Anda di halaman 1dari 10

Tugas Baca

Glaukoma Kongenital

Oleh

Evan Sihol Maruli Marpaung


I1A009011

Pembimbing

dr. Agus F Razak, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA


FK UNLAM RSUD ULIN
BANJARMASIN
Nopember, 2014

BAB I
PENDAHULUAN

Glaukoma berasal dari bahasa Yunani Glaukos yang berarti hijau


kebiruan. Glaukoma ini merupakan penyakit mata kronis progresif yang mengenai
saraf mata dengan neuropati (kelainan saraf) optik disertai kelainan bintik buta
(lapang pandang) yang khas. Faktor utamanya adalah tekanan bola mata yang
tinggi dengan segala akibatnya yaitu penggaungan dan atrofi saraf optik serta
menciutnya atau defek pada lapang pandang.1,2,3
Di seluruh dunia, glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang
tinggi. Diperkirakan 2% dari penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita
glaukoma. Glaukoma sendiri di Indonesia merupakan penyebab kebutaan nomor
dua setelah katarak. Berbeda dengan kebutaan akibat katarak yang dapat
dipulihkan, kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen.1,2
Glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma primer, glaukoma sekunder,
glaukoma kongenital dan glaukoma absolut. Glaukoma kongenital atau glaukoma
infantil adalah glaucoma yang terjadi sejak lahir, dan manifestasinya baru dikenali
setelah berusia 6 bulan (70%) dan biasanya akan berhubungan dengan kelainan
congenital lainnya.3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Glaukoma adalah kerusakan saraf retina akibat perubahan tekanan bola
mata yang tidak normal. Glaukoma pada anak biasanya dihasilkan dari kelainan
dalam perkembangan struktur bagian depan bola mata. Kelainan ini menghasilkan
tekanan bola mata yang tinggi. Peninggian tekanan mata menyebabkan kerusakan
saraf optik dan kehilangan penglihatan yang ditandai dengan penyempitan lapang
pandang. 3
Glaukoma kongenital, khususnya sebagai glaukoma infantil (buftalmos),
adalah glaukoma akibat penyumbatan pengaliran keluar cairan mata oleh jaringan
sudut bilik mata yang terjadi oleh adanya kelainan kongenital. Kelainan ini akibat
terdapatnya membran kongenital yang menutupi sudut bilik mata pada saat
perkembangan bola mata, kelainan pembentukan kanal schlemm dan saluran
keluar cairan mata yang tidak sempurna terbentuk. 2, 3

Gambar1. Pasien dengan Glaukoma kongenital

2.2. Epidemiologi
Glaukoma pada bayi umumnya terjadi pada sekitar 1 : 10.000 kelahiran.
Di Eropa bagian barat, kejadian yang dicatat 1 : 12.500 kelahiran, dan 1 : 22.000
kelahiran di Irlandia Utara. Daerah yang paling ektrim yaitu 1 : 2.500 yang terjadi
di Arab Saudi. Penyakit ini umumnya terjadi pada 2 mata, tetapi dapat juga terjadi
pada satu mata. Kasus ini sangat banyak terjadi di Amerika Serikat, tetapi sedikit
di Jepang. Usia terjadinya penyakit ini mulai sejak lahir atau berkembang pada
masa kanak-kanak. 4
2.3. Klasifikasi
Schele membagi glaukoma kongenital menjadi:
a. glaukoma infantum: yang dapat tampak pada waktu lahir atau pada umur 1-3
tahun dan menyebabkan pembesaran bola mata, karena dengan elastisitasnya,
bola mata membesar mengikuti meningginya tekanan intraokuler
b. glaukoma juvenilis: didapatkan pada anak yang lebih besar.
2.4. Etiologi dan Patofisiologi
Glaukoma kongenital adalah glaukoma yang terjadi sejak lahir. Pada bayi
dan orang dewasa, glaukoma disebabkan oleh peningkatan tekanan di dalam bola
mata. Perbedaannya, pada bayi umumnya disertai kelainan struktur segmen depan
bola mata. Kelainan ini menyebabkan air mata terbendung dan mengakibatkan
peninggian tekanan bola mata.4 Glaukoma berkembang saat pengeluaran cairan
aqueous (out flow) dari bilik mata depan terganggu sehingga terjadi penumpukan
aqueous didalam bola mata yang mempertinggi tekanan bola mata. Gangguan out
flow aqueous merupakan penyebab utama glaukoma kongenital. 5

