Anda di halaman 1dari 43

JURNAL REVIEW

Gangguan Afektif Bipolar pada Anak

Oleh:
Devi Purnamasari

G99131003

Ardina Nur Pramudhita

G99131020

Aulia Nurul Fatimah

G99131023

Fadityo

G99131038

Kristianto Aryo Nugroho

G99131048

Locoporta Agung

G99131049

Pembimbing:
Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA

2014KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
jurnal dengan judul: Gangguan Afektif Bipolar pada Anak. Penulis menyadari
bahwa penulisan dan penyusunan referat jurnal ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra, MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr., M.Si
13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
14. RH. Budhi M, dr., Sp.KJ (K)
15. Maria Rini I. dr., Sp.KJ
16. Adriesti H, dr., Sp.KJ
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ
18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ
Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat
ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................

Kata Pengantar............................................................................................

ii

Daftar Isi.....................................................................................................

iii
2

Tujuan.........................................................................................................

Pendahuluan................................................................................................

Sejarah.........................................................................................................

Gangguan Afektif Bipolar Dalam DSM-IV-TR .........................................

Gangguan Afektif Bipolar Dalam DSM-5.................................................. 11


Gejala Lain yang terkait pada Anak............................................................ 12
Penegakan Diagnosis.................................................................................. 29
Intervensi Terapi......................................................................................... 34
Simpulan..................................................................................................... 43
Lampiran Jurnal

Gangguan Afektif Bipolar pada Anak


Walaupun gangguan afektif bipolar dulunya dianggap sangat jarang terjadi
pada anak-anak dan remaja, baru-baru ini diketahui bahwa ada peningkatan yang
signifikan pada anak-anak dan remaja yang didiagnosis dengan gangguan afektif
bipolar (Carlson, 2005). Meskipun demikian, penerapan kriteria diagnosis
gangguan afektif bipolar yang saat ini digunakan untuk anak-anak, terutama anakanak masa prasekolah, masih belum jelas, walaupun telah dilakukan berbagai
macam usaha yang berfokus pada masalah ini. Sehingga masih terus diperlukan
berbagai hal untuk lebih memahami gejala bipolar pada anak-anak. Diharapkan
tulisan ini dapat membantu psikolog dan penyedia layanan kesehatan lainnya
dalam hal literatur terkait masalah bipolar sehingga mereka dapat meningkatkan
pemahaman tentang kriteria diagnostik dan perilaku lainnya yang mungkin
relevan dengan gangguan afektif bipolar serta dapat mengetahui berbagai
pendekatan yang dapat dilakukan untuk menilai dan merawat anak-anak dengan
kriteria gangguan afektif bipolar. Pertama, akan dibahas mengenai sejarah gejala
bipolar dan kriteria diagnostik yang digunakan saat ini. Kemudian juga akan
dibahas mengenai strategi penilaian yang dapat membantu mengidentifikasi
gangguan afektif bipolar. Selanjutnya akan membahas tentang pengobatan yang
mungkin memiliki relevansi dengan anak-anak dan keluarganya. Yang terakhir
adalah kesimpulan mengenai usaha-usaha yang dapat dilakukan pada anak-anak
yang didiagnosis gangguan afektif bipolar.
Pendahuluan
Meskipun gangguan afektif bipolar dulunya dianggap jarang terjadi pada
anak-anak dan remaja, kini telah diketahui bahwa ada peningkatan yang signifikan
pada anak-anak dan remaja dengan diagnosis gangguan afektif bipolar. Bahkan,
sebuah studi meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka
kejadian gangguan afektif bipolar pada anak-anak dan remaja adalah sebesar
1,8%. Meskipun demikian, penerapan kriteria diagnosis gangguan afektif bipolar

yang saat ini digunakan untuk anak-anak, terutama anak-anak masa prasekolah,
masih belum jelas, walaupun telah dilakukan berbagai macam usaha yang
berfokus pada masalah ini. Sehingga masih terus diperlukan berbagai hal untuk
lebih memahami gejala bipolar pada anak-anak. Diharapkan tulisan ini dapat
membantu psikolog dan penyedia layanan kesehatan lainnya dalam hal literatur
terkait masalah bipolar sehingga mereka dapat meningkatkan pemahaman tentang
kriteria diagnostik dan perilaku lainnya yang mungkin relevan dengan gangguan
afektif bipolar serta dapat mengetahui berbagai pendekatan yang dapat dilakukan
untuk menilai dan merawat anak-anak dengan kriteria gangguan afektif bipolar.
Pertama, akan dibahas mengenai riwayat gejala bipolar dan kriteria diagnostik
yang digunakan saat ini. Kemudian juga akan dibahas mengenai strategi penilaian
yang dapat membantu mengidentifikasi gangguan afektif bipolar. Selanjutnya
akan membahas tentang pengobatan yang mungkin memiliki relevansi dengan
anak-anak dan keluarganya. Yang terakhir adalah kesimpulan mengenai usahausaha yang dapat dilakukan pada anak-anak yang didiagnosis dengan gangguan
afektif bipolar.
Sejarah Gangguan Afektif Bipolar
Walaupun identifikasi gejala bipolar (yaitu, depresi dan manik) masih relatif
baru pada anak, identifikasi gejala-gejala tersebut tentu bukan hal baru dalam
bidang psikiatri. Bahkan, depresi dan manik merupakan penyakit gangguan jiwa
yang pertama kali tercatat (terdokumentasi) di dunia, dengan merujuk kembali
pada sejarah Yunani kuno. Misalnya, Hippocrates menganggap melankolis (yakni
depresi) dan manik sebagai gangguan yang pertama kali dapat didiagnosis. Pada
abad pertama Masehi, seorang tabib Yunani bernama Aretaeus dari Cappadocia
menggabungkan dua kelompok gejala ini menjadi gangguan afektif bipolar
dengan menyatakan bahwa manik merupakan kondisi melankolis yang makin
memburuk (bukannya menunjukkan bahwa manik dan melankolis merupakan
kondisi yang berbeda). Dalam sebuah tulisan oleh Aretaeus yang berjudul On the
Aetiology and Symptomatology of ChronicDiseases and The Treatment of Chronic
Diseases, penderita melankolis digambarkan sebagai seseorang yang tenang atau
5

disforia dan sedih atau apatis, dan penderita manik digambarkan sebagai orang
yang ceria. Referensi lainnya tidak ada yang menghubungkan antara melankolis
dan manik sampai abad 17; akan tetapi, Theophile Bonet mulai menggunakan
istilah melancholicus manik pada tahun 1679 dan Willis menyebut melankolis dan
manik sebagai gangguan mengoceh (distempers of raving) dalam tulisannya.
Setelah kemunculan beberapa referensi awal tadi mengenai gejala bipolar,
perkembangan dalam klasifikasi gangguan afektif bipolar tidak terjadi sampai
abad 19. Pada tahun 1851, dibuat referensi baru tentang gangguan afektif bipolar.
Pada waktu itu, psikiater dari Perancis bernama Jean-Pierre Falret memunculkan
konsep bahwa gangguan afektif bipolar bersifat siklik (bersiklus) secara alami,
mengacu pada fenomena yang disebut sebagai folie circulaire (yaitu kegilaan
bersiklus). Falret menjabarkannya sebagai episode manik dan melankolis yang
terpisah oleh interval waktu tanpa/bebas gejala. Pada tahun 1854, psikiater
Perancis bernama Jules Baillarger juga memaparkan gejala manik dan melankolis
yang bersiklus (yaitu folie a double forme), tapi tanpa adanya interval bebas
gejala. Meskipun Falret dan Baillarger tidak sepaham mengenai sifat dan proses
siklis yang pasti dari gangguan afektif bipolar, mereka berdua sepakat bahwa
diagnosis dan prognosis gangguan ini adalah "putus asa, mengerikan, dan tidak
dapat disembuhkan". Pemikiran awal ini memungkinkan diagnosis gangguan
afektif bipolar dapat diterima di seluruh Eropa kala itu.
Selama akhir abad 19 dan awal abad 20, Emil Kraepelin melakukan
pendekatan yang menyatukan klasifikasi gangguan mood, dan gangguan afektif
bipolar dimasukkan dalam kategori gangguan jiwa manik-depresif (MDI, manicdepressive insanity). MDI meliputi gangguan jiwa bersiklus dan gangguan
unipolar (misalnya, depresi episode tunggal dan depresi berulang). Tidak seperti
deskripsi gejala bipolar yang disebutkan sebelumnya, diagnosis MDI ini memiliki
prognosis yang baik. Walaupun Kraepelin menyatakan bahwa gangguan afektif
bipolar merupakan penyakit mental yang berat, ia juga menyebutkan bahwa
individu dengan diagnosis gangguan afektif bipolar mengalami kondisi residual
ringan setelah pemulihan dari episode tunggal dan fluktuasi ringan antara episode
bipolar. Perlu dicatat bahwa Kraepelin mengacu pada kemungkinan depresi manik
yang terjadi pada anak-anak, walaupun jarang terjadi.
6

Karena penyatuan klasifikasi gangguan mood oleh Kraepelin yang begitu


luas, studi lebih lanjut mengenai terjadinya gangguan-gangguan ini tidak dapat
membedakan antara depresi, manik, dan gangguan afektif bipolar. Meskipun
demikian, ada banyak psikiater yang menentang ide Kraepelin yang
menggabungkan gangguan mood menjadi satu kategori. Psikiater-psikiater dari
Jerman yaitu Wernicke, Kleist, dan Leonhard menjelaskan perbedaan-perbedaan
kecil berbagai sindrom mood dan menggambarkannya sebagai entitas yang
terpisah. Bersama-sama, Kleist dan Leonhard mengumpulkan data tentang riwayat
keluarga dan perjalanan klinis untuk mencari perbedaan antara gangguan afektif
bipolar dan gangguan unipolar. Informasi tersebut tidak terlalu diperhitungkan
dalam dunia psikiatri sampai tahun 1966, tahun yang disebut sebagai "kelahiran
kembali" dari gangguan afektif bipolar karena diterbitkannya dua karya yang
penting.
Dua karya tersebut adalah monograf yang ditulis Angst dan artikel yang
ditulis oleh Perris dan d'Elia. Kedua tulisan tersebut menyebutkan bahwa faktor
genetika memainkan peranan dalam etiologi depresi endogen, bahwa gangguan
afektif bipolar dapat muncul secara seimbang antara pada laki-laki dan
perempuan, bahwa penyakit manik-depresif tidak bersifat homogen/sama (yaitu,
depresi unipolar sangat berbeda dengan gangguan afektif bipolar), dan bahwa
depresi unipolar memiliki hubungan yang kuat dengan gangguan afektif bipolar
secara genetik. Karya-karya tersebut, bersama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Winokur dkk., memastikan temuan yang dihipotesiskan oleh Kleist dkk.
Secara keseluruhan, karya-karya tersebut berkontribusi pada meningkatnya
perhatian dan pengetahuan tentang gangguan afektif bipolar di abad 20.
Berkenaan dengan teori tentang gejala bipolar pada anak-anak, beberapa ahli
teori psikoanalitik, seperti Adolf Meyer, Karl Abraham, dan Melanie Klein, yang
merupakan beberapa dari ahli yang pertama kali membuat referensi gejala manikdepresi pada anak-anak. Bahkan, para psikiater anak mulai memeriksa gejalagejala bipolar pada pasien mereka, mencari gejala yang menyerupai gangguan
afektif bipolar pada orang dewasa. Beberapa studi kasus yang dilakukan kemudian
menunjukkan bahwa gejala bipolar pada anak-anak sangat jarang/langka, dan jika
gejala ini memang terjadi, biasanya gejala-gejala tersebut tidak muncul sampai
7

akhir masa remaja. Sebaliknya, beberapa psikiater menyebutkan bahwa manik


pada anak-anak seringkali diabaikan karena gejalanya sering tumpang tindih,
antara gejala manik dengan gejala gangguan lainnya (misalnya ADHD), dan
karena tampilan gejala manik biasanya memang muncul pada anak-anak.
Walaupun studi kelompok dan studi lainnya mengenai gejala bipolar pada anakanak telah dicatat oleh berbagai peneliti mulai tahun 1920an, Anthony dan Scott
menyimpulkan dalam suatu ulasan literatur sistematik bahwa depresi manik
jarang terjadi pada masa kanak-kanak.
Akan tetapi sejak tahun 1970-an,
mengidentifikasi

gangguan

afektif

minat

bipolar

dalam

pada

memahami

anak-anak

dan

mengalami

peningkatan. Misalnya, Weinberg dan Brumback membuat kriteria untuk


mendiagnosis manik pada anak-anak. Kriteria-kriteria tersebut, yang meliputi
gejala-gejala euforia atau mood marah, perilaku hiperaktif, dan flight of ideas,
menjadi dasar untuk kriteria gangguan afektif bipolar DSM-III. Sejak tahun 1980,
kriteria DSM telah menetapkan bahwa kriteria pada orang dewasa dapat
digunakan

untuk

mendiagnosis

manik

pada

anak-anak,

dengan

modifikasi/perubahan berdasarkan perbedaan usia dan tahap perkembangan.


