Anda di halaman 1dari 3

Amirah A.

N
--
Pada masa rasulullah SAW dan Khilafah dua sahabatnya yaitu Abu Bakr dan Umar tidak
ditemukan golongan syi’ah ini. Kemunculan golongan ini pada masa khilafah ‘Utsman bin
Affan, mereka adalah orang-orang yang sangat setia kepada Ali RA dan meyakini bahwa
Ali RA patut menjadi khalifah berdasarkan kepada nash al-Qur’an dan hadits rasul SAW
yang disampaikan secara jelas atau samar-samar.

Menurut mereka, seharusnya tongkat kepemimpinan dipegang oleh Ali dan keturunanya
dan tidak boleh lepas dari itu, jika lepas maka hal itu terjadi karena adanya kezaliman
dari golongan lain. Bahkan rasulullah SAW tidak mungkin melupakan hal tersebut.

Asal-Usul perkembangan Syi’ah


Banyak perbedaan tentang asal usul perkembangan golongan ini diantaranya:
1/Prof. Walhus mengatakan bahwa syi’ah muncul dan banyak terpengaruh oleh ajaran
Yahudi dan bukan Persia [Iran] bila disandarkan kepada pendirinya Abdullah bin Saba’
yang berasal dari Yahudi.

2/ Prof. Ahmad Amin mengatakan bahwa kemunculan syi’ah sudah ada sebelum orang
Persia [Iran] masuk Islam, akan tetapi belum ekstrim seperti sekarang ini. Mereka
berpendapat dan meyakini bahwa Ali RA orang yang paling pantas, paling cocok dan
lebih utama memegang tongkat kepemimpinan dibandingkan para sahabat atau
masyarakat umum lainnya.
Pendapat mereka berdasarkan kepada dua hal yaitu: (1) keperibadian beliau yang
Agung. (2) beliau adalah kerabat nabi yang paling dicintai oleh Nabi SAW. Kemudian
pemikiran dan aqidah mereka berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

3/ Prof. Dr. Abdul Halim mengatakan bahwa syi’ah tadinya hanya mengagumi Ali RA
sebagai seorang alim dan kerabat rasul SAW dank arena beliau memiliki keperibadian
yang sangat mulia, serta sayangnya rasulullah SAW terhadap beliau. Kemudian
muncullah pemikiran politik yang berkembang sejak pemerintahan khalifah Utsman RA,
dan berkembang pesat saat pembunuhan khalifah ‘Utsman bin Affan. Golongan syi’ah ini
adalah golongan politik tertua dalam Islam.

Dasar-Dasar Syi’ah

Imamah [kepemimpinan] adalah asas bagi Syi’ah dalam membentuk pemikirannya, dan
mereka memiliki 4 bagian yang berkaitan dengan Imamah ini yaitu:

1/ At-Ta’yyin wa At-Tanshih [penentuan dan penenjukan]


Imamah beti mereka termasuk rukun agama yang sangat penting, dan tidak mungkin
rasulullah SAW melupakan imamah ini. Bahkan rasulullah SAW telah menunjuk Ali RA
sebagai penggantinya .
Terdapat banyak hadits dan perkataan rasulullah SAW yang penunjuk Imam Ali RA
sebagai khalifah pengganti beliau baik secara langsung maupun tidak langsung.

2/ Al-‘Ishmah [terlindung dari perbuatan dosa]


Menurut pendapat mereka, bahwa imam dilindungi setiap langkahnya oleh Allah SWT
dan terjaga dari segala dosa seperti halnya para Nabi.
Bagi mereka, seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara hukum atas nama
Allah kecuali ia telah dijaga dari dosa kecil maupun besar, atau dipilih langsung oleh
seorang imam ma’shum, dimana hakim tersebut dianggap sebagai orang yang terjaga
pula dari dosa.

3/ Al-Mahdiyah wa Ar-Raj’iyah [ kebangkiran dan kebesan dari neraka]


Kebangkitan al-Mahdi adalah hal yang amat mereka yakini berasal dari keturunan Nabi
SAW. dan kebangkitan setelah kematian mereka yakini pula.
Menurut mereka nabi Muhammad SAW akan dibangkitkan kembali setelah munculnya al-
Mahdi, bukan hanya nabi Muhammad SAW saja yang akan bangkit akan tetapi Ali, al-
Hasan, al-Husain, Mu’awiyah dan Yazid akan dibangkit pula. Dimana mereka akan
menyiksa orang-orang yang telah merampas kekuasaan dan kepemimpinan mereka
didunia. Setelah itu mereka wafat dan dibangkitkan kembali pada hari kiamat.

