Oleh:
Devi Purnamasari
G99131003
G99131020
G99131023
Fadityo
G99131038
G99131048
Locoporta Agung
G99131049
Pembimbing:
Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ M.Kes
2014KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
jurnal dengan judul: Gangguan Afektif Bipolar pada Anak. Penulis menyadari
bahwa penulisan dan penyusunan referat jurnal ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra, MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr., M.Si
13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
14. RH. Budhi M, dr., Sp.KJ (K)
15. Maria Rini I. dr., Sp.KJ
16. Adriesti H, dr., Sp.KJ
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ
18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ
Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat
ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................
Kata Pengantar............................................................................................
ii
Daftar Isi.....................................................................................................
iii
2
Tujuan.........................................................................................................
Pendahuluan................................................................................................
Sejarah.........................................................................................................
yang saat ini digunakan untuk anak-anak, terutama anak-anak masa prasekolah,
masih belum jelas, walaupun telah dilakukan berbagai macam usaha yang
berfokus pada masalah ini. Sehingga masih terus diperlukan berbagai hal untuk
lebih memahami gejala bipolar pada anak-anak. Diharapkan tulisan ini dapat
membantu psikolog dan penyedia layanan kesehatan lainnya dalam hal literatur
terkait masalah bipolar sehingga mereka dapat meningkatkan pemahaman tentang
kriteria diagnostik dan perilaku lainnya yang mungkin relevan dengan gangguan
afektif bipolar serta dapat mengetahui berbagai pendekatan yang dapat dilakukan
untuk menilai dan merawat anak-anak dengan kriteria gangguan afektif bipolar.
Pertama, akan dibahas mengenai riwayat gejala bipolar dan kriteria diagnostik
yang digunakan saat ini. Kemudian juga akan dibahas mengenai strategi penilaian
yang dapat membantu mengidentifikasi gangguan afektif bipolar. Selanjutnya
akan membahas tentang pengobatan yang mungkin memiliki relevansi dengan
anak-anak dan keluarganya. Yang terakhir adalah kesimpulan mengenai usahausaha yang dapat dilakukan pada anak-anak yang didiagnosis dengan gangguan
afektif bipolar.
Sejarah Gangguan Afektif Bipolar
Walaupun identifikasi gejala bipolar (yaitu, depresi dan manik) masih relatif
baru pada anak, identifikasi gejala-gejala tersebut tentu bukan hal baru dalam
bidang psikiatri. Bahkan, depresi dan manik merupakan penyakit gangguan jiwa
yang pertama kali tercatat (terdokumentasi) di dunia, dengan merujuk kembali
pada sejarah Yunani kuno. Misalnya, Hippocrates menganggap melankolis (yakni
depresi) dan manik sebagai gangguan yang pertama kali dapat didiagnosis. Pada
abad pertama Masehi, seorang tabib Yunani bernama Aretaeus dari Cappadocia
menggabungkan dua kelompok gejala ini menjadi gangguan afektif bipolar
dengan menyatakan bahwa manik merupakan kondisi melankolis yang makin
memburuk (bukannya menunjukkan bahwa manik dan melankolis merupakan
kondisi yang berbeda). Dalam sebuah tulisan oleh Aretaeus yang berjudul On the
Aetiology and Symptomatology of ChronicDiseases and The Treatment of Chronic
Diseases, penderita melankolis digambarkan sebagai seseorang yang tenang atau
5
disforia dan sedih atau apatis, dan penderita manik digambarkan sebagai orang
yang ceria. Referensi lainnya tidak ada yang menghubungkan antara melankolis
dan manik sampai abad 17; akan tetapi, Theophile Bonet mulai menggunakan
istilah melancholicus manik pada tahun 1679 dan Willis menyebut melankolis dan
manik sebagai gangguan mengoceh (distempers of raving) dalam tulisannya.
Setelah kemunculan beberapa referensi awal tadi mengenai gejala bipolar,
perkembangan dalam klasifikasi gangguan afektif bipolar tidak terjadi sampai
abad 19. Pada tahun 1851, dibuat referensi baru tentang gangguan afektif bipolar.
Pada waktu itu, psikiater dari Perancis bernama Jean-Pierre Falret memunculkan
konsep bahwa gangguan afektif bipolar bersifat siklik (bersiklus) secara alami,
mengacu pada fenomena yang disebut sebagai folie circulaire (yaitu kegilaan
bersiklus). Falret menjabarkannya sebagai episode manik dan melankolis yang
terpisah oleh interval waktu tanpa/bebas gejala. Pada tahun 1854, psikiater
Perancis bernama Jules Baillarger juga memaparkan gejala manik dan melankolis
yang bersiklus (yaitu folie a double forme), tapi tanpa adanya interval bebas
gejala. Meskipun Falret dan Baillarger tidak sepaham mengenai sifat dan proses
siklis yang pasti dari gangguan afektif bipolar, mereka berdua sepakat bahwa
diagnosis dan prognosis gangguan ini adalah "putus asa, mengerikan, dan tidak
dapat disembuhkan". Pemikiran awal ini memungkinkan diagnosis gangguan
afektif bipolar dapat diterima di seluruh Eropa kala itu.
Selama akhir abad 19 dan awal abad 20, Emil Kraepelin melakukan
pendekatan yang menyatukan klasifikasi gangguan mood, dan gangguan afektif
bipolar dimasukkan dalam kategori gangguan jiwa manik-depresif (MDI, manicdepressive insanity). MDI meliputi gangguan jiwa bersiklus dan gangguan
unipolar (misalnya, depresi episode tunggal dan depresi berulang). Tidak seperti
deskripsi gejala bipolar yang disebutkan sebelumnya, diagnosis MDI ini memiliki
prognosis yang baik. Walaupun Kraepelin menyatakan bahwa gangguan afektif
bipolar merupakan penyakit mental yang berat, ia juga menyebutkan bahwa
individu dengan diagnosis gangguan afektif bipolar mengalami kondisi residual
ringan setelah pemulihan dari episode tunggal dan fluktuasi ringan antara episode
bipolar. Perlu dicatat bahwa Kraepelin mengacu pada kemungkinan depresi manik
yang terjadi pada anak-anak, walaupun jarang terjadi.
6
gangguan
afektif
minat
bipolar
dalam
pada
memahami
anak-anak
dan
mengalami
untuk
mendiagnosis
manik
pada
anak-anak,
dengan
diagnosis yang sangat berbeda untuk kumpulan gejala yang sama seperti yang
sudah disebutkan sebelumnya, yang mendorong munculnya kriteria diagnosis
operasional untuk gangguan ini. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
temuan tersebut masih sama/konsisten, dimana penelitian yang menggunakan
sketsa kasus menunjukkan bahwa tenaga kesehatan jiwa yang ada di Amerika
Serikat masih lebih cenderung menggunakan diagnosis gangguan afektif bipolar
daripada yang di Inggris.
Maka kemudian dikembangkan suatu susunan wawancara yang terstruktur
dan semiterstruktur, dan peneliti mulai lebih bergantung pada kriteria standar
untuk mendiagnosis, menggunakan gejala-gejala seperti yang ada dalam Kriteria
Diagnostik Penelitian dan Pedoman Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental.
Seiring dengan semakin pentingnya kriteria definisi dan makin kurangnya
spesifisitas definisi episode dalam DSM-III-R, diagnosis gangguan afektif bipolar
menjadi simtom mulai muncul pada tahun 1987. Sebaliknya, gangguan afektif
bipolar awalnya muncul dalam International Classification of Diseases (ICD)
sebagai gangguan dalam istilah yang lebih luas dan terfokus pada keseluruhan
episode atau perjalanan penyakit. Dengan demikian, dibutuhkan kejelasan yang
lebih jelas lagi.
Gangguan Afektif Bipolar Dalam DSM-IV-TR
Sampai saat ini, kriteria yang dijelaskan dalam DSM-IV dan DSM-IV-TR
digunakan untuk mendiagnosis gangguan afektif bipolar di Amerika Serikat,
dimana gangguan afektif bipolar digolongkan sebagai gangguan mood (mirip
dengan rubrik yang diusulkan oleh Kraepelin). Bahkan, ada beberapa diagnosis
yang berbeda dalam pengelompokan diagnosis bipolar DSM-IV-TR, semuanya
berhubungan dengan munculnya episode manik, campuran, atau hipomanik. Suatu
episode manik diidentifikasi jika individu mengalami episode mood yang
meningkat, meluas, atau mudah tersinggung yang berlangsung selama setidaknya
satu minggu (durasi bisa kurang dari satu minggu jika diperlukan rawat inap).
Episode ini disertai oleh tiga atau lebih gejala (dari tujuh gejala yang ada) ketika
mood seseorang meningkat atau meluas dan oleh empat atau lebih gejala ketika
siklotimia, dimana pada kasus orang dewasa harus menunjukkan pola ini untuk
setidaknya dua tahun lamanya dan pada anak-anak setidaknya selama satu tahun.
Kategori gangguan afektif bipolar tak-terklasifikasi digunakan ketika seseorang
mengalami gejala bipolar tapi tidak dapat dimasukkan secara jelas/pasti ke dalam
kategori-kategori yang ada disini.
Gangguan afektif bipolar Dalam DSM-5
Dengan dikeluarkannya DSM-5 pada Mei 2013, sekarang dapat dilihat bahwa
kriteria diagnostik gangguan afektif bipolar terlihat mirip dengan yang terdaftar
dalam DSM-IV-TR. Dalam DSM-5, episode depresi, manik, dan hipomanik
diidentifikasi menggunakan kriteria seperti yang dijelaskan di atas. Sebaliknya,
gejala episode campuran sekarang diganti dengan specifier gambaran campuran
(specifier yang dapat digunakan dengan episode mood yang manapun). Specifier
ini digunakan ketika individu mengalami kriteria penuh episode manik dan tiga
gejala episode depresi atau ketika individu mengalami kriteria penuh episode
depresi dan tiga gejala episode manik. Adaptasi ini (yaitu, specifier gambaran
campuran) memungkinkan untuk diagnosis yang lebih mudah pada anak-anak.
Berkenaan dengan diagnosis-diagnosis itu sendiri, DSM-5 juga mencakup
gangguan afektif bipolar I, gangguan afektif bipolar II, dan siklotimia. Seperti
dalam DSM-IV-TR, individu harus mengalami satu atau lebih episode manik
untuk didiagnosis gangguan afektif bipolar I, dan individu harus mengalami satu
atau lebih episode depresi dan satu atau lebih episode hipomanik (tapi bukan
episode manik apapun) untuk didiagnosis gangguan afektif bipolar II. Selain
diagnosis-diagnosis lama ini, juga terdapat daftar untuk gangguan afektif bipolar
yang dipicu atau terkait zat/obat, gangguan afektif bipolar terkait kondisi medis
lain, gangguan afektif bipolar lainnya, dan gangguan afektif bipolar takterklasifikasi, yang lebih memungkinkan untuk membuat diagnosis yang tepat.
Gejala Lain yang terkait pada Anak
Pada titik ini, harus jelas bahwa para peneliti telah mengidentifikasi
pengalaman gangguan afektif bipolar pada anak-anak dan bahwa kriteria DSM
digunakan untuk mendiagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak.
11
Meskipun demikian, gangguan afektif bipolar masih dianggap langka terjadi pada
anak-anak oleh banyak peneliti, dengan beberapa peneliti melaporkan bahwa
banyak diagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak yang diabaikan karena
kurangnya kejelasan kriteria diagnostik dan kekhawatiran tentang validitas
diagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak. Sebagai contoh, meskipun
anak-anak dalam suatu sampel yang terdiri dari 36 anak prasekolah yang dirawat
di rumah sakit usia 3 sampai 5 tahun menunjukkan mood yang mudah marah,
memiliki bukti riwayat keluarga yang kuat dengan penyakit afektif, dan telah
menunjukkan gejala ADHD sebelumnya, hanya 17% diantara mereka yang
didiagnosis dengan gangguan afektif bipolar. Selain itu, mengingat bahwa ada
beberapa perbedaan dalam hal perkembangan manifestasi gangguan afektif
bipolar antara yang onset dewasa dengan onset masa anak-anak (misalnya, pada
anak-anak lebih menunjukkan gejala campuran), banyak anak-anak salah
didiagnosis. Kesulitan mendiagnosis seperti ini tentu banyak menimbulkan
masalah, karena diagnosis yang akurat sangat penting untuk menghindari
pemberian/paparan medikasi yang tidak perlu. Bahkan, diagnosis gangguan
afektif bipolar tak-terklasifikasi seringkali digunakan, terutama ketika anak-anak
tidak menunjukkan seluruh kumpulan gejala atau memenuhi kriteria durasi gejala
yang ditentukan.
Meskipun demikian, perjalanan gejala gangguan afektif bipolar pada anak
diharapkan akan menjadi lebih jelas karena lebih banyak peneliti mulai
memeriksa masalah ini. Misalnya, Birmaher dkk. yang melakukan studi
longitudinal selama 4 tahun tentang gejala bipolar pada anak-anak dan remaja usia
7-17 tahun dan yang menunjukkan beberapa gejala bipolar. Dalam penelitian ini,
dibuat diagnosis gangguan afektif bipolar tak-terklasifikasi jika seorang anak
menunjukkan gejala bipolar yang relevan secara klinis yang tidak memenuhi
kriteria untuk gangguan afektif bipolar I atau gangguan afektif bipolar II.
Berdasarkan temuan mereka itu, sebagian besar anak-anak yang telah didiagnosis
gangguan afektif bipolar (81,5%) mengalami pemulihan penuh dari gejala selama
2,5 tahun setelah episode indeks mereka, meskipun 62,5% dari anak-anak ini
mengalami kekambuhan gejala sindromal selama 1,5 tahun. Kebanyakan dari
12
anak-anak dengan gejala berulang ini, mereka mengalami gejala depresi atau
gambaran gejala campuran, dengan frekuensi gejala manik yang lebih rendah.
Sejumlah anak-anak dikeluarkan dari kelompok gangguan afektif bipolar takterklasifikasi dan dimasukkan dalam golongan gangguan afektif bipolar I atau
gangguan afektif bipolar II (38%) dan dari gangguan afektif bipolar II menjadi
gangguan afektif bipolar I (25%). Selain meneliti tentang perjalanan gejala
gangguan afektif bipolar dalam studi ini, Birmaher dkk. mengidentifikasi
beberapa prediktor, termasuk onset awal gejala, diagnosis gangguan afektif
bipolar tak-terklasifikasi, durasi lamanya penyakit, riwayat keluarga dengan
gangguan mood, dan status sosial ekonomi yang rendah.
Mengingat pertimbangan-pertimbangan tersebut, tentunya merupakan suatu
hal yang menantang untuk mengidentifikasi gangguan afektif bipolar (juga gejala
prodromal dan penanda awal dari gangguan afektif bipolar) pada anak-anak.
Mengingat kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak (terutama anak-anak
prasekolah) dalam mengunkapkan emosi mereka secara verbal dan dalam
mengenali serta menjelaskan perilaku mereka sendiri, peneliti mungkin seringkali
harus bergantung pada laporan dari orang tua atau informan lainnya dan harus
mempertimbangkan
rekomendasi
penilaian
berbasis
bukti. Akan
tetapi,
and
Schizophrenia
(K-SADS)
sebaiknya
digunakan
untuk
14
lainnya. Selain itu, mood euforik dan rasa kebesaran harus muncul. Selanjutnya,
Wozniak dkk. menekankan bahwa rasa mudah marah yang berat merupakan
kondisi mood yang dominan dan rasa kebesaran tidak muncul secara dominan
pada gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak ini. Sehingga, meskipun
banyak usaha perlu dilakukan terkait dengan deskripsi yang mungkin membantu
dalam mendiagnosis gejala bipolar, baru sedikit konsensus yang telah dilakukan.
2. Durasi Gejala Manik
Walaupun terdapat berbagai pemikiran mengenai gejala-gejala berbeda
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan afektif bipolar pada anakanak, para peneliti juga mencatat bahwa lamanya/durasi gejala bipolar harus
diperhitungkan secara hati-hati. Walaupun anak-anak mungkin memenuhi kriteria
gejala DSM untuk gangguan afektif bipolar atau menunjukkan pola berarti
menggunakan salah satu rubrik yang telah disebutkan dia atas, alasan yang paling
memungkinkan mengapa anak-anak jarang terdiagnosis gangguan afektif bipolar
adalah karena mereka tidak memenuhi kriteria durasi DSM untuk hipomanik dan
manik. Permasalahan dengan durasi kriteria ini juga dapat terjadi pada orang
dewasa. Namun, anak-anak tampaknya seringkali menunjukkan fluktuasi gejala
mood yang sangat cepat, khususnya ketika gejala yang mereka alami juga disertai
dengan gangguan lainnya (komorbid).
Untuk lebih mengklasifikasikan gejala-gejala ini berdasarkan durasinya,
Suppes dkk. merubah definisi bersiklus cepat dari Kramlinger dan Post. Secara
khusus, mereka mendefinisikan bersiklus cepat sebagai pengalaman episode
mood sebanyak lebih dari 4 kali dalam setahun, bersiklus sangat cepat sebagai
pengalaman episode mood sebanyak lebih dari 4 kali dalam sebulan, dan
bersiklus ultraradian sebagai pengalaman episode mood sebanyak lebih dari 1
kali sehari selama setidaknya 4 hari dalam seminggu. Umumnya, satuan tugas dari
International Society for Bipolar Disorders (ISBD) menemukan dukungan untuk
definisi terkini dari bersiklus cepat. Penelitian terbaru juga mendukung adanya
bersiklus sangat cepat dan bersiklus ultraradian pada anak-anak; namun,
satuan tugas ISBD menyarankan pendekatan dimensional terhadap bersiklus
sangat cepat dan terhadap batasan antara bersiklus sangat cepat dan episode
campuran. Kemudian, Leibenluft dkk. mengusulkan bahwa suatu episode secara
15
teoritis dapat bertahan hanya beberapa jam tetapi episode seperti itu seringkali
diabaikan mengingat sulitnya dalam menentukan rentang waktu jam daripada hari
atau minggu. Dalam konteks temuan tersebut, Axelson dkk. mengusulkan bahwa
kriteria durasi episode manik dan hipomanik mungkin tidak sesuai untuk anakanak. Meskipun demikian, penggunaan definisi umum dari remisi untuk episodeepisode tertentu tersebut (misalnya setidaknya 4 minggu dengan gejala depresif
atau manik tidak lebih dari dua) dapat membantu. Dengan demikian, durasi dan
frekuensi kondisi mood pada anak-anak harus diperiksa dengan teliti.
3. Neurobiologi Gangguan afektif bipolar
Walaupun studi pencitraan telah menunjukkan beberapa pemahaman baru
mengenai patofisiologi gangguan afektif bipolar pada orang dewasa (meskipun
pemahaman ini didasarkan pada berbagai macam hasil studi pada orang dewasa),
hanya sedikit yang diketahui tentang patofisiologi angguan bipolar pada anakanak. Berdasarkan penelitian yang sedang dilakukan baru-baru ini, tampaknya ada
beberapa area target di otak yang diduga berperanan dalam menimbulkan gejala
bipolar pada anak-anak dan remaja. Serupa dengan penelitian pada orang dewasa
yang menunjukkan peranan dari area subkorteks pada gangguan afektif bipolar,
penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja dengan gangguan
afektif bipolar familial memiliki volume amigdala yang relatif lebih kecil daripada
anak-anak dan remaja dalam kelompok kontrol. Meskipun beberapa studi
menunjukkan bahwa anak-anak dengan gangguan afektif bipolar memang
memiliki perbedaan volume hippocampus, kaudatus, atau thalamus dengan
kelompok kontrol yang sehat, penelitian lainnya menunjukkan bahwa volume
amigdala yang lebih kecil dapat pula disertai dengan volume hippocampus yang
lebih kecil pada anak-anak dengan gangguan afektif bipolar. Chang dkk. juga
mencatat bahwa ada hubungan antara riwayat penggunaan lithium dan valproate
di masa lalu dengan volume substansia grisea yang lebih besar di amigdala.
Studi-studi lain juga menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja dengan
gangguan afektif bipolar familial mungkin mungkin memiliki kelainan yang
mendasari dalam regulasi sirkuit prefrontal-subkorteks. Misalnya, Chang dkk.
menemukan bahwa anak-anak dan remaja dengan gangguan afektif bipolar
familial menunjukkan aktivasi yang lebih besar pada korteks singulata anterior
16
bilateral, putamen kiri, thalamus kiri, korteks prefrontal dorsolateral kiri dan girus
frontalinferior kanannya selama proses visuospasial, sedangkan anak-anak dan
remaja pada kelompok kontrol menunjukkan aktivasi yang lebih besar pada
vermis serebelumnya. Studi lainnya juga melaporkan bahwa anak-anak dan
remaja yang mengalami setidaknya satu episode manik atau hipomanik
mengalami penurunan volume substansia grisea pada korteks prefrontal
dorsolateral kiri, akumben kiri, dan amigdala kirinya dan bahwa remaja dengan
gangguan afektif bipolar mengalami penurunan volume girus temporalis superior
kirinya. Secara keseluruhan, peranan korteks singulata anterior bilateral dan
korteks prefrontal dorsolateral tidaklah terduga, mengingat kemungkinan peranan
mereka dalam regulasi mood dan atensi yang normal. Masih dibutuhkan lebih
banyak usaha untuk memperjelas neurobiologi gangguan afektif bipolar pada
anak-anak dan remaja.
4. Diagnosis-diagnosis Penyerta (Komorbid)
Selain masalah terkait durasi gejala, frekuensi kondisi mood, dan
neurobiologinya, kumpulan gejala-gejala penyerta yang terjadi bersamaan dengan
gangguan afektif bipolar pada anak-anak mungkin memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut. Diagnosis bandingnya mungkin sulit mengingat bahwa gangguan afektif
bipolar dan diagnosis-diagnosis lainnya meliputi gejala-gejala yang biasanya
terjadi pada anak-anak (misalnya, lekas marah). Sebagai contoh, ketika anak-anak
menunjukkan mood yang tidak normal, lekas marah, dan hiperaktif, ada
perbedaan besar diantara pada penyedia layanan kesehatan tentang diagnosis yang
paling tepat. Diskusi mengenai diagnosis dan gejala komorbid dapat dibantu oleh
keempat subtipe gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak yang dijelaskan
oleh Leibenluft dkk. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, subtipe-subtipe
tersebut merupakan narrow subtype, dua intermediate subtype (juga disebut
sebagai manik tak-terklasifikasi (episode pendek, gejala khas) dan manik yang
mudah tersinggung/irritable manic (episode dengan durasi penuh, tidak ada gejala
khas)), dan broad subtype.
