Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

Pembimbing :
dr. Hj. Amanukarti Resi Oetomo, Sp.PD

Disusun oleh:
Rara Siti Aisyah, S.ked (011.06.040)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Abses hepar masih merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa negara
berkembang. Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah, serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hepar di daerah perkotaan. Di negara yang sedang
berkembang abses hepar amebik lebih sering didapatkan secara endemik dibanding dengan
abses hepar piogenik. Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hepar merupakan abses soliter, sedangkan abses
lobus kiri hanya 10% yang merupakan abses yang soliter, hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi didalam
rongga peritoneum.
Secara umum abses hepar terdiri atas dua jenis, yaitu : abses hepar amebik (AHA) dan
abses hepar piogenik (AHP). Abses hepar amebik merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropis/subtropik termasuk di Indonesia.
Abses hepar amebik lebih sering terjadi di daerah endemik negara berkembang
dibandingkan abses hepar piogenik. Angka kejadian abses hepar piogenik lebih tinggi
dibandingkan abses hepar amebik, angka kejadian abses hati amebik hanya sekitar 20% dari
semua abses hepar. Abses hepar amebik terutama disebabkan oleh Entamoeba Histolytica,
sedangkan abses hepar piogenik paling banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif, yang
terbanyak yaitu Escherichia coli, Klebsiella Pnemoniae, juga terjadi akibat komplikasi
apendisitis ataupun dari sistem billiaris.

BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama

: Tn. S

Umur

: 47 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki


Alamat

: Lombok Timur

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Buruh

No. CM

: 162951

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram pada tanggal 26 November 2015 dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Keluhan tersebut dirasakan sejak 3 hari yang lalu sampai
mengganggu aktivitas. Nyeri dirasakan seperti ditekan dan terasa panas. Nyeri bertambah bila
pasien banyak bergerak. Pasien pernah berobat ke dokter tapi tidak ada perubahan dan tidak
mengetahui nama obat yang diberikan. Selain itu pasien juga merasa lemas, nafsu makan
menurun, mual dan muntah disangkal. Demam juga dirasakan sejak 3 hari SMRS namun
tidak tinggi, menggigil (-). Pasien juga sering sesak dan akhir-akhir ini sampai tidak bisa
beraktivitas, batuk dirasakan kadang-kadang dan lebih sering pada malam hari. Tidur
dirumah menggunakan 2 bantal. Kaki membengkak sejak 3 bulan terakhir. BAK (+) lancar
berwarna kuning jernih dan tanpa keluhan, BAB (+) lancar berwarna kuning dan tanpa
keluhan.
3

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Pasien belum pernah merasakan keluhan nyeri perut seperti sekarang sebelumnnya

Pasien memiliki riwayat penyakit gagal jantung sejak awal tahun 2015, dan rutin kontrol
serta minum obat.

Riwayat kencing manis (-)

Riwayat tekanan darah tinggi (-)

Riwayat penyakit kuning (-)

Riwayat diare (-)

Riwayat sakit usus buntu (-)

Riwayat batuk lama dengan pengobatan 6 bulan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang mengalami penyakit kuning, penyakit jantung, kencing
manis, darah tinggi maupun keluhan seperti yang dialami pasien seperti saat ini
Riwayat pribadi sosial
Pasien adalah seorang buruh bangunan. Pasien mengkonsumsi obat jantung sejak
awal tahun 2015. Pasien tidak merokok, tidak minum alcohol, tidak ada kebiasaan minum
jamu-jamuan. Tidak ada orang sekitar yang mengalami penyakit seperti pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

: Lemah

Kesadaran

: Compos mentis (E4V5M6)

TD

: 130/90 mmHg

Nadi

: 53 x / m, isi dan tegangan cukup, reguler

Pernafasan

: 22 x / m

Suhu

: 37,6 o C (suhu aksila)

Status gizi

Berat badan

Tinggi badan : 164 cm

IMT

: 62 kg

: 23,8 (Normoweight)

Kepala : normocepal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah


rontok.

Dahi

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus +/+, reflek cahaya (+), pupil

: Turgor kulit cukup

isokhor.

Telinga: bentuk normotia, serumen -/-, otorhea -/-

Hidung

: nafas cuping hidung (-), mukosa hidung merah muda, septum

deviasi (-), sekret (-)

Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), tremor (-), stomatitis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea ditengah, Pembesaran Tiroid (-), JVP R
+3

Thoraks
Paru Depan
Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis,
retraksi sela iga (-)
Palpasi

: nyeri tekan (-), Vokal Fremitus kanan = kiri normal

Perkusi

: sonor disemua lapang paru

Auskultasi: Suara dasar vesicular (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)


Paru Belakang
Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis,
retraksi sela iga (-)
Palpasi

: nyeri tekan (-), Vokal Fremitus kanan = kiri normal

Perkusi

: sonor disemua lapang paru


6

Auskultasi : Suara dasar vesicular (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)


Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis sinistra

Perkusi

: batas atas di ICS III linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV linea
parasternalis dextra, batas kiri di ICS V linea midclavikularis sinistra

Auskultasi

: S1 S2 tunggal regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, Distensi (-), pelebaran vena kolateral (-), caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Perkusi

: batas atas hepar ICS VI, pekak (+) dan nyeri ketok (+) pada regio
hipokondrium dextra, timpani pada regio, kanan bawah dan kiri bawah. Liver
span lobus dextra 15cm lobus sinistra 10 cm, nyeri ketok CVA (-/-)

Palpasi

: nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan kuadran kanan atas (+) VAS 7
(nyeri mengganggu) hepar teraba 3 jari dibawah arkus kosta dengan batas
tegas, konsistensi lunak, permukaan rata. Ren dan lien tidak teraba. Asites (-).
Murphy sign (+)

Ekstremitas
Atas

: Eritema palmaris (-/-), akral hangat, CRT< 2 detik, edema -/-, sianosis -/-

Bawah :Eritema palmaris (-/-) akral hangat, CRT< 2 detik, edema+/+, sianosis -/-

PROBLEM LIST

Nyeri perut kanan atas

Nyeri perut seperti di tekan dan terasa panas

Nyeri bertambah bila bergerak

Lemas

Nafsu makan menurun

Demam (+)

Ikterik +/+

Hepatomegali

JVP R + Sesak saat aktivitas maupun istirahat

Tidur dengan 2 bantal

batuk lebih sering malam

Edema kedua kaki

Riwayat penyakit jantung (+)

Murphy sign (+)

ASSESMENT

Problem List
Nyeri perut kanan atas

Nyeri perut seperti di tekan dan terasa


panas

Nyeri bertambah bila bergerak

Lemas

Nafsu makan menurun

Demam (+)

Ikterik +/+

Hepatomegali

Murphy sign (+)

Riwayat penyakit jantung (+)

JVP R + 3

Sesak saat aktivitas maupun istirahat

Tidur dengan 2 bantal

batuk lebih sering malam

Edema kedua kaki

Riwayat penyakit jantung (+)

Assesment
Observasi nyeri perut kanan atas, DD
1.
2.
3.
4.
5.

