periode pemerintahan presiden, pemilihan langsung presiden oleh rakyat, penghormatan terhadap hak
asasi rakyat dan prioritas terhadap kepentingan rakyat.
2. Restrukturisasi Birokrasi
Restrukturisasi ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayan publik baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah. Pada tahun 1998, jumlah kementrian dikurangi dari 23 Unit menjadi
17 Unit. Pada tahun 2001, satu kementerian baru dibentuk, yaitu Kementerian Kesetaraan Gender.
Reformasi selanjutnya dengan pengurangan beban pemerintah melalui program-program yang
ditangani melalui penyerahan kepada sektor swasta atau privatisasi BUMN. Pada proses ini banyak
sistem baru yang dikenalkan dan diterapkan, seperti sistem kompetisi dalam karier dengan
menggunakan promosi dan remunerasi yang obyektif, merekrut para eksekutif swasta dengan sistem
kontrak, merampingkan struktur pemerintah pusat dengan memperluas desentralisasi.
3. Modernisasi Sistem Birokrasi
Reformasi ini dimulai dengan pelayanan pemerintahan pada tingkat kabupaten dikurangi dan dilebur
dalam sistem pelayanan regional. Reformasi ini didukung dengan penerapan sistem elektronik
menggantikan sistem formulir yang selama ini digunakan. Pelayanan masyarakat dalam bidang
olahraga, seni dan hiburan diserahkan kepada sektor swasta.
4. Reformasi Manajemen Kepegawaian
Pada masa lalu, sistem kepegawaian dalam birokrasi Korea Selatan dibangun berdasarkan sistem
tingkatan dan senioritas, dan sistem perekrutan PNS bersifat tertutup. Pertama kali yang dilakukan
untuk mereformsi di bidang kepegawaian adalah dengan memperbaiki sistem karier.
PNS Korea Selatan dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu PNS karier (career civil servants), PNS
Karir Spesial (spesil career civil servants) dan PNS kontrak (contract base civil servants). PNS karier
merupakan porsi terbesar dari seluruh PNS yang ada. PNS karir spesial merupakan PNS yang diangkat
berdasarkan penunjukan politis, misalnya jabatan menteri atau wakil menteri.
Pada tahun 1998 pemerintah korea selatan sejak sistem rekrutmen menjadi terbuka, dan pada
masa ini pemerintah korea selatan memasukkan PNS-PNS baru yang merupakan pekerja-pekerja atau
para eksekutif yang sarat pengalaman di sektor swasta untuk masuk jajaran birokrasi pemerintah.
Dengan model ini sistem birokrasi di korea selatan berkembang sangat cepat dan banyak mengalami
perubahan.
Selain perbaikan sistem karier, reformasi dibidang kepegawaian dilakukan dengan mengurangi
jumlah PNS. Pengurangan ini dilakukan secara bertahap. Dimulai pada tahun 1982, pengurangan porsi
PNS sebanyak 18.044 posisi. Pada tahun 1995 dilakukan pengurangan lagi sebanyak 2.208 posisi.
Selanjutnya selama 1998-2000 terus menerus dilakukan pengurangan masing-masing sebanyak 45.776
pada tahun 1998, 12.809 orang pada tahun 1999 dan 6.919 orang pada tahun 2000. Dan pada tahun 2001
jumlah PNS korea selatan sebanyak 849.971 orang. Pengurangan ini masih berlanjut dan ditargetkan
dapat mengurangi sampai 30% dari jumlah PNS diseluruh pemerintahan.
5. Perubahan sistem evaluasi pegawai
Perubahan yang signifikan lainnya adalah sistem evaluasi yang menggunakan metode 360
derajat. Dengan metode ini, bukan hanya pimpinan yang mengevaluasi bawahan, namun dapat terjadi
sebaliknya. Kriteria yang digunakan tidak lagi yang bersifat sangat subyektif dan sulit terukur seperti
kesetiaan, kejujuran, prakarsa, kerjasama, dan sebagainya, melainkan kompetensi (competency),
perilaku (attitude), dan kinerja (performance). Konsekuensi dari sistem evaluasi seperti ini, remunerasi
yang diterima seorang pegawai akan sangat berbeda dengan pegawai lainnya, tergantung dari unjuk
kerja atau prestasi nyata yang dihasilkan. Hal ini sekaligus memacu persaingan dan hasrat untuk terus
berkembang (need for achievement) antar pegawai.
6. Peng-apdosi-an Nilai-nilai Local
Di Korea, adopsi nilai tradisional juga diterapkan pada reformasi birokrasi. Sebagai contoh,
birokrasi Korea saat ini terdiri dari 9 (sembilan) jenjang, dari yang tertinggi Asisten Menteri, hingga
yang terendah pegawai yang baru diangkat (Asisten Klerk). 9 jenjang ini ternyata diadopsi dari model
birokrasi yang pernah diterapkan oleh Dinasti Chosun, dimana 3 tingkat teratas adalah golongan berhak
menggunakan jubah/kostum berwarna merah, 3 tingkat menengah berpakaian warna biru, sedangkan
baju pegawai pada 3 tingkat terendah berwarna hijau.
mencerminkan kecilnya kemungkinan keberhasilan reformasi. Resistensi sendiri sering berhubungan dengan
persepsi dan ekspektasi seseorang terhadap reformasi. Jika reformasi dipercaya menghasilkan dampak yang
menggangu kemapanan atau kenyamanan yang telah ada, maka lahirlah resistensi tadi. Resistensi terhadap
perubahan yang diyakini mengganggu kenyamanan seperti dijelaskan diatas, hanyalah salah satu dimensi kecil
dari faktor budaya.
Dengan demikian, nyatalah bahwa reformasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan akar budaya
dan kearifan lokal (local wisdom). Jika tidak, maka akan membuka kemungkinan kegagalan lebih besar.
Satu lagi kunci sukses reformasi birokrasi di Korea adalah adanya pola pikir kolektif untuk melakukan
reformasi. Reformasi bukan saja merupakan tuntutan dan kewajiban, namun juga sebagai kebutuhan bersama.
Belajar dari kasus Korea, reformasi seyogyanya tidak dianggap sebagai syarat memperoleh renumerasi yang
lebih baik, namun benar-benar dijadikan sebagai momentum pembenahan birokrasi secara sistemik melalui
pembenahan pola pikir, sikap dan perilaku dalam interaksi sehari-hari.
Daftar Bacaan
Prijono Tjiptoherijanto, Mandala Manurung (2010), Paradigma Administrasi Publik dan Perkembangannya,
Jakarta: UI Press