Sehingga, pada awal 1980-an, terjadi peningkatan yang signifikan dimana
diagnosis gejala bipolar pada anak-anak dapat diterima. Sebagai contoh, Carlson
menyatakan bahwa anak-anak dengan manik digambarkan sebagai anak dengan
perilaku hiperaktif, tidak adanya episode diskrit, lebih mudah marah dan emosi
labil (berlawanan dengan euforia), dan paranoid atau rasa kebesaran yang relatif
kurang muncul. Selain itu, anak-anak yang mengalami gangguan afektif bipolar
fase depresi diduga tidak menunjukkan episode depresif yang spesifik.
Sebaliknya, mereka digambarkan sebagai anak yang gelisah/agitasi atau pemarah
dengan gambaran yang sama yang ditunjukkan oleh anak-anak dengan depresi
unipolar. Kemudian, anak-anak diatas usia 9 tahun digambarkan memiliki pola
gejala yang lebih klasik yang ditandai dengan episode diskrit, euforia dan lekas
marah, serta rasa kebesaran.
Meskipun demikian, kasus gangguan afektif bipolar masih tetap kontroversial
untuk anak-anak. Misalnya, studi oleh WHO Amerika Serikat/Inggris mengenai
manik depresi dan skizofrenia menunjukkan bahwa kedua negara ini membuat
8

diagnosis yang sangat berbeda untuk kumpulan gejala yang sama seperti yang
sudah disebutkan sebelumnya, yang mendorong munculnya kriteria diagnosis
operasional untuk gangguan ini. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
temuan tersebut masih sama/konsisten, dimana penelitian yang menggunakan
sketsa kasus menunjukkan bahwa tenaga kesehatan jiwa yang ada di Amerika
Serikat masih lebih cenderung menggunakan diagnosis gangguan afektif bipolar
daripada yang di Inggris.
Maka kemudian dikembangkan suatu susunan wawancara yang terstruktur
dan semiterstruktur, dan peneliti mulai lebih bergantung pada kriteria standar
untuk mendiagnosis, menggunakan gejala-gejala seperti yang ada dalam Kriteria
Diagnostik Penelitian dan Pedoman Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental.
Seiring dengan semakin pentingnya kriteria definisi dan makin kurangnya
spesifisitas definisi episode dalam DSM-III-R, diagnosis gangguan afektif bipolar
menjadi simtom mulai muncul pada tahun 1987. Sebaliknya, gangguan afektif
bipolar awalnya muncul dalam International Classification of Diseases (ICD)
sebagai gangguan dalam istilah yang lebih luas dan terfokus pada keseluruhan
episode atau perjalanan penyakit. Dengan demikian, dibutuhkan kejelasan yang
lebih jelas lagi.
Gangguan Afektif Bipolar Dalam DSM-IV-TR
Sampai saat ini, kriteria yang dijelaskan dalam DSM-IV dan DSM-IV-TR
digunakan untuk mendiagnosis gangguan afektif bipolar di Amerika Serikat,
dimana gangguan afektif bipolar digolongkan sebagai gangguan mood (mirip
dengan rubrik yang diusulkan oleh Kraepelin). Bahkan, ada beberapa diagnosis
yang berbeda dalam pengelompokan diagnosis bipolar DSM-IV-TR, semuanya
berhubungan dengan munculnya episode manik, campuran, atau hipomanik. Suatu
episode manik diidentifikasi jika individu mengalami episode mood yang
meningkat, meluas, atau mudah tersinggung yang berlangsung selama setidaknya
satu minggu (durasi bisa kurang dari satu minggu jika diperlukan rawat inap).
Episode ini disertai oleh tiga atau lebih gejala (dari tujuh gejala yang ada) ketika
mood seseorang meningkat atau meluas dan oleh empat atau lebih gejala ketika

mood seseorang mudah tersinggung/marah. Gejala-gejala ini dapat meliputi rasa


kebesaran, penurunan kebutuhan untuk tidur, pembicaraan tertekan, flight of
ideas, mudah teralihkan, peningkatan aktivitas atau agitasi psikomotor, dan
aktivitas-aktivitas menyenangkan yang berlebihan tapi berisiko. Gejala-gejala ini
harus menyebabkan gangguan parah pada fungsi kehidupan dan tidak dapat
disebabkan karena zat atau kondisi medis umum.
Sebaliknya, untuk episode campuran, individu harus mengalami gejala yang
konsisten dengan episode manik (seperti dijelaskan di atas) dan episode depresi
(baik dengan mood depresi atau sedih atau kurangnya minat atau kesenangan
dalam hal-hal yang biasanya dinikmati serta perubahan makan dan kebiasaan
tidur, perubahan aktivitas motorik, perasaan tidak berharga dan rasa bersalah,
kurang konsentrasi, dan pernah mengalami ide atau perilaku bunuh diri) untuk
jangka waktu setidaknya satu minggu. Gejala ini harus menyebabkan gangguan
parah pada fungsi kehidupan dan tidak boleh disebabkan karena zat atau kondisi
medis umum. Untuk episode hipomanik, individu harus mengalami mood yang
meningkat, meluas, atau mudah marah setidaknya empat hari disertai dengan
gejala manik yang sama seperti yang dijelaskan sebelumnya. Gejala ini tidak
boleh disebabkan karena zat atau kondisi medis umum.
Kemudian, berdasarkan episode mood yang teridentifikasi, diagnosa
gangguan afektif bipolar I, gangguan afektif bipolar II, dan siklotimia serta
gangguan afektif bipolar tak-terklasifikasi dapat ditegakkan. Untuk didiagnosis
gangguan afektif bipolar I, seorang individu harus mengalami satu atau lebih
episode manik atau campuran. Untuk didiagnosis gangguan afektif bipolar II,
seorang individu harus mengalami satu atau lebih episode depresi dan satu atau
lebih episode hipomanik (tapi tanpa episode manik atau campuran). Dalam kasuskasus baik dengan diagnosis gangguan afektif bipolar I maupun gangguan afektif
bipolar II, episode yang muncul tidak bisa digolongkan dalam diagnosis lain, dan
gejalanya harus menyebabkan distress atau gangguan yang secara klinis
signifikan. Selanjutnya, untuk didiagnosis siklotimia, seorang individu harus
mengalami beberapa periode gejala hipomanik dan beberapa periode gejala
depresi, sehingga tidak ada periode bebas gejala yang terjadi selama lebih dari dua
bulan dalam suatu waktu. Kisaran waktu bervariasi untuk kasus dengan
10

siklotimia, dimana pada kasus orang dewasa harus menunjukkan pola ini untuk
setidaknya dua tahun lamanya dan pada anak-anak setidaknya selama satu tahun.
Kategori gangguan afektif bipolar tak-terklasifikasi digunakan ketika seseorang
mengalami gejala bipolar tapi tidak dapat dimasukkan secara jelas/pasti ke dalam
kategori-kategori yang ada disini.
Gangguan afektif bipolar Dalam DSM-5
Dengan dikeluarkannya DSM-5 pada Mei 2013, sekarang dapat dilihat bahwa
kriteria diagnostik gangguan afektif bipolar terlihat mirip dengan yang terdaftar
dalam DSM-IV-TR. Dalam DSM-5, episode depresi, manik, dan hipomanik
diidentifikasi menggunakan kriteria seperti yang dijelaskan di atas. Sebaliknya,
gejala episode campuran sekarang diganti dengan specifier gambaran campuran
(specifier yang dapat digunakan dengan episode mood yang manapun). Specifier
ini digunakan ketika individu mengalami kriteria penuh episode manik dan tiga
gejala episode depresi atau ketika individu mengalami kriteria penuh episode
depresi dan tiga gejala episode manik. Adaptasi ini (yaitu, specifier gambaran
campuran) memungkinkan untuk diagnosis yang lebih mudah pada anak-anak.
Berkenaan dengan diagnosis-diagnosis itu sendiri, DSM-5 juga mencakup
gangguan afektif bipolar I, gangguan afektif bipolar II, dan siklotimia. Seperti
dalam DSM-IV-TR, individu harus mengalami satu atau lebih episode manik
untuk didiagnosis gangguan afektif bipolar I, dan individu harus mengalami satu
atau lebih episode depresi dan satu atau lebih episode hipomanik (tapi bukan
episode manik apapun) untuk didiagnosis gangguan afektif bipolar II. Selain
diagnosis-diagnosis lama ini, juga terdapat daftar untuk gangguan afektif bipolar
yang dipicu atau terkait zat/obat, gangguan afektif bipolar terkait kondisi medis
lain, gangguan afektif bipolar lainnya, dan gangguan afektif bipolar takterklasifikasi, yang lebih memungkinkan untuk membuat diagnosis yang tepat.
Gejala Lain yang terkait pada Anak
Pada titik ini, harus jelas bahwa para peneliti telah mengidentifikasi
pengalaman gangguan afektif bipolar pada anak-anak dan bahwa kriteria DSM
digunakan untuk mendiagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak.
11

Meskipun demikian, gangguan afektif bipolar masih dianggap langka terjadi pada
anak-anak oleh banyak peneliti, dengan beberapa peneliti melaporkan bahwa
banyak diagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak yang diabaikan karena
kurangnya kejelasan kriteria diagnostik dan kekhawatiran tentang validitas
diagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak. Sebagai contoh, meskipun
anak-anak dalam suatu sampel yang terdiri dari 36 anak prasekolah yang dirawat
di rumah sakit usia 3 sampai 5 tahun menunjukkan mood yang mudah marah,
memiliki bukti riwayat keluarga yang kuat dengan penyakit afektif, dan telah
menunjukkan gejala ADHD sebelumnya, hanya 17% diantara mereka yang
didiagnosis dengan gangguan afektif bipolar. Selain itu, mengingat bahwa ada
beberapa perbedaan dalam hal perkembangan manifestasi gangguan afektif
bipolar antara yang onset dewasa dengan onset masa anak-anak (misalnya, pada
anak-anak lebih menunjukkan gejala campuran), banyak anak-anak salah
didiagnosis. Kesulitan mendiagnosis seperti ini tentu banyak menimbulkan
masalah, karena diagnosis yang akurat sangat penting untuk menghindari
pemberian/paparan medikasi yang tidak perlu. Bahkan, diagnosis gangguan
afektif bipolar tak-terklasifikasi seringkali digunakan, terutama ketika anak-anak
tidak menunjukkan seluruh kumpulan gejala atau memenuhi kriteria durasi gejala
yang ditentukan.
Meskipun demikian, perjalanan gejala gangguan afektif bipolar pada anak
diharapkan akan menjadi lebih jelas karena lebih banyak peneliti mulai
memeriksa masalah ini. Misalnya, Birmaher dkk. yang melakukan studi
longitudinal selama 4 tahun tentang gejala bipolar pada anak-anak dan remaja usia
7-17 tahun dan yang menunjukkan beberapa gejala bipolar. Dalam penelitian ini,
dibuat diagnosis gangguan afektif bipolar tak-terklasifikasi jika seorang anak
menunjukkan gejala bipolar yang relevan secara klinis yang tidak memenuhi
kriteria untuk gangguan afektif bipolar I atau gangguan afektif bipolar II.
Berdasarkan temuan mereka itu, sebagian besar anak-anak yang telah didiagnosis
gangguan afektif bipolar (81,5%) mengalami pemulihan penuh dari gejala selama
2,5 tahun setelah episode indeks mereka, meskipun 62,5% dari anak-anak ini
mengalami kekambuhan gejala sindromal selama 1,5 tahun. Kebanyakan dari

