Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan masalah neurologi yang serius dan merupakan penyebab utama
terjadinya kecacatan di seluruh dunia (Yiwang G, 2013).WHO mendefinisikan
stroke sebagai sindroma klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak
fokal maupun global dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain yang jelas selain
kelainan vascular (Aggarwal et al, 2010).
Stroke adalah merupakan penyakit penyebab morbiditas dan mortalitas urutan ke
3 terbanyak di dunia barat, setelah penyakit jantung dan kanker. Penyakit ini
memiliki berbagai patofisiologi yang mencakup trombosis, perdarahan, dan
emboli. Secara global terdapat terdapat lebih dari 50 juta penderita stroke dan
transient iskemik attack

(TIA). Lebih dari 1 dari 5 orang penderita akan

menderita penyakit stroke selama 5 tahun, yang mengakibatkan banyak masalah


ekonomi dan infrastruktur kesehatan. Perkiraan saat ini menunjukan biaya
ekonomi perawatan di seluruh dunia sekitar 68,9 milyar dolar, baik biaya
langsung maupun tidak langsung. Di Amerika teradapat sekitar 5 6 juta
penderita stroke dengan biaya disabilitas yang tinggi. Dimana 15 30 % penderita
stroke menderita disabilitas permanen dan 20 % dari penderita membutuhkan
perawatan selama 3 bulan setelah stroke (Amy K et al, 2009).
Stroke menempati urutan pertama dari semua kelainan neurologi pada dewasa,
yaitu lebih dari separuh kelainan neurologi yang terdapat di rumah sakit. Dari
semua kasus didapatkan data bahwa 85-87 % storke yang dialami di dunia adalah
jenis stroke iskemik (Yiwang G, 2013). Sekitar 795.000 kasus stroke terjadi setiap
tahun di Amerika, sebanyak 610.000 merupakan kasus baru sedangkan 185.000
merupakan stroke ulang (AHA, 2014). Diantara kejadian stroke tersebut, stroke
iskemik terhitung sebagai kasus mayor (67,1%), sedangkan stroke hemoragik
sebanyak 32,9%, dengan hipertensi sebagai faktor resiko terbanyak dari keduanya

(Yudiarto et al, 2014).


Awal kerusakan neurologis pada penyakit stroke banyak tejadi dan berhubungan
dengan mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Etiologi penyakit stroke sangat
dipahami dengan baik, sedangkan dari perburukan neurologis berbeda dan tidak
jelas. Oklusi vaskular, reoklusi dari recanalised artery, peningkatan tekanan
intrakranial,

transformasi

hemoragik

adalah

berbagai

mekanisme

untuk

perkembangan stroke sedangkan rekrutmen yang baik dikaitkan dengan


pemulihan dari stroke iskemik. Sebelumnya, perkembangan gumpalan dapat
menyebabkan neurologis memburuk tapi dengan munculnya MRI, sekarang
dipahami lebih lanjut mengenai perkembangan stroke (Ajith et al, 2015) .

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah sindroma klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
otak fokal maupun global dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain
yang jelas selain kelainan vascular (WHO, 2006).
Klasifikasi stroke dibagi menjadi 2 yaitu: (Amy K et al, 2009)
1. Stroke hemoragik
Stroke hemoragik dibagi menjadi perdarahan intrakranial atau perdarahan
subarakhnoid. Perdarahan intrakranial berasal dari pembuluh darah
serebral yang lemah, dimana mengalami ruptur dan membentuk hematoma
terlokalisasi

dengan

space

pada

parenkim

serebral.

Perdarahan

subarakhnoid terjadi diluar otak dan dilepaskan menuju cairan


serebrospinal (CSF).
2. Stroke iskemia
Stroke iskemia diakibatkan baik oleh trombosis intrakranial maupun
embolus ekstrakranial. Trombosis intrakranial umumnya diakibatkan oleh
aterosklerosis dimana embolus ekstrakranial biasanya meningkat dari
arteri ekstrakranial maupun dari miokardium karena infark miokard,
stenosis mitral, endokarditis, fibrilasi atrial, kardiomiopati dilatasi, gagal
jantung kongestif

2.1.2 Faktor risiko


Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian stroke dibagi menjadi
dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk
factors) dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors).
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetic
atau riwayat keluarga yang menderita stroke. Sedangkan faktor resiko yang
dapat dimodifikasi berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes
melitus, obesitas, alcohol, dan dislipidemia (Aggarwal et al, 2010).

Penelitian menunjukkan prevalensi laki-laki lebih tinggi mengalami


stroke akibat aterosklerosis arteri besar. Pengecualian pada stroke
kardioembolik, prevalensi 50% adalah pasien perempuan. Hipertensi arteri
merupakan faktor risiko stroke yang paling sering terjadi, menunjukkan
prevalensi tinggi di semua tipe stroke. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hipertensi dan diabetes mellitus yang lebih umum terjadi pada stroke
mikroangiopati daripada di kardioembolism. Penelitian juga menyatakan
bahwa prevalensi stroke akibat aterosklerosis arteri besar dikonfirmasi hanya
untuk

hipertensi.

Hasil

penelitian

lain

menunjukkan

bahwa

hiperkolesterolemia berperan sebagai faktor risiko pada stroke. Prevalensi


tinggi pada stroke atherothrombotis ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang diidentifikasi hiperkolesterolemia sebagai faktor risiko untuk stroke
akibat aterosklerosis arteri-besar. Sesuai dengan penelitian di Jepang barubaru ini yang mengidentifikasi obesitas sebagai faktor risiko untuk lacunar
infark pada wanita (AHA, 2015).
Merokok terutama terkait dengan stroke akibat aterosklerosis arteri
besar. Merokok selanjutnya berperan dalam faktor risiko penyebab stroke
yang jarang pada pasien yang lebih muda (misalnya, koagulopati pada
perokok perempuan menggunakan kontrasepsi oral). Dampak yang berbeda
dari merokok pada berbagai tipe stroke mungkin sebagian menjelaskan hasil
yang berbeda-beda (Sohrabji et al, 2013).
Beberapa studi lain menunjukkan antara konsumsi alkohol dan
aterosklerosis karotid, dengan peminum ringan menghadapi resiko yang lebih
rendah daripada salah satu peminum berat atau abstain. Konsumsi alkohol
harian paling sering dilaporkan oleh pasien dengan stroke atherothrombotis,
mendukung bahwa asupan alkohol yang tinggi dapat berhubungan dengan
aterosklerosis. Konsumsi alkohol setiap hari relatif jarang terjadi pada stroke
kardioembolik, yang mungkin sebagian dijelaskan oleh usia yang lebih tinggi
dari subkelompok ini. Mirip dengan penelitian yang berfokus pada fibrilasi
atrium, kami menemukan bahwa stroke yang kardioembolik dikaitkan dengan
kematian tertinggi dan hasil fungsional terburuk setelah 90 hari dan defisit
neurologis akut yang paling parah (J.Grau et al, 2001).

