Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
Vaksin telah lama dikenal sebagai suatu substansi yang digunakan untuk
memperoleh respon imun terhadap mikroorganisme patogen. Vaksin pertama kali
ditemukan pada tahun 1796 oleh Edward Jenner yaitu vaksin virus cacar. Sejak
saat itu teknologi pembuatan vaksin telah berkembang dengan pesat dan berbagai
jenis vaksin untuk mencegah penyakit infeksi telah banyak digunakan. Vaksin
konvensional baik vaksin generasi pertama yaitu vaksin yang mengandung
mikroorganisme hidup yang telah dilemahkan, vaksin generasi kedua yaitu vaksin
yang mengandung mikroorganisme yang dimatikan, dan vaksin generasi yang
ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang
mengandung fragmen antigenik dari suatu mikroorganisme yang dapat
merangsang respon imun, dalam penggunaannya masih memiliki beberapa
kelemahan. (1)
Sebelum ditemukannya vaksin, kematian akibat cacar variola besar sangat
tinggi. Catatan sejarah menunjukkan metode kekebalan dengan cara merangsang
kekebakan sudah dikenal. Sebuah proses yang disebut inokulasi, juga dikenal
sebagai insuflasi atau "variolation" dipraktekkan di India sejak 1000 SM. Peneliti
lain mengatakan inokulasi cacar dilakukan juga di China. Wan Quan (1499-1582)
dalam bukunya Douzhen Xinfa diterbitkan pada tahun 1549, Inokulasi cacar
dilakukan di China sampai era pemerintahan Kaisar Longqing (1567-1572) pada
era Dinasti Ming. (2)
Variolation juga dipraktekkan pada abad ke-17 oleh para dokter di Turki,
Persia, dan Afrika. Pada 1714 dan 1716, dua laporan dari Kekaisaran Ottoman
Turki menyebutkan metode inokulasi terhadap cacar dilakukan untuk Royal
Society di Inggris, oleh Emmanuel Timoni, seorang dokter berafiliasi dengan
Kedutaan Besar Inggris di Konstantinopel, dan Giacomo Pylarini. (2)
Mithridates Eupatoris VI seorang raja dari Pontis Yunani, (Tahun 132 63
SM) dianggap banyak peneliti merupakan ahli imunologi pertama. Cara yang
digunakan Mithridates yaitu: meminum racun sedikit demi sedikit sehingga orang

menjadi kebal terhadap racun. Dikenal dengan paham mithridatisme. Metode


tersebut bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukakannya walaupun
beresiko tinggi. Pada abad ke 12, bangsa China mengenali bagaimana mengatasi
penyakit cacar. Cairan atau kerak dari orang yang terkena cacar tapi tidak berat
apabila dioleskan pada kulit orang sehat dapat melindungi terhadap cacar. Begitu
pula orang timur tengah menggoreskannya pada orang dengan membubuhkan
bubuk pada penderita cacar yang tidak parah akan melindungi keadaan yang lebih
parah. Metode ini dikenal dengan: tindakan variolasi. (2)
Pada usia 13, Jenner magang di tempat Dr Ludlow di Sodbury. Dia mengamati
bahwa orang-orang yang bekerja di peternakan yang kebetulan terkena cacar
ternyata diketahui tidak terkena cacar. Dia menganggap ada hubungan kausal.
Setelah Jenner kembali dari sekolah kedokteran di London. Ketika sebuah
epidemi cacar melanda daerahnya kota Berkeley, Inggris, dia menyarankan para
pekerja sapi lokal diinokulasi. Para petani mengatakan kepadanya bahwa cacar
sapi mencegah cacar. Ini menegaskan kecurigaan masa kecilnya, dan ia
mempelajari lebih lanjut tentang cacar sapi setempat. (2)
Edward Jenner (Tahun 1749 1823), menggunakan bibit penyakit cacar dari
sapi untuk ditularkan pada manusia. Setidaknya enam orang di Inggris dan Jerman
(Sevel, Jensen, Jesty 1774, Rendall, Plett 1791), diuji dengan sukses kemungkinan
menggunakan vaksin cacar sapi sebagai imunisasi untuk cacar pada manusia.
Jenner melaporkan pengamatannya kepada Royal Society. Saat itu mulailah
penggunaan vaksinasi untuk menggantikan istilah variolasi. Vacca: sapi. Vaksin
pertama diproduksi oleh Edward Jenner untuk memberikan perlindungan terhadap
penyakit cacar. Jenner menyadari bahwa pemerah susu yang telah tertular cacar
sapi, sebuah infeksi yang relatif tidak berbahaya, menjadi tahan terhadap penyakit
cacar, kasus penyakit manusia yang sering menjadi epidemi dengan angka
kematian yang sangat tinggi. (2)
Jenner berteori bahwa yang cacar sapi, penyakit hewan, tidak berbeda dengan
penyakit cacar. Dia menyimpulkan bahwa reaksi manusia terhadap suntikan virus
cacar sapi entah bagaimana mekanismenya akan mengajarkan tubuh manusia
bagaimana untuk menghadapi kedua virus ini sehingga tidak menyebabkan

