TINJAUAN PUSTAKA
10
1. Perubahan fisik
Rangkaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami para remaja
adalah perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas
atau pada masa awal remaja, yaitu sekitar umur 11-15 tahun pada wanita dan 1216 tahun pada pria. Hormon-hormon baru direproduksi oleh kelenjar endokrin,
dan ini membawa perubahan-perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan
memunculkan seks sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi untuk
reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja.
Seiring dengan itu, berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan
anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa. Seorang
individu lalu mulai terlihat berbeda, dan sebagai konsekuensi dari hormon yang
baru, dia sendiri mulai merasakan adanya perbedaan (Agustiani, 2006).
Kementerian Kesehatan RI (2005), memaparkan perubahan fisik remaja
terdapat 2 tanda yaitu:
1) Tanda-tanda seks primer yaitu terjadi haid pada remaja puteri (menarche),
terjadi mimpi basah pada remaja laki-laki.
2) Tanda-tanda seks sekunder, yaitu pada remaja laki-laki terjadi perubahan
suara, tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya
ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis,
jambang dan rambut sekitar kemaluan dan ketiak. Pada remaja puteri
terjadinya perubahan seperti pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina,
payudara membesar, tumbuhnya rambut diketiak dan sekitar kemaluan
(pubis).
11
2. Perubahan emosional
Perubahan emosional pada remaja terjadi akibat dari perubahan fisik dan
hormonal.
Hormonal
menyebabkan
perubahan-perubahan
seksual
dan
12
4. Implikasi psikososial
Perubahan yang terjadi dalam waktu yang singkat membawa akibat fokus dan
perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Secara psikologis, proses-proses dalam
diri remaja senuanya tengah mengalami perubahan, komponen-komponen fisik,
fisiologis, emosional dan kognitif sedang mengalami perubahan besar. Sekarang
dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek untuk dipikirkan dengan cara
yang hipotesis, berbeda dan baru dan dengan perubahan dirinya yang radikal,
sepantasnyalah bagi individu untuk memfokuskan pada dirinya sendiri dan
mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Pada implikasi psikososial ini remaja
mengalami krisis identitas (Agustiani, 2006).
2.1.2. Perilaku seks pranikah
2.1.2.1. Pengertian perilaku seks pranikah
Perilaku seks pranikah adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual. Bentuk perilaku ini bermacam-macam, mulai dari bergandengan tangan,
berpelukan, bercumbu, sampai dengan berhubungan seksual (BKKBN, 2007).
Sejalan dengan BKKBN, Sarwono (2013) memaparkan bahwa perilaku seks
pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik
dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini
bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu, bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain,
orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sedangkan Mutadin (2002) memaparkan
bahwa perilaku seks pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa
melalui proses pernikahan resmi menurut hukum maupun agama dan keprcayaan
13
14
15
tersebut merupakan erogenous zone yaitu bagian atau dari tubuh yang secara tidak
langsung lebih dikaitkan dengan kenikmatan seksual. Kata erogenous berarti
penghadir dorongan seksual. Bagi kaum perempuan, daerah sensitif adalah
payudara dan organ-organ genital khusunya daerah vagina dan klitoris. Bagi lakilaki, mereka yang biasanya memusatkan pada organ-organ genital, khususnya
penis. Namun, mulut, telinga, kaki, bahu atau setiap bagian tubuh lainnya dapat
menjadi sensitif. Daerah-daerah ini sensitif bukan hanya karena disana terdapat
pusat saraf tetapi karena antisipasi psikologis yang bertambah ketika masingmasing pasangan tahu apa yang disukai pasangannya.
Bagi sebagian orang meraba adalah tindakan yang menyenangkan sehingga
menimbulkan kegiatan untuk mengulangi perbuatan tersebut. Tapi bagi sebagian
yang lain menganggap ini adalah tindakan pelecehan dari pasangannya.
