Anda di halaman 1dari 16

Negara Indonesia adalah termasuk negara berkembang, pada negara

berkembang banyak yang harus dilakukan dan diperhatikan dengan fokus oleh
pemerintahan dalam melakukan pengembangan dan perwujudan dalam
mencapai suatu negara yang lebih maju. Dari upaya-upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia untuk membangun suatu negara yang lebih maju seperti
dengan lebih memperhatikan masalah pembangunan suatu negara seperti
halnya masalah kemiskinan, masalah distribusi pendapatan, masalah
pembangunan manusia, masalah utang luar negeri dan banyak lagi masalah
yang bisa menghambat kemajuan suatu negara berkembang.
Dengan mengambil contoh suatu kota, seperti Kota Surabaya adalah kota
terbesar kedua setelah Jakarta yang termasuk Ibukota Indonesia, semakin besar
kota tersebut semakin banyak masalah yang sangat signifikan yang bisa dan
akan menghambat jalannya pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya masalah
penduduk yang menganggur akibat dari jumlah penduduk yang sangat melonjak
tinggi dan melonjaknya angka kelahiran yang ada di Kota Surabaya tidak
seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang berada di Kota Surabaya tersebut.
Dengan melonjaknya angka kelahiran yang ada pada Kota Surabaya tersebut
semakin banyaknya masalah yang bisa menghambat suatu pembangunan
perkonomian yang berhubungan langsung atau secara tidak langsung dengan
masalah kemiskinan yang terjadi pada daerah tersebut.
Namun hingga saat ini masalah kemiskinan masih saja belum terselesaikan
dengan baik. Kemiskinan yang terjadi di kota Surabaya sungguhlah sangat serius
dan wajib menjadi perhatian pemerintah kota Surabaya. Dengan banyaknya
anggota keluarga yang kurang memenuhi kehidupan dan kebutuhan hidupnya
secara layaknya. Penyelesaian problem kemiskinan menjadi salah satu prioritas
Pemkot Surabaya hingga kini. Namun, alih-alih angka kemiskinan berkurang,
namun justru bertambah. Padahal, intervensi anggaran yang disediakan pemkot
dari tahun ke tahun terus naik.
Berdasar data Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas), angka kemiskinan
di Surabaya tak kunjung berkurang dalam tiga tahun terakhir. Pada 2008,
penduduk miskin di kota ini terdata 113 ribu KK (kepala keluarga). Data ini juga
dipakai acuan pemerintah pada program raskin 2011.
Dalam rapat koordinasi yang diadakan Badan Perencanaan dan Pembangunan
Kota (Bappeko) kemarin (4/2), masalah kemiskinan di Surabaya menjadi problem
krusial yang harus segera diselesaikan. "Harus dicari apa yang salah. Intervensi
pemerintah dari tahun ke tahun semakin tinggi anggarannya, namun jumlah
penduduk miskin belum juga berkurang," kata Kapala Bappeko Tri Rismaharini
yang juga menjabat sebagai Walikota Surabaya. Menurut Risma, selama ini
begitu banyak program bantuan yang diberikan pemerintah untuk mengentas
masyarakat miskin. Lembaga yang menangani pun beragam. Namun, program
tersebut seolah lebih bersifat amal . "Bantuan yang telah diberikan tetap tidak
bisa mengentas kemiskinan secara mendasar," ujarnya.
Perlu dicari faktor yang melatarbelakangi mengapa masyarakat sulit dientaskan
dari kemiskinan. Seorang warga miskin yang butuh pendidikan tak bisa
disamakan dengan warga miskin yang membutuhkan beras khusus warga miskin
. Karena itu, pemberian bantuan kemiskinan akan didasarkan pada tingkat
kebutuhan masyarakat miskin. Pemkot akan menyusun kriteria kemiskinan
secara khusus. Kriteria yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dianggap
ada yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Surabaya sekarang. Kriteria
yang dipakai pemkot cenderung sesuai dengan kriteria kemiskinan produk

