Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu esensialnya
unsur ini bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak manusia tidak
mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian adalah penurunan
kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih
berat dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan,
oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh.1
Dengan penemuan yang sangat penting mengenai molekul oksigen oleh
Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses
pernafasan oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam
perawatan pasien. Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen dievaluasi oleh
Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920 ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen
dapat dipergunakan sebagai terapi. Sejak itu efek hipoksia lebih dimengerti dan
pemberian oksigen pada pasien penyakit paru membawa dampak meningkatnya
jumlah perawatan pasien.1
Dua penelitian dasar di awal 1960an memperlihatkan adanya bukti
membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy
Trial (NOTT), pemberian oksigen 12 jam atau 24 jam sehari selama 6 bulan dapat
memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan genggaman,
namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup mereka. Namun
penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasien-pasien
hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas
latihan. Keuntungan lain pemberian oksigen pada beberapa penelitian diantaranya
dapat memperbaiki kor pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki
fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal,
dan memperbaiki metabolisme otot.2
Komposisi udara kering ialah 20,98% O2, 0,04% CO2, 78,6% N2 dan
0,92% unsur inert lainnya, seperti argon dan helium. Tekanan barometer (PB) di
1

permukaan laut ialah 760 mmHg (satu atmosfer). Dengan demikian, tekanan
parsial (dinyatakan dengan lambang P). O2 udara kering di permukaan laut adalah
0,21 x 760, atau 160 mmHg. Tekanan parsial N2 dan gas inert lainnya 0,79 x 760,
atau 600 mmHg; dan PCO2 ialah 0,0004 x 760 atau 0,3 mmHg. Terdapatnya uap
air dalam udara pada berbagai iklim umumnya akan menurunkan persen volume
masing masing gas, sehingga juga sedikit mengurangi tekanan parsial gas gastersebut. Udara yang seimbang dengan air jenuh dengan uap air, dan udara
inspirasi akan jenuh dengan uap air saat udara tersebut mencapai paru-paru.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rongga thoraks
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak
dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung
dan beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan
bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada
bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru
kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi
menjadi dua lobus.2,3

Banyak reaksi biokimia dalam tubuh bergantung pada pemanfaatan oksigen.


Pasokan oksigen ke jaringan juga bergantung pada banyak faktor seperti
ventilasi, difusi melewati membran alveolar-kapiler, hemoglobin, cardiac
output, dan perfusi jaringan1. Terapi oksigen diperlukan pada gagal nafas dan
pada berbagai kondisi seperti asma yang parah, bronkitis kronis, pneumonia,
dan infark miokard.
Sistem pernapasan berkaitan dengan pengiriman yang cukup jumlah
oksigen dan pembuangan karbon dioksida dari sel-sel tubuh serta pemeliharaan
keseimbangan asam-basa normal dalam tubuh. pasokan oksigen yang tepat dan
eliminasi karbon dioksida dari berbagai jaringan tubuh tergantung pada fungsi
3

optimal dari berbagai bagian dari sistem pernapasan seperti dinding dada dan
otot pernapasan, saluran udara dan paru-paru, CNS (termasuk pusat pernafasan
meduler), sumsum tulang belakang, CVS, dan sistem endokrin. Gangguan di
bagian manapun dari sistem ini dapat menyebabkan gagal pernapasan.2
2.2 Anatomi paru - paru normal
Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru
kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia
seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu lapisan tipis
kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis).2,3
Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan
tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu
bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut
sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah
suatu ruangan potensial.2
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam
rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.3
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal
ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang
cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung
mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum
mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan
kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai
tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus
bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.2
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif
intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane
pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
4

pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling
tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada
selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura
melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.3
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan
keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini
kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura
normal.3
2.3 Kontrol pernafasan
Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke
dalam paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis
pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme
ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling berinteraksi.
Komponen yang berperan penting adalah pompa yang bergerak maju mundur,
disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua komponen volumeelastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding terdiri
dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan
dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks
merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pompa.4
Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga
dan sternum) merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan
volume paru dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu
proses pasif pada pernafasan tenang.4

Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari


neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan
merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan.
Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat
kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan)
karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau
penururnan pH merangsang pernafasan.3,4
Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga
merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis
pada bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka
terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2
harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai
sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.4
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru.
Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada
pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari
reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam
keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.
Mekanisme ini yang dikenal dengan nama refleksHering-Breuer, refleks ini
tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter
seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi
baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga
merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan
dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons
dan medulla oblongata.3,4
Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf
frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama
lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika
yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.4
2.4 Kontrol pernafasan pada jalan nafas
Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan
dikontrol oleh sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada
6

keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan.


Persarafan parasimpatis (kolinergik melalui nervus vagus) memberikan
tonus bronkokonstriktor pada jalan nafas.5
Rangsangan

parasimpatis

menyebabkan

bronkokonstriksi

dan

peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis


terutama ditimbulkan oleh epinefrin melalui reseptor-reseptor adrenergicbeta2, dan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, bronkodilasi, dan
berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis mempersarafi jalan nafas, namun
hanya sedikit.5
Sekarang ini, komponen ketiga pengontrolan saraf yan telah
digambarkan disebut nonkolinergik, sistem penghambat nonadrenergik.
Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan
bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida.
Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun
kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.5
2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran

gas-gas

ke

dalam

dan

ke

luar

paru.

Stadium

kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5

Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan

Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan


distribusi udara dalam alveolus-alveolus

Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.

2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
8

Volume semenit atau ventilasi semenit (V E) adalah volume udara yang


terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. V E dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.

Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang


dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.

Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau


diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.

Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio
tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.

Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.

Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik


(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
9

perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan


statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
m). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
10

total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
2.6 Hubungan antara ventilasi perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit
pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi

pulmoner

dengan

tekanan

dan

resistensi

rendah

mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7
2.7 Transpor O2 dalam darah

11

O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan:


secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai
oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible,
dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai
hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang
ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah.
Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2).7
Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya
sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport
seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam
keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat
dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon
monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O 2 yang cukup untuk
mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan
memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2. Konsentrasi Hb rata-rata
dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah
dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.
Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke
darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh.6
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25%
O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan
12

HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada


darah arteri.7
2.8 Kurva Disosiasi Oksihemoglobin
Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus
diketahui afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun
pengambilan O2 oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika
darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase
kejenuhan Hb diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua
pengukuran tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal dengan nama kurva
disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas Hb terhadap O2 pada
berbagai tekanan parsial.7
Fakta fisiologis yang sangat penting tentang kurva ini yaitu adanya
bagian atas yang datar. Pada bagian atas kurva yang datar, perubahan yang
besar pada tekanan O2 akibat sedikit perubahan pada kejenuhan HbO2. Ini
berarti bahwa jumlah O2 yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan bahkan
pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini
juga berarti bahwa pemberian O2 dalam konsentrasi tinggi (udara normal 21%)
pada pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2=60-75 mmHg) adalah sia-sia,
karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Pelepasan O2 ke jaringan
dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada kurva bagian vena
yang

curam.

Pada

bagian

ini

perubahan-perubahan

besar

pada

HbO2 merupakan akibat sedikit perubahan pada PO2.7


Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang
menyertai jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. Daftar dari beberapa
faktor tersebut serta pengaruhnya pada afinitas terhadap O2 dapat dilihat pada
tabel di bawah.7

13

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin


(HbO2)7
Pergeseran ke kiri

Kurva disosiasi HbO2


Pergeseran ke kanan

(P50 menurun)
(P50 meningkat)
pH
pH
PCO2
PCO2
Suhu
Suhu
2,3 DPG
2,3 DPG
P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%
Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau
PCO2 meningkat. Dalam keadaan ini, pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap
O2 berkurang, sehingga O2 yang dapat diangkut oleh darah berkurang.
Keadaan patologis yang dapat menyebabkan asidosis metabolic, seperti syok
(pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobic) atau
retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada banyak penyakit paru) akan
menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan
seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan
O2 ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr.7
Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah
peningkatan suhu dan 2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam
sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2.
Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat.
Meskipun kemampuan transport O2 oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke
kanan, namun kemampuan Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah.
Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke kanan
merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai
kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan
peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan
lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.7
Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan
PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi
14

oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peninkatan afinitas


Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke
kiri, namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena itu secara teoretis dapat
terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan guna memenuhi kebutuhan
metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama bila disertai dengan
hipoksemia.7
Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan
respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena
hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena
penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala
berkunang-kunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang
disimpan akan kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap
O2 akan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang menerima transfuse darah
yang disimpan dalam jumlah banyak kemungkinan akan mengalami gangguan
pelepasan O2 ke jaringan karena adanya pergeseran kurva disosiasi HbO 2 ke
kiri.7
Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27
mmHg. P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan
(pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke
kiri, (peningkatan afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun.7
Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam
kecukupan respirasi. Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang
dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma,
karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20%
CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam
sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma
(HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :7
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonatkarbonat.Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi
paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus
15

dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan


alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi
CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi
CO2oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan
menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan
konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi
menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+(penurunan pH).7
Sama seperti O2, jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2.
Kurva disosiasi CO2 hampir linear pada batas-batas fisiologis PCO2. Ini berarti
bahwa kandungan CO2dalam darah berhubungan lansung dengan PCO2. Selain
itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO 2. Karena itu
PaCO2 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi.7
2.9 Penilaian Status Pernafasan
Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja
tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk
memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak faktor
lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung yang
memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan.
Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan
klinis serta interpretasi gas-gas darah.6,7
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi
pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase
kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan
O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.
Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke
jaringan pada PaO2 tertentu.6,7
2.10 Analisa Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernafasan secara adekuat, perlu juga
mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang
diangkut oleh sistem sirkulasi.7
16

PaCO2 merupakan petunjuk VA yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat,


penyebab langsung selalu hipoventilsai alveolar. Hipoventilasi menyebabkan
asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Penyebab langsung penurunan
PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan
alkalosis resiratorik dan kenaikan pH darah.7
Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia.
Pada gagal pernafasan yang berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg.
Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari
mekanisme di bawah ini7
1. Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi (penyebab
tersering)
2. Hipoventilasi alveolar
3. Gangguang difusi
4. Pirau anatomic intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan
yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau
anatomic intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi
dengan terapi O2.
Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis
kegagalan pernafasan atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahanlahan. Apabila kadar PaO2tutun di bawah normal, terjadi insufisiensi
pernafasan, dan terjadi kegagalan pernafasan bila PaO2 turun sampai 50
mmHg. PaCO2 dapat meningkat atau turun sampai di bawah nilai normal
pada insufisiensi atau kegagalan pernafasan.6

Tabel 2. Nilai Normal dari Gas Darah Arteri


Pengukuran Gas Darah
Tekanan CO2

Simbol
PaCO2

Nilai normal
35-45 mmHg

17

Tekanan O2
Persentase kejenuhan O2
Konsentrasi ion hydrogen
Bikarbonat

PaO2
SaO2
pH
HCO3-

(rata-rata, 40)
80-100 mmHg
97
7,35-7,45
22-26 mEq/L

2.11 Terapi Oksigen


Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu
intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang
terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan
lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi
fisiologis normal.8
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama
beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian
oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di
rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman
mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian
oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.8
2.12 Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2)
dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan
berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:3,8
1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan
SaO2 90-94%
2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari
75%.
Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,
hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tinggi.
Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang
bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai.
18

Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan
meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan
sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan
vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi,
juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup
jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.3,8
Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner
sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru
terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal
sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasitas
transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan
peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi
pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian.8
2.13 Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih
tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benarbenar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami
hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah
ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.
Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :5
1. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri
berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai
penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini
antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan
muntah.
2. Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami
denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena
terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali
apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita
anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan
19

latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan


pengangkutan O2 ke jaringan aktif.
3. Hipoksia stagnan akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi
organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi
lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat
terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat
hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal,
aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah
paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
4. Hipoksia histotoksi adalah hipoksia yang disebabkan oleh hambatan
proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.
Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan
sianida.

Zat-zat

tersebut

bekerja

dengan

sianida,

menghasilkan

sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen


hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan
berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke
metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk
metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi
asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme
selule terganggu dan mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi
jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular,
hematologi, dan respirasi.7
2.13.1 Manifestasi klinik hipoksia
Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi,
tergantung pada lamanya hipoksia, kondisi kesehatan individu, dan
biasanya timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi
klinik dapat berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing,
dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering
20

dianggap sebagai tanda dari hipoksia, namun hal ini hanya dapat
dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.8
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang dari 90%
diperkirakan hipoksia, dan membutuhkan oksigen.8
Tabel 3. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.8
Sistem
Respirasi

Gejala dan tanda


Sesak nafas, sianosis
Cardiac

output meningkat,

takikardi,

aritmia,

hipotensi,

palpitasi,
angina,

Kardiovaskuler

vasodilatasi, dan syok

Sistem saraf pusat

Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai,


bingung, delirium, gelisah, edema papil,
koma

Neuromuskular

Lemah,tremor,hiperrefleks, incoordination

Metabolik

Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

2.13.2 Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain


Karena berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak
spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah
pemeriksaan PaO2 arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan
invasif yaitu analisis gas darah arteri ataupun non invasif yaitu pulse
oximetry.Pada pemeriksaan gas darah, spesimen darah diambil dari
pembuluh darah arteri (a.Radialis atau a.Femoralis) dan akan didapatkan
nilai PaO2, PCO2, saturasi oksigen, dan parameter lain.8
Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen.
Pemeriksaan saturasi oksigen ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 60 mmHg atau
PaO2 < 60mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidak
21

bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang,


namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi
kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan
memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi oksigen
di rumah.6,8
2.14 Gagal Nafas
Gagal nafas merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan
perawatan di instansi perawatan intensif. Diagnosis gagal nafas ditegakkan
bila pasien kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat atau tidak
mampu mencukupi kebutuhan oksigen darah dan sistem organ. Gagal nafas
terjadi karena disfungsi sistem respirasi yang dimulai dengan peningkatan
karbondioksida dan penurunan jumlah oksigen yang diangkut kedalam
jaringan.8
Gagal nafas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia dan dapat
terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal nafas hampir selalu
dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain dalam
proses respirasi tidak boleh diabaikan.8
1. Gagal Nafas Tipe I
Pada tipe ini terjadi perubahan pertukaran gas yang
diakibatkan kegagalan oksigenasi. PaO2 50 mmHg merupakan
ciri khusus tipe ini, sedangkan PaCO2 40 mmHg, meskipun ini
bisa juga disebabkan gagal nafas hiperkapnia. Ada 6 kondisi yang
menyebabkan gagal nafas tipe I yaitu:

Ketidaknormalan tekanan partial oksigen inspirasi (low PIO2)

Kegagalan difusi oksigen

Ketidakseimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]

Pirau kanan ke kiri

Hipoventilasi alveolar

Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi

2. Gagal Nafas Tipe II

22

Tipe ini dihubungkan dengan peningkatan karbondioksida


karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup.
Beberapa kelainan utama yang dihubungkan dengan gagal nafas
tipe ini adalah kelainan sistem saraf sentral, kelemahan
neuromuskuler dan deformitas dinding dada.Penyebab gagal nafas
tipe II adalah :
Kerusakan pengaturan sentral
Kelemahan neuromuskuler
Trauma spina servikal
Keracunan obat
Infeksi
Penyakit neuromuskuler
Kelelahan otot respirasi
Kelumpuhan saraf frenikus
Gangguan metabolism
Deformitas dada
Distensi abdomen massif
Obstruksi jalan nafas
2.15 Manfaat Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan
dan meminimalkan asidosis respiratorik. Ada beberapa keuntungan dari
terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi
oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak nafas saat aktivitas, dapat
meningkatkan kemampuan beraktifitas dan dapat memperbaiki kualitas
hidup.8,4
Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik
paru,

kapasitas

latihan,

kor

pulmonal,

menurunkan cardiac

output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik,


mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.8,4
2.16 Indikasi Terapi Oksigen
23

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien


benar-benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen
jangka pendek (Short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka
panjang (Long term oxygen therapy).6
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang
diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.6
2.17 Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia,
PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular,
emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan secara
adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat
tetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan
FiO2 60-100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang
spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat
mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan,
oksigen harus diberi secara terus-menerus.5
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat
rekomendasi dari The American College of Chest Physicians dan The
National Heart, Lung, and Blood Institute(tabel 4).5
Tabel 4. Indikasi Akut Terapi Oksigen5
Indikasi yang sudah direkomendasi :
Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Cardiac arrest dan respiratory arrest
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18
mmol/L)
Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan :
Infark miokard tanpa komplikasi
Sesak nafas tanpa hipoksemia
Krisis sel sabit
Angina
24

2.18 Terapi Oksigen Jangka Panjang


Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka
panjang. Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi oksigen
jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian
oksigen secara kontinu selama 4-8 minggu menurunkan hematokrit,
memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar.8
Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka
panjang dapat meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun. Angka
kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen
diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah
ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.8
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen
jangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan
dengan terapi oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien
hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%) oksigen
diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan
PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau polisitemia
juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.8
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO224-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil
pemeriksaan analisis gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan
menghindari penurunan pH dibawah 7,26. Oksigen dosis tinggi yang
diberikan kepada pasien PPOK yang sudah mengalami gagal nafas tipe II
(peningkatan karbondioksida oleh karena kegagalan ventilasi dengan
oksigen yang relatif cukup) akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk
pemicu gerakan bernafas dan meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi. Hal
ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis
respiratorik yang berakibat fatal.8
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan
25

mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu
lagi meneruskan suplemen oksigen.8
2.18.1 Indikasi terapi oksigen
Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang8
Pemberian oksigen secara kontinyu :
PaO2 istirahat 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu keadaan :
- Edema yang disebabkan karena CHF
- P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead
II, III, aVF
Eritrositoma (hematokrit > 56%)
PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu :
Selama latihan : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
Selama tidur : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan artimia

Tabel 6. Indikasi terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK 8


Indikasi
PaO2 55 mmHg or SaO2
88%

Pasien dengan kor pulmonal

PaO2 55-59 mmHg atau SaO2


89%
Adanya P pulmonal pada EKG
Hematokrit > 55%
Gagal jantung kongestif
Indikasi khusus

Nocturnal hypoxemia
Tidak ada hipoksemia saat
istirahat, tetapi saturasi
menurun selama latihan
atau tidur

Pencapaian terapi
PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan
PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan


saat tidur
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat latihan

2.18.2 Kontraindikasi
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada:9

Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan utama
dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronik.

26

Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang

buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran.


Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.

2.19 Teknik Pemberian Oksigen


Cara pemberian oksigen dibagi dua jenis, yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan
dan kerugian.9
Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng
oksigen, reservoir mask,kateter transtrakheal, dan simple mask. Alat oksigen
arus tinggi diantaranya venturi mask, dan reservoir nebulizer blenders9.

Alat pemberian oksigen dengan arus rendah.9


Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus
rendah yang digunakan secara luas. Kanul nasal terdiri dari
sepasang tube dengan panjang 2 cm, dipasangkan pada lubang
hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung ke oxygen
flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat
masker, terutama bagi pasien yang membutuhkan suplemen
oksigen rendah. Kanul nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke
nasofaring dengan aliran 1-6 L/m, dengan FiO2 antara 24-40%.
Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO 2 secara
bermakna diatas 44% dan akan menyebabkan mukosa membran
menjadi kering. Kanul nasal merupakan pilihan bagi pasien yang
mendapatkan terapi oksigen jangka panjang.

27

Gambar 1. Kanul nasal

Simple oxygen mask dapat menyediakan 40-60% FiO2, dengan


aliran 5-10 L/m. aliran dapat dipertahankan 5 L/m atau lebih
dengan tujuan mencegah CO2 yang telah dikeluarkan dan tertahan
di masker terhirup kembali. Penggunaan alat ini dalam jangka
panjang dapat menyebabkan iritasi kulit dan pressure sores.

Gambar 2. Simple oxygen mask

Partial rebreathing mask merupakan simple mask yang disertai


dengan kantung reservoir. Aliran oksigen harus selalu tersuplai
untuk mempertahankan kantung reservoir minimal sepertiga
28

sampai setengah penuh pada inspirasi. Sistem ini mengalirkan


oksigen 6-10L/m dan dapat menyediakan 40-70% oksigen.
Sedangkan non-rebreathing mask hampir sama dengan parsial
rebreathing mask kecuali alat ini memiliki serangkai katup oneway. Satu katup diletakkan diantara kantung dan masker untuk
mencegah udara ekspirasi kembali kedalam kantung. Untuk itu
perlu aliran minimal 10L/m. Sistem ini mengalirkan FiO 2sebesar
60-80%.

Gambar 3. Partial rebreathing mask

Gambar 4. Non-rebreathing mask

Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung


melalui kateter ke dalam trakea. Oksigen transtrakea dapat
29

meningkatkan kesetiaan pasien menggunakan oksigen secara


kontinyu selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien
hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan oksigen
transtrakea ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%.
Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakea yaitu tidak
menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, dan tidak ada iritasi
muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima mencapai 80-96%.
Kerugian dari penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi
dan resiko infeksi lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada
pemberian oksigen transtrakea ini adalah emfisema subkutan,
bronkospasme,
diantaranya

dan

batuk

paroksismal.

Komplikasi

infeksi

stoma,

dan mucus

ball

yang

lain
dapat

mengakibatkan fatal.

Gambar 5. Transtrakheal oksigen

Alat pemberian oksigen dengan arus tinggi10


Alat oksigen arus tinggi diantaranya venture mask dan reservoir nebulizer
blenders.

Alat venturi

mask menggunakan

prinsip jet

mixing (efek

Bernoulli). Jet mixing mask,mask dengan arus tinggi, bermanfaat untuk


mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien
dengan PPOK dan gagal nafas tipe II, bernafas dengan mask ini mengurangi
30

resiko retensi CO2, dan memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih
nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan
dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen
melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah
pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2, dan pasien
hipoksia dengan ventilasi abnormal.

Gambar 6. Venturi mask

2.20 Komplikasi Terapi Oksigen

Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada hypoxic


drive untuk mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi
dapat mengurangi drive ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan
dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk
menilai adanya retensi CO2.10

Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada


neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat.
Semua terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara
berkelanjutan.10

Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang


dapat menyebabkan penurunan pergantian gas dan atelektasis.10

31

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan
manusia, sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung
fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan,
oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pemberian oksigen
dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan
memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan
jangka panjang.
Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen,
teknik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya
oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu
selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan
mencegah terjadinya retensi CO2.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. AARC CPG, 2002, AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy


for

Adults

in

the

Acute

Care

Facility,

diakses

dari www.rcjournal.com pada tanggal 26 Mei 2016.


2. Astowo, Pudjo, 2005, Terapi oksigen, Ilmu Penyakit Paru. Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Jakarta: FK UI.
3. Ganong, F. William, 2003, Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, Jakarta:
EGC.
4. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
edisi 9, Jakarta: EGC.
5. Latief,

A.

Said,

2002,

Petunjuk

Praktis

Anestesiologi, Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.


6. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
7. Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2001, Emergency Medicine: Oxygen
Therapy, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No.
3, diakses dariwww.medind.com/nic/injact pada tanggal 26 Mei 2016.
8. South Durham Health Care NHS, 2000, Guideline for the Management of
Oxygen

Therapy,

diakses

dari www.ndhd.com/nhs.uk.content.clinguide pada tanggal 26 Mei 2016.


9. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2006, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.

33

Anda mungkin juga menyukai