Anda di halaman 1dari 12

Poliomyelitis

Kelompok E6
Dhanny Sutrisna 102009085
Lusye Diana Jacob 102012058
Teo Wijaya 102012121
Christy Rattekanan 102012169
Elchim Reza Rezinta 102012240
Stanley Timotius 102012320
Marrys Natalia 102012420
Alif Faisal bin ZabidiI 102012503

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Tahun Ajaran 2014/2015

Pendahuluan
1

Poliomielitis merupakan suatu masalah kesehatan yang besar bagi kebanyakan Negara
yang sedang berkembang dan merupakan salah satu penyebab utama kecacatan lokomotorik.
Kecacatan terjadi akibat paralisi yang sering diperberat oleh deformitas yang sering
berkembang, terutama pada anggota gerak bawah. Penderita yang mengalami deformitas pada
anggota gerak bawahnya tidak dapat berdiri maupun berjalan sehingga sangat membatasi
kegiatan sehai-hari dan aktivitas sosial.
Pada negara-negara industri maju, penyakit poliomyelitis yang pernah menimbulkan
suatu epidemic hamper tereradikasi, sebagai akibat dari perkembangan dan pengguanaan vaksin
profilaksis yang efektif secara luas. Namun, pada negara yang sedang berkembang, insiden
poliomielitis masih sangat tinggi terutama pada anak-anak. Meskipun dewasa ini dilakukan
kampanye imunisasi yang intensif terhadap poliomyelitis dengan tujuan untuk mengeradikasi
penyakit ini.
Anamnesis
Riwayat penyakit pasian diperoleh dangan wawancara, baik secara langsung dengan
pasien (autoanamnesis) maupun dengan orang tua pasien atau sumber lain misalnya wali atau
pengasuh (aloanamnesis). Perhatian terhadap keluhan utama biasanya pasien datang dengan
keluhan kaki tidak dapat digerakan atau tidak dapat berjalan secara tiba-tiba.
Setelah mengetahui keluhan utama utama barulah disusun riwayat perjalanan penyakit
secara kronologis, rinci, dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum ada
keluhan sampai pasien dibawa berobat.
Riwayat penyakit sekarang yang dapat ditanyakan antara lain, sudah berapa lama keluhan
terjadi, pada umur berapa, bagaimana terjadinnya apakah mendadak, perlahan-lahan, terusmenerus, berupa serangan-serangan, hilang timbul, atau berhubungan dengan waktu tertentu.
Dimana lokasinya dan sifatnya apakah menetap atau menjalar atau menyebar, apakah kaki yang
tidak dapat digerakan hanya sebelah atau kedua tungkai, apakah jika kaki disentuh masih pasien
dapat merasakan. Bagaimana derajat dan perkembangannya apakah menetap, bertambah berat,
atau berkurang. Apakah ada gejala awal seperti demam, batuk pilek, lemas, nyeri otot.
Keluhannya untuk yang keberapa kali apakah sebelumnya sudah pernah mengalami hal yang
sama. Apakah telah berobat, mendapat obat apa, apakah betambah baik, menetap, atau
bertambah buruk. Apakah dikeluarga ada mengalami hal yang sama.
Riwayat kehamilan ibu juga dapat ditanyakan. Hal-hal yang dapat ditanyakan seperti,
bagaimana kesehatan ibu waktu hamil, penyakit apa saja yang diderita, perawatan ante natal oleh
siapa apakah dokter,bidan, atau dukun. Selama hamil apakah teratur melakukan perawatan ante
natal. Obat apa saja yang diminum selama hamil, apakah mempunyai kebiasaan merokok atau
minum alcohol. Bagaimana kehamilan yang dahulu apakah kehamilan diharapkan atau pernah
ingin digugurkan.
2

