Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Membran Hialin (PMH) merupakan sindrom gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang. Penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan (BKB) terjadi
karena pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan surfaktan.
Tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga
1

menyebabkan gagal nafas pada neonatus.

Gangguan nafas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau lebih
gejala sebagai berikut: pernafasan cepat >60 x/menit, retraksi dinding dada,
merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar. Menurut European
Consensus Guidelines on the

Management of Neonatal Respiratory Distress

Syndrome in Preterm Infants 2010 Update, sindrom gawat nafas ini biasanya
terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 2448 jam
kehidupan, dan akan membaik 12 hari berikutnya, umumnya timbul bersamaan
dengan peningkatan diuresis. Menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI,
gejala gawat nafas pada PMH memburuk dalam 48 96 jam.2
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena
pematangan paru yang belum sempurna. Penyakit ini biasanya mengenai bayi
prematur dan dapat ditemukan bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus

selama kehamilan, misalnya ibu yang menderita diabetes mellitus, hipotiroidisme,


toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesaria, dan perdarahan antepartum.3
Penyakit Membran Hialin merupakan penyebab terbanyak morbiditas dan
mortalitas pada bayi prematur. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan,
50% pada bayi dengan berat badan lahir 501-1500 gram. Di negara maju PMH
terjadi pada 0,3-1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian
neonatus. Di Amerika Serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang
artinya 4000 bayi mati akibat Sindrom Gawat Nafas Neonatus (SGNN) setiap
tahunnya. Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap tahun diperkirakan
150.000 bayi di antaranya menderita SGNN, dan sebagian besar berupa PMH.
PMH yang terjadi pada bayi kurang bulan tersebut bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Pada PMH ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik
sedangkan PMH berat memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat
PMH, semakin berat keterlibatan kardiovaskular.1,4-7

1.2. Rumusan Penulisan


Rumusan penulisan pada referat ini yaitu mengetahui dan memperoleh
gambaran dalam penentuan diagnosis, penyebab serta penatalaksanaan pada kasus
bayi dengan penyakit membran hialin.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini yaitu untuk memahami dan
memperoleh gambaran dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

penunjang, penentuan diagnosis serta penatalaksanaan pada kasus bayi dengan


penyakit membran hialin.

1.4 Manfaat Penulisan


Pada penulisan laporan kasus ini penulis berharap dapat memberikan
pengetahuan pada pembaca mengenai bayi dengan penyakit membran hialin dan
permasalahannya secara lebih mendalam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit membrane hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab
gangguan pernafasan yang sering dijumpai pada bayi prematur. Penyakit
membran hialin, disebut juga Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi kurang. Gangguan nafas ini merupakan sindrom
yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: pernafasan cepat
>60x/menit, retraksi dinding dada, merintih dengan atau tanpa

sianosis

pada

udara kamar. Menurut European Consensus Guidelines on the Management of


Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants 2010 Update,
sindrom gawat nafas ini biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk
sampai dengan 2448 jam kehidupan, yang mana gejala akan membaik 12 hari
berikutnya, umumnya timbul berbarengan dengan peningkatan diuresis. Menurut
buku Pedoman pelayanan medis IDAI, gejala gawat nafas pada PMH memburuk
dalam 4896 jam.2,3,8,9
Penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan (BKB) terjadi karena
pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan surfaktan. Tanpa
surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga menyebabkan
gagal nafas pada neonatus. Pelbagai faktor ibu dan bayi berperan sebagai faktor

risiko untuk terjadinya PMH pada BKB namun sebagian di antaranya masih
kontroversial.1,6,7
PMH yang terjadi pada bayi kurang bulan tersebut bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat. Pada PMH ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik
sedangkan PMH berat memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat
PMH, semakin berat keterlibatan kardiovaskular.1,5
Kelainan kardiovaskular pada PMH ringan belum terlalu banyak diteliti,
sedang pada PMH berat kelainan kardiovaskular yang dijumpai antara lain
disfungsi faal sistolik dan diastolik ventrikel kiri dan kanan, hipertensi pulmonal
persisten, penurunan isi sekuncup dan curah jantung, bahkan bisa menyebabkan
hipotensi sampai syok. Kelainan kardiovaskular yang lain adalah gangguan faal
jantung seperti penurunan pengisian ventrikel kiri, periode pra-ejeksi yang
memanjang, dan waktu ejeksi yang memendek. Masalah kardiovaskular lain yang
terjadi pada bayi yang sembuh dari PMH adalah terjadinya duktus arteriosus
persisten (DAP).5,6
Kejadian PMH ini berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat
lahir bayi. Dalam satu laporan, tingkat kejadian PMH adalah 42% pada bayi
dengan berat 501-1500 gr, dengan 71% dilaporkan pada bayi dengan berat 501750 gr, 54% dilaporkan pada bayi dengan berat 751-1000 gr, 36% dilaporkan
pada bayi dengan berat 1001-1250 gr, dan 22% dilaporkan pada bayi dengan berat
1251-1500 gr, diantara 12 rumah sakit universitas yang berpartisipasi dalam
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal
Research Network.10