penyakit berat atau kematian. Saat ini, penyakit cacar diyakini sudah benar-benar
dapat diatasi. Karena penemuannya ini, maka Dr. Edward Jenner juga dikenal di
dunia kedokteran modern sebagai Bapak Ilmu Imunologi (2)
Pengembangan vaksin untuk melindungi manusia dari penyakit virus adalah
salah satu keunggulan dari pengobatan modern. Louis Pasteur dan kawan-kawan
(18221895), meneliti kemungkinan pencegahan penyakit dengan cara vaksinasi
melalui penggunaan bibit penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu. Pada
waktu itu digunakan untuk mengatasi penyakit kholera yang disebabkan
Pasteurella aviseptica. Pfeifer (1880) murid Koch meneliti Vibrio cholerae untuk
mengatasi

wabah

penyakit

kholera.

Elie

Metchnikof

(18451916)

mengungkapkan bagaimana mekanisme efektor bekerja dalam tubuh terhadap


benda asing. Memperkuat pendapat Koch dan Neisser. Adanya mekanisme efektor
dari sel leukosit untuk mengusir bakteri dinamakan proses fagositosis. Sel tubuh
yang memiliki kemampuan fagositosis dinamakan fagosit. Fodor (1886), ilmuwan
pertama yang mengamati pengaruh langsung dari serum imun terhadap mikroba
tanpa campur tangannya komponen seluler. Penemuan ini diperkuat oleh Behring
dan Kitasato (1890). yang menunjukkan bahwa serum dapat menetralkan aktifitas
tetanus dan difteri. Jules Bordet (18701961) mengemukakan bahwa untuk lisis
diperlukan 2 komponen yang terdapat dalam serum imun. Sebuah diantaranya
bersifat termostabil yang dikemudian hari ternyata adalah antibodi sedangkan
komponen lainnya bersifat termolabil yang dinamakan komplemen. (2)
Pada saat itulah mulai diperkenalkan istilah antigen untuk memberikan nama
bagi semua substansi yang dapat menimbulkan reaksi dalam tubuh terhadapnya.
Dan juga istilah antibodi untuk substansi dalam serum yang mempunyai aktifitas
menanggulangi terhadap antigen yang masuk ke tubuh. Penemuan oleh Fodor
mengawali penelitian untuk mendukung teori mekanisme melalui imunitas
humoral. Wright dan Douglas (1903), mengatakan proses fagositosis akan
dipermudah apabila ditambahkan serum imun. Bahan yang diduga dikandung
dalam serum itu dinamakan opsonin. Jadi mekanisme efektor seluler dan humoral
bersifat saling memperkuat. Pada saat bersamaan ditemukan fenomena lain dalam

imunologi yaitu adanya penyimpangan dalam tubuh seseorang karena bereaksi


terlalu peka. Pirquet membedakan fenomena tersebut dalam bentuk serum
sickness, alergi dan anafilaksis.

Sampai Tahun 1940an banyak dilakukan

penelitian tentang aplikasi dan pengembangan tentang fenomena imunologi


khususnya dalam penyediaan serum imun (anti tetanus, anti rabies dan lain-lain),
reagen untuk diagnostik dan program vaksinasi. Felton, menemukan fenomena
lain yaitu bahwa dalam tubuh mungkin dapat timbul tidak adanya respon imun
terhadap suatu subtansi atau antigen tertentu. Fenomena ini disebut toleransi
imunologik. Felton berhasil memurnikan untuk pertama kalinya antibodi dari
antiserum kuda terhadap pneumococcus.(2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. VAKSINASI
1.1.
Definisi Vaksinasi
Vaksinasi merupakan proses pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang
untuk memberikan atau menigkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap
penyakit infeksi, yaitu sebagai salah satu cara pencegahan penyakit infeksi
serius yang paling efektif. Selama dalam proses tumbuh kembang, anak
memerlukan asupan gizi yang adekuat, penanaman nilai agama, budaya,
pembiasaan disiplin yang konsisten, serta upaya pencegahan penyakit. (3)(4)
Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi).
Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan
aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi
pengaruh infeksi oleh organisme alami. (3)(4)
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan
sehingga tidak menimbulkan penyakit, juga merangsang sistem imun untuk
memproduksi antibodi yang sifatnya selain spesifik juga dapat bertahan untuk
jangka waktu lama karena adanya sel memori. Vaksin dapat juga berupa
organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel
serupa virus, dan sebagainya.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan
manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu,
terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem
kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker). Pemberian vaksin
diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk
antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit.
Ada beberapa jenis vaksin, namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu
menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit. (3)(4)
1.2.

