Kemiskinan 1
Kemiskinan 1
berkembang banyak yang harus dilakukan dan diperhatikan dengan fokus oleh
pemerintahan dalam melakukan pengembangan dan perwujudan dalam
mencapai suatu negara yang lebih maju. Dari upaya-upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia untuk membangun suatu negara yang lebih maju seperti
dengan lebih memperhatikan masalah pembangunan suatu negara seperti
halnya masalah kemiskinan, masalah distribusi pendapatan, masalah
pembangunan manusia, masalah utang luar negeri dan banyak lagi masalah
yang bisa menghambat kemajuan suatu negara berkembang.
Dengan mengambil contoh suatu kota, seperti Kota Surabaya adalah kota
terbesar kedua setelah Jakarta yang termasuk Ibukota Indonesia, semakin besar
kota tersebut semakin banyak masalah yang sangat signifikan yang bisa dan
akan menghambat jalannya pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya masalah
penduduk yang menganggur akibat dari jumlah penduduk yang sangat melonjak
tinggi dan melonjaknya angka kelahiran yang ada di Kota Surabaya tidak
seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang berada di Kota Surabaya tersebut.
Dengan melonjaknya angka kelahiran yang ada pada Kota Surabaya tersebut
semakin banyaknya masalah yang bisa menghambat suatu pembangunan
perkonomian yang berhubungan langsung atau secara tidak langsung dengan
masalah kemiskinan yang terjadi pada daerah tersebut.
Namun hingga saat ini masalah kemiskinan masih saja belum terselesaikan
dengan baik. Kemiskinan yang terjadi di kota Surabaya sungguhlah sangat serius
dan wajib menjadi perhatian pemerintah kota Surabaya. Dengan banyaknya
anggota keluarga yang kurang memenuhi kehidupan dan kebutuhan hidupnya
secara layaknya. Penyelesaian problem kemiskinan menjadi salah satu prioritas
Pemkot Surabaya hingga kini. Namun, alih-alih angka kemiskinan berkurang,
namun justru bertambah. Padahal, intervensi anggaran yang disediakan pemkot
dari tahun ke tahun terus naik.
Berdasar data Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas), angka kemiskinan
di Surabaya tak kunjung berkurang dalam tiga tahun terakhir. Pada 2008,
penduduk miskin di kota ini terdata 113 ribu KK (kepala keluarga). Data ini juga
dipakai acuan pemerintah pada program raskin 2011.
Dalam rapat koordinasi yang diadakan Badan Perencanaan dan Pembangunan
Kota (Bappeko) kemarin (4/2), masalah kemiskinan di Surabaya menjadi problem
krusial yang harus segera diselesaikan. "Harus dicari apa yang salah. Intervensi
pemerintah dari tahun ke tahun semakin tinggi anggarannya, namun jumlah
penduduk miskin belum juga berkurang," kata Kapala Bappeko Tri Rismaharini
yang juga menjabat sebagai Walikota Surabaya. Menurut Risma, selama ini
begitu banyak program bantuan yang diberikan pemerintah untuk mengentas
masyarakat miskin. Lembaga yang menangani pun beragam. Namun, program
tersebut seolah lebih bersifat amal . "Bantuan yang telah diberikan tetap tidak
bisa mengentas kemiskinan secara mendasar," ujarnya.
Perlu dicari faktor yang melatarbelakangi mengapa masyarakat sulit dientaskan
dari kemiskinan. Seorang warga miskin yang butuh pendidikan tak bisa
disamakan dengan warga miskin yang membutuhkan beras khusus warga miskin
. Karena itu, pemberian bantuan kemiskinan akan didasarkan pada tingkat
kebutuhan masyarakat miskin. Pemkot akan menyusun kriteria kemiskinan
secara khusus. Kriteria yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dianggap
ada yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Surabaya sekarang. Kriteria
yang dipakai pemkot cenderung sesuai dengan kriteria kemiskinan produk
Chumbers. Yakni, masyarakat miskin, rentan miskin, tak berdaya, terisolasi, dan
punya intensitas sakit tinggi. Dengan demikian, bantuan kemiskinan tak harus
selalu berhubungan pada masalah pangan, tapi harus disesuaikan dengan
kebutuhan seseorang yang bersangkutan.
