Anda di halaman 1dari 16

Perselisihan Hasil Pemilukada: Putusan Mahkamah

Konstitusi dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan


Pemilukada
oleh Igusti Putu Artha pada 17 Desember 2010 jam 19:53

Perselisihan Hasil Pemilukada:


Putusan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya
dalam Penyelenggaraan Pemilukada
Oleh I Gusti Putu Artha
I.

Pendahuluan

Sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 berlaku, terminologi


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaknai sebagai kegiatan
nonpemilu yang menjadi domain eksekutif dalam penyelenggaraannya.
Pernyataan tersebut dibuktikan oleh rumusan UU Nomor 32 Tahun 2004
yang tidak ada satu kata pun menyebut pemilihan umum. Pasal 1 angka
21 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan:
Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU
Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan
langsung oleh rakyat adalah salah satu bentuk implementasi dipilih secara
demokratis itu. Kendati demikian, kewenangan penyelenggaraannya masih
menjadi ranah eksekutif akibat persepsi bahwa Pilkada bukanlah Pemilu
sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD 1945. Pernyataan ini diperkuat
dengan realitas hukum bahwa peraturan pelaksanaan Pilkada diatur dalam
Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan KPU. Selanjutnya, penyelesaian
perselisihan hasil Pilkada dilaksanakan oleh lembaga yudikatif (pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi).

Setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 disahkan, terminologi Pilkada


berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada). Pemilukada dimaknai sebagai bagian dari kegiatan Pemilhan
Umum, sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 4 UU Nomor 22 Tahun 2007,
sebagai berikut:
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu
untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Artinya, interpretasi menyangkut tugas dan wewenang KPU sebagai
penyelenggara Pemilu sebagaimana diatur pasal 22E UUD 1945 telah
diperluas dengan Pemilukada. Tugas dan kewenangan itu dengan jelas diatur
pada pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 22
Tahun 2007. Secara filosofis yuridis, paradigma tugas Pilkada yang
sebelumnya menjadi ranah eksekutif telah dipindahkan menjadi ranah Komisi
Pemilihan Umum.
Sebagai tindak lanjut perubahan paradigma Pilkada menjadi Pemilukada,
maka UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 236C menegaskan:
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pemindahan kelembagaan yang menangani perselisihan Pemilukada dari
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi agar
sejalan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) huruf
d, yang menegaskan bahwa MK bewenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya final untuk memutus perselisihan hasil
pemilihan umum.
Sebagai pedoman teknis, MK menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 15 Tahun 2008 mengatur tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. PMK itu, pada Pasal 3
ayat (1) dan (2) mengatur mengenai objek yang dipersengketakan. Objek
yang dipersengketakan adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan
Termohon (KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota) yang: (1) mempengaruhi

penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada,


atau (2) mempengaruhi terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah.
Sampai dengan 1 November 2010, perkara perselisihan
hasil Pemilukada yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi berjumlah
198 perkara. Dari jumlah perkara sebanyak itu, sebanyak 138 perkara
ditolak: 35 perkara tidak diterima; 6 perkara gugur; dan 19 perkara
dikabulkan seluruhnya/dikabulkan sebagian/ putusan sela. Dalam konteks
putusan akhir terhadap perkara-perkara yang dikabulkan atau putusan sela,
hanya dua penetapan pasangan calon pemenang Pemilukada berbeda,
sebelum masuk ke MK dan setelah diputus final oleh MK, yaitu Pemilukada
Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten
Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara, dan Kabupaten Gresik Provinsi Jawa
Timur.
Terhadap perkara yang telah diputus MK dan gugatan
pemohon dikabulkan, ternyata memunculkan pandangan kritis sejumlah
pihak yang selama ini intens mengamati Pemilukada. Salah satu pandangan
itu diwakili oleh HAS Natabaya. Ahli hukum tata negara dan mantan hakim
MK ini mengatakan, saat ini putusan-putusan MK terkait sengketa pilkada
telah melampaui kewenangan. Dia mencontohkan putusan MK yang
membatalkan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan
dan Kabupaten Tebing Tinggi. Bahkan Natabaya menyebutkan putusan
Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai putusan yang lucu. Ia
mengatakan, MK telah mengambil kewenangan PTUN dan pengadilan umum
dalam memutus perkara pilkada.[3]
Di jajaran penyelenggara, pun muncul persoalan teknis dan
politis. Salah satunya, KPU Kabupaten Kotawaringin Barat hingga hari ini
menyatakan tidak dapat melaksanakan putusan MK dalam konteks
penetapan bupati dan wakil bupati terpilih, sehingga putusan MK belum
dieksekusi. KPU Kabupaten Kotawaringin Barat dalam rapat plenonya dengan
berita acara Nomor 397/BA/VII/2010 memutuskan antara lain (1)
menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010; (2)
Tidak dapat melaksanakan Putusan MK khususnya butir 4 yang berbunyi,
memerintahkan KPU Kabupaten Kotawaringin Barat untuk menerbitkan
surat keputusan yang menetapkan pasangan calon nomor urut 2 yaitu Dr. H
Ujang Iskandar, ST., M.si dan Bambang Purwanto, SST sebagai Bupati dan

