Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KELOMPOK

NEPHROTIC SYNDROME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester Pendek Blok Urinari

Oleh :
KELOMPOK 12
Eny Dwi
Novita Wulandari

115070207111022
115070200111048

Maulana Rahmat

115070200111030

Zulvana

115070207111018

Amin Ayu

115070207111004

Windiarti Rahayu

115070201111028

Any Setyorini

115070200111016

Nirma Pangestika

115070200111022

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nephrotic Syndrome merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular
yang ditandai dengan proteinuria masif > 3.5 gram/ 24 jam/ 1.73 m2 disertai
hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi sindrom nefrotik primer dan
sekunder. Berdasarkan gambaran histologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi sindrom
nefrotik

kelainan

minimal,

glomerulosklerosis

fokal

segmental,

dan

nefropati

membranosa.
Angka kejadian sindrom nefrotik di AS dan Inggris sekitar 2-7 per 100.000 anak pada
usia di bawah 18 tahun setiap tahun. Sementara di indonesia dilaporkan terdapat sekitar
6 per 100.000 anak per tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1.
Sindroma nefrotik merupakan penyebab kunjungan terbesar pada poliklinik khusus
nefrologi di RSCM. Selain itu juga merupakan penyebab tersering dari gagal ginjal anak
yang dirawat pada 1995-2000.
Pasien yang menderita sindrom nefrotik untuk pertama kalinya sebagian besar
datang ke rumah sakit dengan gejala edema. Gejala edema tersebut berupa
pembengkakan yang biasanya terdapat pada daerah dengan tekanan jaringan rendah
seperti kelopak mata, dada, perut, ekstremitas, skrotum, dan labia.
Pada pasien anak dengan SN biasanya akan didapatkan kenaikan berat badan yang
dapat mencapai hingga 50 % dari berat badan sebelum menderita SN. Hal tersebut
terjadi karena timbulnya proses edema yang merupakan salah satu gambaran klinis dari
SN. Edema yang terjadi pada SN diakibatkan karena turunnya kadar albumin dan
terjadinya retensi natrium yang menyebabkan cairan ekstravaskuler semakin meningkat
dan dapat meningkatkan berat badan.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas maka, penulis ingin mengetahui
lebih dalam tentang sindroma nefrotik. oleh karena itu disusunlah laporan sindroma
nefrotik ini guna memenuhi tugas dan tujuan penulis.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang Nephrotic Syndrome.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang :
a.
b.
c.
d.
e.

Definisi Nephrotic Syndrome


Klasifikasi Nephrotic Syndrome
Epidemiologi Nephrotic Syndrome
Etiologi Nephrotic Syndrome
Faktor Resiko Nephrotic Syndrome

f.
g.
h.
i.
j.

Patofisiologi Nephrotic Syndrome


Manifestasi Klinis Nephrotic Syndrome
Pemeriksaan Diagnostik Nephrotic Syndrome
Penatalaksanaan Nephrotic Syndrome
Komplikasi Nephrotic Syndrome

BAB II
TEORI DAN KONSEP
2.1

Definisi Nephrotic Syndrome


Nephrotic Syndrome merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang

ditandai dengan proteinuria masif > 3.5 gram/ 24 jam/ 1.73 m2 disertai hipoalbuminemia,

edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas (Hartoko B, 2008).


Pengertian lain menyebutkan bahwa Nephrotic Syndrome adalah salah satu penyakit ginjal
yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri
dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta edema. Proteinuria
masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau
lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl.
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu keadaan klinik yang disebabkan oleh berbagai
kausa, yang ditandai oleh meningkatnya permeabilitas membran glomerulus sehingga
terjadi proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia. Pada orang dewasa
bukan merupakan suatu full diagnosis, tetapi mungkin suatu penampilan klinis, perjalanan
klinis, indikasi kelainan ginjal dari penyakit sistemik. (Gunawan, 2006)
Sindrom Nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus.
Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia,

hyperlipidemia,

dan edema.

Kadang-kadang

terdapat

hematuria,

hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Paling banyak terjadi pada anak berusia 2-4 tahun
dengan perbandingan pasien wanita dan pria 1:2. Sindrom nefrotik adalah hasil patologis
dari berbagai faktor yang mengubah permeabilitas glomerulus. (Betz, 2009)
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Nephrotic Syndrome
adalah

sekumpulan

gejala

penyakit

ginjal

yang

meliputi

proteinuria

massif,

hiperkolesterolemia, hipoalbuminemia dan edema anasarka.


2.2
Klasifikasi Nephrotic Syndrome
A. Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.
Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan sampai
satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai sindrom nefrotik
kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam per 100.000 anak per tahun menderita sindrom
nefrotik. Sindrom nefrotik infantile sangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan
nail patella syndrome, pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms,
intoksikasi merkuri, sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis, virus sitomegalo,
hepatitis, rubela, malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis sindrom nefrotik infantil umumnya
buruk tetapi masih lebih baik daripada prognosis sindrom nefrotik kongenital (Pardede S.O.,
2002).
B.

Sindrom nefrotik kongenital


Sindrom nefrotik kongenital yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan

sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif
autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah
dicoba, tapi tidak berhasil. Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu

setelah lahir. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal


dalam

bulan-bulan

pertama

kehidupannya.

Biasa

menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun


(Himawan S., 1979).
C. Sindrom nefrotik pada dewasa
a. Glomerulonefritis primer (Sebagian

besar

tidak

diketahui sebabnya)
Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus
itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Sindrom
nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih
sedikit dibandingkan pada anak-anak.
1) Glomerulonefritis membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir semua
pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat gambaran penebalan dinding kapiler,
pada mikroskop

elektron terlihat kelainan membrana basalis. Kelainan ini jarang

memberikan respon terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih kurang 50% (Himawan
S., 1979).

Gambar 1: Histopatologi Glomerulonefritis Membranosa (Sumber: Orth S.R.& Berhard E.,


1998)
2) Glomerulonefritis Kelainan Minimal
Merupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%. Dengan
mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan ada
mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus yang membengkak dan
bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak ada hipertensi
(Himawan S, 1979). Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak
dan 50% pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan
penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada dewasa)
(Braunwald E., 2008). Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan
pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan tetapi sering pula kambuh
(Himawan S., 1979).
3) Glomerulonefritis membranoproliferatif

Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit
progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Ciri khasnya adalah kadar
komplemen serum yang rendah (Himawan S., 1979).

Gambar 2: Glomerulonefritis membranoproliferatif, penipisan membran basal kapiler perifer


telah ditandai dengan pewarnaan trichrome masson.(Sumber: Orth S.R. & Berhard E., 1998)
4) Glomerulonefritis pasca streptokokus
b. Glomerulonefritis sekunder
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
(International Study of Kidney Diseases in Children, 1970)
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1)
i.
ii.
iii.
2)

Infeksi
HIV, hepatitis virus B dan C
Sifilis, malaria, skistosoma
Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin, myeloma
multiple, dan karsinoma ginjal, tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

3) Penyakit jaringan penghubung


Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective tissue
disease), purpura Henoch-Schnlein dan sarkoidosis.
4) Efek Obat dan Toksin
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), logam berat (Hg), preparat emas,
penisilamin, kaptopril, heroin dan probenesid, racun serangga, bisa ular.
5) Penyakit Metabolik atau Kongenital
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks
vesikoureter, sindrom Alport, miksedema atau sengatan lebah (Prodjosudjadi W.,
2006).
Beberapa batasan yang dipakai pada SN adalah :
1. Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturutturut dalam 1 minggu.
2. Relaps : proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang : proteinuria +2/> muncul kembali kurang dari dua kali dalam setahun
setelah pengobatan steroid dihentikan.
4. Relaps sering : proteinuria +2/> muncul kembali 2 kali dalam 6 bulan atau 3 kali
dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
5. Dependen steroid: relaps terjadi saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid : remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke delapan pengobatan
steroid alternating.

2.3

Epidemiologi
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering

(Prodjosudjadi W, 2006). Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan


nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan SN
(Himawan S., 1979).
Menurut tinjauan dari Robson pada lebih dari 1400 kasus, beberapa jenis
glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang
dewasa dan 93% pada anak-anak. Pada 22% orang dewasa keadaan ini disebabkan oleh
gangguan sistemik (terutama diabetes, amiloidosis, dan thrombosis vena renalis), dimana
ginjal terlibat secara sekunder atau karena mengalami respon abnormal terhadap obat atau
alergen lain (Wilson L.M.,1995).
2.4

Etiologi
Sindrom nefrotik dapat terjadi di setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang

mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini menyerang anak-anak,

namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebabnya
mencakup glumerulonefritis kronis, diabetes melitus disertai glumerulosklerosis interkapiler,
amilosidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik dan trombosis vena renal.
(Smeltzer & Bare, 2002).
Pada sindrom nefrotik primer, penyakitnya hanya terbatas pada ginjal, sedangkan
nefrotik sekunder terjadi selama perjalanan penyakit sistemik. Penyebab sindrom nefrotik
pada anak-anak adalah sindrom nefrotik dengan perubahan minimal, sindrom nefrotik
kongenital, sindrom nefrotik dengan proliferasi masingeal difus, glomerulosklerosis fokal dan
segmental,

glumerulonefritis

membranoproliferatif,

dan

glomerulonefritis

kresenterik.

Sedangkan sindrom nefrotik sekunder terjadi pada vaskulitis seperti purpura Henoch
Schonlien, atau lupus eritematosus sistemik, infeksi virus hepatitis B, atau infeksi HIV.
(Schwartz M, 2004)
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi : (Mansjoer, 2000 :488 ; Kusuma H, Nurarif AH,2012):
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Sindrom nefrotik sekunder disebabkan oleh:

Malaria kuartana atau parasit lainnya.


Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
Glumerulonefritis akut atau kronik.
Trombosis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa
ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.

Neoplasma

tumor

paru,

penyakit

Hodgkin,

Leukemia,

tumor

gastrointestinal.
Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
c. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron. Sindroma nefrotik idiopatik atau sindrome nefrotik primer. Sekitar 90%
nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui, berdasarkan hispatologi yang
tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan elektron. Diduga ada
hubungannya dengan genetik, immunologik dan alergi.
d.

Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus.
2.5

Faktor Resiko
a) Kondisi medis yang dapat merusak ginjal.
Penyakit dan kondisi tertentu meningkatkan risiko terkena sindrom nefrotik, seperti
diabetes, lupus, dan penyakit ginjal lainnya. Amiloidosis; gangguan ini terjadi ketika
zat yang disebut protein amiloid terakumulasi dalam organ tubuh. Penumpukan
amiloid sering mempengaruhi ginjal, merusak sistem penyaringan.
b) Obat-obat tertentu
Contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik termasuk obat antiinflamasi dan obat yang dipakai untuk melawan infeksi. Selian itu obat pereda nyeri
seperti aspirin, senyawa emas, heroin intravena dan penisilamin juga berpotensi
menimbulkan sindroma nefrotik.
c) Penyakit infeksi
Contoh infeksi yang meningkatkan risiko sindrom nefrotik termasuk HIV, hepatitis B,
hepatitis C dan malaria.
d) Setiap kondisi yang menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh
Misalnya transplantasi organ, kemoterapi:pemberian obat yang membunuh sel
kanker dan AIDS.
e) Penyakit kronik
Amiloidosis, kanker, DM, glomerulopati, leukimia, lomfoma, gemopati monoklonal,
SLE sistemik.