2.2 Stroke Progresif


2.2.1 Definisi
Stroke progresif juga dikenal sebagai stroke in evolution merupakan
suatu kondisi defisit neurologis yang meningkat selama 24-48 jam, menunjukkan
suatu pembesaran infark (blockage arteri) atau edema progresif (swelling),
biasanya di daerah arteri cerebral media,ditandai dengan adanya perburukan
manifestasi klinis diukur dengan Skala Stroke Skandinavia atau Skala Stroke
Kanada (Shiyu Chen et al, 2014).
2.2.3 Klasifikasi Stroke Progresif
Konsep ini secara tradisional terbatas pada stroke iskemik dan stroke
hemoragik sering dikesampingkan dalam studi awal kemajuan Stroke. Namun ,
bukti menunjukkan bahwa stroke progresif

juga terjadi pada jenis stroke

hemoragik . Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa stroke hemoragik lebih


sering dikaitkan dengan terjadinya stroke progresif dibandingkan dengan stroke
iskemik dan bahwa kerusakan dini yang terjadi dikaitkan dengan hasil yang lebih
buruk (Shiyu Chen, et al, 2014).

2.2.4

Stroke Hemoragik Akut Progresif

a. Manifestasi Klinis
Banyak peneliti telah mengamati kerusakan neurologis yang
terjadi pada awal perdarahan intraserebral spontan. Meskipun ditemukan
adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik awal kerusakan neurologis,
semua studi telah menunjukkan adanya penurunan yang signifikan yang
terjadi pada 22,9-37% dari pasien. Dalam beberapa penelitian retrospektif,
skor ICH > 2, jumlah sel darah putih > 10.000 sel / mL3, Glasgow Coma
Scale awal <14, Volume perdarahan besar dengan efek massa yang
signifikan pada CT scan awal, ekspansi hematoma dan perdarahan

intraventrikular yang terbukti berhubungan dengan awal kerusakan


neurologis (Shiyu Chen, et al, 2014).
Dalam sebuah studi prospektif pada 46 pasien yang dilakukan
oleh Mayer et al, membuktikan bahwa perdarahan awal yang lebih besar
dan ditandai efek massa awal diprediksi awal kerusakan neurologis.
Sebuah studi prospektif dari 266 pasien yang dilakukan oleh Leira et al
menunjukkan bahwa pada saat masuk ke rumah sakit, suhu tubuh 37,5
C, peningkatan hitung neutrofil dan tingkat serum fibrinogen > 523 mg /
dL bisa memprediksi kerusakan neurologis. Pasien yang mengalami awal
kerusakan neurologis secara signifikan meningkatkan angka morbiditas
dan mortalitas dibandingkan mereka yang tidak. Studi yang berfokus pada
kerusakan neurologis awal yang tercantum dalam Tabel 1.

Table 1. kerusakan neurologis awal


b. Penyebab
Ekspansi Hematoma
Ekspansi

Hematoma

adalah

penanda

di

perdarahan

intraserebral ( ICH ) mengacu pada perluasan volume perdarahan dalam


3-72 jam pertama , sebagian besar dalam waktu 6 jam. Terdeteksi dengan
metode neuroimaging , ekspansi ini dilaporkan terjadi pada 13-40 % di

semua pasien. Definisi ekspansi hematoma tidak universal disepakati ,


dan definisi yang umum digunakan adalah peningkatan volume perdarahan
intra parenchymal > 33 % antara dasar (baseline) dan Pemeriksaan CT
berulang , peningkatan volume 12.5 cm3 atau 1.4 kali . ekspansi
Hematoma tidak hanya menyumbang bagian utama dari perkembangan
akut pada fase akut dari perdarahan intraserebral , tetapi juga terkait
dengan hasil atau prognosis yang buruk ( Christian et al, 2014).

Gambar. Hematoma ekspansi ( Christian et al, 2014).


Perdarahan intraventrikular
Pendarahan otak adalah bentuk stroke paling fatal dan
memiliki morbiditas tertinggi dari setiap subtipe stroke . perdarahan
intraventikular ( IVH ) adalah tanda prognosis yang sangat buruk pada
pasien stroke , dengan angka kematian diperkirakan antara 50 % dan 80 %
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi bersamaan dengan ICH atau
dalam waktu 24-72 jam setelah onset awal ICH , 20-55 % dari semua
pasien ICH. Steiner et al dan Bhattathiri et al menunjukkan bahwa pasien
ICH dengan perdarahan intra ventrikular memiliki hasil fungsional yang

lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami


perdarahan intraventrikular . Menyesuaikan

dengan skor

ICH

dan

ekspansi hematoma, perdarahan intraventrikular masih terkait dengan


tingkat kematian yang lebih tinggi dalam pasien rawat inap. (Daniel F
Hanley et al, 2011).
Perihaematomal edema
Volume edema perihaematomal meningkat secara signifikan
setelah onset dalam 24 jam pertama setelah ICH spontan. Gambaran CT
kronologis menunjukkan bahwa edema perihaematomal meningkat pesat
dalam waktu 3 hari setelah onset dan mencapai puncaknya awal di hari
keempat atau kelima . Efek awal massa yang sangat jelas juga bisa
berkontribusi pada awal perkembangan stroke hemoragik.
Peradangan
Sun et al telah melaporkan bahwa sel darah putih di atas
10.000 / mL3 pada saat masuk rumah sakit atau dalam 72 jam pertama
masuk rumah sakit , suhu tubuh di atas 37,5 C dan peningkatan jumlah
neutrofil adalah prediktor awal terjadinya kerusakan neurologis . Respon
inflamasi memprediksi adanya hasil yang lebih buruk untuk jangka pendek
dan jangka panjang.
c. Mekanisme Terjadinya Stroke Hemoragic Akut Progresif
Adapun beberapa mekanisme yang terjadi pada stroke hemoragic akut
progresif diantaranya adalah:
Gangguan Pembekuan Darah
Perdarahan berkelanjutan (terus-menerus) dari pembuluh darah
primer atau perdarahan sekunder ke dalam gumpalan perifer yang terjadi
dari peregangan pembuluh sekitarnya dapat menjelaskan awal dari
ekspansi hematoma atau perdarahan intraventrikular. Pendarahan tanpa
henti atau re-bleeding yang terjadi pada ICH kemungkinan merupakan