Tujuan Vaksinasi (Imunisasi)

Tujuan vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin ke tubuh manusia


dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu.
Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang
dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin campak,
hepatitis B) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio). Tujuan vaksinasi yaitu
untuk

mencegah

terjadinya

penyakit

tertentu

pada

seseorang

dan

menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok populasi atau bahkan


menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia. Program imunisasi aktif/
vaksinasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakitpenyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak
(measles), polio dan tuberkulosis.

Program imunisasi bertujuan untuk

memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian
bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. (2)
Secara umum dapat juga disimpulkan bahwa tujuan vaksin adalah suatu
usaha untuk merangsang daya tahan tubuh dengan memasukkan bibit penyakit
yang dilemahkan dan dicampur dengan bahan lain(2)
1.3.

Manfaat Vaksinasi
Vaksinasi sangat bermanfaat bagi anak yaitu dapat mencegah penderitaan
yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian. Bagi
keluarga dapat menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak
sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa
anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Serta bagi salah
satu negara, vaksinasi dapat memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan

bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. (5)
1.4.
Jenis- jenis Vaksin
1. Vaksin Hidup (Live attenuated vaccine)
Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah
dilemahkan daya virulensinya dengan cara kultur dan perlakuan yang
berulang-ulang, namun masih mampu menimbulkan reaksi imunologi
yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat vaksin live attenuated vaccine,

yaitu : vaksin dapat tumbuh dan berkembang biak sampai menimbulkan


respon imun sehingga diberikan dalam bentuk dosis kecil antigen, respon
imun yang diberikan mirip dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis
berganda,, dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi
alamiah. (6)
Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR, vaksin TBC, vaksin
demam tifoid, vaksin campak, gondongan, dan cacar air (varisela). (4)(6)

Gambar Vaksin Hidup (Live attenuated vaccine)(4)

2. Inactivated vaccine (Killed vaccine)


Vaksin dibuat dari bakteri atau virus yang dimatikan dengan zat
kimia (formaldehid) atau dengan pemanasan, dapat berupa seluruh bagian
dari bakteri atau virus, atau bagian dari bakteri atau virus atau toksoidnya
saja. Sifat inactivated vaccine, yaitu : vaksin tidak dapat hidup sehingga
seluruh dosis antigen dapat dimasukkan dalam bentuk antigen, respon
imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit atau
tidak menimbulkan imunitas seluler, titer antibodi dapat menurun setelah
beberapa waktu sehingga diperlukan dosis ulangan, dosis pertama tidak
menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya memacu dan menyiapkan
sistem imun, respon imun protektif baru baru muncul setelah dosis kedua
dan ketiga, vaksin tidak dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik, tidak
dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah.
Contoh : vaksin Difteri dan Tetanus. (4)(6)

Gambar Inactivated vaccine (Killed vaccine)(4)

3. Vaksin Toksoid
Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan
penyakit dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah.
Bahan

bersifat

imunogenik

yang

dibuat

dari

toksin

kuman.

Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid
plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi antitoksin.
Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu tahun. (4)(6)
Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza, vaksin polio (Salk),
vaksin pneumonia pneumokokal, vaksin kolera, vaksin pertusis, dan
vaksin demam tifoid. (6)

Gambar Vaksin Toksoid(4)

4. Vaksin Acellular dan Subunit


Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri
dengan melakukan kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi
DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe. (6)
Contoh: vaksin hepatitis B, Vaksin hemofilus influenza tipe b (Hib)
dan vaksin Influenza. (4)(6)

Gambar Vaksin Subunit(4)

5. Vaksin Idiotipe
Vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen
binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung
asam amino yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang
dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini dapat menghambat
pertumbuhan virus melalui netralisasi dan pemblokiran terhadap reseptor
pre sel B. (2)(6)

Gambar Vaksin Idiotope(4)

