Anda di halaman 1dari 42

Laporan

F.6 Upaya Pengobatan Dasar

ASMA BRONKIAL PADA ANAK

Pendamping
dr. Dwi Retno S
Disusun Oleh
dr. Dianing Pratiwi
DINAS KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
UPTD PUSKESMAS AMBARAWA
KABUPATEN SEMARANG
2015

BAB I
PRESENTASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama

: An. A

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 4 tahun

Alamat

: Lodoyong, Ambarawa

Tanggal pemeriksaan

: 10 Juli 2015

Diagnosis

: Pneumonia ringan

B. Anamnesis (Heteroanamnesis)

Keluhan utama
Batuk

Riwayat penyakit sekarang


Anak datang dengan keluhan batuk sejak 2 hari sebelumnya. Batuk tidak
disertai suara ngik. Batuk siang dan malam, tetapi malam lebih banyak.
Batuk disertai dahak namun sulit untuk mengelurkan dahak. Dahak
berwarna putih, darah (-). Sesak dikatakan ada, sedikit, tidak membuat
pasien harus menarik napas dalam, tetapi ada pergerakan hidung saat
bernapas. Pilek (-). Selain itu pasien juga demam nglemeng. Demam naik
turun, nafsu makan pasien berkurang hanya sedikit, pasien juga tidak
seaktif biasanya. Pasien baru saja masuk TK 3 hari yang lalu. BAB (+)
dalam batas normal, frekuensi 1 kali/hari, konsistensi lembek. BAK (+)
warna kuning jernih. Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang
sama.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami batuk sebelumnya, dengan pengobatan di
Puskesmas pasien membaik.

Riwayat Penyakit Keluarga


Batuk lama dalam keluarga disangkal.

Riwayat asma atau alergi (+) pada ibu pasien

Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat.
Riwayat kehamilan

Ibu rutin mengkonsumsi obat penambah darah yang didapat dari bidan.
Berat badan ibu bertambah. Pasien merupakan anak kedua. Selama
mengandung pasien, ibunya rajin memeriksakan kehamilan di bidan,
hampir setiap bulan, >4 kali. Selama hamil, ibu mengaku tidak pernah
sakit, tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan, maupun jamu-jamuan.
Riwayat persalinan

Pasien lahir spontan ditolong oleh bidan, cukup bulan. Menurut ibu
pasien, pasien langsung menangis dengan berat lahir 3200 gram. IMD (-)
Riwayat imunisasi

Ibu pasien mengaku rajin membawa anaknya ke bidan untuk memperoleh


imunisasi sesuai jadwal.
Riwayat nutrisi

Pasien diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan.

Pasien diberikan MPASI sesuai anjuran bidan dan disapih saat usia 2
tahun.

Pasien makan sehari 3x, jumlah cukup, tidak menolak-nolak


makanan, makanan bervariasi.

Riwayat sosial
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan satu kakaknya. Bapak
pasien seorang perokok berat dan mengaku sering merokok di dekat
anaknya. Ibu pasien memasak menggunakan kompor gas dirumahnya.

C. Pemeriksaan Fisik

Status generalis
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital
HR

: 110 x/menit

RR

: 46 x/menit

Suhu : 37,60 C

Penilaian pertumbuhan
Berat badan

: 16 kg

Tinggi badan

: 102 cm

Status gizi
Weight-for-age: -2 < z < 0
Height-for-age: -2 < z < 0
Weight-for-height: 0 < z < 2

Pemeriksaan fisik umum


Kepala
o Bentuk kepala: normocephali,Ubun ubun besar sudah menutup,
kelainan (-),
o Mata: konjungtiva anemis (-), sklera ikterus (-), pupil isokor,
Refleks cahaya +/+, miosis (-), midriasis (-).
o Telinga: bentuk normal, otore (-). Nyeri tekan tragus (-/-),
membran timpani intak, cone of light (+)
o Hidung: pernapasan cuping hidung (+), rinore (-), conchae tidak
edema dan tidak hiperemis, polip tidak ada, septum nasi tidak
deviasi.
o Mulut: Mukosa sianosis (-), mukosa kering (+) pucat(-), tonsil
tidak hipertrofi.
Leher
o Kaku kuduk (-), pembesaran kel. Tiroid (-) dan pembesaran
KGB (-)

