Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi dan imunitas merupakan sebuah sistem yang sangat berperan dalam
mempertahankan tubuh bahkan menghancurkan serangan bakteri dan virus. Dengan
memahami infeksi dan imunitas ini juga dapat membantu dalam mendiagnosa
penyakit, melakukan pemeriksaan, mengetahui penyebab penyakit, melakukan
penyembuhan dan pencegahan. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas berbagai
proses dan macam-macam bakteri yang dapat menyebabkan penyakit khususnya
penyakit malaria.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah yang bertema demam menggigil dan sakit
kepala hebat sejak dua hari yang lalu serta penurunan kesadaran ini adalah
1. Memenuhi tugas belajar mandiri pada PBL blok 12 mengenai Infeksi dan
Imunitas,
2. Mengetahui anamnesis, pemeriksaaan fisik dan penunjang, diagnosis, serta
diagnosis deferensial dari penyakit malaria,
3. Mengetahui etiologi, epidemiologi, pathogenesis, gejala klinis, pengobatan,
kompikasi, prognosis serta profilaksis dari penyakit malaria.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anamnesis
Anamnesis adalah komunikasi dua arah yang dilakukan dokter dengan pasien atau
dengan keluarga pasien. Ada dua macam komunikasi yang dilakukan, yaitu;
a. Auto = antara dokter dengan pasien (pasien dalam keadaan sadar)
b. Allo = antara dokter dengan keluarga pasien (pasien dalam keadaan tidak sadar)

Dalam scenario dokter harus melakukan anamnesis allo karena pasien dalam
kesadaran somnolen. Tujuan dari anamnesis adalah untuk memperoleh informasi,
menjalin hubungan baik, dan menjalin kepercayaan dokter dengan pasien.1 Dari
scenario ada hal yang dapat kita ketahui dan ada hal yang harus kita tanyakan, yaitu;
Keluhan utama
Demam menggigil, sakit kepala sejak dua hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang
Suhu tubuh saat ini 39 C, dua minggu yang lalu bapak ini berwisata ke Ujung

Kulon.
Apakah bapak sudah minum obat? Obat apa itu? Dan bagaimna hasilnya?
Adakah keluhan yang lain?
Riwayat penyakit dahulu
Apakah pernah sakit seperti ini sebelumnya?
Kalau keluarganya ada yang sakit seperti juga tidak?
Riwayat social
Bagaimana dengan system pembuangan sampah di lingkungan perumahan anda?
Hasil pemeriksaan
Hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan antara lain suhu tubuh 39C, denyut
nadi 90x/menit, dan tekanan darah 120/80 mmHg. Hasil pemeriksaan
labolatorium yang telah dilakukan antara lain kadar hemoglobin 13gr/dl, kadar
trombosit 250000/l, dan kadar leukosit 6000/l.

2.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah;
Table 2.2-1. pemeriksaaan fisik yang biasa dilakukan
Pemeriksaan

Diketahui

Normal

Suhu tubuh

39C

36C-37C

Frekuensi nadi

90 X/menit

70-80 X/menit

Tekanan darah

120/80 mmHg

120/80 mmHg

Frukensi pernapasan

Tidak diketahui

12-20 X/menit

Pemeriksaan fisik dasar, yaitu;


a.
Inspeksi = cara pemeriksaan dengan melihat dan mengamati bagian tubuh pasien
yang diperiksa. Contoh; inspeksi perut (ada benjolan atau tidak), inpeksi warna

bola mata (berwarna kuning atau tidak), dan inspeksi gerakan tubuh spontan
b.

(gemetar, kejang-kejang dan reflex spontan).


Palpasi = pemeriksaan secara perabaan dengan menggunakan rasa proprioseptif
ujung jari tangan.pemeriksaan ini gunanya unutuk menemukan adanya massa
(lokasi, ukuran, bentuk, tepi, permukaan, konsistensi, rasa nyeri, dan apakah ada
pergerakan selama respirasi). Khususnya dilakukan palpasi lien berdasarkan garis
schuffner yang menyilang mulai dari inguinal kanan sampai tepi bawah arcus
costae kiri dan palpasi hepar dimulai dari inguinal kanan secara kaudo-cephal

c.

(dari bawah ke arah atas).


Perkusi = pemeriksaan fisik dengan cara mengetuk permukaan tubuh dengan
perantara jari tangan untuk mengetahui keadaan organ-organ di dalam tubuh.
Tergantung dengan jaringan apa yang ada dibawahnya, maka akan timbul
berbagai nada (pekak, redup, sonor, hipersonor dan timpani). Dan bunyi dull
terjadi pada splenomegali dan adanya cairan atau benda padat dalam lambung

d.

atau kolon.
Auskultasi = pemeriksaan fisik dengan cara mendengarkan suara yang terdapat di
dalam dengan bantuan alat yang disebut stetoskop, shingga dapat mendengarkan
suara secara kualitatif maupun kuantitatif yang ditimbulkan oleh jantung,
pembuluh darah, paru-paru dan usus.2

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang/laboratorium yang dapat dilakukan adalah;
a. Pemeriksaan hitung sel darah tepi (eritrosit, leukosit, dan trombosit)
Hitung sel darah adalah suatu pemeriksaan untuk menentukan jumlah sel dalam
tiap mikroliter darah. Prinsip pemeriksaan cara manual adalah dengan melakukan
pengenceran dan menghitung sel darah dengan menggunakan kamar hitung.
Makin banyak sel yang akan dihitung, maka makin banyak pula pengenceran yang
dilakukan. Antikoagulan yang dipakai adalah K3EDTA (2mg K3EDTA untuk 2 ml
darah). Alat dan larutan pengencer yang digunakan adalah;

1. Pipet yang digunakan untuk pengenceran darah adalah pipet Thoma


(pengenceran dilakukan didalam pipet itu sendiri) dan pipet Sahli
(pengenceran dilakukan didalam waddah penampung).

Gambar 2.3-1. Pipet thoma untuk leukosit, eritrosit dan trombosit.


Pipet thoma ada dua jenis; pipet thoma untuk eritrosit (jika darah dihisap
sampai garis tanda 1,0 dan diikuti pengenceran sampai garis tanda 101, maka
akan terjadi pengenceran 100 kali; jika darah dihisap sampai garis tanda 0,5
dan diikuti pengenceran sampai garis tanda 101, maka akan terjadi
pengenceran 200 kali) dan pipet thoma untuk leukosit (jika darah dihisap
sampai garis tanda 1,0 dan diikuti pengenceran sampai garis tanda 11, maka
akan terjadi pengenceran 10 kali; jika darah dihisap sampai garis tanda 0,5 dan
diikuti pengenceran sampai garis tanda 11, maka akan terjadi pengenceran 20
kali).
2. Kamar hitung improved neubauer = luas seluruh bidang 3x3mm2 dengan
tinggi 1mm2. Keempat bidang besar pada setiap sudut kamar

hitung

digunakan untuk pemeriksaan hitung leukosit sedangkan bidang ditengah


kamar hitung dipergunakan untuk pemeriksaan hitung eritrosit dan trombosit.

Gambar 2.3-2. Kamar hitung untuk leukosit, eritrosit dan trombosit.