2.2. Etiologi
Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab
utama dari PMH. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin
(lesitin), phosphatidylglycerol, apoprotein (protein surfaktan SP-A,-B,-C,-D), dan
kolesterol. Dengan pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis
meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif-permukaan ini
akan dilepaskan ke dalam alveoli, dimana mereka akan mengurangi tegangan
permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah
runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi.9
Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan yang hadir
dalam konsentrasi tinggi pada paru janin mengalami homogenasi pada usia
kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai permukaan paru-paru sampai nanti.
Ia muncul dalam cairan amnion pada waktu diantara 28-32 minggu. Tingkat
maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu.11
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontriusi untuk terjadinya
gangguan pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta sebuah
gen bertanggung jawab untuk mengangkut surfaktan melintasi membran (AC
transporter 3 [ABCA3] berhubungan dengan penyakit pernapasan berat dan
sering mematikan yang diturunkan. Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada
pH normal, suhu, dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya
terkait dengan hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis

surfaktan. Lapisan epitel paru-paru juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen
yang tinggi dan efek dari manajemen respirator, sehingga mengakibatkan
pengurangan surfaktan yang lebih lanjut.11
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini.
Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru,
merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan

ialah

zat

yang

memegang

merupakan

suatu

peranan

dalam

pengembangan

paru

dan

kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa


utama zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 24
minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-35.11

Gambar 2.1. Timeline Pembentukan surfaktan pada fetus11


Selama tahap awal embryonik paru2 berkembang diluar dinding ventral dari
primitive foregut endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar
mesoderm yang merupakan struktur teratas dari saluran napas. Selama tahap
canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi perkembangan
lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi pembentukan acini primer.
Struktur acinar terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli
rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries yang berada disekeliling
mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar bodies
mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II ,dapat
ditemui dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara pneumocyte tipe
I terjadi bersama dengan barier alveolar-capillary.Fase saccular dimulai dengan
ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang merupakan dilatasi tubulus
7

acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan peningkatan pertukaran gas


pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type II meningkat dan maturasi
lebih lanjut terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan
sel tipe I , sehingga akan terjadi penurunan jarak antara permukaan darah dan
udara.Selama tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari
gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder terdiri dari
penonjolan jaringan penghubung dan double capillary loop.13,14,15 Terjadi
perubahan bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding
alveoli dan dengan cara apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop
menjadi single capillary loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe
sel . Sel-sel mesenchym berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang
diperlukan. Sel-sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya
meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam
septa sekunder dengan cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari
double capillary loop menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus
pada saat lahir dengan menggunakan rentang antara 20 juta 50 juta sudah
mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.
(Oommen PM, 2011).
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat
stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan
mengurangi tegangan. Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan
komposisi utama dalam surfaktan yang mengurangi surface tension. Surfaktan
memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP-A, SP-B, SPC, dan SPD.
Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multi-step dan
mensekresi lamellar bodies yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi.
Lamellar bodies
dinamakan

ini berikutnya

tubular

diubah

menjadi lattice

structure yang

myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan

karakteristik yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam


alveolus.3
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil
pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit

membrane hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan


stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi,
sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2
dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan3 :
1. Oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolism anaerobik
dengan penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik pada bayi
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya
fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu
lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula
aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya
pembentukan substansi surfaktan.
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan
yang terdiri dari: atelektasis>hipoksia>asidosis>transudasi>penurunan aliran
darah paru>hambatan pembentukan substansi surfaktan>atelektasis. Hal ini akan
berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.3
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi premature dengan
berat badan 1000-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan
pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan

riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan.
Tanda gangguan pernafasan mulai tampak dalam 68 jam pertama setelah lahiran
dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 2472 jam. Bila keadaan
membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.3
Temuan fisik konsisten dengan maturitas bayi yang dinilai dengan
menggunakan pemeriksaan Dubowitz atau modifikasi denga Ballard. Tanda-tanda
gangguan pernafasan progresif dicatat segera setelah lahir dan termasuk yang
berikut10 :
Takipne
Ekspirasi merintih (dari penutupan sebagian glotis)
Retraksi subcostal dan intercostal
Sianosis
Napas cuping hidung
Pada neonatus yang sangat immatur dapat terjadi apne dan/atau hipotermia
Perjalanan

alamiah

PMH

yang

tidak

diobati

ditandai

dengan

memburuknya sianosis secara progresif dan dyspnea. Jika kondisi ini tidak
diobati, tekanan darah bisa turun, kelelahan, sianosis, dan kepucatan meningkat,
dan rintihan berkurang tau hilang seiring dengn kondisi yang memburuk. Apne
dan respirasi tidak teratur terjadi karena bayi kelelahan dan merupakan tanda
buruk yang memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin memiliki asidosis
metabolik-respiratorik campuran, edema, ileus, dan oliguria. Kegagalan
pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat.12

10

Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan PMH
adalah SilvermanAnderson score untuk mengevaluasi derajat keberatan dari
gangguan nafas.13

Gambar 2.2. Scoring system SilvermanAnderson


Tabel 1. Diagnosis banding paling umum dari Penyakit Membran Hialin14

11

2.3. Tata laksana


Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis
sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain
sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.3
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
2.3.1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal
(36,537C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga
harus adekuat (7080%).3,9
2.3.2. Pemberian oksigen harus berhati-hati

12

Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang


baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)),
kerusakan retina (fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan
lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 93% dan
tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.2
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi3,9 :
Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup
untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 5070 mmHg untuk
distres pernafasan ringan.
Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen
inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive
Airway Pressure) terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang noninvasif. Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi
bayi dengan berat lahir sangat rendah (10001500 gram) di ruang persalinan
juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli. Penggunaan humidified
high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang
digalakkan di beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama
dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.
Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau komplikasi
yang menimbulkan apneu persisten. Ventilator mekanik dihubungkan erat

13

dengan terjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan juga meningkatkan


risiko terjadinya trauma dan infeksi.
Indikasi rasional untuk penggunaan ventilator adalah3,9 :

pH darah arteri <7,2

pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih

pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70-100%
dan tekanan CPAP 6-10 cm H2O

Apne persisten

2.3.3. Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit


Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang
diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan
homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-hari pertama diberiksan glukosa 510% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan (60125ml/kgbb/ hari). Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus
segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan
keseimbangan asam-basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar pemberian
NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus : kebutuhan NaHCO3
(mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Kebutuhan basa ini sebagian dapat
langsung diberikan secara intravena dan sisanya diberikan secara tetesan. Pada
pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,357,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada,
NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan berupa

14

campuran larutan glukosa 5-10% dengan NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1.
Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk
menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.3
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi.
Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara
4560 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan
saturasi oksigen antara 88 92%.8
2.3.4. Pemberian antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12
jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2
kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.3,8

2.3.5. Surfaktan
2.3.5.1. Sebagai Terapi
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan
pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan,
yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas
protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya
perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif
surfaktan sintetik.15

15

Human surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion yang bersih (tidak
mengandung mekonium dan darah) yang diambil pada proses sectio sesar dan
dapat menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena proses
pembuatannya yang sulit dan adanya resiko blood borne viruses

maka

penggunaanya sangat terbatas. Hasil dari studi meta analisis dengan Randomised
Control Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40% menurunkan angka
kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RDS , akan tetapi
surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur (chronic lung disease, patent
ductus arteriosus, retinopathy premature) memberikan

efek yang tidak

memuaskan.15,16
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan
permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat
menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada
suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan
derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang
terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang
signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka
kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas protein
(Soll and Blanco, 2003). Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada
meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi membandingkan efektifitas antara
surfaktan

derifat binatang, dan yang sering dibandingkan pada golongan ini

adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995) yang
membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg,

