Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Remaja
2.1.1.1. Pengertian remaja
Masa remaja atau masa adolesensi adalah suatu fase yang dinamis dalam
kehidupan seseorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa
anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik,
mental, emosional dan sosial dan berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan
(Nancy Pardede, dkk, 2002).
Remaja menurut World Health Organization (WHO) merupakan individu
yang sedang mengalami masa peralihan yang secara berangsur-angsur mencapai
kematangan seksual, mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan
menjadi relatif mandiri. (Notoatmodjo, 2011). Karakteristik umur remaja menurut
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan kaum muda (youth) untuk usia
antara 15 sampai 24 tahun. Sementara itu, di Indonesia, batasan remaja yang
mendekati batasan PBB adalah kurun usia 15-24 tahun (Sarwono, 2013).
2.1.1.2. Karakteristik perkembangan remaja
Menurut Leener & Hultsch dalam Agustiani (2006) proses perubahan yang
terjadi pada remaja dibedakan menjadi empat yaitu perubahan fisik, perubahan
emosional, perubahan kognitif dan perubahan implikasi psikososial. Secara
ringkas perubahan yang terjadi pada remaja diuraikan sebagai berikut:

10

1. Perubahan fisik
Rangkaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami para remaja
adalah perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas
atau pada masa awal remaja, yaitu sekitar umur 11-15 tahun pada wanita dan 1216 tahun pada pria. Hormon-hormon baru direproduksi oleh kelenjar endokrin,
dan ini membawa perubahan-perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan
memunculkan seks sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi untuk
reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja.
Seiring dengan itu, berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan
anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa. Seorang
individu lalu mulai terlihat berbeda, dan sebagai konsekuensi dari hormon yang
baru, dia sendiri mulai merasakan adanya perbedaan (Agustiani, 2006).
Kementerian Kesehatan RI (2005), memaparkan perubahan fisik remaja
terdapat 2 tanda yaitu:
1) Tanda-tanda seks primer yaitu terjadi haid pada remaja puteri (menarche),
terjadi mimpi basah pada remaja laki-laki.
2) Tanda-tanda seks sekunder, yaitu pada remaja laki-laki terjadi perubahan
suara, tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya
ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis,
jambang dan rambut sekitar kemaluan dan ketiak. Pada remaja puteri
terjadinya perubahan seperti pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina,
payudara membesar, tumbuhnya rambut diketiak dan sekitar kemaluan
(pubis).

11

2. Perubahan emosional
Perubahan emosional pada remaja terjadi akibat dari perubahan fisik dan
hormonal.

Hormonal

menyebabkan

perubahan-perubahan

seksual

dan

menimbulkan dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan yang belum pernah


dirasakan sebelumnya. Keterbatasan secara kognitif mengolah perubahanperubahan baru tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktuasi
emosinya, dikombinasikan dengan pengaruh-pengaruh sosial yang juga senantiasa
berubah seperti tekanan dari teman sebaya, media masa dan minat pada jenis seks
lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual. Ini semua mununtut
kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas perilakunya. (Agustiani,
2006)
3. Perubahan kognitif
Piget dalam Santrock (2010) menekankan bahwa remaja terdorong untuk
memahami dunianya karena tindakannya itu merupakan penyesuaian diri biologis.
Remaja membangun dunia kognitifnya sendiri, informasi tidak hanya tercurah ke
dalam benak mereka dari lingkungan.
Untuk memahami dunianya, remaja mengorganisasikan pengalaman mereka.
Sementara, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan dari mulai usia 1220 tahun. Pada usia 16 tahun, berat otak sudah menyamai orang dewasa. Pada
masa remaja terjadi reorganisasi lingkaran saraf Lobe Frontal yang berfungsi
sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi, yaitu kemampuan merumuskan
perencanaan strategis atau pengambilan keputusan. (Sigelaman & Shaffer dalam
Yusuf, 2009)

12

4. Implikasi psikososial
Perubahan yang terjadi dalam waktu yang singkat membawa akibat fokus dan
perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Secara psikologis, proses-proses dalam
diri remaja senuanya tengah mengalami perubahan, komponen-komponen fisik,
fisiologis, emosional dan kognitif sedang mengalami perubahan besar. Sekarang
dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek untuk dipikirkan dengan cara
yang hipotesis, berbeda dan baru dan dengan perubahan dirinya yang radikal,
sepantasnyalah bagi individu untuk memfokuskan pada dirinya sendiri dan
mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Pada implikasi psikososial ini remaja
mengalami krisis identitas (Agustiani, 2006).
2.1.2. Perilaku seks pranikah
2.1.2.1. Pengertian perilaku seks pranikah
Perilaku seks pranikah adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual. Bentuk perilaku ini bermacam-macam, mulai dari bergandengan tangan,
berpelukan, bercumbu, sampai dengan berhubungan seksual (BKKBN, 2007).
Sejalan dengan BKKBN, Sarwono (2013) memaparkan bahwa perilaku seks
pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik
dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini
bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu, bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain,
orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sedangkan Mutadin (2002) memaparkan
bahwa perilaku seks pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa
melalui proses pernikahan resmi menurut hukum maupun agama dan keprcayaan

