Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Perbedaan nilai tukar mata uang suatu Negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh

besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129). Kurs merupakan
salah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian terbuka, karena ditentukan oleh
adanya kseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, mengingat
pengaruhnya yang besar bagi neraca transaksi berjalan maupun bagi variabelvariabel makro
ekonomi lainnya. Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu
negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut
memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil (Salvator, 1997:10). Ketidakstabilan
nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan pedagangan Internasional.
Indonesia sebagai negara yang banyak mengimpor bahan baku industri mengalami dampak
dan ketidakstabilan kurs ini, yang dapat dilihat dari rnelonjaknya biaya produksi sehingga
menyebabkan harga barangbarang milik Indonesia mengalami peningkatan. Dengan
melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis
ekonomi dan kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri.
Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian, termasuk perbankan. Inflasi
merupakan salah satu dampak dari terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda
suatu negara. Inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga-harga secara tajam
(absolute) yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama
yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Tajul
Kahalwaty, 2000:5).
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi adalah
dengan menekan uang beredar baik dalam arti sempit (M1) maupun arti luas (M2) atau
likuiditas perekonomian. Efek dari kebijakan ini, bank-bank swasta maupun bank-bank
pemerintah berlomba-lomba menaikkan suku bunga. Bunga yang diberikan oleh bank-bank
pada masyarakat merupakan daya tarik yang utama bagi masyarakat untuk melakukan
penyimpanan uangnya di bank, sedangkan bagi bank, semakin besar dana masyarakat yang

bisa dihimpun, akan meningkatkan kemampuan bank untuk membiayai operasional aktivanya
yang sebagian besar berupa pemberian kredit pada masyarakat.
Menurut Usman (1987:29), tidak jarang bank-bank menetapkan suku bunga
terselubung, yaitu suku bunga simpanan yang diberikan lebih tinggi dari yang diinformasikan
secara resmi melalui media massa dengan harapan tingkat suku bunga yang dinaikkan akan
menyebabkan jumlah uang yang beredar akan berkurang karena orang lebih senang
menabung daripada memutarkan uangnya pada sektor-sektor produktif atau menyimpannya
dalam bentuk kas di rumah. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga terlalu rendah, jumlah uang
yang beredar di masyarakat akan bertambah karena orang akan lebih senang memutarkan
uangnya pada sektor-sektor yang dinilai produktif.
Suku bunga yang tinggi akan mendorong investor untuk menanamkan dananya di
bank daripada menginvestasikannya pada sektor produksi atau industri yang memiliki tingkat
risiko lebih besar. Sehingga dengan demikian, tingkat inflasi dapat dikendalikan melalui
kebijakan tingkat suku bunga (Khalwaty, 2000:144).
Namun ternyata kebijakan ini dapat menimbulkan dampak negatif pada kegiatan
ekonomi. Kebijakan uang ketat disatu sisi memang menunjukkan indikasi yang baik pada
nilai tukar yang secara bertahap menunjukkan kecenderungan menguat namun di sisi lain
kebijakan uang ketat yang mendorong tingkat suku bunga tinggi ternyata dapat menyebabkan
cost of money menjadi mahal, hal yang demikian akan memperlemah daya saing ekspor di
pasar dunia sehingga dapat membuat dunia usaha tidak bergairah melakukan investasi dalam
negeri, produksi akan turun, dan pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan (Boediono, 1990:3).
1.2.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana dampak yang ditimbulkan BI rate terhadap nilai tukar?


2. Bagaimana dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat kebijakan Bank Indonesia
meningkatkan BI rate?
1.3.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan BI rate terhadap nilai tukar.


2. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat kebijakan Bank
Indonesia meningkatkan BI rate.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.

Pengertian Nilai Tukar (Kurs)


Untuk memberikan gambaran umum tentang nilai tukar (kurs) maka Stephen M.