12

anak-anak dengan gejala berulang ini, mereka mengalami gejala depresi atau
gambaran gejala campuran, dengan frekuensi gejala manik yang lebih rendah.
Sejumlah anak-anak dikeluarkan dari kelompok gangguan afektif bipolar takterklasifikasi dan dimasukkan dalam golongan gangguan afektif bipolar I atau
gangguan afektif bipolar II (38%) dan dari gangguan afektif bipolar II menjadi
gangguan afektif bipolar I (25%). Selain meneliti tentang perjalanan gejala
gangguan afektif bipolar dalam studi ini, Birmaher dkk. mengidentifikasi
beberapa prediktor, termasuk onset awal gejala, diagnosis gangguan afektif
bipolar tak-terklasifikasi, durasi lamanya penyakit, riwayat keluarga dengan
gangguan mood, dan status sosial ekonomi yang rendah.
Mengingat pertimbangan-pertimbangan tersebut, tentunya merupakan suatu
hal yang menantang untuk mengidentifikasi gangguan afektif bipolar (juga gejala
prodromal dan penanda awal dari gangguan afektif bipolar) pada anak-anak.
Mengingat kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak (terutama anak-anak
prasekolah) dalam mengunkapkan emosi mereka secara verbal dan dalam
mengenali serta menjelaskan perilaku mereka sendiri, peneliti mungkin seringkali
harus bergantung pada laporan dari orang tua atau informan lainnya dan harus
mempertimbangkan

rekomendasi

penilaian

berbasis

bukti. Akan

tetapi,

membedakan antara gejala klinis yang signifikan dengan perilaku nonklinis


mungkin masih sulit. Sebagai contoh, membedakan fantasi-fantasi tentang
kekuatan khusus dengan rasa kebesaran yang patut dipertimbangkan secara klinis
dan menentukan ambang batas frekuensi dan/atau intensitas kondisi euforia yang
harus menjadi perhatian klinis mungkin lebih sulit dilakukan pada anak-anak
(terutama anak-anak prasekolah). Meskipun demikian, penelitian menunjukkan
bahwa anak-anak usia muda kisaran usia 3 tahun dapat menunjukkan gejala
manik, dimana banyak orang tua menyatakan bahwa gejala-gejala ini telah
muncul pada usia tersebut. Mengingat kepastian relatif bahwa simtom-simtom
bipolar benar-benar terjadi pada anak-anak, informasi lebih lanjut di luar DSM
tentunya dapat membantu.
1. Fenotip Bipolar
Meskipun kriteria diagnostik resmi telah tersedia, NIMH (National
Institue of Mental Health) menyelenggarakan suatu acara bertajuk Roundtable on
13

Prapubertal Bipolar Disorder in Children pada tahun 2000 untuk menjelaskan


lebih lanjut mengenai gejala bipolar pada anak-anak. Pada waktu itu, sedikitnya
terdapat 12 kelompok penelitian berbeda yang meneliti gejaala bipolar pada anakanak. Peserta dalam konferensi ini setuju bahwa Kiddie Schedule for Affective
Disorders

and

Schizophrenia

(K-SADS)

sebaiknya

digunakan

untuk

mendiagnosis gangguan afektif bipolar dengan onset masa anak-anak, bahwa


anak-anak dengan gangguan afektif bipolar dapat muncul dengan fenotip
gangguan afektif bipolar yang luas atau sempit, dan bahwa gangguan afektif
bipolar pada anak-anak sangat sering disertai (komorbid) dengan ADHD dan
gangguan perilaku lainnya. Namun, masalah utama yang belum terpecahkan
adalah penilaian berbagai macam mood dan konvergensinya dengan gangguan
afektif bipolar I, gangguan afektif bipolar tak-terklasifikasi, serta gangguan
lainnya secara keseluruhan.
Meskipun demikian, konferensi ini mendorong dilakukannya penelitian
lebih lanjut. Salah satu pemikiran yang datang dari hasil konferensi ini adalah
bahwa Leibenluft dkk., yang menggambarkan terminologi yang lebih seragam
untuk menggambarkan fenotip bipolar, menunjukkan bahwa gangguan afektif
bipolar dengan onset masa anak-anak harus didefinisikan dengan beberapa
subtipe. Beberapa subtipe ini meliputi narrow subtype (untuk mereka yang
menunjukkan episode mood yang berbeda dengan hipomanik atau manik dan
mood meningkat atau rasa kebesaran, dimana episode-episode ini didefinisikan
secara lebih sempit namun kurang diteliti dalam DSM), 2 intermediate subtype
(untuk mereka yang menunjukkan episode-episode yang jelas dengan gejala
hipomanik atau manik DSM tapi tidak memenuhi kriteria durasi episode ini dan
untuk mereka yang menunjukkan mood mudah marah namun tidak meningkat),
dan broad subtype (untuk mereka yang menunjukkan gejala mudah marah dan
gairah berlebihan/hyperarousal yang kronis serta non-episodik). Peneliti lain
mengembangkan pemikiran yang berbeda. Sebagai contoh, Geller dan Luby
menyatakan bahwa gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak yang
bermanifestasi sebagai kondisi manik campuran kronis, non-episodik, dan
bersiklus cepat, dapat terjadi bersamaan dengan ADHD dan gangguan perilaku

14

lainnya. Selain itu, mood euforik dan rasa kebesaran harus muncul. Selanjutnya,
Wozniak dkk. menekankan bahwa rasa mudah marah yang berat merupakan
kondisi mood yang dominan dan rasa kebesaran tidak muncul secara dominan
pada gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak ini. Sehingga, meskipun
banyak usaha perlu dilakukan terkait dengan deskripsi yang mungkin membantu
dalam mendiagnosis gejala bipolar, baru sedikit konsensus yang telah dilakukan.
2. Durasi Gejala Manik
Walaupun terdapat berbagai pemikiran mengenai gejala-gejala berbeda
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan afektif bipolar pada anakanak, para peneliti juga mencatat bahwa lamanya/durasi gejala bipolar harus
diperhitungkan secara hati-hati. Walaupun anak-anak mungkin memenuhi kriteria
gejala DSM untuk gangguan afektif bipolar atau menunjukkan pola berarti
menggunakan salah satu rubrik yang telah disebutkan dia atas, alasan yang paling
memungkinkan mengapa anak-anak jarang terdiagnosis gangguan afektif bipolar
adalah karena mereka tidak memenuhi kriteria durasi DSM untuk hipomanik dan
manik. Permasalahan dengan durasi kriteria ini juga dapat terjadi pada orang
dewasa. Namun, anak-anak tampaknya seringkali menunjukkan fluktuasi gejala
mood yang sangat cepat, khususnya ketika gejala yang mereka alami juga disertai
dengan gangguan lainnya (komorbid).
Untuk lebih mengklasifikasikan gejala-gejala ini berdasarkan durasinya,
Suppes dkk. merubah definisi bersiklus cepat dari Kramlinger dan Post. Secara
khusus, mereka mendefinisikan bersiklus cepat sebagai pengalaman episode
mood sebanyak lebih dari 4 kali dalam setahun, bersiklus sangat cepat sebagai
pengalaman episode mood sebanyak lebih dari 4 kali dalam sebulan, dan
bersiklus ultraradian sebagai pengalaman episode mood sebanyak lebih dari 1
kali sehari selama setidaknya 4 hari dalam seminggu. Umumnya, satuan tugas dari
International Society for Bipolar Disorders (ISBD) menemukan dukungan untuk
definisi terkini dari bersiklus cepat. Penelitian terbaru juga mendukung adanya
bersiklus sangat cepat dan bersiklus ultraradian pada anak-anak; namun,
satuan tugas ISBD menyarankan pendekatan dimensional terhadap bersiklus
sangat cepat dan terhadap batasan antara bersiklus sangat cepat dan episode
campuran. Kemudian, Leibenluft dkk. mengusulkan bahwa suatu episode secara
15

teoritis dapat bertahan hanya beberapa jam tetapi episode seperti itu seringkali
diabaikan mengingat sulitnya dalam menentukan rentang waktu jam daripada hari
atau minggu. Dalam konteks temuan tersebut, Axelson dkk. mengusulkan bahwa
kriteria durasi episode manik dan hipomanik mungkin tidak sesuai untuk anakanak. Meskipun demikian, penggunaan definisi umum dari remisi untuk episodeepisode tertentu tersebut (misalnya setidaknya 4 minggu dengan gejala depresif
atau manik tidak lebih dari dua) dapat membantu. Dengan demikian, durasi dan
frekuensi kondisi mood pada anak-anak harus diperiksa dengan teliti.
3. Neurobiologi Gangguan afektif bipolar
Walaupun studi pencitraan telah menunjukkan beberapa pemahaman baru
mengenai patofisiologi gangguan afektif bipolar pada orang dewasa (meskipun
pemahaman ini didasarkan pada berbagai macam hasil studi pada orang dewasa),
hanya sedikit yang diketahui tentang patofisiologi angguan bipolar pada anakanak. Berdasarkan penelitian yang sedang dilakukan baru-baru ini, tampaknya ada
beberapa area target di otak yang diduga berperanan dalam menimbulkan gejala
bipolar pada anak-anak dan remaja. Serupa dengan penelitian pada orang dewasa
yang menunjukkan peranan dari area subkorteks pada gangguan afektif bipolar,
penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja dengan gangguan
afektif bipolar familial memiliki volume amigdala yang relatif lebih kecil daripada
anak-anak dan remaja dalam kelompok kontrol. Meskipun beberapa studi
menunjukkan bahwa anak-anak dengan gangguan afektif bipolar memang
memiliki perbedaan volume hippocampus, kaudatus, atau thalamus dengan
kelompok kontrol yang sehat, penelitian lainnya menunjukkan bahwa volume
amigdala yang lebih kecil dapat pula disertai dengan volume hippocampus yang
lebih kecil pada anak-anak dengan gangguan afektif bipolar. Chang dkk. juga
mencatat bahwa ada hubungan antara riwayat penggunaan lithium dan valproate
di masa lalu dengan volume substansia grisea yang lebih besar di amigdala.
Studi-studi lain juga menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja dengan
gangguan afektif bipolar familial mungkin mungkin memiliki kelainan yang
mendasari dalam regulasi sirkuit prefrontal-subkorteks. Misalnya, Chang dkk.
menemukan bahwa anak-anak dan remaja dengan gangguan afektif bipolar
familial menunjukkan aktivasi yang lebih besar pada korteks singulata anterior
16

bilateral, putamen kiri, thalamus kiri, korteks prefrontal dorsolateral kiri dan girus
frontalinferior kanannya selama proses visuospasial, sedangkan anak-anak dan
remaja pada kelompok kontrol menunjukkan aktivasi yang lebih besar pada
vermis serebelumnya. Studi lainnya juga melaporkan bahwa anak-anak dan
remaja yang mengalami setidaknya satu episode manik atau hipomanik
mengalami penurunan volume substansia grisea pada korteks prefrontal
dorsolateral kiri, akumben kiri, dan amigdala kirinya dan bahwa remaja dengan
gangguan afektif bipolar mengalami penurunan volume girus temporalis superior
kirinya. Secara keseluruhan, peranan korteks singulata anterior bilateral dan
korteks prefrontal dorsolateral tidaklah terduga, mengingat kemungkinan peranan
mereka dalam regulasi mood dan atensi yang normal. Masih dibutuhkan lebih
banyak usaha untuk memperjelas neurobiologi gangguan afektif bipolar pada
anak-anak dan remaja.
4. Diagnosis-diagnosis Penyerta (Komorbid)
Selain masalah terkait durasi gejala, frekuensi kondisi mood, dan
neurobiologinya, kumpulan gejala-gejala penyerta yang terjadi bersamaan dengan
gangguan afektif bipolar pada anak-anak mungkin memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut. Diagnosis bandingnya mungkin sulit mengingat bahwa gangguan afektif
bipolar dan diagnosis-diagnosis lainnya meliputi gejala-gejala yang biasanya
terjadi pada anak-anak (misalnya, lekas marah). Sebagai contoh, ketika anak-anak
menunjukkan mood yang tidak normal, lekas marah, dan hiperaktif, ada
perbedaan besar diantara pada penyedia layanan kesehatan tentang diagnosis yang
paling tepat. Diskusi mengenai diagnosis dan gejala komorbid dapat dibantu oleh
keempat subtipe gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak yang dijelaskan
oleh Leibenluft dkk. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, subtipe-subtipe
tersebut merupakan narrow subtype, dua intermediate subtype (juga disebut
sebagai manik tak-terklasifikasi (episode pendek, gejala khas) dan manik yang
mudah tersinggung/irritable manic (episode dengan durasi penuh, tidak ada gejala
khas)), dan broad subtype.
Seperti yang telah disebutkan, narrow subtype dapat digunakan untuk
menggambarkan anak-anak yang memenuhi seluruh kriteria diagnostik DSM-IVTR untuk manik, termasuk kriteria durasi dan karakteristik gejala manik
17

