Referat Rabies
Referat Rabies
Disusun oleh :
RIRIN RINANTI
(030.06.220)
1. DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar
pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus
atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses
penyakit.1
Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia
(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing
Gila.4
2. SEJARAH
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum Masehi
(SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM.
Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad
pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro,
seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pastuer mendemostrasikan adanya infeksi pada
susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya
vaksin oleh Louis Pastuer pada tahun 1885. pertumbuhan virus rabies pada jaringan
ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada
tahun 1960.4
3. ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk
peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus. Amplop
glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion.
Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies,
membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan
merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat
komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif.
Antibody antirabies digunakan pada analisis imunofluororescent diagnostic yang umumnya
ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda
dan memiliki perbedaan sifat antigenic dan biologic. Variasi variasi ini bertanggung jawab
terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies,
khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam
memperlambat infeksi yang progresif.1
Gambar 1 Rhabdovirus
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56C waktu paruh kurang dari
1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37C dapat bertahan beberapa jam. Virus
juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain
yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe
1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.4
4. DISTRIBUSI DAN INSIDENSI
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas
rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal,
Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia
sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies
adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001
menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur,
Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di
Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di
Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat
beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan
status bebas rabies perlu ditinjau kembali.
Gambar
2.
Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia
5.
EPIDEMIOLOGI
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan terutama
oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, disebarluaskan oleh
sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada
binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan manusia
dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi
pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi
binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka. Kematian
karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) setiap
tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus
pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan tropik adalah area tempat
penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area endemik 1 sampai 2% dari pasien yang diotopsi
menunjukkan tanda tanda rabies. Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan
peningkatan perjalanan ke negara negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah
membuat perhatian mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia
sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan
di negara negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.4
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies
untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika
Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan
vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering
daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies
pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan,
dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%. Akan tetapi, sebagian besar kasus profilaksis
pasca pemajanan dihubungkan dengan gigitan anjing dan kucing.4
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga
pernah ditemukan.4
6. TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus
(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh
merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum
pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka
pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan
anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi
(serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana
dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa
adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau
akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga
dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.4
7.
PATOGENESIS
Kejadian pertama pengenalan hidup melalui epidermis atau ke dalam membran
mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem
saraf perifer terpajan pada berkas neurotendinal dan/atau neuromuskuler. Virus kemudian
menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui
aksoplasma saraf perifer dengan kecepatan 3mm/jam. Secara eksperimen, viremia terbukti
terjadi, tetapi tidak dianggap mempunyai peranan pada penyakit yang secara alami didapat.
Sekali virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam
substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk
mencapai jaringan jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paruparu, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Perjalanan menuju kelenjar saliva menyebabkan
transmisi lanjutan penyakit melalui saliva yang terinfeksi. Virus juga tersebar pada air susu
dan urine.4
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun
(rata rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang
masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu dan jarak
sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies
manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan
tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral juga dapat mempengaruhi ekspresi
penyakit. Respons imun yang diperantai sel dicatat pada pasien dengan ensefalitis rabies,
tetapi tidak ada pasien dengan rabies paralitik.4
Neuropati rabies menyerupai penyakit viral lain pada sistem saraf pusat: hiperemia,
berbagai derajat kromatolisis, piknosis nuklear dan neurofagia sel saraf; diinfiltrasi oleh
limposit dan sel plasma ruang Virchow-Robin; infiltrasi mikroglia dan area parenkim
destruksi sel saraf. Pada model hewan eksperimental, sering terjadi infeksi adenohipofisis
karena virus rabies, dengan pengurangan pada hormon pertumbuhan dan pelepasan
vasopresin. Lesi rabies yang patognomik
berukuran sekitar 10nm tersusun atas matriks fibilar halus dan partikel virus rabies. Badan
negri tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon, korteks serebral, otak tengah,
hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis medulla spinalis. Badan negri tidak
ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan tidak adanya badan negri ini pada material
otak tidak menyingkirkan diagnosis.4
8.MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7
hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi
kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa
inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi
oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf
pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,
(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak
yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang,
sembuh.1
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea,
dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala prodromal yang
menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat
inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis
saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80%
pasien.1
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan
berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema
dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.4
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan,
rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan
alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis
fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi
bersama dengan berkembangnya penyakit, peride lucid menjadi lebih pendek sampai pasien
akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya
terang, suara keras, sentuhan, bahkan tiupan yang lembut sering terjadi. Pada pemeriksaan
fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6C. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil
yang ireguler,lakrimasi meningkat, salivasi, berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat
tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo
profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.
Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm neuritis optik dan
kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan
menimbulkan gambaran tradisional foaming at the mouth. Hidrofobia, kontraksi diafragma
involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan, faringeal, dan laringeal yang
dimulai dengan menelan cairan, tampak pada sekitar 50% kasus. Terkenanya nukleus
amigdaloideus menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan. Pasien menjadi koma, dan
terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak
dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya dan bertanggung jawab pada perjalanan
penyakit yang menurun cepat. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4
hari, dengan maksimum 20hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1
Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang menyerupai
sindroma Landry-Guillan-Barr (dumb rabies, rage tranquille). Pola klinis ini terjadi paling
sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada mereka yang mendapat profilaksis
rabies pasca pemajanan.1
Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang digambarkan
dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada transplantasi jaringan. Jaringan
transplan dari dua donor yang meninggal karena dicurigai sindroma Landry-Guillan-Barr
menimbulkan rabies klinis dan kematian pada resipien. Pemeriksaan patologik retrospektif
pada otak dari kedua resipien menunjukkan badan negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas
dari setiap mata donor yang dibekukan.1
Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies
Stadium
Inkubasi
Lamanya (% kasus)
< 30 hari (25%)
Manifestasi klinis
Tidak ada
2-10 hari
kepala, lethargi,
Furious (80%)
2-7 hari
Halusinasi,
tingkah
bingung,
laku
delirium,
aneh,
menggigit,
agitasi,
hidropobia,
hipersalivasi,
disfagia,
afasia,
inkoordinasi,
hiperaktif,
spasme
faring,
aerofobia,
hiperventilasi,
Paralitik
Koma
2-7 hari
0-14 hari
Autonomic
instability,
hipotensi,
9. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada
hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);
disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia
dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan
terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi
dan gangguan otonomik.4
10. TEMUAN LABORATORIUM
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas
terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi
lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat (12000 sampai 17000 sel permikroliter) tapi
mungkin normal atau setinggi 30000 sel per mikroliter.1
Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi
virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, jarang cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan
(otak)], (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang
terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak. Sampel otak diperoleh
dengan pemeriksaan postmortem atau pada biopsi otak yang ditujukan untuk (1) pemeriksaan
inokulasi tikus untuk isolasi virus (2) pewarnaan antibodi fluoresen (FA, fluorescent
antibody) untuk antigen virus, dan (3) pemeriksaan histologik dan/atau mikroskopik elektron
untuk melihat badan Negri.1
Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi netralisasi
terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel serum merupakan
diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk diagnosis mungkin diperoleh
dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan adanya antibodi netralisasi terhadap rabies
dalam cairan serebrospinal. Profilaksis rabies pasca pemajanan jarang menimbulkan antibodi
netralisasi-cairan serebrospinal terhadap rabies. Jika adanya, biasanya dengan titer yang
rendah, misalnya kurang dari 1:64, sedangkan titer cairan serebrospinal dalam rabies manusia
dapat bervariasi dari 1:200 sampai 1:160000.1
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari
saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak, cairan serebrospinal
dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-
bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neuralizing
antibodi.4
Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat
dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga
menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi
serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi
respons antibodi pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada
CSS kadarnya 2-25% dari serum).4
Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus
rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah teknik isolasi
virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada hapusan kornea sangat
tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu
I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif
palsu.4
Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test
(RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit
tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir
basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi
jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang
diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus
lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR)4
rabies, khususnya binatang yang terlibat gigitan tanpa ada rangsangan, menunjukkan tingkah
laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan
kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent
antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk
rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena
tidak perlu diobati. Individu yang terkena binatang buas yang lolos dan mengandung rabies
(kelelawar, skunk, serigala padang rumput, rubah, raccoon, dan lain-lain). Dalam area tempat
rabies diketahui atau diduga ada maka orang tersebut sebaiknya menerima imunisasi terhadap
rabies baik pasif maupun aktif.1
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,
diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang
abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk
pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan
bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus
rabies rabies pada waktu menggigit.
Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka
gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan
seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%. luka akibat gigitan
binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat
dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang
berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.4
Profilaksis pasca paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap
virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan
sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan
panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi
pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi
aktif.1
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine
(NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan
monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine
(SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo
Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell
Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).4
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua
kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor
rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan
memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat
digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies
Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.4
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis
0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR
0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga
vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRCID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis
pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun
terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0
dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan
yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per
kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi
pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan
suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.4
Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik
gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis prapemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah
endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan
pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara
intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4
Efek samping/komplikasi vaksinasi
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat
memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa
bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa
panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala
sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan
kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan
protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan
saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang
yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikan
kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV
dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin
generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.4
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness.
Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan
pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar
20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi miripkompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang
angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan
adanya -propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya
antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya
mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka
dengan titer antibodi yang rendah. Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih
untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan
substansi yang mana saja.1
14. PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai
sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien
yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies
yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak
hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung
ataupun paralisis generalisata.
melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera
mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison Prinsipprinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 1999. p.938-941
2. Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1736-1740.
3. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds).
Mandell, Douglas amd Bennets Principles and Practice of Infectious Diseases. 5 th ed.
Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, p 1811 1820
4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. American Public Health
Association, Jakarta 2000, p 427 - 436