Seperti yang telah disebutkan, narrow subtype dapat digunakan untuk
menggambarkan anak-anak yang memenuhi seluruh kriteria diagnostik DSM-IVTR untuk manik, termasuk kriteria durasi dan karakteristik gejala manik
17
kriteria
episode
manik
tapi
masih
menunjukkan
gejala
bipolar, karena penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar gejala umum dari
gangguan afektif bipolar adalah "energi yang berlebihan, penurunan kebutuhan
untuk tidur, gangguan elasi, dan hiperseksualitas serta agresi dan mudah
tersinggung. Sehingga banyak peneliti yang mulai memeperhatikan tumpang
tindihnya antara gangguan afektif bipolar dengan ADHD dan antara gangguan
afektif bipolar dengan ODD. Secara khusus, Leibenluft dkk. menyatakan bahwa
banyak gejala dalam gangguan afektif bipolar (misalnya, berbicara berlebihan,
impulsif, memiliki penilaian yang buruk, lekas marah, sering berlari-lari atau
memanjat secara berlebihan, dan mudah teralihkan) yang kurang spesifik untuk
gangguan afektif bipolar dan juga ditemukan muncul pada kasus ADHD. Selain
itu, bagi para peneliti yang menyatakan bahwa manik dapat menjadi kronis (sudut
pandang minoritas), mungkin akan sulit untuk membedakan gangguan afektif
bipolar dengan ADHD jika penyedia layanan kesehatan mencari episode atau
perubahan mood yang spesifik.
Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Wozniak dkk.
memberikan pengenalan yang lebih luas dan baik mengenai kemiripan antara
ADHD dan gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak. Mereka menyatakan
bahwa anak-anak dengan ADHD yang menunjukkan kemarahan, penentangan,
dan perilaku hiperaktif dalam studi mereka juga memenuhi kriteria DSM untuk
gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak. Mereka menyarankan agar
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah anak-anak tersebut
mengalami ADHD, gangguan afektif bipolar, atau keduanya. Selain itu, Luby dkk.
mengungkapkan bahwa suatu hal yang menantang bagi para dokter untuk
membedakan perilaku menentang (sering ditemukan pada ODD) dengan rasa
kebesaran dan mood euforia yang dialami anak dengan gangguan afektif bipolar.
Sehingga, mereka mengusulkan bahwa penyedia layanan kesehatan harus
menentukan apakah perilaku menentang tersebut bersifat umum atau spesifik
untuk membantu dalam membedakan keduanya.
Selain ADHD dan ODD, Luby dan Belden juga menyebutkan bahwa
anak-anak prasekolah dengan gangguan afektif bipolar mengalami depresi dan
gejala komorbid lain yang lebih parah dibandingkan anak-anak prasekolah dengan
gangguan depresi mayor. Meskipun demikian, gejala-gejala ini juga muncul pada
19
dan
yang terdiri atas mood yang meningkat secara tidak normal, meluas, atau mudah
marah/tersinggung. Bahkan, rasionalitas terkait intermediate subtype yang
dijelaskan di atas adalah bahwa iritabilitas tidalah patognomonik untuk gangguan
afektif bipolar melainkan umum terjadi dalam psikopatologi masa anak-anak (dan
juga dapat terjadi pada masa perkembangan anak-anak). Misalnya, perasaan lekas
marah mungkin muncul pada setidaknya 6 gangguan di masa kanak-kanak
(misalnya, gangguan depresi mayor, GAD, gangguan stres pasca trauma, ADHD,
ODD, gangguan perilaku). Akibatnya, akan sangat penting untuk menentukan
apakah iritabilitas anak-anak merupakan bagian dari gangguan afektif bipolar atau
gangguan lainnya.
Jelas, beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritabilitas merupakan
penanda penting dalam gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak karena
mungkin merupakan tanda keparahan gangguan yang dialami anak. Sebagai
contoh, Biederman dkk. menyatakan bahwa iritabilitas pada anak-anak dengan
gangguan afektif bipolar "sangat parah, menetap, dan sangat mengganggu, dan
seringkali berhubungan dengan tindak kekerasan. Kemudian, dalam studi metaanalisis yang dilakukan oleh Kowatch dkk., disebutkan bahwa 81% dari anakanak dengan gangguan afektif bipolar mengalami iritabilitas. Meskipun demikian,
mengingat bahwa tidak ada diagnosis DSM yang menjelaskan simtomatologi ini,
maka dibutuhkan perhatian lebih dalam mengklasifikasikan gejala ini. Secara
khusus, agar gejala iritabilitas dapat bermanfaat dalam membuat diagnosis
gangguan afektif bipolar, maka diperlukan definisi iritabilitas dalam konteks
episodisitas dan kronisitasnya. Saat ini, DSM tidak tidak mendefinisikan
iritabilitas, sehingga sulit bagi penyedia pelayanan kesehatan untuk secara jelas
mengidentifikasi gejala ini pada anak-anak. Akan tetapi, definisi lainnya memang
ada dalam literatur. Misalnya, K-SADS mendefinisikan iritabilitas sebagai
"kemarahan, mudah tersinggung, kemarahan yang buruk atau singkat, kebencian
atau jengkel, sensitif atau mudah terganggu". DISC (Doagnostic Interview
Schedule for Children) mendefinisikan iritabilitas sebagai "ngambek, marah
terhadap orang-orang tanpa alasan, atau penuh amarah". The Childrens
Depression Rating Scale juga mendefinisikan iritabilitas sebagai "marah-marah,
22
pemarah, lancang, tidak akan melakukan sesuatu yang disuruh oleh orang tuanya.
Namun demikian, memang sulit untuk mengidentifikasi gejala ini secara pasti.
Para peneliti lainnya menekankan pentingnya iritabilitas dalam
menegakkan diagnosis gangguan afektif bipolar agar lebih konsisten dengan
usulan dari Wozniak dkk. Dalam kasus-kasus tertentu, diagnosis gangguan afektif
bipolar akan direkomendasikan apabila anak memenuhi kriteria DSM dengan
iritabilitas sebagai gejala inti dan tanpa disertai adanya euforia, rasa kebesaran dan
episodisitas. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin tidak
ada banyak perbedaan antara anak-anak yang mengalami iritabilitas episodik
dengan anak-anak yang mengalami euforia episodik. Studi yang dilakukan oleh
Hunt dkk mencatat bahwa kedua kelompok anak-anak ini tidak berbeda dalam hal
angka gejala psikiatrik komorbidnya, keparahan atau lamanya gangguan, atau
riwayat keluarga dengan manik. Perbedaan utama antara kedua kelompok ini
adalah anak-anak yang mengalami iritabilitas memiliki gejala depresi dan
penyalahgunaan alkohol yang lebih sering dan anak-anak yang mengalami euforia
lebih banyak mengalami gejala manik. Peneliti lainnya sering menggunakan
gabungan dari rekomendasi ini dengan mempertimbangkan iritabilitas sebagai
gejala inti hanya jika gejala iritabilitas tersebut disertai dengan mood yang
meningkat atau rasa kebesaran. Mengingat ketidakkonsistensian tersebut, perlu
dilakukan penelitian lainnya untuk lebih memperjelas pentingnya gejala
iritabilitas, rasa kebesaran, dan euforia dalam menegakkan diagnosis gangguan
afektif bipolar pada anak-anak.