13

masing-masing. Sedangkan Setawan dan Nurhidayah (2008) memaparkan bahwa


perilaku seks pranikah merupakan segala bentuk perilaku yang didasari oleh
dorongan seksual dan berhubungan dengan fungsi reproduksi atau yang
merangsang sensasi pada reseptor-reseptor yang terletak pada atau di sekitar
organ-organ reproduksi dan daerah-daerah erogen untuk mendapatkan kenikmatan
atau kesenangan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebelum adanya ikatan atau perjanjian sebagai suami istri secara
resmi.
2.1.2.2. Macam-macam perilaku seks pranikah
Irawati (2010) memaparkan macam-macam perilaku seks pranikah remaja
dapat dibagi menjadi :
1. Berfantasi
Berfantasi adalah perilaku membayangkan atau mengimajinasikan aktivitas
seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme. Jika dibiarkan
terlalu lama, maka kegiatan produktif menjadi teralih kepada kegiatan
memanjakan diri. Tidak puas dengan sekedar berfantasi, aktivitas seksual ini bisa
berlanjut ke kegiatan lainnya seperti masturbasi, berciuman dan aktivitas lainnya.
Jika hanya berfantasi pelaku tidak beresiko terkena penyakit.
2. Berpegangan tangan
Aktivitas seksual ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual
yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual
lainnya (hingga kepuasaan seksual dapat tercapai). Umumnya jika berpegangan
tangan, maka muncul getaran-getaran romantic atau perasaan aman dan nyaman.

14

Berpegangan tangan juga merupakan bentuk pernyataan afeksi atas perasaan


sayang berupa sentuhan.
3. Cium kering
Cium kering merupakan aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi,
pipi dengan bibir. Perilaku ini dapat berlanjut dengan berkembangnya imajinasi
atau fantasi seksual. Aktivitas ini menimbulkan perasaan sayang jika diberikan
pada momen tertentu bersifat sekilas, serta menimbulkan keinginan untuk
melanjutkan bentuk aktivitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.
4. Cium basah
Ciuman basah merupakan aktivitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir
sehingga dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang membangkitkan
dorongan seksual hingga tak terkendali. Orang akan mudah melakukan aktivitas
seksual yang dapat berlanjut secara tidak disadari seperti cumbuan, petting
(bersentuhan/saling menggesekan alat kelamin dengan atau tanpa pakian), bahkan
sampai hubungan intim. Resiko dari perilaku ini adalah tertularnya virus atau
bakteri dari lawan jenis. Penyakit tuberkolosis, hepatitis b dan infeksi tenggorokan
juga mudah masuk. Secara psikologis ciuman basah ini dapat meningkatkan
keinginan untuk mengulang perbuatan tersebut secara terus-menerus (ketagihan).
5. Meraba
Kegiatan meraba bagian-bagian sensitif rangsangan seksual, seperti: payudara,
leher, paha atas, vagina, penis, pantat. Bila kegiatan ini dilakukan maka seseorang
akan terangsang secara seksual, sehingga mendorong untuk melakukan aktivitas
seksual lebih lanjut seperti senggama. Hal ini disebabkan karena bagian tubuh

15

tersebut merupakan erogenous zone yaitu bagian atau dari tubuh yang secara tidak
langsung lebih dikaitkan dengan kenikmatan seksual. Kata erogenous berarti
penghadir dorongan seksual. Bagi kaum perempuan, daerah sensitif adalah
payudara dan organ-organ genital khusunya daerah vagina dan klitoris. Bagi lakilaki, mereka yang biasanya memusatkan pada organ-organ genital, khususnya
penis. Namun, mulut, telinga, kaki, bahu atau setiap bagian tubuh lainnya dapat
menjadi sensitif. Daerah-daerah ini sensitif bukan hanya karena disana terdapat
pusat saraf tetapi karena antisipasi psikologis yang bertambah ketika masingmasing pasangan tahu apa yang disukai pasangannya.
Bagi sebagian orang meraba adalah tindakan yang menyenangkan sehingga
menimbulkan kegiatan untuk mengulangi perbuatan tersebut. Tapi bagi sebagian
yang lain menganggap ini adalah tindakan pelecehan dari pasangannya.
6. Berpelukan
Aktivitas ini menimbulkan perasaan aman, nyaman dan

tenang. Tetapi

menimbulkan juga rangsangan seksual (terutama jika mengenai daerah erogen).


7. Masturbasi
Masturbasi adalah perilaku merangsang organ kelamin, biasanya dengan
tangan, tanpa melakukan hubungan intim dengan tujuan untuk mendapatkan
kepuasan seksual. Bagi laki-laki, masturbasi adalah merangsang penis dengan
mengusap dan menggosok-gosoknya. Sedangkan pada perempuan, masturbasi
biasanya dilakukan dengan cara mengusap-ngusap dan menggesek-gesek daerah
kemaluan terutama klitoris dan vagina.
Masturbasi digolongkan kedalam kegiatan memuaskan diri sendiri, tetapi