(misalnya, mood meningkat/meluas, peningkatan aktivitas yang diarahkan pada


tujuan, dan rasa kebesaran). Berkenaan dengan intermediate subtype, fenotip
manik tak-terklasifikasi (episode pendek, gejala khas) mencirikan anak-anak yang
mengalami episode manik yang lebih pendek dari durasi yang ditentukan tapi
memenuhi seluruh kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk episode manik.
Sebaliknya, fenotip irritable manic (episode dengan durasi penuh, ada gejala
khas) dapat digunakan untuk menggambarkan anak-anak yang menunjukkan
iritabilitas/rasa mudah marah saja, bukannya mood yang meningkat/meluas, dan
yang memenuhi sisa kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk episode manik. Yang
terakhir adalah broad subtype yang dapat digunakan untuk menggambarkan anakanak yang menunjukkan gejala yang kronis, dan non-episodik yang tidak
memenuhi

kriteria

episode

manik

tapi

masih

menunjukkan

gejala

iritabilitas/mudah marah dan gairah berlebihan yang parah. Menurut Leibenluft


dkk., anak-anak ini mungkin tidak pernah mengalami presentasi manik yang
umumnya terjadi; namun, mereka masih mungkin menunjukkan perjalanan klinis
dari gangguan afektif bipolar. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa fenotip ini
mungkin berbeda dari gangguan afektif bipolar (misalnya, bahkan memiliki
prediktor yang berbeda). Deskripsi-deskripsi ini dapat menangkap gejala yang
ditunjukkan oleh anak-anak dalam konteks gangguan afektif bipolar secara lebih
baik.
Dengan mengingat fenotip-fenotip ini, harusnya jelas bahwa anak-anak
yang mengalami gangguan afektif bipolar dapat menunjukkan gejala yang
tumpang tindih dengan gangguan pada anak lainnya. Secara khusus, penelitian
yang mengusulkan bahwa banyak anak-anak dengan gangguan afektif bipolar juga
memenuhi kriteria ADHD, depresi berat, gangguan kecemasan, ODD, gangguan
perilaku lainnya, dan psikosis, bahkan setelah gejala yang tumpang tindih
(misalnya, mudah teralihkan, hiperaktif motorik, dan banyak bicara) dihilangkan.
Jadi, mereka yang bekerja merawat anak-anak harus menyadari diagnosisdiagnosis komorbid, terutama karena beberapa perbedaannya sulit dibedakan dari
lainnya.
Sebagai contohnya, mengelompokkan hiperaktif dan agresivitas berlebih
komorbid mungkin akan mempersulit gambaran diagnostik gangguan afektif
18

bipolar, karena penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar gejala umum dari
gangguan afektif bipolar adalah "energi yang berlebihan, penurunan kebutuhan
untuk tidur, gangguan elasi, dan hiperseksualitas serta agresi dan mudah
tersinggung. Sehingga banyak peneliti yang mulai memeperhatikan tumpang
tindihnya antara gangguan afektif bipolar dengan ADHD dan antara gangguan
afektif bipolar dengan ODD. Secara khusus, Leibenluft dkk. menyatakan bahwa
banyak gejala dalam gangguan afektif bipolar (misalnya, berbicara berlebihan,
impulsif, memiliki penilaian yang buruk, lekas marah, sering berlari-lari atau
memanjat secara berlebihan, dan mudah teralihkan) yang kurang spesifik untuk
gangguan afektif bipolar dan juga ditemukan muncul pada kasus ADHD. Selain
itu, bagi para peneliti yang menyatakan bahwa manik dapat menjadi kronis (sudut
pandang minoritas), mungkin akan sulit untuk membedakan gangguan afektif
bipolar dengan ADHD jika penyedia layanan kesehatan mencari episode atau
perubahan mood yang spesifik.
Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Wozniak dkk.
memberikan pengenalan yang lebih luas dan baik mengenai kemiripan antara
ADHD dan gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak. Mereka menyatakan
bahwa anak-anak dengan ADHD yang menunjukkan kemarahan, penentangan,
dan perilaku hiperaktif dalam studi mereka juga memenuhi kriteria DSM untuk
gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak. Mereka menyarankan agar
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah anak-anak tersebut
mengalami ADHD, gangguan afektif bipolar, atau keduanya. Selain itu, Luby dkk.
mengungkapkan bahwa suatu hal yang menantang bagi para dokter untuk
membedakan perilaku menentang (sering ditemukan pada ODD) dengan rasa
kebesaran dan mood euforia yang dialami anak dengan gangguan afektif bipolar.
Sehingga, mereka mengusulkan bahwa penyedia layanan kesehatan harus
menentukan apakah perilaku menentang tersebut bersifat umum atau spesifik
untuk membantu dalam membedakan keduanya.
Selain ADHD dan ODD, Luby dan Belden juga menyebutkan bahwa
anak-anak prasekolah dengan gangguan afektif bipolar mengalami depresi dan
gejala komorbid lain yang lebih parah dibandingkan anak-anak prasekolah dengan
gangguan depresi mayor. Meskipun demikian, gejala-gejala ini juga muncul pada
19

gangguan kejiwaan lainnya, sehingga menyulitkan diagnosis. Baru-baru ini, untuk


lebih membedakan antara gangguan afektif dan perilaku yang pertama kali
muncul di masa kecil, APA mengusulkan kategori diagnostik baru, gangguan
disregulasi mood disruptif (DMDD, Disruptive Mood Dysregulation Disorder,
sebelumnya dikenal sebagai gangguan disregulasi mood dan disregulasi
kemarahan yang berat). DMDD digambarkan sebagai gangguan yang ditandai
dengan ledakan kemarahan yang berulang dan ekstrim (baik fisik dan verbal) yang
tidak seimbang/sesuai dengan provokasi atau stressor yang mendorong ledakan
kemarahan dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak. DMDD
terbukti menjadi tambahan yang kontroversial untuk DSM-5, dengan beberapa
peneliti memberikan pendapat yang signifikan tentang gangguan ini. Namun,
mengingat referensinya untuk disregulasi mood dan emosi, gangguan ini dapat
membantu memfasilitasi penelitian tentang penyebab, gambaran, dan pengobatan
gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak seiring dengan para peneliti yang
masih terus mencoba untuk membedakan satu gangguan dari gangguan lainnya
karena gangguan afektif bipolar memang berbeda dari DMDD.
Meskipun demikian, gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak saat
ini sudha banyak dikenal dan menunjukkan beberapa gambaran yang sama dengan
yang terjadi pada orang dewasa. Sebagai contoh, para peneliti menyatakan bahwa
terdapat kesinambungan gejala di masa remaja

dan masa dewasa.

Kesinambungan gejala tersebut didukung oleh adanya studi familial yang


membandingkan anak-anak dengan gangguan afektif bipolar dengan orang tua
mereka yang mengalami gangguan afektif bipolar melalui studi pencitraan dan
studi genetik. Temuan dalam studi tersebut menunjukkan bahwa gangguan afektif
bipolar dengan onset di masa kecil mungkin bersifat genetik dan homogen, yang
memungkinkan kesamaan dokumentasi seluruh anggota keluarga.
Mengingat tantangan yang muncul saat mengidentifikasi

dan

mendiagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak (terutama anak


prasekolah), mungkin bermanfaat untuk mempertimbangkan paradigma validasi
penelitianoleh Robins dan Guze untuk mengidentifikasi sindrom yang valid.
Mereka menyatakan bahwa sindrom ini harus memiliki deskripsi klinis yang
akurat, memperoleh dukungan dari studi-studi yang konsisten, pembedaan dari
20

gangguan klinis lainnya, bukti dari penelitian dengan follow-up yang


menunjukkan bahwa outcome klinis pasien sama atau tidak memenuhi kriteria
gangguan lain, dan bukti adanya peningkatan prevalensi dalam studi familial.
Walaupun pertimbangan spesifik yang diperlukan untuk diagnosis gangguan
afektif bipolar pada anak-anak tidak sepenuhnya jelas (di luar kriteria DSM),
harus ditekankan bahwa anak-anak ini mengalami gangguan yang signifikan
dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan fungsi sosialnya. Selain itu, anak-anak
ini lebih sering menunjukkan fungsi global yang buruk, lebih perlu menggunakan
fasilitas perawatan kesehatan mental, dan sering menunjukkan usaha bunuh diri,
yang menunjukkan keparahan gejala yang mereka alami.
Dengan mengingat informasi ini, kita dapat memnuat diagnosis gangguan
afektif bipolar yang lebih spesifik dan sensitif pada anak-anak. Contohnya, sebuah
studi meta-analisis yang dilakukan oleh Kowatch dkk. menunjukkan bahwa gejala
manik yang paling sering terjadi pada anak-anak meliputi peningkatan energi,
mudah teralihkan, dan pembicaraan yang tertekan, dimana anak-anak mengalami
gejala tersebut masing-masing sebanyak 89%, 84%, dan 82%. Selain itu,
sebanyak 78% anak-anak mengalami rasa kebesaran, 72% mengalami penurunan
kebutuhan akan tidur, 70% anak-anak mengalami elasi/euforia, dan 69% anakanak mengalami gangguan penilaian. Sebaliknya, gejala-gejala yang paling jarang
dialami oleh anak-anak dengan gangguan afektif bipolar adalah flight of ideas
(56%) dan hiperseksualitas (38%). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa sekitar
seperlima dari anak-anak dengan gangguan afektif bipolar mengalami delusi atau
halusinasi selama episode mood. Selain itu, psikosis lebih sering terjadi pada
anak-anak yang memenuhi kriteria gangguan afektif bipolar daripada anak-anak
dengan ADHD. Berdasarkan temuan-temuan ini, gejala spesifik khusus juga dapat
menjadi faktor pembeda ketika mendiagnosis gangguan afektif bipolar pada anakanak.
5. Iritabilitas/Mudah Marah
Suatu gejala yang mungkin harus lebih diperhatikan daripada gejala
lainnya ketika kita berusaha untuk memahami gangguan afektif bipolar pada anak
adalah iritabilitas atau kondisi mudah marah/tersinggung, yang menekankan
komponen penting dari kriteria bipolar DSM-IV-TR yaitu suatu periode berbeda
21

yang terdiri atas mood yang meningkat secara tidak normal, meluas, atau mudah
marah/tersinggung. Bahkan, rasionalitas terkait intermediate subtype yang
dijelaskan di atas adalah bahwa iritabilitas tidalah patognomonik untuk gangguan
afektif bipolar melainkan umum terjadi dalam psikopatologi masa anak-anak (dan
juga dapat terjadi pada masa perkembangan anak-anak). Misalnya, perasaan lekas
marah mungkin muncul pada setidaknya 6 gangguan di masa kanak-kanak
(misalnya, gangguan depresi mayor, GAD, gangguan stres pasca trauma, ADHD,
ODD, gangguan perilaku). Akibatnya, akan sangat penting untuk menentukan
apakah iritabilitas anak-anak merupakan bagian dari gangguan afektif bipolar atau
gangguan lainnya.
Jelas, beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritabilitas merupakan
penanda penting dalam gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak karena
mungkin merupakan tanda keparahan gangguan yang dialami anak. Sebagai
contoh, Biederman dkk. menyatakan bahwa iritabilitas pada anak-anak dengan
gangguan afektif bipolar "sangat parah, menetap, dan sangat mengganggu, dan
seringkali berhubungan dengan tindak kekerasan. Kemudian, dalam studi metaanalisis yang dilakukan oleh Kowatch dkk., disebutkan bahwa 81% dari anakanak dengan gangguan afektif bipolar mengalami iritabilitas. Meskipun demikian,
mengingat bahwa tidak ada diagnosis DSM yang menjelaskan simtomatologi ini,
maka dibutuhkan perhatian lebih dalam mengklasifikasikan gejala ini. Secara
khusus, agar gejala iritabilitas dapat bermanfaat dalam membuat diagnosis
gangguan afektif bipolar, maka diperlukan definisi iritabilitas dalam konteks
episodisitas dan kronisitasnya. Saat ini, DSM tidak tidak mendefinisikan
iritabilitas, sehingga sulit bagi penyedia pelayanan kesehatan untuk secara jelas
mengidentifikasi gejala ini pada anak-anak. Akan tetapi, definisi lainnya memang
ada dalam literatur. Misalnya, K-SADS mendefinisikan iritabilitas sebagai
"kemarahan, mudah tersinggung, kemarahan yang buruk atau singkat, kebencian
atau jengkel, sensitif atau mudah terganggu". DISC (Doagnostic Interview
Schedule for Children) mendefinisikan iritabilitas sebagai "ngambek, marah
terhadap orang-orang tanpa alasan, atau penuh amarah". The Childrens
Depression Rating Scale juga mendefinisikan iritabilitas sebagai "marah-marah,

