Anda di halaman 1dari 12

AMDAL

Apa yang dimaksud dengan AMDAL?


AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL adalah aspek fisik-kimia, ekologi,
sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai
pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk
pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan).
"...kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat
pada tahap perencanaan..."
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran
yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan.
Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa
AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil
keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum
memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil
keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau
kegiatan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
Dokumen
Dokumen
Dokumen
Dokumen

Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)


Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai
oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau
tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.
Apa guna AMDAL?

Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah


Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana
usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup
Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari
suatu rencana usaha dan atau kegiatan
"...memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif"
"...digunakan untuk mengambil keputusan tentang
penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan"
Bagaimana prosedur AMDAL?
Prosedur AMDAL terdiri dari :
Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau
kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu
menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau
tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan
Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan
rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan
tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan
konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KAANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses
untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi
ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa
mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk
dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KAANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk
memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan
RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati
(hasil penilaian Komisi AMDAL).

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun,


pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi
Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal
untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang
dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali
dokumennya.
Siapa yang harus menyusun AMDAL?
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan.
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa
konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen
AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di
bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan
AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.
Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai
AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen
AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup,
di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola
lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di
Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur
pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang
terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata
kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggotaanggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasanalasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan
rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat
berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi
masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan


Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau
kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan
upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan
menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi
yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk
pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan
usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan
menggunakan formulir isian yang berisi :
Identitas pemrakarsa
Rencana Usaha dan/atau kegiatan
Dampak Lingkungan yang akan terjadi
Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah
kabupaten/kota
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih
dari satu propinsi atau lintas batas negara
Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?
AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak
lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH
17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi
dalam pengelolaan limbahnya.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib


Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen
pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya
menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka
kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus
seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib
sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001
tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya
spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan
kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan
kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan
menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya
menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan
lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang
merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal.
Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan
umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatankegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan
pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian
dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh
pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas
pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat "memperbaiki"
ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.
Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam
dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan
hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut
antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang
diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan
penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.

DAMPAK PEMBANGUNAN REAL ESTAT / VILLA DI DAERAH


PERBUKITAN
Daerah Perbukitan Indonesia terletak tepat di garis khatulistiwa,
banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah zamrud
khatulistiwa. Dikatakan demikian karena Indonesia sangat subur sehingga
jika dilihat dari angkasa, tampak hijau seperti zamrud. Hamparan hijau itu
tak lain adalah hutan tropis yang terhampar luas dan menutupi hampir
sebagian besar daratan Indonesia. Dengan potensi kesuburan tanah yang
ada, mayoritas mata pencaharian penduduk Indonesia selain sebagai
nelayan adalah bertani. Untuk itulah indonesia dijuluki pula sebagai
negara agraris.
Sebagian besar kegiatan pertanian dilakukan di daerah perbukitan. Selain
karena
unsur hara yang terkandung dalam tanahnya sangat baik, ada beberapa
faktor lain
yang menyebabkan daerah perbukitan sangat cocok untuk
pertanian.Faktor-faktor tersebut adalah
1. Curah hujan yang tinggi Curah hujan yang tinggi menyebabkan
tersedianya pasokan air
tanah dengan jumlah yang besar, sehingga
kebutuhan tumbuhan akan air sangat tercukupi.
2. Suhu udara yang dingin Kebanyakan sayuran hijau dan buah-buahan
tumbuh subur didaerah yang bersuhu dingin. Hal ini disebabkan karena
sedikitnya penguapan yang terjadi di permukaan daun sayuran.
Penguapan yang berlebihan akan menyebabkan sayuran yang ditanam
menjadi kering.
Dari faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa daerah
perbukitan memiliki potensi yang sangat besar untuk bidang pertanian.

