PENDAHULUAN
Adenotonsilitis kronis adalah radang kronis pada tonsila palatina dan adenoid.(1,2)
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer terdiri atas
susunan kelenjar limfa yang terdapat didalam rongga mulut, yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band dinding
faring/gerlanchs tonsil).(3) Hipertrofi dari tonsil bisa menyebabkan tidur ngorok, nafas melalui mulut,
gangguan tidur, dan sleep apnoe syndrom, selama pasien berhenti bernafas dan pasokan oksigen dalam
darah berkurang, tonsilektomi bisa menjadi pengobatan.(4,5)
Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid sepanjang dinding posterior nasofaring diatas batas
palatum mole. Adenoid biasanya mengalami hipertrofi selama masa anak-anak, mencapai ukuran terbesar
pada usia pra sekolah dan usia sekolah awal. Diharapkan dapat terjadi resolusi spontan, sehingga pada usia
18-20 th jaringan adenoid biasanya tidak nyata pada pemeriksaan nasofaring tidak langsung. Hipertrofi
adenoid dihubungkan dengan obstruksi dapat mengganggu pernafasan hidung. Hal ini dapat menyebabkan
perbedaan dalam kapasitas suara.(6,7)
Faktor predisposisi tonsillitis kronis adalah rangsangan kronis (rokok, makanan), pengaruh cuaca,
pengobatan radang akut yang tidak adekuat, dan higiene mulut yang buruk. Sedangkan faktor predisposisi
untuk adenoiditis kronik adalah sering terjadinya infeksi saluran nafas bagian atas, yang dapat
menimbulkan sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius.(8)
Berdasarkan data yang didapatkan dari 9 Rumah Sakit di Jakarta pada tahun 1998 diperkirakan dari 1200
anak-anak di bawah usia 15 tahun, 1.020 anak (85%) diantaranya menjalani Adenotonsilektomi dan 180
lainnya (15%) menjalani Tonsilektomi saja.(9)
Tujuan pembuatan laporan tentang adenotonsilitis kronis adalah melaporkan suatu kasus sehingga
mengetahui dan dapat mendiagnosa hingga mengelola penderita dengan kasus serupa, sehingga diharapkan
dapat memberikan masukan pengetahuan tentang penyakit adenotonsilitis kronis dari mulai anamnesa, dan
pemeriksaan fisik untuk penulis khususnya dan klinisi pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
G. Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerukan adenoid kurang bersih. Bila terlalu
dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka
torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan akan timbul tuli konduktif.
(2)
Komplikasi adenoiditis kronik adalah : faringitis, bronkitis, sinusitis kronik, otitis media akut berulang,
otitis media kronik, dan akhirnya terjadi otitis media supuratif kronik.(2)
Sedangkan komplikasi Tonilitis kronik : Rinitis kronis, sinusitis, otitis media secara perkotinuitatum, dan
komplikasi secara hematogen atau limfogen (endokarditis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis,
furunkulosis).(2)
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik.(2)
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Penderita
Nama : A N H
Umur : 12 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Singocandi RT 03/III Kudus
Agama : Islam
No. CM : 282.323
II. Pemeriksaan Subyektif
Autoanamnesis dan Alloanamnesis, Selasa 9 September 2008 pukul 09.15 WIB
A. Keluhan Utama
Sering sakit menelan
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang dengan keluhan sering sakit menelan. Sakit menelan ini dirasakan semakin bertambah
dalam 1 tahun terakhir. Tenggorokan berasa tidak enak, bau tidak enak keluar dari mulut, ngorok saat tidur,
malas belajar (nilai raport menurun dibanding tahun sebelumnya), hidung mampet. Sakit menelan ini sering
kambuh-kambuhan lebih dari 6x dalam setahun. Penderita pernah didiagnosa tonsillitis oleh dokter umum
+ 4 tahun yang lalu dan di rujuk ke spesialis THT.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi disangkal penderita.
Penderita mengeluh sering odinofagi, stridor saat tidur, obstruksi nasal, foetor ex ore, malaise.
