OLEH : KELOMPOK 3
ERNA YULIANA (4002130156)
GUNAWAN WAHDANU (4002130078)
HOSI NASHIHAH B (4002130046)
IIS NIA KUSNIAWATI (4002130066)
LIA YULIANTI (4002130149)
KELAS B
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir.
Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (Volunter) dan
jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (Involunter).
Jawaban yang volunter melibatkan sistem saraf somatis sedangkan yang involunter
melibatkan sistem saraf otonom. Yang berfungsi sebagai efektor dari sisteSistem persarafan
terdiri dari sel-sel saraf (neuron) yang tersusun membentuk sistem saraf pusat dan sistem
saraf perifer. Sistem saraf pusat (SSP) terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem
saraf tepi (perifer) merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan ke dan dari
sistem saraf pusat.
Stimulus (Rangsangan) yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari
lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh
untuk mampu mengadaptasinya sehingga tubuh tetap seimbang. Upaya tubuh dalam
mengadaptasi berlangsung melalui kegiatan sistem saraf disebut sebagai kegiatan refleks. Bila
tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang tidak seimbang atau
sakit.
Stimulus diterima oleh reseptor (penerima rangsang) sistem saraf yang selanjutnya
akan dihantarkan oleh sistem saraf tepi ke sistem saraf pusat. Di sistem saraf pusat impuls
diolah untuk kemudian meneruskan jawaban (Respon) kembali melalum saraf somatis adalah
otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot jantung
dan kelenjar sebasea.
Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf
sensori (Afferent Sensory Pathway).
Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
Mengolah informasi yang diterima baik di tingkat medula spinalis maupun di otak
untuk selanjutnya menentukan jawaban (respon).
Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik (Efferent Motorik Pathway)
ke organ-organ tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan. (Depkes : 1995)
2. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah menjelaskan pengertian sampai pada
penatalaksanaan sistem persyarafan khususnya pada penyakit Meningitis.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MENINGITIS
Meningitis adalah peradangan pada susunan saraf, radang umum pada araknoid dan
piameter, disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut
dan kronis. (Arief Mansjoer : 2000)
Meningitis adalah peradangan yang hebat pada selapus otak.Peradangan itu mungkin
terjadi sesudah serangan otitis media,radang mastoid,abses otak ,malahan radang tonsil.
Sesuatu retak pada tengkorak atau suatu luka kepala yang menembus mungkin
mengakibatkan radang selaput otak. (Clifford R Anderson : 1975)
Meningitis adalah Infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang menutupi otak
dan medula spinalis). Infeksi ini dapat disebabkan oleh :
Bakteri, seperti pneumococcus, meningecoccus, stapilococcus, streptococcus, salmonella, dll.
Virus, seperti Hemofilus influenza dan herpes simplex. (Depkes : 1995)
Meningitis / Radang selaput otak adalah Infeksi pada cairan serebrospinal (CSS)
disertai radang pada pia dan araknoid; ruang subaraknoid, jaringan superficial otak dan
medulla spinalis, kuman-kuman dapat masuk ke setiap bagian ruang subaraknoid dan dengan
cepat sekali menyebar ke bagian yang lain, sehingga leptomening medulla spinalis terkena.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meningitis selalu merupakan suatu proses
serebrospinal. (Harsono : 1996).
2. PATOFISIOLOGI
Kuman-kuman masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen / langsung
menyebar
di
nasofaring,
paru-paru
(pneumonia,
bronkopneumonia)
dan
jantung
(endokarditis), selain itu per kontinuitatum di peradangan organ / jaringan di dekat selaput
otak misalnya abses otak, otitis media, martoiditis dan trombosis, sinus kavernosus. Invasi
kuman (meningokok, pneumokok, hemofilus influenza, streptokok) ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi,
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subaraknoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu ke 2 sel-sel plasma. Eksudat
terbentuk dan terdiri dari dua lapisan, yaitu bagian luar mengandung leukosit,
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.
Peradangan menyebabkan cairan cerebrospinal meningkat sehingga terjadi obstruksi,
selanjutnya terjadi hydrocephalus dan peningkatan intrakranial. Organisme masuk melalui sel
darah merah, dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau kelainan sistem
saraf pusat. Efek patologis yang terjadi adalah hiperemia meningens, edema jaringan otak,
eksudasi.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Dengan
demikian meningitis dapat dianggap sebagai ensefalitis superfisial. Trombosis serta organisasi
eksudat perineural yang fibrino purulen menyebabkan kelainan nervi kraniales (Nn. III, IV,
VI, VII, & VIII). Organisasi di ruang subaraknoid superfisial dapat menghambat aliran dan
absorbsi CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus komunikans. (Harsono : 1996).
