Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS PARU MULTI DRUG RESISTANT (MDR)


DISUSUN OLEH:
Shanadz Alvikha

100100123

Gita Annisa Raditra

100100135

M. Rivandio A. Simatupang

100100150

Siti Zubaidah Harahap

100100168

Rivhan Fauzan

100100236

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul Tuberkulosis Paru MDR.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,

26

Oktober

2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1.Latar Belakang................................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah........................................................................... 3
1.3.Tujuan Penelitian............................................................................ 3
1.4.Manfaat penelitian.......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 4
2.1.Definisi............................................................................................ 4
2.2.Epidemiologi................................................................................... 4
2.3.Faktor Yang Mempengaruhi Resisten............................................. 5
2.4.Mekanisme Resistensi M. tuberculosis........................................... 6
2.5.Diagnosis......................................................................................... 9
2.6.Penatalaksanaan MDR-TB.............................................................. 10
2.7.Prognosis......................................................................................... 12
BAB 3 LAPORAN KASUS............................................................................ 14
BAB 4 KESIMPULAN................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 26

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di
dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO)

memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium


tuberculosis.1
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di
dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir
mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang
terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India
secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.2
Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar
660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus
resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB.
Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas
penting.3
Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi&
drug & resistant tuberculosis & (MDR TB) telah menjadi masalah kesehatan yang
serius di beberapa negara, termasuk Indonesia.4 Laporan WHO tahun 2007
menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia telah terjadi
poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi
primer jenis MDR terjadi sebesar 2%.4,5
Kasus TB dengan resistensi OAT merupakan kasus yang sulit ditangani,
membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat yang lebih banyak
dengan hasil pengobatan yang kurang memuaskan. TB dengan resistensi OAT ini
terutama berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya yang tidak
adekuat. Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya
kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya MDR TB

sebesar 10 kali lipat.6 Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru


didapatkan MDR TB 2% dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%.7
Resistensi obat pada kasus TB adalah masalah yang mendapat perhatian
besar dalam program penanggulangan TB oleh karena beberapa strain MDRTB
yang sulit diobati. Strain ini mendapat perhatian oleh karena dapat menyebar di
seluruh dunia, menekankan perlunya peningkatan program kontrol, seperti metode
diagnostik baru, obatobatan yang lebih efektif dan penemuan vaksin yang lebih
efektif.8 Pasien dengan MDR-TB membutuhkan pengobatan lebih lama dengan
obat yang sebenarnya kurang efektif namun lebih toksik. Oleh karena itu sangat
penting untuk membedakan diagnosis MDR-TB dengan resistensi lain dengan
melakukan kultur mikobakterium dan uji sensitifitas karena implikasi terapi yang
berbeda.9
Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena lemahnya program
pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat,
tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis
suatu TB-MDR.10
Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program
penanggulangan TBC paru di kabupaten setempat/kota setempat terutama
ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan
penanganan kasus termasuk peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dapat
berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain
yang mempengaruhi angka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup
dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.11
Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling
besar terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka
kesembuhanpada pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah, disamping itu lebih
sulit, mahal dan lebih banyak efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah
lain, penyebaran resistensi obat di berbagai negara sering tidak diketahui serta
penatalaksanaan penderita TB-MDR tidak adekuat.12

Oleh karena itu sangat diperlukan strategi penatalaksanaan yang tepat pada
kasus TB dengan resistensi OAT agar tidak berlanjut menjadi extensively drug&
resistant tuberculosis & (XDR TB).
1.1. Rumusan Masalah
Bagaimana temuan klinis, klasifikasi, serta penatalaksanaan tuberkulosis
paru MDR di Ruang Rawat InapTerpadu A-5 RSUP H. Adam Malik Medan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit tuberkulosis paru
MDR.
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap
kasus tuberkulosis paru MDR.
3. Untuk