6. Berpelukan
Aktivitas ini menimbulkan perasaan aman, nyaman dan
tenang. Tetapi
16
kadang-kadang dapat pula terjadi dengan satu pasangan yang akan merangsang
alat kelamin lawan jenisnya untuk mencapai orgasme. Masturbasi bagi laki-laki
dan perempuan kadang dinamakan bermain dengan diri sendiri. Masturbasi pada
remaja adalah suatu hal yang umum, sebagaimana juga anak kecil yang suka
mempermainkan alat kelaminnya. Penelitian di berbagai negara membuktikan,
bahwa hampir setiap remaja laki-laki melakukan masturbasi, dan tiga per empat
remaja perempuan melakuannya menjelang usia 21 tahun. Frekuensi masturbasi
ini berbeda-beda, tetapi laki-laki frekuensi tersebut sangat tinggi. Ketika remaja
sudah
dewasa
dan
hubungan
seksual
dengan
lawan
jenisnya
sudah
memungkinkan, frekuensi ini menurun, meskipun tetap masih ada hingga masa
tuanya.
Perilaku ini dapat menimbulkan infeksi terutama jika menggunakan alat yang
membahayakan seperti benda tajam dan benda-benda lain yang tidak steril. Selain
menyebabkan infeksi, masturbasi juga dapat menyebabkan lecet jika dilakukan
dengan frekuensi tinggi. Energi fisik dan psikis terkuras, biasanya orang menjadi
mudah lelah, sulit berkonsentrasi, malas melakukan aktivitas lain karena berpikir
terus menerus kearah fantasi seksual. Bagi perempuan aktivitas ini dapat merobek
selaput dara karena selaput dara hanya sekitar 1-1,5 cm dari permukaan vagina.
8. Oral seks
Perilaku seksual secara oral adalah memasukan alat kelamin kedalam mulut
lawan jenis. Perilaku ini tidak lazim menurut masyarakat Indonesia karena tidak
sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat. Oral seks dapat
meningkatkan resiko terkena penyakit radang tenggorokan dan pencernaan.
17
Menurut Profesor Peter Bearman dan Hannah Bruckner pada artikel Journal
Adolscent Health edisi april 2005 menyatakan bahwa remaja yang berusaha
mempertahankan keperawanannya lebih menyukai anal seks dan oral seks. Tetapi
dari hasil penelitian Rector dan Johnson pada tahun 2005 melaporkan bahwa
remaja yang menjaga keperawanannya tidak lagi melakukan anal dan oral seks
sehingga mereka beresiko rendah terhadap penularan HIV dan AIDS.
9. Petting
Petting adalah keseluruhan aktivitas non intercourse/senggama (hingga
menempelkan alat kelamin). Masih banyak remaja yang menganggap petting tidak
akan menyebabkan kehamilan. Padahal pada perilaku ini dapat menyebabkan
kehamilan, karena cairan sperma yang keluar pada saat terangsang pada laki-laki
juga sudah mengandung sperma (meski dalam keadaaan terbatas).
Selain itu meskipun ejakulasi diluar, cairan vagina dapat menjadi medium
yang membantu masuknya sperma ke dalam vagina. Petting juga dapat berlanjut
ke senggama karena lepasnya kontrol diri, bagi perempuan, petting dapat
menyebabkan robeknya selaput dara. Dampak dari petting ini menimbulkan
ketagihan, hamil, terkena PMS/HIV, bisa berlanjut ke intercourse.
10. Intercourse (hubungan seksual)
Intercourse atau senggama adalah aktivitas seksual dengan memasukkan alat
kelamin laki-laki ke alat kelamin wanita. Dampaknya adalah perasaan bersalah
dan berdosa terutama pada saat melakukan pertama kali, ketagihan, terkena
PMS/HIV serta kehamilan yang beresiko dikeluarkan dari sekolah, merusak nama
baik keluarga, pernikahan dini, aborsi serta kematian.
18
19
20
21
sekarang pada usia 12 tahun atau kurang. Hal ini disebabkan karena keadaan gizi
remaja relatif baik dibandingkan seratus tahun yang lalu, dan juga adanya
rangsangan audio-visual (radio, tv, film, majalah, dsb) yang akan mempercepat
kematangan biologis.