16

kadang-kadang dapat pula terjadi dengan satu pasangan yang akan merangsang
alat kelamin lawan jenisnya untuk mencapai orgasme. Masturbasi bagi laki-laki
dan perempuan kadang dinamakan bermain dengan diri sendiri. Masturbasi pada
remaja adalah suatu hal yang umum, sebagaimana juga anak kecil yang suka
mempermainkan alat kelaminnya. Penelitian di berbagai negara membuktikan,
bahwa hampir setiap remaja laki-laki melakukan masturbasi, dan tiga per empat
remaja perempuan melakuannya menjelang usia 21 tahun. Frekuensi masturbasi
ini berbeda-beda, tetapi laki-laki frekuensi tersebut sangat tinggi. Ketika remaja
sudah

dewasa

dan

hubungan

seksual

dengan

lawan

jenisnya

sudah

memungkinkan, frekuensi ini menurun, meskipun tetap masih ada hingga masa
tuanya.
Perilaku ini dapat menimbulkan infeksi terutama jika menggunakan alat yang
membahayakan seperti benda tajam dan benda-benda lain yang tidak steril. Selain
menyebabkan infeksi, masturbasi juga dapat menyebabkan lecet jika dilakukan
dengan frekuensi tinggi. Energi fisik dan psikis terkuras, biasanya orang menjadi
mudah lelah, sulit berkonsentrasi, malas melakukan aktivitas lain karena berpikir
terus menerus kearah fantasi seksual. Bagi perempuan aktivitas ini dapat merobek
selaput dara karena selaput dara hanya sekitar 1-1,5 cm dari permukaan vagina.
8. Oral seks
Perilaku seksual secara oral adalah memasukan alat kelamin kedalam mulut
lawan jenis. Perilaku ini tidak lazim menurut masyarakat Indonesia karena tidak
sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat. Oral seks dapat
meningkatkan resiko terkena penyakit radang tenggorokan dan pencernaan.

17

Menurut Profesor Peter Bearman dan Hannah Bruckner pada artikel Journal
Adolscent Health edisi april 2005 menyatakan bahwa remaja yang berusaha
mempertahankan keperawanannya lebih menyukai anal seks dan oral seks. Tetapi
dari hasil penelitian Rector dan Johnson pada tahun 2005 melaporkan bahwa
remaja yang menjaga keperawanannya tidak lagi melakukan anal dan oral seks
sehingga mereka beresiko rendah terhadap penularan HIV dan AIDS.
9. Petting
Petting adalah keseluruhan aktivitas non intercourse/senggama (hingga
menempelkan alat kelamin). Masih banyak remaja yang menganggap petting tidak
akan menyebabkan kehamilan. Padahal pada perilaku ini dapat menyebabkan
kehamilan, karena cairan sperma yang keluar pada saat terangsang pada laki-laki
juga sudah mengandung sperma (meski dalam keadaaan terbatas).
Selain itu meskipun ejakulasi diluar, cairan vagina dapat menjadi medium
yang membantu masuknya sperma ke dalam vagina. Petting juga dapat berlanjut
ke senggama karena lepasnya kontrol diri, bagi perempuan, petting dapat
menyebabkan robeknya selaput dara. Dampak dari petting ini menimbulkan
ketagihan, hamil, terkena PMS/HIV, bisa berlanjut ke intercourse.
10. Intercourse (hubungan seksual)
Intercourse atau senggama adalah aktivitas seksual dengan memasukkan alat
kelamin laki-laki ke alat kelamin wanita. Dampaknya adalah perasaan bersalah
dan berdosa terutama pada saat melakukan pertama kali, ketagihan, terkena
PMS/HIV serta kehamilan yang beresiko dikeluarkan dari sekolah, merusak nama
baik keluarga, pernikahan dini, aborsi serta kematian.

18

Masih banyak remaja yang menganggap sekali melakukan hubungan seksual


tidak akan menyebabkan kehamilan. Akhirnya remaja terpaksa menikah atau
bahkan melakukan aborsi. Padahal, kehamilan pada usia muda dimana fisik dan
psikologis belum siap sangatlah beresiko. Begitu juga dengan aborsi yang dapat
mengakibatkan kematian atau rusaknya organ reproduksi.
Nurhidayah (2012) membagi perilaku seks pranikah menjadi 2 yaitu perilaku
beresiko rendah dan perilaku beresiko tinggi. Perilaku beresiko rendah, mulai dari
mengobrol, nonton film, pegangan tangan, jalan-jalan, pelukan sampai ciuman
pipi/dahi. Sedangkan perilaku beresiko tinggi, mulai dari ciuman bibir, mulut,
leher, meraba daerah erogen, petting, intercourse.
2.1.2.3. Dampak perilaku seks pranikah
Perilaku seks pranikah sangat berdampak buruk bagi para remaja, dampak dari
perilaku seks pranikah adalah hamil di luar nikah, aborsi, dapat mencorengkan
nama baik orang tua, diri sendiri, guru serta nama baik sekolah, menikah muda.
Berikut beberapa bahaya utama akibat seks pranikah menurut Suparyanto (2012):
1. Menciptakan kenangan buruk, apabila seseorang terbukti telah melakukan
seks pranikah atau seks bebas maka secara moral pelaku dihantui rasa bersalah
yang berlarut-larut. Keluarga besar pelaku pun turut menanggung malu
sehingga menjadi beban mental yang berat.
2. Mengakibatkan kehamilan dan menikah muda, hubungan seks satu kali saja
bisa mengakibatkan kehamilan bila dilakukan pada masa subur, kehamilan
yang terjadi akibat seks bebas menjadi beban mental yang luar biasa.
Kehamilan yang dianggap kecelakaan ini mengakibatkan kesusahan dan

19

malapetaka bagi pelaku bahkan keturunannya.


3. Menggugurkan kandungan (aborsi) dan pembunuhan bayi. Aborsi merupakan
tindakan medis yang ilegal dan melanggar hukum. Aborsi mengakibatkan
kemandulan bahkan kanker rahim. Menggugurkan kandungan dengan
cara aborsi tidak aman, karena dapat mengakibatkan kematian.
4. Penyebaran penyakit, penyakit kelamin akan menular melalui pasangan
dan bahkan keturunannya. Penyebarannya melalui seks bebas dengan
bergonta-ganti pasangan. Hubungan seks satu kali saja dapat menularkan
penyakit bila dilakukan dengan orang yang tertular salah satu penyakit
kelamin. Salah satu virus yang bisa ditularkan melalui hubungan seks adalah
virus HIV.
5. Timbul rasa ketagihan.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada
remaja
Menurut Nurhidayah (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks
pranikah yang terjadi pada remaja adalah:
2.1.3.1. Faktor personal
1. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu
(Nursalam, 2013). Dalam kesehatan reproduki jenis kelamin dibedakan
berdasarkan organ seksualnya yaitu laki-laki dan perempuan. Santrock (2007)
mengatakan bahwa ketika remaja mencari tahu identitas seksual mereka, mereka

20

memilki aturan seksual. Perempuan dan laki-laki disosialisasikan agar mengikuti


aturan seksual yang berbeda. Remaja perempuan belajar untuk mengaitkan
hubungan seksual dengan cinta.
Penelitian di USA menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih cenderung
mengatakan telah melakukan hubungan seksual yang lebih aktif daripada remaja
perempuan. Pada usia 13 tahun, remaja laki-laki (12%) juga menunjukkan
pengalaman hubungan seksual yang lebih awal daripada perempuan (5%).
Sedangkan Nursal (2008) menyatakan bahwa laki-laki berpeluang 4,41 kali untuk
berperilaku seks pranikah beresiko dibandingkan perempuan.
2. Usia pubertas
Masa remaja ditandai dengan adanya kematangan biologis. Dengan
kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi
sebagaimana layaknya orang dewasa, sebab fungsi organ seksulanya telah bekerja
secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seseorang remaja akan
mudah terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya (Dariyo,
2004). Usia pubertas pada masing-masing individu sangat bervariasi, pada
perempuan rata-rata usia menarche terjadi pada usia 11 tahun dan dikatakan dini
jika mengalami sebelum usia 11 tahun dan pada laki-laki rata-rata usia mimpi
basah terjadi pada usia 13 tahun, bila terjadi sebelum usia 13 tahun disebut dini
(Soetjiningsih, 2010).
Menurut Affandi dalam Soejati (2001), menyatakan bahwa sekarang telah
terjadi percepatan masa pubertas bagi perempuan. Sekitar seratus tahun yang lalu
seorang perempuan mendapatkan usia menarche pada usia 17 tahun, sedangkan

21

sekarang pada usia 12 tahun atau kurang. Hal ini disebabkan karena keadaan gizi
remaja relatif baik dibandingkan seratus tahun yang lalu, dan juga adanya
rangsangan audio-visual (radio, tv, film, majalah, dsb) yang akan mempercepat
kematangan biologis.
Berdasarkan analisis WHO (2004), pada literatur kesehatan reproduksi dan
seksual dari seluruh dunia, dilaporkan bahwa pubertas dini berhubungan
signifikan dengan perilaku seksual dan merupakan faktor resiko untuk
berhubungan seksual pertama kali. Sarwono (2013) juga memaparkan bahwa
semakin dini usia pubertas dan semakin lamanya penundaan usia perkawinan akan
mengakibatkan kecenderungan terjadinya hubungan seksual pranikah.
2.1.3.2. Faktor kognitif
1. Pengetahuan seks pranikah
Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan adalah hasil penginderaan
manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya. Menurut Sarwono (2013), pengetahuan seks pranikah remaja
merupakan pengetahuan yang dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah
hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pengetahuan seksual pranikah
remaja terdiri dari pemahaman tentang seksualitas yang dilakukan sebelum
menikah yang terdiri dari pengetahuan tentang fungsi hubungan seksual, akibat
seksual pranikah, dan faktor yang mendorong seksual pranikah. Dalam hal ini
pengetahuan seksual pranikah idealnya diberikan pertamakali oleh orang tuanya
sendiri, tetapi sayangnya tidak semua orang tua di Indonesia mau terbuka dalam
membicarakan permasalahan seksual. Selain itu di masyarakat masih sangat