Odinofagi ini sering kambuh-kambuhan > 6x dalam satu tahun. Penderita tidak mempunyai riwayat alergi
dan maagh. Anggota keluarga tidak ada yang memiliki riwayat alergi dan tidak ada yang mengeluh
odinofagi seperti ini.
B. Pemeriksaan Obyektif
v Tonsila Palatina Kanan Kiri
- Ukuran T2 T2
- Warna Merah muda Merah muda
- Kripte Melebar Melebar
- Permukaan Berbenjol-benjol Berbenjol-benjol
- Detritus (+) (+)
- Peritonsil Abses (-) Abses (-)
v Data Pemeriksaan Khusus
- Palatal phenomen : (-)
- Palpasi : Terdapat pembesaran adenoid.
V. Diagnosa Banding
1. Adenotonsilitis Kronis.
2. Tonsilitis Kronis.
VI. Diagnosa Sementara
Adenotonsilitis Kronik.
VII. Pemeriksaan Penunjang
1. X-Foto Soft Tissue Nasofaring Rasio Adenoid.
2. Pemeriksaan Lab darah ASTO.
VIII. Penatalaksanaan
Operasi : Adenotonsilektomi.
IX. Prognosis
Dubia ad bonam, karena telah dilakukan penatalaksanaan secara optimal.
X. Follow Up
1. Keadaan umum.
2. Perkembangan terapi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesis penderita sering sakit menelan, sakit menelan ini dirasakan semakin bertambah dalam 1
tahun terakhir, tenggorokan berasa tidak enak, ada bau tidak enak keluar dari mulut, saat tidur suka
mendengkur, lesu, malas belajar. Tidak ada mual, tidak demam, batuk dan pilek juga tidak ada. Hidung
sering mampet, tidak ada gangguan penciuman, tidak ada bau busuk yang keluar dari hidung. Tidak ada
keluhan dan kelainan pada telinga. Penderita sudah merasakan sering sakit menelan ini lebih dari 6 kali
dalam setahun. Penderita pernah didiagnosa tonsillitis oleh dokter 4 tahun yang lalu. Pada palatal
phenomen didapatkan hasil negatif, yang berarti terdapat massa pada daerah nasofaring. Pada palpasi
adenoid teraba pembesaran adenoid. Pada pemeriksaan didapatkan adanya tonsil yang membesar (T2 T2),
warna merah muda, kripte melebar, permukaan berbenjol-benjol, ada detritus, dan tidak terdapat abses
peritonsil. Untuk lebih memperkuat diagnosa bisa dilakukan pemeriksaan ASTO.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, maka kasus ini dapat didiagnosis sementara
adenotonsilitis kronis. Adenotonsilitis kronis adalah suatu massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang
terletak pada dinding posterior nasofaring yang merupakan radang kronis, dan keadaan ini bisa berulang 6x
atau lebih dalam 1 tahun.
Adenotonsilitis bisa muncul dalam dua keadaan, yang pertama karena adenotonsilitis akut yang berulang,
yang kedua adalah karena adenotonsilitis kronis sejati. Perbedaan mayornya adalah ada atau tidak infeksi
yang membaik diantara episode serangan. Adenotonsilitis akut biasanya terdapat pada anak-anak,
sedangkan adenotonsilitis kronis biasanya terdapat pada orang dewasa.
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis
atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan
dapat timbul endokarditis, miosis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritis, urtikaria, dan
furunkulosis.
Pemeriksaan penunjang dilakukan X-Foto Soft Tissue Nasofaring rasio adenoid, untuk melihat adanya
pembesaran adenotonsilitis. Dan palpasi adenoid, untuk meraba apakah ada pembesaran adenoid atau tidak.
Penatalaksanaan kasus ini dilakukan dengan operasi yaitu adenotonsilektomi karena terjadi infeksi yang
berulang.
Prognosis Adenotonsilitis Kronis pada kasus ini baik, dikarenakan terapi yang dilakukan telah optimal. Hal
ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa terapi yang sesuai dapat menyembuhkan pasien
secara tuntas dan dapat mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien.(2,5)
Pemantauan perlu dilakukan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya penanganan yang dilakukan. Edukasi
juga sangat penting dalam proses penyembuhan Adenotonsilitis Kronis.