Banyaknya intervensi bantuan yang diberikan lembaga-lembaga donor atau
pemerintah juga membingungkan masyarakat. Misalnya, raskin dan biaya
operasional sekolah (BOS). Menurut saya sebaiknya hanya ada satu lembaga aja
yang menaungi masalah kemiskinan. Lembaga tersebut bertugas memantau
secara intens perkembangan sasaran keluarga miskin (gakin) .Dengan begitu
ada progres dalam pengentasan kemiskinan. (NRP 3610100070)
DP
:
(http://www.kompasiana.com/firdhael/kemiskinan-di-surabaya-yang-takkunjung-usai_550b07a0a33311cf1c2e3c0f)
Teorisasi Kemiskinan di Indonesia
Telah banyak studi tentang kemiskinan di Indonesia yang dilakukan oleh
berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, LSM maupun pihak-pihak lain yang
berkolaborasi dengan pihak-pihak tertentu. Studi-studi tersebut pada umumnya
menggunakan metode pengukuran kemiskinan secara kuantitatif (objektif),
misalnya,
mengukur jumlah konsumsi beras per kapita per tahun, mengukur tingkat
pengeluaran
ekuivalen beras per orang per tahun, mengukur kebutuhan gizi minimum per
orang per
hari, mengukur pendapatan minimum per kapita per tahun, mengukur konsumsi
kalori
per kapita per hari, mengukur pengeluaran per kapita per bulan, dan mengukur
indeks
mutu hidup (physical quality of life index atau PQLI).
Selain metode-metode pengukuran tersebut, kini BPS Indonesia menggunakan
empat belas indikator untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, baik kemiskinan
yang
terjadi di pedesaan maupun di perkotaan. Keempat belas indikator tersebut
adalah (1)
luas lantai rumah; (2) jenis lantai rumah; (3) jenis dinding rumah; (4) fasilitas
tempat
buang air besar; (5) sumber air minum; (6) penerangan yang digunakan; (7)
bahan bahan
bakar yang digunakan; (8) frekuensi makan dalam sehari; (9) kebiasaan membeli
daging/ayam/susu; (10) kemampuan membeli pakaian; (11) kemampuan berobat
ke
puskesmas/poliklinik; (12) lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; (13)
pendidikan
kepala rumah tangga; dan (14) kepemilikan aset.
Ditengarai, keempat belas indikator tersebut tidak dapat untuk mengidentifikasi
dimensi kemiskinan apa yang sebenarnya sedang dialami oleh rumah tangga
miskin di
Indonesia. Misalnya, apakah kemiskinan dalam rumah tangga tersebut
berdimensi
perkotaan yang seharusnya tersedia untuk mereka; dan (2) berkaitan dengan
tidak
dimilikinya sumber daya struktural, maka kemiskinan yang terjadi bukan karena
pada
ketimpangan struktur sosial, melainkan karena tidak kondusifnya struktur
sosialnya,
sehingga menyebabkan rumah tangga miskin tidak bisa bekerja secara produktif.
Para migran adalah orang-orang justru telah tercabut dari struktur sosial
lamanya
di pedesaan, akan tetapi mereka belum dapat masuk ke dalam struktur sosial
baru di
perkotaan. Oleh karena itu, mereka lazim disebut sebagai massa apung yang
berada di
perkotaan, yang akan melakukan pekerjaan apa saja asal mendapatkan uang,
atau lazim
dikenal dengan istilah kerja serabutan. Konsep kemiskinan struktural yang
digunakan
untuk studi-studi kemiskinan di perkotaan harus dipahami secara lebih makro,
dalam arti
bahwa sumber daya struktural yang seharusnya tersedia bagi anggota
komunitas. Oleh
karena itu sumber daya tersebut seharusnya didistribusikan secara merata,
karena
jumlahnya tidak terbatas.