mengetahui

gambaran

klinis,

perjalanan

penyakit,

penatalaksanaan, dan tindakan rehabilitasi pada pasien yang menderita


penyakit tuberkulosis MDR.
1.4 Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang didapatdari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu
penyakit dalam khususnya mengenai penyakit tuberkulosis paru MDR.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai
penyakit tuberkulosis paru MDR.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten
terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya. TB resistensi
dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu
resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya.
Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV.
Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada
orang yang sebelumnya sensitif obat.13
Berdasarkan Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis: emergency update oleh WHO 2008 resisten terhadap OAT
dinyatakan bila hasil pemerikaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan
M. tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT. Terdapat empat jenis
kategori resistensi OAT, yaitu:5
a. Mono resisten, yakni resisten teradapat satu OAT lini pertama
b. Poli resisten, yakni resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama
selain kombinasi isoniazid dan rifampicin
c. Multi Drug Resistant (MDR), yakni resisten terhadap sekurangkurangnya isoniazid dan rifampisin
d. Extensivel drug resistant (XDR), yakni MDR TB ditambah kekebalan
terhadap salah satu obat golongan fluoroquinolon dan sedikitnya salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamiin, dan amikasin)
2.2. Epidemiologi
Kejadian MDR TB tidak merata di seluruh belahan dunia. Dari laporan
survei yang dilakukan WHO tahun 1994 -1999 diperkirakan 70 % kasus baru
MDR TB terjadi hanya pada 10 negara, sehingga kasus MDR TB ini lebih
dianggap menjadi masalah lokal. Sedangkan laporan yang dibuat oleh
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang
melakukan survei pada tahun 1994 -1997 terhadap 35 negara, dijumpai bahwa
resistensi obat anti tuberkulosis terdapat di seluruh negara yang disurvei. Hal ini
mengarahkan bahwa kasus MDR-TB ini merupakan masalah global.22 Survei
yang dilakukan pada 54 negara antara tahun 1996 -1999 didapatkan bahwa angka

resistensi tertinggi dijumpai di Estonia (36,9%), diikuti oleh propinsi Henan di


Cina (35%), Ivanovo Oblast di Federasi Rusia (32,4%) dan Latvia (29,9%).15
Tahun 2000 di negara Jerman dijumpai angka resistensi sebesar 8,7%.
Beberapa negara yang menjadi hot spot MDR-TB mempunyai angka
prevalensi MDR-TB yang tinggi dan dapat mengancam keberhasilan program
penanggulangan MDR-TB. Negara yang termasuk di dalamnya adalah Estonia,
Latvia di Eropa; Argentina dan Repoblik Dominika di Amerika; serta Cote
dIvoire di Afrika. Penelitian yang dilakukan oleh Tsao dkk. di Chang Gung
Memorial Hospital Taiwan pada tahun1992-1996 didapatkan 28%-29% resisten
terhadap paling sedikit dua jenis obat. Penelitian yang dilakukan oleh Alicia
dkk. di Pilipina tahun 1999 didapatkan angka resistensi sebesar 17,6%, termasuk
14,9% terhadap isoniazid, 4,3% terhadap rifampisin, 6,4% terhadap streptomisin
dan 1,1% terhadap etambutol dan pirazinamid, sedangkan angka MDR-TB
didapatkan 4,3%. Penelitian terbaru yang dilakukan di Gujarat India didapatkan
angka MDR TB sebesar 35,2%.15
2.3.

Faktor-faktor yang mempengaruhi resisten OAT


TB resistensi OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia

sebagai akibat dari pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien
MDR TB. Pengobatan yang tidak adekuat ini biasanya akibat dari satu atau lebih
kondisi berikut, yaitu:6
a. Regimen, dosis dan cara pemakaian OAT tidak tepat
b. Ketidateraturan dan ketidakpatuhan pasien untuk minum obat
c. Terputusnya ketersedian OAT
d. Kualitas obat yang renda
Selain itu meningkatnya kasuh HIV dan co infeksi dengan TB meningkatkan
jumlah kasus resisten OAT.14
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:16
a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada
daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.