3. Larutan pengencer
Table 2.3-3. Larutan pengencer yang digunakan untuk leukosit, eritrosit dan
trombosit.
Jenis pemeriksaan

Reagens

Hitung leukosit

Larutan trunk (manghancurkan eritrosit dan trombosit


sehingga hanya leukosit dan eritrosit berinti yang
terlihat.

Hitung trombosit

Larutan ammonium oksalat 1% dan larutan rees ecker


(perbedaannya pada larutan ammonium oksalat 1%
eritrosit lisis sedangkan pada larutan rees ecker tidak).

Hitung eritrosit

Larutan formal sitrat, larutan ahyem dan larutan gower.

Dari pemeriksaan ini dapat diketahui bahwa jumlah eritrosit normal = 45,2x106/ l (pada wanita) dan 4,5-5,9x106/ l (pada pria), jumlah leukosit
normal = 4,5-11x103/ l, dan jumlah trombosit = 150-350x103/ l.
b. Pemeriksaan sedian hapus darah tepi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk evaluasi marfologi sel darah tepi (eritrosit,
leukosit, trombosit), memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit serta
mengidentifikasi parasit. Misalnya parasit malaria, microfilaria, trypanosome.

Bahan yang digunakan darah segar dari vena atau kapiler dengan atau tanpa
antikoagulan. sediaan hapus darah tepi dapat dipulas dengan pewarnaan, yaitu;
1. Pulasan Wright = untuk menilai marfologi sel darah karena struktur sitoplasma
dan inyi sel lebih jelas terlihat
2. Pulasan Wirght-giemsa
3. Pulasan Giemsa = digunakan untuk mewarnai parasit

Gambar 2.3-4. Preparat sediaan hapus darah tepi.


Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop cahaya, dimulai dengan menggunakan
pembesaran 10x10 (untuk melihat distribusi sel darah pada sediaan dan
kemungkinan ada microfilaria), 40x10 (untuk melakukan hitung jenis leukosit dan
melihat marfologi sel darah yaitu keadaan eritrosit, leukosit dan trombosit) dan
10x100 (untuk melihat ada tidaknya parasit malaria). Dari sini dapat diketahui
jumlah leukosit normal = 5000-10000/l.3
c. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan darah yang menurut teknis pembuatannya
dibagi menjadi preparat darah tebal dan preparat darah tipis, untuk menentukan
ada tidaknya parasit malaria dalam darah. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat
jenis plasmodium ( P. falciparum, P. vivax, P.malariae, P. ovale) dan stadiumnya
(trofozoid, skizon, dan gametosit) serta kepadatan parasitnya.
Kepadatan parasit dalam sel darah (dapat dilihat dengan dua cara yaitu semikuantitatif dan kuantitatif. Metode semi-kuantitatif adalah menghitung parasit
dalam LPB (lapangan pandang besar) dengan rincian sebagai berikut :
(-)

: SDr negative (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)


6

(+)

: SDr positif 1 ( ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)

(++)

: SDr positif 2 ( ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)

(+++) : SDr positif 3 ( ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB)


(++++): SDr positif 4 ( ditemukan 11-100 parasit dalam 1 LPB)
Perhitungan kepadatan parasit secara kuantitatif pada SDr tebal adalah
menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Pada SDr tipis, perhitungan jumlah
parasit per 1000 eritrosit. Hitung parasit dapat juga dilakukan dengan menghitung
jumlah parasit per 200 leukosit dalam sediaan darah tebal dan jumlah leukosit
rata-rata 8000 / L darah, sehingga jumlah parasit dapat dihitung sebagai berikut :
Parasit / L darah = (Jumlah parasit yang dihitung 8000)/(jumlah leukosit yang
dihitung (200))
Namun diagnosis mikroskopis secara rutin kadang-kadang kurang bermutu atau
tidak dapat dilakukan pada sistem pelayanan kesehatan di daerah perifer.
Walaupun teknologinya sederhana dan biayanya relatif murah, diagnosis
mikroskopis ini tetap memerlukan infrastruktur yang memadai untuk pengadaan
dan

pemeliharaannya,

serta

untuk

melatih

tenaga

mikroskopik

dan

mempertahankan mutu.
d. Metode lain tanpa mikroskop
Beberapa metode untuk mendeteksi parasit malaria tanpa mengguankan
mikroskop telah dikembangkan denan maksud untuk mndeteksi parasit lebih baik
daripada dengan mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein atau asam
nukleat yang berasal dari parasit. Teknik dip-stick mendeteksi secara imunoenzimatik suatu protein kaya histidine II yang spesifik parasit (immuno enzymatic

detection of the parasite spesific histidine rich protein II). Tes spesifik untuk
plasmodium falciparum telah dicoba pada beberapa negara, antara lain di
Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukand alam waktu 10
menit dan dapat dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh
petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikti latihan. Alatnya sederhana,
kecil dan tidak memerlukanaliran listrik.
Kelemahan tes dip-stick ini adalah :
1. Hanya spesifik untuk plasmodium falciparum (untuk plasmodium vivax masih
dalam tahap pengembangan)
2. Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
3. Antigen yang masih beredar beberapa hari setelah parasit hilang masih
memberikan reaksi positif.
4. Gametosit muda (immature) bukan yang matang (mature), mungkin masih
dapat dideteksi.
5. Biaya tes ini cukup mahal.
Walaupun demikian tes yang sederhana dan stabil dapat digunakan untuk
pemeriksaan epidemiologi dan operasional. Hasil positif palsu (false positive)
yang disebabkan oleh antigen residual yang beredar dan oleh gametosit muda
dalam darah biasanya ditemukan pada penderita tanpa gejala (asimptomatik). Jadi
seharusnya tidak mengakibatkan over treatment sebab tes ini digunakan untuk
menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan gejala. Metode yang
berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu

hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitivitasnya dapat ditingkatkan


dengan PCR (polymerase chain reaction). Akhir-akhir ini beberapa pelacak
(probe) DNA dan RNA yang spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi
keempat spesies Plasmodium, tetapi terutama untuk plasmodium falciparum, tes
ini sangat spesifik dan sensitif, dapat mendeteksi hingga minimal 2 parasit,
bahkan 1 parasit / L darah. Penggunaan pelacak tanpa label radioaktif (non
radioactivelabelled probe) meskipun kurang sensitif dibandingkan dengan yang
menggunakan bahan label radioaktif, mempunyai shelf-life lebih panjang dan
lebih mudah disimpan dan diolah.
Kelemahan tes ini adalah :
1. Penyediaan DNA dan RNA sangat rumit
2. Alat yang diperlukan untuk hibridisasi rumit
3. Alat untuk amplifikasi PCR dan deteksi hasil amplifikasi sangat canggih dan
mahal
4. Metode ini membutuhkan waktu lebih lama (>24 jam)
5. Tidak dapat membedakan stadium aseksual dan seksual
6. Tidak dapat dilakukan pemeriksaan secara kuantitatif
Sementara keuntungan utama pada teknik PCR adalah dapat mendeteksi dan
mengidentifikasi infeksi ringan dengan sangat tepat dan dapat dipercaya. Hal ini
penting untuk studi epidemiolgi dan eksperimental, tetapi tidak penting untuk
meningkatkan penanganan malaria tanpa komplikasi.4

2.4 Diagnosis
2.4.1 Malaria
Berdasarkan anamnesa yang telah dilakukan, dapat didiagnosis bahwa gejala yang
dialami adalah infeksi malaria. Pada infeksi malaria, serangan khas terdiri atas
beberapa stadium;
a.
Stadium menggigil = dimulai dengan perasaan dingin sekali sehingga
menggigil. Nadinya cepat tetapi lemah, bibir dan jari tangan menjadi biru,
kulitnya kering dan pucat. Kadang-kadang disertai muntah dan kejang.
b.

Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1jam.


Stadium pucat = dimulai pada rasa dingin sekali berubah menjadi rasa panas
sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas, sakit kepala, mual,
muntah, nadi berdenyut keras, suhu naik sampai 41C. stadium ini berlangsung

c.

2-6jam.
Stadium berkeringat dimulai dengan berkeringat banyak, suhu turun dengan
cepat. Stadium ini berlangsung 2-4jam.54

2.5 Diagnosis Deferensial


2.5.1 Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi;
a. Compos mentis (conscious) = kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaaan sekelilingnya
b. Apatis = keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh
c. Delirium = gelisah, disorientasi, memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal
d. Somnolen (obtundasi letargi) = kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tidur lagi, mampu memberikan jawaban verbal
e. Strupor (spoor coma) = keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri

10

f. Coma (comatose) = tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap


rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah)
Penyebab Penurunan Kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran mengindentifikasikan difisit fungsi otak. Tingkat
kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia);
kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti
diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ;
dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan:
hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan,
stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsy; dan tekanan berlebihan di
dalam rongga tulang kepala. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian). Jadi sangat
penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran
ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
2.5.2

Demam berdarah dengue (DBD)


DBD adalah penyakit yang disebabkan virus dengue dari kelompok Abovirus B,
yaitu anthropod-borne virus atau virus yang disebarkan anthropoda, termaksud
genus Flavivirus dari family Flaviviridae. Manisfestasi kliniks penyakit ini, antara
lain; demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Respon imun yang
berperan dalam patogenesis DBD adalah;
a. Respon humoral = pembentukan antibody untuk proses netralisir virus
b. Limfosit-T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) = berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue
c. Monosit dan makrofag = berperan sebagai fagositosit virus

11

d. Aktifitas komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a


dan C5a.
Vector utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar
air liurnya, jika nyamuk menggigit orang lain, maka virus akan pindah bersama air
liurnya. Dalam tubuh manusia virus akan berkembang selama 4-6 hari (orang
mangalami DBD). Kemudian virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh
manusia dan diam dalam darah selama seminggu. Sebagai perlawanan, tubuh
membentuk antibody, selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan
virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks antigen-antibodi tersebut
melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan
proses autoimun. Proses ini menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat,
terlihat melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal ini mengakibatkan
bocornya sel-sel darah (trombosit dan eritrosit). Akibatnya tubuh mengalami
perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan organ vital.
Gejala awal penyakit antara lain; demam 2-7 hari, hasil pemeriksaan trombosit
menurun (normal = 150000-300000 l), hematokrit meingkat( normal = pria<45,
wanita<40), akral dingin, gelisah, dan tidak sadar.
Cara pencegahan penyakit ini antara lain;
a. Pembersihan jentik = melakukan program pemberantasan sarang nyamuk
(PNS) dengan gerakan 3M, larvasidasi, menggunakan ikan
b. Pencegahan gigitan nyamuk = menggunakan kelambu, penyemprotan, dan
2.5.3

anti-nyamuk
Demam tifoid
Penyakit ini termaksud penyakit yang meular. Berdasarkan hasil survey Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termaksud dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi. Insiden
demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi

12

lingkungan. Demam tifoid ini disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi. Salmonella adalah bakteri dengan gram negative, akan mati dengan
pemanasan 57C.
Gejala penyakit ini yaitu demam lebih dari tujuh hari, diare, anoreksia atau batuk,
serta gangguan kesadaran. Massa inkubasinya 10-20 hari.
Penularannya melalui air dan makanan.
Pengobatannya dengan pemberian kloramfenikol 100mg/kg/hari (selama 14 hari),
amoksisilin 100mg/kg/hari dan kotrimoksazol.
Cara pencegahannya yaitu; merebus air sampai mendidih, masak makanan sampai
2.5.4

matang, sanitasi lingkungan, dan mengikuti program imunisasi.5


Babesiosis
Merupakan penyakit protozoa pada hewan yang ditularkan oleh sengkenit,
manusia terinfeksi secara tidak sengaja dan pada awalnya menderita suatu
penyakit dengan panas yang tidak spesifik. Organime babesia masuk ke sel darah
merah dan menyerupai parasit malaria secara marfologi, jadi merupakan masalah
diagnostic. Vektornya adalah Sengkenit Ixodid khususnya Ixodes dammini dan
Ixodes ricinus. Sengkenit menelan babesia sewaktu makan dan parasitnya
bertambah banyak di dalam dinding usus vector. Organism tersebut kemudian
menyebar ke kelenjar liur, inokulasi organism ke dalam host golongan vertebra
melalui sebuah larva sengkenit, nimfe atau dewasa akan menjelaskan siklus
penularan. Reproduksi aseksual dari babesia di dalam sel darah merah
menghasilkan dua sampai empat parasit.
Ixodes dammini ditelan oleh hewan pengerat selama fase larva dan nimfe dan
pada rusa dalam bentuk dewasa. Nimfe banyak dijumpai selama musim semi dan
musim panas dan dengan mudah ditelan oleh manusia.
Masa inkubasi untuk B.microti kira-kira 1-4 minggu. Gejala klinis timbulnya
demam yang tidak teratur secara perlahan, menggigil, berkeringat, nyeri otot,
lemah, hepatosplenomegali ringan dan anemia hemolitik ringan dapat terjadi
(berminggu-minggu

sampai

berbulan-bulan).

13

Penderita

yang

terinfeksi

B.divergens menderita penyakit yang lebih berat dengan menggigil yang


timbulnya cepat, demam, mual, muntah, dan anemia hemolitik yang berkembang
menjadi ikterus, hemoglobinemia dan gagal ginjal (fatal).6
2.6 Etiologi
Dikenal empat jenis plasmodium, yaitu; p.vivax, p.falciparum, p.malariae dan
p.ovale. perbedaan keempat plasmodium dapat dilihat pada tabel berikut ini;
Table 2.6-1. Perbedaan antar keempat plasmodium.