Riwayat kelahiran yang dapat ditanyakan antara lain, tanggal berapa, dimana apakah
dirumah sakit, rumah, atau rumah bersalin. Apakah cukup bulan atau tidak. Siapa yang menolong
waktu melahirkan. Bagaimana cara melahirkannya apakah spontan, dengan alat, atau operasi
Caesar. Bagaimana keadaan setelah lahir (pada nilai Apgar). Berapa umur ibu waktu mealhirakan
dan bagaimana keadaannya. Apakah setelah lahir bayi mengalami sianosis, kuning, kejang,
anemia, dan infeksi. Berapa lama dirawat setelah lahir.
Riwayat penyakit dahilu apa sajakah yang pernah diderita dan pada umur berapa apakah
pernah sakit sampai dirawat di rumah sakit. Apakah pernah mengalami operasi kecelakaan atau
cedera. Apakah pernah tidak sadar. Apakah pasien sudah diimunisasi dan sampai umur berapa
apakah lengkap atau tidak.1
Pemeriksaan Fisik
Pemerikssan system motor. Sebelum melakukan pemriksaan formal perhatikan posturnya
pada waktu berdiri, perhatikan jalannya, dan larinnya. Evaluasi system motor pada anak usia
sekolah dapat dilakukan secara formal, dan biasannya cukup pada otot proksimal dan distal
anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan otot hanya dapat dilakukan pada anakyang sudah
dapat mengerjakan inskrukti pemeriksa dan kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif
hanya dapat dinilai kesan keseluruhannya saja. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan
tungkai bawah tergantung. Ia diminta untuk menggerakan anggota badan yang diuji dan
pemeriksa menahan gerakan-gerakannya (kekuatan kinetic), dan setelah itu disuruh menahan
anggota badan yang diuji tetap ditempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan yang
dilakukan pemeriksa (kekuatan static).
Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai
100% sampao 0%, ada yang mengguanakan huruf (N = normal; G = good; F = fair; P = poor; T
= trace dan O= zero) ada yang menilai dengan anka 5 sampai 0.
5 = normal
4 = dapat menggerakan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan tahanan secara
simultan
3 = dapat menggerakan anggota gerak untuk menahan berat dan menahan tahanan secara
simultan, tetapi tidak dapa menggerkan anggota badan untuk melawan tahanan pemeriksa
2 = dapat menggerakan anggota gerak tapi tidak kuat menahan berat dan tidak dapat mealwan
tahanan pemeriksa
1 = terdapat atau teraba ada getaran kontraksi, tetapi tidak ada gerakan anggiota gerak sama
sekali
0 = paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali
3

Pemeriksa kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak, misalnya disuruh
mengankat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama, kemudian ditekan bahunya dan anak
disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak diajak bejabat tangan dan disuruh pronasi supinasi
sambil ditahan. Demikian pula dengan anggota gerak yang lain. Demikian pula dilakukan pada
kaki untuk sendi panggul, sendi lutut ketika fleksi dan diberi tahanan. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan fisik neurologis. Refleks tendon dalam biasa diperiksa pada tendon biseps, triseps,
patela, dan achilles. Bandingkan refleks tendon pada sisi kanan dan kiri. Selain itu, dapat
diperiksa pula tanda rangsang meningeal yaitu kaku kuduk, Brudzinski, dan Kernig. Pemeriksaan
kaku kuduk dan Brudzinski dilakukan bersamaan dengan tahap awal yaitu leher pasien ditekuk
secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk melihat adakah tahanan sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada. Pada Brudzinski, bila terdapat rangsang meningal maka kedua tungkai
bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. Pada tanda Kernig, pasien yang berbaring
terlentang tungkainya difleksikan tegak lurus, kemudian tungkai bawah diluruskan pada sendi
lutut. Dalam keadaan normal, tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135o terhadap
tungkai atas. Lalu, dilakukan pula pemeriksaan sensibilitas yaitu uji sentuhan, uji rasa nyeri, uji
perasaan vibrasi, uji posisi, dan uji koordinasi.1 Pada uji ini kekuatan otot yang diperiksa harus
selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya yang kontralateral.2 Hasil pemeriksaan fisik
ditemukan bahwa suhu pasien 38oC yang berarti lebih tinggi dari normal. Selain itu dinding
faring hiperemis, refleks tendon tidak ada, refleks motorik , pemeriksaan sensoriknya positif,
kaku kuduk juga positif. Pasien mengalami flaccid dan sulit mengangkat kepala dan kaki pada
posisi supin