22

pemarah, lancang, tidak akan melakukan sesuatu yang disuruh oleh orang tuanya.
Namun demikian, memang sulit untuk mengidentifikasi gejala ini secara pasti.
Para peneliti lainnya menekankan pentingnya iritabilitas dalam
menegakkan diagnosis gangguan afektif bipolar agar lebih konsisten dengan
usulan dari Wozniak dkk. Dalam kasus-kasus tertentu, diagnosis gangguan afektif
bipolar akan direkomendasikan apabila anak memenuhi kriteria DSM dengan
iritabilitas sebagai gejala inti dan tanpa disertai adanya euforia, rasa kebesaran dan
episodisitas. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin tidak
ada banyak perbedaan antara anak-anak yang mengalami iritabilitas episodik
dengan anak-anak yang mengalami euforia episodik. Studi yang dilakukan oleh
Hunt dkk mencatat bahwa kedua kelompok anak-anak ini tidak berbeda dalam hal
angka gejala psikiatrik komorbidnya, keparahan atau lamanya gangguan, atau
riwayat keluarga dengan manik. Perbedaan utama antara kedua kelompok ini
adalah anak-anak yang mengalami iritabilitas memiliki gejala depresi dan
penyalahgunaan alkohol yang lebih sering dan anak-anak yang mengalami euforia
lebih banyak mengalami gejala manik. Peneliti lainnya sering menggunakan
gabungan dari rekomendasi ini dengan mempertimbangkan iritabilitas sebagai
gejala inti hanya jika gejala iritabilitas tersebut disertai dengan mood yang
meningkat atau rasa kebesaran. Mengingat ketidakkonsistensian tersebut, perlu
dilakukan penelitian lainnya untuk lebih memperjelas pentingnya gejala
iritabilitas, rasa kebesaran, dan euforia dalam menegakkan diagnosis gangguan
afektif bipolar pada anak-anak.
6. Regulasi Emosi
Meskipun belum diuji secara luas dalam konteks gangguan afektif
bipolar pada anak-anak, (dis)regulasi emosi juga bisa membantu dalam
menggambarkan gejala bipolar yang dialami anak-anak. Mereka yang didiagnosis
dengan gangguan afektif bipolar jelas mengalami kesulitan dalam regulasi emosi
mereka. Hal ini terjadi terutama pada anak-anak prasekolah, sebuah populasi yang
baru-baru ini mendapat banyak perhatian dan perdebatan mengenai diagnosis
gangguan afektif bipolar. Untuk contohnya, meskipun ada perbedaan utama antara
subtipe gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak diusulkan oleh Leibenluft
dkk., anak-anak di setiap subtipe ini masih mengalami gangguan regulasi emosi
23

yang sama. Sehingga, disregulasi emosional dapat dilihat sebagai suatu gambaran
penting dari gangguan afektif bipolar, sambil juga mempertimbangkan perubahan
energi dan gangguan kognitif yang dapat menyertai gambaran gangguan afektif
bipolar.
Meskipun Leibenluft dkk. mengonsepkan gangguan afektif bipolar onset
masa anak-anak memiliki beberapa fenotip, fenotipe ini juga dapat dipandang ada
dalam suatu spektrum (mirip dengan spektrum yang sekarang digunakan untuk
perkembangan gangguan pervasif). Dimana yang terletak di salah satu ujung
spektrum bipolar tersebut adalah narrow subtype, yang ditandai oleh gejala manik
dan depresi klasik yang biasanya muncul pada orang dewasa. Pada sisi lain dari
spektrum bipolar tersebut adalah broad subtype, yang ditandai dengan gangguan
yang sangat berat, kronis, dan iritabilitas non-episodik. Spektrum bipolar seperti
ini akan dapat menunjukkan bahwa gangguan afektif bipolar terdiri dari berbagai
derajat, tingkat keparahan, dan gambaran disregulasi emosional dan gejala
lainnya. Umumnya, suatu hal yang menguntungkan bagi penyedia layanan
kesehatan untuk menggunakan spektrum bipolar pada anak-anak karena sebuah
kelompok kategori diagnosis bipolar tertentu mungkin tidak dapat mencakup
semua anak-anak yang membutuhkan pengobatan gejala bipolar, terutama jika
mereka tidak sesuai dengan kriteria yang pasti. Jadi, meskipun regulasi emosi
tidak ditujukan atau masuk secara eksplisit di dalam DSM-5, mungkin akan
bermanfaat untuk meneliti regulasi emosi ketika kita mempertimbangkan
diagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak. Meskipun demikian, Luby
dan Belden menyatakan bahwa regulasi emosi sulit untuk dioperasikan dan
dikuantifikasi.
Dengan demikian, untuk mendiskusikan mengenai regulasi emosi dalam
konteks gangguan afektif bipolar pada anak-anak, maka akan diperluka suatu
definisi. Dalam arti yang paling dasar, regulasi emosi melibatkan kemampuan
individu untuk mengontrol reaksi, afek, emosi, dan mood mereka. Selain itu,
Dickstein dan Leibenluft menjelaskan secara lebih rinci bahwa regulasi emosi
terdiri dari tiga proses utama, meliputi kemampuan untuk mendeteksi stimulus di
lingkungan, menghasilkan respon emosional, dan untuk memproses atau
mengendalikan emosi. Jika dinyatakan secara sederhana, jelas bahwa anak-anak
24

yang mengalami gangguan dalam spektrum bipolar mengalami disregulasi


emosional, seperti yang terbukti melalui peningkatan kelabilan, intensitas dan
reaktivitas

emosi mereka. Peneliti lainnya membahas regulasi emosi dari

perspektif neurobiologis. Contohnya, regio prefrontal otak memainkan peranan


inhibitorik dalam proses regulasi emosi, sedangkan daerah subkorteks (yang
mengkodekan dan mewakili informasi tentang emosi) mengalami penurunan
aktivasi. Alloy dan Abramson juga menyatakan bahwa teori disregulasi sistem
pendekatan perilaku (BAS, Behavioral Approach System) dapat menambah
pemahaman tentang gambaran psikososial dan biologis pada gangguan afektif
bipolar, dengan kelabilan mood, energi, motivasi, kognisi, dan aktivitas yang
dialami dikaitkan dengan sensitivitas BAS yang tinggi (berbeda dengan efek
individu yang mengalami regulasi berlebihan). Namun, para peneliti mencatat,
bahwa masih banyak hal kontroversial yang berkaitan dengan topik regulasi
emosi, karena memang belum ada kesepakatan mengenai definisi pastinya atau
pengukuran dan penilaiannya secara tepat.
Lebih lanjut lagi, disregulasi

emosi

merupakan

bagian

dari

perkembangan masa kanak-kanak yang khas dan terjadi pada semua anak pada
waktu-waktu tertentu. Meskipun demikian, disregulasi emosi dapat menjadi suatu
indikasi gangguan jika disregulasi emosi yang terjadi justru mengganggu fungsi
kehidupan dari si anak, tidak sesuai dengan usia anak, dan tidak sesuai dengan
pengaruh situasi atau lingkungan dialami anak. Apabila disregulasi emosi
dibicarakan dalam konteks perkembangan anak-anak, maka disregulasi emosi
mungkin dapat menjadi pertimbangan yang berguna dalam konteks gangguan
afektif bipolar pada anak-anak. Bahkan, Luby dan Belden menyatakan bahwa
sebenarnya ada dua bentuk disregulasi emosi yang penting gangguan afektif
bipolar onset masa anak-anak. Bentuk yang pertama dapat digambarkan sebagai
underregulation dan hal ini jelas ketika anak-anak tidak dapat mengatur emosi
mereka dengan cukup. Dalam bentuk disregulasi ini, emosi anak menjadi tidak
terkendali. Underregulation emosi juga berhubungan dengan disinhibisi perilaku,
di mana anak-anak mengalami kesulitan dalam mengendalikan dan memodifikasi
perilaku mereka yang tidak pantas/sesuai dan menjadi impulsif, tidak dapat

25

menahan diri, pendekatan yang tinggi, dan disinhibisi perilaku serta pembicaraan
dalam situasi baru. Underregulation emosi dan disinhibisi perilaku dapat
menyebabkan masalah eksternalisasi pada anak-anak, bahkan pada anak-anak usia
muda. Sebaliknya, bentuk kedua dari disregulasi emosi dapat digambarkan
sebagai overregulation dan hal ini jelas terjadi ketika anak-anak mengatur mereka
emosi mereka terlalu berlebihan. Akibatnya, emosi mereka menumpul. Luby dan
Belden menyatakan bahwa overregulation emosi juga berhubungan dengan
inhibisi perilaku dan dapat menyebabkan masalah internalisasi pada anak-anak,
bahkan pada anak usia muda. Secara keseluruhan, Hirshfeld-Becker dkk.
menyebutkan bahwa melakukan pemeriksaan atas hubungan yang tumpang tindih
antara regulasi emosi dengan inhibisi dan disinhibisi perilaku akan menjadi
bidang penelitian yang bermanfaat di masa depan.
Tentu saja, membahas dampak dari kedua disregulai emosi diatas tentu
mengingatkan akan gambaran khas dari gangguan afektif bipolar pada anak-anak.
Gangguan afektif bipolar dicirikan baik oleh perasaan/mood tinggi (manik) dan
rendah (depresi), yang masing-masing seringkali ditunjukkan oleh anak-anak
sebagai perilaku eksternalisasi dan internalisasi. Luby dan Belden mengonsepkan
gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak sebagai gabungan dari
underregulation emosi dan overregulation emosi yang berkontribusi terhadap
perilaku bermasalah tersebut. Mereka menyatakan bahwa masalah eksternalisasi
pada

anak-anak

(terutama

anak

usia

muda)

merupakan

akibat

dari

underregulation emosi (misalnya, kemarahan) dan afek yang bervalensi negatif.


Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa masalah internalisasi pada anakanak (terutama anak usia muda) dapat disebabkan oleh kumpulan berbagai
kesulitan regulasi emosi dan perilaku, termasuk overregulation emosi yang
bervalensi positif oleh anak-anak (misalnya bahagia), underregulation emosi
bervalensi negatif (misalnya kesedihan), dan kemampuan menghambat perilaku
yang

menciptakan

perasaan

senang.

Gambaran

simultan

dari

perilaku

eksternalisasi dan internalisasi tersebut dapat menjadi indikasi episode campuran


dan bersiklus cepat, yang mana keduanya dianggap lebih sering terjadi pada anakanak. Disregulasi emosi juga dapat digunakan untuk menjelaskan manifestasi

26

gangguan afektif bipolar yang lebih klasik pada anak-anak. Sebagai contoh, anakanak mungkin mengalami underregulation emosi yang bervalensi positif
(misalnya, kebahagiaan), sehingga mengakibatkan elasi atau karakteristik manik
dengan mood meningkat/meluas pada orang dewasa .
Meskipun penelitian kini dilakukan dengan mulai mempertimbangkan
disregulasi emosi sebagai gejala gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak,
disregulasi emosi juga dapat menjadi gambaran yang menonjol pada banyak
gangguan anak lainnya (misalnya, ADHD, ODD, CD) .Oleh karena itu, penyedia
layanan kesehatan masih harus berhati-hati ketika memeriksa anak-anak yang
mereka duga mengalami gangguan dalam spektrum bipolar karena mengalami
kesulitan dalam regulasi emosinya. Gejala disregulasi emosi saja, tentunya tidak
cukup untuk mendiagnosis anak dengan gangguan afektif bipolar (atau gangguan
lainnya). Beberapa peneliti menyatankan bahwa disregulasi emosi dan disinhibisi
perilaku mungkin merupakan penanda awal terjadinya gangguan afektif bipolar.
Meskipun diagnosis tidak dapat dibuat hanya berdasarkan pada adanya penanda
awal atau prodromal, bukti-bukti tersebut memungkinkan penyedia layanan
kesehatan untuk mengamati anak-anak yang paling mungkin berisiko karena
disregulasi emosi dan memantau gejala bipolar yang nantinya mungkin muncul.
Pemantauan tersebut juga akan memungkinkan para peneliti untuk melakukan
studi longitudinal di bidang disregulasi emosi dan gejala bipolar.
Untuk lebih berfokus dalam membahas hal ini, reaktivitas emosional
mungkin merupakan komponen penting dari disregulasi emosi. Bahkan, anakanak dengan gangguan afektif bipolar tampaknya mengalami kesulitan dengan
peningkatan reaktivitas emosi. Chang dkk. mengemukakan bahwa anak-anak yang
beresiko menderita gangguan afektif bipolar juga mengalami kesulitan dalam
reaktivitas emosi mereka. Mereka menemukan bahwa anak-anak dari orang tua
yang memiliki gangguan afektif bipolar menunjukkan kesulitan dengan reaktivitas
emosi dengan terus menunjukkan kemarahan atau depresi meskipun dihibur oleh
individu lain. Selain itu, berdasarkan laporan orang tua, Luby dkk. menemukan
adanya peningkatan reaktivitas emosi pada anak-anak dengan gangguan afektif
bipolar juga. Mereka menemukan bahwa setelah terjadi suatu peristiwa yang
memicu rasa gembira, anak-anak prasekolah yang didiagnosis gangguan afektif
27

