I. ANATOMI
Vulva adalah istilah kolektif untuk struktur yang terdiri genitalia eksterna
perempuan. Secara anatomis, itu adalah daerah yang dikenal sebagai segitiga
urogenital, dibatasi oleh anterior simfisis pubis, rami pubik lateral dan perineum.
Yang termasuk dalam struktur vulva antara lain mons pubis, labia mayora, labia
minora, klitoris dan vestibulum vulva. (1,2)
Mons pubis terletak di depan dan dibagian atas simfisis pubis. Mons pubis
disusun oleh lemak subkutan. Epitel ini padat ditutupi rambut dan memiliki semua
struktur adneksa seperti halnya yang ditemukan pada kulit. (1,2)
Sepasang labia majora, lipatan kulit, yang homolog dengan skrotum. Labia
mayora memperpanjang mons pubis dan bertemu di garis tengah posterior untuk
membentuk komisura posterior, yang terletak kira-kira 2 cm anterior ke anus.
Epitel ini mirip dengan struktur pada mons pubis yakni terdiri atas lapisan tebal
jaringan adiposa dan distribusi padat rambut di permukaan luar labia.
Rambut tidak dijumpai pada permukaan dalam tetapi banyak terdapat kelenjar
sebasea. Aspek dalam dari labia majora menyatu kedalam aspek luar labia minora
lateral, membentuk sulkus interlabial. (1)
Labia minora merupakan lipatan yang terletak antara labia mayora dan
vestibulum vulva. Lipatan superior menutupi klitoris seperti tudung, membentuk
preputium klitoris, dan lipatan bawah menyatu pada aspek inferior klitoris,
membentuk frenulum klitoris. Labia minora memiliki lemak subkutan sedikit.
Epitelnya tidak memiliki rambut tetapi banyak terdapat kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat. (1)
Klitoris adalah homolog dengan penis yang berisi pembuluh darah dan
struktur otot. Ostium vagina sebagian ditutup oleh himen. Ketika himen ruptur,
sisa-sisanya akan membentuk karunkula himen. (1,2)
Saluran kelenjar vestibular utama, kelenjar Bartholin, terletak pada posterior
labia minus. Saluran kelenjar vestibular kecil, kelenjar Skene, terbuka pada kedua
sisi ostium uretra. (1)
II.
DEFINISI
Dermatitis atopik ialah peradangan kulit kronis dan residif, pada epidermis
dan dermis disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi
dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (rinitis alergik atau asma
bronkial). [1-3]
Pada tahun 1925, Coca memperkenalkan konsep atopik yang berarti "tidak
pada tempatnya" atau "aneh" untuk menandakan kecenderungan turun-temurun
untuk mengembangkan alergi terhadap makanan dan zat inhalan. Keluarga yang
terkena dampak dapat bermanifestasi eksim, asma dan demam dalam kombinasi
apapun. Dermatitis biasanya dimulai di masa kanak-kanak, tetapi manifestasi yang
berbeda-beda sering bertahan sampai dewasa. [4, 5]
III.
EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk
agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi dermatitis atopik
jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita dermatitis atopik dari pada pria
dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi
dermatitis atopik, misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan
antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik sedangkan
rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir
makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbulnya dermatitis atopik pada kemudian hari. [1, 6, 7]
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari
seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami dermatitis atopik pada masa
kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopik, lebih
separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan
meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopik. Risiko mewarisi
dermatitis atopik lebih tinggi bila ibu menderita dermatitis atopik dibandingkan
dengan ayah. Tetapi, bila dermatitis atopik yang dialami berlanjut hingga masa
dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira
50%. [1, 6, 7]
Pada 2 bulan pertama dan tahun pertama kehidupan dilaporkan sebanyak
60% pasien. 30% terlihat untuk pertama kalinya pada usia 5 tahun dan hanya
10 % dermatitis atopik ditemukan antara 6 dan 20 tahun . Dermatitis atopik jarang
ditemukan pada onset dewasa. Pola pewarisan belum dipastikan, namun 60%
orang dewasa dengan dermatitis atopik cenderung memiliki anak dengan
dermatitis atopik. Prevalensi pada anak-anak lebih tinggi (81%) bila kedua orang
tua memiliki dermatitis atopik. [7, 8]
IV.