Abses Hepar
Kolesistitis
Hepatoma
Congestive liver
Hepatitis kronis

CHF NYHA IV

PLANNING DIAGNOSTIC

Darah Lengkap, Urine Lengkap, Ureum, kreatinin, HbsAg, Bilirubin total, Bilirubin
Direct, GDS, Elektrolit

LFT (SGOT, SGPT, Gamma GT, ALP)

EKG, Ro thorax, USG abdomen, Echocardiogram

PLANNING TERAPI

O2 2 lpm
9

Asering 10 tpm

Inj ketorolac 10 mg

Inj digoxin 0,25 mg

Inj Furosemide 1 x 20 mg

Spironolakton tablet 1 x 25 mg

Bisoprolol tablet 1 x 2,5 mg

Captopril 1 x 6,25 mg

PLANNING EDUKASI
Tidur setengah duduk
O2 jangan dilepas
Kurangi minum
Diet bubur
Selama rawat inap, urin ditampung untuk diukur jumlahnya, minum dicatat jumlahnya
Edukasi ke pasien dan keluarga bahwa akan sering kencing karena dalam terapi

diuretik
Jika sesak atau gejala yang dialami pasien tiba-tiba memberat, segera lapor kepetugas

10

11

PROGRESS NOTE
26 November 2015
Subject
Object
KU
:
Sedang
nyeri perut kanan

atas sejak 3 hari TD : 130/90 mmHg


N : 53 x / m

yang lalu

seperti R : 18 x / m
o
dan S : 37,6 C

Nyeri
ditekan

terasa panas
Nyeri
bila

Pemeriksaan Fisik

bertambah Mata : anemis -/-, ikterik +/+


banyak Leher : JVP R + 2
Pembesaran KGB (-)

bergerak

Thorax

Lemas
nafsu

makan

menurun
Demam
menggigil (-)

Pulmo :ves +/+, rh -/-, wh -/-

di tekan dan terasa

Echokardiogram

bila bergerak

O2 2 lpm

Lemas

Asering 10 tpm

Nafsu makan

Inj ketorolac 10

menurun

Ikterik +/+

Abdomen :

Hepatomegali

Distensi (-)

SGOT 98

arkus costa

bulan Edema (-) pd kedua kaki

BAB (+) lancar

USG abdomen

Murmur (-) Gallop (-)

Kaki membengkak Ekstremitas :

BAK (+) lancar

Demam (+)

Ren, Lien : tdk teraba

terakhir

Nyeri perut seperti

Planning Terapi

(meningkat)

Akral hangat (+) pada keempat


ekstremitas.

mg

(meningkat)

HbsAg (-)

Murphy sign (+)

Abses hepar dd
1. Kolesistitis
2. Hepatoma
3. Congestive liver

Inj Furosemide 1 x
20 mg

Bisoprolol tablet 1
x 2,5 mg

Spironolakton
tablet 1 x 25 mg

(meningkat)
Bil.Direct = 3,25

Inj digoxin 0,25


mg

Gamma GT = 75
Bil Total = 5,99

Inj Cefoperazone
1 gr/ 12 jam

SGPT 94
(meningkat)

Lobus kanan hepar 15 cm, lobus


menggunakan 2 kiri hepar 10 cm.

DIAGNOSTIC

Nyeri bertambah

Tidur

sejak

atas

panas

batuk lebih sering Hepar teraba 3 jari dibawah

bantal

Planning
PLANNING

Cor S1 S2 tunggal regular

sesak sampai tidak BU (+) Normal


bisa beraktivitas Nyeri tekan (-)
pada malam hari

Assesment
Nyeri perut kanan

Captopril 1 x 6,25
mg

Planning Edukasi
Tidur

setengah

duduk
O2 jangan dilepas
Kurangi minum

12

Ro thorax :

JVP R + 3

Sesak saat aktivitas Selama rawat inap,

maupun istirahat

urin

Tidur dengan 2

untuk

bantal

jumlahnya, minum

batuk lebih sering

dicatat jumlahnya

malam
Cor
: tampak membesar dg
CTR 65%
Pulmo : Tak tampak
infiltrate/nodul. Corakan
broncovascular normal
Costo phrenic angle kanan kiri
normal
Diafragma kanan kiri nomal
Tulang dan soft tissue tak
tampak kelainan
KESAN :
Kardiomegali
Lab Hematologi
HbsAg = (-)
Hb = 13,4 g/dL (N)
WBC = 7.71uL (N)
PLT = 170.000 uL (N)
SGOT =96 (meningkat)
SGPT = 134 (meningkat)

Edema kedua kaki

Riwayat penyakit
jantung (+)

Diet bubur

Kardiomegali

ditampung
diukur

Edukasi ke pasien

dan keluarga bahwa


akan sering kencing
karena dalam terapi
diuretik

CHF NYHA IV

Ureum 121,3 mg/dl


(meningkat)

Creatinin 1,6 mg/dl


(meningkat)

LFG = 48
ml/mnt.1,73 m2

Insufisiensi Renal
1. CKD Stage III
2. Gagal Ginjal
Akut

Gamma GT = 48 (N)
ALP = 44 (N)
Bil Total = 5,99 (meningkat)
Bil.Direct = 3,25 (meningkat)
Ureum = 121,3 (meningkat)
Creatinin = (LGF = 41 ml/mnt.
1,73 m2)
GDS = 112 mg/dL (N)

13

Elektrolit
Na = 132 (N)
K = 4,8 (N)
Cl = 101 (N)
EKG

Bacaan EKG
1. Irama sinus
2. HR 60 x / menit
3. Aksis normal
4. Gelombang P 0,08 dtk (N)
5. PR interval 0,2 dtk (N)
6. QRS Kompleks 0,08 dtk (N)
7. ST segmen : ST elevasi (-), ST depresi (-) : Isoelektrik
8. Gel T : Tall T (-), T inverted (-)
Kesimpulan : irama sinus dengan HR 60 x/menit

14

27 November 2015
Subject
Object
Nyeri perut kanan KU : Sedang
masih TD : 80/60 mmHg

atas

N : 65 x / m

dirasakan

R : 23 x / m

Sesak (+)

S : 37,8 C

Mual (+)

Pemeriksaan Fisik

Muntah (+)

Leher : JVP R + 2

Demam (+)
+

Assesment
Mual (+)

Planning
PLANNING

Muntah (+)

DIAGNOSTIC

Nyeri perut kanan

USG abdomen

atas

Echocardiogram

Mata : anemis -/-, ikterik +/+

Pusing (+)

BAK

Pembesaran KGB (-)


BAB Thorax

lancar

Pulmo :ves +/+, rh -/-, wh -/-

Makan sedikit

Cor S1 S2 tunggal reguler

Minum (+)

Abdomen :

Nyeri perut seperti


di tekan dan terasa

PLANNING

panas

TERAPI

Nyeri bertambah

O2 2 lpm

bila bergerak

Asering 10 tpm

Lemas

Cefoperazone 1 gr/ 12

Nafsu makan

menurun

Inj digoxin 0,25 mg


Inj Furosemide 1 x 20

Distensi (-)

Demam (+)

BU (+) Normal

Ikterik +/+

Nyeri tekan (-)

Hepatomegali

Hepar teraba 3 jari dibawah

SGOT 98

arkus costa

(meningkat)

Lobus kanan hepar 15 cm, lobus


kiri hepar 10 cm.

SGPT 94

Ren, Lien : tdk teraba


Ekstremitas :
Edema (-) pd kedua kaki
Akral hangat (+) pada keempat
ekstremitas.

jam

mg
Bisoprolol tablet 1 x
2,5 mg
Spironolakton tablet 1
x 25 mg

(meningkat)

Captopril 1 x 6,25 mg

Gamma GT = 75

Inj pantoprazole 1 x

Bil Total = 5,99


(meningkat)

40 mg
Inj ondancentron 8 mg

Bil.Direct = 3,25
(meningkat)

HbsAg (-)

Murphy sign (+)

Abses hepar dd

PLANNING
EDUKASI
Tidur setengah duduk
O2 jangan dilepas

1. Kolesistitis

Kurangi minum

2. Hepatoma

Diet bubur
15

3. Congestive liver

Selama rawat inap,

JVP R + 3

urin

Sesak saat aktivitas

untuk

maupun istirahat

jumlahnya, minum

Tidur dengan 2

dicatat jumlahnya

bantal

ditampung
diukur

Edukasi ke pasien dan

batuk lebih sering

keluarga

malam

akan sering kencing

Edema kedua kaki

karena dalam terapi

Riwayat penyakit

jantung (+)

Kardiomegali

CHF NYHA IV

diuretik
Bila ada tanda-tanda
kegawatan

Ureum 121,3 mg/dl

Creatinin 1,6 mg/dl


(meningkat)

segera

lapor kepetugas

(meningkat)

bahwa

LFG = 48
ml/mnt.1,73 m2

Insufisiensi Renal
3. CKD Stage III
4. Gagal Ginjal

Akut

16

28 November 2015
Pasien tiba-tiba apneu kemudian dilakukan RJP serta pemberian epinefrin, setelah RJP 5
siklus pasien tidak ada respon, nadi tidak teraba, refleks cahaya -/-, EKG flat. Dinyatakan
meninggal pukul 04.05 wita.

17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. ABSES HEPAR
.

DEFINISI
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri darijaringan
hati nekrotik,sel-sel inflamasi atau sel darah diparenkim hati.
ETIOLOGI
a.

Abses Hepar Amebik (AHA)


Penyebab utama abses hepar amebik adalah Entamoeba Histolytia dan merupakan

komplikasi ekstraintestinial dari Entamoeba Histolytica yang dapat menimbulkan pus dalam
hati.

Gambar 1.1. Entamoeba Histolytica Bentuk Tropozoit

Komplikasi ekstraintestinal yang paling sering terjadi akibat infeksi Entamoeba


histolytica adalah amebiasis intestinalis klinis. Entamoeba histolytica adalah protozoa usus
kelas Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseudopodi atau kaki semu.
18

Terdapat 3 bentuk parasit yaitu: bentuk tropozoit, bentuk kista, dan bentuk prakista. Tropozoit
adalah bentuk yang aktif bergerak dan bersifat invasif, dapat tumbuh dan berkembang biak,
aktif mencari makanan,dan mampu memasuki organ dan jaringan. Bentuk kista Entamoeba
Histolytica bulat, dengan dinding kista dari hialin, tidak aktif bergerak . Terdapat dua ukuran
kista, yaitu minutaform yang berukuran <10 mikron, dan magnaform yang berukuran > 10
mikron. Kista yang berukuran <10 mikron disebut Entamoeba hartamani yang ditemukan
dalam tinja,tidak patogen untuk manusia. Kista yang sudah matang mempunyai empat inti
dan merupakan bentuk infektif yang dapat ditularkan pada manusia, dan tahan terhadap asam
lambung.

Gambar 1.2. Daur Hidup Entamoeba Histolytica.


a.

Abses Hepar Piogenik (AHP)


Penyebab utama abses hepar piogenik adalah bakteri Escherichia Coli. Selain

Escherichia Coli, organisme lain yang didapatkan adalah Klebsiella, Staphylococcus Aureus,
Proteus, Pseudomonas, dan bakteri anaerob.

19

Gambar 1.3. Escherichia Coli.


Infeksi dari hati dapat juga berasal dari :
1.

Sistem biliaris langsung dari kandung empedu atau melalui saluran-saluran empedu.

Infeksi pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang saluran empedu
intrahepatik yang menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangitis dengan akibat abses
multipel. Abses hati piogenik multiple terdapat pada 50% kasus, hati dapat membengkak dan
daerah yang mengandung abses menjadi pucat kekuningan, berbeda dengan hati sehat
disekitarnya yang berwarna merah tua. Kebanyakan terdapat pada lobus kanan dengan
perbandingan lima kali lobus kiri.
2.

Infeksi melalui sistem porta. Sepsis intra-abdomen, terutama apendisitis, divertikulitits,

disentri basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal
merupakan penyebab utama abses hepar piogenik. Pada umumnya berawal sebagai
pileflebitis perifer disertai pernanahan dan thrombosis yang kemudian menyebar melalui vena
porta ke dalam hati.
3.

Hematogen melalui arteri hepatika. Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan

laserasi, perdarahan, dan nekrosis jaringan hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah
terinfeksi. Hematoma subkapsuler dapat juga mengundang infeksi dan menimbulkan abses
yang soliter dan terlokalisasi.

20

ANATOMI DAN FISIOLOGI


a.

Anatomi Hepar
Hati adalah organ terbesar intestinal dengan berat antara 1.200 gram 1.800 gram

atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa, dan merupakan pusat metabolisme tubuh
dengan fungsi kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Hati
merupakan organ lunak yang lentur dan memiliki permukaan superior yang cembung dan
terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati
berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus.

Gambar 1.4. Hepar terlihat dari posisi anterior

Hati memiliki dua lobus utama yaitu : lobus kanan dan lobus kiri. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari
luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang
terlihat dari luar. Ligamentum falsiformis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan
abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada
permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang
merupakan peritoneum membantu menyokong hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan
ikat padat yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ,
bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang
vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hati tempat
masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatica.
21

Gambar 1.5. Hepar.


Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan, dan batas bawah
menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk
cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari porta hepatis. Omentum minor
terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatika, vena porta, dan duktus
koledokus.

Gambar 1.6. Lobus Hepar dan Ligamen.


22

Sistem porta terletak di depan vena kava dan di balik kandung empedu. Permukaan
anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform
yaitu lobus kiri dan kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara
ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat
ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus yang
biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum
Struktur Mikroskopis
Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan
heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial
mengelilingi vena sentralis yang mengalirkan darah dari lobulus. Hati manusia memiliki
maksimal 100.000 lobulus. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut
sebagai sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti
kapiler lain, sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kuppfer merupakan
sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain
dalam darah. Sejumlah 50 % dari semua makrofag dalam hati adalah sel Kuppfer, sehingga
hati merupakan salah satu organ penting dalam pertahanan melawan invasi bakteri dan agen
toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer
lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler
empedu yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli, yang berjalan ditengah lempengan
sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam kanalikuli yang bersatu
membentuk saluran empedu yang makin lama makin besar hingga menjadi duktus koledokus.
a.

Fisiologi Hepar
Fungsi hati sebagai organ keseluruhannya diantaranya adalah ikut mengatur

keseimbangan cairan dan elektrolit, ikut mengatur volume darah, dan sebagai alat penyaring
(filter) semua makanan dan berbagai macam substansia yang telah diserap oleh intestinal
yang akan dialirkan ke organ melalui sistem portal. Selain itu sel- sel hati berfungsi sebagai
pusat metabolisme diantaranya (metabolisme hidrat arang, protein, lemak, empedu), Sebagai
alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil metabolisme, sebagai alat sekresi untuk
keperluan badan (seperti enzim, glukosa, protein, faktor koagulasi dan empedu). Adapun sel
kuppfer berfungsi sebagai sel retikuloendotelial yang mengurai Hb menjadi bilirubin,
23

membentuk - globulin dan immune bodies, dan sebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan
elemen makromolekular.
PATOGENESIS
a.

Abses Hepar Amebik (AHA)


Penularan abses hepar amebik terjadi secara fekal-oral, dengan masuknya kista infektif

bersama makanan atau minuman yang tercemar tinja penderita atau tinja karier amebiasis. 6,14

Gambar 1.6. Abses Hepar Amebik.

Di dalam usus, oleh pengaruh enzim tripsin dinding kista pecah. Di dalam sekum atau
ileum bagian bawah terjadi proses eksitasi, eksitasi adalah proses transformasi dari bentuk
kista ke bentuk tropozoit. Dalam proses eksitasi, satu kista infektif yang berinti empat
tumbuh menjadi delapan amubula, amubula menuju ke jaringan submukosa usus besar, lalu
tumbuh dan berkembang menjadi tropozoit. Bentuk tropozoit dapat menginvasi jaringan,
amoeba dapat menjadi pathogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga dapat
melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar ke seluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum.

24

Gambar 1.7. Abses Hepar Amebik


Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah
melalui vena porta ke hati. Di hati Entamoeba Histolytica mensekresi enzim proteolitik yang
melisiskan jaringan hati dan membentuk abses. Lokasi yang tersering adalah lobus kanan
(70%-90%), kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat
infeksi mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus
dari pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi, yaitu dari diameter 1-25 cm,
dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit. Didaerah sentral dari
abses terjadi pencairan yang berwarna coklat kemerahan, yang disebut anchovy sauce yang
terdiri dari jaringan hati nekrotik dan berdegenerasi. Amoebanya dapat ditemukan pada
dinding abses dan sangat jarang ditemukan di dalam cairan di bagian sentral abses. Kira-kira
25 % abses hati amoebik mengalami infeksi sekunder sehingga cairan absesnya menjadi
purulen dan berbau busuk.
Terdapat periode laten yaitu jarak waktu yang lamanya bervariasi kadang-kadang
sampai bertahun-tahun diantara kejadian infeksi pada usus dengan timbulnya abses hati. Jarak
waktu antara serangan di intestinal dengan timbulnya kelainan di hati berbeda-beda. Bentuk
yang akut dapat memakan waktu kurang dari 3 minggu, tetapi bentuk yang kronis lebih dari 6
bulan, bahkan mungkin sampai 57 tahun. Disamping itu hanya lebih kurang 10 % penderita
abses hati yang dapat ditemukan adanya kista E.histolytica dalam tinjanya pada waktu yang
bersamaan, bahkan dilaporkan 2-33 %. Faktor yang berperan dalam keaktifan invasi amoeba

25

ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin ada kaitannya dengan virulensi parasit, diit
flora bakteri usus dan daya tahan tubuh sesorang baik humoral maupun seluler.
a.

Abses Hepar Piogenik (AHP)


Abses hepar piogenik paling sering disebabkan oleh penyakit saluran empedu (35-45

% kasus). Perluasan infeksi di dalam perut (divertikulitis, apendistis, penyakit crohn) melalui
vena porta merupakan penyebab untuk 20 % lainnya. Sisa kasus disebabkan oleh perluasan
infeksi lokal secara langsung, penyebaran hematogen lewat arteri hepatika dari tempat yang
jauh, atau penyebab idiopatik (10-20 %). 18,19

Gambar.1.7.. Abses Hepar Piogenik.

Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan
adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh
bakteri tersebut. Adanya penyakit pada sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran
empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi
kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena porta dan limfatik sehingga akan
terbentuk formasi abses filelebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan
menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi abses hepar piogenik.
Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik, dan
26

terjadi kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pertumbuhan bakteri dengan
proses supurasi dan pembentukan pus.

MANIFESTASI KLINIS
a.

Abses Hepar Amebik (AHA)


Gejala dapat timbul secara mendadak (bentuk akut), atau secara perlahan-lahan

(bentuk kronik). Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut dari amebiasis intestinal atau
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh. Pada bentuk
akut, gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam masa kurang dari 3 minggu. Keluhan
yang sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa seperti tertusuk
tusuk dan panas, demikian nyerinya sampai ke perut kanan. Dapat juga timbul rasa nyeri di
dada kanan bawah, yang mungkin disebabkan karena iritasi pada pleura diafragmatika. Pada
akhirnya dapat timbul tanda tanda pleuritis. Rasa nyeri pleuropulmonal lebih sering timbul
pada abses hepatis jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke
punggung atau skapula kanan. Pada saat timbul rasa nyeri di dada dapat timbul batuk batuk.
Keadaan serupa ini timbul pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru paru.
Sebagian penderita mengeluh diare. Hal seperti itu memperkuat diagnosis yang dibuat.
Gejala demam merupakan tanda yang paling sering ditemukan pada abses hepar.
Gejala yang non spesifik seperti menggigil, anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah
badan dan penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Lebih dari 90
% didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar kearah kaudal atau
kranial dan mungkin mendesak kearah perut atau ruang interkostal. Pada perkusi diatas
daerah hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa pula agak keras seperti
pada keganasan. Pada tempat abses teraba lembek dan nyeri tekan. Dibagian yang ditekan
dengan satu jari terasa nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan
dengan satu jari mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. Ini
menunjukkan tanda Ludwig positif dan merupakan tanda khas abses hepatis. Abses yang
besar tampak sebagai massa yang membenjol didaerah dada kanan bawah. Batas paru-paru
hepar meninggi. Pada kurang dari 10 % abses terletak di lobus kiri yang sering kali terlihat
seperti massa yang teraba nyeri di daerah epigastrium.
27

Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila ikterus hebat biasanya
disebabkan abses yang besar atau multipel, atau dekat porta hepatik. Pada pemeriksaan toraks
didaerah kanan bawah mungkin didapatkan adanya efusi pleura atau friction rub dari pleura
yang disebabkan iritasi pleura
Gambaran klinik abses hati amebik mempunyai spektrum yang luas dan sangat
bervariasi, hal ini disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan penyulit yang terjadi.
Pada satu penderita gambaran bisa berubah setiap saat. Dikenal gambaran klinik klasik dan
tidak klasik.
Gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan nyeri perut kanan
atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan hepatomegali yang nyeri. Gambaran klasik
didapatkan pada 54-70 % kasus.1 Gambaran klinik tidak klasik ditemukan benjolan di dalam
perut (seperti bukan kelainan hati misalnya diduga empiema kandung empedu atau tumor
pankreas), Gejala renal (keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan masa yang diduga
ginjal kanan), ikterus obstruktif, kolitis akut, gejala kardiak bila ruptur abses ke rongga
perikardium, gejala pleuropulmonal, abdomen akut.
b.

Abses Hepar Piogenik (AHP)


Manifestasi klinis AHP biasanya lebih berat dari pada abses hati amebik. Dicurigai

adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas,
yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di
atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama dengan tipe remiten,
intermiten atau febris kontinu, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (68
%), mual dan muntah (39%), berat badan menurun (46%). Setelah pemakain antibiotik yang
adekuat, gejala dan manifestasi klinis AHP adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi
dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses
hati piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga
terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah
rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan, kelemahan
badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil berwarna gelap.1,2
Pemeriksaan fisis yang didapatkan febris biasa hingga demam/panas tinggi, pada palpasi
terdapat hepatomegali serta perkusi terdapat nyeri tekan hepar, yang diperberat dengan
adanya pergerakan abdomen,splenomegali didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik,
28

selain itu bisa didapatkan asites, ikterus serta tanda-tanda hipertensi portal. Adanya ikterus
pada 24-52 % kasus biasanya menunjukkan adanya penyakit sistem bilier yang disertai
kolangitis dengan prognosis yang buruk