hasil dari koagulopati pada pasien tertentu. Ekspansi Hematoma terbukti


berhubungan positif dengan penyakit hepar dan jumlah konsumsi alkohol ,
dan tidak berhubungan dengan tingkat fibrinogen . Penggunaan warfarin
dikaitkan dengan ekspansi hematoma dan perdarahan intraventrikular .
Broderick et al dan Yildiz et al

menemukan korelasi antara terapi

antiplatelet dan ekspansi hematoma . Serum LDL yang rendah

juga

dilaporkan terkait dengan tingkat ekspansi hematoma yang lebih tinggi;


peneliti berpikir bahwa hubungan ini berkaitan dengan fungsi LDL untuk
menjaga integritas pembuluh darah (Shiyu Chen, et al, 2014).
Hipertensi
Kazui et al menunjukkan bahwa interaksi hiperglikemia dan
hipertensi pada pasien yang

masuk rumah sakit dikaitkan dengan

munculnya ekspansi hematoma . Takeda et al

menunjukkan bahwa

tekanan darah > 160 mmHg diukur pada 1,5 jam setelah masuk rumah
sakit secara bermakna dikaitkan dengan ekspansi hematoma . Steiner et al
juga menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah pada saat awal
dikaitkan dengan perkembangan perdarahan intraventrikular . Sykora et al
menunjukkan bahwa penurunan sensitivitas baroreflex secara signifikan
berkorelasi dengan peningkatan fluktuasi tekanan darah dan merupakan
prediktor independen dari edema relatif. Terapi anti hipertensi yang telah
menjadi metode terapi rutin di ICH , telah menujukan hasil yang baik
dalam mengurangi pembesaran dari hematoma (Shiyu Chen, et al, 2014).

Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Stroke Hemoragic Akut Progresif ( Shiyu Chen, et al,

2014)
Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan faktor predisposisi penting dalam
terjadinya ekspansi hematoma. Querish et al telah menganalisis glukosa
darah pasien ICH diukur berulang kali setelah masuk rumah sakit selama
3 hari, dan hasilnya menunjukkan bahwa orang-orang dengan
peningkatan glukosa darah meningkat mempunyai resiko terjadinya
ekspansi hematoma dan edema perihaematomal , dibandingkan dengan
mereka yang glukosa darahnya lebih rendah. Penelitian menunjukkan
bahwa

hiperglikemia

meningkatkan

resiko

terjadinya

ekspansi

hematoma melalui efek peningkatan kallikrein , yang menghambat


agregasi platelet . Adanya hiperglikemia mungkin akibat dari riwayat
diabetes , atau reaksi stres dari ICH. Banyak penelitian telah

menunjukkan bahwa hiperglikemia pada saat masuk rumah sakit


dikaitkan dengan kematian dini dan hasil yang buruk pada pasien ICH
(Shiyu Chen, et al, 2014).
Lokasi hemoragik
Untuk pasien dengan ICH lobar, mortalitas dini dikaitkan
dengan keterlibatan lobulus parietalis inferior, insula posterior dan
thalamus posterolateral, sedangkan untuk pasien dengan ICH basal
gangglia, kematian dini dikaitkan dengan wilayah besar yang
membentang dari korteks ke batang otak. Perdarahan intraventrikular
berkorelasi dengan lokasi utama ICH. Sebuah studi retrospektif oleh
Hallevi et al menunjukkan bahwa thalamic memiliki frekuensi tertinggi
untuk terjadinya perdarahan intraventrikular. Lee et al juga mendeteksi
insiden yang lebih tinggi pada perdarahan intraventrikular adalah di
ganglia thalamic dan basal (Shiyu Chen, et al, 2014).
Faktor Sitotoksik dan Peradangan
Trombin

yang terbentuk dalam kaskade koagulasi yang

diaktifkan pada fase awal dari ICH, berkontribusi untuk awal


perkembangan edema perihaematomal dengan mengaktifkan Src kinase
fosforilasi untuk menghancurkan sawar darah otak

melalui aktivasi

reseptor protease. Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan


bahwa trombin bisa menginduksi apoptosis neuron dan astrosit ,
mempotensiasi

fungsi

glutamat

reseptor

NMDA,

mengaktifkan

microganglia, mengaktifkan proses autophagy atau menginduksi


pelepasan TNF-alpha. Selain itu juga aktivasi kaskade inflamasi dapat
menyebabkan kerusakan otak (Shiyu Chen, et al, 2014).
Heme oksigenasi, fibronectin seluler, IL-6, TNF alfa,
ekspresi

yang

berhubungan

berlebihan

dengan

(overexpression)

munculnya

ekspansi

dari

MMP-9

hematoma.

juga

Menurut

penelitian yang dilakukan oleh lee et al menunjukan bahwa dengan

memblok modulasi dari MMP-9 pada tikus yang mengalami ICH akan
dapat mengurangi ekspansi hematoma (Shiyu Chen, et al, 2014).
d. Manajemen stroke hemoragik akut progresif
Osmoterapi
Osmoterapi dengan manitol sering diterapkan pada fase akut
dari ICH untuk mengontrol tekanan intrakranial yang meningkat . Namun ,
manitol memiliki kemungkinan untuk menyebabkan terjadinya agregasi
ekspansi hematoma atau edema perihaematomal , karena dapat membuka
sawar darah otak atau membalikkan gradien konsentrasi osmotik antara
edema otak dan plasma.
Untuk

pasien

dengan

peningkatan

TIK,

dilakukan

pengangkatan kepala 30 derajat, memberikan 1,0-1,5 g / kg dari 20 %


mannitol dengan infus yang cepat dan hiperventilasi pasien dengan pcO2
28-32 mmHg

adalah protokol manajemen yang biasanya dilakukan.