ETIOPATOGENESIS
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang sangat pruritus yang
menyebabkan penurunan fungsi sawar kulit, cacat pada sistem imun bawaan, dan
peningkatan respon kekebalan terhadap alergen dan antigen mikroba. [5]
Penurunan Fungsi Sawar Kulit
Dermatitis atopik dikaitkan dengan penurunan fungsi sawar kulit akibat
penurunan regulasi gen filaggrin dan loricrin, peningkatan kadar enzim proteolitik
endogen dan peningkatan kehilangan air transepidermal. Sawar kulit juga dapat
rusak oleh paparan protease eksogen dari tungau debu rumah dan Staphylococcus
aureus ( S. aureus ). Hal ini diperparah oleh kurangnya inhibitor endogen protease
tertentu dalam kulit atopik. Perubahan epidermal ini kemungkinan berkontribusi
terhadap peningkatan penyerapan alergen ke dalam kulit dan kolonisasi mikroba.
Penurunan fungsi sawar kulit bisa bertindak sebagai sarana untuk sensitisasi
alergen sehingga mempengaruhi anak-anak dalam pengembangan asma dan alergi
makanan. [5]
Immunopatologi
Lesi kulit pada dermatitis akut ditandai dengan edema interseluler
(spongiosis) dari epidermis. Antigen-presenting sel dendritik pada dermatitis
atopik misalnya sel-sel Langerhans dan makrofag dalam lesi dan pada tingkat
lebih rendah pada kulit nonlesional permukaannya terikat molekul imunoglobulin
E (IgE). Pada lesi akut dalam dermis dapat dijumpai sel T, monosit, makrofag dan
infiltrasi limfositik yang sebagian besar terdiri dari sel T memori yang
menunjukkan pertemuan sebelumnya dengan antigen. Eosinofil jarang ditemukan
pada dermatitis atopik akut. Sel mast ditemukan dalam jumlah normal pada
berbagai tahap degranulasi. [5]
Lesi likenifikasi kronis ditandai dengan epidermis hiperplastik dengan
pemanjangan rete ridges, hiperkeratosis menonjol dan spongiosis minimal. Ada
peningkatan jumlah IgE pada sel langerhans di epidermis dan makrofag
mendominasi infiltrat sel mononuklear dermal. Sel-sel mast meningkat
jumlahnya. Neutrofil tidak ditemukan dalam lesi kulit dermatitis atopik bahkan
bila terjadi kolonisasi dan infeksi S. aureus. Terjadi peningkatan jumlah eosinofil
pada lesi kulit dermatitis atopik kronis. Eosinofil ini menjalani sitolisis dengan
pelepasan granul protein ke dalam dermis atas kulit lesi. Eosinofil dianggap
berkontribusi pada peradangan alergi oleh karena sekresi sitokin dan mediator
yang meningkatkan peradangan alergi dan menginduksi cedera jaringan di
dermatitis atopik melalui produksi oksigen intermediet reaktif dan pelepasan
protein granul beracun. [5]
Sitokin dan Kemokin
Peradangan kulit atopik diatur oleh ekspresi lokal sitokin proinflamasi dan
kemokin. Sitokin seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1)
dari sel-sel [keratinosit, sel mast, sel dendritik (DC)] mengikat pada reseptor
endotelium pembuluh darah, mengaktifkan jalur sinyal selular, yang mengarah ke
induksi molekul adhesi sel endotel vaskular. Peristiwa ini memulai proses
penarikan, aktivasi, dan adhesi endotel pembuluh darah diikuti oleh ekstravasasi
sel-sel inflamasi ke dalam kulit. Setelah sel-sel inflamasi tersebut telah masuk ke
dalam kulit, maka akan mempengaruhi gradien kemotaktik yang disebabkan oleh
kemokin yang berasal dari cedera atau infeksi. [5]
Dermatitis atopik akut dikaitkan dengan produksi sitokin oleh sel T Helper
tipe 2 (TH2), terutama IL-4 dan IL-13 yang memediasi sintesis imunoglobulin
menjadi IgE dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Sitokin
TH2 berperan pada respon inflamasi kulit dan didukung oleh sebuah pengamatan
terhadap tikus transgenik yang secara genetik direkayasa, dengan peningkatan
IL-4 di kulit dapat memperlihatkan lesi inflamasi kulit mirip dengan dermatitis
atopik. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi sitokin lokal kulit TH2 sangat
berperan dalam dermatitis atopik. Ada juga IL-31 yang merupakan sitokin TH2
yang menginduksi keparahan pruritus dan dermatitis pada hewan percobaan.
Kadar serum IL-31 juga telah ditemukan dalam kulit dermatitis atopik dan IL-31
berkorelasi dengan keparahan penyakit kulit. [5]
memiliki peranan penting dalam presentasi alergen kulit. Hasil ini menunjukkan
bahwa sel yang terikat IgE pada sel langhans memfasilitasi penangkapan alergen
ke dalam sel langhans sebelum diproses dan dipresentasikan ke sel T. Sel langhans
IgE-bearing yang telah menangkap alergen mampu mengaktifkan sel TH2 memori
pada kulit atopik, selain itu juga dapat bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk
merangsang sel T memori yang ada untuk diperluas ke sel TH2 sistemik.
Stimulasi FcRI pada permukaan sel langhans oleh alergen menginduksi
pelepasan sinyal kemotaktik dan sel prekursor IDECs. Stimulasi FcRI pada
IDECs menyebabkan pelepasan sinyal proinflamasi yang berkontribusi terhadap
respon imun alergi. [5]
Berbeda dengan penyakit radang kulit lainnya, seperti dermatitis kontak
alergi atau psoriasis vulgaris, jumlah yang sangat rendah ditemukan pada
dendritik sel plasmasitoid (pDCs), yang berperan penting dalam pertahanan host
terhadap infeksi virus, dapat dideteksi dalam lesi kulit dermatitis atopik. pDCs
dalam darah perifer pasien dengan dermatitis atopik telah ditujukan untuk
menangkap varian trimerik dari FcRI pada permukaan selnya, yang ditempati
oleh molekul IgE. [5]
Sel T
Sel T memori kulit berperan penting dalam patogenesis dermatitis atopik,
terutama selama fase akut penyakit. Pada hewan percobaan, dermatitis atopik
ruam eczematous tidak terjadi tanpa adanya sel T. Selain itu, pengobatan dengan
inhibitor kalsineurin topikal (TCIs), yang menargetkan sel-sel T diaktifkan, secara
signifikan mengurangi ruam kulit dermatitis atopik. [5]
Beberapa studi telah menunjukkan adanya sel TH2 pada dermatitis atopik
akut yang menghasilkan sitokin yang meningkatkan peradangan alergi pada kulit.
Pada fase kronis dermatitis atopik, sel Th1 menghasilkan IFN-. Sel Th1 tersebut
menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel T regulator
(Treg) telah digambarkan sebagai subtipe lebih lanjut dari sel T yang memiliki
fungsi imunosupresif dan profil sitokin yang berbeda dari kedua sel Th1 dan Th2.
Sel-sel Treg mampu menghambat perkembangan kedua respon Th1 dan Th2.
Mutasi dalam faktor nuklear diekspresikan dalam sel Treg, FoxP3, yang
mengakibatkan IPEX (disregulasi kekebalan tubuh, polyendokrinopaty, enteropati,
X-linked), sindrom yang ditandai oleh peningkatan serum IgE, alergi makanan,
dan dermatitis yang mungkin eksematosa atau psoriasiform. Kekurangan sel Treg
juga telah dilaporkan pada kulit dermatitis atopik. [5]
Ada juga peranan sel Th17 dalam imunopatogenesis dermatitis atopik. Selsel ini menghasilkan sitokin inflamasi seperti IL-17 dan diperkirakan memiliki
peranan dalam pertahanan host dengan menginduksi keratinosit untuk
memproduksi peptida antimikroba. Th17 meningkat pada lesi kulit penyakit
autoimun, seperti psoriasis dimana Th17 dapat meningkatkan respon inflamasi,
termasuk infiltrasi neutrofil tetapi juga mengurangi infeksi kulit. Dibandingkan
dengan psoriasis, lesi kulit dermatitis atopik memiliki sel T yang secara signifikan
lebih sedikit mengekspresikan IL-17. [5]
Keratinosit
Keratinosit berperan penting dalam peradangan kulit atopik. Keratinosit
dermatitis atopik mensekresikan profil unik kemokin dan sitokin setelah terpapar
sitokin proinflamasi. Ini termasuk tingkat tinggi RANTES setelah stimulasi
dengan TNF- dan IFN-. Keratinosit juga merupakan sumber penting dari
thymus stroma lymphopoietin ( TSLP ), yang mengaktifkan sel dendritik ke sel T
memori utama untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 untuk meningkatkan
diferensiasi sel Th2. Pentingnya TSLP dalam patogenesis dermatitis atopik
didukung
oleh
pengamatan
tikus
secara
genetik
dimanipulasi
dengan
protease
terhadap
aktivitas
inhibitor
protease
dapat
atopik,
sehingga
memungkinkan
peningkatan
kehilangan
air
transepidermal dan juga terjadi peningkatan masuknya alergen, antigen dan bahan
kimia dari lingkungan yang mengakibatkan respon inflamasi kulit. Penting untuk
ketahui bahwa mutasi filaggrin dan kemungkinan mutasi lain yang mempengaruhi
barier kulit, dapat terjadi pada individu normal secara klinis dan pada pasien
dengan ichthyosis vulgaris tanpa bukti klinis peradangan kulit. Dengan demikian