B. GAGAL JANTUNG KRONIS


` Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau
latihan, edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Gagal jantung kronis lebih bersifat lambat perjalanan penyakitnya dan lebih menimpa
pada sistema sirkulasi sistemis, dimana sistema sirkulasi sistemis lebih bisa mengalami
adaptasi dan toleransinya besar karena pembuluh darahnya lebih besar, lebih mudah
meregang dan lebih mudah menyesuaikan dan bertahan lebih lama terhadap ketidak
seimbangan vaskuler disbanding dengan sistema paru. Oleh karena itu, gambaran klinik
gagal jantung kronis lebih berupa keluhan-keluhan bendungan sistemis, depresi cardiac
ouput, dan gangguan pengaturan air dan garam oleh ginjal. Penampilan klinis bisa berupa
berkurangnya kemampuan toleransi kemampuan fisik, fatik, sesak nafas saat aktif,
penambahan berat badan, edema, desakan vena jugalaris yang meningkat, hepatomegali,
atau efusi serosa, tergantung dari parah tidaknya gangguan jantung. Sedangkan gagal
jantung akut lebih berupa keluhan-keluhan bendungan paru dan menurunnya perfusi
sistemis.
Klasifikasi
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari HF, pertama kali
diperkenalkan oleh New York Heart Association (NYHA) tahun 1994, yang membagi HF
menjadi 4 klasifikasi, dari kelas 1 sampai kelas 4, tergantung dari tingkat aktivitas dan
timbulnya keluhan, misalnya sesak nafas sudah timbul saat istirahat termasuk kelas 4,
sesak timbul saat aktivitas ringan termasuk kelas 3 dan sedang termasuk kelas 2,
sedangkan kelas 1 sesak timbul pada saat aktivitas berlebih.
Klasifikasi

terbaru

yang

dikeluarkan

Cardiology/American Heart Association

oleh

American

College

of

(ACC/AHA) pada tahun 2005 yang

menekankan pembagian HF berdasarkan progresivitas kelainan struktural dari jantung


29

dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini membagi


perkembangan HF menjadi 4 stage, A,B, C, dan D. Stage A dan B jelas belum HF, hanya
mengingatkan health care provider bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk kedalam HF.
Stage A menandakan ada faktor resiko HF (diabetes, hipertensi, penyakit jantung
koroner) namun belum ada kelainan structural dari jantung (cardiomegali, LVH, dan lainlain). Sedangkan pada stage B ada faktor resiko HF seperti [ada stage A dan sudah
terdapat kelainan structural dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat
asimtomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan atau pernah HF, yang didasari
oleh kelainan structural dari jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk kedalam
refractory HF, dan perlu advanced treatment strategies.
Apabila dilihat dari onsetnya, maka HF dapat dibagi menjadi new onset HF,
transient HF, dan chronic HF. New onset HF merujuk kepada presentasi klinis pertama
kali dalam hidup. Transient HF merujuk pada HF simptomatik yang terbatas pada
periode waktu tertentu, walaupun pengobatan jangka panjang masih diperlukan,
misalnya HF karena myocarditis ringan dan sembuh secara baik, HF karena iskemia,
yang dilakukan revaskularisasi dan berhasil. Sedangkan Chronic HF dapat berupa
persisten atau perburukan HF atau mengalami dekompensasi akut dari gagal jantung
kronik. Perburukan HF yang didasari chronic HF(dekompensasi) merupakan HF
terbanyak dari seluruh bentuk HF yang dirawat di rumah sakit yaitu sekitar 80% kasus.

30

Etiologi dan Patofisiologi


Gagal

jantung

sesuai

dengan

definisinya

mengacu

kepada

sindrom

patofisiologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh


ketidakmampuan ventrikel untuk memompa darah sesuai dengan venous return
sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dari berbagai sistem
organ di dalam tubuh. Secara umum, hal tersebut dapat disebabkan oleh keadaan
overload yang abnormal, pressure overload, disfungsi miokard, gangguan pengisian
ventrikel atau meningkatnya kebutuhan metabolic.
Fungsi dasar jantung adalah memompa darah dari ventrikel ke sistem venous
yang bertekanan rendah ke sistem arterial yang bertekanan tinggi. Kegagalan fungsi ini
mengakibatkan kegagalan untuk mengosongkan depot venous dan menurunnya aliran
darah yang dipompakan jantung ke sistem arteri. Hal ini menyebabkan meningkatnya
volume darah venous di sistem sirkulasi sistemis maupun pulmonal dan turunnya
volume darah yang dipompakan ke arteri pulmonalis dan aorta. Secara hemodinamika,
hal ini mengakibatkan meningkatnya tekanan akhir diastolis dari ventrikel,
meningkatnya tekanan venous baik sistemik dan pulmonal serta turunnya cardiacoutput. Indikator klinis berupa aktifnya mekanisme kompensasi, menurunnya cardiac
reserve, menumpuknya cairan ekstra seluler dan terganggunya perfusi jaringan atau
organ. Gagal jantung kongesti merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan
manifestasi klinis akibat bendungan sirkulasi. Bersama dengan bendungan sirkulasi,
terjadi penurunan kontraktilitas miokardium secara bertahap yang berakibat
menurunnya fungsi pompa dari jantung.
Sistolis ventrikel dimulai dengan periode meningkatnya tekanan menjelang
terpompanya darah keluar, pada saat tekanan ventrikel melampaui tekanan aorta
(ventrikel kiri) dan arteri pulmonal (ventrikel kanan) darah terpancar ke sistema
sistemis dan pulmonal. Penurunan tekanan ventrikel kiri (fase relaksasi) mengakibatkan
penutupan katup aorta jika tekanan tersebut berada dibawah tekanan aorta. Saat tekanan
ventrikel berada dibawah tekanan atrium, katup mitral dan tricuspid akan terbuka dan
aliran darah masuk dari atrium atas dasar sedotan ventrikel, dan pada akhir diastolis
terjadi kontraksi atrium untuk melangkapi fase diastolis.
31

Fungsi kontraktilitas jantung tergantung pada 4 faktor, kontraktilitas intrinsic


atau keadaan inotropik, preload (load volume) yang tergantung pada venous return dan
volume ventrikel pada akhir diastolic, dan afterload (load pressure atau resistensi)
terhadap kekuatan jantung memompa darah dan faktor keempat yakni frekuensi
jantung.
Inotropik tergantung pada: faktor intrinsic kardiomiosit, suplai darah koroner,
dan faktor ekstrinsik seperti simpato-adrenergik dan sistem renin-angiotensinaldosteron. Kenaikan baik preload maupun afterload meningkatkan stress dinding
ventrikel dan meningkatnya ketebalan dinding ventrikel dapat menurunkan stress
tersebut. Efek kronis dari meningkatnya stress dinding ventrikel adalah disfungsi
miokard sehingga menjadi gagal jantung sistolis. Perubahan struktur dan fungsi
ventrikel akibat workload atau wall stress disebut dengan remodeling.
Pada keadaan dimana fungsi jantung berkurang akibat injuri atau stress (misal
infark jantung) akan terjadi respon akut dan kronis. Respon akut berupa meningkatnya
aktivasi sistem simpatho-adrenergik dan frekuensi jantung untuk meningkatkan cardiac
output. Neuro-hormonal sistemik juga terpengaruh dengan meningkatnya volume
sirkulasi darah sehingga venous return meningkat dan cardiac output bisa
dipertahankan lewat meningkatnya cadangan preload. Vasokonstriksi sistemik terjadi
untuk mempertahankan tekanan darah (walaupun meningkatkan afterload). Respon
adaptasi ini bisa menormalkan cardiac output pada kondisi istirahat sehingga tidak
menimbulkan keluhan.
Respon kronis atau remodeling, terjadi perubahan struktur jantung secara
progresif. Perubahan struktur ini terjadi akibat pengaruh sistem neuro hormonal sebagai
respon defisit kontraktilitas yang menetap. Meningkatnya aktivitas sitokain atau growth
factor baik sistemik maupun local merangsang modifikasi baik seluler maupiun ekstra
seluler. Secara umum hipertrofi cardiomyocyte dan turn over matriks ekstraseluler
berakibat pada bertambahnya ukuran ketebalan dinding dan besarnya volume ventrikel,
yang dimana perubahan ini awalnya mampu mempertahankan stroke volume yang
adekuat.
Dapat disimpulkan jika jantung dalam kondisi harus bekerja keras, maka
mekanisme kompensasi akan mulai bekerja untuk mempertahankan fungsi jantung
32