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus Adenotonsilitis Kronis di poliklinik THT BRSD Swadana Kudus.
Diagnosa adenotonsilitis kronis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang seksama. Dimana dari anamnesis penderita mengeluh sering sakit menelan, tenggorokan berasa tidak
enak, bau tidak enak keluar dari mulut, mendengkur saat tidur, lesu, malas belajar, hidung mampet. Sakit
menelan ini sering kambuh-kambuhan lebih dari 6x dalam setahun. Penderita pernah didiagnosa tonsillitis
oleh dokter 4 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tonsil yang membesar, kripte melebar, terdapat detritus,
permukaan berbenjol-benjol, dan tidak hiperemis.
Terapi adalah dengan melakukan operasi adenotonsilektomi dengan indikasi fokal infeksi.
Prognosis penderita dalam kasus ini menjadi lebih baik karena telah mendapatkan pengelolaan yang baik
sejak dari menegakkan diagnosa sampai terapi.
1. Ostium Pharingeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva.
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago
tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
musculus levator velli palatinae
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus
salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika
menguap atau menelan
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller merupakan tempat predileksi Nasopharingeal
Carcinoma
7. Tonsilla pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran,
sedangkan jika ada inflamasi disebut adenoiditis
8. Tonsilla tubae, terdapat pada recessus pharingeus
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharynx dan oropharynx karena
musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raphae pharingei.
Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas Hemoglobin (Hb) terhadap O2
Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas Hemoglobin (Hb) terhadap O2
a. keasaman atau pHKeasaman bertambah atau pH semakin turun dan kadar ion H+ meningkat akan
melemahkan ikatan antara oksigen dan hemoglobin sehingga kurva disosiasi oksigen-hemoglobin bergerak
ke kanan (Afinitas Hb terhadap O2 berkurang ) sehingga menyebabkan hemoglobin melepaskan lebih
banyak oksigen ke jaringan. Misal peningkatan asam laktat dan asam karbonat yang dihasilkan oleh
jaringan yang aktif secara metabolic. Keasaman turun atau PH naik afinitas Hb terhadap O2 bertambah
sehingga kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergerak ke kiri (afinitas Hb tehadap O2 Bertambah) dan
hemoglobin banyak mengikat O2. Hb bekerja sbg buffer utk ion H+ .
b. PO2 atau tekanan parsial O2Apabila PO2 darah meningkat , misalnya seperti di kapiler paru, Hb
berikatan dg sejml besar O2 mendekati 100% jenuh, PO2 60-100 mmHg : Hb >/90% jenuh (afinitas Hb
terhadap O2 bertambah) dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergerak ke kiri.Dan apabila PO2
menurun, misal di kapiler sistemik PO2 antara 40 & 20 mmHg (75-35% jenuh) : sejml besar O2 dilepas dr
Hb setiap penurunan PO2 , afinitas Hb terhadap O2 berkurang dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin
bergeser ke kanan.
c. PCO2 atau tekanan parsial CO2PCO2 darah meningkat di kapiler sistemik sehingga CO2 berdifusi dari
sel ke darah mengikuti penurunan gradiennya menyebabkan penurunan afinitas Hb terhadap O2 (Hb lebih
banyak membebaskan O2) kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kanan.PCO2 darah menurun di
kapiler paru sehingga CO2 berdifusi dari darah ke alveoli menyebabkan peningkatan afinitas Hb terhadap
O2 ( Hb lebih banyak mengikat O2) kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.
d. Temperatur atau suhuPanas yang dihasil reaksi metabolism dari kontraksi otot melepaskan banyak asam
& panas menyebabkan temperatur tubuh naik dan sel aktiv perlu banyak O2 memacu pelepasan O2 dr
oksiHb (afinitas Hb tehadap O2 berkurang) kurva bergeser ke kanan.Hipotermia menyebabkan
metabolisme sel lambat sehingga O2 yang dibutuhkan jaringan sedikit pelepasan O2 dari Hb juga lambat
(afinitas Hb terhadap O2 berkurang) dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.
e. Peningkatan BPG (bifosfogliserat) yang dihasikan dari suatu metabolit glikolisis dan terdapat dalam
darah sehingga Hb berikatan dg BPG dapat mengurangi afinitas Hb thd O2 dan kurva bergeser ke kanan.