Mikroorganisme penyebab dapat masuk mencapai membran meningen dengan
berbagai cara antara lain :
Perkontuinitatum
Efek peradangan tersebut dapat mengenai lapisan meningen dan ruang-ruang yang
berada diantara lapisan. Tidak jarang pula infeksi mengenai jaringan otak. Kondisi ini disebut
meningo-encephalitis. Efek patologis yang terjadi antara lain :
Hyperemia Meningens
Eksudasi
Perubahan-perubahan tersebut akan memberikan dampak terhadap peningkatan
tekanan intra kranial dan hydrocephalus (pada anak-anak). Hydrocephalus terjadi bila eksudat
(lebih sering terjadi pada infeksi bakteri) menyumbat sirkulasi cairan cerebrospinal juga
eksudat tadi dapat menetap di jaringan otak dan menyebabkan abses otak. (Depkes : 1995)
3. MANIFESTASI KLINIK
Keluhan pertama biasanya Nyeri kepala. Rasa nyeri ini dapat menyebar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot
ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala
tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi, kesadaran menurun. Tanda
Kernig&Brudzinsky positif. (Arief Mansjoer : 2000)
Terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang,
nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi diare, biasanya disertai
septicemia dan pneumonitis. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab
hemofilus influenza, 25% streptokok pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi
meningokok.
Gangguan kesadaran berupa apati, letargi, renjatan, koma. Selain itu dapat terjadi
koagulasi intravaskularis diseminata.
Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda kernig brudzinski dan
fontanela menonjol untuk sementara waktu belum timbul. Pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa
hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung.
Biasa dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas. Selanjutnya terjadi
kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan taki kardi karena septicemia.
Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam dapat dijumpai pada penderita.
Nyeri kepala dapat hebat sekali, rasanya seperti mau pecah dan bertambah hebat bila kepala
digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses radang pembuluh darah. Meningeal,
tetapi juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intracranial yang disertai fotofobi dan
hiperestesi, suhu badan makin meningkat, tetapi jarang disertai gemetar (chills). (Harsono :
1996)
TANDA DAN GEJALA
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema serebral /
penyumbatan
aliran darah
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
4. Risiko tinggi terhadap trauma / injuri berhubungan dengan aktifitas kejang umum.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan, daya tahan tubuh yang lemah.
Ditandai dengan gejala menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah,
diare, tonus otot kurang, menangis lemah. Pada anak dan remaja biasanya terdapat tanda dan
gejala demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan sensori, kejang, mudah terstimulasi,
foto fobia, delirium, halusinasi, maniak, stupor, koma, kaku kuduk, tanda kernig dan
brudzinski positif, ptechial (menunjukkan infeksi meningococal).
PENYEBAB
Tanda-tanda khas penyakit ini adalah Apatis, refleks pupil yang lambat dan refleksrefleks tendo yang lemah.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hb, jumlah dan hitung jenis leukosit, laju endap darah
(LED), kadar glukosa puasa, kadar ureum, elektrolit.
Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu pada meningitis
tuberculosis didapatkan juga peningkatan LED.
2. Cairan Otak
Periksa lengkap termasuk pemeriksaan mikrobiologis. Pada meningitis serosa
diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang jernih meskipun mengandung sel dan
jumlah protein yang meninggi.
3. Pemeriksaan Radiologis
- Foto data
- Foto kepala
- Bila mungkin CT Scan.
Penatalaksanaan
a. Medis
1. Rejimen terapi : 2 HRZE 7RH.
2 Bulan Pertama :
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin a/
: 15 mg / kg / hari, oral
Etambutol
Kesadaran menurun
4. Dosis
Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 x 5 mg intravena selama 2-3
minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
Disamping
tuberkulostatik
dapat
diberikan
rangkaian
pengobatan
dengan
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah dan hitung jenis leukosit, laju endap darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur. Pada meningitis purulenta di dapatkan
peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
2. Cairan Serebrospinal : lengkap & kultur
Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang
keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan
mati, jaringan yang mati dan bakteri.
3. Pemeriksaan Radiologis
- Foto kepala : periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi
- Foto dada.
Penatalaksanaan
Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif, suportif
untuk membantu pasien melalui masa kritis. Sementara menunggu hasil pemeriksaan
terhadap kausa diberikan obat sebagai berikut :
Kombinasi Ampisilin 12-18 gr, Kloramfenikol 4 gr, Intravena dalam dosis terbagi 4 x /
hari.
5. DIAGNOSIS PENUNJANG
Adanya gejala-gejala seperti panas yang mendadak dan tidak dapat diterangkan
sebabnya, letargi, muntah, kejang dan lain-lainya harus difikirkan kemungkinan meningitis.
Diagnosis pasti adalah dengan pemeriksaan CSS melalui fungsi lumbal. Pada setiap penderita
dengan iritasi meningeal,apalagi yang berlangsung beberapa hari atau dengan gejala-gejala
kemungkinan meningitis atau penderita dengan panas yang tidak diketahui sebabnya, harus
dilakukan fungsi lumbal. Kadang-kadang pada fungsi lumbal pertama tidak didapatkan derita
yang sebelumnya telah mendapat pengobatan antibiotika,tetapi pada pembiakan ternyata ada
bakteri. Walaupun fungsi lumbal merupakan faktor resiko untuk terjadi meningitis, untuk
kepentingan diagnosis cara ini mutlak dilakukan.
Bila terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (koma, kekakuan
descrebrasi, reaksi cahaya negatif) dapat dilakukan fungsi melalui sisterna makna. Cara ini
untuk menghindarkan terjadinya dekompresi dibawah foramen maknum dan herniasi tonsila
cerebellum. Bila tekanan permukaan CSS di atas 200 mmH2O, sebaiknya diberikan manitol
0,25 -0,50 mg/kg BB secara bolus segera sesudah fungsi lumbal untuk menghindari herniasi
otak. Jumlah CSS yang diambil secukupnya untuk pemeriksaan. Pada umumnya tekanan CSS
200-500 mmH2O dan CSS tampak kabur, keruh dan purulen.
Pada meningitis bacterial stadium akut terdapat leukosit polimor fonukleat. Jumlah sel
berkisar antara 1000-10000 dan pada kasus tertentu bisa mencapai 100000/mm3 , dapat
disertai sedikit eritrosit. Bila jumlah sel diatas 50.000/mm3 , maka kemungkinannya adalah
abses otak yang pecah dan masuk ke dalam ventrikulus. (Harsono : 1996)
a. Pemeriksaan cairan serebrospinalis baik secara makroskopis maupun secara mikroskopis.
- Warna (Infeksi bakteri = purulent, infeksi virus dan tuberculosis = Xantocrom)
- Tekanan meningkat
- Sel PMN (Polimorfonukleus) meningkat
- Protein meningkat
- Glukosa menurun
- None (+)
- Pandi (+).
b. Pemeriksaan Tambahan
-
Kultur darah
lebih 10 hari. Gentamisin dipergunakan untuk memberantas Escheria coli, klebsiela, proteus,
dan kuman-kuman gram negatif.
2. MANAJEMEN TERAPI
1). Isolasi
2). Terapi anti mikroba sesuai hasil kultur
3). Mempertahankan dehidrasi,monitor balance cairan (hubungan dengan edema serebral)
4). Mencegah dan mengobati komplikasi
5). Mengontrol kejang
6). Mempertahankan ventrilasi
7). Mengurangi meningkatnya tekanan intra cranial
8). Penatalaksanaan syok septik
9). Mengontrol perubahan suhu lingkungan. (Harsono : 1996)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Analisa CSS dari fungsi lumbal :
Meningitis bakterial : Tekanan meningkat, cairan keruh / berkabut, jumlah sel darah
putih dan protein meningkat; glukosa menurun, kultur positif terhadap beberapa jenis bakteri.
Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus
biasanya hanya dengan prosedur khusus.
Glukosa serum : Meningkat (meningitis).
LDH serum : Meningkat (pada meningitis bakteri).
Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri).
Elektrolit darah : Abnormal.
ESR / LED : Meningkat (pada meningitis).
Kultur darah / hidung / tenggorok / urine : Dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi
atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
MRI / CT-Scan : Dapat membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran / letak ventrikel;
hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
EEG : Mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal atau umum (ensefalitis) atau
voltasenya meningkat (abses).
Ronsen dada, kepala dan sinus : Mungkin ada indikasi infeksi atau sumber infeksi kranial.