6. Regulasi Emosi
Meskipun belum diuji secara luas dalam konteks gangguan afektif
bipolar pada anak-anak, (dis)regulasi emosi juga bisa membantu dalam
menggambarkan gejala bipolar yang dialami anak-anak. Mereka yang didiagnosis
dengan gangguan afektif bipolar jelas mengalami kesulitan dalam regulasi emosi
mereka. Hal ini terjadi terutama pada anak-anak prasekolah, sebuah populasi yang
baru-baru ini mendapat banyak perhatian dan perdebatan mengenai diagnosis
gangguan afektif bipolar. Untuk contohnya, meskipun ada perbedaan utama antara
subtipe gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak diusulkan oleh Leibenluft
dkk., anak-anak di setiap subtipe ini masih mengalami gangguan regulasi emosi
23
yang sama. Sehingga, disregulasi emosional dapat dilihat sebagai suatu gambaran
penting dari gangguan afektif bipolar, sambil juga mempertimbangkan perubahan
energi dan gangguan kognitif yang dapat menyertai gambaran gangguan afektif
bipolar.
Meskipun Leibenluft dkk. mengonsepkan gangguan afektif bipolar onset
masa anak-anak memiliki beberapa fenotip, fenotipe ini juga dapat dipandang ada
dalam suatu spektrum (mirip dengan spektrum yang sekarang digunakan untuk
perkembangan gangguan pervasif). Dimana yang terletak di salah satu ujung
spektrum bipolar tersebut adalah narrow subtype, yang ditandai oleh gejala manik
dan depresi klasik yang biasanya muncul pada orang dewasa. Pada sisi lain dari
spektrum bipolar tersebut adalah broad subtype, yang ditandai dengan gangguan
yang sangat berat, kronis, dan iritabilitas non-episodik. Spektrum bipolar seperti
ini akan dapat menunjukkan bahwa gangguan afektif bipolar terdiri dari berbagai
derajat, tingkat keparahan, dan gambaran disregulasi emosional dan gejala
lainnya. Umumnya, suatu hal yang menguntungkan bagi penyedia layanan
kesehatan untuk menggunakan spektrum bipolar pada anak-anak karena sebuah
kelompok kategori diagnosis bipolar tertentu mungkin tidak dapat mencakup
semua anak-anak yang membutuhkan pengobatan gejala bipolar, terutama jika
mereka tidak sesuai dengan kriteria yang pasti. Jadi, meskipun regulasi emosi
tidak ditujukan atau masuk secara eksplisit di dalam DSM-5, mungkin akan
bermanfaat untuk meneliti regulasi emosi ketika kita mempertimbangkan
diagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak. Meskipun demikian, Luby
dan Belden menyatakan bahwa regulasi emosi sulit untuk dioperasikan dan
dikuantifikasi.
Dengan demikian, untuk mendiskusikan mengenai regulasi emosi dalam
konteks gangguan afektif bipolar pada anak-anak, maka akan diperluka suatu
definisi. Dalam arti yang paling dasar, regulasi emosi melibatkan kemampuan
individu untuk mengontrol reaksi, afek, emosi, dan mood mereka. Selain itu,
Dickstein dan Leibenluft menjelaskan secara lebih rinci bahwa regulasi emosi
terdiri dari tiga proses utama, meliputi kemampuan untuk mendeteksi stimulus di
lingkungan, menghasilkan respon emosional, dan untuk memproses atau
mengendalikan emosi. Jika dinyatakan secara sederhana, jelas bahwa anak-anak
24
emosi
merupakan
bagian
dari
perkembangan masa kanak-kanak yang khas dan terjadi pada semua anak pada
waktu-waktu tertentu. Meskipun demikian, disregulasi emosi dapat menjadi suatu
indikasi gangguan jika disregulasi emosi yang terjadi justru mengganggu fungsi
kehidupan dari si anak, tidak sesuai dengan usia anak, dan tidak sesuai dengan
pengaruh situasi atau lingkungan dialami anak. Apabila disregulasi emosi
dibicarakan dalam konteks perkembangan anak-anak, maka disregulasi emosi
mungkin dapat menjadi pertimbangan yang berguna dalam konteks gangguan
afektif bipolar pada anak-anak. Bahkan, Luby dan Belden menyatakan bahwa
sebenarnya ada dua bentuk disregulasi emosi yang penting gangguan afektif
bipolar onset masa anak-anak. Bentuk yang pertama dapat digambarkan sebagai
underregulation dan hal ini jelas ketika anak-anak tidak dapat mengatur emosi
mereka dengan cukup. Dalam bentuk disregulasi ini, emosi anak menjadi tidak
terkendali. Underregulation emosi juga berhubungan dengan disinhibisi perilaku,
di mana anak-anak mengalami kesulitan dalam mengendalikan dan memodifikasi
perilaku mereka yang tidak pantas/sesuai dan menjadi impulsif, tidak dapat
25
menahan diri, pendekatan yang tinggi, dan disinhibisi perilaku serta pembicaraan
dalam situasi baru. Underregulation emosi dan disinhibisi perilaku dapat
menyebabkan masalah eksternalisasi pada anak-anak, bahkan pada anak-anak usia
muda. Sebaliknya, bentuk kedua dari disregulasi emosi dapat digambarkan
sebagai overregulation dan hal ini jelas terjadi ketika anak-anak mengatur mereka
emosi mereka terlalu berlebihan. Akibatnya, emosi mereka menumpul. Luby dan
Belden menyatakan bahwa overregulation emosi juga berhubungan dengan
inhibisi perilaku dan dapat menyebabkan masalah internalisasi pada anak-anak,
bahkan pada anak usia muda. Secara keseluruhan, Hirshfeld-Becker dkk.
menyebutkan bahwa melakukan pemeriksaan atas hubungan yang tumpang tindih
antara regulasi emosi dengan inhibisi dan disinhibisi perilaku akan menjadi
bidang penelitian yang bermanfaat di masa depan.
Tentu saja, membahas dampak dari kedua disregulai emosi diatas tentu
mengingatkan akan gambaran khas dari gangguan afektif bipolar pada anak-anak.
Gangguan afektif bipolar dicirikan baik oleh perasaan/mood tinggi (manik) dan
rendah (depresi), yang masing-masing seringkali ditunjukkan oleh anak-anak
sebagai perilaku eksternalisasi dan internalisasi. Luby dan Belden mengonsepkan
gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak sebagai gabungan dari
underregulation emosi dan overregulation emosi yang berkontribusi terhadap
perilaku bermasalah tersebut. Mereka menyatakan bahwa masalah eksternalisasi
pada
anak-anak
(terutama
anak
usia
muda)
merupakan
akibat
dari
menciptakan
perasaan
senang.
Gambaran
simultan
dari
perilaku
26
gangguan afektif bipolar yang lebih klasik pada anak-anak. Sebagai contoh, anakanak mungkin mengalami underregulation emosi yang bervalensi positif
(misalnya, kebahagiaan), sehingga mengakibatkan elasi atau karakteristik manik
dengan mood meningkat/meluas pada orang dewasa .
Meskipun penelitian kini dilakukan dengan mulai mempertimbangkan
disregulasi emosi sebagai gejala gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak,
disregulasi emosi juga dapat menjadi gambaran yang menonjol pada banyak
gangguan anak lainnya (misalnya, ADHD, ODD, CD) .Oleh karena itu, penyedia
layanan kesehatan masih harus berhati-hati ketika memeriksa anak-anak yang
mereka duga mengalami gangguan dalam spektrum bipolar karena mengalami
kesulitan dalam regulasi emosinya. Gejala disregulasi emosi saja, tentunya tidak
cukup untuk mendiagnosis anak dengan gangguan afektif bipolar (atau gangguan
lainnya). Beberapa peneliti menyatankan bahwa disregulasi emosi dan disinhibisi
perilaku mungkin merupakan penanda awal terjadinya gangguan afektif bipolar.
