Anda di halaman 1dari 21

Diagnosis

Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk
penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yang mendapat
cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan untuk
menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat
diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang
pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi (Marciani
dkk, 2009).
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah
sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak
sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi
dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan
adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit
gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan
peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah
korban bertindak sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk
pengaman yang putus? Apabila pasien merupakan korban kejahatan, apakah
digunakan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis
resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi tetanus juga harus dicatat. Penting juga
dicatat ada tidaknya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat
kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan
dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum
(Pedersen, 1996).
Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik
adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang akurat
sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who, when, where,

and how. Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataan kepada pasien, orangtua


pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :
1. Siapa pasien tersebut? Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor
telepon, dan data demografi lainnya.
2. Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan penting
karena beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat gigi avulsi
dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama halnya dengan hasil
yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar yang disebabkan oleh penanganan
yang terlambat.
3. Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena kemungkinan terdapat
kontaminasi bakteri atau kimia.
4. Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat memberikan perkiraan
tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai contoh,
penumpang mobil yang terlempar ke depan dashboard dengan kekuatan besar,
selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat menyebabkan cedera leher yang
tersembunyi.
5. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)?

Dari

pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal dari daerah cedera.
Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi disimpan sebelum diberikan
kepada dokter gigi?
6. Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma?
Sebelum diagnosis dan rencana perawatan ditentukan, harus terlebih dahulu
diketahui jumlah gigi pasien sebelum trauma terjadi. Jika selama pemeriksaan
klinis ditemukan adanya gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat
diperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian,
maka diperlukan pemeriksaan radiografi pada jaringan lunak sekitar mulut, dada,

dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkota gigi
tersebut di dalam jaringan atau rongga badan lainnya (gambar 1 dan 2).

Gambar.1. Menunjukkan terjadinya pergeseran gigi molar ke dalam sinus


maksilaris akibat dari fraktur maksila (Hupp dkk, 2008)

Gambar.2. Rontgen dada menunjukan adanya gigi caninus yang masuk kedalam
rongga dada (Hupp dkk, 2008)

7. Bagaimana status kesehatan umum pasien? Penting diketahui tentang riwayat


kesehatan umum dari pasien tersebut sebelum dilakukan perawatan, yang meliputi
ada atau tidaknya alergi terhadap obat, kelainan jantung, kelainan darah, penyakit
umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang diderita sebelum trauma.

8. Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit kepala,


gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian? Bila jawabannya ya
maka kemungkinan ada indikasi cedera intrakranial dan operator harus segera
melakukan konsultasi medis.
9. Apakah ada gangguan oklusi? Apabila jawabannya ya maka kemungkinan ada
indikasi pergeseran gigi atau fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang.

Pemeriksaan Fisik
Pasien yang mengalami cedera maksilofasial biasanya disertai dengan
tersumbatnya jalan pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau
benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam kondisi
stabil, perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun pemeriksaan fisik
tersebut meliputi (Marciani dkk, 2009):
1.

Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan jaringan
lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara
hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya dicatat pada saat
ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma pada jaringan lunak
dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka bakar, avulsi, dan laserasi.
Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan
struktur vital, seperti saraf, glandula parotis dan sebagainya (Marciani dkk, 2009) .
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,
pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati
terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi
zygomatik, dan mandibula (Marciani dkk, 2009).

2.

Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah


Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan adanya

mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan
zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila, kepala pasien
harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu
tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu
sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian
ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila (Hup dkk, 2008).
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan mempalpasi
dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang mengalami fisik
dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial
dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis
dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah
lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan
lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau
tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura
zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga
dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus
zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari
aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi
pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan (Pedersen, 1996).
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, karena
trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah
wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien
yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar (Marciani dkk,
2009).

Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi.


Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan
hemotimpanum dan otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis
tulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda
waspada terhadap kemungkinan cedera pada kondil mandibula (Marciani dkk, 2009).
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum
hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma septum
hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya nekrosis
tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan
bentuk hidung (Marciani dkk, 2009).
Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya
anestesi atau parestesi (Marciani dkk, 2009). Saraf kranialis ketiga, empat, lima,
enam dan tujuh dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien
mengangkat alisnya dan meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak
bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi? (Pedersen, 1996)
3. Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,
terjadi pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan
jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada
penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak
interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan
cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke
depan untuk melakukan palpasi endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat
dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan
yang Amat sangat atau caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior
mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simphisis mandibula.

Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan kontinuitas harus dicatat (Pedersen,
1996).
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu
kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid
(gambar 5). Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe
frakturnya, yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompon (gambar 6).

Gambar 5. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula (Hupp dkk, 2008)

Gambar.6. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya.


A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon (Hupp dkk, 2008)

4.

Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut


Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi

dioklusikan seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibula diperiksa
kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang giginya mengalami
pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat.
Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan
diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam
kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah disisihkan,
sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan
gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral.
Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus
alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan
prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas (Pedersen,
1996)
Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang.
Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi
pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya
jalan pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya
fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite
lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ.
Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya
fraktur Le Fort (I, II, ataupun III) (Marciani, 2009).

Pemeriksaan Radiografi
Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila
dan mandibula (Pedersen, 1996).
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih
gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2)
proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi oblik lateral kiri dan
kanan (gambar 9) (Hupp dkk, 2008).