16

pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil
perbaikan gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk
(2000) dengan dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan
Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter perbaikan gas darah menghasilkan
perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan kedua dosis
tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data yang lengkap pada
jurnalnya. Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas. Pada
penelitian pendahuluan yang dilakukan Sinha dkk,2003 secara randomised trial
antara Surfaxin dan Curosurf

menunjukkan rata-rata angka kesakitan dan

kematian yang sama diantara kedua obat tersebut, akan tetapi penelitian ini
banyak dikritik sehingga dihentikan lebih awal oleh Badan Penelitian setelah lama
mendapatkan pasien dan sampai saat ini studi tentang kedua obat tersebut masih
kesulitan memperoleh pasien.15
Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg.
Dengan dosis 100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi dan ventilasi yang
baik, dan menurunkan angka kematian neonatus dibandingkan dosis kecil, tapi
dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak memberikan keuntungan tambahan.
Membaiknya oksigenasi dan ventilasi lebih cepat dengan dosis 200mg/kg
dibandingkan dosis 100mg/kg,tetapi pada penelitian yang dilakukan pada babi
dengan RDS berhubungan dengan meningkatnya perubahan aliran sistemik dan
aliran darah ke otak ( dikutip dari Moen,dkk 1998 ). Saat ini dosis optimum
surfaktan yang digunakan adalah 100mg/kg.15

17

Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus intratrakeal,


karena diharapkan dapat menyebarkan sampai saluran napas bagian bawah.
Penyebaran surfaktan kurang baik pada lobus bawah sehingga dapat menyebabkan
penyebaran yang kurang homogen (Oetomo,dkk 1990). Dengan pemberian secara
bolus dapat mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan sistemik secara fluktuatif
(Wagner,dkk 1996). Pemberian secara perlahan-lahan dapat mengurangi

hal

tersebut tapi dapat menyebabkan inhomogen yang lebih besar dan memberikan
respon yang kurang baik (Segerer,dkk 1996). Menurut

Henry,dkk 1996

pemberian surfaktan secara nebulasi mempunyai beberapa efek samping pada


jantung dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai ke paruparu. Berggren, dkk 2000 mengatakan bahwa pemberian secara nebulasi pada
neonatus kurang bermanfaat. Cosmi, dkk 1997 mengusulkan pemberian secara
intra amnion akan tetapi tehnik tersebut sulit karena harus memasukkan catheter
pada nares anterior fetus dengan bantuan USG dan penggunaan aminophilline
pada ibu hamil tidak dianjurkan.17
Pemberian secara injeksi bolus merupakan methode yang optimal,
beberapa kelompok melakukan studi tentang variasi dari methode ini. Zola dkk
(1993) menyatakan bahwa pemberian survanta 2ml/kg sebanyak dua kali
menyebabkan terjadinya reflux up endotracheal tube dibandingkan pemberian
1ml/kg sebanyak empat kali tapi pemberiannya membutuhkan waktu yang lebih
lama. Menurut Valls-i-Soler dkk (1997) pemberian surfaktan via lubang samping
endotracheal tube tidak menurunkan kejadian bradikardi dan atau hipoksia, tapi
menurut Valls-i-Soller dkk (1998) kedua lubang endotrakeal tube dapat

18

digunakan. Perbaikan oksigenasi yang cepat karena

pengaktifan alveoli dan

peningkatan functional residual capacity (FRC). Menurut Vender dkk (1994)


continuous capacity airway pressure (CPAP)

juga meningkatkan FRC dan

penggunaan lebih awal dengan atau tanpa surfaktan menurunkan kebutuhan


pemakaian ventilasi selanjutnya.17
Percobaan awal yang dilakukan oleh Ten Centre Study Group (1987)
dengan variasi dosis interval 1 jam, sedangkan

