KASUS
Kasus 1
Ibu inem usia 35 tahun, yang sedang hamil 4 minggu dan merupakan anak kelima dari
lima
bersaudara,
dan
anak
keempatnya
wanita
mempunyai
kelainan
congenital
labiopalatoschizis. Datang berobat kepuskesmas dengan keluhan demam atau panas tinggi
(temperatur tubuh atau axilla), temp = 39C dan mual-mual serta sedikit muntah.
Ibu inem diberi obat mual-mual, muntah oleh bidan berupa anti muntah Talidomide,
Diazepam, aspirin, vitamin, tapi tidak berkurang keluhannya.
Kasus 2
Pada umur kehamilan lima minggu, karena sering pusing dan sakitb kepala, ib8u inem
terjatuh dikamar mandi dan dapat ditolong.
Tekanan darah,jantung dan paru-paru dalam batas normal, makan dan minum biasa, BAK dan
BAB normal.
PEMBAHASAN
Identitas:
-
Nama
: Ibu inem
Usia
: 35 tahun
Keluhan Utama:
-
Hipotesa
-
Hipotesa untuk ibunya adalah kemungkinan ibu inem terkena infeksi dikarenakan
adanya demam yang merupakan salah satu tanda terkena infeksi.
Kemungkinan jika si bayi lahir, bayi itu akan menderita kelainan kongenital seperti
labiopalatoschizis.
Kemungkinan pada janin atau bayi dikarenakan ibu inem mengkonsumsi obat
talidomid, diazepam yang menurut penelitian obat ini bersifat teratogenik dan kelainan
kongenital yang biasa terjadi akibat mengkonsumsi obat ini biasanya adalah labioschizis,
palatoschizis, atau labiopalatoschizis. Aspirin juga berbahaya terhadap janin yang sedang
berkembang bila digunakan dalam dosis besar.()
Anamnesis Tambahan :
Sifat demam ? (apakah menggigil atau tidak, naik turun atau tidak, berkeringat
atau tidak)
Riwayat Pengobatan
-
Riwayat Kebiasaan
Pemeriksaan fisik
Status lokalis
1. inspeksi :
- ada tanda dehidrasi atau tidak
- ada ruam atau tidak
2. palpasi : - kelenjar getah bening membesar atau tidak
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus diketahui bahwa Ibu Inem sedang mengandung dan usia kandungannya
tergolong ke dalam trimester pertama dengan resiko bayinya mengalami kelainan kongenital,
maka berikut ini adalah pemeriksaan yang dapat dilakukan dan dianjurkan pada pasien:
Penatalaksanaan
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh team labiopalatoschisis yang
terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi,
psikoloog, dan perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya
diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun.
Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia anak 3 bulan (untuk pembedahan
labiumnya) dan untuk palatumnya dimulai saat umur 6 bulan. Ada tiga tahap penatalaksanaan
labioschisis yaitu :
1. Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima
tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai
dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan
lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu
, jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang
tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi
minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar
sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot
dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan
sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya
susu melewati langit-langit yang terbelah. Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan
menggunakan plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi
tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi
kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal
ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil
akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai
waktu operasi tiba.
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah
soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh
seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3
bulan Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan
sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah
terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang
sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 20 bulan
mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Operasi yang
dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika
tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa
melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada
posisi
yang
salah.
Bila
gusi
juga
terbelah
(gnatoschizis)
kelainannya
menjadi
labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 89 tahun bekerja sama
dengan dokter gigi ahli ortodonsi.
3. Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari
tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan
memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka
bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk
memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah
melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika
saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau
dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech terapi pun tidak banyak
bermanfaat.
TINJAUAN PUSTAKA
PATOFISIOLOGI DEMAM
Karena makrofag adalah sel pertama yang mengenali infeksi, mereka harus memberi
peringatan ke system tubuh yang untuk member tahu ada yang sedang menginvasi tubuh.
Mereka melakukannya dengan memproduksi sitokin. Sitokin adalah molekul peptide yang
digunakan untuk berkomunikasi antar sel. Semua sel dari system imun alamiah maupun
adaptif bisa memproduksi sitokin dan bisa memberikan respon terhadap sitokin-sitokin
tertentu.
Respon fase akut bersifat sistemik, reaksi terhadap infeksi. Jika infeksi tidak bisa
diberantas secara tuntas, maka produksi makrofag yaitu IL-1, IL-6 dan TNF akan meningkat
dan sitokin ini akan beredar dalam sirkulasi darah dan mencapai organ-organ lain.
Hipotalamus mempunyai reseptor untuk sitokin ini. Saat reseptor ini terangsang,
system syaraf otonom akan merespon dengan meningkatkan suhu tubuh. Peningkatan suhu
akan menghambat replikasi virus dan pathogen lain tetapi juga merupakan tanda klinis
penting terjadinya infeksi. (1)
Selain merangsang area pre optic dan organ vaskulosa lamina terminalis, pirogen ini
juga dapat merangsang melalui serabut aferen dari abdomen. Hal ini didasarkan pada
penyuntikan lipopolisakarida secara intra vena, tetapi pirogen-pirogen tersebut baru muncul
dalam darah setelah 30 menit. Terdapat kemungkinan bahwa sel kupfer pada hepar
merangsang serabut yang dekat dengan dengan saraf aferen vagus, yang kemudian
menjalankan sinyal pirogen melalui nucleus solitaries ke kelompok sel noradrenalin A1 dan
A2. Selanjutnya, sinyal ini berproyeksi dari dari traktus noradrenalin ventral ke neuron yang
mengatur demam di area pre optic dan OVLT. Noradrenalin yang dilepaskan di daerah
tersebut menimbulkan pembentukan PGE2 dan mengakibatkan demam. (2)
PATOFISIOLOGI MUAL DAN MUNTAH
Muntah diawali dengan inspirasi dalam dan penutupan glottis. Diafragma
berkonstraksi turun akan menekan lambung sementara kontraksi otot-otot abdomen secara
simultan menekan rongga abdomen, sehingga tekanan intra abdomen akan meningkatdan isi
abdomen terdorong ke atas. Isi lambung akan masuk ke esophagus. Glottis tertutup sehingga
muntahan tidak masuk ke saluran pernafasan. Uvula juga terangkat menutup rongga hidung.
Tindakan muntah yang kompleks tersebut dikoordinasikan oleh pusat muntah di
medulla. Mual, retching, dan muntah dapat dimulai oleh masukan aferen ke pusat muntah
dari sejumlah reseptor di seluruh tubuh. Penyebab muntah antara lain sebagai berikut :
-
EMBRIOLOGI WAJAH
Setelah mengalami pembuahan (fertilisasi), dan pembelahan, pada minggu ke 3 tejadilah
proses gastrulasi yang dimulai dengan munculnya garis primitive yang pada ujung
kepalanya terdapat nodus primitive. Di daerah nodus dan garis ini sel-sel epiblas (berasal
dari massa sel dalam) bergerak masuk (invaginasi) membentuk lapisan-lapisan sel baru :
endoderm dan mesoderm. Sel-sel prenotokord yang bergerak masuk di dalam lubang
primitive, bergerak ke depan dan menempatkan diri dalam endoderm sebagai lempeng
notokord. Pada perkembangan selanjutnya, lempeng ini menegelupas dari endoderm, dan
terbentuklah sebuah tali padat, notokord. Notokord membentuk sumbu tengah, yang akan
menjadi dasar begi kerangka sumbu badan. Karena itu, pada akhir minggu ke-3
terbentuklah 3 lapisan mudigah, yaitu endoderm, mesoderm dan ektoderm.1
Untuk pembentukan daerah kepala sendiri berasal dari Mesoderm lempeng paraksial dan
lateral, Krista neuralis, dan daerah ektoderm yang menebal dikenal sebagai plakoda
ektoderm. Pada akhir minggu ke-4, mulai tampak tonjol-tonjol wajah yang dibentuk oleh
mesenkim yang berasal dari Krista neuralis dan terutama dibentuk oleh pasangan lengkung
faring pertama. Tonjol maksila dapat dikenali di sebelah lateral stomodeum dan tonjol
mandibula di sebelah kaudal stomodeum. Prominensia frontonasalis, yang dibentuk oleh
proliferasi mesenkim di sebelah ventrikel vesikel otak merupakan tepi atas stomadeum. Di
sisi kanan dan kiri prominensia frontonasalis muncul penebalan-penebalan setempat dari
ektoderm permukaan, yaitu plakoda nasal.1
Tonjolan maksila dan tonjolan hidung lateral terpisah oleh sebuah alur yang dalam
disebut alur nasolakrimal. Ektoderm dilantai alur ini membentuk ebuah tali epitel padat
yang melepaskan diri dari ektoderm dibawahnya. Setelah terjadi kanalisasi, tali ini
membentuk duktus nasolakrimalis; ujung atasnya melebar membentuk sakus lakrimalis.
Tonjolan maksila kemudian membesar sehingga membentuk pipi dan maksila.1
Disamping itu. kedua tonjol hidung medial tidak hanya bersatu pada permukaan, tetapi
bersatu pula pada tingkat yang lebih dalam dan penyatuan ini dikenal sebagai segmen
antarmaksila. Segmen ini terdiri dari unsur bibir, unsur rahang atas, dan unsur langit-langit
mulut (palatum) membentuk palatum primer. Bagian utama palatum tetap, dibentuk oleh
dua pertumbuhan keluar dari tonjol maksilla yang menyerupai tameng. Kedua tonjolan,
yaitu lempeng palatina tampak dalam perkembangan minggu ke-6 dan mengarah miring ke
bawah pada sisi kanan dan kiri lidah. Akan tetapi pada minggu ke-7, lempeng-lempeng
palatina ini akan bergerak naik hingga mencapai kedudukan horizontal di atas lidah dan
saling bersatu satu sama lain, dan membentuk palatum sekunder. Lempeng palatina ini di
sebelah anterior bergabung dengan palatum primer yang berbentuk segitiga, dan foramen
incisivum dapat dianggap sebagai tanda batas tengah-tengah antara palatum primer dan
sekunder.2
Vestibulum oris adalah ruang sempit mirip celah yang berhubungan keluar melalui
rima oris. Bila rahang tertutup, vestibulum oris berhubungan dengan cavitas oris melalui
bagian belakang gigi molar ketiga masing-masing sisi. Di superior dan inferior, vestibulum
dibatasi oleh lipatan membrane mucosa dari bibir dan pipi kea rah gusi. Pipi membentuk
dinding lateral vestibulum oris dan dibentuk oleh M. buccinators yang diliputi di sebelah luar
oleh fascia dan kulit serta dilapisi oleh membrana mucosa. Berhadapan dengan gigi molar
dua atas, terdapat papilla kecil pada membrane mucosa yang merupakan tempat muara dari
ductus glandula parotidea.
Cavitas oris propria mempunyai atap yang dibentuk oleh palatum durum di depan dan
palatum molle di belakang. Dasar mulut sebagian besar dibentuk oleh dua pertiga anterior
lidah dan lipatan membrane mucosa dari pinggir-pinggir lidah ke gusi pada mandibula. Pada
garis tengah, lipatan membrane mucosa yang disebut frenulum linguae menghubungkan
permukaan bawah lidah dengan dasar mulut. Di kanan dan kiri frenulum terdapat papilla
kecil. Pada puncak papilla terdapat muara ductus glandula submandibularis. Dari papilla
terdapat rigi membrane mucosa bulat yang meluas ke belakang dan lateral. Rigi ini
ditimbulkan oleh glandula sublingualis dan disebut plica sublingualis.
Persarafan Sensoris Membrana Mucosa Mulut
Atap mulut dipersarafi oleh N. palatine major dan N. nasopalatinus. Serabut-serabut
saraf berjalan di dalam N. maxillaris. Dasar mulut dipersarafi oleh N. lingualis, sebuah
cabang N. mandibularis. Serabut-serabut pengecap berjalan di dalam chorda tymphani,
cabang dari N. fascialis. Pipi dipersarafi oleh N. buccalis, cabang dari N. mandibulris.