Gambar 7. Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur mandibula.

A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula


(panah).
B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula
(panah).
C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah).
D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada cbela kiri badan
mandibula dan fraktur subkondilar cbela kanan (panah) (Hupp dkk, 2008).

Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi
Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi
submental verteks (Hupp dkk, 2008). Fraktur pada arkus zygomatikus ditunjukkan
dengan baik oleh proyeksi submentoverteks (gambar 8).

Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah
(Hupp dkk, 2008).
A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita

B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan
kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium.
C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan kemungkinan
keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka bisa dilakukan
CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran yang tumpang
tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua sifat tersebut
merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan diagnosis yang akurat
dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur penyaringan
standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat menunjukkan adanya
trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-serebral, daerah kontusio,
dan edema cerebral (Pedersen, 1996).

Gambar 9. Gambaran CT Scan (Hupp dkk, 2008).


A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).
B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita
kanan
Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan
tiga dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan

keadaan fraktur dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang


(Tawfilis, 2006)

Gambar 10.Radiografi digital imaging 3D (Tawfilis, 2006)

Penatalaksanaan

Prinsip

utama

perawatan

gawat

darurat

(emergency

care)

adalah

menyelamatkan hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien. Secara
berurutan primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABCD
(Miloro, 2004):
1) Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal,
adapun cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift, headtilt atau jaw trust. Pada
penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih,
walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada
penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan
memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi
atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan
pada riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis
dapat dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua

perrtama

jenis fraktur akan

terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus
dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara
maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini
harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik
dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi
secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.

Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru dan open
pneumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
3) Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama
pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di
rumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai
keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume
darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovalemia.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas
jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat, keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia. Periksalah pada
nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak
cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar
harus dikelola pada primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan
penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak
jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila
sudah ada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari
perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tembus dada/
perut.
4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan
evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS merupakan sistem
scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. Penurunan

kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/ dan penurunan perfusi ke


otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut
dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila
diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.

Perawatan Definitif
Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum pasien
lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan gawat
darurat. Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan yang
terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi.
Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan (Fonseca, 2005):
1. Lokasi dan luasnya fraktur
2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur
3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf
4. Luas kehilangan tulang
5. Keadaan trauma dentoalveolar
Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari seluruh
perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual. Dibutuhkan
perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan lamanya perawatan di
rumah sakit.
Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks
secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi
primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali
tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, dan pengelolaan gigi geligi
yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan tidak kooperatif. Pada
periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga
pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan

wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele
intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan (Miloro, 2004)
Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk
pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus
keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan
kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif
untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik dalam rangka reduksi dan fiksasi
fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur akibat telah terjadinya
penyatuan tulang (Tawfilis, 2006)
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak
stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan
transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu
dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah)
(Miloro, 2004)
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial
anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana strukturstruktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat
direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila terdapat diskontinuitas pada
lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial dan diskontinuitas pada
dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan dilakukan dalam
arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat
menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis
kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan
resiko kerusakan atau perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah
diperbaiki.(Miloro, 2004)

Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung
mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik
unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk
mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi dengan baik, maksila
yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan menyesuaikan oklusi pada rahang
bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah
atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila
terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan
kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai.
Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada
maksila. Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai
dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial.
Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan
asimetri wajah. (Miloro, 2004)

Gambar 11. Teknik Bottom up (Miloro, 2004)

Pada tehnik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka
fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik,
kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian
dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal,
sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada
maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi
pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris. (Miloro, 2004)

Gambar 12. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)


Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan
hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila dibutuhkan

untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah.
(Miloro, 2004)

Gambar 13. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)
Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang
mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi
pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular,
retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan pemaparan
yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian atas. Selain itu
insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat mereduksi dan memfiksasi
fragmen tulang. (Miloro, 2004)
Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur
dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi
pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi
dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah
beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara
parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan
kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.( Nesbitt B. Elizabeth)

Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada
luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen
gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang melewati
sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort
II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea
cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam
selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan
tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal,
anestesia/hipoestesia

infraorbita,

devitalisasi

gigi,

ketidakseimbangan

otot

ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah


(memanjang, retrusi).( Higles Adams BOIES)

DAFTAR PUSTAKA

1.

Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis:


Elsevier Saunders. 2005.

2. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial


Surgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis. 2008.
3. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. Oral and Maxillofacial Surgery
Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009.
4. Michael Miloro. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC
Decker Inc. Hamilton. London. 2004.
5. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto dan
Basoeseno. EGC. Jakarta. 1996
6. Tawfilis A.R. Facial Trauma, Panfacial Fractures. eMedicine Journal. 2006.
In: http://emedicine.medscape.com. Diunduh pada tanggal 19 Desember 2010
jam 21.00.
7. Nesbitt B. Elizabeth, Leeds C. R. Duncan. Fractures of The Zygoma Bone.
British Medical Journal. 1945, April 14th.
8. Higles Adams BOIES. Trauma Rahang-Wajah dalam Buku Ajar Penyakit
THT. Ed.6. 1997. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai