Anda di halaman 1dari 24

ATRESIA BILIARIS

I.

PENDAHULUAN
Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik
mengalami hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi
pada aliran empedu.(1,2,3) Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama
kolestasis yang harus segera mendapat terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada
kebanyakan bayi baru lahir.(1,2,3,4,5) Jika tidak segera dibedah, maka sirosis bilier
sekunder dapat terjadi.(4) Pasien dengan atresia biliaris dapat dibagi menjadi 2
kelompok yakni, atresia biliaris terisolasi yang terjadi pada 65-60% pasien, namun
menurut Hassan dan William, presentasenya dapat mencapai 85-90% pasien (bukti
atresia diketahui pada minggu ke 2-8 pasca lahir), dan pasien yang mengalami situs
inversus atau polysplenia/asplenia dengan atau tanpa kelainan kongenital lainnya,
yang terjadi pada 10-35% kasus (bukti atresia diketahui < 2 minggu pasca lahir).(1,2)

Gambar 1: Atresia Biliaris, dikutip dari kepustakaan 1

Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap pasien.


Namun jika disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat diklasifikasikan
berdasarkan lokasi atresia yang sering ditemukan:(1)

Tipe 1: terjadi atresia pada ductus choledocus

Tipe II: terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik
ditemukan pada porta hepatis

Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus
dextra dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.
Varian-varian di atas tidak boleh disamakan dengan hipoplasia bilier

intrahepatis yang tidak dapat dikoreksi meskipun dengan pembedahan sekali pun.(1)

II. INSIDENS
Insidens terjadinya atresia biliaris di Amerika Serikat adalah 1 per 10.00015.000 kelahiran hidup.(1,2) Sedangkan secara internasional, insidens atresia biliaris
termasuk tinggi di populasi asia. Dan atresia biliaris lebih sering ditemukan pada
bayi-bayi Cina dibanding pada bayi-bayi di Jepang. Insidens tinggi juga ditemukan
pada pasien dengan ras kulit hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras
kulit putih.1,5 Dari segi gender, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada anak
perempuan. Dari segi usia, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi baru
lahir dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.(1)

III.

ETIOLOGI
Atresia biliaris jarang ditemukan pada bayi lahir mati ataupun bayi prematur

yang semakin mendukung kemungkinan etiologi pada akhir masa kehamilan.


Sebaliknya, pada bayi yang mengalami hepatitis neonatal, yang merupakan diagnosis
banding utama atresia biliaris,lebih sering terjadi pada bayi prematur, kecil masa
kehamilan (KMK) ataupun keduanya.(1,5) Adapun beberapa etiologi yang dapat
menyebabkan atresia biliaris antara lain:

Agen infeksius
Belum ditemukan satu agen pasti yang dapat menyebabkan atresia biliaris,

meskipun peranan organisme infeksius sudah dipelajari secara luas.(1,2,5) Fischler dkk
melaporkan infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris.
Menariknya,

beberapa

peneliti

melaporkan

adanya

peningkatan

infeksi

sitomegalovirus yang lebih tinggi lagi pada bayi-bayi yang menderita hepatitis
neonatus idiopatik. Hal ini semakin mendukung konsep yang menjelaskan bahwa
kelainan atresia biliaris memiliki spektrum patologis yang sama dengan hepatitis
neonatus idiopatik.(1) Investigasi pada reovirus tipe 3 justru menghasilkan hasil yang
berlawanan. Wilson dkk menemukan virus ini merusak duktus biliaris dan hepatosit
pada tikus. Sedangkan pada penelitian lain, Steele dkk gagal menemukan bukti
infeksi pada bayi yang mengalami kolestasis. Penelitian lain sudah berusaha mencari
peran rotavirus grup A, B dan C serta virus hepatitis A, B, C yang biasa menyerang
hati, namun hingga kini belum ditemukan hubungan yang dapat menyebabkan atresia
biliaris.(1,2,6,7)

Faktor genetik

Adanya bentuk atresia biliaris yang terjadi pada usia di bawah 2 minggu
kehidupan yang selalu berasosiasi dengan kelainan kongenital lainnya, memberikan
kemungkinan adanya hubungan antara faktor genetis dengan insidens atresia biliaris.
Beberapa penelitian telah menemukan adanya mutasi genetis spesifik pada tikus yang
mengalami heterotaksi viseral dan kelainan jantung, yang mana kelainan ini
menyerupai bentuk kelainan yang ditemukan pada atresia biliaris tipe yang usia
bayinya < 2 minggu. Abnormalitas genetik lainnya termasuk delesi gen c-jun tikus
(sebuah faktor transkripsi proto-oncogen) dan mutasi faktor gen transkripsi
homeobox yang berhubungan dengan kelainan hati dan limpa. Tapi masih belum
dapat dijelaskan hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan atresia biliaris.(1,2,7)