Hormon tiroksin, GH, epinefrin, norepi & testosteron dapat meningkatkan pembentukan BPG dan kadar
BPG meningkat pada orang yg tinggal di dataran tinggi. Penurunan BPG di darah menyebabkan ikatan Hb
terhadap O2 semakin kuat karena Hb tidak diikat oleh BPG afinitas Hb terhadap O2 bertambah, kurva
disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.
Diagnosa Banding
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semua yang menutupi
tonsil (Tonsilitis Membranosa)
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini
akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc
darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi tiga golongan besar,
umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala
lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan
lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil,
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut yang berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus mudah diangkat
tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran
darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena anoreksi dan
odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran
kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat
terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa
mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan disertai dengan
kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi dan proses
supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar
jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan (odinofagi)
dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan
atau kultur, foto X-ray dan biopsi jaringan (Adams, 1997, Kasenmm, 2005).
Berdasarkan klasifikasi phyla bakteri yang asli, bakteri gram positif termasuk dalam filum Firmicutes.
Didalamnya terdapat kelompok- kelompok bakteri yang sudah banyak dikenal, yaitu :
Staphylococcus
Streptococcus
Enterococcus
Bacillus
Corynebacterium
Nocardia
Clostridium
Actinobacteria
Listeria
Bakteri gram negatif termasuk dalam divisi Gracillicutes. Proteobacteria adalah grup mayor dalam
kelompok bakteri gram negatif.Jenis-jenisnya yaitu :
Enterobacteriaceae;
Escherichia Coli SalmonellaSigella
Pseudomonas
Moraxella
Helicobacter
Stenotrophomonas
Bdellovibrio
Bakteri asam asetat
Legionella
Alpha-proteobacteria Wolbachia
Cyanobacteria
Spirochaeta
green
sulfur & green non-sulfur bacteria.
Beberapa perbedaan sifat yang dapat dijumpai antara bakteri gram positif dan bakteri gram negative adalah
sebagai berikut :
Pembeda
Bakteri gram ne
Dinding sel :
Lapisan peptidoglikan
Kadar lipid
lebih tebal
1-4 %
lebih tipis
11-22%
tidak larut
larut
lebih peka
kurang peka
eksotoksin
endotoksin
lebih tahan
lebih peka
lebih peka
kurang peka
tidak peka
peka
Anestesi dikenal sehari-hari sebagai bius. Obat atau agen anestesi akan menghilangkan sebagian atau
seluruh perasaan. Ada tiga jenis anestesi: umum, regional dan lokal. Ketika seorang pasien diberikan
anestesi umum, mereka akan sepenuhnya kehilangan kesadaran.
Anestesi umum dapat diberikan dalam beberapa metode. Metode yang paling umum adalah dengan
menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah, dan dengan gas anestesi yang diberikan melalui masker.
Terkadang juga dua metode ini diterapkan secara bersamaan pada pasien.
2
3
4
5
disarankan untuk:
Adanya selang atau tabung dari lokasi operasi Anda untuk mengalirkan cairan yang berlebih.
Adanya kateter yang dimasukkan ke kandung kemih Anda.
Disarankan oleh petugas untuk melakukan latihan pernapasan dalam dan menggerakkan kaki Anda atau
anggota tubuh lain, atau menjawab pertanyaan.
Diberikan obat penghilang rasa sakit.
Merasa mengantuk dan mual, sakit kepala dan sakit tenggorokan. Efek samping ini biasanya berlangsung
singkat.
Komplikasi anestesi umum
Beberapa komplikasi anestesi umum di bawah ini termasuk jarang sekali terjadi. Kemungkinan efek
samping dari anestesi umum antara lain:
Cedera di lokasi penyuntikan
Infeksi
Gangguan pernapasan
Kerusakan saraf jangka pendek
Reaksi alergi, misalnya serangan asma
Masih memiliki kesadaran atau rasa sakit selama operasi
Cedera pada mulut, gigi, bibir atau lidah
Kerusakan pita suara atau laring
Kerusakan paru-paru
Serangan jantung
Kerusakan otak
Stroke
Gagal ginjal
Gagal hati
Paraplegia (ekstremitas bawah mengalami kelumpuhan)
Quadriplegia (kelumpuhan pada 4 anggota tubuh).