6. Vaksin Rekombinan
Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam
jumlah besar. Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot
atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast,
dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan dihasilkan vaksin
protein juga dihasilkan vaksin DNA. Susunan vaksin ini (misal hepatitis
B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen

vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi
sel penerima vaksin. (4)(6)

Gambar Vaksin Rekombinan(4)

7. Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)


Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon ke dalam
suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen
yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA
plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak berintegrasi
kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang
dikodenya. Selain itu vektor plasmid mengandung sekuens nukleotida
yang bersifat imunostimulan yang akan menginduksi imunitas seluler. (2)(6)
Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung
kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan
penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan
bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan
selular yang cukup kuat,sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini
sedang dilakukan.(6)

10

Gambar Vaksin DNA(4)

1.5.

Teknik Pemberian Vaksin


1. Oral. (7)
2. Intramuscular(IM)

Gambar Pemberian vaksin secara intramaskular (8)

a. Muscle. Vastus lateralis (regio paha anterolateral) dengan jarum


mengarah ke arah lutut, untuk bayi berusia di bawah 12 bulan
sampai di bawah 3 tahun. (7)
b. Muscle deltoid dengan jarum mengarah ke bahu membentuk sudut
60o-90o, untuk anak usia >3 tahun. (7)
3. Subkutan

11

Gb. Pemberian Vaksin secara Subkuran(7)

Teknik pemberia subkutan dapat dikerjakan pada 3 tempat:


a. Paha regio anterolateral (usia 1-12 bulan)
b. Paha anterolateral atau daerah lateral lengan atas (usia 1-3 tahun)
c. Sisi lateral lengan atas (usia >3 tahun)
Suntikan dikerjakan dengan mengarahkan jarum 45o terhadap kulit,
mencubit tebal kulit, dan menyuntikan vaksin subkutan, salah satunya
dapat diberikan untuk penyakit campak. (7)
4. Intrakutan

Gambar Pemberian Vaksin secara Intrakutan (2)

Lokasi yang dipilih adalah kulit diatas insersi deltoid dekstra. Jarum yang
dipilih adalah ukuran 25-27 dengan panjang 10mm. Renggangkan kulit
yang disuntikan, arah sudut 15o terhadap kulit, suntik perlahan dan
perhatikan apakah terbentuk benjolan pada kulit untuk memastikan bahwa
vaksin masuk ke intradermal. (7)

12

Gambar Cara penyuntikan vaksin(7)

1.6.

Kualitas Vaksin
Kualitas vaksin dapat dinilai melalui beberapa parameter:
1. Vaksin Vial monitor (VVM) menunjukan apakah vaksin sudah pernah
terpapar suhu di atas 8oC(7)

Gambar Cara perubahan warna vaksin vial monitol (7)

2. Warna dan kejernihan vaksin merupakan indikator stabilitas vaksin.

13

a. Vaksin polio harus berwarna kuning orange. Di luar spektrum


warna tersebut, pH telah berubah dan vaksin tidak boleh diberikan
kepada pasien. (7)
b. Toksoid rekombinan dan polisakarida berwarna putih jernih dan
sedikit berkabut. Bila menggumpal dan tidak hilang setelah
pengocokan (shake test), vaksin sudah tidak boleh digunakan. (7)
3. Freeze Watch dan Freeze Tag
Freeze watch and freeze tag adalah alat untuk mengetahui apakah
vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0oC. Bila dalam freeze watch
terdapat warna biru yang melebar disekitarnya atau dalam freeze tag
ada tanda silang (X), berarti vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0oC
yang dapat merusak vaksin mati (inaktif). Vaksin-vaksin ini tidak dapat
1.7.

diberikan ke pasien. (8)


Teknik Penyimpanan Vaksin
Terkait dengan penyimpanan vaksin, aturan umum untuk sebagian besar

vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperature 2-8 C dan tidak
membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak
aktif bila beku. Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan
kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi
produk harus disertakan. Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian
khusus karena vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan
temperatur lingkungan. Pada setiap tahapan rantai dingin maka transportasi vaksin
dilakukan pada temperature 0C sampai 8C. Vaksin polio boleh mencair dan
membeku tanpa membahayakan potensi vaksin. Vaksin DPT, hepatitis-B dan Hib
akan rusak bila membeku pada temperatur 0 (vaksin hepatitis-B akan membeku
sekitar -0,5C). (7)
2. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI
(KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang
terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama
2.1.

pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari. (10)