c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah
dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti
lagi, demikian seterusnya
d. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka
penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten saja
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang

terhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan


2.4. Mekanisme Resistensi M. tuberculosis
Berbeda dengan resistensi pada kebanyakan bakteri terhadap antibiotika
dimana resistensi yang didapat dengan cara transformasi, transduksi atau
konyugasi gen, resistensi yang didapat basil Mycobacterium tuberculosis adalah
pada mutasi kromosom utama.23 Basil tuberkulosis mempunyai kemampuan
secara spontan melakukan mutasi kromosom yang mengakibatkan basil tersebut
resisten terhadap obat antimikroba. Mutasi yang terjadi adalah unlinked, oleh
karenanya resistensi obat yang terjadi biasanya tidak berkenaan dengan obat yang
tidak berhubungan. Munculnya resistensi obat menggambarkan peninggalan dari
mutasi sebelumya, bukan perubahan yang disebabkan karena terpapar dengan
pengobatan. Mutasi yang bersifat unlinked ini menjadi dasar utama dalam prinsip
pengobatan tuberkulosis modern.15
Mutan basil yang resisten terhadap suatu obat timbul secara alamiah dan
diseleksi oleh pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ini
meliputi penggunaan satu macam obat saja (direct monotherapy) atau penggunaan
terapi kombinasi tetapi strain kuman hanya sensitif terhadap satu macam obat
saja, sebagai hasilnya timbul resistensi sekunder terhadap satu obat. Mutasi yang
baru pada populasi basil yang berkembang ini akhirnya dapat menimbulkan MDR
apabila pengobatan yang tidak adekuat dilanjutkan. Penderita tuberkulosis dengan

resistensi sekunder bisa menularkan kuman yang sudah resisten tersebut kepada
orang lain yang kemudian disebut resistensi primer. Resistensi primer, sama
seperti resistensi sekunder dapat ditularkan kepada orang lain sehingga terjadi
penyebaran penyakit resisten obat pada masyarakat.15
2.4.1. Resistensi INH
Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan
isonikotinic acid hydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid
hidrazide. Target kerja isoniazid sebagai antituberkulosis sama dengan mekanisme
terjadinya resistensi isoniazid. Sacchetiniand Blachard menunjukkan bahwa
isoniazid bekerja menghambat enoyl-acyl carier protein reductase, yang
diperlukan dalam biosintesa asam mikolat dinding sel kuman tuberkulosis.
Isoniazid menghambat pembentukan dinding sel kuman dalam bentuk isoniazid
aktif yaitu setelah mengalami oksidasi. Aktivasi isonizid memerlukan enzim
catalase-periksidase (gen katG) dan hidrogen peroksida yang dihasilkan kuman
TB. KatG adalah satu-satunya enzim yang dapat mengaktifkan isoniazid, dengan
demikian mutasi gen katG strain kuman TB merupakan kuman yang resisten
terhadap isoniazid. Demikian juga mutasi gen inhA yang diperlukan dalam
pembentukan asam mikolat pada kuman TB akan menjadikan kuman resisten
terhadap isoniazid.15
2.4.2. Resistensi Rifampisin
Rifampisin menghambat proses transkripsi RNA kuman TB dengan
berikatan pada sub unit beta (RpoB) RNA polimerase dan mencegah pembentukan
RNA. Mutasi pada gen RpoB menyebabkan kuman TB resisten terhadap
rifampisin. Resisten terhadap rifampisin dapat dianggap mewakili MDR TB
sejak dijumpai paling banyak strain kuman TB yang resisten terhadap rifampisin
juga resisten terhadap isoniazid.15
2.4.3. Resistensi Etambutol
Etambutol dengan rumus kimia dextro-2,2-(ethildimino)-di-1 onol adalah
senyawa kimia sintetis yang mempunyai efek antimikroba. Sampai sekarang
mekanisme kerja ethambutol serta dasar genetik resistensi belum diketahui secara
jelas. Spesifik etambutol untuk spesies mikobakteria diindikasikan bahwa target
yang dituju menyangkut pengrusakan dinding sel. Etambutol mencegah
pembentukan dinding sel dengan menghambat arabinosyltransferase yang

menyangkut

dalam

biosintesa

arabinogalactan

dan

lipoarabinomannan.

