Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upaya kesehatan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut saran kesehatan.
Salah satu sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan adalah
rumah sakit. Menurut Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakn
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah
pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
(Presiden Republik Indonesia, 2009)
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahlan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai (BMHP) yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan kefarmasian merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan
masalah terkait obat. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi 2 (dua)
kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manjerial berupa pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan kegiatan farmasi klinik
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)
Biaya yang diserap untuk penyediaan obat merupakan komponen terbesar
dari pengelolaan rumah sakit. Di banyak negara berkembang belanja obat di
rumah sakit dapat menyerap sekitar 40-50% biaya keseluruhan rumah sakit.
Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar tentunya harus dikelola dengan
efektif dan efisien, hal ini mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak
selalu sesuai dengan kebutuhan (Direktorat Jenderal bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2008).

Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat


kesehatan dan bahan medis habis pakai di rumah sakit yang menjamin seluruh
rangkaian kegiatan perbekalan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas,
manfaat dan keamanannya. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi
kegiatan pelayanan kefarmasian (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2014).
Instalasi farmasi harus bertanggung jawab terhadap pengadaan, distribusi dan
pengawasan seluruh produk yang digunakan di RS (termasuk perbekalan
kesehatan dan produk diagnostik), baik untuk pasien rawat jalan maupun pasien
rawat inap. Menurut American Hospital Association (2011), 99,5% rumash sakit
di negara tersebut mengalami satu atau lebih kekurangan obat dalam enam bulan
terakhir (Januari-Juni 2011). Dianatar rumah sakit yang mengalami kekurangan
obat tersebut, hampir setengahnya mengalami kekurangan sebanyak 21 atau lebih
obat. 82% dari RS menunda perawatan pasien akibat kekurangan obat dan lebih
dari setengahnya tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan resep yang
diberikan. Selain itu sebagian besar rumah sakit tersebut melaporkan
meningkatnya biaya obat sebagai akibat kekurangan obat (Fadhila, 2013).
Masalah out of stock yang dialami oleh kebanyak rumah sakit tersebut
mengakibatkan sering dilakukannya pemesanan obat secara cito, artinya
pemesanan dilakukan insidental dan harus segera dikirim saat itu juga. Namun
sering terjadi keterlambatan pengiriman, sehingga terjadi pembelian obat di
apotek luar RS. Hal ini tentu menjadi sebuah kerugian, karena obat yang dibeli
dari apotek luar harganya lebih mahal dibandingkan membeli ke distributor.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap perencanaan. Setelah
dilakukan perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi untuk periode yang akan
datang, biasanya akan diperoleh jumlah kebutuhan, dan idealnya akan diikuti oleh
evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan dengan melakukan analisa nilai ABC, untuk

evaluasi aspek ekonomi, pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek


medik/terapi, dan kombinasi ABC dan VEN. Dengan melakukan evaluasi
menggunakan metode-metode tersebut diatas diharapkan menjadi suatu solusi
untuk meningkatkan pengendalian persediaan di RSUP Fatmawati sehingga obat
dapat disediakan sudah tepat sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan dana
yang tersedia.
1.2 Tujuan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan oleh Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan RSUP Fatmawati
bertujuan untuk:
a. Mengetahui gambaran pengendalian persediaan dengan Metode Analisis ABC
VEN di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati periode Mei
September 2015.
b. Mengetahui pengelompokkan obat yang menjadi kelompok A, Kelompok B,
dan kelompok C berdasarkan nilai investasinya di RSUP Fatmawati periode
Mei September 2015.
c. Mengetahui pengelompokkan obat yang menjadi kelompok vital (V),
Kelompok esensial (E), dan kelompok non-esensial (N) di RSUP Fatmawati
periode Mei September 2015.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu


kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Apoteker
bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai di rumah sakit yang menjamin seluruh rangkaian
kegiatan perbekalan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan
keamanannya. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan
dan penarikan, pengendalian dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan
pelayanan kefarmasian. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan
menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali
biaya.
2.1 Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat
kesehtana dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai ini berdasarkan
(Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014):
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. Standar sediaan famasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
c.
d.
e.
f.
g.
h.

telah ditetapkan
Pola penyakit
Efektifitas dan keamanan
Pengobatan berbasis bukti
Mutu
Harga
Ketersediaan di pasaran

Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah perbekalan farmasi benarbenar diperlukan sesuai dengan jumlah pasien/kunjungan dan pola penyakit di
rumah sakit. Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang baik yaitu meliputi:
a. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari
kesamaan jenis

b. Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi


mempunyai efek yang lebih baik dibanding obat tunggal.
c. Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan
(drugs of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, formularium nasional,
formularium RS, formularium jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, dan
lain-lain. Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah sakit dapat berdasarkan
dari data pemakaian oleh pemakai, standar ISO, daftar harga alat, daftar harga alat
kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Binfar dan Alkes, serta spesifikasi yang
ditetapkan oleh rumah sakit.
2.2 Kompilasi Penggunaan
Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi berfungsi untuk mengetahui
penggunaan bulanan masing-masing jenis perbekalan farmasi di unit pelayanan
selama setahun dan sebagai data pembanding stok optimum. Informasi yang
didapat dari kompilasi penggunaan perbekalan farmasi adalah:
a. Jumlah penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi pada masing-masing unit
pelayanan
b. Persentase penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi terhadap total
penggunaan setahun seluruh unit pelayanan
c. Penggunaan rata-rata untuk setiap jenis perbekalan farmasi.
2.3 Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan keguatan untuk menentukan jumlah dan
periode ppengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan hasil kegiatan, pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriterian
tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
diseesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).

Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan melalui


beberapa metoda:
a. Metoda konsumsi
Perhitungan kebutuhan dengan metode konsumsi didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian
dan koreksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menghitung
jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah:
1) Pengumpulan dan pengolahan data
2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi
4) Penyesuaian jumah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana
b. Metoda Morbiditas/Epidemiologi
Dinamakan metode morbiditas karena dasar perhitungan adalah jumlah
kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan
(morbidity load) yang harus dilayani. Metoda morbiditas adalah oerhitungan
kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan
kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam metoda ini
adalah:
1) Menentukan jumlah pasien yang akan dilayani
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit
3) Menyediakan formularium/standar/pedoman perbekalan farmasi
4) Menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi
5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia
Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas disesuaikan dengan anggaran
yang tersedia. Acuan yang digunakan yaitu:
1) DOEN, Formularium rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, dan kebijakan
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

setempat yang berlaku


Data catatan medik/rekam medik
Anggaran yang tersedia
Penetapan prioritas
Pola penyakit
Sisa persediaan
Data penggunaan periode yang lalu
Rencana pengembangan

2.4 Evaluasi Perencanaan


Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi untuk tahun
yang akan datang, biasanya akan diperoleh jumlah kebutuhan, dan idealnya akan

diikuti dengan evaluasi. Cara/tehnik evaluasi yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Analisa nilai ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi
b. Pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi
c. Kombinasi ABC dan VEN
d. Revisi daftar perbekalan farmasI
1) Analisa ABC
Alokasi anggaran ternyata didominasi hanya oleh sebagian kecil atau beberapa
jenis perbekalan farmsi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi dapat emakan
anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan
analisis ABC, jenis-jenis perbekalan farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk
kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Evaluasi ini misalnya dengan
mengoreksi kembali apakah penggunaannya memang banyak atau apakah ada
alternatif sediaan lain yang lebiih efisiensi biaya (misal merek dagang lain,
bentuk sediaan lain, dsb). Evaluasi terhadap jenis-jenis perbekalan farmasi
yang menyerap biaya terbanyak juga lebih efektif dibandingkan evalusai
terhadap perbekalan farmasi yang relatif memerlukan anggaran sedikit. ABC
bukan

singkatan

melainkan

suatu

penamaan

yang

menunjukkan

peringkat/rangking dimana urutan dimulai dengan yang terbaik/terbanyak.


Prosedur:
Prinsip utama adalah dengan menempatkan jenis-jenis perbekalan farmasi ke
dalam suatu urutan, dimulai dengan jenis yang memakan anggaran/rupiah
terbanyak. Urutan langkah sebagai berikut:
a. Kumpulkan kebutuhan perbekalan farmasi yang diperoleh dari salah satu
metode perencanaan, daftar harga perbekalan farmasi, dan biaya yang
diperlukan untuk tiap nama dagang. Kelompokkan kedalam jenisjenis/kategori, dan jumlahkan biaya per jenis/kategori perbekalan farmasi
b. Jumlahkan anggaran total, hitung masing-masing prosentase jenis
perbekalan farmasi terhadap anggaran total
c. Urutkan kembali jenis-jenis perbekalan farmasi diatas, mulai dengan jenis
yang memakan prosentase biaya terbanyak
d. Hitung prosentase kumulatif, dimulai dengan urutan 1 dan seterusnya
e. Identifikasi jenis perbekalan farmasi apa yang menyerap anggaran 70%
anggaran total.
Analisa ABC merupakan pengelompokan item obat berdasarkan kebutuhan
dana dimana:

a. Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah rencana


pengadaannya menunjukan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana
obat keseluruhan dengan jumlah sekitar 20% item.
b. Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20% dari jumlah
dana obat keseluruhan dengan jumlah sekitar 30% item.
c. Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang jumah rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan danan sekitar 10% dari jumlah
dana obat keseluruhan dengan jumlah sekitar 50% item.
2) Analisa VEN
Berbeda dengan istilah ABC yang menunjukkan urutan, VEN adalah
singkatan dari V=vital, E=esensial, dan N = non-esensial. Jaid melakukan
analisis VEN artinya menentukan prioritas kebutuhan suatu perbekalan
farmasi. Dengan kata lain, menentukan apakah suatu jenis perbekalan farmasi
termsuk vital (harus tersedia), esensial (perlu tersedia), atau non-esensial
(tidak prioritas untuk disediakan).
Kriteria VEN
Kriteria yang umum adalah perbekalan farmasi dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Vital

(V)

bila

perbekalan

farmasi

tersebut

diperlukan

untuk

menyelamatkan kehidupan (life saving drugs) dan bila tidak tersedia akan
meningkatkan resiko kematian.
b. Esensial (E) bila perbekalan farmasi tersebut terbukti efektif untuk
menyembuhkan penyakit, atau mengurangi penderitaan pasien
c. Non-esensial (N) meliputi aneka ragam perbekalan farmasi yang
digunakan untuk penyakit yang sembuh sendiri (self-limiting disease),
perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan farmsi yang
mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding perbekalan
farmasi sejenis lainnya. Kelompok N merupakan jenis obat-obat
penunjang yaitu obat yang bekerjanya ringan dn biasa dipergunakan untuk
menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan.
3) Analisa Kombinasi ABC dan VEN
Jenis perbekalan farmasi yang termasuk kategori A dari analisis ABC adalah
benar-benar jenis perbekalan farmasi yang diperlukan untuk penanggulangan
penyakit terbanyak. Dengan kata lain, statusnya harus E dan sebagian V dari
VEN. Sebaliknya, jenis perbekalan farmasi dengan status N harusnya masuk

kategori C. Metoda gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan


obat. Mekanismenya adalah:
a) Obat yang masuk kategori NC menjadi prioritas pertama untuk dikurangi
atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih kurang, maka
obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat yang masuk
kategori NA menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah dilakukan dengan
pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang lakukan langkah
sleanjutnya.
b) Pendekatannya sama dengan pada saat pengurangan obat pad kriteria NC,
NB, NA dimulai dengan pengurangan obat kategori EC, EB dan EA.
BAB 3
METODE PENGKAJIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati yang
beralamat di Jalan RS Fatmawati Cilandak Jakarta Selatan. Penelitian ini
dilakukan pada bulan September Oktober 2015.
3.2 Pengumpulan Data
3.2.1 Pengelolaan Obat
Data sekunder diperoleh dari telaah dokumen secara retrospektif. Data yang
digunakan adalah data yang berasal dari:
a. Penjualan Mei September 2015
b. Penerimaan Mei Oktober 2015
c. Data Distribusi Mei September 2015

10

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisa ABC Penjualan Obat di RSUP Fatmawati Bulan Mei
September 2015.
Menurut Sabarguna (2005), ciri logistik/persediaan rumah sakit, yaitu spesifik
(obat, alkes, film, rontgen, dan lain-lain), harga yang variatif dan jumlah item
yang sangat banyak. Setiap jenis obat memiliki karakteristik yang berbeda baik
dari jumlah pemakaian maupun harga, yang keduanya menentukan nilai investasi
obat. Sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda terhadap setiap jenis obat
terutama pada obat yang nilai investasinya tinggi. Hal ini sesuai menurut Heizer
dan Reider (2010), apabila bahan diperlakukan sama rata, maka tindakan tersebut
terkadang akan merugikan perusahaan karena terdapat perbedaan nilai mata uang
dari bahan yang dipergunakan. Oleh sebab itu diperlukan pengelompokkan obat
berdasarkan nilai investasinya agar dapat menentukkan prioritas persediaan.
Untuk menentukkan prioritas persediaan cara yang paling umum digunakan
adalah dengan analisis ABC.
Menurut Assauri (2004), metode ABC ini menggambarkan Pareto Anaysis,
yang menekankan bahwa sebagian kecil dari jenis-jenis bahan yang terdapat
dalam

persediaan mempunyai nilai penggunaan yang cukup besar yang

mencakup lebih daripada 60% dari seluruh bahan yang terdapat dalam persediaan.
Analisa ABC dilakukan terhadap semua jenis obat yang digunakan di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Fatmawati periode Mei September 2015. Jumlah

11

dalam analisis ABC merupakan pemakaian rata-rata masing-masing obat pada


bulan Mei September 2015. Harga yang digunakan dalam analisis ABC
merupakan harga pokok obat pada bulan Oktober 2015. Biaya sendiri merupakan
hasil perkalian antara jumlah dan harga. Hasil dari analisa ABC terhadap obat di
IFRS Fatmawati dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari

hasil

analisis

tersebut

dapat

diringkas

untuk

mengetahui

pengelompokkannya sebagaimana tabel berikut ini:


Tabel 4.1 Pengelompokkan Obat Dengan Analisa ABC Berdasarkan Jumlah
Item Obat dan Besarnya Biaya Yang Dikeluarkan.

No

Kelompo
k

Jumlah
Item

Biaya (Rp)

1
2
3

A
B
C

94
171
1267

6.242.949.657
1.787.873.957
904.949.364

Persentas
e Item
(%)
6,14
11,16
82,70

Jumlah

1532

8.935.772.978

100

Persentase
Biaya (%)
69,86
20,01
10,13
100

Berdasarkan analisis ABC tersebut terlihat bahwa jumlah obat yang termasuk
kelompok A sebanyak 94 item (6,14 %) dari total 1532 item obat dengan biaya
sebesar Rp 6.242.949.657,- (69,86%), sedangkan yang termasuk kelompok B
sebanyak 171 item (11,16 %) dengan biaya sebesar Rp 1.787.873.957,- (20,01 %),
dan yang termasuk kelompok C sebanyak 1267 item obat (82,70 %) dengan biaya
sebesar Rp 904.949.364,- (10,13%).
Kelompok A merupakan barang dengan jumlah fisik kecil dengan nilai
investasi yang besar sehingga obat tersebut harus memiliki kontrol persediaan
yang lebih ketat, pencatatan harus lebih akurat serta frekuensi pemeriksaan barang
lebih sering. Pengawasan fisik dapat dilakukan lebih ketat dan secara periodik
setiap satu bulan. Kelompok B merupakan barang dengan jumlah fisik dan nilai
investasi yang sedang, sehingga obat yang tergolong kelompok B memerlukan
perhatian yang cukup penting setelah kelompok A. Sedangkan kelompok C

12

merupakan barang dengan jumlah fisik yang besar namun nilai investasi yang
kecil.
Penggunaan analisis ABC dalam perencanaan bertujuan untuk melakukan
identifikasi obat menurut nilai pemakaian dan nilai investasi, sehingga manajemen
yang efektif dapat berkonsentrasi pada obat lainnya yang jumlahnya sedikit tetapi
mempunyai nilai investasi yang besar. Selain itu, analisis ABC juga dapat
memfokuskan perhatian manajemen terhadap penentuan jenis barang yang paling
penting dan perlu diprioritaskan dalam persediaan. Tanpa analisis ABC
dimungkinkan akan dilakukan upaya besar untuk mencoba mengatur semua obat
atau sediaan farmasi dengan prioritas yang sama sehingga menjadi tidak efektif
secara keseluruhan. Dengan pengelompokkan ini, diharapkan IFRS mampu
mengendalikan sekitar 80% - 95% dari nilai obat yang digunakan di RS.
4.1 Hasil Analisa VEN Penjualan Obat di RSUP Fatmawati Bulan Mei
September 2015.
Berbeda dengan analisa ABC, analisa VEN dilakukan untuk menentukkan
prioritas kebutuhan suatu perbekalan farmasi berdasarkan sifatnya. Dengan kata
lain, menentukan apakah suatu jenis perbekalan farmasi termasuk vital (harus
tersedia), esensial (perlu tersedia), atau non esensial (tidak prioritas untuk
disediakan).
Hasil analisa VEN pada penjualan obat di RSUP Fatmawati peride Mei
September 2015 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2 Pengelompokkan Obat Dengan Analisa VEN
No

Kelompok

Jumlah Item

1
2
3

V
E
N
Jumlah

139
1310
83
1532

Persentase
Item (%)
9,07
85,51
5,42
100

13

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa 9,07 % item obat masuk
kedalam kategori V (vital), 85,51% masuk kedalam kategori E (esensial) dan
sisanya, 5,42% , masuk kedalam kategori N (non-esensial). Pengelompokkan
kategori VEN ditentukkan berdasarkan sifat obat itu sendiri. Bila obat tersebut
masuk kedalam trolley emergency di depo-depo farmasi di RSUP Fatmawati maka
obat tersebut akan masuk kedalam kategori V (vital), yaitu perbekalan farmasi
yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan (life saving drugs) dan bila
tidak tersedia akan meningkatkan resiko kematian. Contoh obat kategori V adalah
epinefrin, diazepam, digoxin dan lidocain yang terdapat pada trolley emergency
depo Bougenville ruang ICCU. Obat dikelompokkan dalan kategori E apabila
obat tersebut terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit atau mengurangi
penderitaan pasien, contohnya adalah metformin, glibenklamid dan kaptopril. Dan
sisanya masuk kedalam kategori N (non-esensial) yang merupakan aneka ragam
perbekalan farmasi yang digunakan untuk penyakit yang dapat sembuh dengan
sendirinya, contohnya adalah suplemen dan vitamin.
4.3 Hasil Analisa ABC VEN Penjualan Obat di RSUP Fatmawati Bulan Mei
September 2015.
Analisa

kombinasi

antara ABC-VEN

biasanya

digunakan

untuk

melakukan pengurangan obat. Analisa ABC-VEN juga digunakan untuk


menetapkan prioritas untuk pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak
sesuai dengan kebutuhan. Hasil analisa ABC-VEN dapat dilihat pada Lampiran 1.
Mekanisme pengurangan obat berdasarkan prioritasnya dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
A

VA

VB

VC

EA

EB

EC

NA

NB

NC

Obat yang masuk kategori NC menjadi prioritas pertama untuk dikurangi atau
dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih kurang, maka obat kategori

14

NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat yang masuk kategori NA menjadi


prioritas berikutnya. Jika setelah dilakukan dengan pendekatan ini dana yang
tersedia masih juga kurang lakukan langkah sleanjutnya. Pendekatannya sama
dengan pada saat pengurangan obat pada kriteria NC, NB, NA dimulai dengan
pengurangan obat kategori EC, EB dan EA.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
a. Dengan menggunakan analisis ABC dapat dikelompokkan obat menurut
nilai pemakaian dan nilai investasinya, sehingga lebih memudahkan di
dalam perencanaan dan pengendalian persediaannya.
b. Berdasarkan pemakaian obat di RSUP Fatmawati Periode Mei
September 2015 di dapatkan hasil kelompok A sebanyak 94 item (6,14 %)
dari total 1532 item obat dengan biaya sebesar Rp 6.242.949.657,(69,86%), sedangkan yang termasuk kelompok B sebanyak 171 item
(11,16 %) dengan biaya sebesar Rp 1.787.873.957,- (20,01 %), dan yang
termasuk kelompok C sebanyak 1267 item obat (82,70 %) dengan biaya
sebesar Rp 904.949.364,- (10,13%).
c. Berdasarkan pemakaian obat di RSUP Fatmawati Periode Mei
September 2015 di dapatkan hasil 9,07 % item obat masuk kedalam
kategori V (vital), 85,51% masuk kedalam kategori E (esensial) dan
sisanya, 5,42% , masuk kedalam kategori N (non-esensial).
5.2 Saran
a. Perlu adanya penelitian perencanaan obat menggunakan metode kombinasi
ABC VEN dengan waktu pengamatan selama satu tahun, supaya
didapatkan angka yang mendekati sebenarnya, sehingga dampak terhadap
nilai persediaan dan efisiensinya dapat lebih diketahui.

15

16

LAMPIRA
N

Anda mungkin juga menyukai