Awal kejadian ini dimulai sejak adanya kelainan pada janin terutama
terhadap struktur bola mata. Kelainan ini menaikkan tekanan dari dalam bola mata
ke dinding luar, sclera dan kornea. Sklera dan kornea bayi sangat berbeda
dibandingkan orang dewasa. Sklera bayi tidak terlalu keras dan lebih elastis.
Apabila tekanan bola mata meninggi, maka akan menghasilkan pembengkakan,
pembesaran, peregangan dan penipisan dinding bola mata. Mekanisme yang sama
juga terjadi secara tidak langsung pada pembesaran kornea melalui peregangan
sklera. Keadaan ini dapat menimbulkan pembesaran bola mata (bupthalmos) dan
pembesaran kornea (megalocornea). 5,6
Disamping itu, selama proses peregangan dan pembesaran kornea, terjadi
kerusakan kornea bagian belakang yaitu pada membrane descemets dan
endothelium. Kerusakan pada lapisan ini mengganggu metabolisme kornea
sehingga terjadi edema kornea yang dapat membuat kornea menjadi keruh. Edema
kornea menimbulkan iritasi, rasa sakit dan menghasilkan penyebaran cahaya yang
memberikan efek silau. Iritasi dan silau ini menyebabkan mata selalu berair
(epiphora) dan rasa silau (photophobia).5,6
Pembesaran bola mata atau bupthalmos menyebabkan myopia axial yaitu
mata minus karena bola mata lebih panjang dari ukuran normal. Astigmastisme
juga sangat nyata sebagai efek dari pembesaran kornea. Kombinasi dari kerusakan
retina, kekeruhan kornea, myopia dan astigmatisme menyebabkan amblyopia atau
mata malas. Ukuran diameter kornea yang normal berkisar 9.5 10.5 mm. Saat
usia 1 tahun diameter kornea mencapai 11 mm dan mencapai ukuran orang
dewasa (12 mm) pada usia 2-3 tahun. Bayi berusia kurang dari 1 tahun yang

memiliki diameter kornea 12 mm atau lebih berada diluar batasan normal dan
perlu diwaspadai adanya glaukoma. Tekanan mata normal pada bayi berkisar 1015 mm. Jadi, tekanan bola mata yang berkisar 20 mmHg harus diwaspadai adanya
tendensi kearah peninggian tekanan mata. Pada glaukoma kongenital tekanan bola
mata biasanya lebih tinggi dari 25 mm Hg atau diatas 30 mm Hg. 5
Proses pembesaran kornea dan sklera menyebabkan kerusakan syaraf
optik. Kerusakan pada syaraf optik dapat dilihat melalui evaluasi cekungan syaraf
optik (cup optic disc). Normalnya, syaraf optik simetris pada semua bagian
dengan cekungan yang kecil pada optik disk, namun glaukomadapat memperbesar
cekungan optik disk. 5,6,7

Gambar 2. Peninggian Tekanan dalam Bola Mata


Adapun yang menjadi penyebab glaukoma yaitu :Ras, dimana resiko
paling tinggi terkena glaucoma dialami oleh masyarakat dari ras afrika. Riwayat
keluarga, dimana untuk jenis glukoma tertentu, bila terdapat anggota keluarga
yang terkena maka memiliki resiko 6 kali lebih besar untuk terkena glaucoma.
Resiko terbesar adalah kakak-beradik, kemudian hubungan orang tua dan anak. 8

2.5. Diagnosis dan Gejala Klinis


Jenis glaukoma kongenital ini jarang terjadi, yakni sudut bilik mata depan
terbentuk secara tidak normal sejak lahir. Biasanya, orangtua akan melihat
bayinya dengan kondisi bola mata lebih besar dari normal, kornea mata terlihat
tidak jernih, takut atau keluar air mata saat melihat cahaya. Ada beberapa ciri-ciri
anak yang menderita glaukoma, diantaranya : 4,5

Pembesaran bola mata (Bupthalmos)

Ukuran kornea lebih besar dari pada ukuran normal (Megalocornea)

Silau (Photophobia)

Mata berair (Epiphora)

Pembengkakan kornea (Edema cornea)

Mata merah (Conjunctival injection)

Kekeruhan kornea

Tukak kornea

Cekungan syaraf optik pada retina

Mata menjadi minus (Myopia)

Mata menjadi juling (Strabismus)

Mata malas / lazy eye (Amblyopia)