sebagai alat pompa darah. Mekanisme kompensasi tersebut adalah: perangsangan


simpatis, dilatasi jantung, hipertropi miokard, retensi cairan lewat ginjal, vasokonstriksi
perifer dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh jaringan.
Refleks simpatis merupakan respon mekanisme kompensasi paling awal pada
gagal jantung sebagai akibat perangsangan sistem simpatho-adrenergik. Perangsangan
ini pada jantung mengakibatkan meningkatnya heart rate, contractility, cardiac output,
stroke volume, kecepatan jalannya rangsang jantung dan kebutuhan jantung akan
oksigen dan pada sirkulasi perifer mengakibatkan meningkatnya vasokonstriksi
baik arteri maupun vena sehingga resistensi vascular sistemik meningkat, redistribusi
aliran darah meningkat dan vasokonstriksi renal juga meningkat, yang mengakibatkan
turunnya eksresi air dan garam dalam urin. Retensi ini akan menambah volume cairan
darah dan cairan interstitial. Kompensasi ini menimbulkan keadaan stabilitas yang baru,
dimana tekanan perfusi arterial kembali normal, namun disertai dengan meningginya
tekanan venosa dan tertimbunnya cairan interstitial. Sistem simpatis juga sangat dekat
dengan sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone (RAAS).
Aktivasi RAAS secara umum terjadi akibat hipoperfusi renal, namun dapat
terjadi juga akibat meningkatnya tegangan dinding miokard. Penurunan tekanan
perfusi, volume intravascular dalam ginjal, perangsangan simpatho-adrenergik pada
sel-sel juxtaglumeralis mengakibatkan disekresikannya renin, yang akan mengubah
angiotensinogen yang dihasilkan hepar menjadi angiotensin I. Selama perjalanannya ke
paru, angiotensin 1 diubah oleh enzim angiotensin converting enzyme menjadi
angiotensin II, merangsang vasokonstriksi dan retensi air dan garam oleh ginjal akibat
sekresi aldosteron kelenjar adrenal sehingga tekanan darah dan preload meningkat,
sehingga menyebabkan volume ventrikel saat sistolis akan meningkat melalui
mekanisme Frank Starling.
Namun demikian, aldosterone dan angiotensin mempunyai efek langsung pada
sel jantung. Aktivasi RAAS merangsang fibrosis miokard (fibrosis kolagen), hipertrofi
miosit, seluler apoptosis dan nekrose, serta mengakibatkan kekakuan dan hipokontraktil miokard. Meningkatnya pelepasan enzim perusak, adanya matriks kolagen
ekstraselular dan meningkatnya miosit yang mati dapat mengakibatkan dilatasi
ventrikel.
33

Makin banyak volume darah yang harus dipompa oleh ventrikel, makin
banyak pula darah yang dipompakan lewat aorta. Makin teregang otot ventrikel akibat
volume saat diastolic, makin meningkat kekuatan konstraksi otot ventrikel tersebut.
Peregangan serabut otot ventrikel tersebut mengakibatkan memanjangnya serabut otot
tersebut. Kekuatan kontraksi terjadi secara maksimal jika panjang filament mencapai
2,2 milimikron, apabila panjang filament tersebut melewati angka tersebut, maka mulai
terjadi perubahan tingkat seluler sehingga akan menurunkan kekuatan maupun
kecepatan kontraksi. Oleh karena itu, wajar bila terapi didasarkan pada peningkatan
kontraktilitas, manipulasi preload, afterload dan frekuensi jantung agar kembali ke
mekanisme Frank Starling yang normal.
Selain itu, hiperttrofi miokard yang terjadi akibat perubahan hemodinamika,
membutuhkan energy yang lebih banyak karena penambahan massanya atau
berkurangnya

fungsi

kontraktilnya,

oleh

karena

itu

dengan

kondisi

yang

berkepanjangan, akan mengakibatkan gagal jantung. Pada kondisi ini, semua usaha
kompensasi ginjal tidak berhasil memperbaiki volume darah arterial secara efektif dan
perfusi ginjal tetap kurang, sehingga menimbulkan terbentuknya edema yang lebih
banyak lagi serta gangguan elektrolit.
Peningkatan tekanan kapiler paru sering merupakan tanda awal gagal jantung
kiri. Akibat gagal jantung kiri, tekanan akhir diastolic ventrikel meningkat dan
diteruskan ke atrium kiri, vena pulmonalis dan akhirnya ke kapiler paru. Peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler paru melampaui tekanan onkotik pada membrane alveokapiler yang mengakibatkan aliran cairan dan protein dari kapiler paru kedalam
jaringan paru. Dalam perjalanan gagal jantung, bendungan paru berkembang
sehubungan kondisi hemodinamika, fungsi ventrikel, dan drainase limfatik, dapat
dibagi dalam tiga tingkatan.
Pada fase awal bendungan paru (Stadium 1) peningkatan aliran cairan dan
koloid dari kapiler paru menembus jaringan interstitial terjadi dengan proporsi
meningkatnya drainase limfatik. Terdapat sangat sedikit cairan yang terdapat pada
jaringan interstitial. Pada keadaan ini, penderita akan merasa sesak nafas pada saat
melakukan aktivitas, terutama jika kongesti diakibatkan oleh hipofungsi ventrikel kiri.
Pada pemeriksaan fisik mungkin terdengar ronkhi basah halus saat inspirasi. Pada

34

pemeriksaan rontgen terlihat vena dan arteri pulmonalis sedikit menonjol akibat
meningkatnya volume vaskular paru.
Pada stadium selanjutnya (Stadium 2), edema interstitial terjadi jika tekanan
hidrostatik paru melebihi 18 mmHg. Hal ini akan mengakibatkan ketidak seimbangan
tahanan pada dinding kapiler sehingga cairan dari ruang intravascular paru mengalir
kedalam ruang interstitial. Kecepatan filtrasi cairan dari ruang interstitial lebih cepat
dibandingkan kecepatan drainase oleh sistem limfatik.
Edema interstitial pertama terjadi pada ruang sekitar bronkiole, venule, dan
arteriole. Hal ini menurunkan elastisitas jaringan paru sehingga meningkatkan
kebutuhan oksigen dan tenaga untuk bernafas. Pada kondisi ini, secara klinis, penderita
bisa mengeluh sesak dengan aktivitas yang relative ringan, meningginya tekanan
vaskuler paru dan menurunnya kelenturan paru. Bisa terjadi ortopnea dan mengeluh
batuk tidak produktif. Bisa juga terjadi paroksismal nocturnal dyspnea. Pada
pemeriksaan mulai terdengar ronki basah pada basal paru, pada rontgen terlihat garis
kerley B.
Pada stadium III, saat tekanan hidrostatik kapiler paru meningkat ke level 2528 mmHg, tekanan ini melewati tekanan kedalam plasma onkotik (normal tekanan
hidrostatik 10-12 mmHg, tekanan onkotik 25 mmHg), sehingga secara cepat terjadi
ekstravasasi cairan dari ruang intravaskuler dan ruang interstitial kedalam alveoli. Pada
awal edema alveoli, cairan tersebut terkumpul disudut alveoli. Hal ini mengakibatkan
tekanan interstitial di sekitar sudut tersebut menjadi lebih negative dan dengan progresi
edema, alveoli menjadi penuh dengan cairan sehingga tidak bisa untuk mengambil
oksigen, yang bermanifestasi sebagai sesak napas bahkan saat istirahat.
Sebagai ringkasan kesimpulan mengenai patofisiologi gagal jantung kronik,
bahwa gagal jantung merupakan gangguan fungsi jantung yang dimulai dengan fase
kompensata, dimana sistem neurohormonal berefek untuk meningkatkan kondisi
senormal mungkin walaupun terjadi berbagai perubahan hemodinamika dan anatomis.
Pada fase dekompensata mulailah terjadi sesak nafas yang telah ditandai dengan klas
fungsional menurut New York Heart Association.