22

mempercayai mitos-mitos seksual yang merupakan salah satu pemahaman yang


salah tentang seksual. Kurangnya pemahaman ini disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain: adat istiadat, budaya, agama, kurangnya sumber informasi dari sumber
yang benar (Soetjiningsih, 2010).
Ilustrasi dari adanya informasi yang tidak benar di kalangan remaja terdiri dari
pengetahuan tentang fungsi hubungan seksual (mitos yang berkembang adalah
hubungan seksual dapat mengurangi frustasi, menyebabkan awet muda,
menambah semangat belajar), akibat hubungan seksual (mitos yang berkembang
yaitu tidak akan hamil kalau senggama terputus, hanya menempelkan alat
kelamin, senggama 1-2 kali saja, berenang dan berciuman bisa menyebabkan
kehamilan) dan yang mendorong hubungan seksual pranikah (mitos yang
berkembang adalah ganti-ganti pasangan seksual tidak menambah resiko PMS,
pacaran perlu variasi antara lain bercumbu, mau berhubungan seksual berarti
serius dengan pacar, sekali berhubungan seksual tidak akan tertular PMS, dan
sebagainya) (Sarwono, 2013).
Rendahnya pengetahuan remaja disebabkan oleh kurangnya informasi yang
diterima remaja. Remaja cenderung lebih banyak menerima informasi dari media
cetak atau elektronik. Televisi sebagai contoh media elektronik, hanya
memberikan informasi sebatas mengenai IMS, HIV/AIDS saja, sedangkan
informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas masih sangat jarang.
Selain itu anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal
yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan dilingkungan keluarga dan
masyarakat, sehingga hal ini membuat remaja cenderung mencari informasi

23

melalui media yang ada. Namun informasi yang didapat terkadang hanyalah
setengah-setengah. Menurut Surono (1997), pengetahuan yang setengah-setengah
justru lebih berbahaya dari tidak tahu sama sekali, tetapi bukan berarti tidak tahu
tidak membahayakan. Pengetahuan yang setengah-setengah ini tidak hanya
mendorong remaja untuk mencoba-coba, tetapi juga bisa menimbulkan salah
persepsi. BKKBN (2004), menyatakan para remaja terjebak pada seks bebas
karena tidak mendapatkan informasi yang tepat dan benar. Begitu banyak dampak
yang ditimbulkan karena kurangnya pengetahuan maka pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan
untuk merubah permisivitas remaja terhadap hubungan seks pra nikah.
Anggraeni (2003) memaparkan bahwa pengetahuan dan perilaku sangat
berkaitan erat. Pengetahuan akan segi manfaat dan akibat buruk merupakan
sesuatu hal yang membentuk sikap. Kemudian dari sikap akan memunculkan niat.
Niat yang selanjutnya akan menentukan apa atau kegiatan akan dilakukan atau
tidak. Sehingga semakin baik pengetahuan tentang seks pranikah maka semakin
baik perilaku seksualnya. Remaja yang memiliki pemahaman secara benar tentang
seks pranikah, cenderung memahami resiko perilaku dan alternatif yang dapat
digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan bertanggung
jawab, tetapi bila remaja memiliki pengetahuan yang tidak memadai akan
membuat remaja cendrung bersikap lebih permisif untuk melakukan hubungan
seks pranikah. Sejalan dengan Anggraeni, Laily dan Matulessy (2004)
memaparkan bahwa pengetahuan tentang seksualitas yang tinggi akan menjadikan
seseorang lebih berdaya, dapat memutuskan mana yang baik untuk dirinya sendiri

24

dan sekaligus resiko yang harus ditanggungnya, dapat menumbuhkan sikap dan
tingkah laku seksual yang sehat serta terhindar dari hal-hal yang menjurus kearah
perilaku seksual pranikah. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan bila
remaja tahu akan resiko dan konsekuensinya dari hubungan pranikah, mereka
justru akan sangat berhati hati dan bertanggung jawab terhadap perilakunya
sendiri.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Menurut Arikunto (2005), untuk melakukan penilaian suatu objek atau
materi pengetahuan dapat digolongkan menjadi : baik = 76-100%; cukup = 56
75%; dan kurang = <56%.
2. Sikap
Menurut Notoatmojo (2013), sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap
stimulus atau subjek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi
bersangkutan.
Sikap merupakan predisposisi yang memunculkan adanya perilaku seksual
yang sesuai dengan sikapnya. Sikap yang semakin permisif (serba boleh) terhadap
seksualitas juga akan meningkatkan kecenderungan remaja untuk melakukan
perilaku seksual beresiko. Hasil survey SKRRI 2007 menujukkan adanya asosiasi
kuat antara sikap responden terhadap hubungan seksual pranikah. Antara 22%
wanita dan 45% pria yang menerima hubungan seksual pranikah ternyata telah
secara aktif pernah melakukan hubungan seksual.
Menurut Azwar (2011), sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat

25

negatif:
1) Sikap positif
Sikap positif merupakan tindakan yang cenderung mendekati, menyenangi,
mengharapkan obyek tertentu (Azwar, 2011). Dalam konteks perilaku seks
pranikah, sikap positif ini cenderung menyetujui semua perilaku seks pranikah.
Apabila remaja memiliki sikap menyetujui perilaku seks pranikah, maka remaja
itupun akan sedikit demi sedikit mengarah pada perilaku seks pranikah beresiko
tinggi, sampai pada akhirnya perilaku seks pranikah tersebut diwujudkan dalam
bentuk nyata (Eko, 2012).
2) Sikap negatif
Sikap negatif merupakan tindakan yang cenderung menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Azwar, 2011). Remaja yang memiliki
sikap negatif dalam perilaku seks pranikah yaitu remaja tersebut cenderung
menghindari perilaku seks pranikah beresiko tinggi.
Pengukur sikap menggunakan kuesioner dengan menggunakan skala Guttman
dengan pernyataan sebagai berikut : (1) Setuju (S) = 1; (2) Tidak Setuju = 0. Sikap
dibagi menjadi 2 yaitu sikap positif (bila skor 5-9), sikap negatif (bila skor 0-4).
2.1.1.3. Faktor lingkungan
1. Pola asuh orang tua
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengertian pola asuh adalah
suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan
membimbing anak kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih (2010), pola asuh
adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban

26

dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan
harapan masyarakat pada umumnya.
Pola asuh orang tua adalah pola interaksi anak dengan orang tua yang meliputi
bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis, tetapi juga norma-norma
yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2002). Pengasuhan oleh orang tua adalah
perilaku yang dipraktikan oleh pengasuh yakni ibu dan bapak, dalam hal
pemberian makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli, serta
dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang. Termasuk
didalamnya adalah kasih sayang dan tanggung jawab orang tua (Anwar, 2000)
Orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama pada masa usia dini dapat
mewujudkan perilaku atau tindakan yang memberikan manfaat bagi tumbuh
kembang remaja, pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan remaja
adalah pendidikan dari keluarga khususnya pada pola asuh yang diterapkan oleh
orang tua (Niami, 2009). Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Pola asuh dapat dipakai sebagai salah satu faktor untuk
memprediksi penyebab perilaku anak sewaktu menjadi remaja. Santrock (2010),
mengemukakan tiga pola asuh orang tua yaitu:
1) Pola asuh authoritarian (otoriter)
Pengasuhan yang otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan adanya
aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Perilaku orang tua dalam berinteraksi
dengan anaknya bercirikan tegas, suka menghukum yang biasanya bersifat
hukuman fisik, anak dipaksa untuk berperilaku seperti yang diinginkan orang tua
dan anak juga dipaksa patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua

27

tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa gunanya dan alasan dibalik
aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak dan membatasi
kebebasan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada remaja yaitu
merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang,
cenderung

ragu,

tidak

mampu

menyelesaikan

masalah,

kemampuan

komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman


dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, remaja diharuskan untuk berdisiplin
karena semua keputusan dan peraturan ada ditangan orang tua. Cole (dalam
Vivien, 2003) juga menyebutkan remaja dalam pengasuhan pola otoriter menjadi
lebih tertekan kemudian didalam dirinya berontak selanjutnya mencari
pelampiasan di luar keluarga. Untuk membuang perasaan tertekan atau
membuktikan pada lingkungan luar bahwa remaja dapat hidup mandiri, tak jarang
remaja cenderung bertindak semaunya dengan melanggar norma yang berlaku di
masyarakat, seperti misalnya melakukan perilaku seks pranikah yang beresiko.
2) Pola asuh authorative (demokratis)
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua
dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Remaja
diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya
serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap
sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitasnya. Dengan pola
asuh ini, remaja akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya
sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima di masyarakat. Hal ini akan
mendorong remaja untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin

28

terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang
tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.
Menurut Shochib (dalam Yuniyati, 2003) juga memaparkan bahwa orang tua
menerapkan pola asuh demokratis dengan banyak memberikan kesempatan untuk
berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung
anak/remaja untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan
sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Remaja
dengan pola asuh ini cenderung menjadi lebih dewasa dalam pengambilan
keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan perilaku
seks pranikah.
3) Pola asuh permissive (permisif)
Pola asuh permissive (permisif) merupakan pola asuh dimana orang tua tidak
ikut campur dalam kehidupan remaja (Santrock, 2010). Pola asuh ini ditandai
dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai
keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan
kepada remaja. Semua keputusan diserahkan kepada remaja tanpa pertimbangan
dari orang tua. Remaja tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena
orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya remaja
akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu
sesuai dengan norma masyarakat atau tidak, remaja juga akan tumbuh menjadi
remaja yang lebih rendah kematangannya, lebih tidak bertanggung jawab, lebih
mengikuti teman sebaya dan kurang mampu diletakkan pada posisi pemimpin
(Steinberg dalam Dyah, 2009). Dengan pola asuh seperti ini, remaja cenderung

29

lebih mudah melakukan hubungan seks pranikah karena mereka menentukan


sendiri tindakannya yang ingin dilakukan tanpa adanya kontrol dan penjelasan
orang tua tentang tindakannya apakah benar atau salah. Remaja dengan mudah
mengambil keputusan tanpa memikirkan dampak dari keputusan yang diambilnya
tersebut (Dyah, 2009).
Menurut Petrabto (2007), karakteristik remaja dalam kaitannya dengan pola
asuh orang tua yang positif (demokratis) adalah remaja menjadi mandiri, mampu
mengendalikan diri, mempunyai hubungan yang baik dengan teman, mampu
menghadapi stress, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, dan mau bekerja sama
dengan orang lain. Karakteristik remaja pada pola asuh negatif (otoriter dan
permisif) adalah remaja menjadi kurang mampu mengendalikan emosi, mudah
marah, dan tersinggung, gemar menentang dan suka melanggar norma, mudah
stress, tidak bersahabat, kurang mandiri, kurang memiliki rasa percaya diri dan
pengendalian diri, tidak jelas arah hidupnya, suka bertengkar dan nakal, sering
membolos, sulit bergaul, bermasalah dengan teman, dan tidak mau mengalah.
Salah satu dampak dari adanya pola asuh negatif adalah perilaku seks pranikah
pada remaja. Perilaku seks pranikah pada remaja merupakan perilaku melanggar
norma-norma yang ada di masyarakat. Pelanggaran remaja terhadap norma-norma
yang berlaku dimasyarakat merupakan akibat dari pola asuh orang tua yang
negatif.
Pengukuran

pola

asuh

orang

tua

menggunakan

kuesioner

dengan

menggunakan skala Guttman yaitu dengan memberi jawaban ya atau tidak.