Nama penyakit

Plasmodium

Plasmodium

Plasmodium

Plasmodium

falciparum

vivax

ovale

malariae

malaria

malaria vivax/

malaria ovale

malaria

falcifarum/

malaria tertiana

kuartana

malaria tropika
Daur

5,5 hari

8 hari

9 hari

10-15 hari

Hipnozoit

Jumlah

40.000

10.000

15.000

15.000

Skizon hati

60 mikron

45 mikron

70 mikron

55 mikron

Daur eritrosit

48 jam

48 jam

50 jam

72 jam

Eritrosit yang

Muda dan

Retikulosit dan

Retikulosit dan

Normosit

dihinggapi

normosit

normosit

normosit muda

Pembesaran

++

Maurer

schuffner

Schuffner

Ziemann

praeritrosit

merozoit hati

eritrosit
Titik-titik
eritrosit

(James)

14

Pigmen

Hitam

Kuning tengguli

Tengguli tua

Tengguli hitam

Jumlah

8-24

12-18

8-10

10 hari

8-9 hari

12-14 hari

26-28 hari

merozoit
eritrosit
Daur dalam
nyamuk pada
27oC

Penularan malaria
Malaria disebabkan oleh parasit sporozoa Plasmodium yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles betina, anopheles jantan merupakan satu-satunya reservoir.
Sebagian besar nyamuk anopheles akan menggigit pada waktu senja atau malam hari,
pada beberapa nyamuk puncak menggigitnya pada tengah malam sampai fajar.
Plasmodium mengalami dua siklus. Siklus aseksual (skizogoni) terjadi pada tubuh
manusia, sedangkan siklus seksual (sporogoni) terjadi pada nyamuk. Siklus seksual
dimulai dengan bersatunya gamet jantan dan betina untuk membentuk ookinet dalam
perut nyamuk. Ookinet akan menembus dinding lambung untuk membentuk kista di
selaput luar lambung nyamuk. Waktu yang diperlukan sampai pada proses ini adalah
8-35 hari, tergantung dari situasi lingkungan dan jenis parasitnya. Pada tempat inilah
kista akan membentuk ribuan sporozoit yang terlepas dan kemudian tersebar ke
seluruh organ nyamuk termasuk kelenjar ludah nyamuk. Pada kelenjar inilah
sporozoit menjadi matang dan siap ditularkan bila nyamuk menggigit manusia.
Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan mengalami gejala sesuai dengan jumlah
sporozoit, kulitas plasmodium, dan daya tahan tubuhnya. Sporozoit akan memulai
stadium eksoeritrositer dengan masuk ke sel hati. Di hati sporozoit matang menjadi

15

skizon yang akan pecah dan melepaskan merozoit jaringan. Merozoit akan memasuki
aliran darah dan menginfeksi eritrosit untuk memulai siklus eritrositer. Siklus
eritrositer berlangsung selama 48 jam pada P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale, dan
selama 72 jam pada P. malariae, setelah siklus tersebut lebih banyak merozoit
dilepaskan yang akan menginvasi sel darah merah segar. Bahan-bahan dari sel darah
merah yang rusak akan mengaktivasi makrofag dan melepaskan sitokin proinflamasi
yang menyebabkan demam. Merozoit dalam eritrosit akan mengalami perubahan
morfologi yaitu : merozoit bentuk cincin trofosoit merozoit. Proses
perubahan ini memerlukan waktu 2-3 hari. Di antara merozoit-merozoit tersebut ada
yang berkembang menjadi gametosit untuk kembali memulai siklus seksual menjadi
mikrogamet (jantan) dan makrogamet (betina). Eritrosit yang terinfeksi biasannya
pecah yang bermanifestasi pada gejala klinis. Jika ada nyamuk yang menggigit
manusia yang terinfeksi ini, maka gametosit yang ada pada darah manusia akan
terhisap oleh nyamuk. Dengan demikian, siklus seksual dimulai, demikian seterusnya
penularan malaria. Masa inkubasi malaria sekitar 7-30 hari tergantung spesiesnya. P.
falciparum memerlukan waktu 7-14 hari, P. vivax dan P. ovale 8-14 hari, sedangkan P.
malariae memerlukan waktu 7-30 hari. Masa inkubasi ini dapat memanjang karena
berbagai factor seperti pengobatan dan pemberian profilaksis dengan dosis yang tidak
adekuat. Selain ditularkan oleh nyamuk, malaria dapat menjangkit orang lain melalui
bawaan lahir dari ibu ke anak, yang disebabkan karena kelainan pada sawar plasenta
yang menghalangi penularan infeksi vertical. Metode penularan lainnya adalah
melalui jarum suntik, yang banyak terjadi pada pengguna narkoba suntik yang sering
bertukar jarum secara tidak steril. Model penularan lain yaitu melalui transfuse darah.
Infeksi dapat terjadi hingga 3 bulan setelah meninggalkan daerah endemic untuk P.
falciparum, 5 tahun ubtuk P. vivax dan P. ovale, dan 20 tahun untuk P. malariae.

16

Gambar 2.6-1. Siklus hidup plasmodium.4


2.7 Epidemiologi
a. Vector
Di bumi ini hidup sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 60 spesies
berperan sebagai vektor malaria yang alami. Di Indonesia ditemukan 80 spesies
nyamuk Anopheles, tetapi hanya 16 spesies yang berperan sebagai vektor malaria
yang berbeda tiap daerah bergantung pada faktor penyebaran geografik, suhu dan
tempat perindukkan. Spesies-spesies nyamuk anophelini yang berperan sebagai
vektor malaria yaitu A. sundaicus, A. aconitus, A. subpictus, A. barbirostris,
A.balanbacensis, A. letifer, A. farauti, A. punctulatus, A. koliensis, A. ludlowi, A.
flavirostris, A. karwari, A.maculatus, A. bancrofti, A.barbumbrosus, A. minimus.
Dan pembawa penyakit malaria itu sendiri adalah nyamuk Anopheles betina.
b. Kawasan endemic
17

Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah plasmodium vivax yang


menyebabkan malaria tertian (benign malaria) dan plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria tropika (malignan malaria). Di Indonesia di kawasan timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi tengah, sampai ke utara, Maluku, irian jaya, dan
dari lombor sampai nusa tenggara timur serta timor timur merupakan daerah
endemis malaria dengan plasmodium falciparum dan plasmodium vivax.
Tingginya slide positive rate (SPR) menentukan endemisitas suatu daerah dan
pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah
dibagi menjadi;
1. Hipoendemik = jika SPR 0-10%
2. Mesoendemik = jika SPR 10-15%
3. Hiperendemik = jika SPR 50-75%
4. Holoendemik = jika SPR >75%
SPR ditentukan pada pemeriksaan anak usia 2-9 tahun. Pada daerah holoendemik
banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik dan
mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia 2-10 tahun, sedangkan
pada daerah hipoendemik tidak stabil banyak malaria serebral, malaria dengan
gangguan hati/fungsi ginjal pada usia dewasa.7
c. Gender
Selain ditularkan melalui gigitan nyamuk, malaria dapat menjangkit orang lain
melalui bawaan lahir ibu ke anak. Hubungan antar parasit malaria dan manusia di
daerah endemis dalam periode yang sangat panjang (ribuan tahun) dapat
menyebabkan terjadinya evolusi pada eritrosit hospes yang pada akhirnya akan
melindungi hospes baik dari infeksi maupun dari gejala klinis malaria. Kekebalan
ini disebut kekebalan bawaan atau innate immunity. Kekebalan pada malaria
berhubungan dengna sifat genetic, misalnya;
1.
Penderita talasemia heterozigot = relative kebal tehadap infeksi malaria
2.
Penderita defisiensi enzim G6PD heterozigot dan hemizigot = akan terproteksi
sam pai 50% terhadap malaria berat

18

3.

Orang negro di Afrika Barat relative kebal terhadap P.vivax oleh karena tidak
mempunyai reseptor duffy pada permukaan eritrosit yang merupakan reseptor

4.

5.

untuk P.vivax
Orang yang mengandung Hb S heterozigot bila terinfeksi P.falciparum,
kemungkinan 90% tidak akan mengalami malaria berat
Penderita Southeast Asian Ovalocytosis (SAO) di Malaysia, Indonesia dan
pasifik barat (Papua Nugini, kepulauan Salomon dan Vanuatu) relative kebal
terhadap P.falciparum dan P.vivax.4

2.8 Patogenesis
Perhatian utama dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang
berisis parasit stadium matang ke dalam mikrovaskular organ-organ vital. Factor lain
seperti induksi sitokin TNF- dan sitokin-sitokin lainnya oleh toksin malaria dan
produksi nitric oksid (NO) juga diduga mempunyai peran penting dalam patogenesis
malaria. Factor-faktor yang berperan dalam terjadinya malaria berat, antara lain;
a.
Factor parasit = intensitas transmisi dan virulensi parasit. Densitas parasit dengan
semakin tingginya derajat parasitemia berhubungan dengan semakin tingginya
b.

mortalitas, demikian pula dengan virulensi parasit


Factor host = endemisitas, genetic, umur, status nutrisi dan imunologi.8

2.9 Gejala Klinis


Gejala klinis yang terlihat dari penyakit malaria ini disebabkan oleh dua faktor
penting yaitu:
1. Respons radang dari hospes yang terciri dengan adanya demam
2. Anemia, terjadi karena perusakan sel darah merah dengan urutan keparahan :
falciparum > vivax > malaria > ovale
Penyebab utama anemia adalah adanya hemolysis dari erytrocyt yang mengandung
parasit dan yang tidak, sedangkan tubuh tidak mampu untuk merecycle ikatan Fe

19

dalam hemozoin yang tidak larut dalam perusakan retyculocyt oleh parasit (terutama
P.vivax). Terjadinya hemolysis erytrocyt menyebabkan peningkatan bilirubin dalam
darah, dimana bilirubin adalah produk dari haemoglobin yang pecah. Hemozoin
terbawa oleh sirkulasi leucocyt dan terdeposit dalam sistem reticuloendothelial. Pada
kasus yang berat organ viscera terutama hati, limpa dan otak menjadi berwarna gelap
kehitaman karena adanya deposit pigmen tersebut.
Terjadinya demam pada penyakit malaria adalah berhubungan erat dengan kerusakan
dari generasi merozoit dan rupturnya sel darah merah yang berisi merozoit tersebut.
Terjadinya demam juga dirangsang oleh produk eksresi dari parasit yang dikeluarkan
pada waktu erytrocyt lysis.
Beberapa hari sebelum terjadinya serangan pertama, pasien merasa lesu, nyeri otot,
sakit kepala, hilang nafsu makan dan demam ringan, atau kadang tidak terlihat gejala
apapun. Yang khas pada serangan malaria tertiana atau quartana adalah rasa dingin,
kemudian suhu badan meningkat cepat sampai 40oC, gigi menggigil, mual dan
muntah dapat terjadi. Suhu tubuh tinggi tersebut terjadi setelah -1 jam, dengan rasa
sakit kepala dan tubuh terasa panas. Suhu tubuh turun dengan cepat kembali ke
normal dalam waktu 2-3 jam dan serangan tersebut secara keseluruhan terjadi dalam
waktu 8-12 jam. Penderita dapat tidur sejenak dan merasa sehat sampai terjadi
serangan berikutnya.
Karena sinkronisasi Plasmodium falciparum tidak begitu terlihat maka onset demam
tersebut terjadi secara perlahan (gradual), tetapi masa kenaikan suhu tubuh tersebut
lebih lama. Terjadinya demam dapat kontinyu atau berfluktuasi, tetapi pasien tidak
merasakan sehat diantara terjadinya serangan. Malaria falciparum selalu terlihat serius

20

dan kadang menyebabkan terjadinya bentuk perniciosa atau ganas dan penyakit
dengan cepat dapat menyebabkan fatal.

2.10 Pengobatan
Secara klinis dikenal ada 3 jenis penyakit malaria yaitu, malaria tropika yang
disebabkan oleh P.falciparum, malaria tersiana yang disebabkan oleh P.vivax dan
P.ovaele (P.ovale jarang terdapar di luar afrika) serta malaria kuartana yang di
sebabkan oleh P.malariae. pada umunya obat yang digunakan untuk pengobatan
malaria adalah klorokuin, pirimetamin, primakuin, kina dan alkaloid sinkona, serta
obat penunjang malaria lainnya (proguanil, meflokuin, halofantrin, tetrasiklin,
kombinasi sulfadoksin-pirimetamin, artemisinin dan atovakuon) .
a. Klorokuin dan turunannya
Klorokuin (7-kloro-4-(dietilamino-1-metil-butil-amino) kuinolin ialah turunan 4aminokuinolin. Pada mamalia bentuk d-isomernya kurang toksik disbanding iisomernya. Amodiakuin dan hidroksiklorookuin merupakan turunan klorokuin yang
sifatnya mirip klorokuin. Walaupun in vitro dan in vivo amodiakuin lebih aktif
terhadap P.falcifarum yang mulai resisten terhadap klorokuin, obat ini tidak
digunakan rutin karena efek agranolositosis yang fatal dan toksik pada hati.
1. Farmakodinamik
Klorokuin hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit, sama sekali tidak
efektif terhadap parasit di jaringan. Efektivitasnya sangat tinggi terhadap P. vivax,
P.malariae, P.ovale, dan terhadap strain P.falciparum yang sensitive klorokuin.
Klorokuin sangat efektif menekan serangan akut malaria vivax, tetapi stelah obat
dihentikan relaps dapat terjadi sehingga untuk mengeradikasi infeksi P.vivax
kloroukin perlu diberikan bersama primakuin sampai pasien meninggalkan daerah
endemik tersebut. Klorokuin juga memiliki efektivitas tinggi untuk profilaksis
maupun penyembuhan malaria yang terinfeksi dengan P. malariae dan P.falciparum
yang sensitiv. Gejala klinik dan parasitemia serangan akut malaria akan cepat

21

dikendalikan oleh klorokuin. Demamnya akan hilang dalam 24 jam dan sediaan
apus darah, umunya negative dalam waktu 48-72 jam. Salah satu mekanisme kerja
klorokuin yang penting adalah penghambatan aktivitas polymerase heme plasmodia
oleh klorokuin. Polymerase heme plasmodia berperan mendetoksifikasi heme
ferriprotoporpyrinn

IX

menjai bentuk hemozoin yang tidak toksik. Heme ini

merupakan senyawa yang bersifat membranolitik dan terbentuk dari pemecahan


hemoglobin dan vakuol makanan parasit. Peningkatan heme di dalam parasit
menimbulkan lisis membrane parasit. Resistensi terhadap klorokuin kini banyak di
temukan pada P.falciparum. Mekanisme terjadinya resistensi ini melibatkan
berbagai meknisme genetik yang kompleks dan masih diteliti hingga kini. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa verapamil, desipramin, dan klorfeniramin dapat
memulihkan sensivitas plasmodium yang resisten terhadap klorokuin, tetapi
penggunaannya secara klinik masih perlu diteliti lebih lanjut.
2. Farmakokinetik
Adsorpsi kloroin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan cepat,makanan
mercepat absorpsi ini. Sedangkan, antacid dan kaolin yang mengandung kalsium
atau magnesium dapat mengganggu absorpsi klorokuin. Sehingga, obat ini
sebaiknya jangan diberikan bersama-sama dengan klorokuin. Kadar puncak dalam
plasma darah dicapai selama 3-5 jam. Kira-kira 55% dari jumlah obat dalam plasma
akan terikat pada non-difussible plasma constituent. Klorokuin lebih banyak diikat
di jaringan, pada hewan klorokuin ditemukan dalam hati, limpa, ginjal, paru dan
jaringan bermelanin sebanyak 200-700 kali kadarnya dalam plasma. Sebaliknya,
otak dan medulla spinalis hanya mengandung klorokuin 10-30 kali kadarnya dalam
plasma. Metabolisme klorokuin dalam tubuh berlangsung lambat sekali dan
metabolitnya, monodesetilklorokuin dan bisdesetilklorokuin diekskresi melalui urin.
Metbolit utamanya adalah monodesetil klorokuin juga mempunyai aktivitas anti

22

malaria. Kadarnya di plasma sekitar 20-35% dari senyawa induknya. Asidifikasi


akan mempercepat ekskresi klorokuin. Waktu paruh terminalnya berkisar antara 3060 hari, sejumlah kecil klorokuin masih ditemukan dalam urin bertahun-tahun
setelah pemberian dihentikan. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar mantap
kira-kira 125 g/L, sedangkan dengan dosis oral 0,5 gram tiap minggu dicapai kadar
plasma antara 150-250 g/L dengan kadar lembah antara 20-40 g/L jumlah ini
berada dalam batas kadar terapi untuk P.falciparum yang sensitif dan P.vivax, yaitu
masing-masing 30 dan 15 g/L.
3. Efek samping dan kontra indikasi
Dengan dosis yang tepat, klorokuin merupakan obat yang sangat aman. Efek
samping yang mungkin ditemukan pada klorokuin adalah sakit kepala ringan,
gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, dan gatal-gatal. Pengobatan kronik
sebagai terapi supresi kadang kala menimbulkan sakit kepala, penglihatan kabur,
diplopia, erupsi kulit likenoid, rambut putih dan perubahan gambar EKG.
Pemberian klorokuin lebih dari 250 mg/hari untuk jangka lama (biasanya bukan
untuk malaria) dapat menimbulkan otoksisitas dan retinopati yang menetap.
Retinopati ini diduga berhubungan dengan akumulasi klorokuin di jaringan yang
kaya melanin. Dosis tinggi parenteral yang diberikan secara cepat dapat
menimbulkan toksisitas terutama pada sitem kardiovaskular berupa hipotensi,
vasodilatasi, penekanan fungsi miokard, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
henti jantung. Dosis sebesar 30-50 mg/kg BB yang diberikan secara parentera
biasanya fatal, sehingga klorokuin parenteral sebaiknya diberikan dengan cara
infuse lambat atau IM dan SK dosis kecil. Klorokuin harus digunakan secara hatihati kepada pasien dengan penyakit hati atau pada pasien yang mengalami gangguan
pencernaan, neurologik dan darah yang berat. Bila terjadi gangguan selama terapi,
maka pengobatan harus dihentikan.
4. Sediaan dan posologi

23

Untuk pengobatan malaria, dosis awalnya ialah 10 mg/kgBB klorokuin basa,


dilanjutkan dengan dosis 5 mg/kgBB klorokuin basa pada 6, 12, 24, dan 36 jam
berikutnya sehingga tercapai dosis total 30 mg/kgBB dalam 2 hari. Untuk malaria
yang terinfeksi dengan P.vivax atau P.ovale, 5 mg/kgBB klorokuin basa diulang
pemberiannya pada hari ke-7 dan hari ke-14. Untuk malaria berat, dimana
pemberian oral tidak memungkinkan,40 maka diberikan klorokuin HCL parenteral.
Klorokuin HCL, tersedia dalam bentuk larutan 50 mg/ml yang setara dengan 40
mg/ml klorokuin basa.
b. Pirimetamin
Pirimetamin adalah turunan kimia yang berbentuk putih, tidak berasa, larut dalam
air dan hanya sedikit yang larut dalam asam klorida. Nama kimia pirimetamin
adalah 2,4-diamino-5-p-klorofenil-6-etil-pirimidin.
1. Farmakodinamik
Pirimetamin merupakan skizontoid darah kerja lambat yang mempunyai efek
antimalaria yang mirip dengan efek proguanil tetapi lebih kuat karena bekerja
langsung, waktu paruhya pun lebih panjang. Untuk profilaksis, pirimetamin dapat
diberikan seminggu sekali, sedangkan proguanil harus diberikan setiap hari. Dalam
bentuk kombinasi, pirimetamin dan sulfadoksin digunakan secara luas untuk
profilaksis dan supresi malaria, terutama yang disebabkan oleh strain P.palcifarum
yang resisten klorokuin. Mekanisme kerja pirimetamin dengan manghambat enzim
dihidrofolat reduktase plasmodia pada kadar yang jauh lebih rendah dari yang
diperlukan untuk menghambat enzim yang sama pada manusia. Enzim ini bekerja
dalam rangkaian reaksi sintesis purin, sehingga penghambatannya menyebabkan
gagalnya pembelahan inti pada pertumbuhan skizon dalam hati dan eritrosit.
Kombinasi dengan sulfonamid mempelihatkan sinergisme karena keduanya

24

menggangu pada sintesis purin pada tahap yang berurutan. Resistensi terhadap
pirimetamin dapat terjadi pada penggunaan dalam yang berlebihan dan jangka lama.
2. Farmakokinetik
Penyerapan pirimetamin di saluran cerna berlangsung lambat tetapi lengkap. Setelah
pemberian oral, kadar puncak plasma darah dicapai dalam waktu 4-6 jam.
Konsentrasi obat yang berefek supresi dapat menetap dalam darah selama kira-kira
2 minggu. Obat ini ditimbun terutama diginjal, paru, hati dan limpa, kemudian
diekskresi lambat dengan waktu paruh kira-kira 4 hari. Metabolitnya diekskresi
melalui urin.
3. Efek Samping dan Kontra-Indikasi
Dengan dosis yang besar dapat terjadi anemia makrositik yang serupa dengan
terjadiya pada defisiensi asam folat. Gejala ini akan hilang bila pengobatan
dihentikan atau dengan pemberian asam folinat (leukovorin). Untuk mencegah
anemia, trombistopenia dan leucopenia, leukovorin ini dapat pula diberikan
bersamaan dengan pirimetamin.
4. Sediaan dan Posologi
pirimetamin tersedia sebagai tablet 25 mg, selain itu terdapat juga sediaan
kombinasi tetap dengan sulfadoksin 500 mg.
c. Primakuin
1. Farmakodinamik
Berbeda dengan kina , primakuin dosis terapi tidak memiliki efek oain efek
antimalaria. Efek toksiknya terutama terlihat pada darah. Manfaat kliniknya yang
utama ialah dalam penyembuhan radikal malaria vivax dan ovale, karena bentuk
laten jaringan plasmodia ini dapat dihancurkan dengan primakuin. Primakuin
sendiri tidak menekan serangan malaria vivax , meskipun ia memperlihatkan
aktivitas terhadap fase eritrosit. Golongan 8-aminokuinolin memperlihatkan efek
gametosidal terhadap 4 jenis plasmodium, terutama P.falciparum. Mekanisme
antimalaria dari primakuin ini diketahui bahwa primakuin berubah menjadi
elektrofil yang bekerja sebagai mediator oksidasi-reduksi. Aktivitas ini membantu