Definisi KIPI

14

Kejadian ikutan paska imunisasi adalah sebagai reaksi simpangan


yang dikenal sebagai kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek
vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau kesalahan program, , faktor kebetulan, reaksi suntikan,
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu
lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik paska
vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak
vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi paska vaksinasi campak, dan
polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non
imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi paska vaksinasi polio). (10)
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan
reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi
berupa efek farmakologi, efek samping (side-effect), interaksi obat,
intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara
klinis sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Efek farmakologi, efek
samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin
sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan sesorang terhadap
unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi
terhadap protein telur (vaksin campak, gendong, influenza, dan demam
(kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain
yang terkandung dalam vaksin. (10)
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat
terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta
penyimpangan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan.
Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua
kalainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi
alergi terhadap vaksin. Akan tetapi telah laporan KIPI oleh Vaccine Safety
Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian
besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang

15

memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan


2.2.

teknik pelaksanaan (programmatic erros). (10)


Epidemiologi KIPI(11)
Kejadian ikutan paska imunisasi akan timbul setelah pemberian
vaksin dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin
dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji
klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase
selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan
vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan
juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin. Pada jumlah
penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk
menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang
dikenal sebagai Post Marketing Surveilance (PMS). Tujuan PMS adalah
untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setalah pemakaian
yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data
PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI
(terutama KIPI barat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan.
Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap
masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap
efek samping vaksin dengan segala akibatnya. Menurut National
Childhood Vaccine Injury dari Committe of the Institute of Medicine
(IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena:
1. Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami
2. Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan kurang akurat
3. Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
4.Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang
5. Kurang publikasi KIPI dalam kasus yang besar.
Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI
yang sebenarnya. Kejadian ikutan paska imunisasi dapat ringan sampai
berat, terutama pada imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari

2.3.

10.000 dosis. (11)


Klasifikasi penyebab KIPI
Dalam membuat kajian KIPI, Komnas PP-KIPI mengelompokkan KIPI
dalam 2 klasifikasi yaitu klasifikasi lapangan dan klasifikasi kausalitas. (12)
1. Klasifikasi lapangan(12)
16

Sesuai dengan manfaat situasi di lapangan maka sebagai acuan


untuk Komnas dan Komda PP-KIPI dengan menggunakan kriteria
WHO untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu:
1. Kesalahan prosedur/teknik pelaksanaan (programmatic errors)
KIPI yang berhubungan dengan masalah prosedur dan
teknik pelaksanaan imunisasi, meliputi kesalahan prosedur
penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum
suntik baik langsung maupun tidak langsung. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah
dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi
simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun
demikian dapat saja terjadi SAE (Serious Adverse Event)
berupa gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik
dengan risiko kematian. Meskipun kemungkinan kejadian
sangat kecil (1/satu juta).
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
KIPI yang terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.
Salah satu indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada
kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi
tidak mendapat imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila karena kurang lengkapnya informasi KIPI yang
dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu
penyebab, maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini

sambil menunggu informasi lebih lanjut.

17

Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat


ditentukan kelompok penyebab KIPI.
2. Klasifikasi Kualitas(12)
Klasifikasi kualitas mengelompokkan KIPI menjadi 6 (enam)
kelompok yaitu:
1. Very likely / Certain
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin
(masuk akal) terhadap pemberian vaksin dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat
kimia lain.
2. Probable
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal
dengan pemberian vaksin dan sepertinya tidak berhubungan
dengan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.
3. Possible
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal
dengan pemberian vaksin namun dapat berhubungan dengan
penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.
4. Unlikely
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin
(masuk akal) terhadap pemberian vaksin menyebabkan
hubungan kasual tidak mungkin namun mungkin dapat
dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat
kimia lain.
5. Unrelated
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang tidak
mungkin (masuk akal) terhadap pemberian vaksin dan dapat
dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat
kimia lain.
6. Unclassifiable
Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk
memungkinkan dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.
Gejala Klinis dan Tatalaksana KIPI(10)
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun

2.4.

lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi

18

susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin


cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya. Baku keamanan suatu
vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh
karena pada umumnya produksi farmasi diperuntukkan orang sakit
sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu
toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada
obat-obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satupun jenis
vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak
telah mendapat imunisasi perlu di observasi beberapa saat,
sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa
lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya
setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi
selama 15 menit.