Dalam komunitas di pedesaan, sumber daya tersebut pada intinya berupa lahan
pertanian produktif, akan tetapi di perkotaan bisa berupa ijazah pendidikan,
modal usaha,
ketrampilan kerja, hubungan kerja, pengalaman kerja, dan berbagai sumber
daya lainnya
yang masuk ke dalam kategori persyaratan kerja formal dan/atau informal.
Adanya
dualisme struktural tersebut seringkali menyebabkan para orang miskin
dan/atau rumah
tangga miskin di daerah perkotaan yang pada umumnya para migran dari
pedesaan
melakukan berbagai kegiatan ekonomi sisa (scavenging economy), dengan
semboyan
utama asal dapat uang. Kegiatan tersebut misalnya, sebagai sebagai tukang
becak,
pemulung sampah, tukang cuci pakaian, buruh bangunan, buruh serabutan,
pengemis
dan berbagai kegiatan ekonomi sisa lainnya yang bisa digunakan untuk
menyambung
hidup. Dengan kata lain, seandainya kegiatan-kegiatan tersebut dipakai sebagai
contoh
dan/atau bukti dalam realitas kemiskinan di perkotaan, maka kemungkinan
kemiskinan
tersebut justru bukan karena adanya struktur sosial yang tidak produktif, akan
tetapi
struktur sosial yang tidak kondusif.
Meski telah dua puluh tahun lebih konsep tentang kemiskinan struktural
paling miskin yang berada di wilayah kota Surabaya, dengan menggunakan cara
pengukuran secara subjektif atau sesuai dengan persepsi rumah tangga miskin
itu sendiri.
Secara metodologis, cara pengukuran tersebut lazim disebut sebagai metode
fenomenologi. Cara pengukuran sebenarnya lebih tepat disebut sebagai cara
deskripsi
kemiskinan seperti itu pernah dilakukan oleh Kuswarno (2009), ketika ia
mendeskripsikan realitas kemiskinan yang dialami para pengemis di kota
Bandung.
Dalam penelitiannya tersebut, Kuswarno menggunakan metode fenomenologi,
antara lain dengan meneliti bagaimana cara orang miskin mengkomunikasikan
simbolsimbol
kemiskinannya sendiri, sehingga orang lain menangkap simbol-simbol tersebut.
Ditemukan data bahwa para pengemis pun berupaya menampilkan diri secara
profesional, dalam arti dalam penampilannya itu dirancang sedemikian rupa,
agar bisa
mengundang belas-kasihan orang lain. Misalnya, dengan mengenakan pakaian
compangcamping
untuk mengesankan serba kekurangan, salah satu tangan atau kakinya dibalut
perban untuk mengesankan adanya kecacatan tubuh, cara berjalannya dibuat
terseokseok
untuk mengesankan bahwa ia kelaparan, dan dengan cara menggunakan
komunikasi
bahasa lisan yang mengesankan belas-kasihan.
Dinamika Konsep kemiskinan
Ada beberapa konsep kemiskinan yang pernah diperdebatkan secara akademis
dan/atau digunakan di Indonesia, baik yang diintroduksi oleh pemerintah (BPS)
maupun
universitas (para akademisi). Konsep-konsep tersebut pada umumnya
berdimensi pada
ketidakmampuan dalam memenuhi beberapa kebutuhan pokoknya, baik dalam
ukuran
besarnya
penghasilan
(rupiah/bulan),
jumlah
konsumsi
beras
(kilo
gram/bulan/kapita),
maupun ketercukupan kalori (Kkal/hari/kapita). Konsep ketidakmampuan
tersebut akan
sangat relatif jika dibandingan dengan dinamika laju inflasi dan dinamika harga
sembako
yang terjadi di setiap propinsi, kota maupun kabupaten.
