Anda di halaman 1dari 18

Clinical Science Session

REAKSI ANAFILAKSIS

Oleh :
Putri Aliya

1010070100014

PRESEPTOR
dr. Gustin Sukmarini Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD - SOLOK
2015

PENDAHULUAN

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ana adalah jauh dari dan phylaxis
adalah perlindungan. Jadi menurut bahasa, Anaphylaxis berarti menghilangkan perlindungan.
Definisi dari anafilaksis sendiri adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem
organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi
imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak lama setelah
disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena yang sama, mereka
menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan
ekstrak yang sama anjing itu mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti
anaphylaxis. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi
anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafikaktik.
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk reaksi
Hipersensivitas Tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya yang berpotensial fatal dan
menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya mediator-mediator
inflamasi dari mast cells dan basofil. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid.
Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa
keterlibatan atau mediasi dari IgE.

TINJAUAN PUSTAKA

A DEFINISI
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan
menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik
dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan
mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ
tersebut.
Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid (anafilaksis nonalergi) yang secara
klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara
antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel
mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediator.

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPAT


Sensitisasi dan reaksi atopik

Hipersensitivitas tipe cepat terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang
dijalankan oleh IgE. Secara ringkas reaksi berantai tersebut terdiri dari sensitisasi atopik dan
reaksi atopic.
Rangkaian reaksi hipersensitivitas tipe cepat
Sensitisasi atopik
1. Pajanan antigen (alergen)

Reaksi atopic
1

2. Respons pembentukan IgE


3. Terikatnya IgE pada sel mast

Terpapar

ulang

dengan

antigen yang sama


2

Interaksi antigen-IgE spesifik


di sel mast

Pelepasan mediator oleh sel


mast

Efek mediator pada berbagai


organ

Alergen
Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respons imun spesifik berupa
pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat yang
mampu bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen selalu bersifat
antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten, kecuali kalau bergabung
dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan
sel molekul rendah (hapten).
1. Alergen protein lengkap
Alergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang pembentukan IgE tanpa
bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen yang dikenal sel B dan gugus karier
yang merangsang makrofag dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B. Yang termasuk
kelompok ini misalnya serbuk sari, bulu binatang, ATS (serum antitetanus) dan ADS (serum
antidifteri).
2. Alergen dengan berat molekul rendah
4

Kelompok ini tidak dapat menimbulkan respons antibodi berupa IgE karena hanya
berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten harus berikatan dengan protein jaringan atau
protein serum in vivo membentuk kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons
antibodi IgE. Yang termasuk kelompok ini misalnya adalah obat-obatan.
Antibodi
Sebagian besar sel mast telah sensitif terhadap alergen tertentu, sehingga pajanan
terhadap alergen tersebut dapat memacu sel mast secara sistemik yang akan melibatkan
banyak sistem dan akan menimbulkan syok anafilaktik. Pengikatan oleh sel mast
menyebabkan IgE merupakan suatu fraksi dengan waktu paruh yang lebih panjang.
Diperkirakan waktu paruh IgE adalah 2-3 hari. Walaupun mempunyai waktu paruh yang
lama, IgE tidak dapat melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat ditransfer
secara pasif kepada fetus.
Sel mast
Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil dan trombosit. Sel mast diselimuti
oleh IgE yang terikat pada reseptor spesifik untuk bagian Fc rantai epsilon. Setiap sel mast
dapat mengikat bermacam IgE spesifik sehingga sel mast dapat bereaksi dengan berbagai
macam antigen. Walaupun penderita alergi mempunyai molekul IgE yang tinggi pada
basofilnya

bila

dibandingkan

dengan

orang-orang

yang

tidak

alergi,

terdapat

suatu overlapping yang luas dalam jumlah IgE yang terdapat pada kedua goIongan tersebut.

B EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwaangka
kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah60 menit
penggunaan obat. sementara di Indonesia khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus / 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus / 10.000 total pasien
anafilaksis.
C ETIOLOGI
5

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen,


serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim,
hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin,
terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumputrumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat
menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain. Bisa yang
dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut, dan sengatan lebah. Darah lengkap
atau produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan
anafilaksis. Makanan yang telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu
sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.
D PATOFISIOLOGI
Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target
seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.
Mediator anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat
kuat yang memacu sel peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis.
Histamin
Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin
dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada
sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sel dangkan pada pembuluh darah yang
lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin
meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. bila terjadi sel sistemik dapat
menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin
meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka
aktivitas polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Eosinophyl chemotacting factor (ECF-A)
ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera waktu
degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada daerah
tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi
SRS-A dan histamin.
6

Platelets activating factor (PAF)


PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF
juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi
pembuatan bradikinin.
Bradikinin
Bradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat menyebabkan
kontraksi otot bronkus dan vaskular sel lambat, lama dan hebat. Bradikinin juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan
timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut saraf dan menyebabkan rasa nyeri.
Selain itu bradikinin juga merangsang peningkatan produksi mukus dalam traktus
respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel
yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A.
Serotonin
Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan
waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga menyebabkan
kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar. Serotonin tidak begitu penting
pada anafilaksis.
Prostaglandin
Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik
sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan
permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan
dilatasi otot polos bronkus.
Kalikrein
Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan
tekanan darah.
E GAMBARAN KLINIS
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi
lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi
lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti
traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.

Gambaran klinis anafilaksis


Sistem
Umum (prodromal)

Gejala dan tanda


Malaise, lemah, rasa sakit

Mediator
-

Kulit

Urtikaria, eritema

Histamin

Mukosa

Edema periorbita, hidung tersumbat Histamin

Pernapasan

dan gatal, angioedema, pucat, sianosis Histamin


Bersin, pilek, dispnu, edema laring,

Jalan napas atas

serak, edema lidah dan faring, stridor

SRS-A,

histamin,

lain-

lain?
Jalan napas bawah

Dispnu,

emfisema

akut,

asma,
Tidak diketahui

bronkospasme, bronkorea
Gastrointestinal

Peningkatan

peristaltik,

muntah,

Tidak diketahui

disfagia, mual, kejang perut, diare


Susunan saraf pusat
Gelisah, kejang

Reaksi sistemik
Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh,
biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat
disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa
gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul
dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan,
umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.
Reaksi sistemik sedang
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi
sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu, batuk
dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya

penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya
reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.
Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi
sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit
(terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai
serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring,
gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan
muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat
atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok
dan koma.
F DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat,
makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan
terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik
ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
Bila ditemukan reaksi sistemik berat harus dipertimbangkan semua penyebab distres
pernapasan, kolaps kardiovaskular dan hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi
vasovagal dan serangan sinkop, infark miokard, reaksi insulin, atau reaksi histeris.
Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah penyuntikan. Pada
keadaan ini nadi teraba lambat dan biasanya tidak terjadi sianosis. Walau tekanan darah
menurun biasanya masih dapat diukur. Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering
ditemukan.
Infark miokard disertai gejala yang menonjol seperti sakit dada dengan atau tanpa
penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih lambat dan tanpa emfisema atau sumbatan
bronkial. Tidak terdapat edema atau sumbatan jalan napas atas.

Reaksi insulin yang karakteristik adalah lemah, pucat, diaforesis dan tidak sadar. Tidak
terjadi sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan. Tekanan darah biasanya sedikit
menurun. Reaksi histeris tidak disertai bukti distres pernapasan, hipotensi atau sianosis.
Parestesia lebih sering dari pada pruritus. Sinkop dapat terjadi tetapi kesadaran cepat
kembali.

G PENATALAKSANAAN
Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk
membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator
selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan
turniket, pemberian oksigen, cairan intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi
dan trakeostomi, kortikosteroid, serta pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar
tatalaksana anafilaksis secara umum.
Evaluasi segera
Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami
henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
Adrenalin
Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml
(larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.
Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml
(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen.
Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan.
Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi
intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan
1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 510 menit.