Goldfeld dan Lester V Chandler (1989:657) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kurs antara dua satuan mata uang adalah jumlah satuan suatu mata uang yang dibutuhkan
untuk membeli satu satuan mata uang asing.
Suatu kurs dapat ditentukan seperti setiap harga barang yang lain yaitu oleh fungsi
permintaan dan penawaran valuta asing. Dapat pula ditentukan (pagged) oleh suatu instansi
pemerintah yang campur tangan dalam pasar valuta asing dengan membeli dan menjual
aktiva cadangan resmi untuk mempertahankan kurs pada level tertentu.
Lebih lanjut Sadono Sukirno (1999:358) menyebutkan bahwa kurs (nilai tukar)
adalah suatu nilai yang menunjukkan jumlah mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk
mendapatkan satu unit mata uang asing. Lebih jauh Winardi (1987:168) memberikan
pengertian kurs yaitu harga persatuan sebuah valuta asing yang dinyatakan dalam satuan
valuta domestik.
Berdasarkan pendapat di atas maka nilai berbagai mata uang asing berbeda dalam
suatu waktu tertentu dan suatu mata uang asing nilainya akan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi saat itu. Jika mata uang suatu
negara mengalami penurunan dibanding dengan mata uang negara lain disebut depresiasi,
sedang jika mengalami kenaikan dibanding dengan uang negara lain disebut apresiasi.
Pergerakan mata uang ditentukan oleh berbagai sistem yang berlaku. Ada beberapa
sistem yang digunakan oleh beberapa negara untuk menentukan sistem yang akan dipakai
seperti yang dipakai pada tahun 1930 di mana sistem-sistem nilai tukar yang berfluktuatif
bebas ataupun sistem nilai tukar tetap, akan dimungkinkan setiap negara dapat melakukan
devaluasi untuk memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya, walaupun tindakan
devaluasi ini tidak pasti memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya. Untuk mencapai
suatu sistem moneter atau sistem nilai tukar yang tertib agar memudahkan arus bebas
perdagangan setelah perang dunia II.

Nilai tukar mata uang diperlukan ketika akan melakukan pembayaran internasional.
Berbagai negara di dunia yang melakukan perdagangan luar negeri menggunakan beberapa
sistem penetapan nilai tukar dengan tujuan mempermudah proses penukaran mata uang yang
satu dengan mata uang yang lainnya. Samuelson (1986:622) membagi sistem penetapan nilai
tukar menjadi tiga bentuk utama yaitu 1) Kurs menurut sistem standar emas 2) Kurs
mengambang bebas 3) Sistem kurs mengambang terkendali.
Sedangkan Robert

Ekellund

Jr

dan

Robert

Tollison dalam

bukunya

Makroekonomi menambahkan sistem lain yaitu sistem kurs tetap.


Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.

Sistem nilai tukar menurut standar emas

Dalam sistem ini setiap transaksi internasional dibayar dengan menggunakan emas sebagai
alat tukar. Negara yang banyak mengimpor barang dan jasa memerlukan banyak devisa emas
untuk membayar biaya-biaya impor. Sebaliknya negara yang banyak mengekspor barang dan
jasa akan banyak menerima emas. Kondisi ini jika terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan suatu negara kehilangan seluruh persediaan emasnya sementara di negara lain
akan terjadi penumpukan devisa emas sehingga terjadi ketidakseimbangan neraca
pembayaran

internasional

pada

masing-masing

negara. Hume

dan

Samuelson

(1986:624) memberikan teori tentang penyeimbang kembali arus emas menurut Hume,
negara yang terlalu banyak mengimpor barang akan terlalu banyak kehilangan emasnya
untuk pembayaran. Merosotnya kuantitas emas akan menurunkan persediaan uang sesuai
dengan teori kuantitas uang dari Irving Fisher, harga-harga dan biaya akan tertekan sehingga
negara tersebut akan mengurangi impornya karena harga barang impor menjadi relatif lebih
mahal. Harga barang domestik dianggap lebih murah oleh pihak asing, maka ekspor domestik
akan meningkat. Dengan juga demikian negara yang semula kehilangan persediaan emas
akan berubah menjadi negara yang banyak mempunyai emas. Neraca pembayaran yang
semula tidak seimbang akan menjadi seimbang.
Mekanisme penyeimbang arus emas ini, menurut Hume akan memperbaiki neraca
pembayaran dari negara yang semula kehilangan emas dan memperburuk neraca pembayaran
negara yang semula banyak menerima emas. Pada akhirnya akan tercapai keseimbangan
perdagangan luar negeri dan keuangan akan tertata kembali pada harga-harga relatif baru.
2.

Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system)

Nilai tukar dibuat konstan atau hanya dibiarkan berfluktuasi dalam batas-batas yang sangat
sempit. Jika nilai tukar bergerak terlalu tajam pemerintah dapat melakukan intervensi untuk
mempertahankannya.
3.

Sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system)

Yaitu nilai tukar dibiarkan berfluktuasi secara bebas. Perkembangan kurs akan tergantung
permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Apabila
pelaku ekonomi tidak melakukan perlindungan terhadap nilai mata uang maka akan sulit
menentukan perencanaan.
4.

Sistem nilai tukar mengambang terkendali

Yaitu pemerintah ikut campur tangan mengendalikan kurs mata uang dengan cara menjual
dan membeli valuta asing. Tujuannya adalah menjaga stabilitas kurs mata uang sebagaimana
yang diinginkan pemerintah.

2.2.

Tingkat Suku Bunga


Bunga adalah pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang. Suku bunga

adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai persentase dari
jumlah yang dipinjamkan. Dengan kata lain, orang harus membayar kesempatan untuk
meminjam uang. Biaya peminjaman uang, diukur dalam dolar per tahun per dolar yang
dipinjam, adalah suku bunga (Samuelson dan Nordhaus, 2004).
Menurut Case dan Fair (2004), tingkat suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan
atas suatu pinjaman yang dinyatakan sebagai persentase pinjaman. Besarnya sama dengan
jumlah bunga yang diterima pertahun dibagi jumlah pinjaman.
Tingkat bunga sangat berpengaruh dalam aktivitas perekonomian suatu negara.
Tingkat bunga dapat berpengaruh terhadap tingkat investasi, jumlah uang beredar, inflasi,
obligasi, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Selain itu tingkat bunga merupakan faktor yang penting dalam perekonomian suatu
negara karena sangat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan perekonomian negara tersebut.
Hal ini tidak hanya mempengaruhi keinginan konsumen untuk membelanjakan ataupun

menabungkan uangnya, tetapi juga mempengaruhi dunia. usaha dalam mengambil keputusan.
ena itu tingkat bunga mempunyai pengaruh yang sangat luas ter tetapi juga pada sektor riil,
sektor ketenagakerjaan, bahkan sektor internasional. Secara teoritis terdapat dua jalur utama
mekanisme transmisi kebijaka moneter, yaitu melalui jumlah uang yang beredar (quantity
targeting) dan jalur harga melalui suku bunga (price targeting).
Dalam kenyataannya terdapat banyak macam tingkat bunga. Tingkat bunga berbeda
terutama dalam hal karakteristik dari pinjaman atau peminjam. Pinjaman dibedakan atas
jangka waktu atau jatuh temponya. Sekuritas jangka panjang banyak yang memiliki tingkat
bunga lebih tinggi dari jangka pendek karena pemberi pinjaman mau mengorbankan akses
cepat ke dana mereka hanya jika mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka.

2.3. Tingkat Bunga Riil dan Nominal


Samuelson dan Nordhaus (2004) menjelaskan suku bunga nominal (kadang juga
disebut suku bunga uang) adalah suku bunga atas uang dalam ukuran uang. Sebaliknya, suku
bunga riil dikoreksi karena inflasi dan dihitung sebagai suku bunga nominal dikurangi tingkat
inflasi.
Mankiw (2007) menyatakan bahwa para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang
dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan daya beli
sebagai tingkat bunga riil (real interest rate). Jika i menyatakan tingkat bunga nominal, r
tingkat bunga riil, dan tingkat inflasi, maka hubungan antara ketiga variabel tersebut
adalah:
r = i ...................................................................................................... (i)
Tingkat bunga riil adalah perbedaan diantara tingkat bunga nominal dan tingkat
inflasi. Sedangkan tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi:
i = r + ...................................................................................................... (ii)
Persamaan di atas disebut persamaan Fisher (Fisher equation). Persamaan tersebut
menunjukkan tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan: karena tingkat bunga riil
berubah atau karena tingkat inflasi berubah.

2.4.

Konsep Paritas Suku Bunga (Interest Rate Parity)


Interest Rate Parity (IRP) adalah salah satu teori yang paling dikenal dalam keuangan

internasional yang menerangkan bagaimana hubungan bursa valas forex market dengan
international money market (pasar uang internasional).
Teori IRP menyatakan bahwa perbedaan tingkat bunga (securities) pada international money
market akan cenderung sama dengan forward rate premium atau discount. Dengan kata lain
berdasarkan teori IRP akan dapat ditentukan/diperkirakan berapa perubahan kurs forward
atau forward rate (FR) dibandingkan dengan spot rate (SR), bila terdapat perbedaan tingkat
bunga misalnya antara home country dan foreign country. Menurut IRP, besarnya perubahan
FR terhadap SR akan ditentukan oleh besarnya forward rate premium atau discount, yang
timbul sebagai akibat dari perbedaan tingkat bungan antara home country dan foreign
country. Dengan deminkian seorang pemilik dana akan dapat menentukan dalam mata uang
atau valas apa dananya akan diinvestasikan (Hady, 2001).
Persamaannya dapat diturunkan dari rumus di bawah ini:
i = i*t + Ft - St ......................................................................................... (i)
t

i = i*t + FP .............................................................................................. (ii)


Dimana
Ft = Nilai tukar di masa mendatang
St = Nilai tukar sekarang
FP (Forward Premium) = Ft St

BAB III
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1.

Studi Kasus

Positif-Negatif Kebijakan BI Rate


DI sepanjang 2013 Bank Indonesia (BI) gencar menaikkan suku bunga acuannya (BI
rate). Mulai dari 6% (Juni-Juli), 6,5% (Agustus-September), 7% (Oktober) hingga menjadi
7,5% menjelang akhir November. Menaikkan dan atau menurunkan BI rate merupakan
otoritas penuh BI sebagai pengambil kebijakan terkait moneter. Menaikkan BI rate , berupaya
menarik rupiah yang "nongkrong" di manca negara agar kembali masuk ke Indonesia.
Dengan demikian pemilik rupiah (termasuk non rupiah) di mancanegara terpikat karena suku
bunga yang menjanjikan (tinggi), sehingga menyimpan dananya di Indonesia.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), oleh berbagai kalangan/pakar
ekonomi dinilai bisa memberikan dampak positif atau negatif terhadap dinamika
perekonomian nasional. Dampak positif, pemerintah bisa lebih mengendalikan/menjaga
inflasi dan defisit pada neraca transaksi berjalan. Sedangkan dampak negatif, kebijakan
menaikkan BI rate mempengaruhi sektor riil terutama usaha kecil dan menengah (UKM).
Melesunya kegiatan UKM, karena terbatasnya dana (tingginya suku bunga kredit perbankan)
untuk para pelaku usaha kelompok ini dalam melangsungkan usahanya.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan fiskal dan BI sebagai pengambil kebijakan
moneter yang bertujuan sama, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi dan keuangan yang
realistis, harus bergerak (harmonis) meski sesuai bidang tugasnya masing-masing. Kebijakan
menaikkan BI rate, selain menarik dana di luar negeri juga guna mengatasi pelemahan nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya terhadap US$ atau dolar Amerika.
Sekaligus mendukung "empat paket kebijakan pemerintah". Pertama, memperbaiki defisit
transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap US$ dengan mendorong ekspor dan
keringanan pajak kepada industri tertentu.
Kedua, menjaga pertumbuhan ekonomi, di mana pemerintah memastikan defisit
APBN 2013 tetap sebesar 2,38% dan pembiayaan aman. Ketiga, menjaga daya beli, dan
keempat, guna mempercepat investasi pemerintah mengefektifkan sistem layanan terpadu
satu pintu perizinan investasi.

BI Rate dan Solusi Pemulihan Rupiah


Pengusaha/produsen dan pelaku pasar saat ini butuh kebijakan yang menghasilkan
dalam waktu segera (berjangka pendek). Jika memungkinkan, pemerintah menalangi
sementara selisih kurs khusus impor barang, paling tidak selama enam bulan. Selisih
kelebihan biaya impor ditanggung pemerintah, sementara produsen/importir membayar harga
barang impornya dipatok pada kurs (ideal) Rp 10.000 per US$.
Hanya saja, timbul pertanyaan, dengan kurs rupiah yang sudah menembus level Rp
12.000 per US$ apa ada uang pemerintah menalangi selisih kurs, misalnya sebesar Rp 2.000?
Padahal cadangan devisa, transaksi perdagangan dan APBN sudah defisit (tekor). Jika
kebijakan menalangi dipaksakan dikhawatirkan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi
pemerintah.
Sementara di lain pihak, akibat melemahnya nilai tukar rupiah bunga utang
pemerintah juga membengkak. Terlebih jika penaikan BI rate ternyata tidak berdaya menarik
rupiah/non

rupiah

dari

mancanegara,

dikhawatirkan

akan

merunyamkan

perkenomian/keuangan negara. Guna bisa kembali menggairahkan sektor riil sebagai akibat
pelemahan nilai tukar rupiah dan seiring dengan kebijakan menaikkan BI rate serta empat
paket kebijakan pemerintah, disarankan pemerintah mengambil langkah-langkah (solusi)
berikut.
1. Memberikan insentif kepada para pengusaha industri/produsen yang menggunakan bahan
baku impor untuk menggunakan US$ bernilai "patok" Rp 10.000 per US$ paling tidak dalam
kurun waktu enam bulan (hingga Juni 2014).
2. Membebaskan pajak penghasilan gaji para pegawai/buruh sekaligus menjaga harmonisasi
pengusaha-buruh-pemerintah agar selalu tercipta suasana kondusif.
3. Tidak menaikkan suku bunga kredit untuk perusahaan-perusahaan produsen tertentu yang
menggunakan bahan impor untuk produksinya meski BI rate dinaikkan.
4. Menghapus/meniadakan (lagi) biaya-biaya siluman seperti untuk perizinan, biaya-biaya
keamanan dan biaya-biaya non operasional/ekonomis lainnya.
Harus Bekerja Sama

Pemerintah dengan empat paket kebijakannya dan BI dengan kebijakan (menaikkan)


BI rate-nya yang beralasan untuk mengimbangi tekanan geliat inflasi yang cenderung meliar
harus saling bekerja sama secara baik. Meski BI telah menaikkan BI rate (7,5%),
mengusahakan suku bunga kredit bagi pengusaha/produsen yang menggunakan bahan impor
sebagai bahan bakunya tidak dinaikkan. Sehingga, sektor riil tetap berjalan meski dengan
keuntungan minim, sembari terus mencari solusi terbaik agar tingkat kepercayaan asing bisa
pulih kembali.
Sementara dana-dana yang sempat keluar bisa ditarik kembali dari mancanegara,
diharapkan peran aktif pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang ekonomi dan
perbankan. Juga mengupayakan agar para investor percaya menanamkan investasinya di
Indonesia dengan memudahkan perijznan, membatasi gerak unjuk rasa anarkis dan menjaga
stabilitas kemanan dalam negeri.
Terpenting lainnya, pemerintah wajib memberdayakan dan mengembangkan produkproduk dalam negeri (pangan dan non pangan) dengan mensupport dana, fasilitas dan
pembinaan kepada para petani/perajin untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sehingga, pasca terpenuhinya kebutuhan dalam negeri barulah memproduksi untuk tujuan
ekspor dan mengurangi berbagai penggunaan barang-barang impor.
Terakhir, melakukan efisiensi terhadap berbagai bidang kehidupan, kedinasan,
penanganan/tender berbagai proyek, dan lain-lain. Terutama pemberantasan korupsi melalui
political will secara sungguh-sungguh dari pemerintah dan DPR.
Sumber: Medanbisnisdaily.com

4.2.

Hasil Analisis
BI Rate adalah suku bunga dengan tenor 1 bulan yang diumumkan oleh Bank

Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter. Secara sederhana
BI rate adalah indikasi suku bunga jangka pendek yang diinginkan oleh Bank Indonesia
dalam rangka mencapai target inflasi. Pada tahun 2013 Bank Indonesia (BI) untuk kelima
kalinya dalam setahun kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25
basis poin (bps) lewat keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah memang cenderung melemah. Hal yang sama juga
dialami oleh mata uang beberapa Negara emerging markets (negara berkembang yang sedang
mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya. Selama Juni-Agustus 2013, nilai
tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan
nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen. Trend melemahnya nilai tukar
mata uang beberapa negara emerging markets selama Juni-Agustus 2013 bisa dilihat dalam
grafik di bawah ini:

Ketidakstabilan nilai tukar dalam beberapa waktu lalu cenderung memperlihatkan


bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar semakin melemah , Salah satu penyebab masalah ini
adalah Neraca perdagangan Indonesia yang sejak tahun 2012 mengalami defisit
berkepanjangan, dan masih berlanjut hingga 2013. Defisit tersebut merupakan yang terburuk
sejak tahun 1961. Di samping itu, neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit yang
bahkan jauh lebih serius dari defisit neraca perdagangan. Defisit transaksi berjalan ini sudah
berlangsung selama 8 kwartal berturut-turut, yaitu sejak kwartal IV 2011 hingga kwartal III
2013.

Secara kebetulan kurs rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan hebat, dan
terdepresiasi hingga 24,26 persen selama satu tahun terakhir ini, terhitung 7 Desember 2012
hingga 6 Desember 2013. Puncak akselerasi depresiasi terjadi pada pertengahan tahun kedua
sebesar 21,96 % (5 Juni 2013 6 Desember 2013). Untuk pertengahan tahun pertama (7
desember 2012 5 Juni 2013) rupiah hanya terdepresiasi 1,89 persen. Lihat tabel di bawah
ini.

Depresiasi rupiah yang luar biasa ini memicu Bank Indonesia menaikkan suku bunga
acuannya, yang juga dikenal dengan BI rate, sebanyak lima kali dalam kurun waktu lima
bulan, sejak 13 Juni 2013 hingga 12 November 2013. BI rate pada periode tersebut naik 1,75
persen, dari 5,75 persen menjadi 7,50 persen.

Kenaikan BI rate yang terus menerus

ini diharapkan dapat mengurangi defisit

transaksi berjalan (dan defisit neraca perdagangan), yang pada akhirnya juga diharapkan
dapat mengangkat kurs rupiah agar tidak merosot lebih jauh. Langkah ini diambil sebagai
salah tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana
tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud
dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan
jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama
kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang
mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai
stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan
kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk
mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaransasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga
sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), dinilai bisa memberikan
dampak positif atau negatif terhadap dinamika perekonomian nasional. Dampak positifnya
yaitu ketika Bank Indonesia menaikkan BI rate tekanan terhadap rupiah akan berkurang
karena kenaikan BI rate bisa menarik aliran modal kembali masuk ke Indonesia sehingga
diharapkan mampu mebangkitkan pelemahan nilai tukar rupiah dan kegiatan impor bisa
berjalan dengan baik lagi.
Selain itu, kenaikan BI Rate ini juga berdampak positif khususnya dalam pengelolaan
ekspektasi inflasi ke depannya. Inflasi perlu dijaga agar tidak melampaui level yang
ditargetkan pemerintah dan Bank Indonesia pada 2013 yaitu pada angka 7,2 persen. Level
inflasi yang tinggi menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang akan
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas
bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan
investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana
dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Tapi di sisi lain dengan adanya Kenaikan BI Rate akan berdampak negatif terhadap
perekonomian dan sektor riil. Pertumbuhan ekonomi akan melambat. Umumnya sektor riil