Arteriografi karotis : Letak abses lobus temporal, abses serebral posterior.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PEMERIKSAAN FISIK
1. Testing Cerebral Function
Status mental
a. Pemeriksaan orientasi
Tanya klien tentang :
Tempat tinggal
Tempat lahir
Alamat sekolah
Hari apa
Tanggal berapa
Jam berapa
Bulan berapa
Tahun berapa
Klien diperlihatkan sendok, garpu dan bolpoint selama kurang lebih 1 detik
Minta klien untuk menyebutkan nama benda.
3. Perhatian dan perhitungan
Tanya klien tentang perhitungan :
4. Fungsi bahasa
Perlihatkan orang coba penghapus dan penggaris, Tanya nama benda tersebut
Minta orang coba untuk mengatakan jika tidak atau andai tetapi
Minta orang coba untuk mengambil penggaris dari baki, diketukkan 3 kali di baki,
serahkan ke temannya
Tingkat kesadaran
1. Alert
Klien dapat merespon dengan tepat terhadap stimulus audio, tactil, visual
Orientasi (orang, tempat,waktu) baik.
2. Lethargi
Sering tidur/ngantuk
Klien dapat bangun dengan mudah bila dirangsang denghan suara
Respon tepat.
3. Obtuned
Klien akan bangun diranhsang suara lebih keras atau menepuk dadanya
Klien akan tidur lagi setelah bangun
Respon tepat.
4. Stuport
Ada respon terhadap nyeri
Klien tidak sadar penuh selama stimulasi
Withdrawl refleks.
5. Comatase
Tidak ada respond an refleks terhadap stimulus
Flaccid muscle tone pada tangan dan kaki.
1. Pengkajian bicara Proses Resiptive
Kaji cara pengucapan, kemampuan baca. Beri pertanyaan yang sederhana yang
memerlukan jawaban lebih dari satu kata. Kemudian minta klien untuk membaca.
2. Pengkajian bicara Proses Expressive
Kemudian untuk mengekspresikan sesuatu, perhatikan apakah bicara klien
lancar,spontan,jelas. Sesuaikan dengan usia dan pendidikan klien. (Suradi Efendi : 2005
MASALAH DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Masalah keperawatan yang mungkin dijumpai pada klien dengan infeksi susunan saraf
pusat (meningitis, encephalitis, abses otak) serta intervensinya :
1. Potensial penyebaran infeksi
Kemungkinan penyebab :
Proses peradangan
itu
3. Hindarkan klien dari orang-orang yang mengalami ISPA baik petugas maupun pengunjung
4. Observasi secara teratur tiap 4-6 jam suhu tubuh klien.
5. Kaji kemungkinan adanya nyeri dada, nadi yang tidak teratur ataupun panas tubuh yang
menetap.
6. Auskultasi bunyi nafas, pola dan frekuensinya
7. Lakukan perubahan posisi secara teratur dan anjurkan klien untuk nafas dalam
8. Observasi urine out put : warna, bau, jumlah.
Tindakan Kolaboratif
a. Kolaborasi dengan tim medik untuk pemberian antibiotik baik secara IV maupun Intra
thecal.
b. Kolaborasi terhadap kemungkinan pembedahan.
2. Gangguan perfusi serebral
Kemungkinan penyebab :
Hypovolemia
Udema serebral
Kesadaran baik
Intervensi Keperawatan
-
Klien bed rest dengan posisi terlentang atau posisi elevasi 15 450 sesuai indikasi.
Monitor tanda-tanda vital setiap 4 jam (waspada terhadap terjadinya peningkatan sistolik,
Cegah kemungkinan peningkatan suhu tubuh dengan mengurangi pakaian, selimut dan bila
mukosa
Bantu klien menghindari batuk, muntah dan obstipasi. Anjurkan klien untuk merubah-rubah
posisinya
Ciptakan kenyamanan dengan melakukan massage pada punggung, lingkungan yang hangat,
terlalu lama.
Tindakan Kolaboratif
a. Kolaborasi untuk pemberian cairan intravena baik elektrolit atau cairan hipertonis.
b. Kolaborasi untuk pemeriksaan analisa gas darah
c. Kolaborasi pemberian oksigen
d. Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti steroid, chlorpromazine, acetaminophen.
3. Potensial terjadinya trauma
Kemingkinan penyebab :
Rangsangan kejang
Tindakan Kolaboratif
Kolaborasi pemberian terapi seperti dilantin dan luminal.