Larutan saline hipertonik adalah pilihan alternatif untuk mengurangi


peningkatan tekanan intrakranial yang dialami pasien. Penelitian yang
dilakukan oleh wegner et al yang menatalaksanai pasien dengan
spontaneous lobar dan ganglia basal/ perdarahan thalamus dengan
menggunakan infuse larutan saline hipertonik kurang dari 72 jam
menghasilkan berkurangnya tekanan intracranial pada pasien (Shiyu Chen,
et al, 2014).
Kontrol tekanan darah
Efek protektif terapi anti-hipertensi pada ICH telah secara luas
dieksplorasi.Tekanan darah sistolik (SBP) dari 160 mmHg secara
bermakna dikaitkan dengan pembesaran hematoma dibandingkan dengan
orang-orang dari 150 mmHg, dan upaya untuk menurunkan tekanan
darah sistolik dibawah 150 mmHg dapat mencegah risiko ini. Beberapa uji
klinis telah dilakukan. The Intensive Blood Pressure Reduction in Acute
Cerebral Hemorrhage Trial (INTERACT) melakukan penelitian pada 404

pasien yang dipilih secara acak untuk menerima manajemen tekanan darah
standar (SBP <180 mmHg) atau manajemen tekanan darah yang lebih
agresif (SBP <140 mmHg); hasilnya menunjukkan penurunan ekspansi
hematoma sejumlah 2,80 mL, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam edema perihaematomal (Shiyu Chen, et al, 2014).
Saat ini, berdasarkan bukti-bukti yang ada, pedoman AHA /
ASA merekomendasikan bahwa untuk pasien dengan SBP> 200 mmHg
atau MAP dari> 150 mmHg, infus intravena terus menerus untuk
mengurangi BP harus diterapkan, dengan pemantauan tekanan darah setiap
5 menit. Untuk SBP dari> 180 mmHg atau MAP dari> 130 mmHg pada
pasien dengan kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial,dianjurkan
untuk mengurangi tekanan darah sekaligus mempertahankan tekanan
perfusi serebral dari 60 mmHg. Jika tidak ada bukti peningkatan tekanan
intrakranial, maka dianjurkan pengurangan tekanan darah secara sederhana
(misalnya, MAP dari 110 mmHg atau target tekanan darah kurang dari
160/90 mmHg) dengan pemeriksaan ulang setiap 15 menit (Shiyu Chen, et
al, 2014).
Reversal Koagulopati
Karena koagulopati berkontribusi pada perkembangan awal
dari stroke perdarahan. Bagi pasien yang telah menggunakan antikoagulan
oral, seperti warfarin, perlu untuk menarik obat dan memulai terapi
pembalikan dengan cepat, karena memberikan kontribusi untuk kedua
insiden yang lebih tinggi dari ekspansi hematoma dan tingkat kematian
yang lebih tinggi. Namun, karena warfarin hanya dapat berkontribusi dari
pada menyebabkan peran dalam patogenesis ICH

penghentian terapi

warfarin dengan administrasi vitamin K tidak cukup Shiyu Chen, et al,


2014).
Untuk antikoagulan seperti dabigatran , rivaroxaban atau
lepirudin , terapi antitrombotik sebelumnya juga bisa diterapkan ,
meskipun tidak ada konsensus untuk protokol pengobatan . Karena peran
antiplatelets

di

ICH

belum

ditetapkan,

tidak

ada

terapi

yang

direkomendasikan untuk reversal , sedangkan penerapan desmopresin


asetat dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Faktor activaded rekombinan VII untuk ICH telah dieksplorasi
dalam banyak studi . Faktor VII untuk perdarahan intraserebral akut fase
IIB dan uji coba fase III keduanya menunjukkan bahwa dengan
peningkatan dosis rFVIIa , volume perkembangan hematoma menurun.
Namun percobaan fase III menunjukkan bahwa rFVII tidak mengurangi
kematian atau meningkatkan hasil fungsional (Shiyu Chen, et al, 2014)
Kontrol Glukosa Darah
Meskipun diabetes dan hiperglikemia pada pasien yang nondiabetes terbukti memiliki kematian dini lebih tinggi, tidak ada kriteria
yang disepakati untuk kontrol glukosa darah pada fase akut ICH. Sebuah
uji coba terkontrol secara acak yang bertujuan untuk mendeteksi apakah
24 jam dari kontrol glukosa intensif oleh infus glukosa-kalium-insulin
dapat menurunkan angka kematian atau meningkatkan hasil fungsional
gagal menunjukkan hasil positif, meskipun hal itu terutama difokuskan
pada pasien dengan stroke iskemik. Saat ini, pedoman / ASA AHA
merekomendasikan bahwa glukosa darah harus dipertahankan dalam
kisaran normal untuk pasien dengan ICH akut (Shiyu Chen, et al, 2014).
Terapi Antiinflamasi
Randomized trial telah gagal dalam mendemonstrasikan efikasi
dari kortikosteroid sehingga terapi kortikosteroid tidak direkomendasikan
untuk menangani pasien dengan ICH (Shiyu Chen, et al, 2014).
Operasi
Apakah operasi yang bermanfaat untuk pasien dengan perdarahan
awal stroke telah menjadi sebuah kontroversi untuk waktu yang lama.
Sebuah analisis retrospektif dari Morioka menyarankan bahwa pasien yang
dilakukan operasi di tahap awal ICH menunjukkan hasil yang lebih baik
(Shiyu Chen, et al, 2014).

Metode bedah termasuk kraniotomi, kraniektomi dekompresi,


aspirasi stereotactic, aspirasi endoskopi, dan kateter aspirasi ditujukan
untuk menghilangkan bekuan . Beberapa jenis operasi dapat menurunkan
perkembangan awal dari ICH (Shiyu Chen, et al, 2014).
2.2.5 Stroke Hemoragik Sub Akut Progresif
a. Manifestasi Klinis
Beberapa pasien dengan perdarahan intraserebral menunjukkan
onset kerusakan yang sering terjadi selama minggu kedua dan ketiga .
Meskipun komplikasi seperti pendarahan berulang, deep vein trombosis,
dan pneumonitis dapat terjadi stroke homeragik subakut progresif harus
dikaitkan dengan efek peningkatan massa akibat oleh edema sekunder.
Seperti dijelaskan sebelumnya , edema perihaematomal memiliki dua
puncak : di hari keempat atau kelima , atau pada minggu kedua dan ketiga.
Perkembangan dari stroke hemoragik subakut belum banyak dilaporkan,
dan sulit untuk mengidentifikasi adanya kelaainan di tahap awal (Shiyu
Chen, et al, 2014).

b. Penyebab
Delayed edema perihaematomal
Edema Perihaematomal merupakan penanda penting dari
cedera sekunder di perdarahan intraserebral ( ICH ). Inaji et al meneliti
perubahan kronologis edema perihaematomal pada 14 pasien dengan CT
Scan dan menemukan bahwa adanya volume yang meningkat pesat
dalam waktu 3 hari setelah perdarahan , kemudian meningkat perlahanlahan sampai hari ke-14 , dan sesudah itu menurun. Dengan 2 minggu ,
volume perdarahan menurun , sedangkan edema dan perdarahan
ditambah volume edema meningkat secara signifikan.

Tension Hematoma
Pasien yang mengalami tension hematoma sering memiliki
riwayat hipertensi. Tanda Klinis utama tension hematoma adalah sebagai
berikut : peningkatan tiba-tiba dari ICP setelah pengentasan awal selama
terapi konservatif , dengan CT scan menunjukkan daerah dengan
kepadatan rendah , isodensity atau mixed density dekat perdarahan awal.
CT kontras dapat digunakan untuk membedakan edema perihaematomal
dari tension hematoma . Adanya Cincin - enhancement pada CT kontras
pada saat itu mengindikasikan pembentukan tension hematoma.

Gambar.2 Sebuah kasus stroke subakut progresif. Pasien dirawat di rumah sakit karena
disfagia , hemiparalysis dan gangguan kesadaran. CT pada saat masuk rumah sakit
menunjukkan perdarahan intraserebral frontal dan parietal kiri . Setelah pengobatan
awal , pasien sadar kembali . b) 10 hari setelah masuk rumah sakit , pasien menjadi lesu ,
dan mengulangi CT menunjukkan peningkatan efek dan garis pergeseran massa , dengan
pembesaran edema perihaematomal . Terapi osmotik kuat diterapkan segera dan
kesadaran pasien membaik. (c) CT berulang pada 17 hari pasca perawatan di rumah sakit
menunjukkan bahwa hematoma awal menyusut lebih lanjut , kepadatan edema otak
menurun , dan efek massa diringankan sederhana. (d) Sebuah CT ditingkatkan pada 17
hari tidak menunjukkan cincin enhancement. (Shiyu Chen, et al, 2014)

c. Mekanisme
Lisis sel darah merah dan keracunan besi
Berbeda dengan edema awal, delayed edema perihaematomal
terutama disebabkan oleh lisisnya eritrosit. Telah diamati pada pasien
ICH bahwa selama minggu kedua, edema perihaematomal bertambah
dalam ukuran bersamaan dengan terjadinya lisis bekuan.
Pembentukan jaringan granulasi
Pembentukan tension hematoma berhubungan dengan jaringan
granulasi sekitar hematoma awal . Selama absorbsi hematoma , jaringan
granulasi terbentuk disekitarnya , yang dapat dilihat pada kontras CT
sebagai cincin enhancement. Jaringan granulasi nampak seperti kapsul
yang membatasi absorbsi hematoma . Selanjutnya , tekanan onkotik
dalam

hematoma

meningkat

dan

infiltrasi

plasma

semakin

meningkatkan ketegangan di dalam kapsul. Selain itu , darah dapat


bocor dari kapiler yang terkandung dalam jaringan granulasi berulang
kali.

d. Managemen Terapi
Osmoterapi
Ketika terjadi penurunan tiba-tiba pada tanda dan gejala klinis
yang terjadi selama proses pengobatan konservatif , harus dicurigai
adanya ICH subakut progression. Pengulangan CT diperlukan untuk
menentukan apakah ada peningkatan efek massa atau pendarahan
berulang . Prioritasnya adalah untuk mengontrol tekanan intrakranial ,
dan osmoterapi lebih intensif harus diterapkan . Penempatan monitor
ICP dianjurkan , terutama pada pasien dengan skor Glasgow Coma Scale
kurang dari delapan dan orang-orang dengan herniasi transtentorial.
Beberapa peneliti telah merekomendasikan infus awal dan terus menerus
dari saline hipertonik untuk mengurangi edema perihaematomal yang
akan datang dan perkembangan efek massa. Namun , osmoterapi
mungkin tidak bermanfaat bagi pasien tertentu ; Oleh karena itu , operasi
akan menjadi rekomendasi terbaik untuk pasien ini
Operasi
Seperti dijelaskan sebelumnya , operasi minimal invasif lebih
berlaku dalam mengurangi perkembangan perihaematomal edema.
Untuk pasien dengan tension hematoma , operasi adalah satu-satunya
cara untuk meredakan ketegangan yang sangat meningkat dalam
hematoma. Jika terapi hiperosmolar tidak efektif , tension hematoma
harus dicurigai . Setelah CT atau MRI menegaskan adanya tension
hematoma dan nyata meningkatkan efek massa , operasi diperlukan
segera untuk menyelamatkan pasien dari peningkatan pesat tekanan
intrakranial.

Gambar 3. Management Stroke Subakut Progresif (Shiyu Chen, et al, 2014)

2.2.6 Stroke Kronik Progressif


a. Manifestasi Klinis
Chronic encapsulated intracerebral haematoma atau chronic
expanding intracerebral haematoma (CEICH) pertama kali dijelaskan oleh
Hirsh pada tahun 1981 ; meskipun telah dikenal untuk waktu yang lama,
penyebab dan mekanisme masih belum ditetapkan. Berbeda dari ICH
spontan, CEICH ditandai dengan onset lambat dan bertahap. Gejala sering
berkembang dan muncul dalam beberapa minggu atau bulan, termasuk
kejang, defisit neurologis progresif, seperti gangguan mental, ataksia,
hemianopia atau hemiparesis, gejala peningkatan tekanan intrakranial
seperti mual, muntah, sakit kepala, dan edema papil.

Strategi pemeriksaan neuroimaging membantu mendiagnosa


CEICH. Temuan dari CT didapatkan karakteristik bulat atau mirip lesi
bulat dengan kepadatan variabel, dengan atau tanpa kalsifikasi, dan
biasanya menghasilkan edema perilesional signifikan dan efek massa.
Oleh karena itu, CEICH menyerupai tumor otak atau intrakranial abses.

(Ettore Fiumara et all, 1989)

Kasus 1 Plain computed tomography ( CT ) menunjukkan lesi dengan massa hyperdense


di lobus frontal kiri ( a) . Fluid-attenuated inversion recovery ( FLAIR ) mengungkapkan
lesi sebagai campuran massa hipo dan hyperintensity dengan edema otak yang luas ( b ) .
Gadolinium-enhanced T1- magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan peningkatan
ringan ( panah kepala ) ( c ) . follow up pencitraan FLAIR dilakukan 1 tahun setelah
operasi menunjukkan perbaikan edema perifocal dan chronic encapsulated intracerebral
hematoma (CEIH) tidak kambuh ( d ) (akira nishiyama et all, 2014).

b. Penyebab
Untuk Chronic encapsulated intracerebral haematoma or
chronic expanding intracerebral haematoma (CEICH ), adanya malformasi
vaskular okultisme sering menjadi penyebab yang mendasari . malformasi
arteri , cavernomas , mikroaneurisma , amiloidosis pembuluh darah atau
aterosklerosis adalah penyebab umum. CEICH juga terjadi setelah
radiosurgeries atau trauma. Beberapa penyebab tetap tidak diketahui.

Tabel 1. Etiologi chronic encapsulated intracerebral haematoma or chronic


expanding intracerebral haematoma (Shiyu Chen, et al, 2014)
c. Mekanisme
Mekanisme perkembangan CEICH belum ditetapkan, dan sulit
untuk memprediksi apakah CEICH akan mempengaruhi pasien tertentu.
Pada pemeriksaan histologis, CEICH terdiri dari hematoma pusat dan
kapsul perifer tebal. Hematoma sering berisi gumpalan darah yang
melimpah, Makrofag hemosiderin-laden, celah kolesterol, kalsifikasi dan
jaringan fibrosa dapat hadir dengan atau tanpa malformasi arteri. Kapsul
terdiri dari membran luar yang tebal, serat kolagen padat dan jaringan
granulasi yang kaya kapiler. Para peneliti percaya bahwa beberapa
perdarahan awal bisa merangsang respon reaktif dalam jaringan otak
perifer dan mempromosikan fibroblast arachnoid atau jaringan kolagen
untuk berkembang biak, membentuk membran kapsul awal. perdarahan
berulang berikutnya atau eksudasi menghasilkan suatu jaringan granulasi

dan mempromosikan reaksi fibroblastik untuk berkembang menjadi kapsul


fibrosa. Unsur-unsur darah yang bocor ke dalam rongga, menyebabkan
meluasnya hematoma.

Gambar 3. Mekanisme dari CEICH (Shiyu Chen, et al, 2014)

d. Manajemen
Meskipun regresi spontan telah dilaporkan, sebagian besar
peneliti merekomendasikan operasi untuk mengobati CEICH. Karena
perdarahan berulang dari kapsul dan pembuluh abnormal penyebab utama
dari perkembangan CEICH , kapsul yang tersembunyi juga harus
dievakuasi sebanyak mungkin , sebanyak hematoma sendiri , untuk
menghindari kambuh dan pendarahan berulang. Seluruh lesi dan jaringan
otak yang berdekatan harus diteliti dengan seksama untuk menyingkirkan
potensi malformasi vaskular.

Intraoperatif view dilakukan kraniotomi bagian frontal sinistra dan lesi massa yang
terdefinisi ditemukan terletak seluruhnya di dalam parenkim otak ( panah ) ( a) . Lesi
massa keras dengan membran kekuningan dibersihkan secara en bloc ( panah ) ( b )
(akira nishiyama et all, 2014).

2.2.7 Stroke Iskemik Progresif


a. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Peredaran darah otak dilakukan oleh dua sistem yaitu vertebrobasilar dan karotis. Vaskularisasi sistem-basilar ke batang otak,
serebellum, talamus dan lobus medio-inferior temporalis sedangkan bagian
lain di vaskularisai oleh sistem karotis. Manifestasi klinis tiap daerah pada
otak mempunyai ciri-ciri tersendiri, disebabkan gangguan peredaran darah
dengan akibat perubahan metabolik maupun perubahan struktural yang
menetap.
Untuk mengetahui apakah penderita datang dengan stroke atau
bukan maka dapat ditanyakan tentang; waktu serangan, bentuk serangan,
tekanan darah saat serangan, keadaan saat serangan, nyeri kepala, muntah
maupun kesadaran saat serangan (amy K et all, 2010).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik maka dilakukan penilaian tingkat
kesadaran, pernapasan, suhu, tekanan darah, denyut nadi, gizi, anemi,
sianosis, paru dan jantung. Serta dilakukan pemeriksaan neurologis untuk
mengetahui apakah terdapat kaku kuduk untuk mengetahui adanya

perdarahan sub arachnoid, nervus cranial, motorik, sensorik, dan otonom


dari penderita (amy K et all, 2010).
Pemeriksaan Penunjang
Blood tests
CBC, Ca2+ (Hipo atau hipercalcemia dapat menyebabkan defisit fokal),
Elektrolit, kreatinin, LFT, Glukosa, kolestrol., kultur darah,
Analisis urin
Diabetes, hematuria
Echocardiogram
Radiologi :
CT-Scan
A

b. Mekanisme Stroke Iskemik Progresif

Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk perkembangan stroke. Berbagai


faktor

termasuk

kegagalan

kolateral

(bersamaan),

oklusi

arteri

besar,peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan transformasi hemoragik


dan peradangan.
-

Kegagalan kolateral

Oklusi dari pembuluh darah besar adalah salah satu prediktor yang paling
penting dalam perburukan neurologis awal. Oklusi vaskular menyebabkan
hipoperfusi dari wilayah yang terkena dampak. Kolateral adalah adalah
pembuluh darah asli yang menghubungkan wilayah arteri yang berbeda.
Klinis awal memburuk dapat terjadi karena disfungsi sinaptik dengan
integritas membran sel dan berpotensi reversibel dengan rekanalisasi
pembuluh. Rekrutmen yang baik dari kolateral membantu dalam
mempercepat pemulihan.
Status kolateral adalah penentu independen dari hasil klinis antara pasien
dengan akut. Laju pertumbuhan infark juga lebih cepat pada pasien dengan
kolateral intermediate dan hasil akan meningkat pada pasien yang
mencapai rekanalisasi berikut thrombolysis. Mikroangiopati diabetes dan
hipertensi kronis merusak fungsi mikrovaskuler, mengurangi potensial
pengembangan kolateral. Kolateral yang insufisiensi dapat menyebabkan
pengiriman oksigen berkurang dan gangguan metabolik, memperburuk
kerusakan sel dengan meningkatkan edema otak dan cedera radikal bebas.
-

Edema serebral
Davalos et al, menerangkan bahwa edema otak adalah faktor independen
dalam perburukan neurologis awal. Peningkatan tekanan intrakranial yaitu
sebesar 19% adalah kasus kerusakan stroke iskemik awal. Hal ini biasanya
komplikasi dari oklusi arteri intrakranial besar dan infark multilobar besar.
Edema otak menyebar di mode konsentris dan secara progresif
mengurangi fungsi klinis tanpa perpanjangan daerah infark (Ajith et al,
2015).
Infark arteri serebri megancam jiwa hingga 10% dari semua pasien stroke.
Derk et al & Scott et al juga menunjukkan bahwa pasien dengan 50%
dari wilayah arteri serebri stroke pada risiko tinggi untuk perkembangan
edema otak yang fatal.