Wakil Bupati terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010.
Oleh karena itulah, makalah ini mencoba menggambarkan
realitas putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian perselisihan hasil
Pemilukada dan implikasinya dalam persepektif penyelenggara.
II. Telaah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perselisihan Hasil
Pemilukada Tahun 2010
Sebelum membahas telaah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Perselisihan Hasil Pemilukada Tahun 2010, ada baiknya dikemukakan
pandangan menyangkut posisi MK dalam penanganan PHPU Kada. Secara
yuridis, setelah keluarnya UU Nomor 22 Tahun 2007 dan UU Nomor 12 Tahun
2008, maka legitimasi MK dalam menyelesaikan PHPU Kada adalah sah dan
legal. Kebutuhan MK untuk secara langsung menyelesaikan PHPU Kada, amat
strategis. Citra dan wibawa MK yang selama ini masih relatif terpelihara baik,
turut menumbuhkan kepercayaan publik, terutama pihak yang bersengketa,
bahwa MK akan mampu memutus perkara secara objektif dan adil.
Kendatipun, tidak belum bisa dibuktikan asumsi ini, namun penyelesaian
perkara PHPU Kada di jajaran pengadilan di tingkat bawah relatif rentan
dengan tekanan politik, terutama ketika kekuatan politik di pusat ikut
bermain memasuki ruang-ruang pengambilan keputusan pengadilan.
Terlebih pula, acapkali hakim di pengadilan umum kurang memiliki
kompetensi dan kecakapan untuk memahami dan menguasai dengan cepat
sejumlah persoalan dan regulasi menyangkut Pemilukada. Hal ini berbeda
dengan MK yang memang sejak awal ikut mengawal proses PHPU sehingga
minimal memiliki persepektif visi dan wawasan yang lebih luas. Selain itu,
dengan penyelesaian PHPU Kada di MK, maka kita memindahkan dan
mengubah konflik horizontal yang berpotensi anarkis dan penuh tekanan
massa di daerah menjadi konflik elit dan sengketa hukum di lembaga
peradilan.
Oleh karena itu, ketika wacana mengembalikan penyelesaian PHPU
Kada kembali ke Pengadilan Negeri dan Tinggi bergulir, saya termasuk yang
amat tidak setuju terhadap gagasan tersebut. Kita memang mengakui ada
problem penyiapan bahan-bahan dalam berperkara yang relatif memerlukan
biaya oleh pemohon maupun termohon, namun ini adalah masalah
administratif yang masih bisa dicarikan jalan keluarnya. Bahwa memberikan
kepercayaan dan legitimasi kepada MK dalam penyelesaian PHPU Kada

adalah sebuah kebutuhan di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga


peradilan.
Kendati demikian, kegelisahan beberapa pihak terhadap beberapa
putusan MK yang kemudian mendorong seorang Refly Harun menulis di
Rubrik Opini Harian Kompas dengan judul MK Masih Bersih?, patut
dicermati dengan seksama. Sejumlah putusan MK pun patut dikritisi dalam
rangka tugas kenegaraan kita bersama untuk mengawal MK tetap ada dalam
roh dan wibawanya. Sebagai salah seorang anggota KPU saya
mengidentifikasi beberapa catatan kritis yang menarik dijadikan bahan
diskusi dalam forum ini.
Pertama, problema tafsir payung hukum dalam
penyelesaian PHPU Kada. Sebagaimana telah dipaparkan di atas,
wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur UU Nomor 24 Tahun
2003, Pasal 10 ayat (1) huruf d, yang menegaskan bahwa MK bewenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sebagai tindak lanjut
perubahan paradigma Pilkada menjadi Pemilukada, maka UU Nomor 12
Tahun 2008 Pasal 236C telah memindahkan kewenangan penyelesaian PHPU
Kada dari Pengadilan Negeri dan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pedoman teknis, MK pun menerbitkan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 mengatur tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. PMK itu, pada Pasal 3
ayat (1) dan (2) mengatur mengenai objek yang dipersengketakan. Objek
yang dipersengketakan adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan
Termohon (KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota) yang: (1) mempengaruhi
penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada,
atau (2) mempengaruhi terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah.
Dalam konteks wewenang MK dalam penyelesaian PHPU Kada, terdapat dua
pandangan yang selama ini berkembang. Pandangan pertama, salah satunya
yang dianut mantan hakim MK HAS Natabaya, bahwa MK hanya berwenang
memutus perkara dengan objek hukum hasil penghitungan suara
sebagaimana dimaksud PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hal itu pun, hanya
terhadap hasil penghitungan suara yang benar-benar mempengaruhi
penentuan pasangan calon untuk masuk putaran kedua atau menjadi calon

terpilih. Jika tidak berpengaruh siginifikan, maka MK tidak bewenang


mengadili.
Pandangan pertama ini, juga menafikan sikap MK yang dinilai sebagai
terobosan hukum untuk menjadikan sejumlah alasan kualitatif seperti
politik uang, mobilisasi PNS, pelanggaran DPT sebagai pintu masuk untuk
disebut mempengaruhi penghitungan suara. Pendeknya, pemohon wajib
membuktikan melalui penghitungan yang benar menurut pemohon bahwa
penghitungan termohon salah. Tak ada urusan dengan hal-hal di luar itu.
Barangkali itulah yang menjelaskan kenapa MK pada kepemimpinan
sebelumnya tidak pernah merekomendasikan pembatalan pasangan calon
atau pemilu ulang karena alasan-alasan non pemungutan suara.
Pandangan kedua, menyatakan bahwa MK dapat mempertimbangkan dan
menilai apakah proses penyelenggaraan Pemilukada tersebut telah
berlangsung sesuai dengan asas luber dan jurdil. Hal ini dapat dilihat apakah
penyelenggaraan Pemilukada terdapat pelanggaran yang serius baik
pelanggaran administrasi dan pidana yang bersifat terstruktur, sistematis
dan masif sehingga mempengaruhi hasil penghitungan suara.
Pandangan kedua inilah yang kini dianut oleh Mahkamah Konstitusi. Sikap MK
itu tercermin dalam pendapat hukum MK dalam Putusan Nomor 41/PHPU.DVI/2008 ketika mengadili Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Di halaman 128
putusan itu, MK menegaskan:
Mahkamah tidak boleh membiarkan aturanaturan keadilan prosedural
(procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif
(substantive justice), karena fakta-fakta hukum sebagaimana telah
diuraikan dalam paragraf [3.20] sampai dengan paragraf [3.24] telah nyata
merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis,
dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Di halaman yang sama MK menyatakan, satu prinsip hukum dan keadilan


yang dianut secara universal menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh
diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri

dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran
yang dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum capere potest de
injuria sua propria). Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon
pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat
terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum. Terlepas dari penanganan penegak
hukum yang akan memproses semua tindak pidana dalam Pemilukada
secara cepat dan fair untuk menjadi alat bukti dalam sengketa pemilukada di
hadapan Mahkamah yang dalam pengalaman empiris Pemilukada
tampaknya kurang efektif, maka Mahkamah memandang perlu menciptakan
terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan
praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan masif seperti perkara a
quo.
Selanjutnya, memperkuat argumentasinya MK di halaman 129 menegaskan:
Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada,
Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang
sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan
dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan,
sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya bisa
dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan
Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa.
Kendati demikian, MK menyadari bahwa yang dapat diadili MK adalah hasil
penghitungan suara. Ini ditegaskan di halaman 129:
Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undangundang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara,
namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil
penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai
untuk menegakkan keadilan.
Hal ini, menurut MK, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Kemudian kedua ketentuan UUD 1945 tersebut dituangkan lagi ke
dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Saya berpendapat kedua pandangan itu ada sisi benarnya. Bahkan
pandangan kedua sebagai dianut oleh MK saat ini, seyogyanya kita dorong
dalam rangka menegakkan keadilan substantif. Pokok masalahnya adalah
pada perangkat hukum acaranya yang tidak segera direvisi untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan tersebut. Seyogyanya PMK Nomor 15 Tahun 2008
direvisi, lantas berbagai parameter, indikator dan teknis hukum acara
lainnya dirumuskan dan diberikan payung hukum yang jelas dan tegas. Jika
tidak, maka terkesan MK melanggar PMK yang dibuatnya sendiri.
Sebagai contoh, pasal 8 ayat (4) PMK 15 Tahun 2008 menyatakan
Untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah dapat menetapkan putusan
sela dengan penghitungan suara ulang. Namun faktanya, MK menetapkan
putusan sela bukan hanya untuk penghitungan suara ulang, tetapi juga
pemungutan suara ulang di bebeberapa TPS (Pemilukada Bangli dan
Tomohon), beberapa kecamatan (Pemilukada Merauke, Minahasa Utara,
Surabaya) hingga Pemilukada ulang (Konawe Selatan, Tebingtinggi, dan
Manado).
PMK 15 Tahun 2008, pasal 13 ayat (3) menyatakan bahwa amar
putusan MK
dapat menyatakan: (a) permohonan tidak dapat diterima apabila pemohon
dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan ini; (2) permohonan
dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya
Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, serta
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah; (c)
Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Namun faktanya adalah, MK membuat putusan di luar ketiga
parameter yang diatur dalam PMK, yaitu membatalkan calon terpilih dalam

kasus Pemilukada Tebingtinggi, mendiskualifikasi pasangan calon terpilih


(kasus Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat, pun tanpa disertai
penetapan hasil suara yang benar menurut Mahkamah.
Kedua, problem indikator kebenaran substantif. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, kita mendukung sepenuhnya upaya MK
untuk mengawal proses penegakan hasil Pemilukada agar benar-benar
mengedepankan kebenaran substantif, tidak sekadar kebenaran prosedural.
Oleh karena itulah, MK berhak untuk melakukan pemeriksaan secara dalam
agar kebenaran substantif itu terungkap. Namun demikian, seluruh
parameter pemeriksaan berbagai alat bukti dan kesaksian yang sifatnya
kualitatif tersebut seyogyanya dilakukan dengan kecermatan. Dengan
demikian beberapa indikator menyangkut ketidakberesan dalam
pemutakhiran data pemilih, perilaku politik uang dan mobilisasi pegawai
negeri sipil, dapat dibuat kesimpulan bahwa fakta-fakta pelanggaran
tersebut sungguh-sungguh berpengaruh terhadap perolehan suara yang
ditetapkan termohon. Penarikan kesimpulan oleh hakim MK bahwa
pelanggaran kualitatitif berpengaruh terhadap kuantitatif angka perolehan
suara pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU provinnsi/kabupaten/kota
setidaknya memunculkan dua pertanyaan kritis.
Pertanyaan kritis pertama, apakah keyakinan hakim MK bahwa
pelanggaran yang sifatnya kualitatif itu sungguh-sungguh berpengaruh
terhadap perolehan suara pasangan calon tertentu? Dalam kasus Kabupaten
Kotawaringin Barat misalnya ada fakta yang menarik. Pemohon pasangan
calon Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto menghadirkan 68 saksi. Para
saksi secara keseluruhan menyatakan bahwa benar terjadi politik uang yang
dilakukan pasangan calon Sugianto-Eko Sumarno. Lantas, hakim MK
mengambil kesimpulan bahwa, salah satunya, politik uang yang dilakukan 68
saksi telah mempengaruhi perolehan suara Sugianto-Eko Sumarno sehingga
menjadi pemenang. Tepatnya di halaman 189 Putusan MK Nomor 45/PHPU.DVIII/2010 menyatakan:
[3.26] Menimbang bahwa dengan fakta-fakta hukum yang dipandang
terbukti secara sah sebagaimana dipertimbangkan dalam paragraf [3.24] di
atas, berupa pelanggaran praktik politik uang yang dilakukan

secara massive yang sangat berpengaruh terhadap perolehan suara dan


Rekapitulasi Penghitungan Suara bagi masing-masing Pasangan Calon....
Logika sederhananya, karena politik uang yang dibuktikan oleh 68 saksi di
persidangan maka suara pasangan calon Sugianto-Eko Sumarno bertambah
siginifikan sehingga mempengaruhi perolehan suara total yang
mempengaruhi posisi pasangan calon tersebut memperoleh suara
terbanyak. Namun saya pernah mencatat dan merekap suara di 25 PPS, asal
dari ke-68 saksi tersebut. Hasilnya, bukan Sugianto-Eko Sumarno yang
unggul, malah Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto yang unggul di 25
desa, dibandingkan Sugianto-Eko Sumarno di 20 desa. Begitu total perolehan
suara di seluruh TPS di 25 desa. Jadi, kesimpulan kualitatif hakim sepintas
terbantahkan jika ditelaah dengan data-data kuantitatif.
Pertanyaan kritis kedua, jika para hakim MK hanya memfokuskan dugaan
pelanggaran yang sifatnya kualitatif itu (politik uang, mobilisasi PNS, soal
DPT) hanya terhadap pasangan calon yang ditetapkan termohon, bagaimana
dengan potensi dugaan pelanggaran yang sama yang juga amat mungkin
dilakukan pemohon? Dalam persidangan, posisi termohon hanya menangkis
seluruh tuduhan itu. Jika kebetulan, pasangan calon yang ditetapkan
termohon yang menjadi pihak terkait pun dalam kapasitas menangkis
tuduhan itu. Namun tidak pernah ada ruang pembuktian bahwa pemohon
juga berpotensi melakukan pelanggaran yang sama. Jika kemudian pemohon
melakukan pelanggaran yang sama sejauh mana kualitas pelanggaran kedua
belah pihak ini dapat dibuat kesimpulan oleh para hakim dengan cermat
menjadi angka-angka tertentu sehingga sampai pada putusan bahwa
pemilukada diulang atau diulang di beberapa TPS dan seterusnya.
Pada perspektif problem yang kedua inilah, hemat saya Peraturan MK
seyogyanya dapat membuat indikator dan parameter yang terukur
sedemikian rupa sehingga faktor-faktor kualitatif tersebut dirumuskan dalam
peraturan dimaksud dengan berbagai indikator yang jelas dan tegas. Dengan
demikian, siapapun hakim MK di masa depan tidak larut dalam pengambilan
keputusan hanya semata-mata berdasarkan keyakinan hakim tanpa hukum
acara yang jelas dan terarah.
Ketiga, problem administrasi penyusunan putusan. Diakui atau tidak,
beberapa rumusan putusan yang dipublikasikan oleh MK tampak kurang

profesional. Sejumlah redaksional putusannya bermasalah. Problem


administrasi hukum inilah yang berimplikasi tidak jelasnya putusan dan
putusan tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh adalah Putusan MK Nomor
45/PHPU.D-VIII/2010 tentang Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat.
Dalam amar putusannya di halaman 193-194 menulis:
Memerintahkan KPU Kabupaten Kotawaringin Barat untuk menerbitkan surat
Keputusan yang menetapkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 yaitu Dr. H.
Ujang Iskandar, ST., M.Si dan Bambang Purwanto, S.ST. sebagai
Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010;
Saya menggarisbawahi frase menetapkan.... sebagai Bupati dan Wakil
Bupati Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010. Sementara tugas dan
kewenangan KPU Kabupaten/Kota dalam Pemilukada sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 22 Tahun 2007, Pasal 10 ayat (3) huruf l dan m menyatakan
:
l. menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan
mengumumkannya.
m. mengumumkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten/kota terpilih dan membuat berita acaranya.
Dalam bahasa KPU Kabupaten Kotawaringin Barat, pihaknya tidak dapat
melaksanakan putusan MK tersebut karena kewenangan untuk menetapkan
bupati dan wakil bupati terpilih, tidak menjadi wewenangnya sebagaimana
dimaksud UU Nomor 22 Tahun 2007 tersebut.
Kasus kedua terjadi pada Putusan Nomor 124/PUU-VII/2009 yang
memutus perkara pengujian terhadap Pasal 348 dan 403 UU Nomor 27 Tahun
2009. Dalam naskah putusan MK yang dipublikasikan di website MK berbeda
redaksionalnya dengan salinan putusan MK yang diterima KPU. Tepatnya di
halaman 66 putusan tersebut di website tertulis:

Menyatakan pengisian Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota


Tangerang Selatan harus disamakan dengan pengisian Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah pada kabupaten induk in casu Kabupaten
Tangerang,hal demikian berlaku untuk daerah lain yang proses
pembentukannya mempunyai kesamaan dengan kasus a quo, yaitu
yang telah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan Pasal
212 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.....
Namun dalam salinan putusan yang diterima KPU, frase yang diberi tanda
tebal dalam paragraf di atas yaitu hal demikian berlaku untuk daerah
lain yang proses pembentukannya mempunyai kesamaan dengan
kasus a quo, sama sekali tidak tercantum. Hal yang sama jika dirinci
dapat ditemui dalam kasus-kasus putusan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Misalnya, penulisan calon terpilih tertulis
Husni, seharusnya Husin. Bahkan beberapa putusan menyangkut koreksi
angka, jika putusan Mahkamah diteliti ternyata jumlahnya yang dikalkulasi
MK melebihi DPT di dapil dimaksud.
Problema keempat, standarisasi putusan yang relatif tidak sama
terhadap kasus yang sama. Dalam sejumlah putusannya, MK ada kesan
menerapkan putusan yang berbeda terhadap kasus yang relatif sama.
Sebagai contoh, apabila MK menemukan fakta bahwa KPU
provinsi/kabupaten/kota meloloskan pasangan calon yang tidak memenuhi
persyaratan sesuai UU, maka MK bahkan membatalkan Pemilukada dan
pasangan calon tersebut (kasus pencalonan Kabupaten Tinggi). Namun, MK
belum pernah memutus fakta apabila ternyata KPU provinsi/kabupaten/kota
ternyata mencoret pasangan calon yang menurut KPU telah memenuhi
syarat, kendatipun PTUN dan KPU dalam keterangannya di persidangan telah
menyatakan pasangan calon tersebut memenuhi syarat (kasus Kota Medan
dan Waropen). Padahal, memasukkan dan mencoret pasangan calon yang
tidak memenuhi syarat memiliki implikasi terhadap komposisi perolehan
suara masing-masing pasangan calon.
Fenomena yang sama juga dapat diteliti pada kasus-kasus dengan
putusan pemungutan suara ulang karena pelanggaran yang bersifat kualitatif

oleh pasangan calon, namun dalam kasus yang relatif sama tidak diputus
demikian.
Problema kelima, pengambilalihan wewenang oleh MK terhadap
fungsi pengadilan lain. Sejumlah pihak menyayangkan putusan yang
diambil MK terhadap kesaksian dalam persidangan yang waktunya terbatas
karena pelanggaran kualitatif seperti politik uang dan pengerahan pegawai
negeri sipil. Dalam konteks politik uang, ada pandangan yang menyebutkan
bahwa pengadilan negeri seharusnya menetapkan dahulu kasus tersebut
barulah dapat dijadikan dasar pengambilan putusan oleh MK. Namun, MK
telah memeriksa dan memvonis sebuah peristiwa sebagai politik uang hanya
dalam kesaksian di persidangan. Belakangan persoalan menjadi makin ruwet
ketika ternyata sejumlah saksi yang digunakan dalam pengambilan
keputusan oleh MK ternyata terbukti memberikan kesaksian palsu.
Kasus terakhir, kewenangan memberhentikan anggota KPU
kabupaten/kota menurut UU Nomor 22 tahun 2007 adalah wewenang KPU
provinsi. Namun dalam kasus, Pemilukada Kabupaten Waropen Papua, MK
mengabaikan fakta hukum bahwa KPU Waropen telah diberhentikan. Pada
halaman 56, Putusan 181/PHPU.D-VIII/2010, dinyatakan:
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana tersebut
di atas, jika Mahkamah berpegang pada asas kepastian hukum, maka
Mahkamah harus menyatakan pemungutan suara tanggal 25 Agustus 2010
adalah tidak sah karena dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Waropen yang
telah diberhentikan oleh KPU Provinsi Papua sejak tanggal 21 Agustus 2010.
Namun jikalau pemungutan suara tanggal 25 Agustus 2010 dipandang tidak
sah dapat membawa implikasi yang sangat merugikan, mengingat telah
dikeluarkan biaya (baik financial costmaupun social cost) yang tidak kecil
untuk melaksanakan tahapan Pemilukada hingga tahapan pendistribusian
logistik Pemilukada, tahapan kampanye, dan tahapan pemungutan suara.
Selain itu, hal yang menjadi pertimbangan utama, menyatakan pemungutan
suara tanggal 25 Agustus 2010 tidak sah berarti tidak menghormati dan
tidak menghargai constitutional rights dalam implementasi demokrasi
Indonesia, terutama terhadap 16.133 pemilih dari total pemilih yang
terdaftar dalam DPT sejumlah 17.470 pemilih;

Tampak betul dalam paparan di atas, bahwa MK menyadari bahwa KPU


Waropen sah diberhentikan dan oleh karenanya pemungutan suara 25
Agustus yang digelar oleh KPU yang dipecat tersebut tidak sah. Namun MK
mengabaikan fakta hukum tersebut yang seharusnya ditegakkannya hanya
karena pertimbangan politik dan ekonomi. Saya pikir, MK telah melanggar
ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2007 dan mengambilalih wewenang KPU
provinsi soal legalitas keanggotaan KPU Kabupaten Kota.
Anehnya, dalam kasus Pemilukada Kabupaten Bangka Barat, MK
merestui pemberhentian tiga anggota KPU 10 hari sebelum pemungutan
suara, dan tetap menyatakan pemungutan suara saat itu sah.
Selanjutnya di halaman 57 MK menulis:
Mahkamah menilai KPU Provinsi Papua belum menunjukkan upaya sungguhsungguh untuk menyelesaikan konflik internal dalam tubuh KPU Kaupaten
Waropen tanpa harus menunda dan/atau membatalkan pelaksanaan
pemungutan suara tanggal 25 Agustus 2010;
Pernyataan MK tersebut di atas tampak mengabaikan seluruh fakta-fakta
hukum di persidangan sebagaimana tergambar dalam uraian-uraian
sebelumnya bahwa hampir dua bulan KPU dan KPU Provinsi Papua telah
menyelesaikan kasus ini, namun KPU Kabupaten Waropen tetap
membangkang. Dan MK telah mengamini proses pembangkangan itu dan
status ilegal KPU Kabupaten Waropen hanya karena pertimbangan ongkos
ekonomi dan sosial.
Persoalan menjadi serius karena, bukan mustahil apabila prosedur
pencalonan benar dilakukan oleh KPU Waropen maka komposisi hasil
pemungutan suara dan pasangan calon terpilih juga berbeda, karena
pasangan calon yang berlaga berbeda. Jadi apa gunanya proses tetap
berjalan jika esensi pilihan rakyat melalui calon yang benar-benar memenuhi
syarat dan menjadi pilihan rakyat terabaikan.
Pertanyaan kita kemudian adalah, jika misalnya tujuh orang KPU
yang sekarang telah diberhentikan dan tetap ngotot melaksanakan Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, apakah MK juga memiliki keberanian
untuk mengesahkan presiden terpilih yang dihasilkan dari keanggotaan
lembaga yang jelas-jelas ilegal?