Peningkatan tekanan bola mata yang akan menyebabkan kelainan pada

kornea (bagian hitam mata), yaitu diameternya menjadi lebih lebar dan semakin
tipis dan keruh. Disamping itu akibat tekanan yang tinggi terus-menerus juga akan
mengenai saraf penglihatan (saraf optik) sehingga akan mengganggu penglihatan.
5,6

Gejala yang dapat menyertai bayi dengan glaukoma kongenital adalah


takut akan sinar, selalu menutup matanya bila kena cahaya, mata selalu berair dan
diameter kornea lebih lebar dibandingkan dengan kornea bayi yang normal. 8
2.6. Penanganan
Langkah pertama, segera periksakan ke dokter mata untuk dilakukan
pemeriksaan dan pengobatan. Bila tidak, maka pasti bayi ini akan buta total akibat
kerusakan saraf mata yang bersifat permanen.

Glaukoma pada bayi ditangani

melalui operasi dan pengobatan. Operasi merupakan terapi yang banyak


disarankan oleh para dokter mata. Operasi dilakukan untuk membuat saluran
pengeluaran baru untuk menyeimbangkan tekanan bola mata. Tehnik operasi yang
banyak lakukan yaitu, goniotomy, goniopuncture dan trabeculotomy. 5
Pada goniotomi dilakukan dengan narkose umum. Dengan memakai pisau
goniotomi, kornea ditusuk 1 mm anterior dari limbus kornea, sebelah temporal
sampai masuk ke dalam bilik mata depan, kemudian diteruskan sampai
menyeberang, ke sisi yang lain, pisau digerakkan ke atas dan ke bawah selebar 2530 derajat. Ke dalam bilik mata depan dapat disuntikkan udara untuk membentuk
bilik mata depan kembali.
Sedangkan goniopuncture dilakukan bila goniotomi tidak berhasil atau
biasanya berbarengan dengan goniotomi, dimana pisau goniotomi setelah
digerakkan ke atas dan ke bawah, pisau tersebut diteruskan menusuk sklera ke
daerah subkonjungtiva yang kemudian melembung di subkokonjungtiva, bila
disuntikkan garam fisiologis. Dengan demikian cairan humor akueus dapat kelua

dari

bilik

mata

depan

melalui

luka

goniopuncture

menuju

ruangan

subkonjungtiva.
Selain operasi, terapi pengobatan juga dilakukan melalui pemberian
beberapa jenis obat, diantaranya : timolol, betaxolol, levobunolol, metipranolol,
dan

carteolol.

Sangat

penting

untuk

dilakukan

pengontrolan

yang

berkesinambungan terhadap tekanan bola mata agar tidak terjadi kerusakan yang
lebih lanjut. 5
2.7. Prognosis
Pada dasarnya bayi yang lahir dengan glaukoma memiliki struktur bola
mata yang tidak sempurna sehingga pada banyak kasus berakhir dengan kebutaan.
Sebagian berakhir dengan kehilangan lapang pandang, penurunan tajam
penglihatan dan amblyopia. Oleh karena itu, penting sekali disadari oleh orang tua
untuk memantau kondisi mata anak apakah terdapat gejala-gejala atau tanda-tanda
seperti yang sudah disebutkan. Pemeriksaan dini harus segera dilakukan oleh
dokter mata untuk memberikan terapi yang terbaik agar dapat menghindari resiko
kebutaan. 9,10

DAFTAR PUSTAKA
1. Ikke Sumantri, Cegah Glaukoma Dengan Deteksi Dini. Glaucoma Center
JEC.
2. Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
3. Ilyas, Sidarta. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
4. Ilyas, Sidarta.2004. Ilmu Perawatan Mata. Sagung Seto: Jakarta.
5. Simmons, Cioffi, Gross, Myers, Netland, Samples, Wright, and Brown.
Glaucoma. Section 10, Basic and Clincial Science Course. San Francisco:
American Academy of Ophthalmology; 2004; Chapter 6, p. 147-151.
6. Gerhard W Cibis, Glaucoma, Primary Congenital. Last Updated: August
16, 2006. www. Emedicine.com
7. Bejjani BA: Primary congenital glaucoma [GeneTests Web site].
September 30, 2004. Available at: http://www.genetests.org
8. Vaughan D, Asbury T. 1992. Oftalmologi Umum. Jilid 2. Edisi II.
Yogyakarta: Widya Medika. Hal: 81-82.

Anda mungkin juga menyukai