Resistensi terhadap etambutol ternyata berhubungan dengan perubahan pada gen


embCAB arabinosyltransferase, dengan kode protein embA, embB dan embC.
Protein ini berperan dalam produksi komponen dinding sel arabinogalactan dan
lipoarabinomannan. Alcaide dkk. menunjukkan bahwa mutasi pada embB sangat
berhubungan dengan resistensi kuman TB terhadap etambutol.15
2.4.4. Resistensi Pirazinamid
Pirazinamid dengan struktur kimia yang sama dengan nikotinamid, sejak
tahun 1952 telah diketahui sebagai obat antituberkulosis, tetapi menjadi
komponen yang penting OAT jangka pendek baru pada pertengahan tahun 1980an. Pirazinamid aktif menyerang semi dorman kuman TB yang mana efek tersebut
tidak dimiliki oleh obat lain, disamping mempunyai daya kerja sinergis yang
sangat kuat bersama isoniazid dan rifampisin sebagai kemoterapi dalam
pengobatan TB, sehingga bisa mengurangi jangka waktu pengobatan dari 9
sampai 12 bulan menjadi 6 bulan. Pirazinamid sama seperti isoniazid juga
menghambat sintesa dinding sel kuman TB, namun mekanisme kerjanya yang
benar-benar pasti belum diketahui. Pirazinamid hanya efektif membunuh kuman
TB apabila kuman tersebut menghasilkan nikotinamidase dan pirazinamidase,
yaitu enzim yang diperlukan dalam mengubah pirazinamid menjadi asam
pirazinoat. Scorpio dan Zhang mengisolasi gen pncA mikobakteria, kode untuk
enzim amidase, menunjukkan mutasi gen pncA bertanggung jawab terhadap
terjadinya resistensi kuman TB terhadap pirazinamid.15
2.4.5. Resistensi Streptomisin
Streptomisin merupakan obat antituberkulosis yang telah lama ditemukan
dan dikenal sangat aktif membunuh kuman TB dengan mengganggu pembacaan
kode amicoacyl-tRNA, sehingga menghambat penterjemahan mRNA. Salah satu
yang umum sebagai tambahan mekanisme resistensi kuman terhadap streptomisin
adalah asetilasi obat oleh enzim modifikasi aminoglycoside, namun ini tidak
dijumpai pada kuman TB. Resistensi kuman TB terhadap streptomisin
dihubungkan dalam dua kelas mutasi yang berbeda, yaitu mutasi pada point S12
protein ribosom dengan kode gen rpsL dan mutasi pada 16S rRNA dengan kode

gen rrs. Mutasi pada rpsL dan rrs dapat menyebabkan resistensi kuman TB
terhadap streptomisin.15
2.5.
Diagnosis
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan
asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit
dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif
yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai
standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau
kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap
dengan wabah MDR TB.16
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak
bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.16
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa
metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru
ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan
prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan
metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada
laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.8
2.6. Penalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat
anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan
potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008):17

10

1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya
digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika
alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam
klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih
minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat
TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di
suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana
yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan
dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan
regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.17
Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas
hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut
akan diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. 17
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang
sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat
regimen yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji
sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. 17
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari
hasil DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan

11

riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji


sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia. 17
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai
berikut (World Health Organization, 2008): 17
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin
efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan
belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan
oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization,
2008) : (1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum
penderita. (2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini
pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut. (3) Regimen
minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan
berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan sekurnag-kurangnya 6 hari dalam
seminggu, apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan
setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.
(6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7) Apabila
terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak
memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid
dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif.
Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya,

12

dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif.
(9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan. 17
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada
pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien
akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih
sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT
lini kedua yang dipakai pada tahap awal. 17
2.7. Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis
pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan
bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV,
riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnnya,
terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda
prognosis buruk pada penderita tersebut.18
Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu klinisi untuk
mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi
penyebab seperti malnutrisi.18