Meskipun diagnosis tidak dapat dibuat hanya berdasarkan pada adanya penanda
awal atau prodromal, bukti-bukti tersebut memungkinkan penyedia layanan
kesehatan untuk mengamati anak-anak yang paling mungkin berisiko karena
disregulasi emosi dan memantau gejala bipolar yang nantinya mungkin muncul.
Pemantauan tersebut juga akan memungkinkan para peneliti untuk melakukan
studi longitudinal di bidang disregulasi emosi dan gejala bipolar.
Untuk lebih berfokus dalam membahas hal ini, reaktivitas emosional
mungkin merupakan komponen penting dari disregulasi emosi. Bahkan, anakanak dengan gangguan afektif bipolar tampaknya mengalami kesulitan dengan
peningkatan reaktivitas emosi. Chang dkk. mengemukakan bahwa anak-anak yang
beresiko menderita gangguan afektif bipolar juga mengalami kesulitan dalam
reaktivitas emosi mereka. Mereka menemukan bahwa anak-anak dari orang tua
yang memiliki gangguan afektif bipolar menunjukkan kesulitan dengan reaktivitas
emosi dengan terus menunjukkan kemarahan atau depresi meskipun dihibur oleh
individu lain. Selain itu, berdasarkan laporan orang tua, Luby dkk. menemukan
adanya peningkatan reaktivitas emosi pada anak-anak dengan gangguan afektif
bipolar juga. Mereka menemukan bahwa setelah terjadi suatu peristiwa yang
memicu rasa gembira, anak-anak prasekolah yang didiagnosis gangguan afektif
27
bipolar menyatakan rasa gembiranya jauh jauh lebih tinggi daripada yang
biasanya dirasakan oleh teman-temannya pada 30 dan 60 menit setelah terjadinya
peristiwa tadi. Anak-anak usia prasekolah ini tetap merasakan kegembiraan yang
signifikan hingga saat makan siang dan jam makan malam. Anak-anak prasekolah
dengan gangguan afektif bipolar juga menyatakan bahwa tingkat kesedihan yang
mereka rasakan setelah peristiwa yang menimbulkan rasa sedih sangat signifikan
pada 30 menit setelah peristiwa. Selain itu, anak-anak prasekolah ini juga
menyatakan tingkat kemarahan yang secara signifikan jauh lebih tinggi di awal
dan 30 menit setelah ada kejadinya yang memicu rasa marah. Temuan tersebut
konsisten dengan yang ditemukan oleh Gruber dkk., yang menemukan bahwa
antarepisode gangguan afektif bipolar pada orang dewasa berkaitan dengan
perenungan yang lebih besar tentang emosi positif serta negatif dan bahwa
perenungan tersebut berhubungan dengan perjalanan penyakit.
Studi yang dilakukan oleh Luby dkk. juga menghasilkan beberapa
temuan menarik yang dapat membantu para peneliti dan dokter untuk
membedakan antara anak-anak prasekolah dengan gangguan afektif bipolar
dengan anak-anak prasekolah dengan gangguan perilaku lainnya. Anak-anak
prasekolah dengan gangguan afektif bipolar menyatakan rasa sukacita yang secara
signifikan lebih tinggi daripada anak-anak prasekolah yang disruptif pada 30 dan
60 menit setelah peristiwa yang memicu rasa gembira dan saat makan siang.
Anak-anak prasekolah dengan gangguan afektif bipolar juga menyatakan rasa
sedih yang secara signifikan lebih tinggi pada 30 dan 60 menit setelah peristiwa
yang memicu rasa sedih dan saat sebelum tidur. Selain itu, anak-anak prasekolah
dengan gangguan afektif bipolar menyatakan rasa marah yang secara signifikan
lebih tinggi pada awal dan 30 serta 60 menit setelah terjadi peristiwa merangsang
rasa marah. Bukti ini menunjukkan bahwa anak-anak usia muda dengan gangguan
afektif bipolar mengalami kesulitan dengan regulasi emosi dan intensitas emosi
yang jangka waktunya jauh lebih lama. Perbedaan-perbedaan reaksi ini menunjuk
pada meningkatnya reaktivitas dan intensitas emosi yang ditunjukkan oleh anakanak dengan gangguan afektif bipolar, tapi tidak oleh anak-anak dengan gangguan
perilaku disruptif lainnya. Sehingga, pengamatan tentang reaktivitas emosi ini
28
melakukan
penilaian
gangguan
afektif
bipolar
pada
anak-anak.
29
gangguan afektif bipolar pada anak-anak mirip dengan yang dilakukan pada orang
dewasa (meskipun masih belum pasti tentang efektivitas dan keamanan
menggunakan pendekatan terapi seperti pada orang dewasa), rekomendasi ini
dapat membantu anak-anak dalam memperoleh intervensi yang mungkin berguna
dalam mengurangi gejala bipolar yang mereka alami. Parameter Praktik lebih
lanjut juga melaporkan bahwa anak-anak yang didiagnosis gangguan afektif
bipolar tak-terklasifikasi memiliki tingkat gangguan komorbid yang tinggi, baik
dalam hal internalisasi maupun eksternalisasi, dan bahwa mood anak-anak ini
umumnya labil dan reaktif. Sehingga, rekomendasi ini menyiratkan bahwa
penyedia layanan kesehatan harus memahami faktor-faktor lainnya dengan jelas
(misalnya, situasi pemicu, penguat ledakan emosi, kesulitan komunikasi, dan
faktor-faktor risiko) yang dapat membantu membuat diagnosis banding gangguan
afektif bipolar (misalnya, ADHD) dan membantu dalam mengidentifikasi
diagnosa komorbid lainnya juga.
Rekomendasi ketiga yang diberikan oleh Parameter Praktik menyarankan
masalah-masalah yang terkait dengan gangguan afektif bipolar harus dikaji secara
cermat. Permasalahan tersebut diantaranya meliputi bunuh diri, gangguan
komorbid yang biasa muncul, stres psikososial, dan masalah medis. Sehingga
terjamin suatu penilaian komprehensif yang mencakup pemahaman menyeluruh
tentang kemampuan perkembangan anak, fungsi kognitif, dan kemampuan bicara
dan bahasanya (semua yang terutama penting bagi anak-anak, khususnya bagi
anak usia prasekolah). Informasi tersebut juga akan membantu rencana perawatan
yang komprehensif.
Rekomendasi terakhir dari Parameter Praktik adalah bahwa diagnosis
gangguan afektif bipolar harus digunakan dengan hati-hati pada anak-anak.
Parameter Praktik menggarisbawahi bahwa "validitas diagnostik gangguan afektif
bipolar pada anak-anak masih masih belum terbentuk". Anak-anak yang
menunjukkan masalah mood dan perilaku mungkin mengalami berbagai macam
faktor lingkungan dan biologi yang turut berperanan dalam timbulnya masalah
perilaku tersebut (misalnya, keterlambatan perkembangan, stressor psikososial,
masalah hubungan orangtua-anak, dan temperamen anak itu sendiri). Mengingat
bahwa intervensi farmakologis merupakan terapi standar untuk gangguan afektif
30
tentang
perilaku
dan
gejala
anak
dapat
ditelusuri.
Juga
setidaknya dua minggu. Dengan cara seperti ini, maka pola gejala dapat
didokumentasikan. Yang terakhir adalah para dokter harus memanfaatkan
beberapa informan bila memungkinkan, karena dengan adanya beberapa informan
mungkin dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Meskipun demikian,
sangatlah penting untuk mempertimbangkan laporan orang tua, laporan ini dapat
memberikan akurasi diagnostik terbaik.