Merawat diri sendiri pasca anestesi umum/operasi
Dengan dibimbing oleh dokter atau dokter anestesi, beberapa hal yang disarankan untuk Anda antara lain:
Jangan mengendarai mobil atau melakukan pekerjaan berisiko yang membutuhkan konsentrasi minimal 24
jam setelah operasi (kemungkinan efek obat anestesi masih ada).
Tetap beristirahat dirumah minimal selama 2 hari setelah operasi. Ingat, mungkin akan diperlukan waktu
hingga beberapa hari agar Anda kembali merasa normal.
Dalam beberapa hari atau minggu, hindari penggunaan obat-obatan (termasuk obat herbal) di luar saran
dokter. Ada baiknya tanyakan dulu ke dokter sebelum mengonsumsinya.
Prospek jangka panjang pasca anestesi umum
Komplikasi fatal dari anestesi umum sangat jarang terjadi. Diperkirakan hanya sekitar satu dari 10.000
orang meninggal dunia akibat komplikasi dari anestesi umum, seperti karena reaksi alergi dan serangan
jantung.
Anestesi regional dan lokal
lingkungan sekitar.
Kapan Tonsil Harus di Operasi ?
Ada kalanya ketika meradang, tonsil atau adenoid membengkak hingga menutupi jalan nafas. Ini dapat
menyebabkan gangguan tidur berupa berhentinya mekanisme bernapas saat tidur, hingga jangka waktu
tertentu bisa berakibat pada komplikasi kardiopulmoner atau henti jantung. Bila hal ini terjadi maka
pembedahan tonsil atau adenoid harus dilakukan.
Keputusan melakukan pembedahan memang tidak bisa dengan serta merta diambil. Saat gejala sedang akut
terjadi maka dokter akan melakukan pengobatan dahulu untuk meredakan gejala peradangan. Setelah
peradangan mereda baru diacarakan untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Beberapa macam tindakan pembedahan tonsil dan adenoid adalah tonsilektomi saja, adenoidektomi saja,
tonsilektomi bersama dengan adenoidektomi.
Beberapa indikasi yang membuat dokter melakukan tindakan pembedahan. Di antaranya adalah
pembengkakan adenoid yang menyebabkan sumbatan (obstruksi) jalan nafas atas, radang tenggorok
berulang, tidur mendengkur sampai terjadi sleep apnea, dan sebagai sumber infeksi jauh ke jantung/ginjal/
sendi2. Kasus lain adalah bila dirasakan adanya bau mulut yang tidak sedap (halitosis) akibat tonsillitis
kronis.
Pembedahan juga dilakukan apabila terjadi abses peritonsil setelah tindakan pengobatan medis dan drainase
(pengeluaran cairan nanah). Dokter juga akan melakukan biopsi apabila ada kecurigaan keganasan pada
tonsil untuk selanjutnya dirujuk pada dokter ahli patologi anatomi.
Setelah Tonsil Dioperasi, Berat Badan Anak Meningkat
Yang menarik, dulu, tonsilitektomi dan atau adenoidektomi dilakukan untuk mengatasi infeksi tonsil dan
adenoid yang berulang. Saat ini, pembedahan juga dilakukan untuk mengatasi berbagai kondisi yang lebih
luas, termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite (kondisi gigi atas dan bawah
yang tidak sejajar), tongue thrust (kondisi lidah yang menekan posisi gigi), tidur mendengkur, gangguan
bicara, dan enuresis (ngompol).
Saat ini, ada perkembangan teknologi bedah amandel yang baru, salah satunya yaitu tonsillektomi dengan
bipolar radio frekuensi. Kelebihan teknologi ini adalah metodenya menggunakan alat operasi yang sesuai
dengan kondisi atau struktur anatomi amandel. Proses operasinya relatif lebih cepat dan alat ini hanya
menggunakan suhu antara 40 hingga 70 derajat Celsius, sehingga jaringan yang terkoagulasi tidak terlalu
dalam dibandingkan dengan penggunaan electric cauter. Perdarahan selama operasi sangat minimal, pasien
lebih nyaman dan hasil pemulihan pasca pembedahan relatif lebih cepat.
