Anda di halaman 1dari 6

Tax Exposure BUT Jasa Konstruksi

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia yang dimaksud dengan


Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a.

tempat kedudukan manajemen;

b.

cabang perusahaan;

c.

kantor perwakilan;

d.

gedung kantor;

e.

pabrik;

f.

bengkel;

g.

gudang;

h.

ruang untuk promosi dan penjualan;

i.

pertambangan dan penggalian sumber alam;

j.

wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

k.

perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;

l.

proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

m.

pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

n.

orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

o.

agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;
dan

p.

komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

A.

Tinjauan Umum Terhadap Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap dalam UU Perpajakan Nasional

Menurut Pasal 2 ayat (2) UU PPh, subjek pajak menjadi dua yaitu :

1.

Subjek Pajak Dalam Negeri


Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah :

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia


b. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12

bulan

c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat

untuk

bertempat tinggal di Indonesia

d. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
e. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
2.

Subjek Pajak Luar Negeri


Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh, yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri adalah :

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia; yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau menerima/memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kriteria BUT sesuai UU PPh hanya berlaku apabila antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah dari subjek pajak luar negeri tidak mengadakan Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty). Apabila antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari
subjek pajak luar negeri tersebut telah mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B/Tax Treaty), maka kriteria BUT (permanent establishment) harus mengacu kepada bunyi
P3B/Tax Treaty yang bersangkutan.
Walaupun bentuk usaha tetap mempunyai status sebagai wajib pajak luar negeri,
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan
bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36
Tahun 2008 dan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007. Dengan demikian, bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam

suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan
menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya.

B.

Perlakuan Perpajakan Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang Melakukan


Kegiatan atau Usaha Melalui Bentuk Usaha Tetap

Wajib pajak luar negeri tersebut memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber di
Indonesia dapat dilakukan dengan cara:

1. Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in


Indonesia) dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan
terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini sama dengan Wajib Pajak Dalam
Negeri Badan, namun terdapat beberapa perbedaan.

2. Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in


Indonesia) dan belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26
menurut UU PPh atau Tax Treaty.

3. Menerima penghasilan diluar kegiatan usaha (passive income) bersumber dari


Indonesia. Pemajakan atas wajib pajak luar negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut
UU PPh atau Tax Treaty.
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pemajakan wajib pajak luar negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia dengan menjalankan kegiatan atau usaha
di Indonesia dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Karena pemajakan ini
terkait dengan WPLN dan pemerintah dari WPLN tersebut karena pemerintah dari WPLN
tersebut juga berhak untuk memungut pajak atas penghasilan wajib pajak tersebut, maka atas
WPLN berlaku penuh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)
apabila tidak ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari WPLN tersebut. Namun, apabila terdapat P3B
atau Tax Treaty dengan pemerintah dari WPLN, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
yang tercantum dalam P3B atau Tax Treaty. Kriteria BUT, objek pajak BUT dan laba setelah
BUT mengacu pada isi P3B tersebut, dan mengesampingkan ketentuan sebagaimana tercantum
dalam UU PPh.
Perbedaan perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau
usaha yang melalui bentuk usaha tetap dengan yang tidak melalui bentuk usaha tetap adalah :

(a)

Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT :

1) kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban


perpajakan dalam negeri.

2) penghasilan yang menjadi objek pajak hanya terbatas yang bersumber di


Indonesia.

(b)

Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bukan
melalui BUT:

1) dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia;

2) berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;


3) tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban
pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

1.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPh, yang termasuk objek pajak BUT adalah:
Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta

2.

yang dimiliki atau dikuasai (penghasilan BUT yang bersangkutan).


Penghasilan kantor pusat dari usaha, kegiatan, penjualan barang atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakuka n oleh BUT di
Indonesia (force of attraction). Pendekatan ini didasarkan kenyataan bahwa usaha
atau kegiatan kantor pusat tersebut di Indonesia masih termasuk ruang lingkup

3.

usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan BUT.


Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, imbalan
sehubungan

dengan

jasa/pekerjaan/kegiatan,

hadiah atau penghargaan,

pensiun/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat WPLN dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Pemajakan BUT menurut UU PPh juga menganut 2 sistem pemajakan, yaitu:

1.

Tarif Tertentu
Tarif tertentu dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan
kegiatan usaha tertentu :

a. Kepmenkeu No. 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 : PPh yang terutang


atas BUT berupa cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional
sebesar 2,64% dari peredaran bruto/ kotor dan bersifat final.

b. Kepmenkeu No. 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 : PPh yang


terutang kantor perwakilan dagang asing (representative office) sebesar 0,44%
dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia.

2.

Tarif Umum Pasal 17 dan Pasal 23 UU PPh

Tarif Umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap selain
cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional serta kantor
perwakilan dagang asing tersebut, dengan penghitungan sebagai berikut:

a. PPh terutang = tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak


b. Penghasilan kena pajak = Penghasilan neto dikurangi kompensasi
c. Penghasilan neto = Objek BUT biaya fiskal Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan
biaya tertentu bagi BUT.

d. PPh 26 atas laba setelah pajak khusus BUT = 20%/ tarif P3B dikalikan laba
setelah Pajak Penghasilan.
Ketentuan Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelengaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPPh, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Tarif pemotongan untuk penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah :

(1)

15% dari jumlah bruto atas penghasilan berupa :

(a) dividen
(b) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.

(c) royalti
(d) Hadiah dan penghargaan
(2)

15% dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa :

(a) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan,


dan jasa lain

(b) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta


Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT juga diberikan tambahan penjelasan sebagai
berikut :

(a)

Biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

(b)

Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah royalti atau
imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak

lainnya, imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga,
kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang
diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak BUT,
kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pemajakan Laba setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation)

1.

Sebagaimana diketahui dividen atau bagian laba hasil usaha wajib pajak dalam
negeri terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama maka
laba setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20% sebagaimana tercantum dalam
Pasal 26 ayat (4) UU PPh. Contoh: Sebuah BUT
100.000.000,- dan telah dikenakan PPh
sehingga

laba

setelah

pajak

Pasal 17

mendapatkan laba Rp.

sebesar

Rp.

12.500.000

adalah Rp.87.500.000. Jika sebagian income

after tax dikirim ke luar negeri, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% x
penghasilan bruto, misal dikirim Rp. 50.000.000. Maka PPh Pasal 26 adalah 20%
x Rp.50.000.000 = Rp. 10.000.000 dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke
Indonesia tidak dipotong PPh Pasal 26.

2.

Sesuai

Kepmenkeu

No.602/KMK.04/1994 joKMK No.113/KMK.03/2002,

pengecualian pajak setelah laba BUT dapat diberikan dengan syarat :

a. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada


perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
peserta pendiri.

b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan.

c. Pengalihan atas penanaman kembali tersebut tidak dilakukan sekurangkurangnya dalam jangka waktu dua tahun setelah perusahaan tempat
penanaman dilakukan berproduksi komersil.
Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak
setelah laba yang diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang lebih rendah dari 20%.

Anda mungkin juga menyukai