PENDAHULUAN
Gangguan nafas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau lebih
gejala sebagai berikut: pernafasan cepat >60 x/menit, retraksi dinding dada,
merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar. Menurut European
Consensus Guidelines on the
Syndrome in Preterm Infants 2010 Update, sindrom gawat nafas ini biasanya
terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 2448 jam
kehidupan, dan akan membaik 12 hari berikutnya, umumnya timbul bersamaan
dengan peningkatan diuresis. Menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI,
gejala gawat nafas pada PMH memburuk dalam 48 96 jam.2
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena
pematangan paru yang belum sempurna. Penyakit ini biasanya mengenai bayi
prematur dan dapat ditemukan bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit membrane hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab
gangguan pernafasan yang sering dijumpai pada bayi prematur. Penyakit
membran hialin, disebut juga Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi kurang. Gangguan nafas ini merupakan sindrom
yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: pernafasan cepat
>60x/menit, retraksi dinding dada, merintih dengan atau tanpa
sianosis
pada
risiko untuk terjadinya PMH pada BKB namun sebagian di antaranya masih
kontroversial.1,6,7
PMH yang terjadi pada bayi kurang bulan tersebut bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat. Pada PMH ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik
sedangkan PMH berat memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat
PMH, semakin berat keterlibatan kardiovaskular.1,5
Kelainan kardiovaskular pada PMH ringan belum terlalu banyak diteliti,
sedang pada PMH berat kelainan kardiovaskular yang dijumpai antara lain
disfungsi faal sistolik dan diastolik ventrikel kiri dan kanan, hipertensi pulmonal
persisten, penurunan isi sekuncup dan curah jantung, bahkan bisa menyebabkan
hipotensi sampai syok. Kelainan kardiovaskular yang lain adalah gangguan faal
jantung seperti penurunan pengisian ventrikel kiri, periode pra-ejeksi yang
memanjang, dan waktu ejeksi yang memendek. Masalah kardiovaskular lain yang
terjadi pada bayi yang sembuh dari PMH adalah terjadinya duktus arteriosus
persisten (DAP).5,6
Kejadian PMH ini berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat
lahir bayi. Dalam satu laporan, tingkat kejadian PMH adalah 42% pada bayi
dengan berat 501-1500 gr, dengan 71% dilaporkan pada bayi dengan berat 501750 gr, 54% dilaporkan pada bayi dengan berat 751-1000 gr, 36% dilaporkan
pada bayi dengan berat 1001-1250 gr, dan 22% dilaporkan pada bayi dengan berat
1251-1500 gr, diantara 12 rumah sakit universitas yang berpartisipasi dalam
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal
Research Network.10
2.2. Etiologi
Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab
utama dari PMH. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin
(lesitin), phosphatidylglycerol, apoprotein (protein surfaktan SP-A,-B,-C,-D), dan
kolesterol. Dengan pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis
meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif-permukaan ini
akan dilepaskan ke dalam alveoli, dimana mereka akan mengurangi tegangan
permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah
runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi.9
Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan yang hadir
dalam konsentrasi tinggi pada paru janin mengalami homogenasi pada usia
kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai permukaan paru-paru sampai nanti.
Ia muncul dalam cairan amnion pada waktu diantara 28-32 minggu. Tingkat
maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu.11
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontriusi untuk terjadinya
gangguan pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta sebuah
gen bertanggung jawab untuk mengangkut surfaktan melintasi membran (AC
transporter 3 [ABCA3] berhubungan dengan penyakit pernapasan berat dan
sering mematikan yang diturunkan. Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada
pH normal, suhu, dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya
terkait dengan hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis
surfaktan. Lapisan epitel paru-paru juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen
yang tinggi dan efek dari manajemen respirator, sehingga mengakibatkan
pengurangan surfaktan yang lebih lanjut.11
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini.
Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru,
merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan
ialah
zat
yang
memegang
merupakan
suatu
peranan
dalam
pengembangan
paru
dan
ini berikutnya
tubular
diubah
menjadi lattice
structure yang
riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan.
Tanda gangguan pernafasan mulai tampak dalam 68 jam pertama setelah lahiran
dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 2472 jam. Bila keadaan
membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.3
Temuan fisik konsisten dengan maturitas bayi yang dinilai dengan
menggunakan pemeriksaan Dubowitz atau modifikasi denga Ballard. Tanda-tanda
gangguan pernafasan progresif dicatat segera setelah lahir dan termasuk yang
berikut10 :
Takipne
Ekspirasi merintih (dari penutupan sebagian glotis)
Retraksi subcostal dan intercostal
Sianosis
Napas cuping hidung
Pada neonatus yang sangat immatur dapat terjadi apne dan/atau hipotermia
Perjalanan
alamiah
PMH
yang
tidak
diobati
ditandai
dengan
memburuknya sianosis secara progresif dan dyspnea. Jika kondisi ini tidak
diobati, tekanan darah bisa turun, kelelahan, sianosis, dan kepucatan meningkat,
dan rintihan berkurang tau hilang seiring dengn kondisi yang memburuk. Apne
dan respirasi tidak teratur terjadi karena bayi kelelahan dan merupakan tanda
buruk yang memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin memiliki asidosis
metabolik-respiratorik campuran, edema, ileus, dan oliguria. Kegagalan
pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat.12
10
Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan PMH
adalah SilvermanAnderson score untuk mengevaluasi derajat keberatan dari
gangguan nafas.13
11
12
13
pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70-100%
dan tekanan CPAP 6-10 cm H2O
Apne persisten
14
campuran larutan glukosa 5-10% dengan NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1.
Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk
menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.3
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi.
Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara
4560 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan
saturasi oksigen antara 88 92%.8
2.3.4. Pemberian antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12
jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2
kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.3,8
2.3.5. Surfaktan
2.3.5.1. Sebagai Terapi
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan
pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan,
yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas
protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya
perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif
surfaktan sintetik.15
15
Human surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion yang bersih (tidak
mengandung mekonium dan darah) yang diambil pada proses sectio sesar dan
dapat menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena proses
pembuatannya yang sulit dan adanya resiko blood borne viruses
maka
penggunaanya sangat terbatas. Hasil dari studi meta analisis dengan Randomised
Control Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40% menurunkan angka
kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RDS , akan tetapi
surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur (chronic lung disease, patent
ductus arteriosus, retinopathy premature) memberikan
memuaskan.15,16
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan
permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat
menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada
suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan
derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang
terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang
signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka
kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas protein
(Soll and Blanco, 2003). Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada
meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi membandingkan efektifitas antara
surfaktan
adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995) yang
membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg,
16
pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil
perbaikan gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk
(2000) dengan dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan
Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter perbaikan gas darah menghasilkan
perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan kedua dosis
tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data yang lengkap pada
jurnalnya. Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas. Pada
penelitian pendahuluan yang dilakukan Sinha dkk,2003 secara randomised trial
antara Surfaxin dan Curosurf
kematian yang sama diantara kedua obat tersebut, akan tetapi penelitian ini
banyak dikritik sehingga dihentikan lebih awal oleh Badan Penelitian setelah lama
mendapatkan pasien dan sampai saat ini studi tentang kedua obat tersebut masih
kesulitan memperoleh pasien.15
Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg.
Dengan dosis 100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi dan ventilasi yang
baik, dan menurunkan angka kematian neonatus dibandingkan dosis kecil, tapi
dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak memberikan keuntungan tambahan.
Membaiknya oksigenasi dan ventilasi lebih cepat dengan dosis 200mg/kg
dibandingkan dosis 100mg/kg,tetapi pada penelitian yang dilakukan pada babi
dengan RDS berhubungan dengan meningkatnya perubahan aliran sistemik dan
aliran darah ke otak ( dikutip dari Moen,dkk 1998 ). Saat ini dosis optimum
surfaktan yang digunakan adalah 100mg/kg.15
17
hal
tersebut tapi dapat menyebabkan inhomogen yang lebih besar dan memberikan
respon yang kurang baik (Segerer,dkk 1996). Menurut
Henry,dkk 1996
18
dilakukan oleh Speer dkk (1992) dan dengan kriteria apakah bayi tetap memakai
ventilasi dengan oksigen sesuai dengan kebutuhannya untuk memutuskan apakah
bayi tersebut akan menerima dosis tambahan. Meskipun jadwal pemberian dosis
ditingkatkan, beberapa surfaktan eksogen memakai interfal dosis setiap 12 jam.