Selain itu, harus dilakukan wawancara mengenai riwayat gejala secara rinci,
termasuk karakteristik gejala dari waktu ke waktu, respon terhadap intervensi, dan
riwayat psikiatri keluarga. Informasi tersebut dapat membantu penyedia layanan
kesehatan untuk memahami lebih lanjut gejala pada anak dan apakah gejala
tersebut benar-benar menunjukkan gangguan afektif bipolar. Riwayat psikiatri
keluarga, terutama, merupakan faktor risiko penting terjadinya gangguan afektif
bipolar, dimana anak-anak dengan orang tua yang mengalami gangguan afektif
bipolar berisiko 5 kali lebih tinggi mengalami gangguan afektif bipolar daripada
anak-anak lainnya. Informasi lain yang penting untuk menilai gangguan afektif
bipolar pada anak-anak meliputi mood yang labil (misalnya, perubahan cepat
mood episodik dari gejala manik menjadi depresi dan komorbid dari gejala manik
dan depresi), gambaran psikotik yang bersifat kontekstual mood (misalnya, delusi
atau
halusinasi),
dan
perilaku
agresif
episodik
yang
bersifat
reaktif.
32
33
34
1. Medikasi
Meskipun intervensi psikofarmakologi dapat dianggap paling efektif
dalam pengobatan gangguan afektif bipolar, banyak informasi yang tersedia
mengenai efektivitas intervensi psikofarmokologi untuk gangguan afektif bipolar
onset masa anak-anak yang diambil dari sumber pustaka untuk pasien dewasa.
Juga hanya terdapat sedikit studi yang sudah dilakukan yang secara langsung
membahas tentang efektivitas terapi farmakologi pada anak-anak dan remaja.
Bahkan penelitian yang membahas efektivitas terapi farmakologi pada anak usia
prasekolah dengan gangguan afektif bipolar jumlahnya lebih sedikit lagi. Akan
tetapi umumnya inti dari rekomendasi peresepan obat adalah primum non nocere
(yaitu tidak membahayakan). Meskipun demikian, sangatlah penting untuk
menyelidiki lebih lanjut efek jangka panjang, efektivitas, dan efek samping dari
obat-obat ini pada anak-anak, khususnya pada anak usia prasekolah.
Terkait dengan penelitian yang ada untuk anak-anak dan remaja pada
umumnya, obat yang paling sering diresepkan untuk anak-anak dan remaja
dengan gangguan afektif bipolar adalah lithium, obat-obat antiepilepsi (yaitu,
natrium divalproat dan carbamazepine), dan obat antipsikotik atipikal (yaitu
risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole). Dari obatobatan tersebut, lithium telah disetujui oleh FDA untuk mengobati manik pada
anak usia 12 tahun dan lebih, sedangkan risperidone dan aripiprazole disetujui
untuk anak-anak usia 10 tahun dan lebih. Sebagian besar penelitian tentang anakanak dan remaja menunjukkan bahwa bila digunakan sendiri, obat-obatan ini
relatif efektif, umumnya aman, dan ditoleransi dengan baik. Meskipun demikian,
beberapa ada yang menyebutkan bahwa obat antipsikotik atipikal mungkin lebih
efektif daripada mood stabilizer (walau mungkin lebih banyak memicu efek
samping) bila digunakan pada anak dan remaja. Contohnya, Geller dkk.
melaporkan bahwa 279 anak-anak dan remaja yang berusia 6-15 tahun dan
didiagnosis gangguan afektif bipolar I menunjukkan respon yang lebih tinggi
terhadap risperidone daripada lithium dan natrium divalproat dalam suatu
penelitian terkontrol, acak, selama 8 minggu. Meskipun demikian, risperidone
dapat micu efek metabolisme yang serius.
35
mengurangi gejala bipolar yang terjadi pada masa anak-anak, tapi sekali lagi,
penelitian lebih lanjut masih terus diperlukan.
Dalam konteks primum non nocere, perlu dicatat bahwa meskipun obat
ini digunakan secara luas dan bermanfaat dalam mengobati gejala bipolar, obatobat ini seringkali disertai dengan efek samping yang merugikan, meliputi
gangguan gastrointestinal (misalnya, mual, muntah), sakit kepala, kognitif
menumpul, hipotiroidisme, tremor, dan efek samping ekstrapiramidal lain. Selain
itu, satu efek samping yang sangat mengkhawatirkan dan umum terjadi adalah
kenaikan berat badan. Peneliti lainnya juga mencatat adanya efek metabolik dan
risiko kardiovaskular (meskipun tidak jelas apakah risiko tersebut muncul
sebelum pemberian obat). Mengingat berbagai efek samping tersebut, disarankan
agar anak-anak dan remaja yang mendapat terapi terus dipantau secara cerma,
terutama karena efek samping ini dapat bersifat jangka panjang. Selain itu, efek
samping signifikan seperti itu juga membutuhkan pertimbangan akan alternatif
pilihan pengobatan lainnya, seperti minyak biji rami dan asam lemak omega-3.
Seringkali anak-anak dan remaja dengan gejala bipolar juga
menunjukkan gejala yang konsisten dengan kondisi komorbid lainnya , seperti
36
menunjukkan
hasil
yang
menjanjikan.
Secara
khusus,
garam
anak berfokus pada peranan ekspresi emosi yang tinggi di dalam keluarga
(misalnya, komentar kritis, permusuhan, dan proteksi berlebihan). Secara khusus,
intervensi psikoterapi mengemukakan bahwa perilaku ini memiliki efek yang
merugikan pada anak-anak dengan gangguan afektif bipolar dan dapat mendorong
reaksi negatif pada anak (misalnya amarah, perilaku merusak diri sendiri). Reaksi
negatif ini, nantinya akan memperberat perilaku ekspresi emosi yang jauh lebih
tinggi. Dengan demikian, banyak dari intervensi psikoterapi yang tersedia
ditujukan untuk memperbaiki gangguan komunikasi di dalam keluarga yang
mungkin memperburuk gejala bipolar dan mengajarkan pada keluarga tentang
pengelolaan/manajemen gangguan afektif bipolar melalui psikoedukasi
baik
psikoterapi
uji terbuka selama 1 tahun tentang DBT pada remaja dengan gangguan afektif
bipolar, yaitu dengan menggunakan pelatihan keterampilan keluarga dan juga
terapi individu. Meskipun uji/penelitian terbuka yang mereka lakukan hanya
melibatkan 10 remaja, penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelayakan dan
akseptabilitas untuk menggunakan DBT tergolong tinggi dan para remaja tersebut
menunjukkan perbaikan simtomatologi yang signifikan (misalnya bunuh diri,
perilaku menyakiti diri sendiri, disregulasi emosi, dan gejaladepresi) dalam
hubungannya dengan intervensi untuk gangguan afektif bipolar.
Yang terakhir, beberapa terapi baru mulai berfokus pada kesulitan yang
dihadapi anak-anak dan remaja dengan gangguan afektif bipolar perihal ritmisitas
perilaku mereka (misalnya tidur, perilaku, dan episode mood). Salah satu terapi
seperti ini adalah Interpersonal Social Rhythm Therapy (IPSRT), suatu terapi yang
berasal dari psikoterapi interpersonal untuk intervensi depresi dan perilaku untuk
irama sosial serta dan regulasi tidur-bangun. Premis yang mendasari terapi ini
adalah bahwa individu dengan gangguan afektif bipolar perlu mengenali
hubungan antara gangguan dalam ritme sosial dengan onset episode mood yang
sebelumnya. Mereka kemudian dapat menggunakan intervensi perilaku untuk
mengurangi gejala bipolar yang mereka alami untuk memperbaiki ritme sosial dan
keteraturan tidur-bangun. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan, sehingga
IPSRT dapat menjadi terapi tambahan yang membantu terapi farmakologis,
sehingga dapat menambah interval waktu antarepisode mood, dan oleh karenanya
turut meningkatkan ritme sosial penderita bipolar.