4/ At-Taqiyah [Menyembunyikan kesyi’ahan seseorang]


Menyembunyikan aqidah mereka dalam selimut ketaqwaan dan ketaatan adalah senjata
yang mereka pilih demi mencapai tujuan mereka, mereka sebut langkah itu sebagai an-
Nizaam as-Sirri [system rahasia] .
Karena itulah imam syi’ah menyerukan kepada pengikutnya jika mereka berkumpul
bersama orang-orang sunni supaya menyembunyikan aqidah mereka dan mengikuti tata
cara sunni dalam shalat, puasa dan seterusnya.
Satu hal lagi yang mereka jadikan sebagai pemberkat atas langkah tersembunyi mereka
itu adalah keyakian mereka bahwa neraka diharamkan bagi orang syi’ah, hanya terkena
beberapa saat saja. Dan pemikiran ini sama dengan pemikiran Yahudi pada umumnya
dimana mereka membanggakan dirinya dan mengatakan bahwa mereka tidak akan
terkena api neraka kecuali beberapa hari.

Kemudian Syi’ah terpecah menjadi dua golongan, akibat pola piker mereka yang
berubah, ada golongan yang menjedi sangat ekstrim seperti Syi’ah as-Sabiah, Syi’ah al-
Mughiriyah dan Syi’ah al-Khitabiyah. Dan ada pula golongan syi’ah yang mederat dan
luwes seperti syi’ah al-Imamiyah dan syi’ah az-Zaidiyah.

Pada dasarnya golongan ini berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah serta memiliki
orientasi yang mirip dengan Fiqih Sunni, akan tetapi perasangka buruk mereka terhadap
golongan lain sangat mendominasi pemikiran mereka.

Aspek yang mendominasi fiqih syi’I yaitu :


1/ syi’ah tidak meyakini adanya ijma’ dan qiyas dan menolak usul dan furu’ fiqih.
Menurut mereka, hanya merekalah yang berhak menempatkan ushul dan furu sesuai
dengan pemikiran mereka.
2/ Agama Islam tidak bersumber dari akal, akal dan agama tidak dapat digabungkan.
Dan qiyas merupakan hal yang berhubungan dengan akal dan itu diharamkan dalam
fiqih mereka.
3/Hadits yang mereka ambil dan akui adalah hadits yang berasal dari imam-imam
mereka bukan dari masyarakat umum
3/Al-qur’an hanya boleh ditafsirkan sesuai dengan prinsip-prinsip akidah syi’ah.

Aspek-Aspek diatas membawa perbedaan yang mendasar antara fiqih Sunni dan fiqih
syi’I yaitu:
1/ fiqih syi’I memperbolehkan kawin mut’ah [kontrak] dimana hal tersebut adalah satu
satunya jalan pintas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Fiqih ini muncul akibat larangan khalifah Umar RA untuk nikah mut’ah. Sedangkan
mereka sangat membenci kepribadian dan tingkah laku Umar, karena itu mereka
menolak larangan ‘Umar RA dengan bersandarkan kepada Surah an-Nisa # 24:

“Maka istri-istri yang telah kalian nikmati [campuri] diantara mereka maka berikanlah
kepada mereka mahar [dengan sempurna]

Sedangkan dalam fiqih sunni tentu hal ini tidak diperbolehkan . Bahkan Syeikh
Muhammad as-Sais mengatakan : “sebenarnya penafsiran itu adalah penafsiran yang
teramat keliru, para jumhur telah menafsirkan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada
pernikahan resmi bukan mut’ah, setelah sebelumnya dijelaskan tentang wanita-wanita
yang dilarang untuk dinikahi karena mahram.”

Patut diingat bahwa pernikahan mut’ah memang pernah diperbolehkan pada masa awal
Islam karena situasi dan keadaan saat itu. Kemudian rasulullah SAW melarangnya.
Larangan itu sudah menjadi ijma’ para ulama.

Ibnu Abbas sendiri menarik perkataannya yang membolehkan nikah mut’ah ketika
mengetahui larangan Rasulullah SAW dan ijma’ para sahabat .

2/ Dalam hal mawaris mereka lebih mengutamakan istri dan ayah/ibu ketimbang anak
prempuan, dan lebih mendahulukan kerabat dari pada ahli waris yang ‘ashabah. Menurut
mereka putra paman sekandung lebih utama dari pada paman seayah. Artinya dalam hal
ini mereka lebih mengutamakan Ali RA mendapatkan warisan dari Rasulullah SAW
ketimbang al-Abbas yang jelas bukan sekandung.

Sekian, wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai