EPILEPSI
Disusun Oleh:
Meilinda Vitta Sari
NIM: 030.10.173
Pembimbing:
dr. Fitriani, Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul Epilepsi
ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di
SMF Neurologi, khususnya dr. Fitriani Sp.S, atas bimbingannya selama berlangsungnya
pendidikan di bagian neurologi ini sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan
semaksimal kemampuan saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta
untuk melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
11
34
BAB I
STATUS PASIEN
Nama
: Tn. AF
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 20 tahun
Agama
: Islam
Alamat
Suku bangsa
: Indonesia
Pekerjaan
: Mahasiswa
Pendidikan
: Tamat SMA
Status Menikah
: Belum menikah
No. RM
: 00289127
Ruangan
: Poli Syaraf
1.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke poli saraf pada tanggal 14 Oktober 2014.
a. Keluhan Utama
Kejang pada 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada 2 bulan SMRS, pasien mengaku mengalami kejang sebanyak 2 kali. Kejang
timbul pada saat pasien sedang capek dan stress sepulang kuliah, kejang berlangsung
selama kurang lebih 10 menit, durasi antar kejang pertama dan kedua kira-kira 3 menit,
kejang kelojotan, mata tertutup, mulut berbusa, lidah tergigit, dan pasien tidak sadar.
Setelah kejang, pasien merasa lemas lalu tertidur. Saat kejang, tidak ada demam,
gangguan BAK ataupun BAB. Pasien mengaku saat ini datang ke poli saraf untuk
kontrol pengobatan kejang yang dialaminya. Pasien mengatakan bahwa kejang ini
merupakan kejang berulang, dimana kejang sebelumnya ialah 1 tahun 6 bulan yang lalu
3
dengan kejang sebanyak 2 kali dan memiliki pola yang sama seperti kejang terakhir.
Pasien menambahkan bahwa sudah meminum obat-obatan untuk kejang selama 1 tahun
6 bulan. Namun, 2 bulan yang lalu, tiba-tiba kejang kembali terjadi karena pasien
sempat putus minum obat kejang selama 4 hari. Akhirnya, pasien datang kembali ke
poli syaraf untuk berobat. Semenjak 2 bulan terakhir ini, setelah diberi obat-obatan,
pasien mengaku kejang tidak pernah berulang kembali.
Pasien menceritakan bahwa kejang pertama kali dialami saat pasien berusia 7
tahun. Saat umur 7 tahun, kejang terjadi kurang lebih selama 10 menit dengan pola
yang sama, namun sempat tidak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit selama 5 hari.
Pasien didiagnosis menderita epilepsi oleh dokter RS tersebut. Sepulang dari RS, pasien
tidak pernah lagi kontrol mengenai kejangnya. Oleh karena itu, pasien mengaku kejang
sering berulang sekitar 2-3 kali/tahun dan hanya pergi berobat ke klinik 24 jam untuk
menangani kejangnya. Sekitar 1 tahun 6 bulan yang lalu, kejang dengan pola yang
sama yang dialami semakin berat namun dengan durasi kejang lebih dari 10 menit.
Akhirnya, barulah pasien berobat ke poli saraf dan diharuskan meminum obat anti
kejang secara kontinu selama 2 tahun.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah mengalami trauma pada kepala akibat dipukul dengan
botol oleh temannya saat usia 5 tahun, namun tidak mengingat persis kejadiannya
seperti apa.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien yaitu kakek pasien pernah meenderita kejang epilepsi. Riwayat
hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, stroke, dan alergi disangkal.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien sering berada di depan komputer berjam-jam dan mengaku kurang tidur
setiap harinya.
Kesadaran
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
4
Nadi
Pernapasan
: 20 x/menit, reguler
Suhu
: 36,50C
Berat badan
: 58 kg
Tinggi badan
: 160 cm
BMI
: 22,6 kg/m2
B. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata
: Tidak ada
Columna Vertebralis
Kulit
Kepala
Mata
Sinus
Telinga
Hidung
Mulut
: Sianosis (-)
Lidah
: Kotor (-)
Tenggorok
Leher
Pemeriksaan jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pemeriksaan Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal
Distal
C.Status Neurologis
1) GCS
E4V5M6 : 15, compos mentis
2) Rangsang Selaput Otak
Kanan
Kiri
Kaku Kuduk
(-)
Laseque
> 70
> 70
Kernig
> 135
> 135
Brudzinski I
(-)
(-)
Brudzinski II
(-)
(-)
: tidak dilakukan
N.II
Kanan
Kiri
Acies Visus
Baik
Baik
Visus Campus
Baik
Baik
Melihat Warna
tidak dilakukan
Funduskopi
tidak dilakukan
N. III, IV, VI
Kedudukan Bola Mata
Kanan
:
Ortoposisi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Kiri
Ortoposisi
Ke Nasal
Baik
Baik
Ke Temporal
Baik
Baik
Ke Nasal Atas
Baik
Baik
Ke Nasal Bawah
Baik
Baik
Ke Temporal Atas
Baik
Baik
Ke Temporal Bawah
Baik
Baik
Eksopthalmus
(-)
(-)
Nistagmus
(-)
(-)
Pupil
Isokor
Bentuk
Bulat, 3mm
Bulat, 3mm
(+)
(+)
(+)
(+)
Isokor
Akomodasi
Baik
Baik
Konvergensi
: `
Baik
Baik
Kanan
Kiri
Baik
Baik
Optahalmik
Baik
Baik
Maxilla
Baik
Baik
Mandibularis
Baik
Baik
Kanan
Kiri
N. V
Cabang Motorik
Cabang Sensorik
N. VII
Motorik Orbitofrontal
Baik
Baik
Motorik Orbicularis
Baik
Baik
Pengecap Lidah
N. VIII
tidak dilakukan
Kanan
Kiri
Vestibular
Vertigo
: tidak dilakukan
Nistagmus
tidak dilakukan
(-)
(-)
(-)
(-)
Cochlear
Tinnitus
Rinner
tidak dilakukan
7
Weber
tidak dilakukan
Schwabach
tidak dilakukan
N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara
: biasa
Menelan
: normal
Kedudukan Uvula
: di tengah
Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx)
N. XI
Mengangkat bahu
Menoleh
N. XII
: tidak dilakukan
Kanan
Kiri
Baik
Baik
Baik
Baik
Kanan
Kiri
Kedudukan Lidah
Waktu istirahat
simetris tengah
simetris tengah
Waktu gerak
simetris tengah
simetris tengah
Atrofi
(-)
(-)
Fasikulasi/tremor
(-)
(-)
5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal
: 5555
5555
: 5555
5555
6) Gerakan Involunter
Tremor
: (-)
Chorea
: (-)
Atetose
: (-)
Mioklonik
: (-)
7) Trofik
8) Tonus
9) Sistem Sensorik
Kanan
Kiri
8
Proprioseptif
(+)
(+)
Eksteroseptif
(+)
(+)
: Baik
Romberg
: Baik
Jari-Jari
: Baik
Jari-Hidung
: Baik
: (-)
Apraksia
: (-)
Afasia
: (-)
: Baik
Defekasi
: Baik
Sekresi Keringat
: Baik
Kanan
Kiri
Kornea
(+)
(+)
Bisep
(+2)
(+2)
Trisep
(+2)
(+2)
Patella
(+2)
(+2)
Achilles
(+2)
(+2)
Kanan
Kiri
(-)
(-)
Babinsky
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
Gordon
(-)
(-)
Gonda
(-)
(-)
Schaeffer
(-)
(-)
Klonus Lutut
(-)
(-)
Klonus Tumit
(-)
(-)
: Baik
Tanda regresi
: (-)
Demensi
: (-)
9
1.7 TATALAKSANA
Depakot 2x500mg
Asam folat 2x5mg
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan
atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. 1
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi
sebelumnya. 1
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak
dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap
munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak,
keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada lakilaki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi
meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi
menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut. 2
2.3 ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik,
misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
11
otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi
penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi
seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi. Epilepsi
mungkin disebabkan oleh 1:
Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain.
Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak,
atau infeksi.
Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsi idiopatik, sedangkan pada
anak umur 5-6 tahun disebabkan karena febris.
Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala
maupun tumor.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Etiologi 3
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada
masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran),
gangguan
metabolisme
dan
nutrisi
(misalnya
hipoglikemi,
13
Klasifikasi Umum 3
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun
1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981
menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi) 4:
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 3,4
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik
Epilepsi benigna dengan gelombag paku di daerah sentral temporal
(chilhood epilepsy with centrotemporal spikes).
Epilepsi benigna dengan gelombang paroksimal pada daerah oksipital.
Epilepsi primer pada saat membaca (primary reading epilepsy).
14
b. Simptomatik
Epilepsi parsial kontinua yang kronik progesif pada anak anak
(Kojenikows Syndrome)
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca).
Epilepsi lobus temporalis
Epilepsi lobus frontalis
Epilepsi lobus parietalis
Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitassi dengan aktivasi yang spesifik.
b. Kriptogenik atau simptomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
Sindroma West (spasmus infantil)
Sindroma Lennox Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi lena mioklonik
c. Simtomatik
Sindrom spesifik
15
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur dalam
Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau Kleffner)
Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
Kejang Demam
Bangkitan Kejang/ Status Epileptikus Hanya Sekali (Isolated)
Bangkitan Hanya Pada Kejadian Metabolik Akut, Atau Toksis,
Alkohol, Obat- Obatan, Eklamsia, Hiperglikemi Non Ketotik.
Bangkitan Dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga
diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis
yang baik dan akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang
sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri
tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya
pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah
rekaman elektroensefalografi (EEG). 4,5
2.5 PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh
16
suatu sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini
aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,
aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan
demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. 5
Otak
neuron
GABA
Menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik syaraf
sinaps
neurotransmiter
Pusat Listrik Syaraf
N. Eksidatif
Epileptogen
Depolarisasi belahan hemisfer
kejang
tanpa hilang kesadaran
Substansia retikularis
kejang
penurunan kesadaran
17
18
2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan
kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk
sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis,
kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan
aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam
sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand
mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan
berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi
3 per detik.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi
lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya
sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak.
Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. 5
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus
otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari
pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit
mal, mioklonus dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut. 1,3
d. Spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West.
Timbul pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab
yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak
yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan
19
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3
2.8 TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat
antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang
lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi
dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk
yang minimal (yang dapat ditoleransi). 3,4
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat
terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan faktor
penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk
serangan.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :
1. Menentukan diagnosis yang tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat
dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek
yang merugikan akibat obat antiepilepsi.
Tabel 1
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada
masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk
keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko
dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah,
sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin
diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang
mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
24
simple
First-line
Second-line/add on
Asam valproat
Tiagabin
Fenitoin
Levetiracetam
Vigabatrin
Fenobarbital
Zonisamid
Felbamat
Okskarbazepin
Pregabalin
Pirimidon
& Karbamazepine
25
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik
Mioklonik
Asam valproat
Lamotrigin
Topiramat
Karbamazepine
Okskarbazepin
Levetiracetam
Fenitoin
Zonisamid
Fenobarbital
Pirimidon
Asam valproat
Topiramat
Lamotrigin
Levetiracetam
Clobazam
Zonisamid
Clonazepam
Fenobarbital
Etosuksimid
Levetiracetam
atipikal)
Lamotrigin
Atonik
Asam valproat
Zonisamid
Lamotrigin
Felbamat
Topiramat
Tonik
Asam valproat
Clonazepam
Fenitoin
Clobazam
Fenobarbital
Epilepsy
Clonazepam
juvenil
Etosuksimid
Epilepsy
Clonazepam
juveni
Fenobarbital
Etosuksimid
26
b) karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat
antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra
indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita,
khususnya wanita yang masih dalam usia subur. 2,3
4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling
rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). 3
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi
untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya
terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini
cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi.
Beberapa cara pemberian dosis awal :
1. Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik
Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan
dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin,
pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada
penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek
samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai
dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa
minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat
ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya
yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi
dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. 4,5
2. Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga
terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan. 4
27
Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat
antiepilepsi dengan obat lain, faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :
Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai
kondisi optimal?)
Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang
paling
umum
terjadinya
kegagalan
pengobata
dan
kambuhnya
bangkitan).
Table 3. Dosis obat antiepilepsi untuk dewasa
Obat
Dosis
Dosis
Dosis
awal
yang
maintenance pemberian
(mg/hari) paling
(mg/hari)
(kali/hari)
100-700
1-2
umum
(mg/hari)
Fenitoin
200
300
Hirsutisme,
hipertrofi
hiperglikemia,
anemia makrositik
Karbamazepin 200
600
400-2000
2-4
kabur,
900-
900-2700
2-3
1800
Gangguan
diplopia,
GI,
sedasi,
hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin
12,5-25
200-400
100-800
1-2
Hepatotoksik,
ruam,
28
sindrom steven-johnson,
nyeri
kepala,
pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid
100
400
400-600
1-2
Somnolen,
ataksia,
kelelahan,
anoreksia,
pusing,
batu
ginjal,
leukopenia
Ethosuximid
500
1000
500-2000
1-2
Mual, muntah, BB ,
konstipasi,
diare,
gangguan tidur
Felbamat
1200
2400
1800-4800
Topiramat
25-50
200-400
100-100
Faringitis, insomnia, BB
,
konstipasi,
mulut
10
20
10-40
1-2
Clonazepam
2-8
1-2
Mengantuk,
kebingungan,
nyeri
60
120
60-240
1-2
Pirimidon
125
500
250-1500
1-2
Tiagabin
4-10
40
20-60
2-4
langkah
kejang
generalisata
Vigabatrin
500-
3000
2000-4000
1-2
2400
1200-4800
1000
Gabapentin
300-400
Leukopenia,mulut
kering,
penglihatan
kabur,
mialgia,
penambahan
berat,
29
kelelahan
Pregabalin
150
300
150-600
2-3
Valproat
500
1000
500-3000
2-3
2000-
1000-4000
Levetiracetam 1000
Mual, hepatotoksik
3000
5. Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih. 3
b. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang
kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat
kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang
pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang
pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai
serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus
30
dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah
proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan. 3
c. Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah,
(3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995),
dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita
epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat
ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat
sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan
mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi
sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat. 3
d. Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt
(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial
refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik. Penggunaan politerapi
memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi
obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu
interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif. 3
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya:
valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan
dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih
selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif
terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping,
interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi
31
32
7. Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12
bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh
minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley
(1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila
memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan,
durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti
dengan obat lain yang tidak dianjurkan. 5
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada
penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh
faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh
biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi. 3,4
Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai
pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan :
berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan
dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang
diajukan penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami
diagnosis (termasuk serangannya) dan prognosis epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila
OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence
yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik
atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks,
serangan yang lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya
dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap,
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian
OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya
harus diberikan pengertian secukupnya. 3
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf
RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.
3. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 1985
5. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.
34