I.
PENDAHULUAN
Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik
mengalami hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi
pada aliran empedu.(1,2,3) Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama
kolestasis yang harus segera mendapat terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada
kebanyakan bayi baru lahir.(1,2,3,4,5) Jika tidak segera dibedah, maka sirosis bilier
sekunder dapat terjadi.(4) Pasien dengan atresia biliaris dapat dibagi menjadi 2
kelompok yakni, atresia biliaris terisolasi yang terjadi pada 65-60% pasien, namun
menurut Hassan dan William, presentasenya dapat mencapai 85-90% pasien (bukti
atresia diketahui pada minggu ke 2-8 pasca lahir), dan pasien yang mengalami situs
inversus atau polysplenia/asplenia dengan atau tanpa kelainan kongenital lainnya,
yang terjadi pada 10-35% kasus (bukti atresia diketahui < 2 minggu pasca lahir).(1,2)
Tipe II: terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik
ditemukan pada porta hepatis
Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus
dextra dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.
Varian-varian di atas tidak boleh disamakan dengan hipoplasia bilier
intrahepatis yang tidak dapat dikoreksi meskipun dengan pembedahan sekali pun.(1)
II. INSIDENS
Insidens terjadinya atresia biliaris di Amerika Serikat adalah 1 per 10.00015.000 kelahiran hidup.(1,2) Sedangkan secara internasional, insidens atresia biliaris
termasuk tinggi di populasi asia. Dan atresia biliaris lebih sering ditemukan pada
bayi-bayi Cina dibanding pada bayi-bayi di Jepang. Insidens tinggi juga ditemukan
pada pasien dengan ras kulit hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras
kulit putih.1,5 Dari segi gender, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada anak
perempuan. Dari segi usia, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi baru
lahir dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.(1)
III.
ETIOLOGI
Atresia biliaris jarang ditemukan pada bayi lahir mati ataupun bayi prematur
Agen infeksius
Belum ditemukan satu agen pasti yang dapat menyebabkan atresia biliaris,
meskipun peranan organisme infeksius sudah dipelajari secara luas.(1,2,5) Fischler dkk
melaporkan infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris.
Menariknya,
beberapa
peneliti
melaporkan
adanya
peningkatan
infeksi
sitomegalovirus yang lebih tinggi lagi pada bayi-bayi yang menderita hepatitis
neonatus idiopatik. Hal ini semakin mendukung konsep yang menjelaskan bahwa
kelainan atresia biliaris memiliki spektrum patologis yang sama dengan hepatitis
neonatus idiopatik.(1) Investigasi pada reovirus tipe 3 justru menghasilkan hasil yang
berlawanan. Wilson dkk menemukan virus ini merusak duktus biliaris dan hepatosit
pada tikus. Sedangkan pada penelitian lain, Steele dkk gagal menemukan bukti
infeksi pada bayi yang mengalami kolestasis. Penelitian lain sudah berusaha mencari
peran rotavirus grup A, B dan C serta virus hepatitis A, B, C yang biasa menyerang
hati, namun hingga kini belum ditemukan hubungan yang dapat menyebabkan atresia
biliaris.(1,2,6,7)
Faktor genetik
Adanya bentuk atresia biliaris yang terjadi pada usia di bawah 2 minggu
kehidupan yang selalu berasosiasi dengan kelainan kongenital lainnya, memberikan
kemungkinan adanya hubungan antara faktor genetis dengan insidens atresia biliaris.
Beberapa penelitian telah menemukan adanya mutasi genetis spesifik pada tikus yang
mengalami heterotaksi viseral dan kelainan jantung, yang mana kelainan ini
menyerupai bentuk kelainan yang ditemukan pada atresia biliaris tipe yang usia
bayinya < 2 minggu. Abnormalitas genetik lainnya termasuk delesi gen c-jun tikus
(sebuah faktor transkripsi proto-oncogen) dan mutasi faktor gen transkripsi
homeobox yang berhubungan dengan kelainan hati dan limpa. Tapi masih belum
dapat dijelaskan hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan atresia biliaris.(1,2,7)
Penyebab lain
Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab
atresia biliaris. Faktanya, asam empedu memang memiliki kontribusi yang besar
terhadap kerusakan hepatoseluler dan kerusakan ductus bilier pada semua pasien
atresia biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan
pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris. (2)
Beberapa peneliti lain berusaha mempelajari efek agen potensial lain seperti teratogen
dan faktor imunologis. Tapi lagi-lagi, belum ditemukan hubungan yang jelas antara
atresia biliaris dengan faktor-faktor tersebut.(1,2)
IV.
Mempunyai dua facies, yaitu facies anterior yang berhubungan dengan dasar fossa
vesica fellea, dan facies posterior yang ditutupi oleh peritoneum.
Morfologi vesica fellae terdiri dari corpus, collum dan fundus. Fundus vesica
fellea terletak pada tepi costa 8 9 dextra, di sebelah lateral m.rectus abdominis,
yaitu pada arcus costarum dextra. Berbatasan di dorso-caudal dengan colon
transversum dan pars descendens duodeni. Mucosa vesica fellea berlipat-lipat
membentuk villi, disebut plicae tunicae mucosae. Kadang-kadang fundus vesica
fellea seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga seakan-akan mempunyai
mesenterium, dan kelihatan fundus tergantung pada hepar.
Vascularisasi
Innervasi
Lymphe drainage
b)
Ductus Cysticus
Merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis. Panjangnya
kira-kira 3 4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari collum vesicae
fellea, kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri collum vesicae felleae.
Lalu bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus.
Mucosa ductus ini berlipat-lipat terdiri dari 3 12 lipatan, berbentuk spiral yang pada
penampang longitudional terlihat sebagai valvula, disebut valvula spiralis [Heisteri].
c)
Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus berasal dari lobus dextra dan lobus sinistra bersatu
membentuk ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada processus
papillaris lobus caudatus. Panjang ductus hepaticus communis kurang lebih 3 cm.
Terletak di sebelah ventral a.hepatica propria dextra dan ramus dextra vena portae.
Bersatu dengan ductus cysticus menjadi ductus choledochus.
d)
Ductus Choledochus
Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan ductus cysticus
dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam perjalanannya dapat
di bagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
1. bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di
sebelah dextro-anterior a.hepatica communis dan vena portae;
2. bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar
lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di sebelah
dextra vena portae ;
3. bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di sebelah
ventral vena renalis sinistra dan vena cava inferior.
Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus
Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars
descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen, disebut papilla
duodeni major.
V. PATOFISIOLOGI
Meskipun gambaran histopatologi atresia biliaris sudah dipelajari secara
ekstensif dalam spesimen bedah yang telah dieksisi dari sistem bilier ekstrahepatik
bayi yang telah mengalami portoenterostomy, namun patogenesis kelainan ini masih
belum sepenuhnya dipahami. Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan
malformasi kongenital pada sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi
bagaimana pun juga kebanyakan bayi baru lahir dengan atresia biliaris, ditemukan
lesi inflamasi progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau
gangguan agen toksik yang mengakibatkan terputusnya ductus biliaris.(1)
Pada tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan,
sisa jaringan
VI.
DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
Anamnesis
Tanpa memperhatikan etiologi, gambaran klinis pada semua bayi yang
mengalami kolestasis sangat mirip. Gejala utamanya antara lain ikterus, urin yang
menyerupai teh pekat dan feses warna dempul. Pada kebanyakan kasus, atresia
biliaris ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi lagi
ditemukan pada yang BBLR (berat bayi lahir rendah). Pada kebanyakan kasus, feses
akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi beberapa minggu
setelahnya. Nafsu makan,pertumbuhan dan pertambahan berat badan biasanya
normal.(1,2,6)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus atresia biliaris.
Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar
pada palpasi di area epigastrium.
B.
Pemeriksaan Laboratorium
Serum
bilirubin
(total
dan
direk):
hiperbilirubinemia
terkonjugasi,
didefinisikan sebagai peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih
dari 20% total bilirubin.(1,2,6) Menariknya, bayi dengan atresia biliaris menunjukkan
peningkatan moderat pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan
fraksi terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum.(1)
Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5' nucleotidase, gammaglutamyl transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases dan serum asam empedu.
(1,2,6)
Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas maupun
spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan biokimia yang dapat
membedakan secara akurat antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain
pada neonatus.(1)
Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi (temuan universal
terhadap semua bentuk kolestasis neonatus), abnormalitas pemeriksaan enzim
termasuk peningkatan level AP. Pada beberapa kasus, peningkatan AP akibat sumber
skeletal dapat dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung fraksi
spesifik hati, 5` nucleotidase.(1)
GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier dan
mengalami peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP berhubungan erat
dengan kadar AP dan mengalami peningkatan pada semua kondisi yang berkaitan
dengan obstruksi bilier. Tapi bagaimana pun juga terkadang kadar GGTP normal
pada beberapa bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.(1)
Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan diagnosis
secara khusus, meskipun peningkatan kadar alanine transferase (>800 IU/L)
mengindikasikan kerusakan hepatoseluler yang signifikan dan lebih konsisten pada
kondisi sindrom hepatitis neonatus.(1,2)
Serum alpha1-antitrypsin dengan Pi typing: defisiensi alpha1-antitrypsin
sering diturunkan secara genetis pada kebanyakan penyakit hati herediter yang
tampilan klinisnya berupa kolestasis. Fenotip PiZZ abnormal, dapat ditentukan dari
elektroforesis yang berkaitan dengan kolestasis neonatal pada sekitar 10% pasien.(1,2,6)
Sweat chloride (Cl): keterlibatan traktus biliaris merupakan salah satu
komplikasi yang sangat sering ditemukan pada kistik fibrosis dan untuk
membedakannya dari atresia biliaris, maka perlu dilakukan iontoforesis sweat
chloride.(1,2,6)
C.
Pemeriksaan Radiologis
Ultrasonography (USG)
Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier
mencapai 80%.
Karena alasan ini, USG dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi atresia
10
biliaris.(1) Namun ada sejumlah peneliti yang menyatakan bahwa sensitivitas dan
spesifisitas USG terutama yang berfrekuensi tinggi dapat mencapai 90% lebih.(10, 11)
Gambar 3: Atresia biliaris dan kista sentral. Sonogram oblique yang menggambarkan atresia biliaris dan
kista sentral besar pada porta hepatis. Dikutip dari kepustakaan 12
mengalami atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang
sudah diberi radiolabel dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik. (1)
Bahkan pada atresia biliaris tiper asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis atresia
biliaris meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.(13)
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
ini. Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin terkonjugasi
sangat tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif palsu dan negatifpalsu mencapai 10%.(1)
11
Gambar 4: HSS pada pasien dengan atresia biliaris yang menunjukkan tidak adanya ekskresi marker ke
usus dalam 24 jam. Dikutip dari kepustakaan 12
12
Gambar 5: MRC pada bayi umur 2 bulan yang dicurigai menderita atresia biliaris pada pemeriksaan US.
Proyeksi intensitas maksimum MRC memberikan gambaran sistem bilier normal dan kantung empedu
yang juga normal (*). Dikutip dari kepustakaan 14.
Gambar 6: Tanda panah pada gambar menunjukkan area triangular MRC yang memiliki intensitesa tinggi
namun tidak menunjukkan adanya sistem duktus ekstrahepatik pada bayi baru lahir. Dikutip dari
kepustakaan 15.
13
Kolangiografi Intraoperatif
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus
Gambar 7 Kolangiogram intraoperatif menggambarkan pengisian kista dan dilatasi sedang duktus
intrahepatis tapi tidak ada hubungan langsung ke duodenum. Dikutip dari kepustakaan 12.
D. Pemeriksaan Histopatologis
tidak
mengalami
koagulopati.
Ketika
diperiksa
oleh
patolog
yang
14
Gambar 8 Proliferasi duktus biliaris dengan pewarnaan HE pada pasien atresia biliaris, dikutip dari
kepustakaan 1.
15
Gambar 9: Gambaran histologis atresia biliaris. Gambar ini menunjukkan stadium akhir sirosis biliaris
dengan mikronodul (tanda panah sebelah kanan). Fibrosis perivaskuler yang ekstensif (tanda panah
sebelah kiri) dan area kista (tanda panah yang tengah) pada hilum hepatis. Dikutip dari kepustakaan 12.
16
VII.
PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa 1
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asam litokolat), dengan memberikan :
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang
enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin
direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase
(menginduksi aliran empedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik.
Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.
Terapi bedah 2,6
17
Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan
empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita.
Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus,
dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika
dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya
merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan
hati.
18
II.10. Komplikasi
Kolangitis: komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan
aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. This
occurs particularly in the first weeks or months after the Kasai procedure in 30-60%
of cases (72, 73). Hal ini terjadi terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan
setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus. This infection may be severe and
sometimes fulminant. Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. There are
signs of sepsis (fever, hypothermia, impaired haemodynamic status), recurrent
jaundice, acholic stools and perhaps abdominal pain. Ada tanda-tanda sepsis (demam,
hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan
mungkin timbul sakit perut.The diagnosis can be confirmed by cultures of blood
and/or liver biopsies (73). Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau
biopsi hati. The treatment requires IV antibiotics, and effective intravenous
resuscitation.
19
20
Hepatocarcinomas,
hepatoblastomas,
dan
cholangiocarcinomas dapat timbul pada pasien dengan atresia bilier yang telah
mengalami sirosis.Screening for malignancy has to be performed regularly in the
follow-up of patients with successful Kasai operations. Skrining untuk keganasan
harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang
berhasil.
21
VIII.
PROGNOSIS
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan
penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
penderita atresia biliaris yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60%
dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini ,
mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anakanak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama
kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang
dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).(1)
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. April 2009. [cited February 2011].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
2. Kader H, Balesteri W. Neonatal cholestasis. In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson
HB, Stanton BF, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Ed. Philadelphia: Elsevier
Churchill Livingstone; 2007. p.353
3. Serinet MO, Wildhaber BE, Broue P, Lachaux A, Sarles J, Jacquemin E, et al. Impact
of age at kasai operation on its results in late childhood and adolescence: a rational
basis for biliary atresia screening. In: Pediatrics Journal Vol. 123 No. 5 Illinois;2009.
p.1280-1286
4. Crawford JM. Hati dan saluran empedu. Dalam: Kumar, Cotran, Robins, Eds. Buku
Ajar Patologi Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007. h.708
5. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, James LM, Khoury MJ. Epidemiology of biliary
atresia: a population-based study. In: Pediatrics Journal Vol. 99. Ilinois; 1997. p. 376382
6. Benchimol EI, Walsh CM, Ling SC. Early diagnosis of neonatal cholestatic jaundice:
test at 2 weeks. In: Clinical Review Canadian Family Physician Vol. 55. Canada;
2009. p.1185-1189
7. Moore TC. Pathogenesis of biliary atresia. In: Pediatrics Journal Vol. 78. Illinois;
1978. p.183.
8. Datu, AR. Viscera abdominis. Dalam: Diktat Anatomi Abdomen. Makassar: Bagian
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. h.29-30
9. Anonim. Gall blader picture. [online]. 2011. [cited February 2011]. Available from
URL: http://medicalimages.allrefer.com/large/biliary-obstruction-series.jpg
10. Farrant P, Meire HB, Vergani M. Improved diagnosis of extraheptic biliary atresia by
high frequency ultrasound of the gall bladder. In: The British Journal of Radiology
Vol.74. London; 2001. p952954
23
11. Lee MS, Kim MJ, Yoon CS, Lee MJ, Han SJ, Oh JT, et al. Biliary atresia: color
dopler us findings in neonates and infants. In: Radiology Journal Vol. 252. No.1. US;
2009. p283-289
12. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresia imaging. [online]. October 2009. [cited
February 2011]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927029media
13. Abut E, Akkaya L, Uysal U, Arman A, Guveli H, Bolukbas C, et al. Selective spleen
scintigraphy in the diagnosis of polysplenia syndrome. In: The British Journal of
Radiology Vol.77. London; 2004. p.698700
14. Metreweli C, So NMC, Chu WCW, Lam WWM. Magnetic resonance
cholangiography in children. In: The British Journal of Radiology Vol.77.
London;2004. p.10591064
15. Kim MJ, Park YN, Han SJ, Yoon CS, Yoo HS, Hwang EH, et al. Biliary atresia in
neonates and infants: triangular area of high signal intensity in the porta hepatis at t2weighted mr cholangiography with us and histopathologic correlation. In: Radiology
Journal Vol. 215 No. 2. US; 2000. p.353-401
16. Willlot S, Uhlen S, Michbaud L, Briand G, Bonnevalle E, Sfeir R, et al. Effect of
ursodeoxycholic acid on liver function in children after successful surgery for biliary
atresia. In: Pediatrics Journal Vol.122. No. 7. Illinois; 2008. p.1236-1238
17. Kotb M A, Sheba M, Koofy NE, Mansour S, Karaksy HME, Dessouki ME, et al.
Post-portoenterostomy triangular cord sign prognostic value in biliary atresia: a
prospective study.In: The British Journal of Radiology Vol.78. London; 2005. p.884887
24