25

aktivitas anti malaria melalui pembentukkan oksigen reaktif atau mempengaruhi


transportasi electron parasit.
2. Farmakokinetik
Setelah pemberian per oral, primakuin segera diabsorpsi dan didistribusikan luas ke
jaringan. Primakuin tidak pernah diberikan parenteral karena dapat mencetuskan
hipotensi yang nyata. Metabolismenya berlangsung cepat dan hanya sebagian kecil
dari dosoi yang diberikan yang di eksresi ke uirn dalam bentuk asal. Pada
pemberian dosis tunggal, konsentrasi plasma mencapai maksimum dalam 3 jam dan
waktu paruh eliminasinya 6 jam. Metabolisme oksidatif primakuin mengasilkan 3
macam metabolit; turunan karboksil merupakan metabolit utama pada manusia dan
merupakan metabolit yang tidak toksik sedangkan metabolit yang lain bersifat
hemolitik, yang lebih besar dari primakuin. Ketiga aktivitas antimalaria ini lebih
ringan dari primakuin.
3. Efek Samping dan Kontra-Indikasi
Efek samping yang paling berat dari primakuin adalah anemia hemolitik akut pada
pasien yang mengalami defisisensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
Beratnya hemolisis beragam bergantung dari besarya dosis dan beratnya defisiensi.
Primakuin dikontraindikasikan kepada pasien dengan penyakit sistemik yang berat
dan cenderung mengalami granulositopenia misalnya arthritis rheumatoid dan lupus
eritematosus. Primakuin juga tidak dianjurkan diberikan bersamaan dengan obat
lain yang dapat menyebabkan depresi sumsum tulang. Primakuin sebaiknya tidak
diberikan pada hamil karena fetus relative mengalami difisiensi G6PD sehingga
berisiko menimbulkan hemolisis.
4. Sediaan dan Posologi
Priakuin desidakan terutama untuk profilaksis dan penyembuhan radikal dari
malaria vivax dan ovale yang relaps, primakuin harus diberikan bersama-sama
dengan skizontosid darah. Biasanya klorokuin untuk memusnahkan fase eritrosit
plasmodia dan mengurangi perkembangan resistensi obat. Untuk profilaksis
terminal primakuin diberikan 15 mg per hari selama 14 hari sebelum atau segera

26

setelah meninggalkan daerah endemic (setelah profilaksis selama di daerah


endemik). Untuk penyembuhan radikal P.vivax dan P.ovale, pengobatan dimulai
setelah serangan akut, kira-kira hari ke 4 dengan dosis 15 mg per hari (untuk anakanak 0,3 mg/kg/BB/hari) selama 14 hari (yang sebelumnya telah didahului
pemberian klorokuin selama 3 hari). Kadang-kadang primakuin dosis tunggal 45
mg diberikan untuk memutuskan transmisi malaria, dengan membuat gametosit
yang tidak infeksius di tubuh nyamuk.
d. Kina dan Alkaloid Sinkona
Kina adalah alkaloid sinkona lain meningkatkan respons terhadap rangsang tunggal
maksimal yang diberikan langsung atau melalui saraf, tetapi juga menyebabkan
perpanjangan masa refrakter sehingga mencegah terjadinya tetani. Kina juga
menurunkan kepekaan lempengsaraf sehingga respons terhadap rangsang berulang
berkurang. Jadi, kina melawan efek fisotigmin seperti halnya kurare.
1. Farmakodinamik
Kina mempunyai fungsi sebagai efek antimalaria untuk terapi supresi pengobatan
serangan klinis, kedudukan kina sudah tergeser oleh antimalaria lain yang lebih
aman dan efektif misalnya klorokuin. Kina dengan pirimetamin dengan sulfadoksin
masih merupakan regimen terpilih untuk P.falciparum yang resisten terhadap
klorokuin. Kina terutama bersifat skozontosid darah dan juga berefek gamesitosid
terhadap P.vivax dan P.malariae, tetapi juga pada P. falciparum. Kana tetapi, untuk
supresi dan pengobatan serangan klinik, obat ini lebih toksik dan kurang efektif
dibandingkan klorokuin. Kina tidak digunakan untuk profilaksis malaria.
Mekaisme antimalarianya berkaitan dengan gugus kuinolin yang dimilikinya dan
sebagian disebabkan karena kina merupakan basa lemah, sehingga akan memiliki
kepekaan yang tinggi di dalam vakuola makanan P. falciparum.
2. Efek Samping
Dosis terapi kina menyebabkan sinkonisme yang tidak terlalu memerlukan
pengehentian pengobatan. Gejalanya mirip salisilismus yaitu tinituis, sakit kepala,

27

gangguan pendengaran, pandangan kaabur, diare dan mual. Gejala yang ringan,
lebih dahulu tampak di sistem pendengaran dan penglihatan. Pada keracunan yang
lebih berat terlihat gangguan gastrointestinal, saraf, kardiovaskular dan kulit.
3. Indikasi
Kina digunakan untuk terapi malaria P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin.
Untuk teerapi malaria ini, tanpa komplikasi, kina diberikan secara oral dan biasanya
dikombinasi dengan doksisiklin atau kindamisin atau sulfadoksin-pirimetamin.
4. Sediaan dan Posologi
Kina sulfat diberikan 3 kali 650 mg/hari selama 3-7 hari dikombinasikan dengan
dioksisiklin 2 kali 100 mg/hari selama 7 hari atau dengan klindamisin 2 kali 600
mg/hari selama 7 hari atau dengan sulfadoksin-pirimetamin 3 tablet sekali
pemberian per oral. Untuk anak, dosis kina sulfat 10 mg/kgBB per oral diberikan
setiap 8 jam. Sedangkan untuk pengobatan malaria falciparum yang berat atau
disertai komplikasi diberikan kuinidin glukonat 10 mg/kgBB yang dilarutkan dalam
300 mL garram fisiologis dan diinfus selama 1-2 jam (dosis maksimal 600 mg),
selanjutnya infuse diteruskan dengan kecepatan 0,02 mg/kgBB per menit sampai
ada perbaikan dimana kina pemberian kina sulfat per oral dapat dimulai.9
2.11 Komplikasi
Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P. falciparum dan sering disebut
pernicious

manifestasion.

Penderita

malaria

dengan

komplikasi

umumnya

digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi
P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut;
a. Malaria serebral (coma)
Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang tak bias dibangunkan,
bila dinilai dengan GSC (Glasgow Coma Scale) ialah dibawah 7 atau equel
dengan keadaan klinis soporous. Sebagian penderita dengan gangguan kesadaran
yang lebih ringan seperti apati, somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku
(penderita tidak mau bicara). Lama koma pada orang dewsa dapat 2-3 hari, sedang

28

pada anak satu hari. Pada keadaan berat penderita dapat mengalanmi dekortikasi
(lengan flexi dan tungkai extensi), decerebrasi (lengan dan tungkai extensi).
Penyebabnya diduga karena sumbatan kapiler pembuluh darah otak, sehingga
terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung
parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoaderensi dan sekuestrasi
parasit.
b. Gagal ginjal akut (GGA)
Gangguan GGA disebabkan adanya anoksia karena penurunan aliran darah ke
ginjal akibat dari sumbatan kapiler, dan akibatnya terjadi penurunan filtrasi pada
glomerulus. GGA ini ditandai dengan penurunan kesadaran berupa apatis,
disorientsi, somnolen, stupor, spoor, koma yang dapat terjadi secara perlahan
dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering kali
disertai kejang. Tida didapati gejala neurologi yang fokal, kelumpuhan saraf
cranial, kaku kuduk, deserebrasi, deviasikonjuge dan kadang-kadang ditemukan
pendarahan retina.
c. Anemia berat
Ditandai dengan menurunnya kadar hematokrit (<15%) atau kadar hemoglobin
(<5g%). Anemia dapat disebabkan destruksi massif eritrosit yang terinfeksi dan
penurunan produksi eritrosit oleh sumsum tulang. Selain itu, umur eritrosit yang
tidak terinfeksipun memendek karena pada permukaan eritrosit ini dapt ditemukan
immunoglobulin dan/atau komplemen.
d. Kelainan hati (malaria biliosa)
Jaudience atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falcifarum. Penyakit
malaria dengan ikterus termaksud dalam criteria malaria berat.
e. Hipoglikemia
Hal ini disebabkan karena kebutuhan metabolic dari parasit telah menghabiskan
cadangan glikogen dalam hati. Penyebab terjadinya hipoglikemik yang tersering
adalah pemberian terapi kina (mencegah kejang). Manisfestasi klinik berupa

29

cemas, berkeringat, dilatasi pupil, napas pendek, oligouria, kedinginan, takikardi,


kepala terasa ringan (melayang), kejang dan syok.
f. Blackwater fever (malaria hemoglobinuria)
Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristik serangan akut, menggigil,
demam, hemolisis intravascular, hemoglobinemia, hemoglobinuria dan gagal
ginjal. Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari infeksi P.falciparum yang
berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang adekuat.
Gejalanya adalah warna urin kehitaman karena hemolisis intravascular yang
massif disertai demam.
g. Malaria algid
Yaitu terjadinya syok vascular, ditandai dengan hipotensi (sistol<70mmHg),
perubahan tahanan perifer dan berkurangnya perfusi jaringan. Gambaran klinik
berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperature rectal tinggi, kulit tidak
elastic, pucat, pernapasan dangkal, nadi cepat dan tekanan darah menurun.
h. Kecendrungan pendarahan
Perdarahan spontan berupa perdarahan gusi, epistaksis, perdarahan di bawah kulit
berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi pada komplikasi malaria tropika.
Perdarahan ini terjadi karena trombositopenia (karena pengaruh sitoksin) atau
gangguan koagulasi intravaskuler ( terjadi pad infeksi P.falciparum yang berat)
atau gangguan koagulasi karena gangguan fungsi hati.
i. Edema paru (insuffisiensi paru akut atau adult respiratory distress syndrome)
Merupakan komplikasi paling berat dari malaria tropika dan menyebabkan
kematian. Penyebabnya adalah kelebihan cairan, kehamilan, malaria serebral,
hiperparasitemia, hipotensi, asidosis dan uremi. Gejala awalnya bila frekuens
pernapasan >35 kali/menit.
j. Hiponatremia
Sering dijumpai pada penderita malaria falciparum dan biasanya bersamaan
dengan penurunan osmolaritas plasma. Terjadinya hiponatremia disebabkan
karena kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret atau terjadinya
sindrom abnormalitas hormone anti-diuretik (SAHAD).8

30

2.12 Prognosis
Prognosis pada malaria dan malaria berat bergantung pada;
a. Kecepatan/ketepatan diagnosis dan pengobatan = makin cepat dan tepat dalam
menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta
memperkecil angka kematiannya
b. Kegagalan fungsi organ = kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat
terutama organ-organ vital. Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan
mengalami kegagalan dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya
c. Kepadatan parasit = pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count) semakin
padat/banyak jumlah parasit yang didapatkan, semakin buruk prognosisnya, lebih
lagi jika didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan darah tepinya.
2.13 Profilaksis
Mencegah lebih baik daripada mengobati begitulah kata pepatah. Tindakan
pencegahan yang dapat kita laukan, yaitu;
a. Tidur dengan kelambu
b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk (gosok, pray, asap atau elektrik)
c. Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus
memakai proteksi (baju lengan panjang)
Bila menggunakan kemoprofilaktis harus mengetahui sensitivitas plasmodium di
tempat tujuan. Jika daerah dengan klorokuin sensitive (contoh Minahasa) cukup
profilaksis dengan dua tablet klorokuin (250mg klorokuin diphospat) maka harus
diminum satu minggu sebelum berangkat dan empat minggu setelah tiba kembali.
Penting juga diberikan pada wanita hamil di daerah endemic atau pada individu yang
imunitasnya rendah.
Vaksinasi terhadap malaria masih dalam tahap pengembangan. Vaksin yang sedang
dikembangkan ada tiga, yaitu;
a. Vaksin sporozoit = vaksin terhadap bentuk aseksual dengan mencegah sporozoit
menginfeksi sel hati, sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi, contohnya vaksin
SPF-66 atau nama lainnya vaksin patarroyo
b. Vaksin transmission blocking = untuk melawan bentuk gametosit
Menurut Hoffman vaksin yang ideal adalah vaksin multi-stage (sporozoit, aseksual),
multi-valen (terdiri dari beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun.7

31

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Malaria disebabkan oleh nyamuk anopheles betina. Gejala yang dialami demam
mengigil, sakit kepala hebat, kesadaran menurun, anemia dan splenomegali (yang lebih
berat).

BAB IV
32

DAFTAR PUSTAKA
1. Kurnia Nah Yasavati, Hidayat Dan, Hudyono Johannes, Santoso Mardi. Buku
panduan keterampilan medic (skill-lab) semester 1. FKUKRIDA, 2009:56-61.
2. Kurnia Nah Yasavati, Santoso Mardi, Winami Wati Wong, Sumardikarya K
Indriani. Buku panduan keterampilan medic (skill-lab) semester 2. FKUKRIDA,
2010:70-81.
3. Sudiono Herawati, Iskandar Ignastius, Edward Harny, Lukman Halim Sanarko,
Santoso Regie. Penuntun patologi klinik hematologi. FKUKRIDA, 2009:51-74.
4. Sutanto Inge, Ismid Suhariah, Sjarifuddin K Pudji, Sungkar Saaleha. Parasitologi
kedokteran. FKUI,2008;4:189-203.
5. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi,

penularan,

pencegahan

dan

pemberantasan. Erlangga, 2003:34-66.


6. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harisson prinsip-prinsip
ilmu penyakit dalam. EGC, 1999;13:1011-2.
7. Sudoyo W Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata K Marcellus,
Setiati Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam. FKUI, 2006;4:1754-70.
8. Sudoyo W Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata K Marcellus,
Setiati Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam. FKUI, 2009;5:2826-9..
9. Gunawaan Gan Sulistia, nafrialdi, Setiabudy Rianto, Elysabeth. Farmakologi dan
terapi. FKUI, 2005;5:556-65.

33

Anda mungkin juga menyukai