dosis interval 12 jam telah

dilakukan oleh Speer dkk (1992) dan dengan kriteria apakah bayi tetap memakai
ventilasi dengan oksigen sesuai dengan kebutuhannya untuk memutuskan apakah
bayi tersebut akan menerima dosis tambahan. Meskipun jadwal pemberian dosis
ditingkatkan, beberapa surfaktan eksogen memakai interfal dosis setiap 12 jam.
Perbaikan klinis tergantung dari dosis terapi masing-masing individu, dimana
menurut Kattwinkel dkk (2000) menyatakan bahwa bayi dengan ventilasi ringan
dan RDS tanpa komplikasi diberikan terapi tanpa menggunakan dosis tambahan,
sedangkan Figueras Aloy dkk (2001) menyatakan bahwa pada kasus yang berat,
perbaikan klinis tergantung pada dosis tambahan yang diberikan sejak awal.15
Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi volume yang berbeda,
Curosurf dengan dosis 100 mg/kg volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan
dosis 100 mg/kg dengan volume 4 ml. Dalam praktek, Curosurf lebih mudah
diberikan sedangkan Survanta diberikan dengan dosis terbagi. Menurut van der
Bleek dkk (1993) bahwa volume yang besar penyebarannya lebih homogeny.15,16
Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT)
dengan bantuan NG tube. Cateter (NG tube) dapat dimasukkan tanpa melepas

19

ventilator dengan melalui lubang penghisap sekret pada ETT. Sebagai alternatif,
NGT dapat dimasukkan dengan terlebih dahulu melepas dengan cepat sambugan
antara ETT dengan slang ventilator.15
Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya
homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap seperempat dosis diberikan
dengan posisi yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT
melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang benar dan ventilator di
atur pada kecepatan 60x/menit, waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT
dilepaskan dari ventilator dan kemudian18 :
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala menoleh ke kanan,
masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik
2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala menoleh ke kiri,
masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik
3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke kanan,
masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik

20

4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke kiri,
masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah
sianosis selama 30 detik

Tabel 2.2.

Preparat surfaktan dan dosis

2.3.5.2. Sebagai Profilaksis


Berdasarkan penelitian, surfaktan merupakan terapi yang penting dalam
menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Sampai saat ini
masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera
setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress
Syndrome . Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis
berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan
dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi. Hal ini menyebabkan
kebocoran protein pada permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan.
Beberapa penelitian dengan binatang menyebutkan bahwa terapi surfaktan yang
diberikan segera setelah lahir akan menurunkan derajat beratnya RDS dan

21

kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah, fungsi paru dan kelangsungan
hidup. Beberapa percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi
prematur sangat bermanfaat dan aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC
menggunakan surfaktan sebagai terapi profilaksis, dan disebutkan terjadi
penurunan insiden RDS sebanyak 30% dibandingkan kontrol dan menurunkan
angka kematian sebasar 48% tanpa efek samping.17
Tidak mungkin bisa memprediksi bayi prematur yang akan terkena RDS
atau tidak sehingga sejauh ini terapi surfaktan masih sangat bermanfaat.
Rendahnya masa gestasi merupakan penyebab meningkatnya RDS, tetapi pada
bayi dengan masa gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan
komplikasinya.17
Beberapa alasan yang dikemukakan tentang tidak diberikannya surfaktan
pada saat bayi prematur lahir (sebagai profilaksis) karena dianggap memberikan
surfaktan yang tidak perlu pada beberapa bayi yang tidak terkena RDS, disamping
itu harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar diperlukan.
Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian surfaktan dini mungkin
dapat membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS yang berat. Ada juga
yang berpendapat bahwa pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahir
dapat mempengaruhi resusitasi dan stabilisasi bayi. Bila pemberian surfaktan
sama efektifnya jika diberikan beberapa jam setelah lahir, maka pemberian
surfaktan dini yaitu segera setelah lahir menjadi tidak relevan.17
Cochrane meta analysis (Soll and Morley, 2003) menyatakan bahwa yang
disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama

22

pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sedangkan sebagai
terapi bila surfaktan diberikan beberapa jam setelah lahir atau setelah ada gejala
RDS. Pemberian surfaktan profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan
pneumothorax tetapi mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang lain
pada bayi prematur. Yost dan Soll (2003) menyatakan bahwa ada data yang
menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada pemberian
yang lebih lambat. Beberapa uji klinik memberikan informasi yang berbeda
tentang pengaruh pemberian dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan
beratnya gejala RDS. Semua uji coba menunjukkan perbaikan dalam pertukaran
gas, dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan profilaksis. Dunn dkk,
menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan dalam pertukaran gas pada
kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Kendig dkk, menyatakan bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis
membutuhkan tambahan oksigen yang lebih rendah dan bantuan ventilasi dalam
72 jam pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat. Egberts dkk, menyatakan
bahwa terapi surfaktan pada saat lahir berhubungan dengan oksigenasi yang baik
dalam 6 jam, meningkatnya tcPO2 : FIO2 dari rasio 39,7 ke 28,1 dan 41%
membaik pada kelompok dengan terapi dini. Kelompok terapi profilaksis
menerima oksigen > 40% dalam jangka pendek. ada penurunan insiden dari RDS
berat. Kattwinkel dkk, menunjukkan bahwa surfaktan profilaksis berhubungan
dengan rendahnya angka kejadian RDS sedang, terutama pada bayi dengan masa
gestasi kurang dari 30 minggu. Disamping itu dapat menurunkan pemakaian
oksigen dan ventilasi yang cenderung berlebihan pada beberapa hari pertama

23

setelah lahir, menurunkan tekanan jalan napas rata-rata lebih dari 48 jam pertama
untuk bayi dengan ventilasi dan beberapa bayi membutuhkan tambahan oksigen
sampai 28 hari. Walti dkk, menyatakan bahwa dalam 3-72 jam setelah lahir,
kelompok profilaksis mempunyai pH tinggi, dan rasio PaO2: FIO2 serta rasio a:
ApO2 tinggi dan menurunnya FIO2, begitu juga dengan frekuensi pernapasan,
peak inspiratory pressure, dan mean airway pressure. Menurut Bevilacqua dkk,
FIO2 maksimum turun selama 28 hari pertama pada bayi yang diberi profilaksis
dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada satupun dalam uji klinik pemberian
surfaktan profilaksis yang memberikan efek merugikan pada saat pemberian
maupun sesudahnya.17,19

2.3.6. Terapi steroid antenatal


Pemberian antenatal steroid mengurangi risiko sindrom gawat nafas pada
bayi, tetapi pemberiannya harus didalam interval >24 jam dan <7 hari sebelum
kelahiran bayi. Antenatal steroid juga mengurangi risiko intraventricular
hemorrhage (IVH) dan necrotizing enterocolitis yang sering dijumpai pada bayi
prematur. Kedua betametason dan deksametason dapat digunakan untuk
pematangan paru janin. Menurut Cochrane Review, deksametason lebih banyak
mengurangi terjadinya IVH sehingga, deksametason merupakan obat pilihan
dalam pematangan paru.2
Dosis optimal kortikosteroid, waktu pemberian dan frekuensi pemberian
masih belum diketahui secara pasti. Menurut NIH Consensus Development Panel
on the Effect of Corticosteroids for Fetal Maturation on Perinatal Outcomes,

24

regimen pemberian kortikosteroid secara umum ialah 2 dosis betametason 12 mg


diberikan secara intramuskular dengan jarak waktu 24 jam dan 4 dosis
deksametason 6 mg intramuskular dengan jarak waktu antar pemberian 12 jam.20
Cara pemberian betametason dan deksametason yang optimal masih belum
jelas. Keduanya dapat diberikan secara intramuskular. Betametason dapat
diberikan secara intra-amniotically dan intravena sedangkan deksametason dapat
diberikan secara oral.20

25

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penyakit membrane hialin (PMH) yang juga disebut Respiratory Distress
Syndrome (RDS) merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan yang
sering dijumpai pada bayi prematur yang terutama disebabkan oleh defisiensi
surfaktan. Menurut European Consensus Guidelines on the Management of
Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants 2010 Update,
sindrom gawat nafas ini biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk
sampai dengan 2448 jam kehidupan yang mana gejala akan membaik 12 hari
berikutnya, sedangkan menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI, gejala
gawat nafas pada PMH memburuk dalam 4896 jam.
Etiologi/penyebab dari penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan
terutama terjadi karena pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan
surfaktan. Dimana tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi,
sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, yang akan
menimbulkan oksigenasi jaringan menurun, sehingga terjadi metabolisme
anaerobik yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, dimana
asidosis bersama dengan atelektasis menyebabkan terganggunya sirkulasi darah