adalah sektor yang padat karya, sehingga memiliki struktur permodalan yang lebih banyak
terdiri dari utang. Dengan kenaikan suku bunga acuan, yang selanjutnya akan diikuti dengan
kenaikan bunga pinjaman dan simpanan berjangka oleh bank-bank di seluruh Indonesia, para
pengusaha sektor riil akan kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Hal ini juga
menyebabkan terjadinya multiplier effect antara lain potensi masalah pengangguran karena
pemutusan hubungan kerja.
Resiko lain yang mungkin ditimbulkan adalah penurunan penerimaan negara dari
sektor pajak. Perlambatan ekonomi menimbulkan kecenderungan untuk mengurangi
konsumsi dan menaikkan simpanan. Dari sisi pengusaha sendiri, akan terjadi penurunan
pendapatan karena sedikitnya permintaan pasar. Sehingga penerimaan negara dari sektor
pajak, terutama Pajak Penghasilan dan pajak konsumsi seperti Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) ikut menurun.
Kenaikan BI Rate juga akan mengakibatkan kenaikan suku bunga perbankan. Bank
bisa menaikkan suku bunga simpanan ataupun pinjaman. Kenaikan suku bunga simpanan
akan mendorong masyarakat menunda kegiatan konsumsi karena memilih menyimpan dana
di bank. Kenaikan suku bunga simpanan akan meningkatkan biaya dana bank. Jika tidak
ingin margin tertekan, bank harus menaikkan suku bunga pinjaman. Langkah bank
menaikkan suku bunga pinjaman akan berhadapan dengan risiko kredit bermasalah.
Melihat sisi lain yang timbul dari kenaikan BI rate, hendaknya Pemerintah tidak
tinggal diam. Pemerintah dan Bank Indonesia harus sejalan dalam mengantisipasi nilai tukar
yang terus melemah. Dalam hal ini pemerintah bisa mengambil berbagai kebijakan untuk
mengatasi nilai tukar yang melemah, diantaranya

Memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan mendorong tingkat ekspor dan


memberikan keringanan pajak pada industri tertentu.

Menjaga daya beli masyarakat, dengan mengubah tata niaga daging sapi dan
holtikultura.

Mempercepat investasi dengan mengoptimalkan sistem layanan terpadu satu pintu


untuk perizinan investasi.

Memberikan insentif kepada para pengusaha industri/produsen yang menggunakan


bahan baku impor untuk menggunakan US$ bernilai "patok" Rp 10.000 per US$
paling tidak dalam kurun waktu enam bulan (hingga Juni 2014).

Membebaskan pajak penghasilan gaji para pegawai/buruh sekaligus menjaga


harmonisasi pengusaha-buruh-pemerintah agar selalu tercipta suasana kondusif.

Tidak menaikkan suku bunga kredit untuk perusahaan-perusahaan produsen tertentu


yang menggunakan bahan impor untuk produksinya meski BI rate dinaikkan.

Menghapus/meniadakan (lagi) biaya-biaya siluman seperti untuk perizinan, biayabiaya keamanan dan biaya-biaya non operasional/ekonomis lainnya

BAB IV
PENUTUP
4.1.

Kesimpulan
Pada beberapa tahun terakhir nilai tukar rupiah selalu terdepresiasi. Bank Indonesia

sebagai pengambil kebijakan moneter mempunyai wewenang dalam menaik turunkan BI rate
untuk menstabilkan nilai rupiah terhadap mata uang asing agar tetap stabil. BI rate dinilai
dapat mempunyai dampak positif dan negatif terhadap Indonesia.
Kebijakan menaikkan BI rate (hingga ke level 7,5%), dinilai bisa memberikan
dampak positif atau negatif terhadap dinamika perekonomian nasional. Dampak positifnya
yaitu ketika Bank Indonesia menaikkan BI rate tekanan terhadap rupiah akan berkurang
karena kenaikan BI rate bisa menarik aliran modal kembali masuk ke Indonesia sehingga
diharapkan mampu mebangkitkan pelemahan nilai tukar rupiah.
Sedangkan dampak negatif, kebijakan menaikkan BI rate mempengaruhi aktivitas
perekonomian dan sektor riil terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Melesunya
kegiatan UKM, karena terbatasnya dana (tingginya suku bunga kredit perbankan) untuk para
pelaku usaha kelompok ini dalam melangsungkan usahanya.

Anda mungkin juga menyukai