1. Wabah Pembangunan Real Estat/Villa di Perbukitan


Gaya hidup modern menjadi pilihan bagi kebanyakan orang
Indonesia yang berada dalam taraf ekonomi menengah ke atas. Hal itu
dibuktikan dengan semakin banyaknya dibangun mall yang akhirnya
membuat masyarakat Indonesia menjadi konsumtif. Dengan sifat
konsumtifitu, pemenuhan kebutuhan bagi kalangan menengah ke atas
tidak berhenti sampai terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Pemenuhankebutuhan mereka lebih kepada pemenuhan kebutuhan
sekunder dan tersier yang berlebih, dengan kata lain hanya berupa
pemenuhan kepuasan belaka.
Pemenuhan keinginan-keinginan itu salah satunya terwujud
dalam bentuk kepemilikan rumah-rumah mewah yang lebih dari satu.
Status rumah itu pun hanya sebagai rumah kedua atau dalam kata lain
hanya sebagai rumah peristirahatan yang hanya dihuni pada hari-hari
libur saja.
Mengamati situasi yang ada, para investor memanfaatkan
keadaan tersebutsebagai peluang bisnis dengan membuat real estat/villa
di daerah perbukitan. Daerah perbukitan banyak dipilih karena kondisi
alamnya yang masih asri serta jauh dari hiruk pikik dunia kerja. Kondisi
alam seperti itulah yang banyak diinginkan setiap orang untuk
merelaksasi diri.
Besarnya keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi di
bidang real estat, menjadi trend tersendiri di kalangan investor untuk
menginvestasikan uangnya dalam pembangunan berbagai macam real
estat di perbukitan. Hal itu terwujud dengan jumlah real estat di daerah
Bandung Utara, misalnya, yang sudah tidak bisa
dihitung dengan jari.
2. Lahan untuk Real Estat/Villa
Untuk membangunsebuah kawasan real estat/villa, lahan yang
diperlukan harus
memeiliki beberapa krieria tertentu. Beberapa kriteria itu diantaranya,
lahan peruntukannya tepat untuk pemukiman, tidak melanggar aturan
yang ada, tanahnya sta
bil, sesuai dengan target segmen pasar calon pengghuni, akses jalan
mudah, konsep perumahannya harus memanusiakan dan mencerdaskan.
Adapun dari kriteria di atas,
lahan yang paling murah adalahyang berada di lahan datar dan yang
terpenting
lahan yang punya potensi pasar dan cocok untuk rumah tinggal.
Lahan untuk kawasan real estat harus tepat untuk pemukiman
karena ketidak tepatan pemilihan lahan dapat menyebabkan real estat
tersebut tidak diminati.Misalnya membangun real estat di daerah industri.
Banyak orang yang tidak berminat untuk memiliki rumah di kawasan
tersebut, terlebih lagi rumah peristirahatan.Selain karena terbatasnya
ketersediaan air tanah, polusi udara juga menjadi salah satu alasan.

Selanjutnya, lahan peruntukan real estat harus memenuhi aturan


yang ada.Salah satunya adalah maksimum membangun lahan hanya
enam puluh persen dari luaskeseluruhan lahan yang ada. Kemudian lahan
tersebut tidak sedang berada dalam sengketa, serta kepemilikannya
harus jelas. Hal ini dimaksudkan guna mencegah adanya masalah di
kemudian hari.
Tanah yang stabil sangat dianjurkan dalam pembangunansebuah
real estat. Karena pembangunan yang dilakukan di tanah labil akan
mengalami banyak kesulitan. Baik pada proses pembangunan maupun
setelah pembangunan. Dikhawatirkan rumahyang selesai dibangun
dindingnya retak karena penurunan ketinggian tanah.
Pembangunan real eatat harus disesuaikan dengan target
segmen pasar calon penghuni. Misalnya pada fasilitas di dalam rumah dan
harga jual per unitnya. Semakin lengkap fasilitas yang ada, semakin tinggi
pula harganya. Karena real estat diperuntukan bagi kalangan menengah
ke atas, maka fasilitas yang disediakan harus sesuai dengan kebutuhan
mereka.
Akses jalan yang mudah menjadi salah satu pertimbangan untuk
memilih tempat tinggal.Kawasan pemukiman dengan akses jalan yang
menyulitkan penghuninyauntuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
berbelanja, misalnya kurang diminati. Sehingga pada pembangunan real
estat, penataan jalur yang terhubung pada jalan utamamenjadi sangat
penting untuk memudahkan penghuninya melakukan perjalanan dan
aktivitas di luar komplek real estat.
Konsep penataan pembangunan real estat harus bisa
memanusiakan manusia dan mencerdaskan. Memanusiakan manusia
memiliki artian bahwa fasilitas yang ada harus mendukung dan
mempermudah aktivitas manusia, bukan malah menyulitkan. Misalnya
dalam pembuatan trotoar, lebar trotoar harus memungkinkan untuk
digunakan minimal oleh dua orang yang berjalan sejajar di atas trotoar
dengan leluasa. Dalam buku Data Arsitek karangan Ernst Neufert
disebutkan, kebutuhan tempat untuk duaorang yang berjalan sejajar
adalah 2,375 meter. Real estat yang mencerdaskan dapat berupa
penyediaan lembaga pendidikan di dalamnya ataupun letaknya yang
dekatdengan kawasan pendidikan.
Namun dari semua kriteria yang telah disebutkan di atas, lahan
datar adalah lahan yang tepat untuk kawasan real estat. Selain karena
harga tanah yang jauh lebih murah, pembuatan akses jalan yang
terhubung ke jalan utama pun lebih mudah.
3. Dampak Positif Pembangunan Real Estat/Villa di Perbukitan
Pembangunan real estat di perbukitan memberikan dampak positif
bagi investor, developer, masyarakat umum dan masyarakat sekitarnya,
dan negara. Bagi investor dan developer, dampak positifnya adalah
seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu keuntungan yang melimpah.
Keuntungan itu diperoleh karena mereka dapat mengubah kawasan yang
biasa-biasa saja dengan harga tanah rendah menjadi kawasan elit dengan
harga tanah yang tinggi.

Adapun bagi masyarakat umum, pembangunan ini memberikan


dampak positif berupa tersedianya tempat untuk relaksasi dan hiburan
dengan lokasi yang terhitung dekat tanpa perlu pergi ke luar negeri untuk
mendapatkan view yang bagus. Sedangkan bagi masyarakat sekitarnya,
pembangunan real estat dapat membantu tersedianya lapangan
pekerjaan. Misalnya pada proses pembangunan real estat,
kontraktormembutuhkan banyak tenaga kerja sebagai kuli bangunan.
Warga sekitar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Adapun untuk
selanjutnya, warga sekitar,yang berada di taraf ekonomi menengah ke
bawah, dapat bekerja menjadi buruh, misalnya buruh taman dan buruh
cuci.
Keuntungan bagi negara dari pembangunan real estat adalah
adalah besarnya pemasukan ke kas negara dari pajak yang diberlakukan
di kawasan real estat tersebut.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pembangunan real
estat di daerah perbukitan memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
4. Dampak Negatif Pembangunan Real Estat/Villa di Perbukitan
Selain memiliki dampak positif, pembangunan real estat juga
memiliki dampak negatif. Dampak negatif tersebut meliputi berbagai
sektor kehidupan, diantaranya:
1. Kesenjangan sosial antara penduduk sekitar dengan penghuni real
estat
Kesenjangan sosial ini terlihat jelas dari tembok-tembok tinggi yang
membatasi wilayah real estat dengan pemukiman penduduk sekitar,
seolah-olah daerah real estat tersebut tidak boleh dimasuki oleh warga.
Padahal notabene penduduk sekitar perbukitan memiliki rasa sosial yang
tinggi. Tapi dengan dibuatnya tembok-tembok
pembatas bisa diartikan bahwa tidak boleh adanya hubungan sosial
antara penghuni
real estat yang bergolongan menengah ke atas dengan penduduk sekitar
yang keban
yakan bergolongan menengah ke bawah.
2. Berkurangnya lahan produktif untuk pertanian Pembangunan real estat
baik di perbukitan maupun di lahan datar jelas akan membutuhkan lahan
yang sangat luas. Pada kasus real estat yang dibangun di perbukitan ini,
banyak diantaranya menggunakan lahan yang sebelumnya adalah lahan
pertanian. Para petani mau menjual lahan tersebut karena tergiur uang
yang sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan fungsi lahan
tersebut. Berkurangnya lahan untuk pertanian menyebabkan berkurang
pula hasil produksi pertanian. Ini akan berdampak pada kenaikan harga
sayuran.
3.Petani beralih profesi Dikarenakan berkurangnya lahan untuk pertanian,
banyak petani yang beralih profesi, diantaranya membuka usaha sendiri
seperti membuka warung, atau bekerja di real estat tersebut menjadi
buruh potong rumput, menjadi pembantu rumah tangga, menjadi buruh
cuci, menjadi penjaga rumah, dan sebagainya. Itu bagi petani yang
beruntung. Tapi sebagian lainnya tidak mempuanyai pekerjaan yang bisa

menjamin kehidupannya dan menjadi pengangguran. Jika ketika memiliki


lahan pertanian mereka bisa bertahan hidup dari hasil bertani, setelah
menjualnya, sebagian petani yang kurang beruntung dan tidak
menggunakan uang hasil menjual tanah untuk membuka usaha hanya
mendapatkan jaminan hidup dari uang penjualan lahan. Selanjutnya
mereka menjadi pekerja serabutan.
4.Berkurangnya daerah serapan air Dengan beralihnya fungsi lahan
pertanian menjadi real estat dimana rumah-rumah mewah berdiri dengan
tegak dan luas, menyebabkan daerah serapan air berkurang. Memang ada
aturan membangun perumahan diperbukitan dengan hanya membangun
enam puluh persen lahan yang ada, tetapi nyatanya lahan yang dibangun
melebihi persentase tersebut. Daerah hijau di halaman rumah yang
dibangun hanya beberapa meter saja. Pada harian Pikiran Rakyat edisi
Sabtu, 19 Juni 2004 dikatakan, kawasan lindung dan resapan air Bandung
Utara sekarang tinggal 30 persen. Pernyataan tersebut dikumandangkan
oleh pemerhati lingkungan dan masyarakat Jawa Barat sehubungan
dengan adanya isu pembangunan Jalan Dago-Lembang oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat.Kawasan Bandung Utara (KBU) seluas 38.548,33
hektar dengan ketinggian lebih kura ng 750-1.000 meter di atas
permukaan laut (dpl) ini dapat dikatakan sebagai paru-paru masyarakat
Bandung dan sekitarnya. Kawasan lindung ini berfungsi hidrologis
terhadap kawasan di bawahnya. Wilayah ini meresapkan air agar tidak
terjadi banjir dan longsor di musim hujan dan menjaga ketersediaan air di
musim kemarau. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar
Sunda (DPKLTS) memaparkan data bahwa seratus tahun yang lalu, curah
hujan didaerah aliran Sungai Citarum mencapai3.000 milimeter per tahun
dan terus menurun hingga sekarang menjadi 2.000 milimeter per tahun.
Di samping itu potensi air Jawa Barat sebanyak 81 miliar meter kubik per
tahun tidak termanfaatkan secara optimal. Air hujan yang tidak terserap
di wilayah Bandung dan sekitarnya pun saat ini sudah mencapai 80
persen. Saat ini jumlah erosi tanah juga meningkat mencapai 30 juta ton
pertahun.Kota Bandung sudah menjadi hutan beton dan hampir tidak ada
lagi lahan kosong untuk tanaman. Satu-satunya pengharapan
digantungkan kepada KBU yang kini juga dalam keadaan kritis karena
pembangunan. Sesuai dengan karakter fisiknya, KBU terbagi ke dalam
lima mintakat (zona), yaitu mintakat Gunung Manglayang, mintakat
Perbukitan Ciwangi- Ciburial-Cimenyan, mintakat Cekungan Lembang,
mintakat Gunung Tangkuban Perahu, dan mintakat Gunung Burangrang.
Kawasan ini pun terbentang di tiga wilayah kabupaten/kota, yaitu Kota
Bandung (11 kecamatan), Kabupaten Bandung (8 kecamatan), dan Kota
Cimahi (1 kecamatan).
Keberadaan KBU dilindungi oleh Surat Keputusan (SK) Gubernur Jabar
Nomor 181.1/S
K.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung
Raya Bagian Utara. Dalam SK itu disebutkan, 25 persen KBU
diperuntukkan sebagai hutan lindung,
60 persen dijadikan lahan untuk tanaman keras, dan sisanya 15 persen
untuk pertanian nontanaman keras yang dapat dikonversi untuk
permukiman. Namun, pada intinya, SK tersebut memosisikan KBU sebagai

kawasan resapan air dan kawasan hijau lestari.SK Gubernur tersebut


diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1992
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Pada tahun 1982, pembangunan di
KBU mulai bermunculan dan tahun 1993 usaha properti mulai menggeliat
dan sasaran strategisnya adalah KBU. Hal tersebut dikarenakan
pemandangan alam di KBU sangat menawan dan udaranya yang sejuk
mempunyai nilai jual yang tinggi. Khawatir akan terjadinya pembabatan
hutan dan tanaman keras di KBU, Gubernur Jawa Barat kembali
mengeluarkan SK Nomor 660/4244/ Bap/1994 tentang Pengamanan
Wilayah Inti Bandung Raya. Isinya antara lain menginstruksikan kepada
Bupati/Walikota Bandung (waktu itu Kota Cimahi belum terpisah dari
Kabupaten Bandung) untuk tidak memberikan izin baru pengembangan di
KBU. Selain itu, mereka diminta melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap pemegang izin, memberikan laporan berkala,
serta melakukan tindakan penertiban terhadap pelanggaran yang terjadi.
Namun peraturan perundang-undangan tersebut tidak efektif. Menurut
catatan planolog yang juga peneliti dari Pusat Penelitian Pengembangan
Wilayah dan Kota ITB, Denny Zulkaidi, hingga tahun 1995 ada sekitar 114
izin lokasi yang dikeluarkan untuk pembangunan di KBU. Sementara itu,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun mencatat, sejak periode 1996 hingga
2004 ada pengeluaran izin lokasi baru untuk 12 pengembang dengan luas
lahan 356,2 hektar. Data itu belum termasuk izin yang dikeluarkan untuk
perorangan. Berdasarkan pengamatan di salah satu wilayah KBU, yaitu
dimulai dari Pengkolan Kordon-Pakar Timur-Cikurutug-Negla-SekejolangLembah Cikapundung hingga Maribaya, dapat dilihat bahwa para
pengembang sudah mulai memperluas daerah jajahannya untuk
membuat perumahan real estat dan lapangan golf. Bahkan, mereka pun
sudah mulai membuka akses jalan menuju areal perumahan yang mereka
bangun. Belum lagi menjamurnya vila-vila pribadi yang dibangun dalam
posisi seperti menjemput maut, yaitu didirikan di lereng- lereng terjal.
Padahal, dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomor 181.1/SK.1624-Bapp/1982
ditegaskan bahwa pada ketinggian 750 meter dpl ke atas tidak boleh
didirikan bangunan. Gambar yang diambil dari Citra Satelit Aster tanggal
12 Juni 2003 memperlihatkan bahwa pembangunan KBU sudah hampir
memenuhi wilayah tersebut, yaitu sekitar 70 persen. Bahkan, di lereng
Gunung Tangkuban Perahu pun sudah mulai ada permukiman baru.
Masyarakat dapat saja menuduh para pengembanglah yang membuat
rusak wilayah konservasi KBU, namun pengembang dari segihukum pun
berada dalam posisi yang benar karena pihaknya telah mengantongi izin
dari instansi terkait. Seperti halnya yang diungkapkan Dewan Pimpinan
Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) Jawa Barat bahwa 31 anggotanya
yang membangun di KBU seluas 2.462,5 hektar sudah memiliki izin
lengkap serta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sesuai
dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Dilihat dari Peraturan Daerah
Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW), yang dibuat oleh masingmasing pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi mengenai
KBU, ternyata tidak seragam. Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang RTRW
Provinsi Jabar menyebutkan bahwa KBU termasuk salah satu kawasan

hutan berfungsi lindung yang diperkuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun


1992 tentang Penataan Ruang. Begitu pula Perda Nomor 2 Tahun 2004
tentang RTRW Kota Bandung juga menetapkan KBU sebagai kawasan
lindung. Namun, Perda Nomor 12 Tahun 2001 tentang RTRW Kabupaten
Bandung hanya menjadikan sebagian wilayah KBU sebagai kawasan
lindung, sementara sebagian lagi menjadi daerah permukiman. Malahan,
Kota Cimahi menjadikan KBU yang ada di wilayahnya sebagai daerah
permukiman, sesuai dengan Perda Nomor 23 Tahun 2003 tentang RTRW
Kota Cimahi. Kecamatan Cimahi Utara, memang dijadikan daerah
permukiman. KBU sudah dalam keadaan kritis dan dari segi lingkungan
dan tata ruang sebaiknya pemerintah daerah mengembalikan fungsi KBU
sebagai kawasan lindung. Namun, penguasa provinsi selalu berkelit
dengan alasan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah. Padahal pengembangan real estat di lereng gunung itu
rawan terhadap bencana dan mengganggu penyerapan air. Bisa
dipastikan pembangunan real estat di perbukitan akan memicu terjadinya
banjir di daerah dataran rendah. Dan tak hanya itu, masyarakat dunia pun
akan merasakan dampak buruknya.

Anda mungkin juga menyukai