19

20

3. Pemberian Vaksinasi / Imunisasi dan KIPI

21

Gambar Jadwal pemberian vaksin IDAI(9)

Jenis-Jenis VAKSINASI/ IMUNISASI yang ada:

Hepatitis B(7)
Pencegahan dengan hepatitis B dilakukan dengan menggunakan
immunoglobulin hepatitis. Vaksin hepatitis B tersedia dalam bentuk vaksin
rekombinan. Vaksin hepatitis B di anjurkan bagi semua bayi baru lahir,
individu yang beresiko tertular hepatitis B karena pekerjaan, pasien
hemodialisis, pasien yang memerlukan transfusi berulang serta individu
yang serumah dengan penderita hepatitis B atau mengalami kontak secara
langsung.
Cara pemberian
Jadwal anjuran

: Intramaskular
: 3 kali, di berikan segera setelah lahir

(sebelum 12 jam), usia 1 dan 6 bulan


Dosis
: 0,5ml
(7)
Poliomielitis
Tersedia 2 jenis vaksin polio yaitu oral (oral polio vaccine/OPV jenis
Sabin yang mengandung 3 strain) dan injeksi (inactivated polio
vaccine/IPV jenis salk).
Cara pemberian
Jadwal anjuran

: oral OPV atau intramuskular (IPV)


: usia 0 (dianjurkan OPV), 2, 4, 6, 18-20

bulan dan 5 tahun.


Dosis
: 2 tetes
BCG( Bacillus Calmatte Guerin) (7)
Vaksin BCG berasal dari strain M bovis. BCG dapat mencegah
TB(Tuberkulosis) berat yang mematikan pada balita dan anak.
22

Cara pemberian
Jadwal anjuran

: intrakutan
: usia < 3 bulan ; apabila >3 bulan harus

Mantoux negatif
Dosis
: 0,05 ml untuk bayi, 0,1 untuk anak
DTP ( Difteri, Tetanus, Pertusis) (7)
Vaksinasi difteri dan tetanus diberikan dalam bentuk toksoid. Vaksin
pertusis yang diberikan pada vaksin DTwP(Diptheria, Tetanus, whole cell
pertussis)

merupakan

suspensi

B.

Pertusis

mati,

sementara

DTaP(Diptheria, Tetanus, acelullar pertussis) mengandung fraksi sel dari


B. Pertusis.
Cara pemberian
Jadwal anjuran

: intramuskular
: 2, 4, 6, 18, bulan, 5 tahun, kemudian

booster setiap 10 tahun.

Campak(7)
Dapat diberikan tunggal atau kombinasi (campak, gondong dan rubella).
Cara pemberian
: subkutan
Jadwal anjuran
: usia 9 bulan dan diberikan lagi pada usia 6
tahun
Dosis
: 0,5 ml
HiB (Haemophylus Influenza tipe B) (7)
Vaksin ini diberikan untuk mencegah penyakit menigitis dan pneumonia
yang disebabkan oleh Haemophylus Influenza tipe B. Dapat diberikan

bersamaan dengan vaksin DPT


Cara pemberian
: intramuskular
Jadwal anjuran
: usia 2, 4, 6 bulan.
(7)
Pneumokokus
Terdapat 2 jenis vaksin di antaranya PPV (pnemucoccal polysaccharide
vaccine) dan PCV (pneumoccocal conjugated vaccine) untuk mencegah

terjadinya pneumonia, sepsis, otitis media akut, dan meningitis.


Cara pemberian
: intramuskular
Jadwal anjuran
: usia 2, 4, dan 6 bulan.
(7)
Rotavirus
Rotavirus merupakan virus penyebab gastroentritis dengan manifestasi
klinis berupa diare, demam ringan, dan muntah. Tersedia 3 jenis vaksin
yakni:
Vaksin monovalen diberikan secara oral.
Vaksin tetravalen

23

Vaksin pentavalen diberikan dalam 3 dosis per oral dengan jadwal


usia bayi 6-14 minggu, dengan interval dosis kedua dan ketiga 4

10 minggu dan harus selesai sebelum 32 minggu.


Influenza(7)
Anak yang direkomendasi vaksin ini ialah anak yang sehat berusia 6
bulan-2 tahun, anak dengan penyakit jantung kronis, diabetes penyakit
ginjal

kronis,

penyakit

saluran

napas

kronis,

pengguna

obat

immunosuppresan dan anak yang tinggal bersama di asrama, panti asuhan,


sekolah dan pesantren.
Cara pemberian
Jadwal anjuran

: intramuskular atau subkutan


: setia tahun pada usia >6 bulan. Imunisasi

pertama pada usia <9 bulan diberi 2 dosis dengan interval minimal

4 minggu.
Dosis
: <3 tahun 0,25 ml; >3 tahun 0,5ml
Varisela(7)
Vaksin yang digunakan adalah vaksin varicella zooster untuk mencegah
penyakit cacar air.
Cara pemberian
Jadwal anjuran

