PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perbedaan nilai tukar mata uang suatu Negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh
besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129). Kurs merupakan
salah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian terbuka, karena ditentukan oleh
adanya kseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, mengingat
pengaruhnya yang besar bagi neraca transaksi berjalan maupun bagi variabelvariabel makro
ekonomi lainnya. Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu
negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut
memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil (Salvator, 1997:10). Ketidakstabilan
nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan pedagangan Internasional.
Indonesia sebagai negara yang banyak mengimpor bahan baku industri mengalami dampak
dan ketidakstabilan kurs ini, yang dapat dilihat dari rnelonjaknya biaya produksi sehingga
menyebabkan harga barangbarang milik Indonesia mengalami peningkatan. Dengan
melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis
ekonomi dan kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri.
Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian, termasuk perbankan. Inflasi
merupakan salah satu dampak dari terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda
suatu negara. Inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga-harga secara tajam
(absolute) yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama
yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Tajul
Kahalwaty, 2000:5).
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi adalah
dengan menekan uang beredar baik dalam arti sempit (M1) maupun arti luas (M2) atau
likuiditas perekonomian. Efek dari kebijakan ini, bank-bank swasta maupun bank-bank
pemerintah berlomba-lomba menaikkan suku bunga. Bunga yang diberikan oleh bank-bank
pada masyarakat merupakan daya tarik yang utama bagi masyarakat untuk melakukan
penyimpanan uangnya di bank, sedangkan bagi bank, semakin besar dana masyarakat yang
bisa dihimpun, akan meningkatkan kemampuan bank untuk membiayai operasional aktivanya
yang sebagian besar berupa pemberian kredit pada masyarakat.
Menurut Usman (1987:29), tidak jarang bank-bank menetapkan suku bunga
terselubung, yaitu suku bunga simpanan yang diberikan lebih tinggi dari yang diinformasikan
secara resmi melalui media massa dengan harapan tingkat suku bunga yang dinaikkan akan
menyebabkan jumlah uang yang beredar akan berkurang karena orang lebih senang
menabung daripada memutarkan uangnya pada sektor-sektor produktif atau menyimpannya
dalam bentuk kas di rumah. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga terlalu rendah, jumlah uang
yang beredar di masyarakat akan bertambah karena orang akan lebih senang memutarkan
uangnya pada sektor-sektor yang dinilai produktif.
Suku bunga yang tinggi akan mendorong investor untuk menanamkan dananya di
bank daripada menginvestasikannya pada sektor produksi atau industri yang memiliki tingkat
risiko lebih besar. Sehingga dengan demikian, tingkat inflasi dapat dikendalikan melalui
kebijakan tingkat suku bunga (Khalwaty, 2000:144).
Namun ternyata kebijakan ini dapat menimbulkan dampak negatif pada kegiatan
ekonomi. Kebijakan uang ketat disatu sisi memang menunjukkan indikasi yang baik pada
nilai tukar yang secara bertahap menunjukkan kecenderungan menguat namun di sisi lain
kebijakan uang ketat yang mendorong tingkat suku bunga tinggi ternyata dapat menyebabkan
cost of money menjadi mahal, hal yang demikian akan memperlemah daya saing ekspor di
pasar dunia sehingga dapat membuat dunia usaha tidak bergairah melakukan investasi dalam
negeri, produksi akan turun, dan pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan (Boediono, 1990:3).
1.2.
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Goldfeld dan Lester V Chandler (1989:657) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kurs antara dua satuan mata uang adalah jumlah satuan suatu mata uang yang dibutuhkan
untuk membeli satu satuan mata uang asing.
Suatu kurs dapat ditentukan seperti setiap harga barang yang lain yaitu oleh fungsi
permintaan dan penawaran valuta asing. Dapat pula ditentukan (pagged) oleh suatu instansi
pemerintah yang campur tangan dalam pasar valuta asing dengan membeli dan menjual
aktiva cadangan resmi untuk mempertahankan kurs pada level tertentu.
