
pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi
dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,
cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
33

condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini
dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular
(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau
jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF
yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran
sebelum intervensi bedah dilakukan.

3.7. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Fraktur Basis Cranii
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea.
Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di
bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah
akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,
dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya
fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang
terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur
condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-
Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI
dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). Cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,
CT-angiografi dianjurkan.

LI. 4. Memahami dan Mempelajari Trias Cushing
4.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Trias Cushing
Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan
intrakranial.
Hipertensi
Bradikardi
Depresi pernapasan

4.2. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trias Cushing
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera
kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum.
Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara
bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat,
Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi
lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu
mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi
Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.

34

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America:
Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press of Yogyakarta

Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran
EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara: USU
Press.

Anda mungkin juga menyukai