Perbaikan klinis tergantung dari dosis terapi masing-masing individu, dimana
menurut Kattwinkel dkk (2000) menyatakan bahwa bayi dengan ventilasi ringan
dan RDS tanpa komplikasi diberikan terapi tanpa menggunakan dosis tambahan,
sedangkan Figueras Aloy dkk (2001) menyatakan bahwa pada kasus yang berat,
perbaikan klinis tergantung pada dosis tambahan yang diberikan sejak awal.15
Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi volume yang berbeda,
Curosurf dengan dosis 100 mg/kg volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan
dosis 100 mg/kg dengan volume 4 ml. Dalam praktek, Curosurf lebih mudah
diberikan sedangkan Survanta diberikan dengan dosis terbagi. Menurut van der
Bleek dkk (1993) bahwa volume yang besar penyebarannya lebih homogeny.15,16
Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT)
dengan bantuan NG tube. Cateter (NG tube) dapat dimasukkan tanpa melepas
19
ventilator dengan melalui lubang penghisap sekret pada ETT. Sebagai alternatif,
NGT dapat dimasukkan dengan terlebih dahulu melepas dengan cepat sambugan
antara ETT dengan slang ventilator.15
Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya
homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap seperempat dosis diberikan
dengan posisi yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT
melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang benar dan ventilator di
atur pada kecepatan 60x/menit, waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT
dilepaskan dari ventilator dan kemudian18 :
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala menoleh ke kanan,
masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik
2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala menoleh ke kiri,
masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik
3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke kanan,
masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik
20
4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke kiri,
masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik
Tabel 2.2.
21
kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah, fungsi paru dan kelangsungan
hidup. Beberapa percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi
prematur sangat bermanfaat dan aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC
menggunakan surfaktan sebagai terapi profilaksis, dan disebutkan terjadi
penurunan insiden RDS sebanyak 30% dibandingkan kontrol dan menurunkan
angka kematian sebasar 48% tanpa efek samping.17
Tidak mungkin bisa memprediksi bayi prematur yang akan terkena RDS
atau tidak sehingga sejauh ini terapi surfaktan masih sangat bermanfaat.
Rendahnya masa gestasi merupakan penyebab meningkatnya RDS, tetapi pada
bayi dengan masa gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan
komplikasinya.17
Beberapa alasan yang dikemukakan tentang tidak diberikannya surfaktan
pada saat bayi prematur lahir (sebagai profilaksis) karena dianggap memberikan
surfaktan yang tidak perlu pada beberapa bayi yang tidak terkena RDS, disamping
itu harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar diperlukan.
Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian surfaktan dini mungkin
dapat membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS yang berat. Ada juga
yang berpendapat bahwa pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahir
dapat mempengaruhi resusitasi dan stabilisasi bayi. Bila pemberian surfaktan
sama efektifnya jika diberikan beberapa jam setelah lahir, maka pemberian
surfaktan dini yaitu segera setelah lahir menjadi tidak relevan.17
Cochrane meta analysis (Soll and Morley, 2003) menyatakan bahwa yang
disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama
22
pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sedangkan sebagai
terapi bila surfaktan diberikan beberapa jam setelah lahir atau setelah ada gejala
RDS. Pemberian surfaktan profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan
pneumothorax tetapi mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang lain
pada bayi prematur. Yost dan Soll (2003) menyatakan bahwa ada data yang
menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada pemberian
yang lebih lambat. Beberapa uji klinik memberikan informasi yang berbeda
tentang pengaruh pemberian dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan
beratnya gejala RDS. Semua uji coba menunjukkan perbaikan dalam pertukaran
gas, dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan profilaksis. Dunn dkk,
menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan dalam pertukaran gas pada
kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Kendig dkk, menyatakan bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis
membutuhkan tambahan oksigen yang lebih rendah dan bantuan ventilasi dalam
72 jam pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat. Egberts dkk, menyatakan
bahwa terapi surfaktan pada saat lahir berhubungan dengan oksigenasi yang baik
dalam 6 jam, meningkatnya tcPO2 : FIO2 dari rasio 39,7 ke 28,1 dan 41%
membaik pada kelompok dengan terapi dini. Kelompok terapi profilaksis
menerima oksigen > 40% dalam jangka pendek. ada penurunan insiden dari RDS
berat. Kattwinkel dkk, menunjukkan bahwa surfaktan profilaksis berhubungan
dengan rendahnya angka kejadian RDS sedang, terutama pada bayi dengan masa
gestasi kurang dari 30 minggu. Disamping itu dapat menurunkan pemakaian
oksigen dan ventilasi yang cenderung berlebihan pada beberapa hari pertama
23
setelah lahir, menurunkan tekanan jalan napas rata-rata lebih dari 48 jam pertama
untuk bayi dengan ventilasi dan beberapa bayi membutuhkan tambahan oksigen
sampai 28 hari. Walti dkk, menyatakan bahwa dalam 3-72 jam setelah lahir,
kelompok profilaksis mempunyai pH tinggi, dan rasio PaO2: FIO2 serta rasio a:
ApO2 tinggi dan menurunnya FIO2, begitu juga dengan frekuensi pernapasan,
peak inspiratory pressure, dan mean airway pressure. Menurut Bevilacqua dkk,
FIO2 maksimum turun selama 28 hari pertama pada bayi yang diberi profilaksis
dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada satupun dalam uji klinik pemberian
surfaktan profilaksis yang memberikan efek merugikan pada saat pemberian
maupun sesudahnya.17,19
24
25
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penyakit membrane hialin (PMH) yang juga disebut Respiratory Distress
Syndrome (RDS) merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan yang
sering dijumpai pada bayi prematur yang terutama disebabkan oleh defisiensi
surfaktan. Menurut European Consensus Guidelines on the Management of
Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants 2010 Update,
sindrom gawat nafas ini biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk
sampai dengan 2448 jam kehidupan yang mana gejala akan membaik 12 hari
berikutnya, sedangkan menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI, gejala
gawat nafas pada PMH memburuk dalam 4896 jam.
Etiologi/penyebab dari penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan
terutama terjadi karena pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan
surfaktan. Dimana tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi,
sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, yang akan
menimbulkan oksigenasi jaringan menurun, sehingga terjadi metabolisme
anaerobik yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, dimana
asidosis bersama dengan atelektasis menyebabkan terganggunya sirkulasi darah
26
dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.
Untuk
penatalaksanaan
pada
PMH
ini
dasarnya
ialah
untuk
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Monintja HE. Masalah umum sindrom gawat nafas pada neonatus. Dalam:
Monintja HE, Aminullah A, Boedjang RF, Amir I, penyunting. Sindrom
gawat nafas pada neonatus. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXIII. FKUI; 1991 8-9 Juli;
Jakarta: Balai Penerbit FKUI,1991.
2. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Richard P, et al.
European consensus guidelines on the
respiratory distress
management of neonatal
28
10. Pramanik
A.Respiratory
distress
syndrome
dari.
(Online
General
Hospital,
Pennsylvania,Respiratory
Distress
in
Lancaster,
the
Newborn,
2012.
Dapat
di
tinjau
di
http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html
15. Ainsworth SB, McCormack K. Exogenaus surfactant and neonatal lung
disease : An update on the curent situation. J of Neo Nurs 2004;10;1:6-11.
16. Morley C, Davis P. Surfactant treatment for premature lung disorders: A
review of best practices in 2002. Paed Respiratory Reviews 2004;299304.
17. Morley CJ. Systematic review of prophylactic vs rescue surfactant.
Arch.Dis.Child. Fetal Neonatal Ed 1997;77;70-74.
18. Nur A, Risa E, Sylviati MD, Fatimah I, Agus H. Pemberian surfaktan pada
bayi prematur dengan respiratory distresss syndrome. SMF Ilmu
Kesehatan anak FK.UNAIR/RSUD Dr.Soetomo. 2006.
19. Colin M, Peter D. Surfactant treatment for premature lung disorders: A
review of best practices in 2002. Paed Respiratory Review 2004: 299-304.
29
30