Berdasarkan analisis WHO (2004), pada literatur kesehatan reproduksi dan
seksual dari seluruh dunia, dilaporkan bahwa pubertas dini berhubungan
signifikan dengan perilaku seksual dan merupakan faktor resiko untuk
berhubungan seksual pertama kali. Sarwono (2013) juga memaparkan bahwa
semakin dini usia pubertas dan semakin lamanya penundaan usia perkawinan akan
mengakibatkan kecenderungan terjadinya hubungan seksual pranikah.
2.1.3.2. Faktor kognitif
1. Pengetahuan seks pranikah
Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan adalah hasil penginderaan
manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya. Menurut Sarwono (2013), pengetahuan seks pranikah remaja
merupakan pengetahuan yang dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah
hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pengetahuan seksual pranikah
remaja terdiri dari pemahaman tentang seksualitas yang dilakukan sebelum
menikah yang terdiri dari pengetahuan tentang fungsi hubungan seksual, akibat
seksual pranikah, dan faktor yang mendorong seksual pranikah. Dalam hal ini
pengetahuan seksual pranikah idealnya diberikan pertamakali oleh orang tuanya
sendiri, tetapi sayangnya tidak semua orang tua di Indonesia mau terbuka dalam
membicarakan permasalahan seksual. Selain itu di masyarakat masih sangat
22
23
melalui media yang ada. Namun informasi yang didapat terkadang hanyalah
setengah-setengah. Menurut Surono (1997), pengetahuan yang setengah-setengah
justru lebih berbahaya dari tidak tahu sama sekali, tetapi bukan berarti tidak tahu
tidak membahayakan. Pengetahuan yang setengah-setengah ini tidak hanya
mendorong remaja untuk mencoba-coba, tetapi juga bisa menimbulkan salah
persepsi. BKKBN (2004), menyatakan para remaja terjebak pada seks bebas
karena tidak mendapatkan informasi yang tepat dan benar. Begitu banyak dampak
yang ditimbulkan karena kurangnya pengetahuan maka pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan
untuk merubah permisivitas remaja terhadap hubungan seks pra nikah.
Anggraeni (2003) memaparkan bahwa pengetahuan dan perilaku sangat
berkaitan erat. Pengetahuan akan segi manfaat dan akibat buruk merupakan
sesuatu hal yang membentuk sikap. Kemudian dari sikap akan memunculkan niat.
Niat yang selanjutnya akan menentukan apa atau kegiatan akan dilakukan atau
tidak. Sehingga semakin baik pengetahuan tentang seks pranikah maka semakin
baik perilaku seksualnya. Remaja yang memiliki pemahaman secara benar tentang
seks pranikah, cenderung memahami resiko perilaku dan alternatif yang dapat
digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan bertanggung
jawab, tetapi bila remaja memiliki pengetahuan yang tidak memadai akan
membuat remaja cendrung bersikap lebih permisif untuk melakukan hubungan
seks pranikah. Sejalan dengan Anggraeni, Laily dan Matulessy (2004)
memaparkan bahwa pengetahuan tentang seksualitas yang tinggi akan menjadikan
seseorang lebih berdaya, dapat memutuskan mana yang baik untuk dirinya sendiri
24
dan sekaligus resiko yang harus ditanggungnya, dapat menumbuhkan sikap dan
tingkah laku seksual yang sehat serta terhindar dari hal-hal yang menjurus kearah
perilaku seksual pranikah. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan bila
remaja tahu akan resiko dan konsekuensinya dari hubungan pranikah, mereka
justru akan sangat berhati hati dan bertanggung jawab terhadap perilakunya
sendiri.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Menurut Arikunto (2005), untuk melakukan penilaian suatu objek atau
materi pengetahuan dapat digolongkan menjadi : baik = 76-100%; cukup = 56
75%; dan kurang = <56%.
2. Sikap
Menurut Notoatmojo (2013), sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap
stimulus atau subjek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi
bersangkutan.
Sikap merupakan predisposisi yang memunculkan adanya perilaku seksual
yang sesuai dengan sikapnya. Sikap yang semakin permisif (serba boleh) terhadap
seksualitas juga akan meningkatkan kecenderungan remaja untuk melakukan
perilaku seksual beresiko. Hasil survey SKRRI 2007 menujukkan adanya asosiasi
kuat antara sikap responden terhadap hubungan seksual pranikah. Antara 22%
wanita dan 45% pria yang menerima hubungan seksual pranikah ternyata telah
secara aktif pernah melakukan hubungan seksual.
Menurut Azwar (2011), sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat
25
negatif:
1) Sikap positif
Sikap positif merupakan tindakan yang cenderung mendekati, menyenangi,
mengharapkan obyek tertentu (Azwar, 2011). Dalam konteks perilaku seks
pranikah, sikap positif ini cenderung menyetujui semua perilaku seks pranikah.
Apabila remaja memiliki sikap menyetujui perilaku seks pranikah, maka remaja
itupun akan sedikit demi sedikit mengarah pada perilaku seks pranikah beresiko
tinggi, sampai pada akhirnya perilaku seks pranikah tersebut diwujudkan dalam
bentuk nyata (Eko, 2012).
2) Sikap negatif
Sikap negatif merupakan tindakan yang cenderung menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Azwar, 2011). Remaja yang memiliki
sikap negatif dalam perilaku seks pranikah yaitu remaja tersebut cenderung
menghindari perilaku seks pranikah beresiko tinggi.
Pengukur sikap menggunakan kuesioner dengan menggunakan skala Guttman
dengan pernyataan sebagai berikut : (1) Setuju (S) = 1; (2) Tidak Setuju = 0. Sikap
dibagi menjadi 2 yaitu sikap positif (bila skor 5-9), sikap negatif (bila skor 0-4).
2.1.1.3. Faktor lingkungan
1. Pola asuh orang tua
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengertian pola asuh adalah
suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan
membimbing anak kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih (2010), pola asuh
adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban
26
dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan
harapan masyarakat pada umumnya.
Pola asuh orang tua adalah pola interaksi anak dengan orang tua yang meliputi
bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis, tetapi juga norma-norma
yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2002). Pengasuhan oleh orang tua adalah
perilaku yang dipraktikan oleh pengasuh yakni ibu dan bapak, dalam hal
pemberian makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli, serta
dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang. Termasuk
didalamnya adalah kasih sayang dan tanggung jawab orang tua (Anwar, 2000)
Orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama pada masa usia dini dapat
mewujudkan perilaku atau tindakan yang memberikan manfaat bagi tumbuh
kembang remaja, pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan remaja
adalah pendidikan dari keluarga khususnya pada pola asuh yang diterapkan oleh
orang tua (Niami, 2009). Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Pola asuh dapat dipakai sebagai salah satu faktor untuk
memprediksi penyebab perilaku anak sewaktu menjadi remaja. Santrock (2010),
mengemukakan tiga pola asuh orang tua yaitu:
1) Pola asuh authoritarian (otoriter)
Pengasuhan yang otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan adanya
aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Perilaku orang tua dalam berinteraksi
dengan anaknya bercirikan tegas, suka menghukum yang biasanya bersifat
hukuman fisik, anak dipaksa untuk berperilaku seperti yang diinginkan orang tua
dan anak juga dipaksa patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua
27
tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa gunanya dan alasan dibalik
aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak dan membatasi
kebebasan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada remaja yaitu
merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang,
cenderung
ragu,
tidak
mampu
menyelesaikan
masalah,
kemampuan
28
terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang
tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.
Menurut Shochib (dalam Yuniyati, 2003) juga memaparkan bahwa orang tua
menerapkan pola asuh demokratis dengan banyak memberikan kesempatan untuk
berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung
anak/remaja untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan
sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Remaja
dengan pola asuh ini cenderung menjadi lebih dewasa dalam pengambilan
keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan perilaku
seks pranikah.
