b.
cabang perusahaan;
c.
kantor perwakilan;
d.
gedung kantor;
e.
pabrik;
f.
bengkel;
g.
gudang;
h.
i.
j.
k.
l.
m.
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n.
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o.
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;
dan
p.
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
A.
Tinjauan Umum Terhadap Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap dalam UU Perpajakan Nasional
Menurut Pasal 2 ayat (2) UU PPh, subjek pajak menjadi dua yaitu :
1.
bulan
c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk
d. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
e. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
2.
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia; yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau menerima/memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kriteria BUT sesuai UU PPh hanya berlaku apabila antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah dari subjek pajak luar negeri tidak mengadakan Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty). Apabila antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari
subjek pajak luar negeri tersebut telah mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B/Tax Treaty), maka kriteria BUT (permanent establishment) harus mengacu kepada bunyi
P3B/Tax Treaty yang bersangkutan.
Walaupun bentuk usaha tetap mempunyai status sebagai wajib pajak luar negeri,
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan
bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36
Tahun 2008 dan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007. Dengan demikian, bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam
suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan
menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya.
B.
Wajib pajak luar negeri tersebut memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber di
Indonesia dapat dilakukan dengan cara:
(a)
Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT :
(b)
Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bukan
melalui BUT:
1) dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia;
1.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPh, yang termasuk objek pajak BUT adalah:
Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta
2.
3.
dengan
jasa/pekerjaan/kegiatan,
pensiun/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat WPLN dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Pemajakan BUT menurut UU PPh juga menganut 2 sistem pemajakan, yaitu:
1.
Tarif Tertentu
Tarif tertentu dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan
kegiatan usaha tertentu :
2.
Tarif Umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap selain
cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional serta kantor
perwakilan dagang asing tersebut, dengan penghitungan sebagai berikut:
d. PPh 26 atas laba setelah pajak khusus BUT = 20%/ tarif P3B dikalikan laba
setelah Pajak Penghasilan.
Ketentuan Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelengaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPPh, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Tarif pemotongan untuk penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah :
(1)
(a) dividen
(b) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
(c) royalti
(d) Hadiah dan penghargaan
(2)
(a)
Biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(b)
Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah royalti atau
imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya, imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga,
kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang
diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak BUT,
kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pemajakan Laba setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation)
1.
Sebagaimana diketahui dividen atau bagian laba hasil usaha wajib pajak dalam
negeri terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama maka
laba setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20% sebagaimana tercantum dalam
Pasal 26 ayat (4) UU PPh. Contoh: Sebuah BUT
100.000.000,- dan telah dikenakan PPh
sehingga
laba
setelah
pajak
Pasal 17
sebesar
Rp.
12.500.000
after tax dikirim ke luar negeri, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% x
penghasilan bruto, misal dikirim Rp. 50.000.000. Maka PPh Pasal 26 adalah 20%
x Rp.50.000.000 = Rp. 10.000.000 dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke
Indonesia tidak dipotong PPh Pasal 26.
2.
Sesuai
Kepmenkeu
b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan.
c. Pengalihan atas penanaman kembali tersebut tidak dilakukan sekurangkurangnya dalam jangka waktu dua tahun setelah perusahaan tempat
penanaman dilakukan berproduksi komersil.
Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak
setelah laba yang diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang lebih rendah dari 20%.