bipolar menyatakan rasa gembiranya jauh jauh lebih tinggi daripada yang
biasanya dirasakan oleh teman-temannya pada 30 dan 60 menit setelah terjadinya
peristiwa tadi. Anak-anak usia prasekolah ini tetap merasakan kegembiraan yang
signifikan hingga saat makan siang dan jam makan malam. Anak-anak prasekolah
dengan gangguan afektif bipolar juga menyatakan bahwa tingkat kesedihan yang
mereka rasakan setelah peristiwa yang menimbulkan rasa sedih sangat signifikan
pada 30 menit setelah peristiwa. Selain itu, anak-anak prasekolah ini juga
menyatakan tingkat kemarahan yang secara signifikan jauh lebih tinggi di awal
dan 30 menit setelah ada kejadinya yang memicu rasa marah. Temuan tersebut
konsisten dengan yang ditemukan oleh Gruber dkk., yang menemukan bahwa
antarepisode gangguan afektif bipolar pada orang dewasa berkaitan dengan
perenungan yang lebih besar tentang emosi positif serta negatif dan bahwa
perenungan tersebut berhubungan dengan perjalanan penyakit.
Studi yang dilakukan oleh Luby dkk. juga menghasilkan beberapa
temuan menarik yang dapat membantu para peneliti dan dokter untuk
membedakan antara anak-anak prasekolah dengan gangguan afektif bipolar
dengan anak-anak prasekolah dengan gangguan perilaku lainnya. Anak-anak
prasekolah dengan gangguan afektif bipolar menyatakan rasa sukacita yang secara
signifikan lebih tinggi daripada anak-anak prasekolah yang disruptif pada 30 dan
60 menit setelah peristiwa yang memicu rasa gembira dan saat makan siang.
Anak-anak prasekolah dengan gangguan afektif bipolar juga menyatakan rasa
sedih yang secara signifikan lebih tinggi pada 30 dan 60 menit setelah peristiwa
yang memicu rasa sedih dan saat sebelum tidur. Selain itu, anak-anak prasekolah
dengan gangguan afektif bipolar menyatakan rasa marah yang secara signifikan
lebih tinggi pada awal dan 30 serta 60 menit setelah terjadi peristiwa merangsang
rasa marah. Bukti ini menunjukkan bahwa anak-anak usia muda dengan gangguan
afektif bipolar mengalami kesulitan dengan regulasi emosi dan intensitas emosi
yang jangka waktunya jauh lebih lama. Perbedaan-perbedaan reaksi ini menunjuk
pada meningkatnya reaktivitas dan intensitas emosi yang ditunjukkan oleh anakanak dengan gangguan afektif bipolar, tapi tidak oleh anak-anak dengan gangguan
perilaku disruptif lainnya. Sehingga, pengamatan tentang reaktivitas emosi ini

28

dapat membantu dalam membuat diferensial diagnosis yang kompleks meskipun


juga harus diakui bahwa regulasi emosi tidak spesifik untuk gangguan afektif
bipolar dan juga dapat menjadi bukti penting pada diagnosis gangguan lainnya.
Penegakan Diagnosis
Mengingat sifat dari gejala yang ditampilkan oleh anak yang menderita gejala
bipolar, kesamaan gejala-gejala tertentu dengan berbagai gangguan yang berbeda
(misalnya, gangguan afektif bipolar dengan ADHD), dan dibutuhkan berbagai
pertimbangan terkait karakteristik lain yang mungkin dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis gangguan afektif bipolar (misalnya, lekas marah,
disregulasi emosi), maka penilaian gangguan afektif bipolar pada anak-anak
merupakan suatu hal yang sangat menantang. Tujuan dari bagian ini adalah
membahas pedoman dasar untuk menilai gangguan afektif bipolar pada anakanak. Sebagai sarana untuk membantu dengan penilaian gejala bipolar, AACAP
menerbitkan Parameter Praktik pada tahun 2007 untuk menilai gangguan afektif
bipolar pada anak-anak. Secara khusus, terdapat 4 rekomendasi yang ditawarkan
untuk

melakukan

penilaian

gangguan

afektif

bipolar

pada

anak-anak.

Rekomendasi pertama menyarankan bahwa kriteria DSM harus diikuti ketika


mendiagnosis manik atau hipomanik. Karena gejala-gejala seperti mudah marah
dan emosi yang labil juga terlihat pada banyak gangguan lainnya dan juga dapat
dilihat dalam proses perkembangan anak, maka dengan mengikuti definisi
operasional dari manik dan hipomanik dalam DSM dapat memberikan gambaran
diagnostik yang lebih jelas. Yang utama adalah mencermati pola dan durasi gejala
bipolar dan bagaimana gejala ini berhubungan dengan tidur, aktivitas motorik, dan
perubahan fungsi kognitif sehingga dapat memberikan informasi penting kepada
penyedia layanan kesehatan apakah gejala yang dialami oleh anak merupakan
bagian dari gejala gangguan afektif bipolar atau gangguan lainnya.
Rekomendasi kedua di Parameter Praktik adalah bahwa gangguan afektif
bipolar tak-terklasifikasi harus digunakan pada anak-anak yang menunjukkan
durasi atipikal dari gejala bipolar. Mengingat bahwa perjalanan gejala pada anakanak dapat sangat bervariasi terhadap kriteria DSM dan bahwa intervensi untuk

29

gangguan afektif bipolar pada anak-anak mirip dengan yang dilakukan pada orang
dewasa (meskipun masih belum pasti tentang efektivitas dan keamanan
menggunakan pendekatan terapi seperti pada orang dewasa), rekomendasi ini
dapat membantu anak-anak dalam memperoleh intervensi yang mungkin berguna
dalam mengurangi gejala bipolar yang mereka alami. Parameter Praktik lebih
lanjut juga melaporkan bahwa anak-anak yang didiagnosis gangguan afektif
bipolar tak-terklasifikasi memiliki tingkat gangguan komorbid yang tinggi, baik
dalam hal internalisasi maupun eksternalisasi, dan bahwa mood anak-anak ini
umumnya labil dan reaktif. Sehingga, rekomendasi ini menyiratkan bahwa
penyedia layanan kesehatan harus memahami faktor-faktor lainnya dengan jelas
(misalnya, situasi pemicu, penguat ledakan emosi, kesulitan komunikasi, dan
faktor-faktor risiko) yang dapat membantu membuat diagnosis banding gangguan
afektif bipolar (misalnya, ADHD) dan membantu dalam mengidentifikasi
diagnosa komorbid lainnya juga.
Rekomendasi ketiga yang diberikan oleh Parameter Praktik menyarankan
masalah-masalah yang terkait dengan gangguan afektif bipolar harus dikaji secara
cermat. Permasalahan tersebut diantaranya meliputi bunuh diri, gangguan
komorbid yang biasa muncul, stres psikososial, dan masalah medis. Sehingga
terjamin suatu penilaian komprehensif yang mencakup pemahaman menyeluruh
tentang kemampuan perkembangan anak, fungsi kognitif, dan kemampuan bicara
dan bahasanya (semua yang terutama penting bagi anak-anak, khususnya bagi
anak usia prasekolah). Informasi tersebut juga akan membantu rencana perawatan
yang komprehensif.
Rekomendasi terakhir dari Parameter Praktik adalah bahwa diagnosis
gangguan afektif bipolar harus digunakan dengan hati-hati pada anak-anak.
Parameter Praktik menggarisbawahi bahwa "validitas diagnostik gangguan afektif
bipolar pada anak-anak masih masih belum terbentuk". Anak-anak yang
menunjukkan masalah mood dan perilaku mungkin mengalami berbagai macam
faktor lingkungan dan biologi yang turut berperanan dalam timbulnya masalah
perilaku tersebut (misalnya, keterlambatan perkembangan, stressor psikososial,
masalah hubungan orangtua-anak, dan temperamen anak itu sendiri). Mengingat
bahwa intervensi farmakologis merupakan terapi standar untuk gangguan afektif
30

bipolar dan mengingat kurangnya penelitian tentang keselamatan dan efektivitas


intervensi ini untuk anak-anak, diagnosis gangguan afektif bipolar dan
intervensinya harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
Selain rekomendasi yang ditawarkan oleh Parameter Praktik, Baroni dkk.
juga memberikan pedoman rinci mengenai penilaian manik pada anak-anak.
Mereka menyarankan bahwa kedua orang tua dan anak-anak harus diwawancarai
bersama-sama dan secara terpisah (ketika usia mereka sudah tepat untuk
melakukannya), bahwa skrining manik harus mencakup pertanyaan tentang
periode yang berbeda dari perubahan mood dan gejala yang terkait, dan bahwa
periode waktu di mana anak-anak menunjukkan euforia atau iritabilitas harus
diketahui. Baroni dkk. juga menyarankan agar perspektif perkembangan anak
harus digunakan untuk mengevaluasi tingkat keparahan gejala dan apakah secara
klinis relevan, harus ditentukan apakah elasi/euforia yang ditunjukkan sama atau
lebih besar dari afek positif selama terjadinya peristiwa yang menimbulkan rasa
gembira (contohnya di pagi hari saat Natal), harus ditentukan apakah gejala manik
terjadi selama perubahan mood, dan harus dipertimbangkan mengenai rasa
kebesaran dengan sikap menentang apakah perilaku tersebut merupakan suatu
bentuk perubahan norma dan apakah terjadi bersama dengan munculnya gejala
baru yang lain. Yang terakhir, mereka juga menyarankan agar dibuat perbedaan
antara kurangnya kebutuhan akan tidur dengan insomnia. Dengan demikian, ada
banyak pertimbangan yang ditawarkan dalam melakukan penilaian pada anakanak dengan gangguan afektif bipolar.
Meskipun demikian, pertimbangan lain mungkin diperlukan juga. Penting
bagi anak-anak, khususnya usia prasekolah, penilaian harus menjadi proses yang
berkelanjutan dimana gejala yang dialami anak-anak dipantau dari waktu ke
waktu. Bahkan, riwayat perilaku anak-anak harus dikumpulkan sehingga dapat
dibentuk dasar perilaku anak. Dasar ini penting untuk memahami apakah
perubahan mood yang dialami anak-anak signifikan. Sebuah alat visual penting
yang diperlukan dalam proses ini adalah log mood, dimana data retrospektif dan
prospektif

tentang

perilaku

dan

gejala

anak

dapat

ditelusuri.

Juga

direkomendasikan pada saat penjadwalan penilaian anak yang dicurigai gangguan


afektif bipolar, orang tua diminta untuk melakukan log gejala anak mereka untuk
31

setidaknya dua minggu. Dengan cara seperti ini, maka pola gejala dapat
didokumentasikan. Yang terakhir adalah para dokter harus memanfaatkan
beberapa informan bila memungkinkan, karena dengan adanya beberapa informan
mungkin dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Meskipun demikian,
sangatlah penting untuk mempertimbangkan laporan orang tua, laporan ini dapat
memberikan akurasi diagnostik terbaik.
Selain itu, harus dilakukan wawancara mengenai riwayat gejala secara rinci,
termasuk karakteristik gejala dari waktu ke waktu, respon terhadap intervensi, dan
riwayat psikiatri keluarga. Informasi tersebut dapat membantu penyedia layanan
kesehatan untuk memahami lebih lanjut gejala pada anak dan apakah gejala
tersebut benar-benar menunjukkan gangguan afektif bipolar. Riwayat psikiatri
keluarga, terutama, merupakan faktor risiko penting terjadinya gangguan afektif
bipolar, dimana anak-anak dengan orang tua yang mengalami gangguan afektif
bipolar berisiko 5 kali lebih tinggi mengalami gangguan afektif bipolar daripada
anak-anak lainnya. Informasi lain yang penting untuk menilai gangguan afektif
bipolar pada anak-anak meliputi mood yang labil (misalnya, perubahan cepat
mood episodik dari gejala manik menjadi depresi dan komorbid dari gejala manik
dan depresi), gambaran psikotik yang bersifat kontekstual mood (misalnya, delusi
atau

halusinasi),

dan

perilaku

agresif

episodik

yang

bersifat

reaktif.

Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan memfokuskan penilaian gangguan


afektif bipolar pada anak-anak dengan lebih baik.
Mengenai metode penilaian yang spesifik, terdapat tulisan lainnya yang
merinci tentang metode berbasis bukti dan alat penilaian khusus bersama dengan
perangkat psikometrinya (seperti Kiddie Schedule of Affective Disorders and
Schizophrenia (KSADS), The Diagnostic Interviewing Schedule for Children
(DISC), dan The Child Manik Rating Scales). Beberapa contoh singkat akan
ditinjau di sini. Umumnya, wawancara terstruktur atau semi terstruktur digunakan
untuk membuat diagnosis untuk tujuan penelitian (dan kadang-kadang untuk
klinis). Seperti yang tercantum di atas, KSADS sering digunakan untuk tujuan ini
dengan orang tua dari anak-anak dan remaja dan kadang-kadang dengan remaja
itu sendiri. Meskipun KSADS memiliki cakupan yang luas untuk gejala bipolar,

32

dilakukannya wawancara terstruktur akan memakan banyak waktu, sehingga


biaya menjadi mahal dan kurang layak untuk situasi penilaian.
Sebagai akibat dari keterbatasan wawancara terstruktur ini, dapat digunakan
berbagai skala penilaian lainnya sebagai gantinya. Contohnya formulir skala
berbasis luas, seperti The Child Behavior Checklist (CBCL, Achenbach dan
Rescorla) dapat digunakan, terutama karena beberapa peneliti menyarankan
bahwa CBCL dapat membantu mengidentifikasi gejala bipolar pada anak-anak
melalui penggunaan berbagai sub-skala di dalamnya (yaitu subskala masalah
atensi, perilaku agresif, dan cemas-depresi ). Pilihan lainnya berpotensi lebih
berguna dan bijaksana, adalah menggunakan skala yang dibuat khusus untuk
mendeteksi gejala bipolar pada anak-anak melalui penilaian yang diberikan oleh
orang tua. Ada beberapa contoh dari skala yang memiliki perangkat psikometrik
yang baik, termasuk diantaranya adalah Parent General Behavior Inventory
(GBI), The Parent Young Manik Rating Scale (YMRS), dan The Child Bipolar
Questionnaire (CBQ). Beberapa studi yang menyarankan skala penilaian tertentu
oleh orangtua, seperti GBI dan YMRS, menimbulkan alarm palsu yang lebih
sedikit dibandingkan dengan skala berbasis luas, seperti CBCL. Meskipun
demikian, GBI dan YMRS hanya menilai gejala manik dan hipomanik, sedangkan
CBQ dikembangkan untuk menilai manik, depresif, dan gejala komorbid. Untuk
GBI dan YMRS, ada juga versi laporan-diri dari jenis skala ini untuk anak-anak
dan remaja; namun, skala tersebut mungkin memiliki banyak keterbatasan untuk
anak-anak yang lebih kecil. Secara keseluruhan, penilaian gangguan afektif
bipolar harus bersifat komprehensif dan longitudinal.
Intervensi Terapi
Setelah selesai dilakukan penilaian menyeluruh, maka pilihan intervensi
terapeutik harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Meskipun literatur tentang
intervensi yang tepat untuk anak-anak dengan gangguan afektif bipolar terus
berkembang, masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih memahami
intervensi yang dapat bekerja dengan efek terbaik bagi anak-anak. Sehingga,
beberapa pilihan yang tersedia untuk anak-anak dan remaja akan dibahas di sini

33

sebagai upaya untuk memberikan pemahaman mengenai berbagai pilihan


intervensi yang terbukti dapat efektif untuk anak-anak, terutama anak-anak
prasekolah, dan untuk meningkatkan perhatian bahwasanya masih diperlukan
penelitian lebih lanjut.

34

1. Medikasi
Meskipun intervensi psikofarmakologi dapat dianggap paling efektif
dalam pengobatan gangguan afektif bipolar, banyak informasi yang tersedia
mengenai efektivitas intervensi psikofarmokologi untuk gangguan afektif bipolar
onset masa anak-anak yang diambil dari sumber pustaka untuk pasien dewasa.
Juga hanya terdapat sedikit studi yang sudah dilakukan yang secara langsung
membahas tentang efektivitas terapi farmakologi pada anak-anak dan remaja.
Bahkan penelitian yang membahas efektivitas terapi farmakologi pada anak usia
prasekolah dengan gangguan afektif bipolar jumlahnya lebih sedikit lagi. Akan
tetapi umumnya inti dari rekomendasi peresepan obat adalah primum non nocere
(yaitu tidak membahayakan). Meskipun demikian, sangatlah penting untuk
menyelidiki lebih lanjut efek jangka panjang, efektivitas, dan efek samping dari
obat-obat ini pada anak-anak, khususnya pada anak usia prasekolah.
Terkait dengan penelitian yang ada untuk anak-anak dan remaja pada
umumnya, obat yang paling sering diresepkan untuk anak-anak dan remaja
dengan gangguan afektif bipolar adalah lithium, obat-obat antiepilepsi (yaitu,
natrium divalproat dan carbamazepine), dan obat antipsikotik atipikal (yaitu
risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole). Dari obatobatan tersebut, lithium telah disetujui oleh FDA untuk mengobati manik pada
anak usia 12 tahun dan lebih, sedangkan risperidone dan aripiprazole disetujui
untuk anak-anak usia 10 tahun dan lebih. Sebagian besar penelitian tentang anakanak dan remaja menunjukkan bahwa bila digunakan sendiri, obat-obatan ini
relatif efektif, umumnya aman, dan ditoleransi dengan baik. Meskipun demikian,
beberapa ada yang menyebutkan bahwa obat antipsikotik atipikal mungkin lebih
efektif daripada mood stabilizer (walau mungkin lebih banyak memicu efek
samping) bila digunakan pada anak dan remaja. Contohnya, Geller dkk.
melaporkan bahwa 279 anak-anak dan remaja yang berusia 6-15 tahun dan
didiagnosis gangguan afektif bipolar I menunjukkan respon yang lebih tinggi
terhadap risperidone daripada lithium dan natrium divalproat dalam suatu
penelitian terkontrol, acak, selama 8 minggu. Meskipun demikian, risperidone
dapat micu efek metabolisme yang serius.

35

Selain menggunakan satu obat dalam upaya untuk mengobati gejala


bipolar, terapi dengan obat-obatan juga menunjukkan hasil yang menjanjikan
ketika digunakan dalam kombinasi, misalnya kombinasi beberapa mood stabilizer
atau mood stabilizer ditambah dengan obat antipsikotik atipikal Findling dkk.
menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja usia 5-17 tahun yang memenuhi
kriteria gangguan afektif bipolar I atau II dapat diterapi dengan aman dan efektif
menggunakan kombinasi lithium dan natrium divalproat. Setelah anak dalam
kondisi stabil dengan kombinasi obat ini, beberapa anak-anak dan remaja bisa
terus melanjutkan pengobat baik dengan lithium atau natrium divalproat; akan
tetapi banyak anak-anak dan remaja yang mengalami kekambuhan atau efek
samping. Untuk mengkombinasikan obat-obat ini secara efektif, ditawarkan
beberapa algoritma yang secara sistematis menggunakan baik mood stabilizer
maupun antipsikotik sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak dan remaja
dan respon terapi yang mereka tunjukkan. Secara keseluruhan, hasil awal dengan
menggunakan pendekatan algoritma

ini menunjukkan keberhasilan dalam

mengurangi gejala bipolar yang terjadi pada masa anak-anak, tapi sekali lagi,
penelitian lebih lanjut masih terus diperlukan.
Dalam konteks primum non nocere, perlu dicatat bahwa meskipun obat
ini digunakan secara luas dan bermanfaat dalam mengobati gejala bipolar, obatobat ini seringkali disertai dengan efek samping yang merugikan, meliputi
gangguan gastrointestinal (misalnya, mual, muntah), sakit kepala, kognitif
menumpul, hipotiroidisme, tremor, dan efek samping ekstrapiramidal lain. Selain
itu, satu efek samping yang sangat mengkhawatirkan dan umum terjadi adalah
kenaikan berat badan. Peneliti lainnya juga mencatat adanya efek metabolik dan
risiko kardiovaskular (meskipun tidak jelas apakah risiko tersebut muncul
sebelum pemberian obat). Mengingat berbagai efek samping tersebut, disarankan
agar anak-anak dan remaja yang mendapat terapi terus dipantau secara cerma,
terutama karena efek samping ini dapat bersifat jangka panjang. Selain itu, efek
samping signifikan seperti itu juga membutuhkan pertimbangan akan alternatif
pilihan pengobatan lainnya, seperti minyak biji rami dan asam lemak omega-3.
Seringkali anak-anak dan remaja dengan gejala bipolar juga
menunjukkan gejala yang konsisten dengan kondisi komorbid lainnya , seperti
36

ADHD, gangguan perilaku disruptif, dan gangguan kecemasan. Pengobatan


gangguan ini menimbulkan kekhawatiran lain, khususnya jika kondisi komorbid
juga memerlukan intervensi dengan obat psikotropika. Yang paling sering, dokter
merekomendasikan gejala bipolar distabilkan sebelum diberikan obat tambahan
untuk mengatasi kondisi komorbid. Obat lain yang ditambahkan setelah gejala
bipolar stabil, terutama obat psikostimulan yang digunakan untuk mengobati
ADHD,

menunjukkan

hasil

yang

menjanjikan.

Secara

khusus,

garam

amphetamine campuran secara signifikan lebih efektif daripada plasebo untuk


mengobati gejala ADHD pada anak usia 6-17 tahun dengan diagnosis bipolar I.
Meskipun demikian, beberapa obat (misalnya, antidepresan) harus dipantau secara
cermat. Meskipun banyak yang menyatakan bahwa gejala bipolar yang
disebabkan antidepresan dapat terjadi walau jarang, beberapa anak dan remaja
juga dapat mengalami gejala seperti itu.
Seperti disebutkan sebelumnya, meskipun penggunaan obat psikotropika
semakin meningkat pada populasi anak prasekolah, obat ini belum diteliti secara
adekuat. Dalam penelitian terbatas yang dilakukan pada anak-anak prasekolah,
beberapa obat yang umum digunakan dan efektif pada anak-anak yang lebih tua
juga tampaknya efektif pada populasi ini. Secara khusus, beberapa studi meneliti
risperidone, olanzapine, valproate, natrium divalproat, dan carbamazepine dimana
semuanya

menunjukkan hasil yang baik. Sebaliknya, lithium mungkin tidak

seefektif obat lainnya. Penelitian lain menunjukkan bahwa obat psikostimulan


yang digunakan untuk mengobati gejala ADHD komorbid secara klinis
menimbulkan perubahan yang signifikan dalam mengubah perilaku anak-anak
prasekolah dan ditoleransi dengan baik oleh individu dalam kelompok usia ini.
Untuk memastikan hasil tersebut, perlu dilakukan penelitian acak terkontrol.
2. Intervensi Kognitif-Perilaku dan Psikososial
Meskipun rekomendasi bahwa intervensi psikoterapi dapat digunakan
sebagai terapi tambahan untuk intervensi psikofarmaka dalam menangani faktorfaktor psikososial yang mungkin menyertai gejala bipolar, penelitian yang
menyelidiki penggunaan intervensi psikoterapi pada anak dengan gangguan
afektif bipolar onset masa anak-anak masih sedikit sekali. Secara keseluruhan,
intervensi psikoterapi primer untuk gangguan afektif bipolar onset masa anak37

anak berfokus pada peranan ekspresi emosi yang tinggi di dalam keluarga
(misalnya, komentar kritis, permusuhan, dan proteksi berlebihan). Secara khusus,
intervensi psikoterapi mengemukakan bahwa perilaku ini memiliki efek yang
merugikan pada anak-anak dengan gangguan afektif bipolar dan dapat mendorong
reaksi negatif pada anak (misalnya amarah, perilaku merusak diri sendiri). Reaksi
negatif ini, nantinya akan memperberat perilaku ekspresi emosi yang jauh lebih
tinggi. Dengan demikian, banyak dari intervensi psikoterapi yang tersedia
ditujukan untuk memperbaiki gangguan komunikasi di dalam keluarga yang
mungkin memperburuk gejala bipolar dan mengajarkan pada keluarga tentang
pengelolaan/manajemen gangguan afektif bipolar melalui psikoedukasi

baik

dengan model pengaturan individu ataupun kelompok. Masalah lainnya terkait


dengan intervensi psikoterapi meliputi pencegahan rekurensi,

psikoterapi

individu, perbaikan fungsi sosial, dan perbaikan fungsi akademis.