4. Perubahan rasa nyaman : Nyeri
Kemungkinan penyebab :
Sirkulasi toxin
Intervensi
Ciptakan lingkungan yang tenang, jauh dari stimulus yang berlebihan seperti
kebisingan, cahaya yang berlebih / silau
Gunakan penghangat di daerah leher dan punggung, bisa berupa balsem atau handuk
yang dihangatkan.
Tindakan Kolaboratif
Kolaborasi pemberian analgesik seperti codein.
5. Perubahan / gangguan mobilitas fisik
Kemungkinan penyebab :
Kerusakan neuromuskular
Nyeri / discomfort
Bed rest
Intervensi
Letakkan klien dalam posisi prone satu atau dua hari apabila pasien kooperatif
Latih pasien untuk melakukan pergerakan (ROM) aktif / pasif untuk semua aktifitas
Evaluasi penggunaan alat-alat bantu selama paralise misalnya posisi foot board
Kaji kemampuan untuk duduk, kekuatan tangan, kaki dan keseimbangan untuk berdiri
serta gunakan alat untuk menahan tekanan pada tulang yang menonjol
Kaji kemungkinan sirkulasi darah yang tidak adekuat seperti perubahan warna kulit,
edema dan tanda-tanda lainnya
Observasi keadaan integritas kulit dan lakukan massage untuk melancarkan sirkulasi
darah
Gunakan bantal di atas kursi untuk menahan penekanan dan kaji berat badan secara
intensif
Dorong pasien untuk melakukan aktifitas dan beri pujian bila ia dapat melakukannya
dengan baik.
Tindakan Kolaboratif
a; Konsultasi dengan Fisioterapi bila pasien menolak untuk melakukan aktifitas
b; Kaji kemungkinan pemasangan alat elektrik untuk stimulasi sesuai dengan indikasi
c; Beri obat-obatan anti spasmodik dan perangsang otot sesuai dengan program pengobatan.
(Depkes : 1995)
DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
AKTIVITAS / ISTIRAHAT
Gejala :
Tanda :
MAKANAN / CAIRAN
Gejala :
Anoreksia, muntah.
periode akut).
NEUROSENSORI
Gejala :
berat). Parestesia, terasa kaku pada semua persarafan yang terkena, kehilangan sensasi
(kerusakan pada saraf kranial). Hiperalgesia / meningkatnya sensitivitas pada nyeri
(mengitis). Timbul kejang (meningitis bakteri atau abses otak). Gangguan dalam penglihatan,
seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi). Fotofobia (pada meningitis).
Ketulian (pada meningitis atau ensefalitis) atau mungkin hipersensitif terhadap kebisingan.
Adanya halusinasi penciuman atau sentuhan.
Tanda : Status mental / tingkat kesadaran: letargi sampai kebingungan yang berat hingga
koma, delusi dan halusinasi / psikosis organik (ensefalitis).
Kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan (dapat merupakan awal gejala
berkembangnya hidrosefalus komunikan yang mengikuti meningitis bakterial).
Afasia / kesulitan dalam berkomunikasi.
Mata (ukuran / reaksi pupil); unisokor atau tidak berespons terhadap cahaya (peningkatan
TIK), nistagmus (bola mata bergerak-gerak terus-menerus).
Ptosis (kelopak mata atau jatuh). Karakteristik fasial (wajah): perubahan pada fungsi motorik
dan sensorik (saraf kranial V dan VII terkena).
Kejang umum atau lokal (pada fase abses otak), kejang lobus temporal. Otot mengalami
hipotonia / flaksid paralisis (pada fase akut meningitis), spastik (ensefalitis).
Gangguan sensasi.
PENYULUHAN / PEMBELAJARAN
Gejala : Adanya riwayat menggunakan obat (abses otak).
Hipersensitif terhadap obat (meningitis non-bakteri).
Masalah medis sebelumnya, seperti penyakit kronis / gangguan umum, alkololisme, diabetes
melitus, splenektomi, implantasi pirau ventrikel.
Rencana pemulangan :
Mungkin membutuhkan bantuan pada semua bidang, meliputi perawatan diri dan
mempertahankan tugas / pekerjaan rumah.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INFEKSI, RISIKO TINGGI TERHADAP,
(PENYEBARAN)
II;
Encephalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri
cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus.