Thoraks
o Inspeksi
retraksi

:gerakan

dinding

dada

simetris,

suprasternal

(+)

ringan,

retraksi

interkosta (+) ringan, retraksi subcosta (-), ictus


cordis tidak tampak.
o Palpasi

:tidak ada nyeri tekan, ictus cordis

tidak teraba.
o Perkusi

:sonor +/+, batas jantung normal.

o Auskultasi :vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing


-/-, stridor (-), S1S2 murni, reguler, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen
o Inspeksi

: distensi (-), pelebaran vena (-), massa (-)

o Auskultasi : bising usus normal


o Perkusi

: timpani (+) diseluruh lapang abdomen

o Palpasi

: massa (-), supel (+), nyeritekan (-), hepar tidak

teraba, lien tidak teraba.


Ekstremitas
Ekstremitas atas

Ekstremitas bawah

Hangat

+/+

+/+

Pucat

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

D. Usulan Pemeriksaan Penunjang


Kultur
Darah lengkap
Spirometri
Mantoux
Foto toraks
CRP
E. Diagnosis Kerja
Susp pneumonia ringan

F. Diagnosis Banding
Asma bronkial
TB
Bronkiolitis
Bronkitis
Bronkopneumonia
G. Terapi
Edukasi ibu mengenai penyakitnya dan kemungkinan diagnosis lain.
Memotivasi agar anak makan dan minum hangat.
Edukasi ibu mengenai kebiasaan merokok ayahnya.
Syr Co-trimoxazole 2 x Cth.
Paracetamol 4 tab, Bromhexine 4 tab, dijadikan 10 pulveres, 3 x 1

Pulv.
Kontrol 3 hari.

H. Follow Up
Tanggal/Jam

Perjalanan Penyakit

Pengobatan

yang

diberikan
21/7/15

S: Batuk, demam (-), sesak Syr Co-trimoxazole 2 x

Cth
O: CM, KU baik, , T: 37,3, Paracetamol

tab,

RR: 43x/mnt

tab,

Bromhexine

Ass: Pneumonia ringan

dijadikan 10 pulveres, 3 x
1 Pulv

24/7/15

S: Batuk masih, demam (-), Salbutamol 2 mg 8 tab,


sesak kadang ada saat batuk. dijadikan

10

pulveres,

Batuk terutama pada malam diberikan 1 Pulv prn.


Edukasi ibu bahwa anak
hari.
O: CM, KU baik, RR menderita alergi berupa
42x/mnt
asma.
Ass: Asma bronkial e.c. Anak
dingin

harus

terus

beraktivitas agar paru-paru


tetap mengembang, sebisa
mungkin,

tetapi

jangan

paksa anak jika muncul


serangan
Jaga anak dari paparan
pemicu, dalam hal ini
dingin. Tetapi perlu pula
dihindari

pemicu

lain

seperti debu.

J. Prognosis
Qua Ad Vitam
Qua Ad Fungsionam
Qua Ad Sanam

: dubia ad bonam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMONIA DAN ASMA BRONKIAL

A. Pneumonia
1.Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia
didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal
bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
sakus alveolaris, dan alveoli.
2.Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak
balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama pneumonia.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak 5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang.
3.Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
9

aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.
4.Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut:
Klasifikasi

Anak usia < 2 bulan

Pneumonia

Kesadaran turun,

Sangat Berat

letargis
Tidak mau menetek /
minum
Kejang

Anak usia 2 bulan 5 tahun


Kesadaran turun, letargis
Tidak mau minum
Kejang
Sianosis
Malnutrisi

Demam atau
hipotermia
Bradipnea atau
Pneumonia
Berat

pernapasan ireguler
Napas cepat

Retraksi (+)

Retraksi yang berat

Masih dapat minum


Sianosis (-)

10

Takipnea

Pneumonia
Ringan

Retraksi (-)

Tabel 1. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.

Sedangkan dalam

MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa

pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan
pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.
Diagnosis Klinis

Klasifikasi (MTBS)

Pneumonia berat (rawat inap) :


Penyakit sangat berat

tanpa gejala hipoksemia

(Pneumonia berat)

dengan gejala hipoksemia


dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan)

Pneumonia

Infeksi respiratorik akut atas

Batuk : bukan pneumonis

Tabel 2. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia


(MTBS).
5.Patofisiologi
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas
dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1.Inhalasi langsung dari udara
2.Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3.Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4.Penyebaran secara hematogen.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan

11

jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk


suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan

jarak

yang

harus

ditempuh

oleh

oksigen

dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling


berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.
c. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan

12

fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis


sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus
masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
6. Patofisiologi

Gambar 1 Algoritma Patofisiologi Pneumonia

7.Gejala Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang
berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga

13

memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi


gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
-

Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.
8.Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai

berikut :
-

Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan


pernapasan cuping hidung.

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar

14

(tergantung

dari

mekanisme

terjadinya).

Crackles

dihasilkan

oleh

gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas


kecil yang tiba-tiba terbuka.
9.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2
dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.00040.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau
darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto
rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa
tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

15

Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


-

Infiltrat

interstisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi


-

Infiltrat

alveolar,

merupakan

konsolidasi

paru

dengan

air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan


pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
-

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua


paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran

foto

rontgen

toraks

dapat

membantu

mengarahkan

kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata


dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

C-Reactive Protein (CRP)


16

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan


antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi
bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri
profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi
antibiotik.

Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru
10. Penegakan Diagnosis
Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Umur anak

Frekuensi pernapasan normal

<2 bulan

30-50x/menit

2-12 bulan

25-40x/menit

12 bulan-5 tahun

20-30x/menit

Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut :

Kepala terangguk angguk

Pernapasan cuping hidung

17

Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,


konsolidasi, dll)

Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :


- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 5 tahun : > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
-

Suara merintih (grunting) pada bayi muda

Pada auskultasi terdengar :


o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial

Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :


-Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
-Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis
-Distres pernapasan berat
11.

Diagnosis Banding

Diagnosis
Bronkiolitis

Gejala klinis yang ditemukan


-

episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun


hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak
ada respon dengan bronkodilator

18

Tuberculosis
(TB)

riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa


uji tuberculin positif (10 mm, pada keadaan imunosupresi

5 mm)
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
batuk kronis ( 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul,
lutut, falang.

Asma

riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan

batuk dan pilek


hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator

12. Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.

Bayi

Anak

Saturasi oksigen < 92%, sianosis

Saturasi oksigen <92%, sianosis

Frekuensi napas > 60 kali/menit

Frekuensi napas > 50 kali/menit

Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan


atau grunting
Tidak mau minum/menetek

Grunting

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Terdapat tanda dehidrasi

19

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia
yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena
tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan
pengalaman empiris yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan
berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg
TMP/kgBB/kali)

kali

sehari

selama

hari

atau

Amoksisilin

(25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan


selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol
ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak
memburuk, tidak bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali :
-Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari

20

-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti
ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
-Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai
pedoman di bawah ini.

Pneumonia rawat inap


Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat)
maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM
atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian).
Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu.
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar,
harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup
untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%

21

Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat

Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak


dengan pneumonia

Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien


(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)

Nebulisasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk


memperbaiki mucocilliary clearance

Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap


4 jam sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen

Nutrisi
-Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus
dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau
intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan
pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil.
Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang terkecil.
-

Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami


overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi
hormon antidiuretik

Kriteria pulang:
-

Gejala dan tanda pneumonia menghilang


- Asupan peroral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan
kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

13.

Komplikasi

Komplikasi dari pneumonia adalah :

Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps


paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.

22

Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga

pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.


Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
Infeksi sitemik
Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

14.

Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi

didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang


terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.

15.

Pencegahan
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita

atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya


bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup
sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang
cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan
diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali,

23

namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2
bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan
cukup 1 kali.
B. Asma Bronkial
1. Definisi Asma
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai
berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
2. Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan.
1.

Faktor genetik
a.

Hipereaktivitas
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan

b.

Atopi/alergi bronkus
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Risiko orang tua dengan
asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih
tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu
atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu
kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko
menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika
kedua orang tua asmatisk.

24

Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan


bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma
dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila
anak alergi terhadap tungau debu rumah.
c.

Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

d.

Jenis Kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin
sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin
terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi
respon bernapas.
Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan
tidak ada

perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan

perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan


perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber lakilaki dan tidak pada perempuan.
e.

Ras/etnik
Ras kulit hitam menpunyai prevalensi lebih tinggi untuk terjadi asma
dibandingkan dengan ras kulit putih di Amerika Serikat, namun hal
ini juga dicetuskan oleh kondisi dari sosioekonomi, paparan terhadap
alergen serta faktor-faktor diet, dan tidak hanya karena ras/etnik saja.

