Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

EPILEPSI

Disusun Oleh:
Meilinda Vitta Sari
NIM: 030.10.173

Pembimbing:
dr. Fitriani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI


RSUP FATMAWATI JAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Periode 22 September 25 Oktober 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul Epilepsi
ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di
SMF Neurologi, khususnya dr. Fitriani Sp.S, atas bimbingannya selama berlangsungnya
pendidikan di bagian neurologi ini sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan
semaksimal kemampuan saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta
untuk melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.

Jakarta, Oktober 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I

STATUS PASIEN .........................................................................

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................

11

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

34

BAB I
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. AF

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 20 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Taman Mawar RT:05 RW:07, Pamulang

Suku bangsa

: Indonesia

Pekerjaan

: Mahasiswa

Pendidikan

: Tamat SMA

Status Menikah

: Belum menikah

No. RM

: 00289127

Ruangan

: Poli Syaraf

1.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke poli saraf pada tanggal 14 Oktober 2014.
a. Keluhan Utama
Kejang pada 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada 2 bulan SMRS, pasien mengaku mengalami kejang sebanyak 2 kali. Kejang
timbul pada saat pasien sedang capek dan stress sepulang kuliah, kejang berlangsung
selama kurang lebih 10 menit, durasi antar kejang pertama dan kedua kira-kira 3 menit,
kejang kelojotan, mata tertutup, mulut berbusa, lidah tergigit, dan pasien tidak sadar.
Setelah kejang, pasien merasa lemas lalu tertidur. Saat kejang, tidak ada demam,
gangguan BAK ataupun BAB. Pasien mengaku saat ini datang ke poli saraf untuk
kontrol pengobatan kejang yang dialaminya. Pasien mengatakan bahwa kejang ini
merupakan kejang berulang, dimana kejang sebelumnya ialah 1 tahun 6 bulan yang lalu
3

dengan kejang sebanyak 2 kali dan memiliki pola yang sama seperti kejang terakhir.
Pasien menambahkan bahwa sudah meminum obat-obatan untuk kejang selama 1 tahun
6 bulan. Namun, 2 bulan yang lalu, tiba-tiba kejang kembali terjadi karena pasien
sempat putus minum obat kejang selama 4 hari. Akhirnya, pasien datang kembali ke
poli syaraf untuk berobat. Semenjak 2 bulan terakhir ini, setelah diberi obat-obatan,
pasien mengaku kejang tidak pernah berulang kembali.
Pasien menceritakan bahwa kejang pertama kali dialami saat pasien berusia 7
tahun. Saat umur 7 tahun, kejang terjadi kurang lebih selama 10 menit dengan pola
yang sama, namun sempat tidak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit selama 5 hari.
Pasien didiagnosis menderita epilepsi oleh dokter RS tersebut. Sepulang dari RS, pasien
tidak pernah lagi kontrol mengenai kejangnya. Oleh karena itu, pasien mengaku kejang
sering berulang sekitar 2-3 kali/tahun dan hanya pergi berobat ke klinik 24 jam untuk
menangani kejangnya. Sekitar 1 tahun 6 bulan yang lalu, kejang dengan pola yang
sama yang dialami semakin berat namun dengan durasi kejang lebih dari 10 menit.
Akhirnya, barulah pasien berobat ke poli saraf dan diharuskan meminum obat anti
kejang secara kontinu selama 2 tahun.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah mengalami trauma pada kepala akibat dipukul dengan
botol oleh temannya saat usia 5 tahun, namun tidak mengingat persis kejadiannya
seperti apa.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien yaitu kakek pasien pernah meenderita kejang epilepsi. Riwayat
hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, stroke, dan alergi disangkal.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien sering berada di depan komputer berjam-jam dan mengaku kurang tidur
setiap harinya.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di poli saraf 14 Oktober 2014
A. Keadaan Umum
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis, GCS: E4M6V5 = 15

Tekanan darah

: 100/70 mmHg
4

Nadi

: 84 x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual

Pernapasan

: 20 x/menit, reguler

Suhu

: 36,50C

Berat badan

: 58 kg

Tinggi badan

: 160 cm

BMI

: 22,6 kg/m2

B. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata

: Tidak ada

Pulsasi Aa. Carotis

: Teraba kanan=kiri, regular, equal

Pembuluh Darah Perifer

: Capillary refiil time < 2 detik

Kelenjar Getah Bening

: Tidak ada pembesaran KGB submandibula, parotis


dan submental

Columna Vertebralis

: Lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)

Kulit

: Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)

Kepala

: Normosefali, rambut hitam, distribusi merata

Mata

: Konjungtiva anemis -/-,sklera ikterik -/-, pupil bulat


isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+

Sinus

: Hematom (-), nyeri tekan (-)

Telinga

: Normotia +/+, serumen -/-, membran timpani intak

Hidung

: Deviasi septum (-), sekret -/-

Mulut

: Sianosis (-)

Lidah

: Kotor (-)

Tenggorok

: Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang

Leher

: Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba


KGB dan kelenjar tiroid.

Pemeriksaan jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula sinistra

Perkusi

: Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas kiri


ICS V 2 jari lateral linea midklavikula sinistra

Auskultasi

: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Paru
Inspeksi

: Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri


5

Palpasi

: Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi

: Jejas (-), perut tidak buncit

Palpasi

: Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal

: akral hangat +/+, edema -/-

Distal

: akral hangat +/+, edema -/-

C.Status Neurologis
1) GCS
E4V5M6 : 15, compos mentis
2) Rangsang Selaput Otak

Kanan

Kiri

Kaku Kuduk

(-)

Laseque

> 70

> 70

Kernig

> 135

> 135

Brudzinski I

(-)

(-)

Brudzinski II

(-)

(-)

3) Peningkatan Tekanan Intrakranial (-)


4) Saraf-saraf Kranialis
N. I

: tidak dilakukan

N.II

Kanan

Kiri

Acies Visus

Baik

Baik

Visus Campus

Baik

Baik

Melihat Warna

tidak dilakukan

Funduskopi

tidak dilakukan

N. III, IV, VI
Kedudukan Bola Mata

Kanan
:

Ortoposisi

tidak dilakukan
tidak dilakukan

Kiri
Ortoposisi

Pergerakan Bola Mata


6

Ke Nasal

Baik

Baik

Ke Temporal

Baik

Baik

Ke Nasal Atas

Baik

Baik

Ke Nasal Bawah

Baik

Baik

Ke Temporal Atas

Baik

Baik

Ke Temporal Bawah

Baik

Baik

Eksopthalmus

(-)

(-)

Nistagmus

(-)

(-)

Pupil

Isokor

Bentuk

Bulat, 3mm

Bulat, 3mm

Refleks Cahaya Langsung :

(+)

(+)

Refleks Cahaya Konsensual :

(+)

(+)

Isokor

Akomodasi

Baik

Baik

Konvergensi

: `

Baik

Baik

Kanan

Kiri

Baik

Baik

Optahalmik

Baik

Baik

Maxilla

Baik

Baik

Mandibularis

Baik

Baik

Kanan

Kiri

N. V
Cabang Motorik
Cabang Sensorik

N. VII
Motorik Orbitofrontal

Baik

Baik

Motorik Orbicularis

Baik

Baik

Pengecap Lidah

N. VIII

tidak dilakukan

Kanan

Kiri

Vestibular
Vertigo

: tidak dilakukan

Nistagmus

tidak dilakukan

(-)

(-)

(-)

(-)

Cochlear
Tinnitus

Rinner

tidak dilakukan
7

Weber

tidak dilakukan

Schwabach

tidak dilakukan

N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara

: biasa

Menelan

: normal

Kedudukan Arcus Pharynx

: simetris, kuat angkat

Kedudukan Uvula

: di tengah

Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx)

N. XI
Mengangkat bahu

Menoleh

N. XII

: tidak dilakukan

Kanan

Kiri

Baik

Baik

Baik

Baik

Kanan

Kiri

Kedudukan Lidah
Waktu istirahat

simetris tengah

simetris tengah

Waktu gerak

simetris tengah

simetris tengah

Atrofi

(-)

(-)

Fasikulasi/tremor

(-)

(-)

5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal

: 5555

5555

Ekstremitas Bawah Proksimal Distal

: 5555

5555

6) Gerakan Involunter
Tremor

: (-)

Chorea

: (-)

Atetose

: (-)

Mioklonik

: (-)

7) Trofik

: eutrofi pada ke empat ekstremitas

8) Tonus

: normotonus pada ke empat ekstremitas

9) Sistem Sensorik

Kanan

Kiri
8

Proprioseptif

(+)

(+)

Eksteroseptif

(+)

(+)

10) Fungsi Cerebellar dan Koordinasi


Tandem Gait

: Baik

Romberg

: Baik

Jari-Jari

: Baik

Jari-Hidung

: Baik

11) Fungsi Luhur


Astereognosia

: (-)

Apraksia

: (-)

Afasia

: (-)

12) Fungsi Otonom


Miksi

: Baik

Defekasi

: Baik

Sekresi Keringat

: Baik

13) Refleks-refleks Fisiologis

Kanan

Kiri

Kornea

(+)

(+)

Bisep

(+2)

(+2)

Trisep

(+2)

(+2)

Patella

(+2)

(+2)

Achilles

(+2)

(+2)

Kanan

Kiri

14) Refleks-refleks Patologis


Hoffman Tromner

(-)

(-)

Babinsky

(-)

(-)

Chaddock

(-)

(-)

Gordon

(-)

(-)

Gonda

(-)

(-)

Schaeffer

(-)

(-)

Klonus Lutut

(-)

(-)

Klonus Tumit

(-)

(-)

15) Keadaan Psikis


Intelegensia

: Baik

Tanda regresi

: (-)

Demensi

: (-)
9

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


CT-Scan kepala
EEG
1.5 RESUME
Pasien laki-laki 20 tahun datang dengan keluhan kejang pada 2 bulan SMRS.
Pasien mengaku mengalami kejang sebanyak 2 kali. Kejang timbul pada saat pasien
sedang capek dan stress sepulang kuliah, kejang berlangsung selama kurang lebih 10
menit, durasi antar kejang pertama dan kedua kira-kira 3 menit, kejang kelojotan, mata
tertutup, mulut berbusa, lidah tergigit, dan pasien tidak sadar. Setelah kejang, pasien
merasa lemas lalu tertidur. Saat kejang, tidak ada demam, gangguan BAK ataupun
BAB. Pasien mengaku saat ini datang ke poli saraf untuk kontrol pengobatan kejang
yang dialaminya. Pasien mengatakan bahwa kejang ini merupakan kejang berulang,
dimana kejang sebelumnya ialah 1 tahun 6 bulan yang lalu dengan kejang sebanyak 2
kali dan memiliki pola yang sama. Pasien menambahkan bahwa sudah meminum obatobatan untuk kejang selama 1 tahun 6 bulan. Namun, 2 bulan yang lalu, tiba-tiba kejang
kembali terjadi karena pasien sempat putus minum obat kejang selama 4 hari. Riwayat
kejang (+). Riwayat keluarga kejang epilepsi (+).
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum compos mentis, tampak sakit ringan
dengan tanda vital dalam batas normal. Status lokalis dalam batas normal. Status
neurologis dalam batas normal.
1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis :
o Kejang tonik-klonik
Diagnosis etiologis : idiopatik, suspect trauma
Diagnosis topis : korteks cerebri
Diagnosis kerja : Epilepsi

1.7 TATALAKSANA
Depakot 2x500mg
Asam folat 2x5mg

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan
atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. 1
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi
sebelumnya. 1
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak
dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap
munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak,
keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada lakilaki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi
meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi
menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut. 2

2.3 ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik,
misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah

11

otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi
penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi
seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi. Epilepsi
mungkin disebabkan oleh 1:

Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.

Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain.

Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak,
atau infeksi.

Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsi idiopatik, sedangkan pada
anak umur 5-6 tahun disebabkan karena febris.

Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala
maupun tumor.

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut 3 :


1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi,
minum alkohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke
otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anakanak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
12

7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan pada
anak.
Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a. Kurang tidur
b. Stress emosional
c. Infeksi
d. Obat-obat tertentu
e. Alkohol
f. Perubahan hormonal
g. Terlalu lelah
h. Fotosensitif

2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Etiologi 3
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada
masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran),

gangguan

metabolisme

dan

nutrisi

(misalnya

hipoglikemi,

fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,


uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

13

Klasifikasi Umum 3
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun
1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981
menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi) 4:
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 3,4
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik
Epilepsi benigna dengan gelombag paku di daerah sentral temporal
(chilhood epilepsy with centrotemporal spikes).
Epilepsi benigna dengan gelombang paroksimal pada daerah oksipital.
Epilepsi primer pada saat membaca (primary reading epilepsy).
14

b. Simptomatik
Epilepsi parsial kontinua yang kronik progesif pada anak anak
(Kojenikows Syndrome)
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca).
Epilepsi lobus temporalis
Epilepsi lobus frontalis
Epilepsi lobus parietalis
Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitassi dengan aktivasi yang spesifik.
b. Kriptogenik atau simptomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
Sindroma West (spasmus infantil)
Sindroma Lennox Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi lena mioklonik
c. Simtomatik

Etiologi non spesifik


Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati infantil dini dengan burst supressi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di
atas.