: subkutan
: diberikan pada usia 1 tahun, sebelum

masuk sekolah.
Dosis
: 0,5 ml
MMR (Measles, Mums, Rubella) (7)
Mums merupakan penyakit yang diakibatkan oleh virus dari famili
paramyxovirus. Virus ini terutama menyerang kelenjar getah bening dan
jaringan saraf. Rubella merupakan infeksi akut ringan yang disebabkan
oleh virus rubella. Penyebaran rubella melalui udara. Tujuan utama

imunisasi rubella adalah mencegah sindrom rubella congenital.


Cara pemberian
: intramuskular atau subkutan
Jadwal anjuran
: usia 12-18 bulan
Dosis
: 0,5 ml
(7)
Tifoid
Vaksin oral yang dibuat dari gallur Sallmonella typhi non pathogen yang
telah dilemahkan. Vaksin ini dapat menstimulasi produksi IgA sekretorik
didalam mukosa usus. Vaksin parenteral yang telah dibuat dari
polisakarida dan kuman Sallmonella typhi.
Cara pemberian
: oral atau parenteral
Jadwal anjuran
: usia 2-3 tahu

24

Hepatitis A(7)
Vaksin yang terbuat dari virus yang dimatikan. Vaksinasi hepatitis A
terutama diberikan pada anak yang tinggal di daerah endemis atau dengan
wabah periodik.
Cara pemberian
Jadwal anjuran

: intramuscular
: diberikan usia >2 tahun+booster antara 6

bulan 18 bulan setelah dosis pertama.


Human Papilloma Virus (HPV) (7)
Vaksin ini diberikan pada anak berusia diatas 10 tahun.
Cara pemberian
: intramuskular
Jadwal anjuran
: >10 tahun

25

Tabel Gejala klinis KIPI menurut vaksin(10)

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan
vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi ( imunisasi pasif).
Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon
imun seluler yang melawan agen penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif
menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksi
secara eksogen maupun transmisi plasenta dari ibu ke janin.
Vaksinasi yang merupakan imunisasi aktif ialah suatu tindakan yaang
dengan sengaja memberikan paparan antigen sari suatu patogen yang akan
menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya anak
yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika terpajan oleh antigen
serupa. Antigen yang diberikan dalam vaksinasi dibuat sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan sakit, namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi,
maupun sel memori.
Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan immunoglobulin yang
berasal dari plasma donor. Pemberian imunisasi pasif hanya memberikan
kekebalan sementara karena immunoglobulin yang diberikan akan dimetabolisme
oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan imunoglobulin yang lain
(IgM, IgA, IgE, IgD) memiliki waktu paruh yang lebih pendek. Oleh karena itu,
imunisasi yang rutin diberikan pada anak adalah imunisasi aktif yaitu vaksinasi.
Vaksin mengandung antigen yang sama atau bagian dari antigen yang
menyebabkan penyakit, tetapi antigen dalam vaksin adalah dalam keadaan sudah
dibunuh atau sangat lemah. Ketika mereka yang disuntikkan ke dalam jaringan
lemak atau otot, antigen vaksin tidak cukup kuat untuk menghasilkan gejala dan
tanda-tanda penyakit, tetapi cukup kuat bagi sistem imun untuk menghasilkan
antiboditerhadap mereka. Sel-sel memori yang menetap akan mencegah infeksi

26

ulang ketika mereka kembali lagi berhadapan dengan antigen penyebab penyakit
yang sama diwaktu-waktu yang akan datang. Dengan demikian, melalui vaksinasi,
anak-anak mengembangkan kekebalan tubuh terhadap penyakit yang mestinya
bisa dicegah. Namun perlu juga diingat bahwa karena vaksin berupa antigen,
walaupun sudah dilemahkan, jika daya tahan anak atau host sedang lemah,
mungkin bisa juga menyebabkan penyakit. Karena itu pastikan anak/host dalam
keadaan sehat ketika akan divaksinasi. Jika sedang demam atau sakit, sebaiknya
ditunda dulu untuk imunisasi/vaksinasi.
Manfaat utama dari imunisasi/ vaksinasi adalah menurunkan angka
kejadian penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit
infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (vaccine-preventable disease).
Imunisasi tidak hanya memberikan perlindungan pada individu melainkan
juga pada komunitas, terutama untuk penyakit yang ditularkan melalui manusia
(person-to-person). Jika suatu komunitas memiliki angka cakupan imunisasi
yang tinggi, komunitas tersebut memiliki imunitas yang tinggi pula, sehingga
kemungkinan