Walaupun tonsil atau adenoid terdiri atas jaringan limfa yang berperan terhadap fungsi kekebalan tubuh.
Namun demikian pasien/ keluarganya tidak perlu kawatir dengan tindakan pengangkatan tonsil-adenoid
terhadap kekebalan tubuh. Karena menurut penelitian, tidak ada perubahan imunitas atau kekebalan pra
maupun pasca operasi tonsil. Hal ini juga didukung masih adanya jaringan tonsil lainnya (tonsil lingualis,
lateral band).
Pada beberapa laporan penelitian lainnya dijelaskan bahwa operasi adenotonsilektomi pada anak yang
mengalami adenotonsilitis kronis justru dapat meningkatkan berat badan, menurunkan angka infeksi
saluran nafas atas, dan mengurangi rasa tidak nyaman di tenggorokan.
Hindari Konsumsi Ini Sebelum Operasi
Untuk menghindari terjadinya pendarahan pasca operasi, sebaiknya pasien yang akan dioperasi tidak
mengonsumsi jamu dalam negeri/luar negeri dan obat-obatan jenis tertentu, 1-2 minggu sebelum operasi
hingga sebulan setelah operasi. Obat-obatan itu tersebut adalah aspirin, vitamin C, vitamin E, obat-obat
yang mengandung Echinacea/ gingko biloba, dan merokok.
6
7
8
ES Operasi Amandel
Operasi amandel bukannya tanpa resiko. Bahkan setiap adanya tindakan operasi yang dilakukan di dunia
medis tentu akan memiliki efek samping atau resiko yang ditimbulkan walaupun sedikit. Tonsilektomi ini,
memiliki beberapa efek samping yang bisa ditimbulkan, seperti :
1. Sakit di pangkal tenggorokan
Setelah amandel di angkat dari tenggorokan, maka akan menimbulkan bekas pembedahan pada lokasi
amandel tersebut sebelumnya. Setelah amandel diangkat bukan berarti nyeri-nya hilang, melainkan setelah
operasi pun rasa nyeri saat menelan pun tetap bisa dirasakan. Namun bedanya kadar rasa nyerinya mungkin
tidak sesakit saat terjadi peradangan.
2. Pendarahan pasca operasi
Tindakan pembedahan tentu akan menimbulkan pendarahan kecil pada bagian yang dibedah. Apalagi
bagian amandel tergolong saluran yang basah dan dilewati oleh makanan dan minuman yang hendak masuk
menuju lambung. Bahkan pendarahan ini, bisa jadi semakin parah dan menyebabkan penderita muntah
darah. Walaupun jarang terjadi, namun pendarahan tersebut bisa jadi resiko yang terjadi setelah
pengangkatan amandel.
3. Terjadi Infeksi
Pembedahan yang dilakukan akan meninggalkan luka sayatan pada lokasi amandel sebelumnya. Sayatan
tersebut sangat rentan menyentuh kelenjar yang terbuka apalagi saluran tenggorokan termasuk basah
karena lendir. Masuknya makanan dan udara ke dalam tenggorokan dan faring, akan melalui luka sayatan
tersebut. Kemungkinan akan menempel pada luka sayatan dan menyebabkan infeksi. Dampaknya, seluruh
badan akan terasa nyeri diiringi sakit kepala dan demam yang tinggi.
4. Perasaan tidak nyaman
Bekas luka yang ditimbulkan pada pangkal tenggorokan, akan membuat perasaan yang mengganjal di
dalam mulut. Mungkin ada perasaan risih karena ada sesuatu yang berubah pada tenggorokan penderita.
Namun kondisi ini hanya terjadi ketika proses pengeringan luka bekas pembedahan tersebut. Setelah
sembuh, pasien akan mulai terbiasa maka dengan sendirinya perasaan tersebut akan hilang.