Umumnya, penelitian menunjukkan bahwa intervensi perilaku-kognitif
layak diterapkan dan efektif pada anak-anak dan remaja dengan gangguan afektif
bipolar. Bahkan, peneliti

mulai mengembangkan program psikoterapi khusus

yang memanfaatkan kerangka teori perilaku- kognitif. Salah satu contohnya


adalah program "Berpikirlah Secara Efektif Mengenai Perubahan Mood
(TEAMS). Program ini didasarkan pada model kognitif integratif yang
menunjukkan bahwa banyak penilaian dari perubahan kondisi internal dan
dampak perubahan ini terhadap perilaku, fisiologi, dan lingkungan sebenarnya
dapat mempertahankan dan memperburuk gejala bipolar. Dengan mengatasi
penilaian positif dan negatif yang ekstrim dari perubahan kondisi internal melalui
terapi perilaku -kognitif, gejala bipolar akan semakin berkurang. Meskipun
program khusus ini hanya diuji pada sekelompok kecil orang dewasa, program
semacam ini dapat diterapkan juga pada anak-anak (dan anak usia prasekolah) jika
diadaptasikan dengan tingkat perkembangan mereka.
Terapi tambahan lainnya yang mungkin berguna untuk mengobati gejala
gangguan afektif bipolar pada anak-anak adalah adaptasi dari Dialectical
Behavior Therapy (DBT), suatu terapi yang awalnya dirancang awalnya untuk
Borderline Personality Disorder (gangguan kepribadian), mengingat fokus pada
perhatian dan gangguan keterampilan toleransi. Goldstein dkk. melakukan sebuah
38

uji terbuka selama 1 tahun tentang DBT pada remaja dengan gangguan afektif
bipolar, yaitu dengan menggunakan pelatihan keterampilan keluarga dan juga
terapi individu. Meskipun uji/penelitian terbuka yang mereka lakukan hanya
melibatkan 10 remaja, penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelayakan dan
akseptabilitas untuk menggunakan DBT tergolong tinggi dan para remaja tersebut
menunjukkan perbaikan simtomatologi yang signifikan (misalnya bunuh diri,
perilaku menyakiti diri sendiri, disregulasi emosi, dan gejaladepresi) dalam
hubungannya dengan intervensi untuk gangguan afektif bipolar.
Yang terakhir, beberapa terapi baru mulai berfokus pada kesulitan yang
dihadapi anak-anak dan remaja dengan gangguan afektif bipolar perihal ritmisitas
perilaku mereka (misalnya tidur, perilaku, dan episode mood). Salah satu terapi
seperti ini adalah Interpersonal Social Rhythm Therapy (IPSRT), suatu terapi yang
berasal dari psikoterapi interpersonal untuk intervensi depresi dan perilaku untuk
irama sosial serta dan regulasi tidur-bangun. Premis yang mendasari terapi ini
adalah bahwa individu dengan gangguan afektif bipolar perlu mengenali
hubungan antara gangguan dalam ritme sosial dengan onset episode mood yang
sebelumnya. Mereka kemudian dapat menggunakan intervensi perilaku untuk
mengurangi gejala bipolar yang mereka alami untuk memperbaiki ritme sosial dan
keteraturan tidur-bangun. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan, sehingga
IPSRT dapat menjadi terapi tambahan yang membantu terapi farmakologis,
sehingga dapat menambah interval waktu antarepisode mood, dan oleh karenanya
turut meningkatkan ritme sosial penderita bipolar.
3. Intervensi Keluarga
Selain berbagai terapi yang disebutkan diatas, intervensi keluarga juga
dapat membantu, terutama untuk keluarga yang membesarkan anak-anak dengan
gangguan afektif bipolar. Misalnya, Multifamily Psychoeducation Groups
(MFPG) dan Individual Family Psychoeducation (IFP) yang tersedia sebagai
pilihan terapi yang berpotensi membantu dalam pengobatan gangguan afektif
bipolar onset masa anak-anak. MFPG dan IFP mencakup pendidikan tentang
gejala-gejala bipolar dan manajemen gejala-gejala tersebut, meningkatkan
keterampilan komunikasi di antara anggota keluarga, dan meningkatkan dukungan
di antara anggota keluarga. MFPG dirancang untuk diterapkan dalam model
39

kelompok. Model pengaturan kelompok seperti itu memberikan kesempatan bagi


anak-anak untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka dan bagi orang tua
untuk mendapatkan dukungan dari keluarga lain. Setiap sesi dimulai dengan
semua keluarga berkumpul bersama sebelum anak-anak dan orang tua
berpartisipasi dalam kelompok keluarga mereka masing-masing. Kelompokkelompok tersebut kemudian mendiskusikan topik yang sama namun merujuk
pada kebutuhan tertentu dari masing-masing kelompok. Bagi orang tua, topiktopiknya meliputi edukasi tentang bipolar anak-anak mereka, obat-obatan,
pelayanan komunitas untuk anak-anak bipolar, komunikasi keluarga, pemecahan
masalah, dan manajemen gejala bipolar. Untuk anak-anak, informasi yang sama
juga diberikan tetapi lebih terfokus pada peningkatan keterampilan anak-anak
melalui penerapan praktik.
IFP dikembangkan sehingga kebutuhan keluarga bisa ditangani secara
individual. Protokol pengobatan ini lebih menggunakan sesi orangtua dan anak
dan (daripada menyelesaikan kedua sesi secara bersamaan). Isi dari sesi terapi
sama dengan yang ada dalam MFPG. Sebaliknya, keluarga juga diberikan
informasi tambahan mengenai kebiasaan hidup sehat (misalnya, kebersihan tidur,
nutrisi, dan olahraga). Selain itu, meskipun pengobatan ini bersifat manual,
beberapa sesi dibuat dalam bentuk protokol sehingga topik-topik dalam terapi
dapat disesuaikan dengan masing-masing keluarga. Kedua bentuk terapi ini baik
kelompok maupun individu menunjukkan penurunan gejala secara efektif pada
anak-anak usia 8-11 tahun. Dengan mengingat temuan ini, protokol pengobatan
harus diperiksa lebih lanjut untuk keluarga yang memiliki anak dengan gangguan
afektif bipolar.
Terapi

keluarga tambahan lainnya adalah protokol Family Focused

Treatment (FFT), yang diadaptasi dari pengobatan yang sudah terbukti berhasil
pada orang dewasa untuk digunakan pada remaja. Tujuan protokol terapi ini
berfokus pada meningkatkan pemahaman tentang gejala mood, meningkatkan
kepatuhan pengobatan, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan mengurangi
gangguan sosial. Sesi terapi dibagi menjadi tiga modul yang mencakup
psikoedukasi, kemampuan komunikasi, dan kemampuan memecahkan masalah.
Selama modul psikoedukasi, keluarga diberi informasi mengenai gejala,
40

penelusuran mood, dan faktor risiko. Keluarga juga membuat suatu rencana
intervensi yang sesuai untuk mempersiapkan anak-anak jika suatu saat terjadi
relaps/kambuh. Selama sesi modul komunikasi dan kemampuan memecahkan
masalah, keluarga-keluarga dibagi-bagi dengan tujuan untuk mengurangi gaya
komunikasi yang negatif dan meningkatkan kerja sama keluarga dalam
memecahkan masalah. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa terapi ini
memberikan efek pengurangan gejala yang signifikan pada remaja. Oleh karen
aitu, dengan adaptasi untuk keluarga dengan anak bipolar, protokol terapi ini
mungkin akan bermanfaat.
Contoh intervensi keluarga yang terakhir adalah The Child and Family
Focused Cognitive-Behavioral Therapy (CFF-CBT) yang dikembangkan sebagai
perpanjangan ke bawah dari FFT untuk anak (yaitu anak-anak usia 8 sampai 12
tahun) dan keluarga mereka. Protokol terapi ini menggunakan teknik perilakukognitif (misalnya, pemecahan masalah, memberikan pandangan yang positif
terhadap dirinya sendiri), teknik interpersonal, dan psikoedukasi. Sesi-sesi dibuat
hanya untuk anak-anak saja, orang tua saja, dan gabungan kegiatan anak dan
orang tua. Protokol terapi ini juga menekankan pada keterlibatan saudara dengan
memberikan informasi mengenai gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak
sebagai upaya untuk meningkatkan empati mereka untuk saudara mereka yang
mengalami gangguan afektif bipolar. Selain itu, terapis juga bekerja sama dengan
pihak sekolah anak untuk memberikan edukasi dan intervensi berbasis sekolah
yang tepat. Penelitian menunjukkan pengurangan gejala ketika protokol terapi ini
diberikan baik secara individu maupun secara kelompok. Terapi ini juga ternyata
efektif untuk anak-anak usia 6 dan 7 tahun. Manfaat ini dapat diperoleh apabila
fase pemeliharaan dimasukkan ke dalam pengobatan bipolar. Fase pemeliharaan
ini meliputi sesi booster psikoterapi dan tambahan dengan obat-obatan. Intervensi
keluarga ini dapat dilakukan dengan keluarga yang memiliki anak dengan
gangguan afektif bipolar mengingat bukti kuat yang menunjukkan efektivitas
intervensi intervensi keluarga ini.
4. Simpulan Terapi
Meskipun tidak ada intervensi yang pasti untuk digunakan pada anakanak (utamanya anak prasekolah) yang mengalami gangguan afektif bipolar,
41

banyak teknik yang dapat digunakan dalam program intervensi tersebut yang bisa
bermanfaat, terutama jika berbagai intervensi tersebut telah diubah agar lebih
dapat dikembangkan secara tepat (yaitu memperhitungkan keterbatasan kognisi,
menekankan pada lebih banyak komponen perilaku). Secara khusus, akan sangat
penting untuk jenis terapi manapun yang ditawarkan untuk melibatkan seluruh
anggota keluarga, khususnya yang mengasuh anak. Karena anak-anak begitu
sangat bergantung pada individu-individu dalam keluarga mereka, akan penting
bagi pengasuh untuk memahami sifat gangguan afektif bipolar dan diperlukan
tindakan intervensi yang efektif. Selain itu, mengingat sulitnya dalam merawat
anak-anak dengan gangguan afektif bipolar, maka mungkin pengasuh/orang tua
anak akan membutuhkan banyak dukungan emosional. Meskipun anak-anak
mungkin tidak dapat berpartisipasi dalam semua aspek perilaku-kognitif dari
terapi yang saat ini ditawarkan karena potensi terjadi keterbatasan perkembangan
kemampuan kognitif, namun anak-anak masih bisa memperoleh manfaat dari
instruksi dalam strategi regulasi emosi, keterampilan mentoleransi kesulitan, dan
informasi mengenai gangguan afektif bipolar sesuai tahap perkembangan anak.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak, khususnya anak usia
prasekolah, dapat mengelami gangguan berat dalam hal komunikasi, kehidupan
sehari-hari, dan kemampuan sosialnya, maka pelatihan tambahan melalui
intervensi perilaku dalam bidang ini tentunya akan memberikan banyak manfaat.

42

Simpulan
Meskipun kriteria DSM untuk gangguan afektif bipolar mungkin memiliki
keterbatasan dalam mendiagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak, jelas
bahwa anak-anak dapat didiagnosis dengan gangguan ini. Walaupun demikian,
untuk meningkatkan kesesuaian perkembangan kriteria diagnostik yang saat ini
tersedia untuk gangguan afektif bipolar bila digunakan pada anak-anak,
khususnya usia anak-anak usia prasekolah, harus dipertimbangkan berbagai
macam hal lainnya. Jelas bahwa subtipe-subtipe yang dikemukakan oleh
Leibenluft dkk. dan ide mengenai spektrum gangguan afektif bipolar akan sangat
bermanfaat dalam mendefinisikan gangguan afektif bipolar pada anak-anak; akan
tetapi, prevalensi gejala tertentu pada usia muda dan tingkat disregulasi emosi
anak-anak, khususnya anak prasekolah, juga harus dipertimbangkan. Seiring
dengan berbagai penyesuaian dalam kriteria diagnostik yang dibuat untuk
digunakan pada anak-anak dengan gangguan afektif bipolar, rekomendasi lanjutan
untuk melakukan penilaian dapat ditambahkan ke dalam panduan yang telah
dikeluarkan oleh Parameter Praktik dan oleh Baroni dkk. Akan tetapi, yang
terpenting adalah harus terus dilakukannya pengembangan dan identifikasi
intervensi-intervensi tersebut, baik melalui intervensi farmakologis dan/atau
intervensi perilaku-kognitif berbasis keluarga,untuk dicari yang paling efektif
dalam mengatasi gejala yang ditunjukkan oleh anak-anak dengan gangguan afektif
bipolar. Hanya melalui definisi, identifikasi, dan remediasi yang jelas mengenai
gejala-gejala bipolar dimana anak-anak dapat memperoleh manfaat yang lebih
positif karena anak-anak ini akan berproses melalui tahap perkembangannya dari
masa anak-anak, remaja dan akhirnya dewasa.

43

Anda mungkin juga menyukai