terjadinya

penyakit

yang

dapat

dicegah

dengan

imunisasi. Imunisasi juga bermanfaat mencegah epidemi pada generasi yang akan
datang. Selain itu, imunisasi dapat menghemat biaya kesehatan. Dengan
menurunnya angka kejadian penyakit, biaya kesehatan yang digunakan untuk
mengobati penyakit-penyakit tersebut pun akan berkurang.
KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1
bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat
mencapai masa 42 hari (misalnya pada arthritis kronik pasca vaksinasi rubella).
Menurut WHO Western Pacific (1999), ada 5 klasifikasi lapangan penyebab KIPI,
yaitu Reaksi vaksin, kesalahan Program/ Programatic error, reaksi suntikan,
kebetulan/ Co insidensi dan tidak diketahui.
KIPI

merupakan

risiko

program

imunisasi,

sehingga

untuk

mengantisipasinya diperlukan pengetahuan imunisasi yang mendalam bagi


petugas dan penerangan yang jelas kepada orang tua anak yang diimunisasi. Hal
yang perlu diperhatikan juga yaitu setiap vaksin yang dipasarkan dan
dipergunakan telah mengalami beberapa tahap uji klinik dan uji mutu yang sangat
27

ketat dan bertanggung jawab, sehingga dengan sangat pasti boleh dikatakan, tidak
ada vaksin yang berbahaya yang akan diberikan kepada anggota masyarakat dan
bayi kita. Meskipun demikian tetap saja ada kemungkinan efek samping yang
terjadi dengan pemberian vaksinasi atau imunisasi, meskipun hal ini sudah sangat
jarang terjadi untuk vaksin yang telah dibuat dengan cara pembuatan yang modern
dan sesuai dengan kriteria dan kaidah pembuatan vaksin sangat tinggi. Biasanya
yang terjadi adalah reaksi lokal yang akan berlangsung dalam waktu < 48 jam,
dan reaksi itu akan sembuh atau menghilang dengan sendirinya.
Bila terjadi KIPI vaksin, laporkan kepada dokter bersangkutan,untuk
mendapatkan perawatan dan pertolongan yang diperlukan bagi bayi atau anggota
keluarga kita. Rentang waktu yang diperkirakan adalah KIPI Vaksin, adalah
kejadian KIPI yang terjadi beberapa waktu segera setelah pemberian vaksinasi
atau imunisasi hingga beberapa minggu kemudian setelah kejadian pemberian
vaksinasi atau imunisasi.
Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan imunisasi yang baik akan
mengurangi KIPI. Selain itu juga diperlukan sosialisasi dan pemberian informasi
yang benar dan jelas dari tenaga kesehatan kepada masyarakat tentang manfaat
imunisasi, prosedur, serta reaksi yang mungkin timbul. Penanganan KIPI yang
baik dan komprehensif juga diperlukan dalam rangka menunjang keberhasilan
program imunisasi.

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Radji M. Vaksin DNA: Vaksin Generasi Keempat. Majalah Ilmu
Kefarmasian. 2009.
2. Mankester. Prinsip-Prinsip Dasar Vaksinasi. Vaksinasi. Jakarta,
Indonesia2008. p. 157-77.
3. Wismarini DM. Imunisasi. In: imunisasi S, editor. SKK imunisasi.
Jakarta2008. p. 1-11.
4. NIH. Understanding Vaccine. U.S.: Different type of vaccine; US Department of
Health and Human; 2008.. p21-31

5. Buana K. Buku Pedoman untuk Kader Imunisasi. Jakarta Selatan: Yayasan


Kusuma Buana; 1991. p5 .
6. Proverawati, Atikah. Perkembangan

Imunisasi,

Jadwal

Imunisasi,

Imunisasi Wajib, Imunisasi Anjuran. Imunisasi dan Vaksinasi. Nuha


Medika. Yogyakarta. 2010.
7. Sekartini R. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius;
2014. p129-33
8. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB,
Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di indonesia. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
9. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2014. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2014.
10. Dr. dr. Siti Fadilah Supari S, JP(K). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Imunisasi dan KIPI. 2005:p25-37.
11. Sari Rezeki dkk. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri, Vol. 2,
No. 1. Jakarta. Juni 2000.
12.
Badan POM RI. Klasifikasi KIPI. Buletin berita MESO, Vol 30,
No. 2. November 2012.

29

Anda mungkin juga menyukai