13

BAB 3
LAPORAN KASUS
No. RM : 00.61.32.25
Nama Lengkap : Sulanti
Jenis Kelamin :
Tanggal Lahir : 0204/1973

Umur : 41 Thn
Perempuan

Alamat : Dusun Parit Dondong

No. Telepon : -

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status: Menikah

Pendidikan : -

Jenis Suku : Jawa

Agama : Islam

Tabel 3.1 Identitas Pasien

ANAMNESIS
Autoanamnese

Alloanamnese

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama : Batuk Darah
Keluhan Tambahan : Sesak nafas, nyeri dada
Deskripsi
-

Hal ini dialami oleh OS sejak 3 hari SMRS dengan volume darah kurang
lebih 100cc, darah yang keluar dalam bentuk darah segar

Batuk sudah dialami OS kurang lebih 1 minggu SMRS

14

Demam dialami os kurang lebih satu minggu yang lalu, demam hilang
timbul sejak satu minggu terakhir. Demam reda dengan pemberian obat
penurun panas yang dibeli sendiri. Nafsu makan menurun dijumpai pada
os, riwayat penurunan berat badan libih dari 10 kg dijumpai pada os.
Keringat malam hari dijumpai.

Riwayat konsumsi OAT dijumpai pada OS. Tahun 2005 dengan OAT
kategori 1 selama 6 bulan, tahun 2007 OAT kategori 1 selama 6 bulan,
tahun 2011 OAT kategori 2 selama 8 bulan.

Riwayat merokok disangkal, riwayat hipertensi dijumpai dan belum


pernah diobati

RPT

: TB paru, Hipertensi

RPO

: Obat TB paru (OAT)

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal dan Berikan Deskripsi
Umum :

Abdomen :

Compos Mentis

Tidak ditemukan keluhan

Kulit wajah:

Alat kelamin perempuan:

Normal

Tidak ditemukan keluhan

Kepala dan leher:

Ginjal dan saluran kencing :

Tidak ditemukan keluhan

Tidak ditemukan keluhan

Mata:
Conjungtiva
anemis
Telinga:

Palpebra

inferior

(-/-) ikterus (-/-)


Endokrin/metabolik:

15

Tidak ditemukan keluhan

Tidak ditemukan keluhan

Hidung:

Muskuloskeletal :

Tidak ditemukan keluhan

Tidak ditemukan keluhan

Mulut dan Tenggorokan:

Sistem saraf:

Tidak ditemukan keluhan

Tidak ditemukan keluhan

Pernapasan :

Emosi :

Batuk berdarah, sesak nafas

Terkontrol

Jantung :

Vaskuler :

Normal

Tidak ditemukan keluhan


Tabel 3.2. Anamnesis Umum

DESKRIPSI UMUM

Kesan Sakit

Ringan

GiziBB : 45 Kg, TB : 155 cm


IMT= 18,75 kg/m2 ( normoweight )

Sedang

Berat

16

TANDA VITAL
Deskripsi:
Kesadaran

Compos mentis

Nadi

Frekuensi 84x/i

Tekanan darah

150/90 mmHg

Temperatur

Aksila: 37,6C

Pernafasan

Frekuensi: 20x/menit, kesan normal

Reguler, t/v: cukup

Rektal : tdp

Tabel 3.3. Pemeriksaan Tanda Vital


KULIT WAJAH

: Tidak ada kelainan

KEPALA DAN LEHER

: Simetris, TVJ R-2 cmH2O, trakea medial,


pembesaran KGB(-).

TELINGA

: Dalam batas normal

HIDUNG

: Dalam batas normal

RONGGA MULUT
DAN TENGGORAKAN

: Dalam batas normal

MATA

: Conjunctiva palp. inf. pucat (-/-), sklera ikterik


(-/-)
Pupil isokor, ki=ka, 3mm

THORAX

17

Depan

Belakang

Inspeksi

Simetris

Simetris

Palpasi

SF Ka = Ki, kesan mengeras SF Ka = Ki, kesan mengeras


pada lapangan atas kedua pada lapangan atas kedua paru
paru

Perkusi

Sonor

memendek

pada Sonor

lapangan atas kedua paru

memendek

pada

lapangan atas kedua paru

Auskultas

SP: Bronkial pada lapangan SP: Bronkial pada lapangan

atas kedua paru


ST:

atas kedua paru

ronkhi

basah

pada ST:

lapangan atas kedua paru

ronkhi

lapangan atas kedua paru

Tabel 3.4. Pemeriksaan Fisik Thorax


JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas

: ICR III Sinistra

Kanan : LSD
Kiri

basah

: 1 cm medial LMCS

Jantung : HR : 84x/i,reguler, desah (-), gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: soepel, H/L/R ttb, nyeri epigastrium (-)

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+) N

pada

18

PINGGANG
Tapping pain (-) ballotement (-)

INGUINAL
Pembesaran KGB (-)

EKSTREMITAS:
Superior: Tofus (-/-), sianosis (-) clubbing (-)
Inferior : edema (-)
Akral : Hangat , Edem pretibial (-)

ALAT KELAMIN:
Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis (+) Normal
Reflek Patologis (-)

Interpretasi foto toraks (AP/PA) :


Foto PA errect, kualitas baik, trakea medial, tampak infiltrate minimal pada
lapangan atas kedua paru. Kesan: TB paru aktif dengan lesi minimal

19

Hasil Laboratorium :
Hb

: 12,1 g%

Eritrosit

: 4,35 x 106/mm3

Leukosit

: 11,27 x 103/mm3

Trombosit

: 298.000/mm3

Hematokrit

: 37,0 %

Hirung jenis

Neutrofil

: 79,6

Limfosit

: 13,8

Monosit

: 4,2

Eosinofil

:2

Basofil

: 0,4

20

Gula darah sewaktu


Natrium

: 143 mg/dl

: 140 mEq/l

Kalium

: 3,6 mEq/l

Klorida

: 106mEq

Ureum

: 15,6 mg/dl

Kreatinin

: 0.63 mg/dl

Analisa Gas Darah


pH

: 7,456

pCO2

: 33,4 mmHg

pO2

: 176,5 mmHg

HCO3

: 23,0 mmol/l

Total CO2

: 24,0 mmol/l

BE

: -0,4 mmol/l

Saturasi O2

: 99,6%

Diagnosa kerja : TB Paru MDR


Pengobatan :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Bed rest
O2 2-4 l/menit
IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
Injeksi Ranitidine 50 ng/8 jam
Codein 2x10 mg
Amlodipine 1x10 mg
Ramipril 1x1 mg
Inj. Kanamycin 750 mg/ hari
Levofloxacin 250 mg 1x3
Etionamide 250 mg 1x2
Sikloserin 250 mg 1x2
Pyrazinamide 50 mg 1x2
Vit B6 50 mg 1x2

21

Rencana tindakan lanjutan :


1

Konsul Kardiologi

Rencana pemeriksaan lanjutan :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pemeriksaan BTA DS 3x SPS


Pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas sputum dan cairan pleura
Pemeriksaan Gene X-Pert
Pemeriksaan CT Scan Thorax
Pemeriksaan KGD N, 2jam PP dan Hba1c
LFT
RFT

Prognosis : Dubia ad Malam

22

Tanggal

O
Tanggal

09/10/1
4
s/d
26/09/1

..

4 s/d

Sens : CM

08/10/1

TD :