Penyebab lain

Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab
atresia biliaris. Faktanya, asam empedu memang memiliki kontribusi yang besar
terhadap kerusakan hepatoseluler dan kerusakan ductus bilier pada semua pasien
atresia biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan
pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris. (2)
Beberapa peneliti lain berusaha mempelajari efek agen potensial lain seperti teratogen
dan faktor imunologis. Tapi lagi-lagi, belum ditemukan hubungan yang jelas antara
atresia biliaris dengan faktor-faktor tersebut.(1,2)

IV.

ANATOMI SISTEM BILIER EKSTRAHEPATIK

Sistem bilier esktrahepatik terdiri atas:(8)


a)

Vesica Fellea = Gallbladder


Vesica fellea merupakan suatu kantong berbentuk memanjang, berjalan dari

caudo-anterior pada fossa vesica fellea ke cranio-posterior sampai porta hepatis.

Mempunyai dua facies, yaitu facies anterior yang berhubungan dengan dasar fossa
vesica fellea, dan facies posterior yang ditutupi oleh peritoneum.
Morfologi vesica fellae terdiri dari corpus, collum dan fundus. Fundus vesica
fellea terletak pada tepi costa 8 9 dextra, di sebelah lateral m.rectus abdominis,
yaitu pada arcus costarum dextra. Berbatasan di dorso-caudal dengan colon
transversum dan pars descendens duodeni. Mucosa vesica fellea berlipat-lipat
membentuk villi, disebut plicae tunicae mucosae. Kadang-kadang fundus vesica
fellea seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga seakan-akan mempunyai
mesenterium, dan kelihatan fundus tergantung pada hepar.
Vascularisasi

: a.cystica, suatu cabang dari a.hepatica propria dextra; vena


cystica bermuara ke dalam ramus dextra yang portae.

Innervasi

: cabang-cabang dari plexus coeliacus.

Lymphe drainage

: menuju ke lymphonodi hepatici.

b)

Ductus Cysticus
Merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis. Panjangnya

kira-kira 3 4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari collum vesicae
fellea, kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri collum vesicae felleae.
Lalu bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus.
Mucosa ductus ini berlipat-lipat terdiri dari 3 12 lipatan, berbentuk spiral yang pada
penampang longitudional terlihat sebagai valvula, disebut valvula spiralis [Heisteri].
c)

Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus berasal dari lobus dextra dan lobus sinistra bersatu

membentuk ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada processus
papillaris lobus caudatus. Panjang ductus hepaticus communis kurang lebih 3 cm.
Terletak di sebelah ventral a.hepatica propria dextra dan ramus dextra vena portae.
Bersatu dengan ductus cysticus menjadi ductus choledochus.

d)

Ductus Choledochus
Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan ductus cysticus

dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam perjalanannya dapat
di bagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
1. bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di
sebelah dextro-anterior a.hepatica communis dan vena portae;
2. bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar
lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di sebelah
dextra vena portae ;
3. bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di sebelah
ventral vena renalis sinistra dan vena cava inferior.
Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus
Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars
descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen, disebut papilla
duodeni major.

Gambar 2 Anatomi Sistem Bilier Ekstra-hepatik dikutip dari kepustakaan 9

V. PATOFISIOLOGI
Meskipun gambaran histopatologi atresia biliaris sudah dipelajari secara
ekstensif dalam spesimen bedah yang telah dieksisi dari sistem bilier ekstrahepatik
bayi yang telah mengalami portoenterostomy, namun patogenesis kelainan ini masih
belum sepenuhnya dipahami. Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan
malformasi kongenital pada sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi
bagaimana pun juga kebanyakan bayi baru lahir dengan atresia biliaris, ditemukan
lesi inflamasi progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau
gangguan agen toksik yang mengakibatkan terputusnya ductus biliaris.(1)
Pada tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan,

sisa jaringan

fibrosis mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya satu bagian sistem


bilier ekstrahepatik. Ductus dalam hati, yang memanjang hingga ke porta hepatis,
pada awalnya paten hingga beberapa minggu pertama kehidupan tetapi dapat rusak
secara progresif oleh karena serangan agen yang sama dengan yang merusak ductus
ekstrahepatik maupun akibat efek racun empedu yang tertahan lama dalam ductus
ekstrahepatik.(1)
Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier
dalam penyakit atresia biliaris merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan
satu faktor etiologik saja. Namun agen infeksius dianggap lebih memungkinkan
menjadi penyebab utamanya, terutama pada kelainan atresia yang terisolasi. Beberapa
penelitian terbaru telah mengidentifikasi peningkatan titer antibodi terhadap reovirus
tipe 3 pada pasien - pasien yang mengalami atresia. Peningkatan itu terjadi pula pada
rotavirus dan sitomegalovirus.(1)

VI.

DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis

Anamnesis
Tanpa memperhatikan etiologi, gambaran klinis pada semua bayi yang

mengalami kolestasis sangat mirip. Gejala utamanya antara lain ikterus, urin yang
menyerupai teh pekat dan feses warna dempul. Pada kebanyakan kasus, atresia
biliaris ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi lagi
ditemukan pada yang BBLR (berat bayi lahir rendah). Pada kebanyakan kasus, feses
akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi beberapa minggu
setelahnya. Nafsu makan,pertumbuhan dan pertambahan berat badan biasanya
normal.(1,2,6)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus atresia biliaris.

Tidak ada temuan patognomonik yang dapat digunakan untuk mendiagnosisnya.


Beberapa tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atresia biliaris,
antar lain:(1)

Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen.


Splenomegali juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali,
maka kita dapat mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.

Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu

Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar
pada palpasi di area epigastrium.

Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung


bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan
auskultasi.

B.

Pemeriksaan Laboratorium
Serum

bilirubin

(total

dan

direk):

hiperbilirubinemia

terkonjugasi,

didefinisikan sebagai peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih
dari 20% total bilirubin.(1,2,6) Menariknya, bayi dengan atresia biliaris menunjukkan
peningkatan moderat pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan
fraksi terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum.(1)
Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5' nucleotidase, gammaglutamyl transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases dan serum asam empedu.
(1,2,6)

Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas maupun
spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan biokimia yang dapat
membedakan secara akurat antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain
pada neonatus.(1)
Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi (temuan universal
terhadap semua bentuk kolestasis neonatus), abnormalitas pemeriksaan enzim
termasuk peningkatan level AP. Pada beberapa kasus, peningkatan AP akibat sumber
skeletal dapat dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung fraksi
spesifik hati, 5` nucleotidase.(1)
GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier dan
mengalami peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP berhubungan erat
dengan kadar AP dan mengalami peningkatan pada semua kondisi yang berkaitan

dengan obstruksi bilier. Tapi bagaimana pun juga terkadang kadar GGTP normal
pada beberapa bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.(1)
Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan diagnosis
secara khusus, meskipun peningkatan kadar alanine transferase (>800 IU/L)
mengindikasikan kerusakan hepatoseluler yang signifikan dan lebih konsisten pada
kondisi sindrom hepatitis neonatus.(1,2)
Serum alpha1-antitrypsin dengan Pi typing: defisiensi alpha1-antitrypsin
sering diturunkan secara genetis pada kebanyakan penyakit hati herediter yang
tampilan klinisnya berupa kolestasis. Fenotip PiZZ abnormal, dapat ditentukan dari
elektroforesis yang berkaitan dengan kolestasis neonatal pada sekitar 10% pasien.(1,2,6)
Sweat chloride (Cl): keterlibatan traktus biliaris merupakan salah satu
komplikasi yang sangat sering ditemukan pada kistik fibrosis dan untuk
membedakannya dari atresia biliaris, maka perlu dilakukan iontoforesis sweat
chloride.(1,2,6)
C.

Pemeriksaan Radiologis

Ultrasonography (USG)
Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier

ekstrahepatik dengan menggunakan USG, terutama kista koledokal. Saat ini,


diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan USG fetal in utero.(1,2,6)
Pada atresia biliaris, USG dapat menunjukkan ketiadaan kantung empedu dan
tidak berdilatasinya jalur bilier. Sayangnya, sensitifitas dan spesifisitas temuan ini,
bahkan untuk di pusat pemeriksaan yang berpengalaman, tidak

mencapai 80%.

Karena alasan ini, USG dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi atresia

10

biliaris.(1) Namun ada sejumlah peneliti yang menyatakan bahwa sensitivitas dan
spesifisitas USG terutama yang berfrekuensi tinggi dapat mencapai 90% lebih.(10, 11)

Gambar 3: Atresia biliaris dan kista sentral. Sonogram oblique yang menggambarkan atresia biliaris dan
kista sentral besar pada porta hepatis. Dikutip dari kepustakaan 12

Hepatobiliary scintiscanning (HSS)


Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengevaluasi bayi yang dicurigai

mengalami atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang
sudah diberi radiolabel dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik. (1)
Bahkan pada atresia biliaris tiper asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis atresia
biliaris meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.(13)
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
ini. Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin terkonjugasi
sangat tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif palsu dan negatifpalsu mencapai 10%.(1)

11

Gambar 4: HSS pada pasien dengan atresia biliaris yang menunjukkan tidak adanya ekskresi marker ke
usus dalam 24 jam. Dikutip dari kepustakaan 12

Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)


Meskipun belum digunakan seluas US, MRC dapat menjadi alternatif pilihan

untuk mendiagnosis atresia biliaris. MRC dapat diaplikasikan untuk membedakan


atresia bliaris, kolelitiasis, kista koledokal, dan tranplantasi hati.14, 15

12

Gambar 5: MRC pada bayi umur 2 bulan yang dicurigai menderita atresia biliaris pada pemeriksaan US.
Proyeksi intensitas maksimum MRC memberikan gambaran sistem bilier normal dan kantung empedu
yang juga normal (*). Dikutip dari kepustakaan 14.

Gambar 6: Tanda panah pada gambar menunjukkan area triangular MRC yang memiliki intensitesa tinggi
namun tidak menunjukkan adanya sistem duktus ekstrahepatik pada bayi baru lahir. Dikutip dari
kepustakaan 15.

13

Kolangiografi Intraoperatif
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus

biliaris. Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya


etiologi obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras
ke dalam saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif
dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan
gagal menunjukkan hasil yang adekuat. (1,6)

Gambar 7 Kolangiogram intraoperatif menggambarkan pengisian kista dan dilatasi sedang duktus
intrahepatis tapi tidak ada hubungan langsung ke duodenum. Dikutip dari kepustakaan 12.

D. Pemeriksaan Histopatologis

Biopsi hati perkutaneus


Biopsi perkutaneus hati diketahui secara luas sebagai teknik paling terpercaya

dalam mengevalusia kolestasis neonatus. Tingkat morbiditasnya rendah pada pasien


yang

tidak

mengalami

koagulopati.

Ketika

diperiksa

oleh

patolog

yang

berpengalaman, suatu spesimen biopsi yang adekuat, dapat membedakan penyebab

14

kolestasis akibat gangguan obstruksi dengan hepatoseluler, dengan tingkat


sensivisitas dan spesifisitas mencapai 90% untuk atresia biliaris.(1,2)

Gambar 8 Proliferasi duktus biliaris dengan pewarnaan HE pada pasien atresia biliaris, dikutip dari
kepustakaan 1.

Pada beberapa kondisi kolestasis, termasuk atresia biliaris, dapat menunjukan


perubahan pola histolpatologis. Sehingga perlu dilakukan biopsi serial dengan
interval 2 minggu untuk mencapai diagnosis yang definitif. (1)
Temuan Histologis
Meskipun ada yang fakta yang menyebutkan bahwa atresia biliaris dapat
terjadi karena faktor ontogenik dan dapatan, namun tidak ada temuan histologis
kualitatif yang dapat menunjukkan karaktersitik perbedaan keduanya. Spesimen
bedah menunjukkan spektrum abnormalitas, termasuk inflamasi aktif yang disertai
degenerasi duktus biliaris, suatu rekasi inflamasi kronik yang disertai proliferasi
elemen duktus dan glandular serta fibrosis. Progresifitas kelainan ini dapat
dikonfirmasi melalui gambaran histologisnya.(1,2)

15

Bukti adanya obstuksi pada traktus biliaris menentukan apakah bayi


membutuhkan laparatomi eksplorasi dan kolagiografi intraoperatif. Proliferasi portal
duktus biliaris, pengisian emepdu, fibrosis portal-portal dan reaksi inflamasi akut
merupakan karakteristik temuan penyebab obstruksi pada kolestasis neonatus.(1,2)
Pewarnaan Periodic Acid-Schiff (PAS) pada jaringan biopsi dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi diagnosis defisiensi alpha1-antitrypsin dengan adanya temuan
intraseluar berupa granul-granul PAS-positif yang resisten terhadap percernaan oleh
diastase.(1,2)

Gambar 9: Gambaran histologis atresia biliaris. Gambar ini menunjukkan stadium akhir sirosis biliaris
dengan mikronodul (tanda panah sebelah kanan). Fibrosis perivaskuler yang ekstensif (tanda panah
sebelah kiri) dan area kista (tanda panah yang tengah) pada hilum hepatis. Dikutip dari kepustakaan 12.

16

VII.

PENATALAKSANAAN

Terapi medikamentosa 1
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asam litokolat), dengan memberikan :
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang
enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin
direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase
(menginduksi aliran empedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik.
Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.
Terapi bedah 2,6

17

Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan
empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita.
Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus,
dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika
dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya
merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan
hati.

Gambar 5. Kasai Prosedure


Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun,
fungsi hati pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien
datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih
dari dua bulan. Penderita penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi
tidak demikian halnya dengan penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah
tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan adalah pencangkokkan
hati.

18

Pencangkokan atau Transplantasi Hati


Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia
bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam
beberapa tahun terakhir. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga
dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak.10
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu,
hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati
harus cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati
orang dewasa, yang disebut "reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

II.10. Komplikasi
Kolangitis: komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan
aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. This
occurs particularly in the first weeks or months after the Kasai procedure in 30-60%
of cases (72, 73). Hal ini terjadi terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan
setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus. This infection may be severe and
sometimes fulminant. Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. There are
signs of sepsis (fever, hypothermia, impaired haemodynamic status), recurrent
jaundice, acholic stools and perhaps abdominal pain. Ada tanda-tanda sepsis (demam,
hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan
mungkin timbul sakit perut.The diagnosis can be confirmed by cultures of blood
and/or liver biopsies (73). Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau
biopsi hati. The treatment requires IV antibiotics, and effective intravenous
resuscitation.

19

Portal hypertension: Portal hypertension occurs in at least two-thirds of the children


after portoenterostomy (74, 75), even in those with complete restoration of the bile
flow.Hipetensi portal: Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anakanak setelah portoenterostomy.The most common site of varices are in the
oesophagus, stomach, at the site of the Roux loop anastomosis and the anorectum.
Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.If the Kasai operation has
clearly failed with poor biochemical liver function and persisting jaundice then liver
transplantation is indicated. In those cases with good liver function and an absence of
jaundice, endoscopic therapy may be the only treatment necessary (76, 77).
Hepatopulmonary syndrome and pulmonary hypertension: As in patients with other
causes of spontaneous (cirrhosis or prehepatic portal hypertension) or acquired
(surgical) portosystemic shunts, pulmonary arteriovenous shunts may occur even
after complete clearance of jaundice (hepatopulmonary syndrome).Hepatopulmonary
syndrome dan hipertensi pulmonal: Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara
spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)
portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi.Typically this
causes hypoxia, cyanosis, dyspnoea and digital clubbing, the diagnosis being
confirmed by confirmed by pulmonary scintigraphy. Biasanya, hal ini menyebabkan
hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphy paru.
Alternatively, pulmonary hypertension can occur in cirrhotic children and be a cause
of malaise and even sudden death.Selain itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada
anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian
mendadak.The diagnosis in these cases is suggested by echocardiography. Diagnosis
dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography.Liver transplantation reverses
pulmonary shunts (81), and can reverse pulmonary hypertension at its early stage
(82). Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan hipertensi
pulmonal ke tahap semula.

20

Malignancies: Hepatocarcinomas, hepatoblastomas (84) and cholangiocarcinomas


(85) have been described in the cirrhotic livers of patients with BA, in childhood or
adulthood.Keganasan:

Hepatocarcinomas,

hepatoblastomas,

dan

cholangiocarcinomas dapat timbul pada pasien dengan atresia bilier yang telah
mengalami sirosis.Screening for malignancy has to be performed regularly in the
follow-up of patients with successful Kasai operations. Skrining untuk keganasan
harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang
berhasil.

