Anda di halaman 1dari 29

ABSES BARTOLINI

I. ANATOMI
Vulva adalah istilah kolektif untuk struktur yang terdiri genitalia eksterna
perempuan. Secara anatomis, itu adalah daerah yang dikenal sebagai segitiga
urogenital, dibatasi oleh anterior simfisis pubis, rami pubik lateral dan perineum.
Yang termasuk dalam struktur vulva antara lain mons pubis, labia mayora, labia
minora, klitoris dan vestibulum vulva. (1,2)
Mons pubis terletak di depan dan dibagian atas simfisis pubis. Mons pubis
disusun oleh lemak subkutan. Epitel ini padat ditutupi rambut dan memiliki semua
struktur adneksa seperti halnya yang ditemukan pada kulit. (1,2)
Sepasang labia majora, lipatan kulit, yang homolog dengan skrotum. Labia
mayora memperpanjang mons pubis dan bertemu di garis tengah posterior untuk
membentuk komisura posterior, yang terletak kira-kira 2 cm anterior ke anus.
Epitel ini mirip dengan struktur pada mons pubis yakni terdiri atas lapisan tebal
jaringan adiposa dan distribusi padat rambut di permukaan luar labia.
Rambut tidak dijumpai pada permukaan dalam tetapi banyak terdapat kelenjar
sebasea. Aspek dalam dari labia majora menyatu kedalam aspek luar labia minora
lateral, membentuk sulkus interlabial. (1)
Labia minora merupakan lipatan yang terletak antara labia mayora dan
vestibulum vulva. Lipatan superior menutupi klitoris seperti tudung, membentuk
preputium klitoris, dan lipatan bawah menyatu pada aspek inferior klitoris,
membentuk frenulum klitoris. Labia minora memiliki lemak subkutan sedikit.
Epitelnya tidak memiliki rambut tetapi banyak terdapat kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat. (1)

Klitoris adalah homolog dengan penis yang berisi pembuluh darah dan
struktur otot. Ostium vagina sebagian ditutup oleh himen. Ketika himen ruptur,
sisa-sisanya akan membentuk karunkula himen. (1,2)
Saluran kelenjar vestibular utama, kelenjar Bartholin, terletak pada posterior
labia minus. Saluran kelenjar vestibular kecil, kelenjar Skene, terbuka pada kedua
sisi ostium uretra. (1)
II.

DEFINISI
Dermatitis atopik ialah peradangan kulit kronis dan residif, pada epidermis

dan dermis disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi
dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (rinitis alergik atau asma
bronkial). [1-3]
Pada tahun 1925, Coca memperkenalkan konsep atopik yang berarti "tidak
pada tempatnya" atau "aneh" untuk menandakan kecenderungan turun-temurun
untuk mengembangkan alergi terhadap makanan dan zat inhalan. Keluarga yang
terkena dampak dapat bermanifestasi eksim, asma dan demam dalam kombinasi
apapun. Dermatitis biasanya dimulai di masa kanak-kanak, tetapi manifestasi yang
berbeda-beda sering bertahan sampai dewasa. [4, 5]
III.

EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk

menginterpretasi hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Berbagai


penelitian menyatakan bahwa prevalensi dermatitis atopik makin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang,
Australia dan negara industri lain, prevalensi dermatitis atopik pada anak
mencapai 10 sampai 20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1 sampai 3%. Studi
populasi di Skandinavia dan Jerman dilaporkan antara 7 dan 15 %. Di negara

agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi dermatitis atopik
jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita dermatitis atopik dari pada pria
dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi
dermatitis atopik, misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan
antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik sedangkan
rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir
makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbulnya dermatitis atopik pada kemudian hari. [1, 6, 7]
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari
seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami dermatitis atopik pada masa
kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopik, lebih
separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan
meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopik. Risiko mewarisi
dermatitis atopik lebih tinggi bila ibu menderita dermatitis atopik dibandingkan
dengan ayah. Tetapi, bila dermatitis atopik yang dialami berlanjut hingga masa
dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira
50%. [1, 6, 7]
Pada 2 bulan pertama dan tahun pertama kehidupan dilaporkan sebanyak
60% pasien. 30% terlihat untuk pertama kalinya pada usia 5 tahun dan hanya
10 % dermatitis atopik ditemukan antara 6 dan 20 tahun . Dermatitis atopik jarang
ditemukan pada onset dewasa. Pola pewarisan belum dipastikan, namun 60%
orang dewasa dengan dermatitis atopik cenderung memiliki anak dengan
dermatitis atopik. Prevalensi pada anak-anak lebih tinggi (81%) bila kedua orang
tua memiliki dermatitis atopik. [7, 8]
IV.

ETIOPATOGENESIS
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang sangat pruritus yang

merupakan hasil interaksi yang kompleks antara kerentanan genetik yang

menyebabkan penurunan fungsi sawar kulit, cacat pada sistem imun bawaan, dan
peningkatan respon kekebalan terhadap alergen dan antigen mikroba. [5]
Penurunan Fungsi Sawar Kulit
Dermatitis atopik dikaitkan dengan penurunan fungsi sawar kulit akibat
penurunan regulasi gen filaggrin dan loricrin, peningkatan kadar enzim proteolitik
endogen dan peningkatan kehilangan air transepidermal. Sawar kulit juga dapat
rusak oleh paparan protease eksogen dari tungau debu rumah dan Staphylococcus
aureus ( S. aureus ). Hal ini diperparah oleh kurangnya inhibitor endogen protease
tertentu dalam kulit atopik. Perubahan epidermal ini kemungkinan berkontribusi
terhadap peningkatan penyerapan alergen ke dalam kulit dan kolonisasi mikroba.
Penurunan fungsi sawar kulit bisa bertindak sebagai sarana untuk sensitisasi
alergen sehingga mempengaruhi anak-anak dalam pengembangan asma dan alergi
makanan. [5]
Immunopatologi
Lesi kulit pada dermatitis akut ditandai dengan edema interseluler
(spongiosis) dari epidermis. Antigen-presenting sel dendritik pada dermatitis
atopik misalnya sel-sel Langerhans dan makrofag dalam lesi dan pada tingkat
lebih rendah pada kulit nonlesional permukaannya terikat molekul imunoglobulin
E (IgE). Pada lesi akut dalam dermis dapat dijumpai sel T, monosit, makrofag dan
infiltrasi limfositik yang sebagian besar terdiri dari sel T memori yang
menunjukkan pertemuan sebelumnya dengan antigen. Eosinofil jarang ditemukan
pada dermatitis atopik akut. Sel mast ditemukan dalam jumlah normal pada
berbagai tahap degranulasi. [5]
Lesi likenifikasi kronis ditandai dengan epidermis hiperplastik dengan
pemanjangan rete ridges, hiperkeratosis menonjol dan spongiosis minimal. Ada
peningkatan jumlah IgE pada sel langerhans di epidermis dan makrofag
mendominasi infiltrat sel mononuklear dermal. Sel-sel mast meningkat
jumlahnya. Neutrofil tidak ditemukan dalam lesi kulit dermatitis atopik bahkan

bila terjadi kolonisasi dan infeksi S. aureus. Terjadi peningkatan jumlah eosinofil
pada lesi kulit dermatitis atopik kronis. Eosinofil ini menjalani sitolisis dengan
pelepasan granul protein ke dalam dermis atas kulit lesi. Eosinofil dianggap
berkontribusi pada peradangan alergi oleh karena sekresi sitokin dan mediator
yang meningkatkan peradangan alergi dan menginduksi cedera jaringan di
dermatitis atopik melalui produksi oksigen intermediet reaktif dan pelepasan
protein granul beracun. [5]
Sitokin dan Kemokin
Peradangan kulit atopik diatur oleh ekspresi lokal sitokin proinflamasi dan
kemokin. Sitokin seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1)
dari sel-sel [keratinosit, sel mast, sel dendritik (DC)] mengikat pada reseptor
endotelium pembuluh darah, mengaktifkan jalur sinyal selular, yang mengarah ke
induksi molekul adhesi sel endotel vaskular. Peristiwa ini memulai proses
penarikan, aktivasi, dan adhesi endotel pembuluh darah diikuti oleh ekstravasasi
sel-sel inflamasi ke dalam kulit. Setelah sel-sel inflamasi tersebut telah masuk ke
dalam kulit, maka akan mempengaruhi gradien kemotaktik yang disebabkan oleh
kemokin yang berasal dari cedera atau infeksi. [5]
Dermatitis atopik akut dikaitkan dengan produksi sitokin oleh sel T Helper
tipe 2 (TH2), terutama IL-4 dan IL-13 yang memediasi sintesis imunoglobulin
menjadi IgE dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Sitokin
TH2 berperan pada respon inflamasi kulit dan didukung oleh sebuah pengamatan
terhadap tikus transgenik yang secara genetik direkayasa, dengan peningkatan
IL-4 di kulit dapat memperlihatkan lesi inflamasi kulit mirip dengan dermatitis
atopik. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi sitokin lokal kulit TH2 sangat
berperan dalam dermatitis atopik. Ada juga IL-31 yang merupakan sitokin TH2
yang menginduksi keparahan pruritus dan dermatitis pada hewan percobaan.
Kadar serum IL-31 juga telah ditemukan dalam kulit dermatitis atopik dan IL-31
berkorelasi dengan keparahan penyakit kulit. [5]

Pada dermatitis atopik kronis, terjadi peningkatan produksi IL-5, yang


terlibat dalam pengembangan dan kelangsungan hidup eosinofil. Peningkatan
produksi granulosit makrofag colony-stimulating faktor pada dermatitis atopik
menghambat apoptosis monosit, sehingga meningkatan keparahan dermatitis
atopik. Dermatitis atopik kronis juga melibatkan produksi sitokin TH1 seperti
IL-12 dan IL-18, serta beberapa sitokin lainnya yang terkait, termasuk IL-11 dan
transforming growth factor-1. [5]
Pada kemokin kulit sangat spesifik dimana sel T menarik kemokin
[CTACK; CC kemokin ligan 27 (CCL27)], yang sangat teregulasi pada dermatitis
atopik dan menarik antigen limfoid kutaneus kulit (CLA)+, kemokin CC10+
reseptor (CCR10+) sel T ke dalam kulit. CCR4 diekspresikan pada sel CLA+, sel T
juga dapat mengikat CCL17 pada endotelium vaskular venula kulit. Perekrutan
selektif sel TH2-CCR4 yang dimediasi oleh derivat makrofag di timus dan
regulasi aktivasi sitokin, yang keduanya meningkat pada dermatitis atopik.
Keparahan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan besarnya timus dan
peningkatan regulasi aktivasi sitokin. Selain itu, kemokin seperti fractalkine,
interferon (IFN)- dan monokin yang diinduksi oleh IFN- yang sangat kuat
teregulasi dalam keratinosit dan mengakibatkan migrasi sel Th1 kearah epidermis,
terutama pada dermatitis atopik kronis. Peningkatan ekspresi kemokin CC,
makrofag kemoattractant protein-4, eotaxin dan RANTES (diregulasi melalui
aktivasi sel T normal yang tersekresi) berkontribusi terhadap infiltrasi makrofag,
eosinofil, dan sel T pada lesi kulit dermatitis atopik akut dan kronis. [5]
Jenis-Jenis Sel Kulit Pada Dermatitis Atopik
Antigen-Presenting Cell
Sel dendritik memiliki peranan penting dalam mendeteksi alergen
lingkungan atau patogen melalui reseptor pengenalan seperti reseptor Toll-like
(TLR). Kulit dermatitis atopik terdiri dari dua jenis afinitas tinggi, dendritik sel
myeloid IgE reseptor-bearing (FcR) yang terdiri atas sel langhans dan sel-sel
inflamasi dendritik epidermal (IDECs). Sel langhans IgE-bearing tampaknya

memiliki peranan penting dalam presentasi alergen kulit. Hasil ini menunjukkan
bahwa sel yang terikat IgE pada sel langhans memfasilitasi penangkapan alergen
ke dalam sel langhans sebelum diproses dan dipresentasikan ke sel T. Sel langhans
IgE-bearing yang telah menangkap alergen mampu mengaktifkan sel TH2 memori
pada kulit atopik, selain itu juga dapat bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk
merangsang sel T memori yang ada untuk diperluas ke sel TH2 sistemik.
Stimulasi FcRI pada permukaan sel langhans oleh alergen menginduksi
pelepasan sinyal kemotaktik dan sel prekursor IDECs. Stimulasi FcRI pada
IDECs menyebabkan pelepasan sinyal proinflamasi yang berkontribusi terhadap
respon imun alergi. [5]
Berbeda dengan penyakit radang kulit lainnya, seperti dermatitis kontak
alergi atau psoriasis vulgaris, jumlah yang sangat rendah ditemukan pada
dendritik sel plasmasitoid (pDCs), yang berperan penting dalam pertahanan host
terhadap infeksi virus, dapat dideteksi dalam lesi kulit dermatitis atopik. pDCs
dalam darah perifer pasien dengan dermatitis atopik telah ditujukan untuk
menangkap varian trimerik dari FcRI pada permukaan selnya, yang ditempati
oleh molekul IgE. [5]
Sel T
Sel T memori kulit berperan penting dalam patogenesis dermatitis atopik,
terutama selama fase akut penyakit. Pada hewan percobaan, dermatitis atopik
ruam eczematous tidak terjadi tanpa adanya sel T. Selain itu, pengobatan dengan
inhibitor kalsineurin topikal (TCIs), yang menargetkan sel-sel T diaktifkan, secara
signifikan mengurangi ruam kulit dermatitis atopik. [5]
Beberapa studi telah menunjukkan adanya sel TH2 pada dermatitis atopik
akut yang menghasilkan sitokin yang meningkatkan peradangan alergi pada kulit.
Pada fase kronis dermatitis atopik, sel Th1 menghasilkan IFN-. Sel Th1 tersebut
menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel T regulator
(Treg) telah digambarkan sebagai subtipe lebih lanjut dari sel T yang memiliki
fungsi imunosupresif dan profil sitokin yang berbeda dari kedua sel Th1 dan Th2.

Sel-sel Treg mampu menghambat perkembangan kedua respon Th1 dan Th2.
Mutasi dalam faktor nuklear diekspresikan dalam sel Treg, FoxP3, yang
mengakibatkan IPEX (disregulasi kekebalan tubuh, polyendokrinopaty, enteropati,
X-linked), sindrom yang ditandai oleh peningkatan serum IgE, alergi makanan,
dan dermatitis yang mungkin eksematosa atau psoriasiform. Kekurangan sel Treg
juga telah dilaporkan pada kulit dermatitis atopik. [5]
Ada juga peranan sel Th17 dalam imunopatogenesis dermatitis atopik. Selsel ini menghasilkan sitokin inflamasi seperti IL-17 dan diperkirakan memiliki
peranan dalam pertahanan host dengan menginduksi keratinosit untuk
memproduksi peptida antimikroba. Th17 meningkat pada lesi kulit penyakit
autoimun, seperti psoriasis dimana Th17 dapat meningkatkan respon inflamasi,
termasuk infiltrasi neutrofil tetapi juga mengurangi infeksi kulit. Dibandingkan
dengan psoriasis, lesi kulit dermatitis atopik memiliki sel T yang secara signifikan
lebih sedikit mengekspresikan IL-17. [5]
Keratinosit
Keratinosit berperan penting dalam peradangan kulit atopik. Keratinosit
dermatitis atopik mensekresikan profil unik kemokin dan sitokin setelah terpapar
sitokin proinflamasi. Ini termasuk tingkat tinggi RANTES setelah stimulasi
dengan TNF- dan IFN-. Keratinosit juga merupakan sumber penting dari
thymus stroma lymphopoietin ( TSLP ), yang mengaktifkan sel dendritik ke sel T
memori utama untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 untuk meningkatkan
diferensiasi sel Th2. Pentingnya TSLP dalam patogenesis dermatitis atopik
didukung

oleh

pengamatan

tikus

secara

genetik

dimanipulasi

dengan

meningkatkan TSLP di kulit mampu mengembangkan dermatitis atopik seperti


peradangan kulit. Derivat TSLP juga diduga memicu perkembangan asma. [5]
Keratinosit sangat penting untuk respon kekebalan kulit bawaan,
mengekspresikan reseptor Toll-like, memproduksi sitokin proinflamasi dan
peptida antimikroba dalam menanggapi cedera jaringan atau invasi mikroba.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keratinosit dermatitis atopik

menghasilkan sejumlah kecil peptida antimikroba dan ini dapat mempengaruhi


individu tersebut untuk kolonisasi kulit dan infeksi dengan S. aureus, virus dan
jamur. Namun, kelainan ini tampaknya diperoleh sebagai akibat dari sitokin Th2
(IL-4, IL-10 dan IL-13), TNF- dan IFN-. [5]
Genetik
Studi hubungan genome keluarga dengan dermatitis atopik telah tumpang
tindih dengan penyakit kulit inflamasi lainnya seperti psoriasis. Meskipun banyak
gen yang mungkin terlibat dalam pengembangan dermatitis atopik, termasuk gen
yang berperan dalam diferensiasi barrier epidermal dan gen pertahanan
respon/host kekebalan tubuh. [5]
Hilangnya fungsi mutasi FLG, yang mengkode barier protein epidermal,
filaggrin, telah terbukti menjadi faktor utama predisposisi untuk dermatitis atopik
serta gangguan keratinisasi umum yang terkait dengan dermatitis atopik. Pasien
dengan mutasi filaggrin sering memiliki onset awal, eksim yang parah, tingkat
tinggi sensitisasi alergen dan meningkatkan terjadinya asma di masa kanak-kanak.
Berdasaran catatan, gen filaggrin ditemukan pada kromosom 1q21 yang
mengandung gen termasuk loricrin dan S100 calcium-binding protein di kompleks
diferensiasi epidermal, yang dikenal untuk diekspresikan selama diferensiasi
terminal epidermis. Analisis DNA telah menunjukkan peningkatan regulasi S100
calcium-binding protein dan penurunan regulasi loricrin dan filaggrin pada
dermatitis atopik. Gen yang juga terlibat adalah varian gen SPINK5 yang terdapat
dalam epidermis paling atas dimana produknya LEKT1, menghambat dua
protease serin yang terlibat dalam deskuamasi dan peradangan (stratum korneum
enzim tryptic dan stratum korneum enzim chymotryptic). Stratum korneum tryptic
enzim meningkat pada dermatitis atopik, hal ini menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan

protease

terhadap

aktivitas

inhibitor

protease

dapat

menyebabkan peradangan kulit atopik. [5]


Terganggunya fungsi barier kulit merupakan kunci dalam patogenesis
dermatitis

atopik,

sehingga

memungkinkan

peningkatan

kehilangan

air

transepidermal dan juga terjadi peningkatan masuknya alergen, antigen dan bahan

kimia dari lingkungan yang mengakibatkan respon inflamasi kulit. Penting untuk
ketahui bahwa mutasi filaggrin dan kemungkinan mutasi lain yang mempengaruhi
barier kulit, dapat terjadi pada individu normal secara klinis dan pada pasien
dengan ichthyosis vulgaris tanpa bukti klinis peradangan kulit. Dengan demikian
dermatitis atopik adalah sifat kompleks yang melibatkan interaksi antara beberapa
produk gen yang membutuhkan faktor lingkungan dan respon kekebalan tubuh
untuk menghasilkan fenotip klinis. Kromosom 5q31-33 berhubungan dengan
sitokin fungsional terkait IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan granulosit makrofag colonystimulating faktor yang diekspresikan oleh sel Th2. Perbandingan kasus kontrol
telah menyatakan hubungan genotip antara T alel dari 590C/T polimorfisme IL-4
yang merupakan promotor gen dermatitis atopik. Karena alel T dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas promotor gen IL-4 jika dibandingkan dengan alel C, hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi dari IL-4
berpengaruh pada predisposisi dermatitis atopik. Selain itu, asosiasi dermatitis
atopik dengan fungsi mutasi pada subunit dari reseptor IL-4 telah dilaporkan,
memberikan dukungan lebih lanjut dari konsep bahwa ekspresi gen IL-4 memiliki
peran dalam dermatitis atopik. Mutasi fungsional di wilayah promotor dari
kemokin CC, RANTES dan eotaksin serta varian dalam IL-13, subunit dari
afinitas tinggi reseptor permukaan sel untuk IgE ( FcR1 ) ditemukan pada basofil
dan sel mast menjadi dasar genetik dengan penyakit atopik lainnya. [5]
Keterlibatan IFN- dan IL-18 mendukung peran sel CD4 + dan disregulasi
gen Th1 dalam patofisiologi dermatitis atopik. Selain itu, laporan dari asosiasi
dermatitis atopik dengan polimorfisme gen NOD1 yang mengkode reseptor
Toll-like, menunjukkan peran penting bagi gen pertahanan host dalam patogenesis
dermatitis atopik. [5]
Respons imun pada kulit
Sitokin, TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
dermatitis atopik. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopik, sebaliknya
TH1 menurun. Pada kulit normal (tidak ada kelainan kulitnya) penderita

10

dermatitis atopik bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan
penderita dermatitis atopik ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan
mRNA, IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan
kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
pada penderita dermatitis atopik menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel
yang mengekspresikan mRNA, IFN-y atau IL-12. Lesi kronis dermatitis atopik
mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA, IL-4 dan IL-13.
Tetapi jumlah sel yang mengekspresikan mRNA, IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IF-y,
meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi
kronis dermatitis atopik berperan dalam perkembangan TH1. [1]
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit,
sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang dilepaskan sel
T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.

[1]

Berbagai kemokin ditemukan dalam lesi kulit dermatitis atopik yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T dan monosit, masuk ke dalam
kulit. [1]
Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama, dan meningkatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi
GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel langerhans dan
eosinofil. Produksi TNF- dan IFN-y pada dermatitis atopik memicu kronisitas
dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF- dan IFN-y pada keritinosit epidermal
akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, noemal T cell
expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-
dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat
timbulnya peradangan di kulit dermatitis atopik.

[1]

IL-4 meningkatkan perkembangan TH-2, sedangkan IL-12 yang diproduksi


oleh magrofag, sel berdendrit, atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor
IL-12R2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknnya diinduksi oleh IL-12, IFN-, dan
IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan diferensiasi TH1. Sel
mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4

11

oleh sel T, sel mast/basofil pada dermatitis atopik akan merangsang


perkembangan sel TH2. [1]
Sel mononuklear pada penderita dermatitis atopik meningkatkan aktivitas
enzim cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterate (PDE)
yang akan meningkatkan sintesis IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan
oleh penghambat PDE (PDE inhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T. [1]
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita dermatitis atopik adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen, secara selektif
dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. Sel langerhans yang
mengandung IgE meningkat, sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau
debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. Sel langerhans yang mengandung
IgE setelah menangkap alergen yang mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi,
juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T naive
sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.

[1]

Sel langerhans pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk
IgE, yaitu Fc RI, Fc RII (CD23) , dan IgE-binding protein. Reseptor Fc
RI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada Sel
langerhans melalui reseptor spesifik Fc RI pada permukaan Sel langerhans.
Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekspresi Fc RI di
permukaan Sel langerhans rendah, sedangkan di lesi ekzematosa dermatitis atopik
tinggi. Ada kolerasi antara ekspresi permukaan Fc RI dan kadar IgE dalam
serum. Selain pada SL, resepor IgE dengan afinitas tinggi (Fc RI) juga
ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.

[1]

Kadar seramid pada kulit penderita dermatitis atopik berkurang sehingga


mudah kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis. Hal
ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respon TH2 yang lebih

12

daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi
sawarnya merupakan tempat yang sensitif.

[1]

Respon Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita
dermatitis atopik menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat.
IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4
pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi
IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang
menginduksi transkripki pada ekson C

sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-

4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh


darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil
dan menurunkan fungsi sel TH1.

[1]

Sel monosit di darah tepi penderita dermatitis atopik diaktivasi, mempunyai


insiden apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis
IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF
oleh monosit yang beredar pada dermatitis atopik. [1]
Perubahan sistemik pada dermatitis atopik adalah sebagai berikut :
-

Sintesis IgE meningkat


IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap

makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri dan autoalergen.


Ekpresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit

meningkat.
Pelepasan histamin dan basofil meningkat.
Respon hipersensivitas lambat terganggu.
Eosinofilia

13

Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.


Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan
IL-10 dan PGE2. [1]

Berbagai faktor pemicu


Pada anak kecil makanan dapat berperan dalam patogenesis dermatitis
atopik, tetapi tidak bisa terjadi pada penderita dermatitis atopik yang lebih tua.
Makanan yang paling sering ialah telur, susu, gandum, kedelei, dan kacang tanah.
Reaksi yang terjadi pada penderita dermatitis atopik karena induksi alergen
makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, urtikaria, kontak urtikaria atau
kelainan mukokutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak
kecil dengan dermatitis atopik sedang atau berat, menunjukkan reaksi positif
terhadap tes kulit dadakan (immediate skin test) dengan berbagai jenis makanan.
Reaksi positif ini diikuti kenaikan yang tinggi kadar histamin dalam plasma dan
aktivasi eosinofil. Sel T spesifik untuk alergen juga makanan berhasil diklon dari
lesi penderita dermatitis atopik. [1]
Dari percobaan buta ganda dengan plasebo dan tungau debu rumah (TDR),
ditemukan penderita dermatitis atopik setelah menghirup TDR mengalami
ekserbasi ditempat lesi lama dan timbul pula lesi baru. Demikian pula setelah
aplikasi epikutan dan aeroalergen (TDR, bulu bintang, kapang) melalui uji tempel
pada kulit penderita atopik tanpa lesi, terjadi reaksi ekzematosa pada 30-50%
penderita dermatitis atopik, sedangkan pada penderita alergi saluran napas dan
relawan sehat jarang yang menunjukkan hasil positif. Hasil pemeriksaan
laboratorium yang ditemukan pada sebagian besar perderita dermatitis atopik IgE
spesifik untuk alergen hirup. Juga pada 95% penderita dermatitis atopik
mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan pada penderita asma bronkial
hanya 42%. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung
dengan tingkat keparahan dermatitis atopik. [1]

14

Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus,


dan jamur, karena imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih
dari 90% lesi kulit penderita dermatitis atopik ditemukan S. aureus, sedangkan
pada orang normal hanya 5%. Jumlah koloni S. aureus pada lesi inflamasi kulit
penderita dermatitis atopik dapat mencapai 107 per cm2, namun tidak ada tanda
klinis superinfeksi. Akan tetapi bila diobati dengan kombinasi antibiotika dan
kortikostreoid topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan hanya dengan
kortikostreroid topikal saja. S. aureus melepaskan toksin yang bertindak sebagai
superantigen (misalnya: toxine-1) yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag.
Sebagian besar penderita dermatitis atopik membuat antibodi IgE spesifik
terhadap superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada superantigen
menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik, dan
degranulasi sel mast, kejadian ini akan memicu siklus gatal-garuk yang akan
menimbulkan lesi di kulit penderita dermatitis atopik Superantigen juga
meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikostreroid,
sehingga memperparah dermatitis atopik. [1]
V.

MANIFESTASI KLINIK
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid

di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan
teraba dingin. Penderita dermatitis atopic cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif atau
merasa tertekan.

[1]

Gejala utama dermatitis atopik adalah (pruritus), dapat hilang timbul


sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa
papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta.

[1]

15

dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu dermatitis atopik
infantil (terjadi pada usia 2 bulansampe 2 tahun; dermatitis atopik anak (2 sampai
10 tahun); dan dermatitis atopik pada remaja dan dewasa. [1]
Dermatitis atopik infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi,pipi) berupa eritema
papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif dan akhirnya
terbentuk kusta. Lesi kemudian meluas ketempat lain yaitu ke skalp, leher,
pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi
ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan.
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,
dan sering menangis. Pada umumnya lesi dermatitis atopik infantil eksudatif,
banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas
generalisata bahkan walaupun jarang dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi
menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada
sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,
sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi
mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan
kambuh penyakitnya.

[1, 9]

Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi
masih silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis
membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang
mendapatkan tidak ada perbedaan. [1, 9]

16

Gambar 1. Dermatitis atopik pada infant


Dikutip dari kepustakaan [10]

Dermatitis atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)


Merupakan kelanjutan bentul infantil atau timbul sendiri (de nove). Lesi
lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit
skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian
fleksor, kelopak mata, leher, jarang di wajah. Rasa gatal menyebabkan penderita
sering menggaruk; dapat terjadi erosi; likenifikasi mungkin juga mengalami
infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang
menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatal-garuk.
Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap wol,
bulu kucing dan anjing juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.

[1, 9]

Dermatitis atopik berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat


memperlambat pertumbuhan. [1, 9]

17

Gambar 2. Dermatitis atopik pada anak


Dikutip dari kepustakaan [10]

Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa


Lesi kulit dermatitis atopik pada bentuk ini dapat berupa plak papulareritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada dermatitis
atopik remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut dan samping leher, dahi dan
sekitar mata. Pada dermatitis atopic dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik
sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat juga ditemukan setempat,
misalnya di bibir (kering, pecah, berisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang
erupsi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi dengan
sedikit skuama dan sering terjadi eksoriasi dan aksudasi karena garukan. Lama
kelamaan terjadi hiperpigmentasi. [1, 9]
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada
orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres.
Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik
memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila latihan fisik.
Pada umumnya dermatitis atopik remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian
cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai

18

usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita dermatitis atopik yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang
bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.

[1, 9]

Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis pada tangan, sekitar


70% suatu

saat dapat

mengalaminya.

Dermatitis atopik pada

tangan

dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan


dermatitis kontak. Dermatitis atopik di tangan biasa timbul pada wanita muda
setelah melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai
pemicunya.

[1, 9]

Berbagai kelainan dapat menyertai dermatitis atopik misalnya hiperlinearis


palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitirasis alba, keratosis pilaris, lipatan
Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak
subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus dan keratokonus (bentuk
kornea yang abnormal). Selain itu penderita dermatitis atopik cenderung mudah
mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan
serangga. [1, 9]

Gambar 3. Dermatitis atopik pada dewasa.


Dikutip dari kepustakaan [10]

19

VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin

dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria
mayor dan tiga kriteria minor. [1, 11, 12]
Kriteria mayor
-

Pruritus
Dermatitis di wajah atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya [1, 11, 12]

Kriteria minor
-

Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki
Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis piliaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di ppapila mamae
Dermatitisdi papila mammae
White demographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Wajah pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini [1, 11, 12]
Kriteria diagnosis pada bayi yaitu :

Kriteria Mayor berupa :

20

Riwayat atopik pada keluarga


Dermatitis di wajah atau ekstensor
Pruritus
Ditambah tiga kriteria minor :

Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
Aksentuasi perifolikular
Fisura belakang telinga
Skuama di skalp kronis [1]
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai
pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula
pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis
dokter atau uji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja
Inggris (Ukworking party) yang dikoordinasi oleh kriteria Hanifin dan Rajka
menjadi satu set

kriteria untuk pedoman diagnosis dermatitis atopik yang dapat

diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras
dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter
Puskesmas membuat diagnosis.

[1, 11, 12]

Pedoman diagnosis dermatitis atopik yang diusulkan oleh kelompok


tersebut yaitu :
-

Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang

tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.


Ditambah tiga atau lebih kriteria berikut :
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipatan siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termaksud pipi
anak usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkiat atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4
tahun.
3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.

21

4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada


pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak dibawah 4
tahun) [1]

VII.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dermatitis atopik adalah dermatitis serboroik (terutama

pada bayi), dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis,


(terutama di daerah palmoplantar), dermatitis herpetiformis, sindrom Sezary, dan
penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi juga sindrom imunodefisiensi, misalnya
sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.

[1]

VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
Kulit penderita dermatitis atopik cenderung lebih rentan terhadap bahan
iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan
faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan
detergen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau
dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
detergen dapat bersifat iritan. Bila selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres fisik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi dermatitis atopik.

[1, 13]

Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu
tebal, ketat atau kotor, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal,
iritasi oleh kencing atau feses, bahkan juga penggunaan baby oil. Pada bayi

22

penting diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genetalia, popok segera


diganti bila basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang
terkena terhadap garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak
memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun
lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari
pajanan iritan atau trauma garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung
pelembab, hindari pembersih anti bakterial karena berisiko menginduksi
resistensi.

[1, 13]

Pengobatan Topikal
Hidrasi kulit. Kulit penderita dermatitis atopik kering dan fungsi sawarnya
berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme
patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan
pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan
hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam
laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5 %, karenna dapat mengiritasi bila
dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien
agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja
maksimum 6 jam.

[1, 13]

Kortikosteroid

topikal.

Pengobatan

dermatitis

atopik

dengan

kortikostreoid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi


lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang
tidak diinginkan. [1, 13]
Pada

bayi

digunakan

salap

steroid

berpotensi

rendah,

misalnya

hidrokortison 1%-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi


menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada wajah digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai didaerah
genetalia dan intertriginosa,jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
flourinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara

23

intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikostreroid yang potensinya paling rendah.

[1, 13]

Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau denga larutan permaganas kalikus
1:5000. [1]
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap, 0.03% untuk usia 2-15 tahun, untuk dewasa 0.03%
dan 0.1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam dermatitis
atopik yaitu sel Langerhans, sel T, sel mast dan keratinosit. Pada pengobatan
jangka panjang dengan salap takrolimus, koloni S.aureus menurun. Tidak
ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak
menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid dapat digunakan
di wajah dan kelopak mata.

[1]

Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin


yaitu imunomodulator golongan mokrolatam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var, Ascomycetucus. Cara kerjanya sangat
mirip dengan siklosporon dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces
tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu
bekerja sebagai pro-drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor
sitosilik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk aksomisin ialah makrofilin-12.
Ikatan askomisin pada makrofilin 12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat
calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin),
sehingga produksi sitokin TH1 (IFN-y dan IL-2) dan TH2 (IL-4 dan IL-10)
dihambat.

Askomisin

juga

menghambat

aktivasi

sel

mast.

Askomisin

menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase


elisitasi dermatitis kontal elergik, tetapi respon imun primer tidak terganggu bila
diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.

[1]

24

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2
tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk tidak memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat
tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit. [1]
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek anti pruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10%, atau crude tar 1% sampai 5%. [1]
Antihistamin. Pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu munggu),
dapat mengurangu gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif.

[1]

Pengobatan Sistemik
Kortikosteroid.

Kortikosteroid

sistemik

hanya

digunakan

untuk

mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek dan dosis rendah,


diberikan selang-seling (alternate) atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian
diganti segera dengan kortikostreroid topikal. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat
akan muncul kembali. [1]
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa
gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai anti sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorit yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamin H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.

[1]

Anti-infeksi. Pada dermatitis atopik ditemukan peningkatan koloni


S.aureus. untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau

25

klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin,


atau generasi pertama sefalosporin. Bila dicurigai terinveksi oleh virus herpes
simpleks kortikostreroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir
400 mg 3 kali per hari selama 10 hari atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.
[1]

Interferon.

IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan

fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan


menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total
dalam sirkurasi.

[1]

Siklosporin. Dermatitis atopik yang sulit diatasi dengan pengobatan


konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka
pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral : 5mg/kg berat badan.
Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan
terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang
akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan, umumnya penyakitnya akan segera
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.

[1]

Terapi Sinar (Phototherapy)


Untuk dermatitis atopik yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB atau
Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih
baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil,
sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi
sel langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.
IX.

[1]

PROGNOSIS

26

Sulit memprediksi prognosis dermatitis atopik pada seseorang. Prognosis


lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada
kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak dan sering ada yang kambuh
pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun.
Penyembuhan spontan dermatitis atopik yang diderita sejak bayi pernah
dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau
penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 80%
dermatitis atopik anak berlangsung sampai masa remaja. Ada juga laporan
dermatitis atopik pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%
menghilang dan 60% berkurang gejalanya. Lebih dari separuh dermatitis atopik
remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. [1, 14]
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik dermatitis atopik
yaitu :
-

Dermatitis atopik luas pada anak


Menderita rinitis alergik dan asma bronkial
Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung
Awitan (onset) dermatitis atopik pada usia muda
Anak tunggal
Kadar IgE serum sangat tinggi [1]

Diperkirakan 30 hingga 50% dermatitis atopik infantil akan berkembang


menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita dermatitis atopik mempunyai
resiko menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. [1, 14]

27

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sularsito, S., Dermatitis, in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, A. Djuanda,


Editor. 2010, FK UI: Jakarta. p. 138-148.

2.

Graham, R. and B. Burns, in Lecture Notes Dermatology. 2005, Erlangga:


Jakarta. p. 73-75.

3.

Gawkrodger, D., in Dermatology An lllustrated Colour Text 2002,


Churchill livingstone: USA. p. 32-33.

4.

William, D., G. Timothy, and M. Dirk, Atopic Dermatitis, Eczema and


Noninfectious Immunodeficiency Disorders, in Andrew's Disease Of The
Skin: Clinical Dermatology, H. Sue and K. Bowler, Editors. 2006,
Saunders Elsevier: Canada. p. 69-76.

5.

YM, D., et al., Atopic Dermatitis (Atopic Eczema), in Fitzpatrick's


dermatology in general medicine L.A. Goldsmith, et al., Editors. 2012,
The McGraw-Hill: USA. p. 261-283.

6.

Donald, Y., L. Laurence, and M. Boguniewicz, Atopic Dermatitis, in


Fitzpatrick's Dermatology in General Dermatology, K. Wollf, et al.,
Editors. 2007, McGraw-Hill: USA. p. 38-50.

7.

Wollf, K. and R. Johnson, in Fitzpatrick's Color Atlas And Synopsis Of


Clinical Dermatology. 2008, McGraw-Hill: USA. p. 146-158.

8.

Guttman, E. and Yassky, Atopic Dermatitis, in Enviromental Factors in


Skin Disease, T. Ethel, Editor. 2007, Karger: Israel. p. 154-168.

9.

Trozak, D., D. Tennenhouse, and J. Russell, in Dermatology Skills For


Primary Care An Illustrated Guide. 2006, Humana Press Inc: New Jersey.
p. 199-211.

10.

Gawkrodger, D., in Dermatology An Illustrated Colour Text. 2001,


Churchill livingstone: USA. p. 32-33.

11.

Sterry, W., R. Paus, and W. Burgdorf, in Dermatology Thieme Clinical


Companions. 2006, Thieme: German. p. 190-195.

28

12.

Habif, T. and P. Thomas, Atopic Dermatitis, in A Clinical Dermatology: A


Color Guide to Diagnosis and Therapy, T. Habif, Editor. 2004, Mosby:
London. p. 106-116.

13.

Boguniewicz, M., Conventional Topical Treatment Of Atopic Dermatitis,


in Atopic Dermatitis, T. Bieber and D. Leung, Editors. 2002, Marcel
Dekker: New York. p. 453-470.

14.

Dawber, R., I. Bristow, and W. Turner, in Text Atlas Of Pediatric


Dermatology. 2005, Martin Dunitz: London. p. 95-97.

29

Anda mungkin juga menyukai