2. Faktor lingkungan
a.

Alergen inhalan, yaitu sesuatu yang masuk melalui


saluran pernapasan, terdiri dari :
-

Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,


alternaria/jamur dll)

Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)

25

Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya


tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang
sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I.
Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm,
terdapat

di

tempat-tempat

atau

benda-benda

yang

banyak

mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok
kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga
dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama.
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster,
burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab
asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di
bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang
sangat

kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara

sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan


hewan menyusui.
b.

Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,


kacang, makanan laut, susu sapi, telur)
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan
laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry,
mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk
industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet
(metabisulfit), vetsin (monosodum glutamat-MSG) juga bisa memicu
asma. Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat
alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang
terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah
kacang, ikan laut dan telor. Alergi makanan seringkali tidak
terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian
membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada
2%-5% anak dengan asma.

c.

Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,


bloker dll)

26

d.

Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household


spray, dan lain-lain)

e.

Ekpresi emosi berlebih/stress


Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

f.

Asap rokok dari perokok aktif dan pasif


Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan
asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan
efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko
terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
Pada perokok pasif, sisi aliran asap yang terbakar lebih panas dan
lebih toksik dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam
mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif
berakibat lebih

berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah

(batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan
asma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya
asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif
g.

Polusi udara di luar dan di dalam ruangan


Bahan

polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar

biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde,

volatile organic

coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang


biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan
VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik,
Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang
disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer
(solvent) seperti thinner.

27

Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan,


insulasi, furnitur, karpet. Paparan polutan formaldehid dapat
mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan
bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping
menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi
peradangan paru.
h.

Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya


ketika melakukan aktifitas tertentu
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut

i.

Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.

j.

Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

k.

Sosioekonomi

l.

Infeksi pernapasan (virus)

Interaksi faktor genetik/pejamu dengan lingkungan pada pasien asma


dipikirkan melalui kemungkinan:

pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu


dengan genetik asma,
28

baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko


penyakit asma.

2. Patofisiologi dan Mekanisme terjadinya Asma


Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas


bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan
29

parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada


pada seseorang pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas
bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,
inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma
lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah
membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel
mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar,
eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik
dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi
asma: 18
1.

Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik


dan lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer)
maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2.

Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka


belum tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses
inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung
lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.

3.

Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang


terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma
(mengi)

30

Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu


rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang,
ragi serta pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian 2 agonis.
Sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan
aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.
4.

Diagnosis
a. Anamnesis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,

disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca.

Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah

dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti


kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : 21

Riwayat keluarga (atopi)

Riwayat alergi / atopi

Penyakit lain yang memberatkan

Perkembangan penyakit dan pengobatan

31

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya
kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda
asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien
asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat
berat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam
keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:

Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer

Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter

Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)

Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas


bronkus.

Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya
alergi.

Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit


selain asma.

5.

Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran


klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian
obat inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat).
Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya
suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.

32

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat
Tabel Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa
Derajat asma

Gejala

Intermitten

Gejala malam

Faal paru

Bulanan

APE80%

Gej

2 kali sebulan -

ala<1x/minggu.
-

80%
Tan

pa

gejala

diluar
-

Sera

biliti APE<20%.

>2 kali sebulan -

VEP1

ala>1x/minggu

80%

tetapi<1x/hari.

APE80%
Sera

ngan

nilai

aktifiti

Varia
biliti APE 20-30%.
APE 60-80%

Gej

>2 kali sebulan

ala setiap hari.

V
E

Sera
ngan

nilai

dan tidur
Harian

prediksi

terbaik.

dapat

mengganggu
Persisten sedang

Varia

APE>80%
Gej

prediksi

nilai terbaik.

ngan singkat.
Mingguan

Persisten ringan

nilai

APE80%

serangan.
-

VEP1

mengganggu

33

aktifiti dan tidur.


-

6
Me

0-

mbutuhkan
bronkodilator

8
setiap

hari.

%
n
il
ai
p
r
e
d
i
k
si
A
P
E
6
08
0
%
n
il
ai
te
r
b
ai
k.
-

34

Variab

iliti
APE>
30%.
Persisten berat

Kontinyu
-

APE 60%
Gej

Sering

ala terus menerus


-

60% nilai prediksi


Seri

APE60% nilai

ng kambuh
-

VEP1

terbaik
Akti

fiti fisik terbatas

Varia
biliti APE>30%

2. Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma
serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat
mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang
tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan
ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

6.

Tatalaksana Pasien Asma

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). 18

35

Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai
potensi genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara
dokter dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta
apabila adanya komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan
keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan
bahasa yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi
asma, yaitu : 21

36

1. Mengenal seluk beluk asma


2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
Pada

prinsipnya

penatalaksanaan

asma

klasifikasikan

menjadi:

1)

Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka


panjang.
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk
gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :

bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)

kortikosteroid sistemik
2. Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan


mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: a) Edukasi; b) Obat asma
(pengontrol dan pelega); dan c) Menjaga kebugaran .
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :

37

Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan

Mengenali gejala serangan asma secara dini

Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu


penggunaannya

Mengenali dan menghindari faktor pencetus

Kontrol teratur

b. Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol.
i.

Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk

mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan


mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers

Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

ii.

Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot

polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang


berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan
batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :

Agonis beta2 kerja singkat

38

Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai


obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah
optimal

tetapi

hasil

belum

tercapai,

penggunaannya

dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofillin

Adrenalin

c. Meningkatkan kebugaran fisis


Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum, menambah rasa
percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun terdapat salah
satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah exercise (exercise-induced
asthma/ EIA), akan tetapi tidak berarti penderita EIA dilarang melakukan
olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan asma akibat olahraga, maka
dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan olahraga.
Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan
asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol
sebagian, dan tidak terkontrol.
Tabel Ciri-ciri Tingkatan Asma
Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik

Gejala harian

Terkontrol

Terkonrol

Tidak

Sebagian

Terkonrol

Tidak ada (dua kali Lebih dari dua Tiga atau lebih gejala
atau

kurang kali seminggu

perminggu)
Pembatasan aktivitas

Gejala
nokturnal/gangguan

Tidak ada

Tidak ada

dalam kategori Asma


Terkontrol

Sebagian,

Sewaktu-waktu

muncul

sewaktu

dalam seminggu

waktu dalam seminggu

Sewaktu waktu
dalam seminggu

tidur (terbangun)

39

Kebutuhan akan reliever Tidak ada (dua kali Lebih dari dua
atau terapi rescue

atau kurang dalam kali seminggu


seminggu)

Fungsi Paru (PEF atau

Normal

< 80% (perkiraan


atau dari kondisi

FEV1*)

terbaik

bila

diukur)
Eksaserbasi

Tidak ada

Sekali atau lebih Sekali


dalm setahun**)

dalam

seminggu***)

Keterangan :
*)

Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5

tahun
**)

Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah

benar-benar
adekwat
***)

Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma tak terkontrol


7.

Prognosis

Informasi yang adekuat terhadap pasien mengenai pencegahan penyakit


dapat memberikan prognosis yang baik, terutama bila penyakitnya ringan dan
berkembang pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang tetap memiliki asma
dalam 7-10 tahun setelah didiagnosis pertama bervariasi dari 26-78%, atau ratarata 46%, presentase pasien yang asmanya berlanjut menjadi asma dengan derajat
berat hanya 6-19%. Remisi spontan terjadi pada sekitar 20% pasien asma setelah
dewasa, dan sebanyak 40% mengalami perbaikan derajat asma seiring dengan
pertambahan umur. Pasien asma dengan stimulus komorbid seperti merokok,
dilaporkan mengalami perubahan fungsi paru yang ireversibel.

40

8.

Pencegahan

Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat


dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan
risiko asma (orangtua asma), dengan cara :
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1
dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik
untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total
dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan Tersier. Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan
pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/
obat.

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI.


2. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
3. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC
4. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA. Jakarta :
RSCM
5. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta : IDAI
6. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
7. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in infants
and children. Am fam physician 2004;20:899-908
8. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


9. Purnomo. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

Asma. Semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (skripsi).


10. Rengganis I. 2008 Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt

Indon. Vol. 58(11); p. 444-453.


11. 2003. Pedoman Diagnosis dan Petalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta:

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.


12. Fauci AS, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th

edition. USA: The McGraw-hill Companies, inc.

42

Anda mungkin juga menyukai