Outcome after unsuccessful Kasai operationHasil setelah gagal operasi Kasai


Biliary cirrhosis is progressive if the Kasai operation fails to restore the bile
flow, and should lead to liver transplantation.Sirosis bilier bersifat progresif jika
operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran empedu, dan pada keadaan ini harus
dilakukan transplantasi hati.This is usually performed in the second year of life, but
may be necessary earlier (from 6 months of life) in case of rapid deterioration in the
liver disease. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua kehidupan, namun dapat
dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi kerusakan dari hati.
Biliary atresia represents more than half of the indications for liver transplantation in
childhood. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk
transplantasi hati di masa kanak-kanak. It may also be required in those cases where
there is an initially successful outcome after the Kasai operation usually due to
recurrence of jaundice (secondary failure of the Kasai operation), or to various
complications of cirrhosis (eg hepatopulmonary syndrome). Hal ini juga mungkin
diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai
tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk
berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).11

21

VIII.

PROGNOSIS
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan

penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
penderita atresia biliaris yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60%
dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini ,
mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anakanak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama
kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang
dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).(1)

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. April 2009. [cited February 2011].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
2. Kader H, Balesteri W. Neonatal cholestasis. In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson
HB, Stanton BF, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Ed. Philadelphia: Elsevier
Churchill Livingstone; 2007. p.353
3. Serinet MO, Wildhaber BE, Broue P, Lachaux A, Sarles J, Jacquemin E, et al. Impact
of age at kasai operation on its results in late childhood and adolescence: a rational
basis for biliary atresia screening. In: Pediatrics Journal Vol. 123 No. 5 Illinois;2009.
p.1280-1286
4. Crawford JM. Hati dan saluran empedu. Dalam: Kumar, Cotran, Robins, Eds. Buku
Ajar Patologi Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007. h.708
5. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, James LM, Khoury MJ. Epidemiology of biliary
atresia: a population-based study. In: Pediatrics Journal Vol. 99. Ilinois; 1997. p. 376382
6. Benchimol EI, Walsh CM, Ling SC. Early diagnosis of neonatal cholestatic jaundice:
test at 2 weeks. In: Clinical Review Canadian Family Physician Vol. 55. Canada;
2009. p.1185-1189
7. Moore TC. Pathogenesis of biliary atresia. In: Pediatrics Journal Vol. 78. Illinois;
1978. p.183.
8. Datu, AR. Viscera abdominis. Dalam: Diktat Anatomi Abdomen. Makassar: Bagian
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. h.29-30
9. Anonim. Gall blader picture. [online]. 2011. [cited February 2011]. Available from
URL: http://medicalimages.allrefer.com/large/biliary-obstruction-series.jpg
10. Farrant P, Meire HB, Vergani M. Improved diagnosis of extraheptic biliary atresia by
high frequency ultrasound of the gall bladder. In: The British Journal of Radiology
Vol.74. London; 2001. p952954

23

11. Lee MS, Kim MJ, Yoon CS, Lee MJ, Han SJ, Oh JT, et al. Biliary atresia: color
dopler us findings in neonates and infants. In: Radiology Journal Vol. 252. No.1. US;
2009. p283-289
12. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresia imaging. [online]. October 2009. [cited
February 2011]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927029media
13. Abut E, Akkaya L, Uysal U, Arman A, Guveli H, Bolukbas C, et al. Selective spleen
scintigraphy in the diagnosis of polysplenia syndrome. In: The British Journal of
Radiology Vol.77. London; 2004. p.698700
14. Metreweli C, So NMC, Chu WCW, Lam WWM. Magnetic resonance
cholangiography in children. In: The British Journal of Radiology Vol.77.
London;2004. p.10591064
15. Kim MJ, Park YN, Han SJ, Yoon CS, Yoo HS, Hwang EH, et al. Biliary atresia in
neonates and infants: triangular area of high signal intensity in the porta hepatis at t2weighted mr cholangiography with us and histopathologic correlation. In: Radiology
Journal Vol. 215 No. 2. US; 2000. p.353-401
16. Willlot S, Uhlen S, Michbaud L, Briand G, Bonnevalle E, Sfeir R, et al. Effect of
ursodeoxycholic acid on liver function in children after successful surgery for biliary
atresia. In: Pediatrics Journal Vol.122. No. 7. Illinois; 2008. p.1236-1238
17. Kotb M A, Sheba M, Koofy NE, Mansour S, Karaksy HME, Dessouki ME, et al.
Post-portoenterostomy triangular cord sign prognostic value in biliary atresia: a
prospective study.In: The British Journal of Radiology Vol.78. London; 2005. p.884887

24

Anda mungkin juga menyukai