Untuk jawaban ya skor 1, untuk jawaban tidak skor 0. Pola asuh orang tua

30

diklasifikasikan menjadi 3 yaitu pola asuh otoriter (jika skor jawaban responden
lebih besar pada pola asuh otoriter dibandingkan pola asuh demokratis dan
permisif), pola asuh demokratis (jika skor jawaban responden lebih besar pada
pola asuh demokratis dibandingkan pola asuh otoriter dan permisif), pola asuh
permisif (jika skor jawaban responden lebih besar pada pola asuh permisif
dibandingkan pola asuh otoriter dan demokratis).
2. Teman sebaya
Teman sebaya adalah anak-anak dengan usia atau tingkat kedewasaan yang
kurang lebih sama. Sedangkan fungsi yang paling penting dari kelompok teman
sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang
dunia diluar keluarga. Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama
memainkan peran khusus dalam perkembangan sosio-emosional remaja. Teman
sebaya memainkan peran penting dalam perkembangan remaja dan sebenarnya
peran pertemanan lebih cenderung pada lingkungan sekolah menengah
dibandingkan sekolah dasar (Yusuf, 2009). Sejalan dengan Yusuf, Santrock
(2010) juga mengemukakan bahwa teman sebaya memainkan peranan penting
dalam perkembangan remaja. Pada awal masa remaja, remaja lebih memilih
persahabatan dalam jumlah kecil yang lebih mendalam dan lebih akrab
dibandingkan dengan masa ketika mereka masih kanak-kanak. Pengaruh teman
sebaya sangat kuat, sehingga muncul penyimpangan perilaku seksual dikaitkan
dengan norma kelompok sebaya.
Seorang remaja bisanya suka berkumpul dengan teman-temannya yang
mempunyai karakter atau kebiasaan yang hampir sama. Apabila seorang remaja

31

yang mempunyai komunitas teman-teman yang suka berperilaku seksual maka


kemungkinan remaja tersebut akan terpengaruh melakukan perilaku seksual.
Selain itu, tekanan dari teman sebaya yang berperan lebih dekat dengan remaja,
ini memberikan afeksi, simpati dan pengertian serta saling berbagi pengalaman
sehingga pada posisi ini remaja menjadi lebih mudah terpengaruh dan mengikuti
kebiasaan atau aturan yang ada dalam kelompoknya. Disamping hal tersebut,
sumber informasi yang dianggap penting adalah teman, untuk itu jika pengetahuan
teman tentang kesehatan seksual tidak memadai, bisa jadi informasi yang
diberikan justru salah sehingga membuat remaja semakin beresiko melakukan
perilaku seksual pranikah yang beresiko tinggi (Loverina, 2013).
Nurhidayah (2012) memaparkan bahwa tekanan negatif dari teman sebaya
sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja.
Tekanan negatif seperti ejekan karena masih perawan/perjaka, membuat seorang
remaja cenderung memutuskan melakukan hubungan seksual pranikah karena
ingin diakui oleh komunitasnya. Tekanan dari teman sebaya seperti bujukan
melakukan hubungan seksual juga membuat remaja cenderung memutuskan untuk
mencoba melakukan hubungan seksual pranikah. Ini membuktikan bahwa remaja
sering kali mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Remaja menganggap
segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya.
Pengukuran teman sebaya menggunakan kuesioner dengan menggunakan
skala Guttman yaitu dengan memberi jawaban pernah atau tidak pernah.
Untuk jawaban pernah skor 1, untuk jawaban tidak pernah skor 0. Pengaruh
teman sebaya dibagi menjadi 2 yaitu ada pengaruh (jika responden menjawab

32

pernah pada pertanyaan teman sebaya), tidak ada pengaruh (jika responden
menjawab tidak pernah pada pertanyaan teman sebaya).
3. Paparan media pornografi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), pornografi adalah
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan/tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi. Sedangakan menurut UU Pornografi (2011),
pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
Menurut Soebagijo (2008), media cetak dan elektronik merupakan media yang
paling banyak dipakai sebagai penyebarluasan pornografi. Perkembangan
hormonal pada remaja dipacu oleh paparan media massa yang mengundang rasa
ingin tahu dan keinginan untuk bereksperimen dalam aktivitas seksual sedangkan
yang menentukan pengaruh tersebut bukanlah frekuensi tetapi isi media itu
sendiri. Soebagijo (2008) menambahkan bahwa remaja sering memperoleh
informasi tentang banyak hal dari media massa baik cetak maupun elektronik
maka cenderung memberi perhatian terhadap hal-hal yang dinilainya dapat
meningkatkan harga diri atau jati diri tanpa adanya penyaringan kemudian
mengadopsinya tanpa menilai sesuai dengan nilai, norma agama ataupun budaya
yang berlaku di lingkungannya. Informasi yang diterima tentang seks belum tentu
benar tersebut mereka peroleh baik dari majalah, film porno, kaset VCD porno

33

yang dicari secara sembunyi-sembunyi


Para remaja yang tidak betah di rumah, tidak kerasan di sekolah dan merasa
kesepian di lingkungan masyarakatnya. Mereka kemudian menghabiskan
waktunya untuk mengakses berbagai media: TV, radio, majalah, Koran, website,
handphone dan lainnya. Diberbagai media massa itu, ternyata para remaja
mendapatkan informasi barangkali jauh melebihi apa yang mereka harapkan.
Karena ternyata media massa telah berkembang, tidak saja jumlahnya tetapi
berkembang kearah cara penyampaian informasi yang sangat permisif. Jenis
pilihan dan alternatif informasi seperti inilah yang tersedia bagi remaja tatkala
mereka mengakses media massa, khususnya website. Orang lain tidak bisa
membatasi, apalagi mengontrol para remaja untuk hanya melihat, membaca dan
mengakses informasi yang baik-baik saja. (BKKBN, 2010).
Berdasarkan data Statistics Family Safe Media menyatakan terdapat 4,2 juta
situs internet porno, setiap harinya terdapat 68 juta permintaan mengakses materi
pornografi melalui mesin pencari (search engine) internet dan setiap pengguna
internet menerima atau mengirim rata-rata 4,5 e-mail porno perharinya (Supriyati,
2009). Sedangkan data dari hasil Effective Measure Firma yang memiliki
spesialisasi dalam pengukuran statistik web, sebanyak 61,88 persen dari pengguna
internet Indonesia mengakses melalui ponsel. Sementara 38,12 persen lainnya
mengakses internet bukan dari ponsel. Pengguna internet tahun 2011 di Indonesia,
mencapai 39.100.000 orang (peringkat 8 di dunia). Jika mengacu pada data
tersebut, maka pengguna internet mobile di Indonesia adalah sekitar 24.195.080
orang. Untuk Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama.

34

(www.edutachnolife.com, diakses tanggal 10 Maret 2014). Dengan tingginya


pengguna internet dan kemudahan akses internet saat ini, banyak manfaat yang
bisa diambil dari internet tetapi tentunya pengguna media ini tidak luput dari
dampak yang ditimbulkan, salah satunya yaitu kemudahan akses pornografi, yang
tidak didampingi dengan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang
baik menjadikan remaja menjadi rentan terhadap dampak media tersebut. Bungin
(2001), juga memaparkan bahwa media elektronik seperti internet mempunyai
peran besar dalam memberikan informasi seksual. Remaja yang belum pernah
mengetahui masalah seksualitas dengan lengkap akan mencoba dan meniru apa
yang mereka lihat dan dengar ataupun baca.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan pemaparan materi pornografi
melalui media massa, termasuk dalam lingkungan di luar individu dengan media
massa tentunya akan menimbulkan efek-efek tertentu khususnya terhadap perilaku
individu tersebut.
Paparan

media

pornografi

diukur

menggunakan

kuesioner

dengan

menggunakan skala Guttman yaitu dengan memberi jawaban ya atau tidak.


Untuk jawaban ya skor 1, untuk jawaban tidak skor 0. Paparan media
pornografi dibagi menjadi 2 yaitu terpapar (jika pernah membaca, menonton,
membuka situs porno), tidak terpapar (jika tidak pernah membaca, menonton,
membuka situs porno).

35

2.2. Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari
hal-hal yang khusus (Notoatmojo, 2005). Kerangka konsep dalam penelitian ini
dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut.
Perilaku Seks

Faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seks
pranikah pada remaja:

Pranikah pada
Remaja

1. Faktor personal
1) Jenis kelamin
2) Usia pubertas

Dampak :

2. Faktor kognitif
1) Pengetahuan seks
pranikah
2) Sikap

1.
2.
3.
4.

Kehamilan
Aborsi
Menikah muda
Penyebaran
penyakit
5. Kenangan buruk

3. Faktor lingkungan
1) Pola asuh orang tua
2) Teman sebaya
3) Paparan media
pornografi
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Alur pikir

Gambar 1
Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks
Pranikah pada Remaja di STT Raksa Mandala Banjar Buruan,
Blahbatuh Tahun 2014.

36

2.3. Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2013). Hipotesis dalam penelitian ini adalah
2.3.1. Ada hubungan faktor personal (jenis kelamin, usia pubertas) dengan
perilaku seks pranikah pada remaja di STT Raksa Mandala Banjar Buruan,
Blahbatuh.
2.3.2. Ada hubungan faktor kognitif (pengetahuan seks pranikah, sikap) dengan
perilaku seks pranikah pada remaja di STT Raksa Mandala Banjar Buruan,
Blahbatuh.
2.3.3. Ada hubungan faktor lingkungan (pola asuh orang tua, teman sebaya,
paparan media pornografi) dengan perilaku seks pranikah pada remaja di
STT Raksa Mandala Banjar Buruan, Blahbatuh.

37

Anda mungkin juga menyukai