Lebih lanjut Sadono Sukirno (1999:358) menyebutkan bahwa kurs (nilai tukar)
adalah suatu nilai yang menunjukkan jumlah mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk
mendapatkan satu unit mata uang asing. Lebih jauh Winardi (1987:168) memberikan
pengertian kurs yaitu harga persatuan sebuah valuta asing yang dinyatakan dalam satuan
valuta domestik.
Berdasarkan pendapat di atas maka nilai berbagai mata uang asing berbeda dalam
suatu waktu tertentu dan suatu mata uang asing nilainya akan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi saat itu. Jika mata uang suatu
negara mengalami penurunan dibanding dengan mata uang negara lain disebut depresiasi,
sedang jika mengalami kenaikan dibanding dengan uang negara lain disebut apresiasi.
Pergerakan mata uang ditentukan oleh berbagai sistem yang berlaku. Ada beberapa
sistem yang digunakan oleh beberapa negara untuk menentukan sistem yang akan dipakai
seperti yang dipakai pada tahun 1930 di mana sistem-sistem nilai tukar yang berfluktuatif
bebas ataupun sistem nilai tukar tetap, akan dimungkinkan setiap negara dapat melakukan
devaluasi untuk memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya, walaupun tindakan
devaluasi ini tidak pasti memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya. Untuk mencapai
suatu sistem moneter atau sistem nilai tukar yang tertib agar memudahkan arus bebas
perdagangan setelah perang dunia II.
Nilai tukar mata uang diperlukan ketika akan melakukan pembayaran internasional.
Berbagai negara di dunia yang melakukan perdagangan luar negeri menggunakan beberapa
sistem penetapan nilai tukar dengan tujuan mempermudah proses penukaran mata uang yang
satu dengan mata uang yang lainnya. Samuelson (1986:622) membagi sistem penetapan nilai
tukar menjadi tiga bentuk utama yaitu 1) Kurs menurut sistem standar emas 2) Kurs
mengambang bebas 3) Sistem kurs mengambang terkendali.
Sedangkan Robert
Ekellund
Jr
dan
Robert
Tollison dalam
bukunya
Dalam sistem ini setiap transaksi internasional dibayar dengan menggunakan emas sebagai
alat tukar. Negara yang banyak mengimpor barang dan jasa memerlukan banyak devisa emas
untuk membayar biaya-biaya impor. Sebaliknya negara yang banyak mengekspor barang dan
jasa akan banyak menerima emas. Kondisi ini jika terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan suatu negara kehilangan seluruh persediaan emasnya sementara di negara lain
akan terjadi penumpukan devisa emas sehingga terjadi ketidakseimbangan neraca
pembayaran
internasional
pada
masing-masing
negara. Hume
dan
Samuelson
(1986:624) memberikan teori tentang penyeimbang kembali arus emas menurut Hume,
negara yang terlalu banyak mengimpor barang akan terlalu banyak kehilangan emasnya
untuk pembayaran. Merosotnya kuantitas emas akan menurunkan persediaan uang sesuai
dengan teori kuantitas uang dari Irving Fisher, harga-harga dan biaya akan tertekan sehingga
negara tersebut akan mengurangi impornya karena harga barang impor menjadi relatif lebih
mahal. Harga barang domestik dianggap lebih murah oleh pihak asing, maka ekspor domestik
akan meningkat. Dengan juga demikian negara yang semula kehilangan persediaan emas
akan berubah menjadi negara yang banyak mempunyai emas. Neraca pembayaran yang
semula tidak seimbang akan menjadi seimbang.
Mekanisme penyeimbang arus emas ini, menurut Hume akan memperbaiki neraca
pembayaran dari negara yang semula kehilangan emas dan memperburuk neraca pembayaran
negara yang semula banyak menerima emas. Pada akhirnya akan tercapai keseimbangan
perdagangan luar negeri dan keuangan akan tertata kembali pada harga-harga relatif baru.