Chumbers. Yakni, masyarakat miskin, rentan miskin, tak berdaya, terisolasi, dan
punya intensitas sakit tinggi. Dengan demikian, bantuan kemiskinan tak harus
selalu berhubungan pada masalah pangan, tapi harus disesuaikan dengan
kebutuhan seseorang yang bersangkutan.
Banyaknya intervensi bantuan yang diberikan lembaga-lembaga donor atau
pemerintah juga membingungkan masyarakat. Misalnya, raskin dan biaya
operasional sekolah (BOS). Menurut saya sebaiknya hanya ada satu lembaga aja
yang menaungi masalah kemiskinan. Lembaga tersebut bertugas memantau
secara intens perkembangan sasaran keluarga miskin (gakin) .Dengan begitu
ada progres dalam pengentasan kemiskinan. (NRP 3610100070)
DP
:
(http://www.kompasiana.com/firdhael/kemiskinan-di-surabaya-yang-takkunjung-usai_550b07a0a33311cf1c2e3c0f)
Teorisasi Kemiskinan di Indonesia
Telah banyak studi tentang kemiskinan di Indonesia yang dilakukan oleh
berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, LSM maupun pihak-pihak lain yang
berkolaborasi dengan pihak-pihak tertentu. Studi-studi tersebut pada umumnya
menggunakan metode pengukuran kemiskinan secara kuantitatif (objektif),
misalnya,
mengukur jumlah konsumsi beras per kapita per tahun, mengukur tingkat
pengeluaran
ekuivalen beras per orang per tahun, mengukur kebutuhan gizi minimum per
orang per
hari, mengukur pendapatan minimum per kapita per tahun, mengukur konsumsi
kalori
per kapita per hari, mengukur pengeluaran per kapita per bulan, dan mengukur
indeks
mutu hidup (physical quality of life index atau PQLI).
Selain metode-metode pengukuran tersebut, kini BPS Indonesia menggunakan
empat belas indikator untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, baik kemiskinan
yang
terjadi di pedesaan maupun di perkotaan. Keempat belas indikator tersebut
adalah (1)
luas lantai rumah; (2) jenis lantai rumah; (3) jenis dinding rumah; (4) fasilitas
tempat
buang air besar; (5) sumber air minum; (6) penerangan yang digunakan; (7)
bahan bahan
bakar yang digunakan; (8) frekuensi makan dalam sehari; (9) kebiasaan membeli
daging/ayam/susu; (10) kemampuan membeli pakaian; (11) kemampuan berobat
ke
puskesmas/poliklinik; (12) lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; (13)
pendidikan
kepala rumah tangga; dan (14) kepemilikan aset.
Ditengarai, keempat belas indikator tersebut tidak dapat untuk mengidentifikasi
dimensi kemiskinan apa yang sebenarnya sedang dialami oleh rumah tangga
miskin di
Indonesia. Misalnya, apakah kemiskinan dalam rumah tangga tersebut
berdimensi

struktural atau kultural. Realitas di Indonesia menunjukkan, sejak tahun 1980-an


dan
mungkin sekali hingga kini, kemiskinan yang terjadi di Indonesia yang sebagian
besar
dialami oleh rumah tangga justru lebih berdimensi struktural, baik yang terjadi di
daerah
pedesaan maupun perkotaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Selo Soemardjan
(Alfian
1980), bahwa:
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat karena stuktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Menurut Selo Soemardjan, golongan masyarakat yang menderita kemiskinan


struktural tersebut yaitu (1) para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau
para
petani yang tanahnya sangat sempit; dan (2) para buruh atau para unskilled
laborers yang
lain, para pengusaha kecil yang berusaha tanpa modal atau tanpa fasilitas dari
pemerintah
(lazim disebut golongan ekonomi sangat lemah). Berkaitan dengan realitas
kemiskinan,
kemudian himpunan Indonesia untuk pengembangan ilmu-ilmu sosial (HIPIIS)
merumuskan definisi tentang kemiskinan struktural, sebagaimana dikemukakan
oleh
Selo Soemardjan tersebut. Jika dicermati, dalam definisi tersebut tampak bahwa
esensi
kemiskinan struktural adalah tidak adanya hubungan produktif dalam suatu
komunitas,
padahal dalam komunitas tersebut sebenarnya tersedia sumber dayanya.
Dalam komunitas di pedesaan, sumber daya tersebut misalnya, berupa lahan
pertanian produktif, modal untuk pengolahan lahan pertanian, teknologi untuk
pengolahan lahan pertanian dan berbagai ketrampilan lainnya yang berkaitan
dengan
pengolahan lahan pertanian. Selain itu, jika golongan miskin tersebut bukan
golongan
petani, misalnya, golongan pedagang kecil, maka sumber daya produktifnya
adalah
modal usaha, keterampilan, pemasaran dan berbagai hal lainnya yang berkaitan
dengan
aktivitas proses produksi suatu barang yang bisa diperjualbelikan di pasar
pedesaan.
Dalam komunitas di perkotaan, sumber daya produktifnya menjadi sangat
bervariasi, tidak terbatas, dan terkesan apa pun bisa menjadi sumber daya.
Dalam
konteks inilah kemudian berbagai masalah muncul, karena seandainya terjadi
kemiskinan struktural di perkotaan tidak mudah untuk mengidentifikasi
dimensinya. Hal
tersebut dikarenakan setidak-tidaknya dua hal berikut, yaitu (1) pada umumnya
kemiskinan yang terjadi di perkotaan dialami oleh para migran yang berasal dari
daerah
pedesaan, sehingga mereka sebenarnya tidak memiliki sumber daya struktural
di

perkotaan yang seharusnya tersedia untuk mereka; dan (2) berkaitan dengan
tidak
dimilikinya sumber daya struktural, maka kemiskinan yang terjadi bukan karena
pada
ketimpangan struktur sosial, melainkan karena tidak kondusifnya struktur
sosialnya,
sehingga menyebabkan rumah tangga miskin tidak bisa bekerja secara produktif.
Para migran adalah orang-orang justru telah tercabut dari struktur sosial
lamanya
di pedesaan, akan tetapi mereka belum dapat masuk ke dalam struktur sosial
baru di
perkotaan. Oleh karena itu, mereka lazim disebut sebagai massa apung yang
berada di
perkotaan, yang akan melakukan pekerjaan apa saja asal mendapatkan uang,
atau lazim
dikenal dengan istilah kerja serabutan. Konsep kemiskinan struktural yang
digunakan
untuk studi-studi kemiskinan di perkotaan harus dipahami secara lebih makro,
dalam arti
bahwa sumber daya struktural yang seharusnya tersedia bagi anggota
komunitas. Oleh
karena itu sumber daya tersebut seharusnya didistribusikan secara merata,
karena
jumlahnya tidak terbatas.
Dalam komunitas di pedesaan, sumber daya tersebut pada intinya berupa lahan
pertanian produktif, akan tetapi di perkotaan bisa berupa ijazah pendidikan,
modal usaha,
ketrampilan kerja, hubungan kerja, pengalaman kerja, dan berbagai sumber
daya lainnya
yang masuk ke dalam kategori persyaratan kerja formal dan/atau informal.
Adanya
dualisme struktural tersebut seringkali menyebabkan para orang miskin
dan/atau rumah
tangga miskin di daerah perkotaan yang pada umumnya para migran dari
pedesaan
melakukan berbagai kegiatan ekonomi sisa (scavenging economy), dengan
semboyan
utama asal dapat uang. Kegiatan tersebut misalnya, sebagai sebagai tukang
becak,
pemulung sampah, tukang cuci pakaian, buruh bangunan, buruh serabutan,
pengemis
dan berbagai kegiatan ekonomi sisa lainnya yang bisa digunakan untuk
menyambung
hidup. Dengan kata lain, seandainya kegiatan-kegiatan tersebut dipakai sebagai
contoh
dan/atau bukti dalam realitas kemiskinan di perkotaan, maka kemungkinan
kemiskinan
tersebut justru bukan karena adanya struktur sosial yang tidak produktif, akan
tetapi
struktur sosial yang tidak kondusif.
Meski telah dua puluh tahun lebih konsep tentang kemiskinan struktural

diintroduksi dan/atau digunakan secara nasional di Indonesia, tetapi tampaknya


tetap saja
metode untuk mengukur kemiskinan tidak menggunakan dimensi subjektif.
Berapa
jumlah riil orang, keluarga atau rumah tangga miskin di Indonesia, misalnya, dari
tahun
ke tahun hanya dilaporkan oleh BPS Indonesia secara kuantitatif saja. Secara
historis,
cara pengukuran kemiskinan yang digunakan BPS Indonesia relatif tidak
berubah,
apalagi jika dilihat dari kaitannya dengan dimensi struktural dan kultural tentang
realitas
kemiskinan yang terjadi. Pengukuran kemiskinan tersebut justru tidak
menggunakan
sesuatu hal yang sangat esensial, yang tumbuh dan/atau berkembang dalam
kehidupan
bermasyarakat di Indonesia, yaitu adanya realitas kemiskinan secara struktural
dan
kultural, atau justru komplementasi dari keduanya yang secara realistik terjadi di
lapangan.
Pada tahun 1976, untuk mengukur kemiskinan baik di pedesaan maupun di
perkotaan, BPS Indonesia menggunakan indikator pengeluaran dari dua belas
jenis bahan
pangan, yaitu padi-padian dan hasilnya, umbi-umbian dan hasilnya, ikan dan
hasil-hasil
ikan lainnya, daging, telur, susu dan hasil-hasil dari susu, sayur-sayuran,
kacangkacangan,
buah-buahan, konsumsi lainnya, makanan yang sudah jadi, minuman yang
mengandung alkohol, tembakau dan sirih. Selain itu, BPS Indonesia juga
menggunakan
komponen pengeluaran dari lima jenis bahan non-pangan, yaitu (perumahan,
bahan
bakar, penerangan dan air); (barang-barang dan jasa-saja); (pakaian, alas kaki
dan tutup
kepala); (barang-barang yang tahan lama); dan (keperluan pesta dan upacara).
Pada tahun 2000-an, BPS Indonesia menggunakan delapan indikator, yaitu luas
lantai per kapita, jenis lantai, air minum (ketersediaan air bersih), jenis jamban
(WC),
kepemilikan aset, pendapatan (total pendapatan per bulan), pengeluaran
(persentase
pengeluaran untuk makanan), dan konsumsi lauk-pauk (daging, telur dan ayam).
Pada
tahun 2005, BPS Indonesia menggunakan empat belas indikator untuk mengukur
kemiskinan, sebagaimana telah dikemukakan di muka. Terlepas dari variabel
dan/atau
indikator apa yang paling tepat untuk mengukur kemiskinan di Indonesia,
penelitian ini
tidak akan mempermasalahkannya.
Artikel ini hanya mendeskripsikan bagaimana profil kemiskinan struktural pada
suatu rumah tangga miskin yang bertempat tinggal di daerah (level kelurahan)
yang

paling miskin yang berada di wilayah kota Surabaya, dengan menggunakan cara
pengukuran secara subjektif atau sesuai dengan persepsi rumah tangga miskin
itu sendiri.
Secara metodologis, cara pengukuran tersebut lazim disebut sebagai metode
fenomenologi. Cara pengukuran sebenarnya lebih tepat disebut sebagai cara
deskripsi
kemiskinan seperti itu pernah dilakukan oleh Kuswarno (2009), ketika ia
mendeskripsikan realitas kemiskinan yang dialami para pengemis di kota
Bandung.
Dalam penelitiannya tersebut, Kuswarno menggunakan metode fenomenologi,
antara lain dengan meneliti bagaimana cara orang miskin mengkomunikasikan
simbolsimbol
kemiskinannya sendiri, sehingga orang lain menangkap simbol-simbol tersebut.
Ditemukan data bahwa para pengemis pun berupaya menampilkan diri secara
profesional, dalam arti dalam penampilannya itu dirancang sedemikian rupa,
agar bisa
mengundang belas-kasihan orang lain. Misalnya, dengan mengenakan pakaian
compangcamping
untuk mengesankan serba kekurangan, salah satu tangan atau kakinya dibalut
perban untuk mengesankan adanya kecacatan tubuh, cara berjalannya dibuat
terseokseok
untuk mengesankan bahwa ia kelaparan, dan dengan cara menggunakan
komunikasi
bahasa lisan yang mengesankan belas-kasihan.
Dinamika Konsep kemiskinan
Ada beberapa konsep kemiskinan yang pernah diperdebatkan secara akademis
dan/atau digunakan di Indonesia, baik yang diintroduksi oleh pemerintah (BPS)
maupun
universitas (para akademisi). Konsep-konsep tersebut pada umumnya
berdimensi pada
ketidakmampuan dalam memenuhi beberapa kebutuhan pokoknya, baik dalam
ukuran
besarnya
penghasilan
(rupiah/bulan),
jumlah
konsumsi
beras
(kilo
gram/bulan/kapita),
maupun ketercukupan kalori (Kkal/hari/kapita). Konsep ketidakmampuan
tersebut akan
sangat relatif jika dibandingan dengan dinamika laju inflasi dan dinamika harga
sembako
yang terjadi di setiap propinsi, kota maupun kabupaten.
Konsep tersebut akan selalu ketinggalan zaman jika digunakan untuk
mendeskripsi, apalagi untuk mengukur kemiskinan secara aktual. Akibatnya
menjadi
wajar atau sah-sah saja jika data kemiskinan di Indonesia tidak pernah benar,
dalam arti
(1) validitasnya layak dipermasalahkan; dan (2) reabilitasnya juga layak
diperdebatkan.
Adanya perbedaan data yang signifikan tentang berapa sebenarnya jumlah
(angka)
kemiskinan di Indonesia yang dikemukakan oleh berbagai instansi pemerintah,
misalnya,

merupakan bukti bahwa konsep dan parameter kemiskinan yang digunakan


masih
menjadi masalah.
Sejak tahun 2004, BPS tidak lagi memahami kemiskinan hanya sebatas
ketidakmampuan secara ekonomi saja, tetapi juga kegagalan dalam pemenuhan
hak-hak
dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam
menjalani
kehidupan secara bermartabat. Konsep kemiskinan dirumuskan dengan berbasis
hak,
yaitu hak dalam memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
rasa aman
dan perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi
dalam
kehidupan sosial-politik.
Dengan menggunakan konsep berbasis hak, tampaknya kini negara mulai
menghargai, melindungi dan memenuhi berbagai hak dasar dari masyarakat
miskin,
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, misalnya
pada pasal 27 ayat (2) dinyatakanbahwa:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.

Selain itu, pada pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4) disebutkan bahwa:

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan (ayat, 1).
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan (ayat, 2).
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinan pengembanagn
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (ayat, 3).
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun (ayat, 4).

Pada pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), juga disebutkan bahwa:

Fakir-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (ayat, 1).


Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan (ayat, 2).
Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
pelayanan umum (ayat, 3).

Mencermati beberapa pasal esensial tersebut, tampak bahwa masalah


kemiskinan sebenarnya merupakan masalah yang secara filosofis sangat jelas,
sehingga

seharusnya tidak perlu ditarik kemana-mana, didiskusikan dan bahkan


diperdebatkan.
Oleh karena itu konsep kemiskinan dirumuskan dengan berbasis hak, dengan
beberapa
strategi utama penanggulangannya yang meliputi, (1) perluasan kesempatan;
(2)
pemberdayaan kelembagaan masyarakat; (3) peningkatan kapasitas; (4)
perlindungan
sosial; dan (5) penataan kemitraan global.
Fenomenologi Kemiskinan
Fenomenologi sebagai sebuah perspektif keilmuan berkembang atas jasa Alfred
Schutz (Ritzer & Goodman 2004), di mana dalam penjelasannya Schutz
memusatkan
perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain, sementara mereka
hidup
dalam aliran kesadaran mereka sendiri. Perspektif ini menggunakan kerangka
intersubjektivitas
dalam memahami suatu realitas sosial. Dalam dunia inter-subjektivitas
itulah, orang menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang
telah
ada, dan oleh struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Dalam memahami
realitas
kehidupan sosial ini, Schutz membedakan kehidupan sosial yang memiliki
hubungan
tatap-muka yang akrab dan hubungan impersonal yang renggang. Apa pun jenis
hubungan sosial yang berkembang, menurut Schutz suatu studi fenomenologi
tetap
memfokuskan pada upaya atau bagaimana cara memahami kesadaran orang
lain,
sementara mereka hidup dalam aliran kesadarannya mereka sendiri.
Dalam perspektif fenomenologi, suatu realitas kemiskinan tidak dilihat secara
objektif seperti ukuran-ukuran yang telah dijelaskan, tetapi justru dilihat secara
subjektif. Dalam perspektif metode fenomenologi, kemiskinan adalah sebuah
realitas
sosial yang dialami sendiri oleh suatu rumah tangga miskin, dan oleh karena
itulah
rumah
tangga
mereka
sendirilah
yang
akan
lebih
tepat
untuk
mendeskripsikannya,
apalagi jika kemiskinan tersebut berdimensi struktural. Dalam konteks ini,
metode
fenomenologi dipandang tepat untuk mendeskripsikan dimensi kemiskinan
tersebut, agar
berbagai dimensi subjektif yang dilatarbelakangi oleh adanya keragaman
pandangan
hidup, motivasi, tradisi, dan tentu saja berbagai ikatan primordial lainnya
(misalnya,
etnis, agama, kedaerahan) bisa terakomodasi secara baik. Orang Madura
misalnya, jelas
akan berbeda dengan orang Jawa ketika mereka diminta mengkonsepkan
tentang
kemiskinan, apalagi jika kedua etnis tersebut sama-sama menyambung hidup di
Surabaya sebagai kaum migran.

Secara substansial, metode fenomenologi merupakan salah satu metode yang


memfokuskan pada upaya pemahaman makna (meaning) secara subjektif
terhadap
tindakan yang dilakukan oleh seseorang (individu) dalam kehidupannya seharihari.
Menurut
Schutz
(Ritzer
&
Goodman
2004),
seseorang
(individu)
mengkonstruksikan
suatu makna (meaning) dengan cara melakukannya melalui pemusatkan
perhatian pada
cara orang memahami kesadaran orang lain, sementara mereka hidup dalam
kesadarannya mereka sendiri. Dalam konteks ini, termasuk bagaimana
seseorang
(individu) membentuk pengalaman dan melihat obyek-obyek tertentu,
sementara
seseorang (individu) tersebut hidup dalam lingkungannya sendiri.
Menurut Schutz, dalam memahami makna (meaning), seseorang (individu) juga
menggunakan perspektif inter-subjektif (dalam arti yang lebih luas) untuk
memahami
kehidupan sosialnya, terutama mengenai bagaimana pengetahuan sosialnya
terbentuk.
Hubungan antar-makna tersebut diorganisir secara bersama-sama. Schutz
menyebut hal
itu sebagai sekumpulan pengetahuan (stock of knowledge). Sekumpulan
pengetahun
itulah yang dimiliki oleh para subjek yang memaknai sesuatu dari sudut
pandangnya
sendiri. Proses pemaknaan itulah yang menjadi menarik dicermati, karena terjadi
tarikmenarik
antar-individu yang sama-sama merasa memiliki pengetahuan secara subjektif
tentang dirinya sendiri dan orang lain disekelilingnya.
Berdasarkan data kemiskinan provinsi Jawa Timur 2009, terdapat tiga kategori
kemiskinan, yaitu sangat miskin, miskin dan hampir miskin yang didata dengan
menggunakan empat belas indikator. Dalam konteks ini, yaitu bagaimana profil
kemiskinan struktural akan dideskripsikan secara lebih longgar, dalam arti
bahwa
pemaknaan struktur sosial yang secara konseptual dianggap sebagai sumber
daya
produktif akan lebih meluas. Selain karena level analisisnya yang berbeda, juga
karena
jumlah peran produktifnya tidak terbatas. Sumber daya tersebut justru lebih sulit
diakses
oleh mereka yang tidak memilik persyaratan khusus, yang sesuai dengan
pengalokasiannya. Secara konseptual, konsep kemiskinan struktural seharusnya
diperluas
pengertian struktur sosialnya, yang tidak terbatas hanya pada struktur sosial
komunitas
lokal saja (misalnya, pada komunitas se-desa), akan tetapi justru pada level
struktur
sosial kota (misalnya, seluruh wilayah kota).
Hal tersebut dikarenakan temuan dan/atau berbagai hasil penelitian kemiskinan

di perkotaan selalu meyakini bahwa kemiskinan yang terjadi di perkotaan


sebagai akibat
dari tekanan struktur ekonomi kota yang tidak kondusif. Misalnya, jika
kemiskinan
struktural tersebut terjadi di kalangan buruh industri, maka yang disebut struktur
sosial di
situ adalah pola hubungan produktif antara sang pemberi kerja (juragan) dengan
pelaksana kerja (buruh). Ketidakberdayaan buruh dalam melakukan tawarmenawar
dengan juragan, misalnya, adalah merupakan contoh betapa kemiskinan yang
terjadi di
kalangan buruh adalah termasuk dalam dimensi kemiskinan struktural.
Deskripsi tentang profil kemiskinan struktural dalam konteks artikel ini juga
akan dikemukakan secara lebih longgar, yaitu deskripsi tentang (1) siapa yang
bermain
dalam suatu struktur sosial; (2) apa sumber daya produktif yang sebenarnya
tersedia
dalam suatu struktur sosial; dan (3) bagaimana hubungan kerja produktif antarstruktur.
Ketiga dimensi tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
ditengarai
akan bisa mendeskripsikan bagaimana sebenarnya profil kemiskinan struktural
yang
terjadi pada rumahtangga miskin, terutama yang tinggal di wilayah yang paling
miskin di
kota Surabaya.
DP: (journal.unair.ac.id/.../05%20hotman%20siahaan_Profil%20Kemiskinan)

Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara


unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat
menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan
kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai
dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber
masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah
sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah
masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara
lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.

Masalah sosial di Indonesia terjadi seperti lingkaran setan, Pemerintah telah


membuat peraturantentangakan memberi denda pada orang yang bersedekah
pada pengemis, dan pemerintah juga sibuk dengan kebijakan-kebijakan yang
telah dan akan dibuat yang berkaitan dengan masalah sosial yang terjadi di
Indonesia seperti PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Masalah sosial yang sangat terasa di saat sekarang ini adalah realita kemiskinan
yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kita semua menyadari bahwa
kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah
untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi
masih banyak kita temui permukiman masyarakat miskin hamper di setiap sudut
kota.Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai pemukiman
masayarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang
dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.

MACAM - MACAM MASALAH SOSIAL YANG ADA di INDONESIA :


Masalah Sosial Kemiskinan :

Tulisan ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang latar belakang


terjadinya kemisikinan di Indonesia secara umum dan kota Jakarta secara
khususnya, dan upaya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus pula
untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin.
Pendekatan konvensional yang paling popular dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah adalah menggusur pemukiman kumuh dan kemudian
diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara
seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang
berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti
dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim
lama di lokasi tersebut. Menggusur secara paksa adalah hanya sekedar
memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak
akan pernah berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan
semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi
dengan lokasi pemukimannya yang baru dan penggusuran secara paksa bahkan
sampai dengan adanya unsure anarkisme itu adalah melanggar hak asasi
manusia yang paling hakiki dan harus dihormati bersama.
Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun
1950 dan 1960-an.2Pada saat itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di
pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang
dianggap lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan
yang lebih baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah

saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari
kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli
perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti
kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas.
Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kotakota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam
pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk
menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau di Indonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di
Jakarta yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan
sembari menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat
ditemui di Indonesias Urban Studies, masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara
dan masyarakat kampung Toplang di Jakarta Barat mereka mengelola sampah
untuk dijadikan kompos dan memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program
Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps
Indonesia. Masyarakat miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak
intervensi dari Mercy Corps Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat
meningkatkan kualitas lingkungan kumuh di Penjaringan. Masyarakat di
Penjaringan sangat antusias untuk melakukan kegiatan ini dan mereka yakin
untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan menjadikannya
sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi untuk mengentaskan
kemiskinan di lingkungannya.
Cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan
permukiman masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya.
Penggusuran hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin
akut dan pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota
adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau3seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung
Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan
kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan.
Masyarakat miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan
yang mesti diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan
untuk mengatasi kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah
pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran.

Lain lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi masyarakat Flores
kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam berbagai aspek dan
bentuk kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan yang pelik
dan serius. Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya dan menemukan solusi
pengentasannya bagai mengurai benang kusut yang sangat rumit untuk
diselesaikan.

Secara alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan
musim panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan keadaan
geografis Flores yang tergolong rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar
belakang ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi masyarakat Flores sudah bisa
diukur. Hampir sebagian besar masyarakat Flores bertani secara musiman, dan
amat tergantung pada hasil pertanian jangka panjang. Sementara yang menetap
di pesisir pantai menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini
dapat diukur kemampuan ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita
sangat rendah dan masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan kemiskinan Flores dari latar belakang geografis dan juga
topografis masih terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk
mengelak dari keadaan yang demikian, separuh kaum muda baik laki-laki
maupun perempuan.
DP
:
(http://idorastafara.blogspot.com/2009/11/masalah-sosial-yang-ada-dimasyarakat.html)
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
IV - 1

BAB IV
ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS
IV.1. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN
Pembangunan daerah agar dapat berhasil sesuai dengan tujuannya harus tanggap terhadap kondisi
yang terjadi di masyarakat. Kondisi tersebut menyangkut beberapa masalah
strategis yang saat ini masih menjadi kendala dalam terwujudnya
surabaya lebih baik. Permasalahan secara general adalah :
1. Pendidikan dan Kesehatan
Pendidikan dan kesehatan adalah dua isu yang paling dominan di dalam menyumbang kualitas
sumber daya manusia (SDM). Manakala kualitas pendidikan dan kesehatan bagus, kualitas
SDM akan sekalian bagus. Berdasarkan capaian indek pembangunan Manusia (IPM), Kota Surabaya
memang sudah berada diatas Jawa Timur dimana tahun 2008 IPM surabaya
mencapai 73,88 sedangkan Provinsi Jawa Timur di tahun yang sama sebesar 70,38. Namun kondisi
tersebut kualitas SDM surabaya harus terus ditingkatkan mengingat SDM merupakan
faktor penentu bagi kemampuan daerah untuk menjadi daerah yang memiliki daya saing tinggi.
Untuk peningkatan kualitas SDM, permasalahan yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan
harus segera diatasi, di kota surabaya misalnya angka rata-rata lama sekolah pada tahun
2009 sebesar 9,93 atau setara dengan lulusan SMP, kondisi seperti ini tentunya belum cukup untuk
menghadapi persaingan.
2. Masih banyaknya jumlah penduduk miskin
Kemiskinan memang masih menjadi permasalahan suatu wilayah yang kompleks karena melibatkan
banyak dimensi kehidupan. Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan atau proporsi jumlah orang
miskin dibandingkan dengan jumlah
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5

penduduk keseluruhan pada tahun 2005 sekitar 13,8% yang terus meningkat hingga 18,1% pada
tahun 2009 atau tercatat sebanyak 118.225 RTM dan tahun 2010 sebanyak 110.117 RTM. Banyaknya
jumlah penduduk miskin tersebut menjadi salah satu permasalahan kota Surabaya khususnya dalam
pemenuhan hak-hak dasar manusia.
3. Menurunnya nilai sosial kemasyarakatan
Realitas di masyarakat menunjukkan, tatanan nilai-nilai sosial semakin menurun mulai dari nilai
kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, tolong menolong, dan nilai-nilai lainnya. Begitu
pula penghormatan dan tatakrama terhadap pemerintah dan simbol-simbol kenegaraan semakin
memudar. Kondisi nilai social yang memburuk tersebut diantaranya ditandai dengan
adanya tingkat kejahatan atau kriminalitas yang relative tinggi, meningkatnya kekerasan dalam rumah
tangga, menurunnya kekerabatan, kepercayaan terhadap pemerintah, tingkat

partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menurunnya tatanan social lainnya. Oleh karenanya
menurunnya nilai social menjadi permasalahan yang cukup strategis yang perlu
diperhatikan untuk membangun Surabaya lebih baik.
4. Infrastruktur tata kota dan lingkungan kota yang belum tertata dengan baik.
Seiring dengan tumbuh dan berkembangan kota serta aktifitas masyarakatnya kota yang semakin
meningkat sudah seharusnya di imbangi dengan penyediaan pembangunan
infrastruktur fisik yang seimbang dengan perkembangan kota. Namun realitanya pembangunan
infrastruktur kota belum seimbang dengan perkembangan kota itu sendiri akibatnya
terjadi permasalahan transportasi atau kemacetan, banjir, sampah, dan sanitasi kota.
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5

Meninjau gambaran umum kondisi Kota Surabaya, maka dapat terlihat permasalahan-permasalahan
yang menjadi isu strategis Kota Surabaya di beberapa bidang antara lain:
1. Pendidikan
Belum optimalnya pemenuhan kebutuhan sarana prasarana pendidikan seperti ruang kelas,
gedung sekolah yang rusak;
Biaya pendidikan cenderung masih tinggi yang dirasakan oleh masyarakat;
Masih adanya anak putus sekolah; Rendahnya kualitas pembelajaran.
Relevansi pendidikan dengan dunia kerja masih rendah;
Belum terstandarisasinya tenaga pendidikan
2. Kesehatan
Tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI/AKB);
Masih ditemukannya balita status gizi buruk;
Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan sehingga penyakit
menular seperti demam berdarah, ISPA, Diare, masih ber-endemi di
masyarakat;
Belum optimalnya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana kesehatan;
Pelayanan
kesehatan yang terjangkau dan bermutu untuk masyarakat miskin
3. Kemiskinan Kota
Pemenuhan kebutuhan dasar yang terjangkau dan bermutu bagi keluarga miskin belum
optimal; Masih rendahnya kemampuan dan keterampilan keluarga miskin;
Aksesibilitas keluarga miskin dalam rangka usaha skala mikro masih rendah;
Belum optimalnya pemberdayaan keluarga miskin
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
IV - 4

4. Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan


Koperasi kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalurjalur terhadap sumber-sumber permodalan.
Keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (system informasi
pemasaran).
Pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan
kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil .
kurangnya partisipasi masyarakat dalam berkoperasi.
Masih terbatasnya ruang atau tempat usaha permanen bagi PKL
5. Ketenagakerjaan
Rendahnya kualitas calon tenaga kerja, baik dari sisi pendidikan formal maupun
ketrampilannya sehingga posisi tawar (bergaining position) menjadi rendah dan tidak mampu
terserap di dunia kerja
Terbatasnya kesempatan kerja yang berawal dari rendahnya minat calon tenaga kerja untuk
menciptakan lapangan kerja baru mulai kegiatan wirausaha.
Belum optimalnya pengawasan ketenagakerjaan , perlindungan dan kesejahteraan pekerja
serta hubungan industrial
6. Pariwisata Kota Surabaya
Keterbatasan infrastruktur obyek wisata yang menjadi ikon surabaya.

Kurangnya layaknya kondisi prasarana dan sarana penunjang dalam mendukung potensi
seni, budaya lokal dan pariwisata.
Kurangnya perlindungan benda benda dan kawasan cagar budaya secara memadai .
Belum optimalnya usaha promosi seni, budaya lokal dan pariwisata
Belum efektifnya kelembagaan pengelolaan dan promosi pariwisata.

7. Infrastruktur kota.
Kapasitas jalan yang tidak seimbang dengan jumlah kendaraan
Masih adanya wilayah yang mengalami genangan
Akses dan jaringan jalan yang belum optimal
Sarana prasarana transportasi yang belum optimal
IV.2. FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDORONG
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAERAH.
Kontribusi Kota Surabaya terhadap perekonomian regional jawa Timur adalah yang paling besar
dibanding kabupaten/kota lainnya yaitu mencapai 30% dari total PRDB atas harga berlaku Jawa
Timur. Tentu saja hal tersebut menjadikan Kota Surabaya sebagai pusat perekonomian Jawa Timur
yang didorong dengan ketersediaan infrastruktur regional yang sangat memadai, seperti Terminal
Purabaya, Stasiun Kereta Api Pasar Turi dan Gubeng, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Bandara
Juanda. Kota Surabaya juga menjadi semakin metropolitan dengan tumbuhnya sebagai kota
perdagangan dan jasa yang dapat terlihat dari menjamurnya pasar-pasar modern hampir disetiap
wilayah. Indeks Pembangunan Manusia masyarakat Kota Surabaya pun setiap tahunnya semakin
membaik artinya selalu ada perbaikan kualitas hidup masyarakat Surabaya. Yang juga membentuk
sikap kritis masyarakat terhadap setiap langkah pembangunan daerah, sangat dibutuhkan dalam
mendorong menyelesaikan permasalahan-permasalahan pembangunan daerah. Disisi lain, dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga mendorong masyarakat Kota Surabaya bergairah dalam
memacu perekonomiannya yang tentunya ini dapat membentuk lifestyle
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
IV - 6

perkotaan yang notabene lebih individualistis. Nilai-nilai sosial kemasyarakatannya semakin terkikis,
kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungannya semakin berkurang yang tentunya cukup
menjadi penghambat pembangunan daerah Kota Surabaya.

IV.3. ISU-ISU STRATEGIS


Merupakan permasalahan yang berkaitan dengan
fenomena atau belum dapat diselesaikan pada periode lima tahun
sebelumnya dan memiliki dampak panjang bagi keberlanjutan
pelaksanaan pembangunan sehingga perlu diatasi secara
bertahap. Adapun isu strategis pembangunan Kota Surabaya
yaitu:
1. Peningkatan kualitas, akses, dan relevansi pendidikan
Karakteristik penduduk yang terus mengalami dinamika termasuk tingkat pendidikan penduduk kota
Surabaya yang makin meningkat harus diimbangi kesesuaian dengan tuntutan dunia kerja.
Meningkatnya Angka Partisipasi Murni ditingkat sekolah menengah serta terus bertambahnya lulusan
Sekolah Menengah Kejuruan menjadi permasalahan utama pendidikan perkotaan sehingga harus
diprioritaskan
2. Peningkatan kualitas dan akses pelayanan kesehatan
Derajat kesehatan warga Kota Surabaya yang sudah mengalami perbaikan harus terus didukung oleh
peningkatan kualitas lingkungan kota.
3. Pemberdayaan masyarakat miskin
Pemberdayaan masyarakat miskin merupakan salah satu jalan utama dalam mengurangi angka
kemiskinan yang notabene terus bertambah seiring pertambahan penduduk dengan pertumbuhan

ekonomi Kota Surabaya yang relatif tinggi yang masih kurang diimbangi dengan penguatan struktur
ekonomi dan penyediaan infrastruktur yang memadai.

4. Penguatan Daya saing Koperasi Usaha mikro, kecil menengah (KUMKM)


R P J M D K O T A S U R A B A Y A T A H U N 2 0 1 0 - 2 0IV - 7

Daya saing pelaku KUMKM harus terus di tingkatkan mengingat UMKM merupakan kekuatan
ekonomi lokal, selama ini mampu menjadi sumber nafkah sebagian besar masyarakat, dan menyerap
banyak tenaga kerja.
5. Peningkatan kualitas dan daya saing calon tenaga kerja dalammenciptakan lapangan kerja baru
dan masuk kerja formal serta penciptaan iklim ketenagakerjaan yang kondusif.
Peningkatan kualitas calon tenaga kerja dalam segi keterampilan tambahan untuk menciptakan
lapangan kerja mandiri, maupun peningkatan kompetensi calon tenaga kerja agar terserap dalam
pasar kerja formal. Pasar kerja di masa datang juga menuntut adanya jaminan kondisi iklim
ketenagakerjaan yang kondusif dan harmonis, yang mendorong terciptanya suasana hubungan
industrial yang ramah bagi usaha investasi.
6. Peningkatan Kualitas Produk kepariwisata
Peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya lokal potensial perlu terus di usahakan salah satunya
adalah dengan mengembangkan sektor pariwisata sebagai potensi unggulan Surabaya, dimana
berbagai wisata ada di kota Surabaya mulai wisata religi sampai wisata modern (wisata belanja dan
kuliner).
7. Pembangunan Infrastruktur
Membangun infrastruktur fisik dan pranata sosial kota harus terus di pacu untuk mewujudkan
lingkungan kota yang nyaman dan aman bagi warga kota.
DP : (www.surabaya.go.id/files.php?id=767)

Anda mungkin juga menyukai