26

dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.
Untuk

penatalaksanaan

pada

PMH

ini

dasarnya

ialah

untuk

mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis sebaik-baiknya, agar bayi mampu


melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan
adaptasi sendiri terhadap sekitarnya, antara lain dengan cara meletakkan bayi di
dalam inkubator, pemberian oksigen, pemberian cairan, glukosa dan elektrolit,
pemberian antibiotika, pemberian surfaktan, hingga pemberian antenatal steroid.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Monintja HE. Masalah umum sindrom gawat nafas pada neonatus. Dalam:
Monintja HE, Aminullah A, Boedjang RF, Amir I, penyunting. Sindrom
gawat nafas pada neonatus. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXIII. FKUI; 1991 8-9 Juli;
Jakarta: Balai Penerbit FKUI,1991.
2. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Richard P, et al.
European consensus guidelines on the
respiratory distress

management of neonatal

syndrome in preterm infants-2010 update.

Neonatology 2010; 97(4): 402-17.


3. Latief Abdul. 2007. Penyakit membran hialin. Dalam buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 3. Jakarta; FKUI hal. 1083 1087.
4. Honrubia.D, Stark AR. 2004. Respiratory distress syndrome. In :
Cloherthy J, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal
care.5th editon. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 341-61.
5. Sastroasmoro S. Pengaruh dobutamin terhadap faal kardiovaskular dan
perjalanan klinis penyakit membran hialin. Disertasi. Jakarta: Program
Pasca Sarjana, 1998. h. 1-89.
6. Mellins RB, Jobe AH. Respiratory Distress of The Newborn Infant. Dalam
: Fishman AP, Penyunting. Pulmonary Distress and disorders. Edisi ke-2.
USA : Mc Graw Hill Coy, 1988. h. 2251 61.
7. Gorbet A. Respiratory disorders in the newborn. Dalam: Cherninck V,
Kendig LE, penyunting. Disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke 5. Philadelphia: Saunders, 1995. h. 268-81
8. Pudjiadi A, et al. 2007. Penyakit membran hialin. Dalam: Buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 1. Jakarta; FKUI, hal 238 242.
9. Miall L. The management of respiratory distress in the moderately preterm
newborn infant. Neonatal Intensive Care Unit, Leeds Teaching Hospitals
NHS Trust, Leeds, UK, 2011.

28

10. Pramanik

A.Respiratory

distress

syndrome

dari.

(Online

http://www.emedicine.com/topic 1993 htm updated july 2,2002, diakses


29 Mei 2013).
11. Oommen PM. 2011. Chapter 10: Respiratory distress syndrome: Impact of
surfactant therapy and antenatal steroid. In: Innovations in neonatalperinatal medicine innovative technologies and therapies that have
fundamentally changed the way we deliver care for the fetus and the
neonate.
12. Dudel GG, et al. 2007. Respiratory distress syndrome (Hyaline membran
disease). Dalam: Kliegman RM, Editors. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi 18. Philadelphia: Saunders.
13. Surg C, et al. Management of respiratory distress in the Newborn. 2006.
14. Christian L. Hermansen, MD, and Kevin N. Lorah, MD,
Lancaster

General

Hospital,

Pennsylvania,Respiratory

Distress

in

Lancaster,
the

Newborn,

American Academy of Family Physicians, ditinjau tanggal 8


Februari

2012.

Dapat

di

tinjau

di

http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html
15. Ainsworth SB, McCormack K. Exogenaus surfactant and neonatal lung
disease : An update on the curent situation. J of Neo Nurs 2004;10;1:6-11.
16. Morley C, Davis P. Surfactant treatment for premature lung disorders: A
review of best practices in 2002. Paed Respiratory Reviews 2004;299304.
17. Morley CJ. Systematic review of prophylactic vs rescue surfactant.
Arch.Dis.Child. Fetal Neonatal Ed 1997;77;70-74.
18. Nur A, Risa E, Sylviati MD, Fatimah I, Agus H. Pemberian surfaktan pada
bayi prematur dengan respiratory distresss syndrome. SMF Ilmu
Kesehatan anak FK.UNAIR/RSUD Dr.Soetomo. 2006.
19. Colin M, Peter D. Surfactant treatment for premature lung disorders: A
review of best practices in 2002. Paed Respiratory Review 2004: 299-304.

29

20. Brownfoot FC, Crowther CA, Middleton P. The cochrane collaboration:


Different corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung
maturation for women at risk of preterm birth. 2008.

30

Anda mungkin juga menyukai