2.
Nilai tukar dibuat konstan atau hanya dibiarkan berfluktuasi dalam batas-batas yang sangat
sempit. Jika nilai tukar bergerak terlalu tajam pemerintah dapat melakukan intervensi untuk
mempertahankannya.
3.
Yaitu nilai tukar dibiarkan berfluktuasi secara bebas. Perkembangan kurs akan tergantung
permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Apabila
pelaku ekonomi tidak melakukan perlindungan terhadap nilai mata uang maka akan sulit
menentukan perencanaan.
4.
Yaitu pemerintah ikut campur tangan mengendalikan kurs mata uang dengan cara menjual
dan membeli valuta asing. Tujuannya adalah menjaga stabilitas kurs mata uang sebagaimana
yang diinginkan pemerintah.
2.2.
adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai persentase dari
jumlah yang dipinjamkan. Dengan kata lain, orang harus membayar kesempatan untuk
meminjam uang. Biaya peminjaman uang, diukur dalam dolar per tahun per dolar yang
dipinjam, adalah suku bunga (Samuelson dan Nordhaus, 2004).
Menurut Case dan Fair (2004), tingkat suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan
atas suatu pinjaman yang dinyatakan sebagai persentase pinjaman. Besarnya sama dengan
jumlah bunga yang diterima pertahun dibagi jumlah pinjaman.
Tingkat bunga sangat berpengaruh dalam aktivitas perekonomian suatu negara.
Tingkat bunga dapat berpengaruh terhadap tingkat investasi, jumlah uang beredar, inflasi,
obligasi, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Selain itu tingkat bunga merupakan faktor yang penting dalam perekonomian suatu
negara karena sangat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan perekonomian negara tersebut.
Hal ini tidak hanya mempengaruhi keinginan konsumen untuk membelanjakan ataupun
menabungkan uangnya, tetapi juga mempengaruhi dunia. usaha dalam mengambil keputusan.
ena itu tingkat bunga mempunyai pengaruh yang sangat luas ter tetapi juga pada sektor riil,
sektor ketenagakerjaan, bahkan sektor internasional. Secara teoritis terdapat dua jalur utama
mekanisme transmisi kebijaka moneter, yaitu melalui jumlah uang yang beredar (quantity
targeting) dan jalur harga melalui suku bunga (price targeting).
Dalam kenyataannya terdapat banyak macam tingkat bunga. Tingkat bunga berbeda
terutama dalam hal karakteristik dari pinjaman atau peminjam. Pinjaman dibedakan atas
jangka waktu atau jatuh temponya. Sekuritas jangka panjang banyak yang memiliki tingkat
bunga lebih tinggi dari jangka pendek karena pemberi pinjaman mau mengorbankan akses
cepat ke dana mereka hanya jika mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka.
2.4.
internasional yang menerangkan bagaimana hubungan bursa valas forex market dengan
international money market (pasar uang internasional).
Teori IRP menyatakan bahwa perbedaan tingkat bunga (securities) pada international money
market akan cenderung sama dengan forward rate premium atau discount. Dengan kata lain
berdasarkan teori IRP akan dapat ditentukan/diperkirakan berapa perubahan kurs forward
atau forward rate (FR) dibandingkan dengan spot rate (SR), bila terdapat perbedaan tingkat
bunga misalnya antara home country dan foreign country. Menurut IRP, besarnya perubahan
FR terhadap SR akan ditentukan oleh besarnya forward rate premium atau discount, yang
timbul sebagai akibat dari perbedaan tingkat bungan antara home country dan foreign
country. Dengan deminkian seorang pemilik dana akan dapat menentukan dalam mata uang
atau valas apa dananya akan diinvestasikan (Hady, 2001).
Persamaannya dapat diturunkan dari rumus di bawah ini:
i = i*t + Ft - St ......................................................................................... (i)
t
BAB III
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1.