Sindrom spesifik
15

Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur dalam
Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau Kleffner)
Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
Kejang Demam
Bangkitan Kejang/ Status Epileptikus Hanya Sekali (Isolated)
Bangkitan Hanya Pada Kejadian Metabolik Akut, Atau Toksis,
Alkohol, Obat- Obatan, Eklamsia, Hiperglikemi Non Ketotik.
Bangkitan Dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga
diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis
yang baik dan akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang
sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri
tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya
pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah
rekaman elektroensefalografi (EEG). 4,5

2.5 PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh
16

suatu sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini
aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,
aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan
demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. 5
Otak
neuron
GABA
Menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik syaraf
sinaps
neurotransmiter
Pusat Listrik Syaraf
N. Eksidatif
Epileptogen
Depolarisasi belahan hemisfer
kejang
tanpa hilang kesadaran
Substansia retikularis
kejang
penurunan kesadaran
17

2.6 MANIFESTASI KLINIK


A. Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan toniktonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar
suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. 5
Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi
sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru
terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.
Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncangguncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik
berlangsung 2 - 3 menit. 5

18

2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan
kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk
sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis,
kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan
aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam
sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand
mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan
berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi
3 per detik.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi
lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya
sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak.
Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. 5
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus
otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari
pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit
mal, mioklonus dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut. 1,3
d. Spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West.
Timbul pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab
yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak
yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan
19

gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau


keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai
teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

B. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).


a) Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah
satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari
tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi
klinik ini disebut Jacksonian marche .4
b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada
bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks
motorik sehingga terjadi kejang-kejang. 3
c) Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas
yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan
psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut 3:
1. Kesadaran hilang sejenak.
2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran
antara sadar dan mimpi(twilight state).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam.
Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
20

a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.


b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau
perasaan aneh
2.7 DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan. 3,5
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
21

sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya


keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3,5
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. 3,4
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
disbanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus
per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul
secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi. 5
22

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3

2.8 TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat
antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang
lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi
dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk
yang minimal (yang dapat ditoleransi). 3,4
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat
terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan faktor
penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk
serangan.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :
1. Menentukan diagnosis yang tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat
dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek
yang merugikan akibat obat antiepilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi


Setelah kejang pertama
Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama,
menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko
terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
23

Tabel 1
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada
masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk
keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko
dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah,
sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin
diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang
mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat

24

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik


d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna
spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes
sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. 3,4
3. Memilih obat yang paling sesuai
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien.
a) Tipe serangan
Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)
Tipe serangan
Parsial

simple

First-line

Second-line/add on

Third line/ add on

Asam valproat

Tiagabin

Fenitoin

Levetiracetam

Vigabatrin

Fenobarbital

Zonisamid

Felbamat

Okskarbazepin

Pregabalin

Pirimidon

& Karbamazepine

kompleks dengan atau


tanpa general sekunder

25

Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik

Mioklonik

Asam valproat

Lamotrigin

Topiramat

Karbamazepine

Okskarbazepin

Levetiracetam

Fenitoin

Zonisamid

Fenobarbital

Pirimidon

Asam valproat

Topiramat

Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazepam
Fenobarbital

Absence (tipikal dan Asam valproat

Etosuksimid

Levetiracetam

atipikal)
Lamotrigin
Atonik

Asam valproat

Zonisamid
Lamotrigin

Felbamat

Topiramat
Tonik

Asam valproat

Clonazepam

Fenitoin

Clobazam

Fenobarbital
Epilepsy

absence Asam valproat

Clonazepam

juvenil
Etosuksimid
Epilepsy

mioklonik Asam valproat

Clonazepam

juveni
Fenobarbital

Etosuksimid

26

b) karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat
antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra
indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita,
khususnya wanita yang masih dalam usia subur. 2,3
4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling
rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). 3
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi
untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya
terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini
cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi.
Beberapa cara pemberian dosis awal :
1. Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik
Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan
dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin,
pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada
penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek
samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai
dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa
minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat
ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya
yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi
dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. 4,5
2. Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga
terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan. 4
27

Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat
antiepilepsi dengan obat lain, faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :
Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai
kondisi optimal?)
Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang
paling

umum

terjadinya

kegagalan

pengobata

dan

kambuhnya

bangkitan).
Table 3. Dosis obat antiepilepsi untuk dewasa
Obat

Dosis

Dosis

Dosis

awal

yang

maintenance pemberian

(mg/hari) paling

Frekuensi Efek samping

(mg/hari)

(kali/hari)

100-700

1-2

umum
(mg/hari)
Fenitoin

200

300

Hirsutisme,

hipertrofi

gusi, distres lambung,


vertigo,

hiperglikemia,

anemia makrositik
Karbamazepin 200

600

400-2000

2-4

Depresi sumsum tulang,


distress lambung, sedasi,
penglihatan

kabur,

konstipasi, ruam kulit


Okskarbazepin 150-600

900-

900-2700

2-3

1800

Gangguan
diplopia,

GI,

sedasi,

hiponatremia,

ruam kulit
Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Hepatotoksik,

ruam,

28

sindrom steven-johnson,
nyeri

kepala,

pusing,

penglihatan kabur
Zonisamid

100

400

400-600

1-2

Somnolen,

ataksia,

kelelahan,

anoreksia,

pusing,

batu

ginjal,

leukopenia
Ethosuximid

500

1000

500-2000

1-2

Mual, muntah, BB ,
konstipasi,

diare,

gangguan tidur
Felbamat

1200

2400

1800-4800

gg. GI, BB , anoreksia,


nyeri kepala, insomnia,
hepatotoksik

Topiramat

25-50

200-400

100-100

Faringitis, insomnia, BB
,

konstipasi,

mulut

kering, sedasi, anoreksia


Clobazam

10

20

10-40

1-2

Clonazepam

2-8

1-2

Mengantuk,
kebingungan,

nyeri

kepala, vertigo, sinkop


Fenobarbital

60

120

60-240

1-2

Pirimidon

125

500

250-1500

1-2

Tiagabin

4-10

40

20-60

2-4

Sedasi, distress lambung

Mulut kering, pusing,


sedasi,

langkah

terhuyung, nyeri kepala,


eksaserbasi

kejang

generalisata
Vigabatrin

500-

3000

2000-4000

1-2

2400

1200-4800

1000
Gabapentin

300-400

Leukopenia,mulut
kering,

penglihatan

kabur,

mialgia,

penambahan

berat,
29

kelelahan
Pregabalin

150

300

150-600

2-3

Valproat

500

1000

500-3000

2-3

2000-

1000-4000

Levetiracetam 1000

Mual, hepatotoksik

3000

Mekanisme kerja OAE

5. Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih. 3
b. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang
kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat
kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang
pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang
pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai
serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus
30

dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah
proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan. 3
c. Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah,
(3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995),
dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita
epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat
ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat
sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan
mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi
sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat. 3
d. Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt
(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial
refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik. Penggunaan politerapi
memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi
obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu
interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif. 3
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya:
valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan
dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih
selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif
terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping,
interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi

31

optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: mempunyai mekanisme aksi


berbeda;
(1) efek samping relatif ringan;
(2) indeks terapi lebar, dan
(3) interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali.
6. Pemantauan terapi
a. Manajemen umum epilepsi :
Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang
tepat
Menentukan dan mengobati penyebab
b. Mengobati serangan :
c. Menilai perlunya terapi obat :
Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut
yang reversible.
Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang
diketahui dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)
Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai
apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasienpasien dengan risiko tinggi.
Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alkohol, kurang tidur,
stress emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan
implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati
dengan obat antiepilepsi.
d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
Hentikan kejang
Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.

32

7. Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12
bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh
minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley
(1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila
memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan,
durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti
dengan obat lain yang tidak dianjurkan. 5
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada
penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh
faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh
biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi. 3,4
Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai
pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan :
berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan
dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang
diajukan penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami
diagnosis (termasuk serangannya) dan prognosis epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila
OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence
yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik
atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks,
serangan yang lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya
dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap,
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian
OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya
harus diberikan pengertian secukupnya. 3
33

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf
RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.
3. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 1985
5. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.

34

Anda mungkin juga menyukai