III.

Implikasi Putusan MK terhadap Penyelenggaraan Pemilukada

Implikasi Politik dan Keamanan. Kita harus menyampaikan apresiasi


bahwa setelah penyelesaian PHPU Kada ditangani oleh MK, gejolak politik
secara nasional dapat direduksi. Teori, memindahkan dan mengubah konflik
horisontal menjadi konflik hukum dan elit ke pusat, tampak berhasil. Kita
tidak dapat membayangkan jika penyelesaian kasus masih di daerah secara
tercecer di pengadilan negeri dan tinggi, niscaya gelombang unjuk rasa dan
tekanan akan begitu kencang karena begitu dekatnya lokasi persidangan
dengan tempat penyelenggaraan Pemilukada.
Kendati demikian, dalam beberapa kasus keputusan yang dinilai
kontroversial, MK juga berkontribusi menimbulkan ketegangan secara lokal.
Sebagai misal kasus Kotawaringin Barat yang tensi politiknya demikian
tinggi.
Implikasi Ekonomi. Dari 19 perkara yang dikabulkan MK dan
direkomendasikan penghitungan, pemungutan suara ulang hingga
Pemilukada ulang, dan telah dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota, belum
ada satu perkara pun yang dimenangkan oleh pasangan calon yang pada
awalnya dikabulkan permohonannya oleh pemohon. Ini artinya, sejauh ini
proses yang dilakukan KPU kabupaten/kota dikukuhkan kembali dalam
penghitungan atau pemungutan suara ulang dimaksud. Di satu sisi hasil
tidak berubah, di pihak lain ongkos ekonomi yang dikeluarkan negara untuk
menggelar Pemilukada dan pemngutan suara ulang relatif tinggi. Hemat
saya, seharusnya fakta-fakta bahwa belum pernah permohonan yang
dikabulkan oleh MK kemudian nyata-nyata menang dalam pemungutan
suara ulang, dijadikan rujukan MK untuk lebih cermat dan hati-hati dalam
mengambil putusan apakah sebuah pemilukada patut diulang atau tidak.
IV.

Penutup

Sejauh ini kita berkeyakinan bahwa Mahkamah Konstitusi masih memiliki


kepercayaan dan kredibilitas yang tinggi untuk menangani PHPU Kada. Dari
berbagai aspek, kita tetap pada pilihan bahwa MK lah lembaga yang tepat

untuk menangani PHPU Kada. Namun demikian, kepercayaan tersebut tetap


senantiasa disertai sikap kritis terhadap seluruh putusan MK sehingga MK
dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya berlandaskan hukum,
dengan implikasi politik keamanan yang rendah. Oleh karena itu, MK perlu
segera menata ulang seluruh hukum acara yang mengatur PHPU Kada di
satu sisi dan juga penanganan kasus Pemilu lainnya. Dengan langkahlangkah itu, kita berkeyakinan MK akan tetap mendapat kepercayaan publik.
Jakarta, 1
November 2010

[1] Judul makalah yang disampaikan pada Workshop Pemilukada dengan


topik Implementasi dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstititusi yang
diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Bogor pada hari Rabu, 3 November
2010 di Bogor.
[2] Anggota KPU Divisi Hukum dan Pengawasan, Ketua Pokjanas Pemilukada.
[3] Lihat berita Harian Kompas berjudul Sengketa Pilkada, MK Melampaui
Kewenangan 7 Agustus 2010.

Sumber
http://www.facebook.com/photo.php?
fbid=186090244740287&set=o.264927984499&ref=notif&notif_t=photo_comment
#!/note.php?note_id=177680902251403
http://www.facebook.com/note.php?note_id=177680902251403
http://www.kpud-pacitankab.go.id/node/59

Anda mungkin juga menyukai