35

Diagnosis Gagal Jantung Kronis


Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani , EKG, foto
thoraks, elektrokardiografi Doppler dan kateterisasi. Penilaian klinis yang tepat akan
mambantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi yang sesuai pada pasien
dengan gagal jantung.
Anamnesis
Sesak nafas adalah gejala utama pasien dengan gagal jantung. Hal ini sensitive,
namun tidak spesifik. Gejala pasien dengan gagal jantung lainnya yaitu penurunan
toleransi aktivitas fisik, dan kelelahan. Hal ini terutama disebabkan karena curah
jantung yang menurun, hipoperfusi perifer, dan abnormalitas otot skeletal serta
komorbid lainnya seperti anemia. Pada awal gagal jantung, sesak nafas biasanya hanya
terjadi pada saat aktivitas. Kongesti paru dengan disertai akumulasi cairan interstitial
atau alveolar adalah hal utama yang mendasari sesak nafas pada gagal jantung.
Ortopnea adalah sesak yang terjadi saat seseorang berada pada posisi terlentang.
Ini merupakan manifestasi selanjutnya dari gagal jantung setelah sesak saat aktivitas.
Ortopnea ini akan menghilang saat posisi duduk karena peningkatan redistribusi cairan
saat posisi terlentang akan meningkatkan kongesti paru.
Paroxismal Nocturnal Dyspnea (PND) adalah sesak dan batuk yang terjadi pada
malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya 1-3 jam setelah pasien
tidur. Manifestasi PND bisa berupa batuk atau wheezing, akibat adanya peningkatan
tekanan pada arteri bronchial sehingga menyebabkan kompresi pada jalan nafas disertai
dengan edema interstitial yang menyebabkan resistensi jalan nafas. Cheyne-Stokes
dapat terjadi pada gagal jantung lanjut akibat adanya curah jantung yang rendah.
Pemeriksaan fisik
Pada gagal jantung yang ringan atau sedang, pasien tidak akan terlihat sakit,
kecuali adanya perasaaan yang tidak nyaman saat diminta untuk berbaring beberapa
menit. Bila gagal jantung lebih berat, pasien akan terlihat sesak saat istirahat. Tekanan
darah dapat normal atau tinggi, biasanya akan makin rendah pada pasien dengan gagal
jantung berlanjut karena penurunan fungsi ventrikel kiri. Takikardia merupakan suatu

36

tanda nonspesifik, akibat adanya peningkatan aktivitas simpatis. Vasokonstriksi perifer


akan menyebabkan akral dingin dan sianosis pada bibir yang juga merupakan adanya
tanda peningkatan simpatis.
Pemeriksaan vena jugularis dapat memberikan gambaran mengenai tekanan di
atrium kanan yang meningkat pada pasien dengan gagal jantung. Adanya ronki basah
halus terjadi akibat transudasi cairan dari ruang interstitial ke dalam alveolus. Pada
pasien dengan edema paru, ronki akan terdengar di seluruh lapangan paru dan disertai
dengan wheezing. Harus diingat bahwa ronki tidak selalu ditemui pada pasien dengan
gagal jantung kronik, karena adanya peningkatan drainase cairan di alveolus melalui
sistem limfatik. Efusi pleura juga dapat terjadiu akibat peningkatan tekanan kapiler
pleura sehingga menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura.
Pemeriksaan fisik jantung, meskipun sangat penting, seringkali tidak
memberikan informasi yang bermakna untuk mengetahui beratnya gagal jantung.
Cardiomegali seringkali terjadi pada pasien dengan gagal jantung kronik, dimana apeks
jantung biasanya akan tergeser ke lateral. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat akan
menyebabkan teraba pulsasi di apeks. Irama S3 atau gallop akan terdengar pada pasien
gagal jantung berat dan disfungsi ventrikel kiri. Adanya murmur akibat regurgutasi
mitral seringkali terjadi pada pasien dengan gagal jantung akut.
Hepatomegali adalah tanda yang penting namun tidak selalu ditemukan.
Ascites juga dapat terjadi akibat adanya transudasi cairan akibat peningkatan vena
hepatic. Ikterik terjadi pada pasien dengan gagal jantung lanjut akibat kongesti hepar
dan hipoksia sel hepar yang berujung pada gangguan fungsi hepar. Edema perifer
merupakan manifestasi utama pada pasien gagal jantung kronis. Edema terjadi di kaki
pada pasien yang bisa mobilisasi, dan di sacrum pada pasien yang berbaring. Pasien
yang mengalami gagal jantung berat akan mengalami kakeksia, yang diduga akibat
peningkatan metabolisme, anoreksia, mual, muntah, akibat hepatomegali kongesti, dan
kakeksia ini merupakan prognosis buruk dari gagal jantung ini.
Kriteria Framingham juga dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung
kongestif:

37

Pemeriksaan Penunjang:
Tes darah rutin harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung untuk
mendeteksi anemia, gangguan elektrolit, dan menilai fungsi hepar dan ginjal. Elektrolit
serum biasanya normal pada pasien dengan gagal jantung ringan atau sedang, namun
seringkali menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika telah mendapatkan terapi.
Pengukuran serial kalium diperlukan untuk mendeteksi hipo atau hiperkalemia.
Hipokalemia biasa terjadi akibat penggunaan diuretic, dapat menyebabkan aritmia fatal
dan meningkatkan resiko toksisitas digitalis. Sedangkan hiperkalemia dapat
mempersulit terapi dengan ACEI, ARBs dan aldosterone antagonis. Derajat
hiponatremia merupakan pertanda beratnya gagal jantung. Pertanda serum jantung yang
sering digunakan adalah atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain natriuretic peptide
(BNP). Pertanda ini dikeluarkan oleh otot jantung akibat adanya regangan di
miokardium yang terjadi pada pasien dengan gagal jantung. BNP bisa digunakan dalam
kondisi emergensi dimana klinis sulit ditegakkan atau juga untuk menujukkan
keparahan gagal jantung.
Pertanda lain yaitu C-Reactive Protein (CRP), Tumor Necrosis Factor (TNF),
dan asam urat. Troponin dan creatinin kinase juga terkadang meningkat pada pasien
dengan gagal jantung berat.
EKG harus dilakukan pada semua pasien gagal jantung, namun gambaran EKG
yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis gagal jantung. GAmbaran EKG yang
38

sering ditemukan adalah Q patologis, hipertrofi ventrikel atau atrium kiri, LBBB atau
RBBB, blok AV, perubahan segmen ST atau T. Gangguan irama seperti fibrilasi atrium
atau ventrikel ekstrasistole seringkali terjadi.

Rontgen Thoraks digunakan untuk mengukur rasio jantung paru sebagai refleksi
dilatasi ventrikel akibat gagal jantung, dan juga untuk mengetahui adanya kongesti di
paru.
Alat penunjang yang paling penting dalam diagnosis dan evaluasi pasien dengan
gagal jantung adalah ekokardiografi, yang digunakan untuk mengetahui struktur dan
fungsi jantung. Evaluasi yang penting pada pasien gagal jantung adalah adanya
gangguan pompa ventrikel kiri atau fraksi ejeksi (LVEF), remodeling LV yang berat,
dan perubahan gambaran diastolic. Ukuran ventrikel kanan dan gambaran sistolik juga
harus dilihat, dan semua katup juga harus dievaluasi untuk menyingkirkan adanya
penyakit katup primer. Hal pokok hasil Ekokardiografi adalah: apakah EF normal atau
menurun, struk struktur ventrikel normal atau tidak, dan adakah kelainan structural
yang lain seperti valvular, pericardial atau abnormalitas ventrikel kanan yang bisa
menyebabkan kelainan pada pasien.

39

Terapi dan Manajemen


Tujuan terapi pada gagal jantung meliputi:
1. Prevensi, yakni mencegah dan atau mengendalikan penyakit yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung serta mencegah progresi dari disfungsi jantung
2. Menurunkan morbiditas dengan memelihara dan meningkatkan kualitas hidup
pasien.
3. Menurunkan mortalitas.
Terapi non farmakologis, terdiri dari:
1. Edukasi dengan anjuran-anjutan umum dan latihan fisik.
2. Edukasi pada pasien meliputi diet, obat-obatan, manajemen cairan, (pengukuran
berat badan harian, dan bagaimana menanggulangi peningkatan berat badan), stop
merokok, latihan aktivitas, mengenal gejala dan tanda-tanda perburukan gagal
jantung.
3. Latihan fisik regular dianjurkan pada pasien dengan CHF. Hal ini bermanfaat karena
dapat mengurangi physical deconditioning, mengurangi simtom dan abnormalitas
neuro hormonal, juga meningkatkan kapasitas fungsional.
4. Restriksi cairan 1,5 L/hari, restriksi sodium < 3 gram sodium diet untuk gagal
jantung NYHA I-II, < 2g sodium diet untuk NYHA III-IV. Dianjurkan untuk
konsultasi diet dan rehabilitasi jantung.

Obat-obatan farmakologis meliputi:


1. Angiotensin converting enzyme inhibitor
ACEI telah terbukti secara meyakinkan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien gagal jantung. Mekanisme benefit jangka panjang berkaitan dengan
respon neurohormonal melalui RAA sistem. ACEi merupakan terapi lini pertama
untuk disfungsi ventrikel kiri asimtomatik ataupun gagal jantung simtomatik.
40

Kontraindikasi relative yaitu hiperkalemia (K > 5.5 mEq/d), insuffisiensi renal


(creatinine > 3.0), hipotensi (TD < 90 mmHg). Namun harus mempertimbangkan
kasus per kasus. Efek sampingnya adalah batuk dan angioedema. Contoh obatnya
adalah Captopril (6,25 t.i.d, dilanjut 25-50 mg/hari) atau lisinopril (2,5 mg per hari,
dosis pemeliharaan 5-20 mg/hari)
2. Angiotensin Receptor Blocker
ARB adalah antagonis spesifik reseptor AT1 yang berkompetisi dengan obat
antihipertensi, sehingga terjadi inhibisi komplit Angiotensin II. Valsartan (80-320
mg/hari), candesartan (4-32 mg/hari), losartan (50-100 mg/hari), dapat digunakan
pada terapi gagal jantung
3. Hidralazin dan isosorbid dinitrate
Kombinasi obat ini sebagai vasodilator efektif pada pasien dengan gagal jantung
yang intoleran terhadap ACEI dan ARB karena insufisiensi renal atau angioedema.
Efek samping yang mungkin timbul adalah hydralazine dapat menyebabkan reflex
takikardia dan lupus like syndrome, sedangkan nitrat dapat menyebabkan nyeri
kepala dan toleransi.
4. Beta adrenergic blocker
BB saat ini dapat dipergunakan untuk terapi gagal jantung simtomatik karenan
secara konsisten mempunyai benefit terhadap mortalitas, hanya caverdiol (200
mg/hari), bisoprolol (10 mg/hari) dan metoprolol (150 mg/hari) yang terbukti benefit
untuk pasien gagal jantung. BB diberikan setelah kondisi stabil dengan prinsip start
low and go slow. Titrasi dilakukan setiap 2-4 minggu sampai tercapai dosis target
dan dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat timbul seperti dizziness,
lightheadedness yang berkaitan dengan hipotensi atau heart block, bradikardia, dan
hipotensi.
5. Aldosteron antagonis
Spinorolactone dapat dipakai pada pasien gagal jantung, mempunyai efek diuretic
yang lemah, serta hemat kalium. Spinorolactone diindikasikan pada pasien gagal
jantung NYHA III-IV, LVEF < 35% yang telah mendapat ACEI dan/atau BB dengan
41

tanpa disfungsi renal (creatinine<2,5), dan hipokalemia. Spinorolactone dapat


diberikan dosis kecil 25mg/hari. Efek samping dapat berupa hiperkalemia,
insufisiensi renal, ginekomastia dengan nyerui dan galaktorea.
6. Diuretik
Berguna untuk memelihara agar tubuh dalam keadaan euvolemia dan memperbaiki
simtom, namun dapat menyebabkan perburukan fungsi organ seperti terjadinya
acute kidney injury, kelemahan, dan abnormalitas elektrolit. Furosemide merupakan
obat diuretic yang efektif dan murah, dengan dosis 20-120 mg oral dapat diberi
setiap pagi.
7. Digoksin
Suatu obat inotropik positif dengan kronotropik negative. Diindikasikan untuk
pasien gagal jantung dengan konkomitan atrial fibrilasi. Juga terbukti menurunkan
angka hospitalisasi pada pasien gagal jantung, dengan dosis 0,125 mg perhari untuk
pasien dengan fungsi renal normal. Efek samping digoksin adalah hipokalemia, dan
segera dilakukan pemeriksaan digoksin serum jika ada kecurigaan intoksikasi
8. Supplementasi elektrolit
Deplesi potassium sering terjadi dengan pemakaian terapi diuretic pada gagal
jantung. Namun hiperkalemia juga dapat diakibatkan oleh pemakaian obat seperti
ACEI, ARB, dan spinorolaktone atau karena perburukan klinis.
9. Obat inotropik.
Obat inotropik seperti dobutamin dan dopamine sering dipergunakan untuk jangka
pendek pada pasien dengan gangguan hemodinamik yang akut. Sebagai tambahan
obat Levosimedan, suatu calcium sensitizing inotropic agent, dapat dipergunakan
pada gagal jantung yang tidak respon atau kontra indikasi terhadap dobutamine.
Pembedahan:
1. Valve replacement
2. Revaskularisasi
42

3. Cardiac Resyncronizing Therapy


4. Impantable Cardioverter Defibbrilators
5. Transplantasi jantung, ventricular assist devices, artificial heart
6. Ultrafiltration, hemodyalisis

Prognosis
Pada gagal jantung yang disebabkan oleh karena disfungsi sistolik dan diastolic,
angka mortalitasnya tinggi. Menurut Firminghamm study, pasien dengan gagal jantung
mendapatkan rata-rata mortalitas 4-8 kali lebih tinggi disbanding populasi dengan usia
yang sama. PAsien dengan gagal jantung NYHA klas IV angka mortalitas dalam waktu
1 tahun antara 30 % - 50 % persen

43

Anda mungkin juga menyukai