Studi Kasus
rupiah
dari
mancanegara,
dikhawatirkan
akan
merunyamkan
perkenomian/keuangan negara. Guna bisa kembali menggairahkan sektor riil sebagai akibat
pelemahan nilai tukar rupiah dan seiring dengan kebijakan menaikkan BI rate serta empat
paket kebijakan pemerintah, disarankan pemerintah mengambil langkah-langkah (solusi)
berikut.
1. Memberikan insentif kepada para pengusaha industri/produsen yang menggunakan bahan
baku impor untuk menggunakan US$ bernilai "patok" Rp 10.000 per US$ paling tidak dalam
kurun waktu enam bulan (hingga Juni 2014).
2. Membebaskan pajak penghasilan gaji para pegawai/buruh sekaligus menjaga harmonisasi
pengusaha-buruh-pemerintah agar selalu tercipta suasana kondusif.
3. Tidak menaikkan suku bunga kredit untuk perusahaan-perusahaan produsen tertentu yang
menggunakan bahan impor untuk produksinya meski BI rate dinaikkan.
4. Menghapus/meniadakan (lagi) biaya-biaya siluman seperti untuk perizinan, biaya-biaya
keamanan dan biaya-biaya non operasional/ekonomis lainnya.
Harus Bekerja Sama
4.2.
Hasil Analisis
BI Rate adalah suku bunga dengan tenor 1 bulan yang diumumkan oleh Bank
Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter. Secara sederhana
BI rate adalah indikasi suku bunga jangka pendek yang diinginkan oleh Bank Indonesia
dalam rangka mencapai target inflasi. Pada tahun 2013 Bank Indonesia (BI) untuk kelima
kalinya dalam setahun kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25
basis poin (bps) lewat keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah memang cenderung melemah. Hal yang sama juga
dialami oleh mata uang beberapa Negara emerging markets (negara berkembang yang sedang
mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya. Selama Juni-Agustus 2013, nilai
tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan
nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen. Trend melemahnya nilai tukar
mata uang beberapa negara emerging markets selama Juni-Agustus 2013 bisa dilihat dalam
grafik di bawah ini:
Secara kebetulan kurs rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan hebat, dan
terdepresiasi hingga 24,26 persen selama satu tahun terakhir ini, terhitung 7 Desember 2012
hingga 6 Desember 2013. Puncak akselerasi depresiasi terjadi pada pertengahan tahun kedua
sebesar 21,96 % (5 Juni 2013 6 Desember 2013). Untuk pertengahan tahun pertama (7
desember 2012 5 Juni 2013) rupiah hanya terdepresiasi 1,89 persen. Lihat tabel di bawah
ini.
Depresiasi rupiah yang luar biasa ini memicu Bank Indonesia menaikkan suku bunga
acuannya, yang juga dikenal dengan BI rate, sebanyak lima kali dalam kurun waktu lima
bulan, sejak 13 Juni 2013 hingga 12 November 2013. BI rate pada periode tersebut naik 1,75
persen, dari 5,75 persen menjadi 7,50 persen.
transaksi berjalan (dan defisit neraca perdagangan), yang pada akhirnya juga diharapkan
dapat mengangkat kurs rupiah agar tidak merosot lebih jauh. Langkah ini diambil sebagai
salah tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana
tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud
dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan
jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama
kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang
mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai
stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan
kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk
mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaransasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga
sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), dinilai bisa memberikan
dampak positif atau negatif terhadap dinamika perekonomian nasional. Dampak positifnya
yaitu ketika Bank Indonesia menaikkan BI rate tekanan terhadap rupiah akan berkurang
karena kenaikan BI rate bisa menarik aliran modal kembali masuk ke Indonesia sehingga
diharapkan mampu mebangkitkan pelemahan nilai tukar rupiah dan kegiatan impor bisa
berjalan dengan baik lagi.