2; PATOFISISOLOGI
Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah
masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:
a; Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu.
b; Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah. Kemudian menyebar
3; GEJALA KLINIS
Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis ensefalitis lebih kurang sama dan
khas sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnostik. Secara umum gejala
berupa ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. Setelah
masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu yang mendadak,
seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada anak besar, menjerit pada anak
kecil. Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk,
peningkatan reflek tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang-kadang kelumpuhan.
Manifestasi klinik ensefalitis bakterial, pada permulaan terdapat gejala yang tidak
khas seperti infeksi umum, kemudian timbul tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial yaitu nyeri kepala, muntah-muntah, nafsu makan tidak ada, demam,
penglihatan kabur, kejang umum atau fokal dan kesadaran menurun. Gejala defisit
nervi kranialis, hemiparesis, refleks tendon meningkat, kaku kuduk, afasia,
hemianopia, nistagmus dan ataksia.
Penyebab kelainan neurologis (defisit neurologis) adalah invasi dan perusakan
langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak; reaksi
jaringan saraf terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan
vaskular, dan paravaskular; dan karena reaksi aktivasi virus neurotropik yang
bersifat laten.
Pada ensefalitis viral gejala-gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi
saluran nafas atas atau gastrointestinal selama beberapa hari kemudian muncul
tanda-tanda radang SSP seperti kaku kuduk, tanda kernig positif, gelisah, lemah dan
sukar tidur. Defisit neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan.
Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau
umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi,
gangguan bicara dan gangguan mental.
Temuan-temuan klinis pada ensefalitis ditentukan oleh:
a; Berat dan lokalisasi anatomis susunan saraf yang terlihat
b; Patogenesitas agen yang menyerang
c; Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita
4; KOMPLIKASI
atau cacar.
b; Susunan saraf pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik,
c; Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat
secara menetap
d; Defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
5; PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a; Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu
bilateral).Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG
atau CT scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila
tidak ada tanda klinis flokal, biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus
temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes Simplex.
6; PENATALAKSANAAN
gejala-gejala
neurologik.
Tujuan
penatalaksanaan
adalah
elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah (Arif, 2000). Tata laksana yang
dikerjakan sebagai berikut :
a; Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya
berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi,
perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3
menit.
b; Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S
intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat
diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik,
0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak
toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah
menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan
tenggorokan.
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh:
Herpes dll. Bakteri contoh: Staphylococcus Aureus, Streptococcus, E, Coli,
dll.
6; Imunisasi
Sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur , kebiasaan buang
air besar di WC, lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah
kumuh)
b; Status Ekonomi
Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak
dapatdievaluasi karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.
f;
Pola Aktivitas
togosit
turun, Hb
gelisah.
Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan
ROM Terbatas.
Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual muntah.
Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d
kerusakan susunan saraf pusat.
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.
Resiko gangguan integritas kulit b/d daya pertahanan tubuh terhadap infeksi
turun.
Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.
C; Perencanaan Keperawatan
1; Dx 1 : Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun
6;
7;
8;
9;
10;
2;
3;
4;
5;
D; Pelaksanaan
BAB III
PENUTUP
A; Kesimpulan
Meningitis dan Encephalitis adalah adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak
tipe-tipe dari meningitis dan encephalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh
infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini disebabkan oleh virus-virus.
Meningitis dan Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit yang
menyebabkan peradangan dari otak.
Gejala-gejala dari meningitis dan encephalitis hampr sama, termasuk demam yang
tiba-tiba, sakit kepala, muntah, kepekaan penglihatan pada sinar, leher dan punggung
yang kaku, kebingungan, keadaan mengantuk, kecanggungan, gaya berjalan yang
tidak mantap, dan mudah terangsang. Kehilangan kesadaran , kemampuan reaksi yang
buruk, serangan-serangan, kelemahan otot, demensia berat yang tiba-tiba dan
kehilangan memori dapat juga ditemukan pada pasien-pasien dengan meningitis dan
encephalitis.
B; Saran
Meningitis dan Encephalitis ini harus sudah didiagnosis sejak dini dan diharapkan
kepada penderita agar peduli terhadap penyakitnya dengan konsultasikan kepada
dokter jika terjadi gejala-gejala yang tiba-tiba sakit kepala, muntah, kepekaan
penglihatan pada sinar. Untuk menghindari resiko akibat penyakit ecephalitis, perlu
adanya menjaga lingkungan agar tetap bersih dan bebas dari virus-virus terutama virus
yang menyebabkan encephalitis.
DAFTAR PUSTAKA