Konsep tersebut akan selalu ketinggalan zaman jika digunakan untuk
mendeskripsi, apalagi untuk mengukur kemiskinan secara aktual. Akibatnya
menjadi
wajar atau sah-sah saja jika data kemiskinan di Indonesia tidak pernah benar,
dalam arti
(1) validitasnya layak dipermasalahkan; dan (2) reabilitasnya juga layak
diperdebatkan.
Adanya perbedaan data yang signifikan tentang berapa sebenarnya jumlah
(angka)
kemiskinan di Indonesia yang dikemukakan oleh berbagai instansi pemerintah,
misalnya,
Selain itu, pada pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4) disebutkan bahwa:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan (ayat, 1).
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan (ayat, 2).
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinan pengembanagn
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (ayat, 3).
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun (ayat, 4).
Pada pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), juga disebutkan bahwa:
saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari
kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli
perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti
kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas.
Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kotakota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam
pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk
menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau di Indonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di
Jakarta yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan
sembari menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat
ditemui di Indonesias Urban Studies, masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara
dan masyarakat kampung Toplang di Jakarta Barat mereka mengelola sampah
untuk dijadikan kompos dan memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program
Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps
Indonesia. Masyarakat miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak
intervensi dari Mercy Corps Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat
meningkatkan kualitas lingkungan kumuh di Penjaringan. Masyarakat di
Penjaringan sangat antusias untuk melakukan kegiatan ini dan mereka yakin
untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan menjadikannya
sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi untuk mengentaskan
kemiskinan di lingkungannya.
Cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan
permukiman masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya.
Penggusuran hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin
akut dan pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota
adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau3seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung
Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan
kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan.
Masyarakat miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan
yang mesti diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan
untuk mengatasi kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah
pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran.
Lain lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi masyarakat Flores
kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam berbagai aspek dan
bentuk kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan yang pelik
dan serius. Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya dan menemukan solusi
pengentasannya bagai mengurai benang kusut yang sangat rumit untuk
diselesaikan.
Secara alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan
musim panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan keadaan
geografis Flores yang tergolong rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar
belakang ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi masyarakat Flores sudah bisa
diukur. Hampir sebagian besar masyarakat Flores bertani secara musiman, dan
amat tergantung pada hasil pertanian jangka panjang. Sementara yang menetap
di pesisir pantai menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini
dapat diukur kemampuan ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita
sangat rendah dan masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan kemiskinan Flores dari latar belakang geografis dan juga
topografis masih terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk
mengelak dari keadaan yang demikian, separuh kaum muda baik laki-laki
maupun perempuan.
DP
:
(http://idorastafara.blogspot.com/2009/11/masalah-sosial-yang-ada-dimasyarakat.html)
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
IV - 1
BAB IV
ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS
IV.1. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN
Pembangunan daerah agar dapat berhasil sesuai dengan tujuannya harus tanggap terhadap kondisi
yang terjadi di masyarakat. Kondisi tersebut menyangkut beberapa masalah
strategis yang saat ini masih menjadi kendala dalam terwujudnya
surabaya lebih baik. Permasalahan secara general adalah :
1. Pendidikan dan Kesehatan
Pendidikan dan kesehatan adalah dua isu yang paling dominan di dalam menyumbang kualitas
sumber daya manusia (SDM). Manakala kualitas pendidikan dan kesehatan bagus, kualitas
SDM akan sekalian bagus. Berdasarkan capaian indek pembangunan Manusia (IPM), Kota Surabaya
memang sudah berada diatas Jawa Timur dimana tahun 2008 IPM surabaya
mencapai 73,88 sedangkan Provinsi Jawa Timur di tahun yang sama sebesar 70,38. Namun kondisi
tersebut kualitas SDM surabaya harus terus ditingkatkan mengingat SDM merupakan
faktor penentu bagi kemampuan daerah untuk menjadi daerah yang memiliki daya saing tinggi.