160/90
Batuk

mmHg

Darah HR : 84 x/i
(+),
sesak
nafas
(+),

RR : 24
x/i
T

37,70C

Terapi
Diagnostik
A
P
- Pemeriksa
Bed rest
Terapi
Diagnostik
O2 2-4
an BTA
Batuk Sens : CM
TB Paru
Bed rest
l/menit
DS 3xIVFD NaCl
(+)
MDR
TD : IVFD NaCl
SPS 0,9% 20 gtt/i
0,9%
20
gtt/i
- Pemeriksa
Inj.Ranitidin
130/80
Injeksi
an kultur
e 50mg/hari
mmHg
Ceftriaxone 1
Codein
dan uji
HR : 80gr/12
x/i jam
2x10mg
sensitivita
Injeksi
Amlodipine
RR : 20
s sputum
Transamine
1x10mg
x/i
dan
Ramipril
500 mg/8 jam
Hemaptoe
Injeksi Vit
cairan1x1mg
Berat ecTPost:
K /12jam
pleuraInj,
TB Paru36,60C Injeksi
- Pemeriksa
Kanamysin
DD: TB Paru
Ranitidine 1
an Gene
750mg/hari
MDR
Levofloxacin
amo/12 jam
X-Pert
Amlodipine - Pemeriksa
250mg 1x3
1x5 mg
an CTEtionamide
Ranipril 1x5
Scan 250mg 1x2
Sikloserin
mg
Thorax
Rifampisin
250mg 1x2
- Pemeriksa
Pyrazinamid
450mg 1x1
an KGD
Pyrazinamid
e 500mg 1x2
N,
2jam
Vit B6 50mg
1000mg 1x1
Ethambutol
PP dan
1x2
250mg 1x3
Hba1cOmz 2x CI
Streptomicin- LFT Antasida Syr
250 mg 1x3 - RFT 3xCII
S

23

BAB 4
KESIMPULAN
Pasien atas nama Sulanti, 41 tahun didiagnosa TB paru MDR, melalui hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Hill AT, Wallace WA, Emmanuel X. Pulmonary Infection. Oxford New
York: CRC press; 2005: 73
2. Fitzpatrick C, Floyd K, Lienhardt C. et al. The Global Plan To Stop TB
20112015. Mandelbaum-Schmid J, Burnier I, Hiatt T. et al. edts. WHO
2011:5
3. Utarini A, Wuryaningtyas B, Basri C. Strategi Nasional Pengendalian TB
di Indonesia 2010-2014. Mustikawati DE, Surya A, editor. Jakarta:
Kementerian

Kesehatan

Republik

Indonesia

Direktorat

Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011.


4. Wright A, Zignol M. Anti-Tuberculosis Drug Resistance in The World.
Fourth Global Report. Wright A, Zignol M, Dye C.etds. Geneva: WHO;
2008: 25
5. Global Tuberculosis control WHO Report 2009. Tuberculosis Profile :
Indonesia. Available from: www.who.int/tb/data. [accesed on 23 October
2014
6. Chakroborty, A. Drug Resistant Tuberculosi: an Insurontable Epidemic?.
2011; (19):131-137
7. Nawas A. Penatalaksanaan TB MDR dan strategi DOTS Plus. Jurnal
Tuberculosis Indonesia. 2010; (7):1-7
8. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in
Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient
care, 1st ed. www.textbookcom. 2007. p : 63555
9. Sharma, SK. Mohan, A. Multidrugresistant Tuberculosis. Review Article.
Indian Journal Med Res 1 20, 354376. 2004
10. Lodenkemper Loddenkemper R, Sagebiel D, Brendel A. Strategies Against
Multidrug-resistant Tuberculosis. Eur Respir J 2002; 20: (36): 6677
11. Gitawati R, Isnawati A, Raini M. Proporsi Resistensi Ganda (MDR) TB
Paru Di Kabupaten dan Kota Pekalongan Berdasarkan Survey. Jakarta:
Balitbangkes; 2004

25

12. Hanafi AR, Prasenohadi. Mekanisme dan Diagnosis Multidrug Resistant


Tuberculosis (TB-MDR). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.
13. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds),
Baums Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and
Wilkins Publisher, Boston, 2003
14. Chiang CY, Centis R, Migliori GB. Drug Resistant tuberculosis: Past,
Present, Future. Respirology 2010; 15:413-32
15. Sembiring, S. 2008. Multi-Drug Resistance (MDR) pada Penderita
tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus. Tesis. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan
16. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam
Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah
Berkala. PERPARI.Bandung. 2006
17. World

Health

Organization.

Guidelines

for

the

programmatic

managementdrug resistant tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008


18. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A Menace That
Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261
272

Anda mungkin juga menyukai