3. Intervensi Keluarga
Selain berbagai terapi yang disebutkan diatas, intervensi keluarga juga
dapat membantu, terutama untuk keluarga yang membesarkan anak-anak dengan
gangguan afektif bipolar. Misalnya, Multifamily Psychoeducation Groups
(MFPG) dan Individual Family Psychoeducation (IFP) yang tersedia sebagai
pilihan terapi yang berpotensi membantu dalam pengobatan gangguan afektif
bipolar onset masa anak-anak. MFPG dan IFP mencakup pendidikan tentang
gejala-gejala bipolar dan manajemen gejala-gejala tersebut, meningkatkan
keterampilan komunikasi di antara anggota keluarga, dan meningkatkan dukungan
di antara anggota keluarga. MFPG dirancang untuk diterapkan dalam model
39
Treatment (FFT), yang diadaptasi dari pengobatan yang sudah terbukti berhasil
pada orang dewasa untuk digunakan pada remaja. Tujuan protokol terapi ini
berfokus pada meningkatkan pemahaman tentang gejala mood, meningkatkan
kepatuhan pengobatan, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan mengurangi
gangguan sosial. Sesi terapi dibagi menjadi tiga modul yang mencakup
psikoedukasi, kemampuan komunikasi, dan kemampuan memecahkan masalah.
Selama modul psikoedukasi, keluarga diberi informasi mengenai gejala,
40
penelusuran mood, dan faktor risiko. Keluarga juga membuat suatu rencana
intervensi yang sesuai untuk mempersiapkan anak-anak jika suatu saat terjadi
relaps/kambuh. Selama sesi modul komunikasi dan kemampuan memecahkan
masalah, keluarga-keluarga dibagi-bagi dengan tujuan untuk mengurangi gaya
komunikasi yang negatif dan meningkatkan kerja sama keluarga dalam
memecahkan masalah. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa terapi ini
memberikan efek pengurangan gejala yang signifikan pada remaja. Oleh karen
aitu, dengan adaptasi untuk keluarga dengan anak bipolar, protokol terapi ini
mungkin akan bermanfaat.
Contoh intervensi keluarga yang terakhir adalah The Child and Family
Focused Cognitive-Behavioral Therapy (CFF-CBT) yang dikembangkan sebagai
perpanjangan ke bawah dari FFT untuk anak (yaitu anak-anak usia 8 sampai 12
tahun) dan keluarga mereka. Protokol terapi ini menggunakan teknik perilakukognitif (misalnya, pemecahan masalah, memberikan pandangan yang positif
terhadap dirinya sendiri), teknik interpersonal, dan psikoedukasi. Sesi-sesi dibuat
hanya untuk anak-anak saja, orang tua saja, dan gabungan kegiatan anak dan
orang tua. Protokol terapi ini juga menekankan pada keterlibatan saudara dengan
memberikan informasi mengenai gangguan afektif bipolar onset masa anak-anak
sebagai upaya untuk meningkatkan empati mereka untuk saudara mereka yang
mengalami gangguan afektif bipolar. Selain itu, terapis juga bekerja sama dengan
pihak sekolah anak untuk memberikan edukasi dan intervensi berbasis sekolah
yang tepat. Penelitian menunjukkan pengurangan gejala ketika protokol terapi ini
diberikan baik secara individu maupun secara kelompok. Terapi ini juga ternyata
efektif untuk anak-anak usia 6 dan 7 tahun. Manfaat ini dapat diperoleh apabila
fase pemeliharaan dimasukkan ke dalam pengobatan bipolar. Fase pemeliharaan
ini meliputi sesi booster psikoterapi dan tambahan dengan obat-obatan. Intervensi
keluarga ini dapat dilakukan dengan keluarga yang memiliki anak dengan
gangguan afektif bipolar mengingat bukti kuat yang menunjukkan efektivitas
intervensi intervensi keluarga ini.
4. Simpulan Terapi
Meskipun tidak ada intervensi yang pasti untuk digunakan pada anakanak (utamanya anak prasekolah) yang mengalami gangguan afektif bipolar,
41
banyak teknik yang dapat digunakan dalam program intervensi tersebut yang bisa
bermanfaat, terutama jika berbagai intervensi tersebut telah diubah agar lebih
dapat dikembangkan secara tepat (yaitu memperhitungkan keterbatasan kognisi,
menekankan pada lebih banyak komponen perilaku). Secara khusus, akan sangat
penting untuk jenis terapi manapun yang ditawarkan untuk melibatkan seluruh
anggota keluarga, khususnya yang mengasuh anak. Karena anak-anak begitu
sangat bergantung pada individu-individu dalam keluarga mereka, akan penting
bagi pengasuh untuk memahami sifat gangguan afektif bipolar dan diperlukan
tindakan intervensi yang efektif. Selain itu, mengingat sulitnya dalam merawat
anak-anak dengan gangguan afektif bipolar, maka mungkin pengasuh/orang tua
anak akan membutuhkan banyak dukungan emosional. Meskipun anak-anak
mungkin tidak dapat berpartisipasi dalam semua aspek perilaku-kognitif dari
terapi yang saat ini ditawarkan karena potensi terjadi keterbatasan perkembangan
kemampuan kognitif, namun anak-anak masih bisa memperoleh manfaat dari
instruksi dalam strategi regulasi emosi, keterampilan mentoleransi kesulitan, dan
informasi mengenai gangguan afektif bipolar sesuai tahap perkembangan anak.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak, khususnya anak usia
prasekolah, dapat mengelami gangguan berat dalam hal komunikasi, kehidupan
sehari-hari, dan kemampuan sosialnya, maka pelatihan tambahan melalui
intervensi perilaku dalam bidang ini tentunya akan memberikan banyak manfaat.
42
Simpulan
Meskipun kriteria DSM untuk gangguan afektif bipolar mungkin memiliki
keterbatasan dalam mendiagnosis gangguan afektif bipolar pada anak-anak, jelas
bahwa anak-anak dapat didiagnosis dengan gangguan ini. Walaupun demikian,
untuk meningkatkan kesesuaian perkembangan kriteria diagnostik yang saat ini
tersedia untuk gangguan afektif bipolar bila digunakan pada anak-anak,
khususnya usia anak-anak usia prasekolah, harus dipertimbangkan berbagai
macam hal lainnya. Jelas bahwa subtipe-subtipe yang dikemukakan oleh
Leibenluft dkk. dan ide mengenai spektrum gangguan afektif bipolar akan sangat
bermanfaat dalam mendefinisikan gangguan afektif bipolar pada anak-anak; akan
tetapi, prevalensi gejala tertentu pada usia muda dan tingkat disregulasi emosi
anak-anak, khususnya anak prasekolah, juga harus dipertimbangkan. Seiring
dengan berbagai penyesuaian dalam kriteria diagnostik yang dibuat untuk
digunakan pada anak-anak dengan gangguan afektif bipolar, rekomendasi lanjutan
untuk melakukan penilaian dapat ditambahkan ke dalam panduan yang telah
dikeluarkan oleh Parameter Praktik dan oleh Baroni dkk. Akan tetapi, yang
terpenting adalah harus terus dilakukannya pengembangan dan identifikasi
intervensi-intervensi tersebut, baik melalui intervensi farmakologis dan/atau
intervensi perilaku-kognitif berbasis keluarga,untuk dicari yang paling efektif
dalam mengatasi gejala yang ditunjukkan oleh anak-anak dengan gangguan afektif
bipolar. Hanya melalui definisi, identifikasi, dan remediasi yang jelas mengenai
gejala-gejala bipolar dimana anak-anak dapat memperoleh manfaat yang lebih
positif karena anak-anak ini akan berproses melalui tahap perkembangannya dari
masa anak-anak, remaja dan akhirnya dewasa.
43