Pemeriksaan Penujang
Pada kasus poliomielitis, tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk
mendiagnisis seseorang terkena poliomielitis pada gejala awal, sama seperti virus lainnya.
Pemeriksaan darah perifer mungkin dalam batas normal atau terjadi leukositosis pada fase aku
mayor illness yaitu 10.000-30.000/mikroL dengan predominan PMN.
Pungsi lumbal dilakukan untuk mengukur tekanan cairan serebrospinal dan mengambil
contoh cairan untuk pemeriksaan laboratorium. Umumnya, pungsi lumbal merupakan
kontraindikasi bila terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial karena penurunan tekanan
intrakranial karena penurunan tekanan yang sangat cepat setelah pembuangan cairan
serebrospinal dapat menyebabkan herniasi struktur otak ke dalam foramen magnum 3. Pada 90%
kasus mayor illness, terjadi peningkatan jumlah sel bervariasi 20-300 sel/mikroL pada
pemeriksaan cairan serebrospinal. Pada umumnya, dalam 72 jam pertama terjadi dominasi PMN,
selanjutnya dominasi limfosit dan jumlah sel menurun pada minggu ke 2 menjadi 1015/mirkroL. Terdapat penurunan kadar gula likuor dan peningkatan kadar protein 30-200 mg/dl
pada minggu ke 2, dan kembali normal dalam sebulan.2

Penderita mulai mengeluarkan virus kedalam tinja saat sebelum fase paralitik terjadi,
jadi isolasi virus bisa digunakan untuk menunjang diagnostik. Pada isolasi feses yang diambil 10
hari dari awitan gejala neurologik, 80-90% positif untuk virus polio, oleh karena eksresi terjadi
maka yang sebaiknya diambil 2 atau lebih spesimen dalam beberapa hari. Eksresi dari faring dan
cairan serebrospinal jarang menghasilkan virus. Hasil biakan. juga penting untuk menentukan
jenis serotype virus dan mempengaruhi cara vaksinasi.2
Diagnosis Kerja
Poliomielitis adalah suatu penyakit kelumpuhan akut yang disebabkan oleh suatu
kelompok virus neurotropic (tipe I, II, III). Virus poliomielitis mempunyai afinitas khusus pada
sel-sel neuron kornu anterior medulla spinalis dan inti saraf motorik di batang otak dan area
motoric korteks otak. Sel -sel sarag yang terkena mengalami nekrosis dan otot-otot yang
disuplainya mengalami kelumpuhan serta atofi otot.4,5
Keluhan biasanya nyeri tenggorok atau perasaan tak enak di perut, gangguan gastrointestinal,
demam ringan, perasaan lemas, dan nyeri kepala ringan. Distribusinya secara khas asimetris,
dengan otot-otot proksimal lebih terkena daripada otot distal. Nervus kranialis (polio bulbar)
yang terkena menyebabkan disfagia dan ketidakmampuan menyekresi. Perburukan paralisis
dapat berlanjut sampai 1 minggu; prognosis dapat ditentukan 1 bulan sesudah infeksi. Fungsi
sensoris tetap utuh. Beberapa derajat cedera permanen ditemukan pada mengenai sebagian besar
pasien, walaupun mereka yang mengalami paralisis bulbar biasanya sembuh total.

Gejala Klinis
Infeksi tidak bergejala biasanya terjadi pada 95% orang yang terinfeksi. Bentuk abortif
(demam nonspesifik) terjadi seperti demam, malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala,
faringitis, nyeri perut. Terdapat pula bentuk nonparalitik (meningitis aseptik) gejalanya serupa
dengan bentuk abortif ditambah kaku kuduk dan tanda radang meningeal, nyeri otot punggung,
tanda tripod, tanda Kernig dan Brudzinski positif, dan ubun-ubun cembung, penurunan refleks
tendo superfisial (kremaster, abdominal) dan profunda menandakan paralisis.
Virus polio yang masuk akan berbiak di tenggorokan dan usus, dan tanda-tanda klinik
yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan anatomik yang terjadi. Biasanya, masa
inkubasinya adalah 3-6 hari, kelu,puhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor
neuron terutama terjadi di sumsum tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan
kelumpuhan sel atrofi otot, sedang virus yang berbiak di batang otak akan menyebabkan
kelumpuhan bulbar dan kelumpuhan pernapasan. Selain gejala klinik yang akut, juga dikenal
adanya post-polio syndrome yang gejala kelumpuhannya terjadi bertahun-tahun setelah infeksi
akut.4

Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan sakit kepala, sakit pinggang,
kesulitan menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head drop,
tanpa tripod saat duduk, tanda-tanda spinal, tanda Brudzinsky atau Kernig, harus dicurigai
kemunkinan adanya poliomielitis.
Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang sangat ringan sampai
terjadi paralisis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor illness (penyakit
dengan gejala ringan) dan major illness (termasuk dengan jenis non-paralitik dan paralitik).
Gejala klinik minor illness terjadi sebagai akibat proses inflamasi akibat berbiaknya virus
polio. Gejalanya sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Keluhan biasanya nyeri tenggorok atau
perasaan tak enak di perut, gangguan gastrointestinal, demam ringan, perasaan lemas, dan nyeri
kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Gejala ini merupakan fase
enterik dari infeksi virus polio. Masa inkubasi 1-3 hari dan jarang lebih dari 6 hari. Selama waktu
itu virus bereplikasi pada nasofaring dan saluran cerna bagian bawah. Gejala klinis yang tak khas
ini terdapat pada 90-95% kasus polio.
Gejala klinis major illness merupakan gejala klinik akibat penyebaran dan replikasi virus
di tempat lain serta kerusakan yang ditimbulkannya. Menurut Horstman. masa ini berlangsung
selama 3-35 hari termasuk gejala minor illness dengan rata-rata 17 hari. Usia penderita akan
mempengaruhi gejala klinis, 1/3 dari kasus polio berusia 2-10 tahun, akan memberikan gambaran
bifasik atau dromedari yaitu terdapat 2 letupan kedua kelainan sistemik dan neurologik.
Gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan cepat dalam beberapa jam, nyeri kepala
dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan punggung. Penderita terlihat
mengantuk, iritabel, dan cemas. Pada kasus tanpa paralisis maka keadaan ini sukar dibedakan
dengan meningitis aseptik yang disebabkan virus lain. Bila terjadi paralisis biasanya dimulai
dalam beberapa detik sampai 5 hari sesudah keluhan nyeri kepala.
Pada anak, stadium pre paralisis terjadi lebih singkat dan kelemahan otot terjadi pada
waktu penurunan suhu, pada saat penderita merasa lebih baik. Pada dewasa, stadium pre paralitik
berlangsung lebih hebat dan lebih lama, penderita terlihat sakit berat, tremor, agitasi, kemerahan
di bagian muka, otot menjadi sensitif dan kaku, pada otot ekstensor ditemukan refleks tendon
meninggi dan fasikulasi. Poliomielitis merusak sel motorik, yaitu neuron yang besar pada
substansia grisea anterior pada medula spinalis dan batang otak. Lebih sering kerusakan pada
segmen lumbal dan servikal dibandingkan torakal. Medula spinalis lebih sering terkena
dibandingkan batang otak. Kerusakan motor neuron pada anak sering menimbulkan kelainan
yang asimetris. Proses peradangan juga berpengaruh pada saraf autonom dan sensoris tapi
biasanya tak menimbulkan kerusakan yang permanen.4,5
Manifestasi gejala klinis dari paralisis terbagi dua yaitu tipe spinal dan tipe bulbar.
Paralitik poliomielitis dimulai dari gejala seperti pada infeksi klinis yang ringan (minor), diseling
dengan periode 1-3 hari tanpa gejala, kemudian disusul dengan nyeri otot, kaku otot, dan demam.
6

Dengan cepat (beberapa jam) keadaan klinik cepat memburuk (mayor) dan menimbulkan
kelumpuhan yang maksimal dalam 48 jam saja. Pada tipe spinal kelumpuhan yang terjadi
biasanya tidak lengkap, kaki lebih sering terkena dibanding dengan tangan, terutama terjadi di
bagian proksimal, tidak simetrik dan menyebar dari bagian proksimal kearah distal (descending
paralysis). Kelumpuhan lebih sering terjadi pada otot yang lebih besar di bagian proksimal
(terutama paha), dibadingkan dengan otot distal yang kecil. Deep tendon refleks akan hilang
tanpa gangguan sensori. Jenis ini akan memberi tanda Babinsky negatif. Jenis dan beratnya
kelumpuhan sangat tergantung pada lokasi kerusakan, namun selalu bersifat layuh (flaccid), otot
lembek (floopy) tanpa tonus otot. Jenis klinis spinal sering mengenai otot tangan, kaki, dan torso.
Terdapat kasus bulbar akibat kerusakan motorneuron pada batang otak, sehingga terjadi
infusiensi pernapasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan makan, kelumpuhan pita suara, dan
kesulitan bicara. Saraf otak yang terkena adalah saraf V, IX, X, XI, dan kemudian saraf VII.
Kasus ensefalitis (jarang) sukar dibedakan secara klinik dengan ensefalitis akibat virus lain.
Kerusakan pada saraf pusat ini, seperti pada penyakit saraf yang lain, tidak dapat diperbaiki atau
diganti sehingga dapat terjadi kelumpuhan yang permanen. Perbaikan secara klinik terjadi kerja
yang rusak akan diambil alih oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh otot
lain atau diperbaiki sisa otot yang masih berfungsi.
Post polio syndrome (PPS) adalah bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) setelah
infeksi polio, denga gejala klinik polio paralitik yang akut. Gejala yang muncul adalah nyeri otot
yang luar biasa, paralisis yang rekure. atau timbul paralisis baru. Patogenesisnya belum jelas,
namun bukan akibat infeksi yang persisten. WHO merekomendasikan bahwa diagnosis
laboratorium dari poliomielitis harus dipastikan dengan isolasi dan identifikasi poliovirus,
dengan identifikasi spesifik dari tipe liar dan strain tipe vaksin. Dalam kasus yang dicurigai dari
paralisis flasid yang akut, 2 spesimen kotoran harus dikumpulkan 24-48 jam berjauhan, secepat
mungkin setelah diagnosis poliomielitis dicurigai. Konsentrasi virus polio tinggi pada kotoran di
minggu pertama setelah onset paralisis, dimana waktu optimal untuk pengumpulan spesimen
kotoran, Poliovirus mungkin diisolasi dari 80-90% pasien sakit akut, sedangkan kurang dari 20%
mungkin menghasilkan virus selama 3-4 minggu setelah onset paralisis. Karena kebanyakan
anak-anak dengan spinal atau bulbospinal poliomielitis memiliki konstipasi, kotoran dari rectal
mungkin digunakan untuk spesimen; idealnya minimal 8-10 gram harus dikumpulkan.6
Diagnosis Banding
Untuk menegakan diagnosis klinis secara tepat terhadap poliomielitis paralitik agak sulit.
Sebagai pegangan praktis, apabila dijumpai penyakit akut lain yang menyebabkan nyeri kepala
hebat, nyeri leher, demam dan paralisis flasid yang asimetris tanpa menyebabkan kehilangan
sensorik, yang diikuti kenaikan leukosit pada cairan likuor. Diagnosis bandingnya adalah
sindrom Guillain-Barre. Paralisis yang dapat diduga post infection polyneurophaty (sindrom
Guillain-Barre) jika terdapat sedikit perubahan sistem sensorik. Sindrom Guillain-Barre
merupakan neuropati perifer idiopatik yang sering terjadi sesudah infeksi pernapasan atau
7

gastrointestinal. Infeksi dengan Campylobacter jejuni disertai dengan bentuk berat penyakit.
Biasanya pada polineuropati, rasa lemah yang timbul simetris, tidak dijumpai demam. Likuor
jarang menunjukan pleiositosis dan sering terjadi peningkatan kadar protein likuor >100 mg/dl.
Perburukan dapat terjadi dengan cepat, dalam beberapa jam atau beberapa hari, atau lebih
lamban, selama beberapa minggu.7
Pada sindrom Guillain-Barre biasanya anak mengeluh mati rasa atau parestesi pada
tangan dan kaki dan kemudian mengalami rasa kelemahan berat pada kaki, yang diikuti dengan
ketidakmampuan berjalan. Pemeriksaan sering menunjukkan kehilangan seluruh refleks
walaupun kekuatan masih baik. Tanda-tanda objektif gangguan sensoris biasanya lebih kecil
dibandingkan dengan kelemahan yang dramatis. Tanda-tanda meningeal sering ditemukan.
Perburukan menjadi insufisiensi bulbar dan pernapasan dapat terjadi dengan cepat, dan
memerlukan pemantauan ketat fungsi pernapasan. Neuropati dibedakan dari sindrom medula
spinalis oleh fungsi usus dan kandung kemih yang normal, kehilangan refleks lengan, hilangnya
tingkatan sensoris, dan ketiadaan nyeri tekan spinal. Disfungsi saraf autonom dapat
menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipotensi ortostatik, takikardia, dan aritmia lain, retensi, atau
inkontinensia urine, retensi tinja, atau episode keringat abnormal, kemerahan, atau vasokonstriksi
perifer.
Diagnosis banding lainnya adalah mielitis transversa akut dimana terjadi kelainan saraf
sensorik dan motorik setinggi segmen spinal yang bersangkutan, yang mengalami peradangan.
Pralitik histeritikal sering ditemui pada waktu epidemic. Paresis dengan pola yang simetris buan
asimetris, tidak terlihay sait dan reflex tendon normal.
Etiologi
Virus polio termasuk family Picornavirus dengan genus Enterovirus l mati pada suhu 50 o55oc selama 30 menit, bahan oksidator, formalin, kiorin dan sinar ultraviolet.
Secara etiologi maka virus polio dibagi 3 tipe yaitu, tipe I Brunhilde, tipe II Lansing, tipe
III Leon. Tipe I sering menimbulkan eppidemi yang luas dan ganas, tipe II kadang-kadang
menyebabkan kasus yang sporadic, dan tipe III menyebabkan epidemic ringan. Di negara tropis
dan subtropics kebanyakan disebabkan oleh tipe II dan tipe III dan virus ini tidak menimbulkan
imunitas silang.8
Patogenesis
Pada umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi epitel orofating, tonsil, kelenjar
limfe leher dan usus kecil. Faring akan segera terkena setelah virus masuk, dan karena virus
tahan akan asam lambing maka virus akan mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa proses
inaktivasi. Dari, faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan pembuluh darah.
Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4 minggu. Infeksi susunan saraf
pusat terjadi akibat viremia yang menyusul replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel dan
berbiak pada sel usus yang mengandung PVR (poliovirus receptor) dan dalam waktu sekitar 3
8

jam setelah infeksi terlah terjadi kolonisasi. Sel yang mengandung PVR bukan hanya sel di
tenggorok atau usus saja, namun sel monosit dan sel motor neuron di SSP (PVR mungkin
berbeda). Sekali terjadi perlekatan virion dan replokator, integrasi RNA ke dalam virion berjalan
cepat, sehingga dari saat infeksi sampai pelepasan virion baru, hanya memerlukan 4-5 jam saja.
Virus yang berleplikasi secara lokal kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe yang
terkait. Perlekatan dan penetrasi bisa dihambat oleh secretori IgA lokal. Kejadian neuropati pada
poliomielitis merupakan akibat langsung dari multiplikasi virus di jaringan saraf, merupakan
gejala yang patognomonik, namun tidak semua saraf yang terkena akan mati. Keadaan
reversibilitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala
dalam waktu 3-4 minggu setelah onset. Terdapat perivaskular yang diinfiltrasi interstitiel sel glia.
Secara histologik pada umumnya kerusakan saraf yang terjadi luas namun tidak selalu sejalan
dengan gejala klinisnya.
Lesi saraf pada poliomielitis dapat ditemukan pada:
1.

Medula spinalis (terutama di daerah kornu anterior, sedikit di daerah kornu intermediet
dan dorsal serta di ganglia radiks dorsalis)

2.

Medula oblongata (nuklei vestibularis, nuklei saraf kranial dan formatio retikularis yang
terdiri dari pusat-pusat vital)

3.
4.

Serebelum (hanya mengenai nuklei bagian atas vermis)


Otak tengah atau mid brain (terutama masa kelabu, substansia nigra, kadang-kadang di
nukleus rubra)

5.

Talamus

6.

Palidum

7.

Korteks serebri (bagian motorik)

Gambaran patologik menunjukan adanya reaksi peradangan pada sistem


retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor neuron karena virus
ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang neuroglia, myelin atan pembuluh darah besar.
Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi sehingga kerusakan sel semakin luas.
Kerusakan pada sumsum tulang belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak
kerusakan utama terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari pons dan medulla, nuklei
vestibulus, serebellum, sedang lesi pada korteks hanya merusak daerah motor dan premotor saja.
Pada jenis bulber lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuklei motor dari saraf otak.
Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan permanen.
Virus yang ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (penularan langsung) atau lewat
tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung manusia ke
9

manusia secara oral-oral atau tertelan virus liar dari tinja yang infeksius pada waktu 3 hari
sebelum dan sesudah masa prodormal. Meskipun virus polio tahan alkohol dan lisol, namun
dapat dimatikan oleh chlorine. Untuk menekan sumber penularan saat wabah, tinja penderita
harus diberi chlorine (mis obat pemutih cucian) sebelum dibuang. Meskipun penularan terutama
karena tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun
kemampuan hidup virus ini di lingkungan adalah sangat terbatas. Infektifitas virus menurun 90%
setiap 29 hari pada tanah saat musim dingin, setiap 1,5 hari pada musim panas, setiap 26 hari
pada air limbah dengan suhu 23oC, setiap 5,5 hari pada air bersih dan 2,5 hari pada air laut.
Dalam rentang waktu 2 minggu setelah lumpuh kemungkinan membiakan virus hidup dapat
mencapai 80% namun setelah masa tersebut terlewati, probabilisitas menurun dengan cepat
sampai hanya 20% saja. Penularan yang terjadi dapat terjadi cepat dan luas, karena selain virus
dapat bebiak cepat di usus (beberapa jam saja), juga bertahan di air limbah dan air permukaan
beberapa hari, sehingga masih infeksius di tempat yang berkilometer jauhnya dari sumber
penularan. Jalur fekal-oral dan adanya sungai yang lewat pemukinam yang padat mempercepat
wabah, kasus terjangkit di daerah yang luar dan korban jatuh dalam hitungan hari atau jam.
Sampai saat ini, satu-satunya inang yang dapat dibuktikan adalah manusia. Meskipun
pada individu yang mempunyai defek pada tanggap kebal virus dapat berkembang biak dan
diekskresi dalam waktu yang lama, namun jumlah long-excretor ini hanya sedikit. Kedua faktor
ini memberi peluang membuat eradikasi polio, apalagi setelah diketahui vaksin polio oran (OPV)
selain protektif juga berefek komunitas (dapat memberikan virus vaksin pada anak sekitarnya),
sehingga meluaskan jangkauan cakupan vaksinasi.
Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan ciri khas dari poliomielitis. Virus
berkembang dalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, menyebar ke jaringan getah
bening dan menyebar masuk ke dalam aliran darah sebelum menembus dan berkembang biak di
jaringan saraf. Pada saat viremia pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor
illnesses. Invasi virus ke susunan saraf bisa hematogen atau melalui perjalanan saraf. Virus
masuk ke susunan saraf melalui sawar darah otak (blood brain barrier) dengan cara transport
pasif dengan cara piknositosis, infeksi dari endotel kapiler, dengan bantuan sel mononuklear
yang mengadakan transmisi ke dalam susunan saraf pusat, dan kemungkinan lain melalui saraf
perifer dimana transportnya melalui akson atau penyebaran melalui jaras olfaktorius.
Epidemiologi
Dua puluh tahun silam, polio melumpuhkan 1.000 anak tiap harinya di seluruh penjuru
dunia. Tapi pada 1988 muncul Gerakan Pemberantasan Polio Global. Lalu pada 2004, hanya
1.266 kasus polio yang dilaporkan muncul di seluruh dunia. Umumnya kasus tersebut hanya
terjadi di enam Negara. Kurang dari setahun ini, anggapan dunia bebas polio sudah berakhir.
Pada awal maret tahun 2005, Indonesia muncul kasus polio pertama selama satu dasa
warsa. Artinya, reputasi sebagai negeri bebas polio yang disandang selama 10 tahun (1995-2005)
pun hilang ketika seorang anak berusia 20 bulan di Jawa Barat terjangkit penyakit ini. Hingga
tangga 21 november 2005 ditemukan 295 kasus polio yang terdapat di 40 kabupaten Ada di 10
10

provinsi yakni Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, Sumatra Utara, DKI, Riau, dan
Aceh.8
Komplikasi
Poliomielitis paralitik mungkin diasosiasikan dengan sejumlah kompliasi. Melena yang
cukup parah hingga membutuhkan transfusi dapat berdampak dari satu atau banyak erosi
intestinal superfisial, perforasi jarang terjadi. Dilatasi lambung akut mungkin terjadi tiba-tiba
saat fase akut atau konvalesens, menyebabkan gangguan napas lebih jauh, aspirasi lambung
segera dan perangkat eksternal dari kantong es diindikasikan. Hipertensi ringan dalam waktu
beberapa hari atau minggu biasa terjadi pada fase akut. Fase selanjutnya, karena imobilisasi,
hipertensi mungkin terjadi dengan hiperkalemi, nefrokalsinosis, dan lesi vaskular. Pandangan
kabur, sakit kepala, dan perasaan kepala yang ringan dihubungan dengan hipertensi sebaiknya
dianggap sebagai premonitor dari kejang yang nyata. Denyut ireguler jarang, tetapi EKG yang
abnormal menunjukkan miokarditis yang tidak jarang. Edema pulmonal akut terjadi kadangkadang, khususnya pada pasien dengan hipertensi arteri. Emboli paru jarang meskipun dalam
keadaan imobilisasi. Hiperkalsemi terjadi karena dekalsifikasi tulang yang mulai segera setelah
imobilisasi dan menghasilkan hiperkalsiuri, yang pada akhirnya menjadi predisposisi pasien
untuk urinary calculi, khususmya ketika stasis urinari dan infeksi setelahnya. Hanya tingginya
intake cairan yang efektif untuk profilaksis.6
Penatalaksanaan
Terapi poliomielitis tidak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi.
Inhibisi metabolik untuk mencegah serangan virus ke susunan saraf yang dilakukan in-vitro tak
dapat dikerjakan manusia. Pemberian imunoglobulin mungkin dapat mencegah penyebaran
hematogen ke susunan saraf, tetap bila fase paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain
fisioterapi dan ortopedi perlu diperhatikan fungsi yang lain. Managemen pengobatan suportif
yang baik seperti respirasi buatan pada anak gangguan respirasi atau kardiovaskuler.3
Pencegahan
Dalam World Health Assembly tahun 1998 yang diikuti oleh sebagian besar negara di
penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (Eropa) tahun 2000, artinya
dunia bebas polio tahun 2000. Program Eropa pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan
cakupan imunisasi yang tinggi dan menyeluruh. Kemudian diikuti dengan Pekan Imunisasi
Nasional yang telah dilakukan Depkes tahun 1995, 1996, dan 1997. Pemberian imunisasi polio
vaksin primer diberikan 3 dosis awal yaitu saat usia 6 minggu atau biasanya pada usia 2 bulan,
usia 4 bulan, dan pada usia antara 6-18 bulan. Dosis keempat diberikan pada usia 4 tahun.9
Kesimpulan

11

Poliomielitis adalah suatu penyakit kelumpuhan akut yang disebabkan oleh suatu
kelompok virus neurotropic (tipe I, II, III). Virus polio yang masuk akan berbiak di tenggorokan
dan usus, dan tanda-tanda klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan anatomik
yang terjadi.

Daftar Pustaka
1. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis fisis pada anak.
Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2007. h. 6-16, 22-31, 128-35.
2. Soetamenggolo T S, Ismalel S. Buju ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999. Hal 2-10.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h.1059-60.
4. Soedarmo S S P, Garna H, Hadinegoro S R S, Satari H I. Buku ajar infeksi dan pediatric.
2nd ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2008. Hal 182-90.
5. Krol J. Poliomielitis dan dasar-dasar pembedahan rehabilitasi : teknik-teknik untuk rumah
sakit daerah. Jakarta: EGC; 1996. Hal 12-8.
6. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
7. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatri nelson. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010. h.
240-8.
8. Zulkifli A. Epidemiologi penyakit polio. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin. 2007.
9. Dewanto G, Suwono W J, Riyanto B, Turana Y. panduan oraktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. Hal 61.

12

Anda mungkin juga menyukai