Selain itu, kenaikan BI Rate ini juga berdampak positif khususnya dalam pengelolaan
ekspektasi inflasi ke depannya. Inflasi perlu dijaga agar tidak melampaui level yang
ditargetkan pemerintah dan Bank Indonesia pada 2013 yaitu pada angka 7,2 persen. Level
inflasi yang tinggi menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang akan
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas
bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan
investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana
dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Tapi di sisi lain dengan adanya Kenaikan BI Rate akan berdampak negatif terhadap
perekonomian dan sektor riil. Pertumbuhan ekonomi akan melambat. Umumnya sektor riil
adalah sektor yang padat karya, sehingga memiliki struktur permodalan yang lebih banyak
terdiri dari utang. Dengan kenaikan suku bunga acuan, yang selanjutnya akan diikuti dengan
kenaikan bunga pinjaman dan simpanan berjangka oleh bank-bank di seluruh Indonesia, para
pengusaha sektor riil akan kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Hal ini juga
menyebabkan terjadinya multiplier effect antara lain potensi masalah pengangguran karena
pemutusan hubungan kerja.
Resiko lain yang mungkin ditimbulkan adalah penurunan penerimaan negara dari
sektor pajak. Perlambatan ekonomi menimbulkan kecenderungan untuk mengurangi
konsumsi dan menaikkan simpanan. Dari sisi pengusaha sendiri, akan terjadi penurunan
pendapatan karena sedikitnya permintaan pasar. Sehingga penerimaan negara dari sektor
pajak, terutama Pajak Penghasilan dan pajak konsumsi seperti Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) ikut menurun.
Kenaikan BI Rate juga akan mengakibatkan kenaikan suku bunga perbankan. Bank
bisa menaikkan suku bunga simpanan ataupun pinjaman. Kenaikan suku bunga simpanan
akan mendorong masyarakat menunda kegiatan konsumsi karena memilih menyimpan dana
di bank. Kenaikan suku bunga simpanan akan meningkatkan biaya dana bank. Jika tidak
ingin margin tertekan, bank harus menaikkan suku bunga pinjaman. Langkah bank
menaikkan suku bunga pinjaman akan berhadapan dengan risiko kredit bermasalah.
Melihat sisi lain yang timbul dari kenaikan BI rate, hendaknya Pemerintah tidak
tinggal diam. Pemerintah dan Bank Indonesia harus sejalan dalam mengantisipasi nilai tukar
yang terus melemah. Dalam hal ini pemerintah bisa mengambil berbagai kebijakan untuk
mengatasi nilai tukar yang melemah, diantaranya
Menjaga daya beli masyarakat, dengan mengubah tata niaga daging sapi dan
holtikultura.
Menghapus/meniadakan (lagi) biaya-biaya siluman seperti untuk perizinan, biayabiaya keamanan dan biaya-biaya non operasional/ekonomis lainnya
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Pada beberapa tahun terakhir nilai tukar rupiah selalu terdepresiasi. Bank Indonesia
sebagai pengambil kebijakan moneter mempunyai wewenang dalam menaik turunkan BI rate
untuk menstabilkan nilai rupiah terhadap mata uang asing agar tetap stabil. BI rate dinilai
dapat mempunyai dampak positif dan negatif terhadap Indonesia.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), dinilai bisa memberikan
dampak positif atau negatif terhadap dinamika perekonomian nasional. Dampak positifnya
yaitu ketika Bank Indonesia menaikkan BI rate tekanan terhadap rupiah akan berkurang
karena kenaikan BI rate bisa menarik aliran modal kembali masuk ke Indonesia sehingga
diharapkan mampu mebangkitkan pelemahan nilai tukar rupiah.
Sedangkan dampak negatif, kebijakan menaikkan BI rate mempengaruhi aktivitas
perekonomian dan sektor riil terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Melesunya
kegiatan UKM, karena terbatasnya dana (tingginya suku bunga kredit perbankan) untuk para
pelaku usaha kelompok ini dalam melangsungkan usahanya.