3) Pola asuh permissive (permisif)
Pola asuh permissive (permisif) merupakan pola asuh dimana orang tua tidak
ikut campur dalam kehidupan remaja (Santrock, 2010). Pola asuh ini ditandai
dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai
keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan
kepada remaja. Semua keputusan diserahkan kepada remaja tanpa pertimbangan
dari orang tua. Remaja tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena
orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya remaja
akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu
sesuai dengan norma masyarakat atau tidak, remaja juga akan tumbuh menjadi
remaja yang lebih rendah kematangannya, lebih tidak bertanggung jawab, lebih
mengikuti teman sebaya dan kurang mampu diletakkan pada posisi pemimpin
(Steinberg dalam Dyah, 2009). Dengan pola asuh seperti ini, remaja cenderung
29
pola
asuh
orang
tua
menggunakan
kuesioner
dengan
30
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu pola asuh otoriter (jika skor jawaban responden
lebih besar pada pola asuh otoriter dibandingkan pola asuh demokratis dan
permisif), pola asuh demokratis (jika skor jawaban responden lebih besar pada
pola asuh demokratis dibandingkan pola asuh otoriter dan permisif), pola asuh
permisif (jika skor jawaban responden lebih besar pada pola asuh permisif
dibandingkan pola asuh otoriter dan demokratis).
2. Teman sebaya
Teman sebaya adalah anak-anak dengan usia atau tingkat kedewasaan yang
kurang lebih sama. Sedangkan fungsi yang paling penting dari kelompok teman
sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang
dunia diluar keluarga. Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama
memainkan peran khusus dalam perkembangan sosio-emosional remaja. Teman
sebaya memainkan peran penting dalam perkembangan remaja dan sebenarnya
peran pertemanan lebih cenderung pada lingkungan sekolah menengah
dibandingkan sekolah dasar (Yusuf, 2009). Sejalan dengan Yusuf, Santrock
(2010) juga mengemukakan bahwa teman sebaya memainkan peranan penting
dalam perkembangan remaja. Pada awal masa remaja, remaja lebih memilih
persahabatan dalam jumlah kecil yang lebih mendalam dan lebih akrab
dibandingkan dengan masa ketika mereka masih kanak-kanak. Pengaruh teman
sebaya sangat kuat, sehingga muncul penyimpangan perilaku seksual dikaitkan
dengan norma kelompok sebaya.
Seorang remaja bisanya suka berkumpul dengan teman-temannya yang
mempunyai karakter atau kebiasaan yang hampir sama. Apabila seorang remaja
31
32
pernah pada pertanyaan teman sebaya), tidak ada pengaruh (jika responden
menjawab tidak pernah pada pertanyaan teman sebaya).
3. Paparan media pornografi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), pornografi adalah
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan/tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi. Sedangakan menurut UU Pornografi (2011),
pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
Menurut Soebagijo (2008), media cetak dan elektronik merupakan media yang
paling banyak dipakai sebagai penyebarluasan pornografi. Perkembangan
hormonal pada remaja dipacu oleh paparan media massa yang mengundang rasa
ingin tahu dan keinginan untuk bereksperimen dalam aktivitas seksual sedangkan
yang menentukan pengaruh tersebut bukanlah frekuensi tetapi isi media itu
sendiri. Soebagijo (2008) menambahkan bahwa remaja sering memperoleh
informasi tentang banyak hal dari media massa baik cetak maupun elektronik
maka cenderung memberi perhatian terhadap hal-hal yang dinilainya dapat
meningkatkan harga diri atau jati diri tanpa adanya penyaringan kemudian
mengadopsinya tanpa menilai sesuai dengan nilai, norma agama ataupun budaya
yang berlaku di lingkungannya. Informasi yang diterima tentang seks belum tentu
benar tersebut mereka peroleh baik dari majalah, film porno, kaset VCD porno
33
34
media
pornografi
diukur
menggunakan
kuesioner
dengan
35
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seks
pranikah pada remaja:
Pranikah pada
Remaja
1. Faktor personal
1) Jenis kelamin
2) Usia pubertas
Dampak :
2. Faktor kognitif
1) Pengetahuan seks
pranikah
2) Sikap
1.
2.
3.
4.
Kehamilan
Aborsi
Menikah muda
Penyebaran
penyakit
5. Kenangan buruk
3. Faktor lingkungan
1) Pola asuh orang tua
2) Teman sebaya
3) Paparan media
pornografi
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Alur pikir
Gambar 1
Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks
Pranikah pada Remaja di STT Raksa Mandala Banjar Buruan,
Blahbatuh Tahun 2014.
36
37