10

Intubasi dan trakeostomi


Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas
oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.
11

Turniket
Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan
berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut.
Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.
Oksigen
Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis, dispneu yang
jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit)
diberikan melalui masker atau kateter hidung.
Difenhidramin
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 10 menit),
intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal,
tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah
merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24
jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema.
Kalau penderita tidak memberikan respons dengan tindakan di atas, jadi penderita masih
tetap hipotensif atau tetap dengan kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit
perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.
Cairan intravena
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%
dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok
teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat
badan dan umur anak.
Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang
dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama.
Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat
bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB

12

atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar
aminofilin serum harus dimonitor.
Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol
bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat
dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan
segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga
diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml
cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan
bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi
anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan Kortikosteroid bergunan untuk
mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10
mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan
biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
Pengobatan suportif
Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan
cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari
beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.

H PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis.
Anamnesis teliti
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang dicurigai, yang
mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum kita memberikan setiap obat,
terutama obat suntikan. Edukasi juga dapat diberikan pada pasien, antara lain membaca label
13

obat dengan teliti dan mempunyai catatan mengenai jenis obat yang dicurigai menimbulkan
gejala alergi.
Penggunaan antibiotik
Penggunaan antibiotik atau obat lainnya harus dengan indikasi khusus, dan pemberian per
oral lebih baik, bila hal ini memungkinkan.
Uji kulit
Uji kulit terhadap beberapa antitoksin yang berasal dari serum hewan, dianjurkan untuk
dikerjakan sebelum diberikan. Jika diperlukan anti serum, sebisa mungkin diberikan preparat
serum manusia. Di negara maju, setiap saat dapat diperoleh informasi dari badan tertentu
yang mempunyai catatan lengkap mengenai penderita yang telah pemah mengalami reaksi
anafilaksis.

Jenis tes alergi pada kulit:


Skin prick test (uji tusuk)
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji
kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2
sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin
(50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan
dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan
jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih
pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml
ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah.
Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi
sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.

14

Intradermal tes (dalam kulit)


Selama tes ini, sejumlah kecil dari solusi alergen disuntikkan ke dalam kulit. Tes alergi
intradermal dapat dilakukan bila zat tidak menyebabkan reaksi dalam uji tusuk kulit, tetapi
masih dicurigai sebagai penyebab alergi untuk orang tersebut. Tes intradermal lebih sensitif
dibandingkan dengan uji tusuk kulit.

Skin scratch test (uji gores)


Uji gores kulit adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif rendah karena test
adalah perkutan. Uji ini disarankan sebagai metode utama untuk diagnosis alergi yang
dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif
sensitivitas dan spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan
demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya tergantung
pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas. Uji gores sudah banyak ditinggalkan
karena hasilnya kurang akurat.
15

Skin patch test (uji tempel)


Untuk uji tempel kulit, solusi alergen ditempatkan pada pad yang ditempel pada kulit
selama 24 sampai 72 jam. Tes ini digunakan untuk mendeteksi alergi kulit yang disebut
dermatitis kontak. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi imunologi selular
secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

16

KESIMPULAN
Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang bersifat akut, berat dan menyerang berbagai
macam organ. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga.
Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.
Anafilaksis dikelompokkan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi
dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini
disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik
akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik.
Penatalaksanaan reaksi anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen
yang menyebabkan reaksi anafilaksis, pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai
dosis, monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara
intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai
dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Akib Arwin. Munasir Zakiudin. Dkk. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi I . Jakarta;
Badan Penerbit; IDAI . 2010. Hal 205-223
2. Pudjiaji Antonius H. Hegar Badriul. Handryastuti Setyo, dkk . Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Doker Anak Indonesia Jilid I . Jakarta; Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010.
3. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/ kota. Jakarta; WHO
Indonesia; 2008 .
4. Gomella, Leonard G. Haist, Steveb A . Buku Saku Dokter Edisi 11 . Jakarta; EGC . 2011
5. Anaphylaxis (diakses: 16 Maret 2015). Tersedia dari:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic25.htm
6. Krause, Richard. 29 April 2005. Anaphylaxis. eMedicine. Accessed 24 Maret 2015
www.emedicine.com/emerg/topic25.htm
7. Stern, David. 6 November 1997. Anaphylaxis:Life-Threatening Allergy. Asthma and
Allergy Information and Research. Accessed 24 Maret 2015
<http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/index.htm

18

Anda mungkin juga menyukai