dermatitis atopik adalah sifat kompleks yang melibatkan interaksi antara beberapa
produk gen yang membutuhkan faktor lingkungan dan respon kekebalan tubuh
untuk menghasilkan fenotip klinis. Kromosom 5q31-33 berhubungan dengan
sitokin fungsional terkait IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan granulosit makrofag colonystimulating faktor yang diekspresikan oleh sel Th2. Perbandingan kasus kontrol
telah menyatakan hubungan genotip antara T alel dari 590C/T polimorfisme IL-4
yang merupakan promotor gen dermatitis atopik. Karena alel T dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas promotor gen IL-4 jika dibandingkan dengan alel C, hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi dari IL-4
berpengaruh pada predisposisi dermatitis atopik. Selain itu, asosiasi dermatitis
atopik dengan fungsi mutasi pada subunit dari reseptor IL-4 telah dilaporkan,
memberikan dukungan lebih lanjut dari konsep bahwa ekspresi gen IL-4 memiliki
peran dalam dermatitis atopik. Mutasi fungsional di wilayah promotor dari
kemokin CC, RANTES dan eotaksin serta varian dalam IL-13, subunit dari
afinitas tinggi reseptor permukaan sel untuk IgE ( FcR1 ) ditemukan pada basofil
dan sel mast menjadi dasar genetik dengan penyakit atopik lainnya. [5]
Keterlibatan IFN- dan IL-18 mendukung peran sel CD4 + dan disregulasi
gen Th1 dalam patofisiologi dermatitis atopik. Selain itu, laporan dari asosiasi
dermatitis atopik dengan polimorfisme gen NOD1 yang mengkode reseptor
Toll-like, menunjukkan peran penting bagi gen pertahanan host dalam patogenesis
dermatitis atopik. [5]
Respons imun pada kulit
Sitokin, TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
dermatitis atopik. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopik, sebaliknya
TH1 menurun. Pada kulit normal (tidak ada kelainan kulitnya) penderita
10
dermatitis atopik bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan
penderita dermatitis atopik ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan
mRNA, IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan
kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
pada penderita dermatitis atopik menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel
yang mengekspresikan mRNA, IFN-y atau IL-12. Lesi kronis dermatitis atopik
mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA, IL-4 dan IL-13.
Tetapi jumlah sel yang mengekspresikan mRNA, IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IF-y,
meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi
kronis dermatitis atopik berperan dalam perkembangan TH1. [1]
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit,
sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang dilepaskan sel
T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
[1]
Berbagai kemokin ditemukan dalam lesi kulit dermatitis atopik yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T dan monosit, masuk ke dalam
kulit. [1]
Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama, dan meningkatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi
GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel langerhans dan
eosinofil. Produksi TNF- dan IFN-y pada dermatitis atopik memicu kronisitas
dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF- dan IFN-y pada keritinosit epidermal
akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, noemal T cell
expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-
dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat
timbulnya peradangan di kulit dermatitis atopik.
[1]
11
[1]
Sel langerhans pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk
IgE, yaitu Fc RI, Fc RII (CD23) , dan IgE-binding protein. Reseptor Fc
RI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada Sel
langerhans melalui reseptor spesifik Fc RI pada permukaan Sel langerhans.
Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekspresi Fc RI di
permukaan Sel langerhans rendah, sedangkan di lesi ekzematosa dermatitis atopik
tinggi. Ada kolerasi antara ekspresi permukaan Fc RI dan kadar IgE dalam
serum. Selain pada SL, resepor IgE dengan afinitas tinggi (Fc RI) juga
ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
[1]
12
daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi
sawarnya merupakan tempat yang sensitif.
[1]
Respon Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita
dermatitis atopik menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat.
IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4
pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi
IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang
menginduksi transkripki pada ekson C
[1]
meningkat.
Pelepasan histamin dan basofil meningkat.
Respon hipersensivitas lambat terganggu.
Eosinofilia
13
14
MANIFESTASI KLINIK
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid
di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan
teraba dingin. Penderita dermatitis atopic cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif atau
merasa tertekan.
[1]
[1]
15
dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu dermatitis atopik
infantil (terjadi pada usia 2 bulansampe 2 tahun; dermatitis atopik anak (2 sampai
10 tahun); dan dermatitis atopik pada remaja dan dewasa. [1]
Dermatitis atopik infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi,pipi) berupa eritema
papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif dan akhirnya
terbentuk kusta. Lesi kemudian meluas ketempat lain yaitu ke skalp, leher,
pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi
ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan.
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,
dan sering menangis. Pada umumnya lesi dermatitis atopik infantil eksudatif,
banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas
generalisata bahkan walaupun jarang dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi
menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada
sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,
sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi
mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan
kambuh penyakitnya.
[1, 9]
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi
masih silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis
membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang
mendapatkan tidak ada perbedaan. [1, 9]
16
[1, 9]
17
18
usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita dermatitis atopik yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang
bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
[1, 9]
saat dapat
mengalaminya.
tangan
[1, 9]
19
VI.
DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin
dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria
mayor dan tiga kriteria minor. [1, 11, 12]
Kriteria mayor
-
Pruritus
Dermatitis di wajah atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya [1, 11, 12]
Kriteria minor
-
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki
Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis piliaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di ppapila mamae
Dermatitisdi papila mammae
White demographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Wajah pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini [1, 11, 12]
Kriteria diagnosis pada bayi yaitu :
20
Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
Aksentuasi perifolikular
Fisura belakang telinga
Skuama di skalp kronis [1]
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai
pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula
pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis
dokter atau uji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja
Inggris (Ukworking party) yang dikoordinasi oleh kriteria Hanifin dan Rajka
menjadi satu set
diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras
dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter
Puskesmas membuat diagnosis.
Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
21
VII.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dermatitis atopik adalah dermatitis serboroik (terutama
[1]
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
Kulit penderita dermatitis atopik cenderung lebih rentan terhadap bahan
iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan
faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan
detergen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau
dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
detergen dapat bersifat iritan. Bila selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres fisik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi dermatitis atopik.
[1, 13]
Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu
tebal, ketat atau kotor, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal,
iritasi oleh kencing atau feses, bahkan juga penggunaan baby oil. Pada bayi
22
[1, 13]
Pengobatan Topikal
Hidrasi kulit. Kulit penderita dermatitis atopik kering dan fungsi sawarnya
berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme
patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan
pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan
hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam
laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5 %, karenna dapat mengiritasi bila
dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien
agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja
maksimum 6 jam.
[1, 13]
Kortikosteroid
topikal.
Pengobatan
dermatitis
atopik
dengan
bayi
digunakan
salap
steroid
berpotensi
rendah,
misalnya
23
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikostreroid yang potensinya paling rendah.
[1, 13]
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau denga larutan permaganas kalikus
1:5000. [1]
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap, 0.03% untuk usia 2-15 tahun, untuk dewasa 0.03%
dan 0.1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam dermatitis
atopik yaitu sel Langerhans, sel T, sel mast dan keratinosit. Pada pengobatan
jangka panjang dengan salap takrolimus, koloni S.aureus menurun. Tidak
ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak
menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid dapat digunakan
di wajah dan kelopak mata.
[1]
Askomisin
juga
menghambat
aktivasi
sel
mast.
Askomisin
[1]
24
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2
tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk tidak memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat
tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit. [1]
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek anti pruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10%, atau crude tar 1% sampai 5%. [1]
Antihistamin. Pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu munggu),
dapat mengurangu gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
[1]
Pengobatan Sistemik
Kortikosteroid.
Kortikosteroid
sistemik
hanya
digunakan
untuk
[1]
25
Interferon.
[1]
[1]
[1]
PROGNOSIS
26
27
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
28
12.
13.
14.
29