Transformasi hemoragik
Transformasi hemoragik pada stroke iskemik umum terjadi dan rentang
dari petechiae asimtomatik kecil ke hematoma besar dengan efek tekanan.
Hematoma parenkim besar dianggap terkait dengan efek samping. Dalam

perpanjangan iskemia, akan ada uncoupling dari proses kaki astrosit dari
endothelium dan sawar darah otak menjadi keropos. Oleh karena itu,
durasi iskemia adalah faktor penting dalam transformasi hemoragik infark.
Vincent et al menunjukkan bahwa risiko transformasi hemoragik terkait
dengan tingkat iskemia serebral. Mereka menemukan bahwa pasien
dengan hypoattenuation di> 33% dari wilayah tengah arteri serebral pada
awal CT scan memiliki risiko tinggi untuk transformasi hemoragik.
Vincent dkk juga menganalisis hubungan transformasi hemoragik dan
stroke cardio-embolik, dan menemukan gagal jantung kongestif dikaitkan
dengan peningkatan hemoragik transformasi, sedangkan fibrilasi atrium
dan infark miokard tidak. Lodder et al menunjukkan bahwa
perdarahan konfluen mana lebih umum pada pasien stroke cardio-emboli.
Vincet et al juga menunjukkan bahwa risiko transformasi hemorrhagic
lebih tinggi pada pasien yang lebih tua berikut rtPA. Ada insiden yang
lebih tinggi dari transformasi hemorrhagic dalam rtPA merawati pasien
yang memakai aspirin sebelum stroke.
-

Re-oklusi re-kanalisasi arteri


Re-oklusi awal menjadi penyebab untuk dua pertiga dari kerusakan berikut
peningkatan pada pasien yang diobati dengan tPA. Alexandrov
menunjukkan bahwa oklusi terjadi hingga 34% dari tPA diobati pasien
dengan rekanalisasi awal. Dia juga menemukan bahwa re-oklusi terjadi
lebih sering pada pasien dengan sebelumnya re-kanalisasi parsial,
menyebabkan kerusakan neurologis dan tingginya kematian di rumah
sakit. Namun, ia juga mengamati bahwa pasien dengan re-oklusi memiliki
hasil yang lebih baik dari pasien tanpa re-kanalisasi. Sebuah studi
kelompok tunggal tPA akut diberikan pada pasien stroke menunjukkan
iskemia berulang awal sebesar 6%. Sebagian besar pasien mempunyai
fibrilasi atrium (Ajith et al, 2015).
Marta, et al menunjukkan bahwa klinis memburuk terjadi hingga 12% dari
stroke arteri serebri yang diobati dengan tPA. Mereka menunjukkan stroke
yang keparahan pada saat masuk dan kehadiran ekstrakranial penyakit
arteri karotid merupakan prediktor re-oklusi arteri awal setelah tPA

induced re-kanalisasi. Mereka juga mengamati bahwa keparahan stroke


menunjukan klinis dari beban gumpalan.
Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa efektivitas pengiriman dan
distribusi tPA ke gumpalan mempercepat fibrinolisis dan tingkat
fibrinolisis adalah tergantung pada gradien tekanan yang menggumpal
terkena. Kehadiran stenosis karotid parah ekstrakranial atau oklusi
menyebabkan penurunan regional tekanan perfusi serebral, yang mungkin
tidak hanya menghambat pembubaran gumpalan MCA tetapi juga
mendukung stasis darah, meningkatkan kemungkinan rethrombosis setelah
re-kanalisasi inkomplit. Selanjutnya, in vitro dan model hewan telah
menunjukkan bahwa gumpalan terbentuk dari berbagai biokimia dan
kondisi fisik menunjukkan kerentanan diferensial ke lisis. Ini bisa menjadi
salah satu mekanisme yang mungkin untuk re-oklusi berikut re-kanalisasi
dengan tPA.
Gumpalan terbentuk di bifurcations arteri yang biasanya dianggap sebagai
gumpalan kaya platelet. Yang terakhir adalah tahan untuk lisis dan lebih
rentan

untuk

rethrombosis.

Telah

diketahui

bahwa

tPA sendiri

mempromosikan trombosis dengan merangsang produksi plasmin, yang


mengaktifkan trombosit dan mengubah protrombin menjadi bentuk
aktifnya. Trombin juga telah ditunjukkan untuk memediasi aktivasi
trombosit dan untuk mengkonversi fibrinogen ke fibrin. Trombosit aktif
mensekresikan inhibitor plasminogen asli 1, yang menentang cascade
fibrinolitik intrinsik dan administrated tPA. Kehadiran gumpalan-kaya
platelet mungkin meningkatkan mekanisme ini seperti yang ditunjukkan di
pasien dengan MI akut di antaranya sebuah platelet augmented agregasi
adalah prediktor kuat dari re-oklusi setelah trombolisis. Ini bisa menjadi
lain kemungkinan alasan untuk re-oklusi.
-

Kejang
Kejang menjadi penyebab kerusakan neurologis 3% dari pasien dengan
stroke iskemik dengan infark kortikal besar. Hal tersebut menyebabkan
neurologis memburuk sementara, meskipun kejang parsial berkepanjangan
dapat menyebabkan perburukan persisten (Ajith et al, 2015).

Peradangan
Penyebab kerusakan neurologis awal pasien dengan infark lacunar masih
belum jelas. Penelitian dilakukan oleh M. Castellanos, et al dalam
serangkaian besar pasien dengan infark lacunar menunjukkan bahwa
tingkat tinggi dari peradangan merupakan faktor risiko independen untuk
awal kerusakan neurologis dan hasil yang buruk. Level plasma dari
mediator inflamasi interleukin-1,6, tumor necrosis alpha dan molecule-1
adhesi interselular telah diamati meningkat setelah penelitian iskemia otak.
Mereka mengamati tingkat yang lebih tinggi dari molekul inflamasi pada
pasien dengan stroke lakunar di ganglia basalis dan batang otak
dibandingkan pada mereka dengan infark putih, sehingga hipotesis bahwa
excitotoxisitas dan peradangan mungkin mewakili dan berinteraksi dalam
proses perkembangan stroke lakunar, terutama di daerah dengan kepadatan
tinggi neuron glutaminergic. Teori ini didukung oleh studi hewan
dilakukan oleh Chaco, yang menunjukkan bahwa paparan sel saraf janin
manusia untuk rangsang yang neurotransmitter asam amino, glutamat,
selama 6 hari, mengakibatkan hilangnya sel tergantung dosis. Selain itu
mereka menunjukkan bahwa glutamat TNF-alpha potensial toksisitas
diblokir dengan pemberian glutamat receptor antagonis. Sintesis
interleukin di otak dirangsang oleh cedera mekanik dan itu ditunjukkan
oleh Relton pada studi hewan bahwa kematian neuronal akibat focal
iskemia secara signifikan dihambat pada tikus disuntik dengan rekombinan
interleukin-1 antagonis reseptor, yang menunjukkan bahwa endogen IL-1
adalah mediator dari iskemia dan eksitotoksik otak. Baru-baru ini,
penelitian telah menunjukkan bahwa pasien yang mengkonsumsi aspirin
mengalami stroke yang lebih ringan. De Cristobal et al menunjukkan
bahwa aspirin memiliki efek neuroprotektif juga, selain dari efek
antiplatelet

pada

hewan

percobaan.

Efek

awal

ini

disebabkan

penghambatan glutamat. Kemudian, mereka dikonfirmasi temuan ini


dalam studi manusia. Mereka mempelajari tingkat glutamat pada pasien
dengan stroke iskemik akut dan menemukan bahwa pasien aspirin
memiliki tingkat lebih rendah dari glutamat dan juga pengobatan dengan

aspirin pada onset stroke memiliki pengurangan risiko 97%

untuk

kerusakan neurologis awal.

Stroke berulang
Pasien dengan stroke iskemik akut terkait dengan stroke berulang selama
awal minggu pertama dan terkait dengan perburukan neurologis awal.
Kang et al menunjukkan bahwa stroke berulang adalah yang paling sering
terlihat di antara pasien dengan aterosklerosis arteri besar (Ajith et al,
2015).

Progresi gumpalan
Kerusakan neurologis awal Stroke iskemik akut telah dikaitkan dengan
perkembangan gumpalan di masa lalu. Tetapi studi MRI awal stroke akut
menunjukkan oklusi pembuluh besar dan kegagalan kolateral bukan
perkembangan gumpalan sebagai mekanisme utama oklusi dari kerusakan
neurologis awal.

Depresi Penyebaran Kortikal


Ini adalah gelombang depolarisasi kecil di periinfarct dan daerah cedera
yang terus untuk periode bervariasi

dari waktu dan menyebabkan

kerusakan progresif. Ini sangat umum di infark hemisfer besar. Lebih


lanjut Penelitian ini sedang berlangsung untuk memanfaatkan potensi
terapeutik pilihan dalam aspek ini (Ajith et al, 2015).
c. Pengobatan
Pada penelitian yang dilakukan Galperin et al (2011), menunjukkan bahwa
dari 41 pasien dengan status fungsional baik diterapi dengan antikoagulan
(enoxaparin or heparin) untuk stroke progresif. Hasil pengukuran terhadap
perubahan status neurologis seperti lemah anggota badan, ataksia dan
kehilangan sensorid juga diperhatikan. Hasil menunjukkan 25 (61%) pasien
terdapat perbaikan neurologis. Jadi pada beberapa pasien stroke progresif
dapat diobati dengan antikoagulan karena menunjukan hasil yang baik.
e. Prognosis

Pada penelitian telah terbukti bahwa setelah stroke iskemik, peningkatan


kadar CRP berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan. Dari
120 pasien yang dirawat di unit gawat darurat Rumah Sakit Firoozgar
dengan diagnosis stroke; CRP, D-dimer dan feritin diukur dan pasien
diikuti sampai berhenti atau kematian. Hasilnya berupa tingkat CRP secara
signifikan berbeda antara pasien dengan TIA dan stroke. tingkat D-Dimer
secara signifikan berbeda antara TIA & kelompok yang diterima. Ferritin
tidak berbeda antara kelompok prognosis. Terdapat korelasi antara CRP
dan D-Dimer (r = 0,381, p = 0,001), dan juga antara CRP dan feritin (r =
0,478, p = 0,000). CRP merupakan penanda adjuvant berguna untuk
menentukan prognosis pasien dengan kejadian cerebro-vaskular dirawat di
rumah sakit, yaitu pada pasien riwayat stroke dan stroke pertama kalinya.
CRP yang tinggi pada orang sehat menunjukkan peningkatan risiko
kejadian koroner dan cereberovascular, prognosis yang lebih buruk di
infark miokard dan stroke iskemik. Ini mengindikasikan CRP yang harus
dipertimbangkan sebagai penanda risiko kardiovaskular. Pada pasien
dengan infark miokard akut atau stroke iskemik, luasnya nekrosis adalah
utama tetapi bukan satu-satunya penentu prognosis. Sayangnya tidak
mungkin untuk mengukur tingkat CRP sebelum stroke dan kita tidak bisa
menentukan nya nilai sebagai faktor diagnostik. Studi lebih banyak
diperlukan untuk menentukan perbedaan antara berbagai sumber stroke
(Hasani et al, 2011).

BAB III
KESIMPULAN

Stroke merupakan sindroma klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak
fokal maupun global dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain yang jelas selain
kelainan vascular. Stroke dikatakan progresif ( stroke in evolution) jika terjadi
defisit neurologis yang meningkat selama 24-48 jam. Secara tradisional stroke in
evolution terbatas pada stroke iskemik dan stroke hemoragik

sering

dikesampingkan dalam studi awal kemajuan Stroke. Namun , bukti menunjukkan


bahwa stroke progresif juga terjadi pada jenis stroke hemoragik . Beberapa
peneliti telah menunjukkan bahwa stroke hemoragik lebih sering dikaitkan dengan
terjadinya stroke progresif dibandingkan dengan

stroke iskemik dan bahwa

kerusakan dini yang terjadi dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk.

Anda mungkin juga menyukai