Pendarahan
Pendarahan mulut pada dasarnya berasal dari A.facialis yang dipercabangkan dari A.
carotis externa. Cabang-cabang dari A.facialis yang berhubungan dengan mulut antara lain:
-
Origo
Insersio
Persarafan
Fungsi
Membuka bibir.
alaque nasi
M. levator labii superioris
M. zygomaticum minor
M. zygomaticum minor
berinsersio
M. risorius
substansi bibir.
pada
N. facialis
Permukaan
M. buccinators
margo
M. platysma
maxillae
luar
alveolaris
mandibula
dan
serta
Menekan
pipi
ligamentum
pterygomandibularis
Palatum
Palatum membentuk atap mulut. Dapat dibedakan menjadi palatum durum di depan
dan palatum minor di belakang.
Palatum durum. Palatum durum dibentuk oleh processus palatines ossis maxillae
dan lamina horizontalis ossis palatine. Dibatasi oleh arcus alveolaris, dan di belakang
berlanjut sebagai palatum molle. Palatum durum membentuk dasar cavum nasi. Permukaan
bawah palatum durum diliputi oleh mucoperiosteum dan mempunyai rigi mediana.
Membrana mucosa di kanan dan kiri rigi ini tampak berlipat-lipat.
Palatum molle. Palatum molle merupakan lipatan yang mudah digerakkan, melekat
pada pinggir posterior palatum durum. Pada garis tengah pinggir posteriornya terdapat
penonjolan berbentuk kerucut, disebut uvula.
Persarafan Palatum
N. palatines major dan minor dari divisi maxillaries N. trigeminus sampai ke palatum
melalui foramina palatine major dan minor. N. nasopaltinus, yang juga cabang dari N.
maxillaries, sampai ke bagian depan palatum durum melalui foramina incisivus. N.
glossopharyngeus juga mempersarafi palatum molle.
Pendarahan Palatum
A.palatine major, cabang dari A. maxillaries; A.palatina ascendens cabang dari A. facialis,
dan A. pharyngea ascendens.()
EMBRIOLOGI LABIOPALATOSCHIZIS
Bibir sumbing dan celah palatum merupakan cacat yang biasa ditemukan dan
mengakibatkan gambaran wajah yang abnormal dan gangguan bicara. Foramen incisivum
dianggap sebagai petunjuk pembagian antara cacat sumbing depan dan belakang.
Etiologi
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya labiopalatoschizis. faktor tersebut
antara lain , yaitu :
1. Factor Genetik atau keturunan
Dimana material genetic dalam kromosom yang mempengaruhi/. Dimana dapat
terjadi karena adaya adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel
yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom nonsex ( kromosom 1 s/d 22 ) dan 1 pasang kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang
menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau
Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga
jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain
menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan
otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1
dari 8000-10000 bayi yang lahir.
2. Kurang Nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
3. Radiasi.
4. Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
5. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi Rubella
dan Sifilis, toxoplasmosis dan klamidia
6. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat toksisitas
selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin
7. Multifaktoral dan mutasi genetic
8. Diplasia ektodermal
Macam macam tipe bibir sumbing dan celah palatum :
1. Sumbing yang terletak di depan foramen incisivum meliputi sumbing bibir lateral,
celah rahang atas, dan celah antara palatum primer dan sekunder. Sumbing ini
disebabkan karena tidak menyatunya sebagian atau seluruh tonjol maksila dengan
tonjol hidung medial pada satu atau kedua sisi. Sumbing depan dapat bermacam-
macam tingkatnya, mulai dari kelainan yang hampir tidak tampak pada vermilion
bibir hingga sumbing yang meluas ke dalam hidung.
Pada kasus yang lebih berat, sumbing meluas ke tingkat yang lebih dalam, karena itu
membentuk celah rahang atas. Maksila dengan demikian terbelah di antara gigi seri
lateral dan gigi taring. Kerap kali, sumbing seperti ini meluas hingga ke foramen
incisivum.
2. Sumbing yang terletak di belakang foramen incisivum antara lain adalah celah
palatum (sekunder) dan celah uvula. Celah palatum disebabkan oleh tidak
menyatunya lempeng-lempeng palatina, yang kemungkinan disebabkan oleh:
a. Kecilnya ukuran lempeng tersebut
b. Kegagalan lempeng untuk terangkat
c. Hambatan proses penyatuannya sendiri
d. Gagalnya lidah untuk turun dari antara kedua lempeng tersebut akibat
mikrognatia
Sumbing belakang dapat pula bermacam-macam tingkatnya, mulai dari sumbing yang
mengenai seluruh palatum sekunder hingga sumbing pada uvula saja.
3. Sumbing yang terletak di depan maupun di belakang foramen incisivum.
Selain itu, tipe bibir sumbing yang lain antara lain:
1. Celah wajah miring, ditimbulkan oleh gagalnya tonjol maksila untuk menyatu
dengan tonjol hidung lateral pasangannya. Apabila hal ini terjadi, duktus
nasolakrimalis biasanya terbuka dan tampak dari luar.
2. Sumbing bibir median, suatu kelainan yang jarang terjadi, disebabkan oleh
penyatuan dua tonjol hidung medial yang tidak sempurna di garis tengah. Kelainan ini
biasanya disertai oleh adanya suatu alur yang dalam di antara sisi kanan dan kiri
hidung.
Bayi
yang
mengalami
sumbing
garis
tengah
sering
mengalami
Kebanyakan
sumbing
bibir
dan
sumbing
palatum
mempunyai
penyebab
multifaktorial. Sumbing bibir (kurang lebih 1:1000 kelahiran) lebih banyak terjadi pada pria
(80%) daripada wanita; angka kejadiannya agak lebih tinggi dengan bertambahnya usia ibu;
dan angka kejadian ini berbeda-beda pada berbagai kelompok penduduk yang berlainan.
Apabila orangtuanya normal dan mempunyai seorang anak sumbing bibir,
kemungkinan bayi berikutnya untuk mendapatkan cacat yang sama adalah 4%. Apabila dua
saudara kandung terkena, risiko bagi anak berikutnya meningkat menjadi 9%. Akan tetapi,
apabila salah satu orangtuanya mengalami sumbing bibir, dan mereka mempunyai satu anak
yang menderita cacat yang sama, kemungkinan anak berikutnya untuk terkena meningkat
hingga 17%.
Frekuensi sumbing palatum jauh lebih kecil daripada sumbing bibir (1:2500
kelahiran), lebih sering terjadi pada wanita (67%) daripada pria, dan tidak berhubungan
dengan usia ibu. Apabila kedua orangtua normal dan mempunyai seorang anak dengan
sumbing palatum, kemungkinan bayi berikutnya untuk menderita cacat ini kira-kira 2%.
Akan tetapi, jika ada kelainan yang sama pada seorang anggota keluarga lain atau orangtua
dan anak yang menderita sumbing palatum, kemungkinannya meningkat masing-masing
menjadi 7% dan 15%.
Telah dibuktikan bahwa pada wanita lempeng-lempeng palatum bersatu kurang lebih
1 minggu lebih lambat daripada pria. Mungkin inilah yang lebih dapat menerangkan mengapa
sumbing palatum saja lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria.1
KOMPLIKASI
1. Otitis media berulang dan ketulian seringkali terjadi.
2. Cacat wicara bisa ada atau menetap meskipun penutupan palatum secara anatomik
telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara yang demikian ditandai dengan
pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualitas hipernasal jika
membuat suara tertentu. Baik sebelum maupun sesudah operasi palatum, cacat wicara
disebabkan oleh fungsi otot-otot palatum dan faring yang tidak adekuat. Selama
proses menelan dan pada saat mengeluarkan suara tertentu, otot-otot palatum molle
dan dinding lateral serta posterior nasofaring membentuk suatu katup yang
memisahkan nasofaring dengan orofaring. Jika katup itu tidak berfungsi adekuat,
orang itu sukar menciptakan tekanan yang cukup di dalam mulutnya untuk membuat
suara-suara seperti p, b, d, t, h, y, atau bunyi berdesis s, sh, dan ch.2