Untuk peningkatan kualitas SDM, permasalahan yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan
harus segera diatasi, di kota surabaya misalnya angka rata-rata lama sekolah pada tahun
2009 sebesar 9,93 atau setara dengan lulusan SMP, kondisi seperti ini tentunya belum cukup untuk
menghadapi persaingan.
2. Masih banyaknya jumlah penduduk miskin
Kemiskinan memang masih menjadi permasalahan suatu wilayah yang kompleks karena melibatkan
banyak dimensi kehidupan. Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan atau proporsi jumlah orang
miskin dibandingkan dengan jumlah
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
penduduk keseluruhan pada tahun 2005 sekitar 13,8% yang terus meningkat hingga 18,1% pada
tahun 2009 atau tercatat sebanyak 118.225 RTM dan tahun 2010 sebanyak 110.117 RTM. Banyaknya
jumlah penduduk miskin tersebut menjadi salah satu permasalahan kota Surabaya khususnya dalam
pemenuhan hak-hak dasar manusia.
3. Menurunnya nilai sosial kemasyarakatan
Realitas di masyarakat menunjukkan, tatanan nilai-nilai sosial semakin menurun mulai dari nilai
kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, tolong menolong, dan nilai-nilai lainnya. Begitu
pula penghormatan dan tatakrama terhadap pemerintah dan simbol-simbol kenegaraan semakin
memudar. Kondisi nilai social yang memburuk tersebut diantaranya ditandai dengan
adanya tingkat kejahatan atau kriminalitas yang relative tinggi, meningkatnya kekerasan dalam rumah
tangga, menurunnya kekerabatan, kepercayaan terhadap pemerintah, tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menurunnya tatanan social lainnya. Oleh karenanya
menurunnya nilai social menjadi permasalahan yang cukup strategis yang perlu
diperhatikan untuk membangun Surabaya lebih baik.
4. Infrastruktur tata kota dan lingkungan kota yang belum tertata dengan baik.
Seiring dengan tumbuh dan berkembangan kota serta aktifitas masyarakatnya kota yang semakin
meningkat sudah seharusnya di imbangi dengan penyediaan pembangunan
infrastruktur fisik yang seimbang dengan perkembangan kota. Namun realitanya pembangunan
infrastruktur kota belum seimbang dengan perkembangan kota itu sendiri akibatnya
terjadi permasalahan transportasi atau kemacetan, banjir, sampah, dan sanitasi kota.
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
Meninjau gambaran umum kondisi Kota Surabaya, maka dapat terlihat permasalahan-permasalahan
yang menjadi isu strategis Kota Surabaya di beberapa bidang antara lain:
1. Pendidikan
Belum optimalnya pemenuhan kebutuhan sarana prasarana pendidikan seperti ruang kelas,
gedung sekolah yang rusak;
Biaya pendidikan cenderung masih tinggi yang dirasakan oleh masyarakat;
Masih adanya anak putus sekolah; Rendahnya kualitas pembelajaran.
Relevansi pendidikan dengan dunia kerja masih rendah;
Belum terstandarisasinya tenaga pendidikan
2. Kesehatan
Tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI/AKB);
Masih ditemukannya balita status gizi buruk;
Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan sehingga penyakit
menular seperti demam berdarah, ISPA, Diare, masih ber-endemi di
masyarakat;
Belum optimalnya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana kesehatan;
Pelayanan
kesehatan yang terjangkau dan bermutu untuk masyarakat miskin
3. Kemiskinan Kota
Pemenuhan kebutuhan dasar yang terjangkau dan bermutu bagi keluarga miskin belum
optimal; Masih rendahnya kemampuan dan keterampilan keluarga miskin;
Aksesibilitas keluarga miskin dalam rangka usaha skala mikro masih rendah;
Belum optimalnya pemberdayaan keluarga miskin
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
IV - 4
Kurangnya layaknya kondisi prasarana dan sarana penunjang dalam mendukung potensi
seni, budaya lokal dan pariwisata.
Kurangnya perlindungan benda benda dan kawasan cagar budaya secara memadai .
Belum optimalnya usaha promosi seni, budaya lokal dan pariwisata
Belum efektifnya kelembagaan pengelolaan dan promosi pariwisata.
7. Infrastruktur kota.
Kapasitas jalan yang tidak seimbang dengan jumlah kendaraan
Masih adanya wilayah yang mengalami genangan
Akses dan jaringan jalan yang belum optimal
Sarana prasarana transportasi yang belum optimal
IV.2. FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDORONG
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAERAH.
Kontribusi Kota Surabaya terhadap perekonomian regional jawa Timur adalah yang paling besar
dibanding kabupaten/kota lainnya yaitu mencapai 30% dari total PRDB atas harga berlaku Jawa
Timur. Tentu saja hal tersebut menjadikan Kota Surabaya sebagai pusat perekonomian Jawa Timur
yang didorong dengan ketersediaan infrastruktur regional yang sangat memadai, seperti Terminal
Purabaya, Stasiun Kereta Api Pasar Turi dan Gubeng, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Bandara
Juanda. Kota Surabaya juga menjadi semakin metropolitan dengan tumbuhnya sebagai kota
perdagangan dan jasa yang dapat terlihat dari menjamurnya pasar-pasar modern hampir disetiap
wilayah. Indeks Pembangunan Manusia masyarakat Kota Surabaya pun setiap tahunnya semakin
membaik artinya selalu ada perbaikan kualitas hidup masyarakat Surabaya. Yang juga membentuk
sikap kritis masyarakat terhadap setiap langkah pembangunan daerah, sangat dibutuhkan dalam
mendorong menyelesaikan permasalahan-permasalahan pembangunan daerah. Disisi lain, dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga mendorong masyarakat Kota Surabaya bergairah dalam
memacu perekonomiannya yang tentunya ini dapat membentuk lifestyle
R P J M D K O TAS U R AB AYATAH U N 2 0 1 0 - 2 0 1 5
IV - 6
perkotaan yang notabene lebih individualistis. Nilai-nilai sosial kemasyarakatannya semakin terkikis,
kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungannya semakin berkurang yang tentunya cukup
menjadi penghambat pembangunan daerah Kota Surabaya.
ekonomi Kota Surabaya yang relatif tinggi yang masih kurang diimbangi dengan penguatan struktur
ekonomi dan penyediaan infrastruktur yang memadai.
Daya saing pelaku KUMKM harus terus di tingkatkan mengingat UMKM merupakan kekuatan
ekonomi lokal, selama ini mampu menjadi sumber nafkah sebagian besar masyarakat, dan menyerap
banyak tenaga kerja.
5. Peningkatan kualitas dan daya saing calon tenaga kerja dalammenciptakan lapangan kerja baru
dan masuk kerja formal serta penciptaan iklim ketenagakerjaan yang kondusif.
Peningkatan kualitas calon tenaga kerja dalam segi keterampilan tambahan untuk menciptakan
lapangan kerja mandiri, maupun peningkatan kompetensi calon tenaga kerja agar terserap dalam
pasar kerja formal. Pasar kerja di masa datang juga menuntut adanya jaminan kondisi iklim
ketenagakerjaan yang kondusif dan harmonis, yang mendorong terciptanya suasana hubungan
industrial yang ramah bagi usaha investasi.
6. Peningkatan Kualitas Produk kepariwisata
Peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya lokal potensial perlu terus di usahakan salah satunya
adalah dengan mengembangkan sektor pariwisata sebagai potensi unggulan Surabaya, dimana
berbagai wisata ada di kota Surabaya mulai wisata religi sampai wisata modern (wisata belanja dan
kuliner).
7. Pembangunan Infrastruktur
Membangun infrastruktur fisik dan pranata sosial kota harus terus di pacu untuk mewujudkan
lingkungan kota yang nyaman dan aman bagi warga kota.
DP : (www.surabaya.go.id/files.php?id=767)