2.6

Patofisiologi
Terlampir

2.7

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sindrom nefrotik antara lain:
1. Edema
Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema
biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar

mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah
(Brunner & Suddarth, 2002). Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan
hingga bentuk yang berat (anarsaka). Edema pada mukosa usus mengakibatkan
diare. Edema ini pada umumnya disebabkan oleh penurunan tekanan onkotik
plasma akibat hipoalbuminemia (albumin < 2,5 g/dL) dan retensi natrium. Bila terjadi
edema berat dapat menimbulkan terjadinya dipsnu akibat dari efusi pleura.
Edema tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal
edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum
atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan
mengalami oozing.
2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa (disebabkan oleh konsentrasi urin yang
tinggi)
3. Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.
Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa
usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau
keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat
terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan
terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan
prolaps ani. Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
4. Pucat
5. Hematuri (adanya sel darah merah pada urin) menandakan adanya kelainan pada
glomerulus.
6. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
7. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan
umumnya terjadi disebabkan karena retensi cairan
8. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 : 335 ).
9. Gangguan pernafasan karena distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura
10. Proteinuria
Proteinuria adalah suatu kelainan yang mendasar dari sindrom nefrotik. Proteinuri
>3.5 g/ hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari pada anak-anak. Proteinuria
disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerulus.

Dalam

keadaan

normal

mambrana

basalis

glomerulus

(MBG)

mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme


penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada SN keduanya terganggu.
Proteinuria dibedakan menjadi proteinuria selektif dan

non-selektif berdasarkan

ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.
Selektivitas proteinuri ditentukan oleh keutuhan struktur MBG (Prodjosudjadi W.,
2006).
Sebagian besar proteinuria berasal dari kebocoran glomelurus dan sebagian
kecil proteinuria juga dapat berasal dari sekresi tubulus. Perubahan integritas
membrane basalis glomelurus dapat menyebabkan peningkatan permiabilitas
glomelurus terhadap protein plasma dan protein utama yang diskresi dalam urin
terutama albumin. Membran glomelurus yang normalnya impermiabilitas terhadap
albumin dan protein lain, menjadi permiabel terhadap protein terutama albumin.
Sehingga albumin dapat melewati membrane dan ikut keluar bersama dengan urin.
Akibatnya hal ini menurunkan kadar albumin atau hipoalbuminemia, dan dapat
menurunkan tekanan osmotic koloid dalam kapiler. Sehingga mengakibatakan
akumulasi cairan di intersisial. Proteinuria yang berat adalah > 40mg/m2/jam.
11. Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International
Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM)mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih
dari 90th persentil umur
12. Hipoalbuminemia < 30 g/ l
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi
dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat
juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal (Prodjosudjadi W., 2006).
13. Edema generalisata, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan edema
muka, ascites dan efusi pleura. Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori
underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan

tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan


intertisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan

plasma terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi

dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki

volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya

hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.


Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti
asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis
lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan (Prodjosudjadi W., 2006).
14. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
15. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.
2.8

Pemeriksaan Diagnostik
a) Anamnesis:
Bengkak di kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh
Jumlah urin berkurang
Urin berwarna merah
b) Pemeriksaan fisik:
Edema di kelopak mata, tungkai, skrotum / labia
Ascites
Hipertensi
c) Pemeriksaan penunjang:
1. Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau
4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau
lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
2. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit,
torak hialin dan torak eritrosit.
3. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai
dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat,
total protein urin 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria
diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin

dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak
3g.
Proteinuria (didominasi albumin) mencapat 3 hingga 3,5gr/hari cukup untuk
menegakkan

diagnosis

immunoelectrophoresis

sindrom
dapat

nefrotik.

dilakukan

Protein
untuk

electrophoresis

dan

mengklasifikasikan

tipe

proteinuria. Urin juga dapat mengandung sel darah putih yang meningkat seperti
pada granular dan epithelial casts (Smeltzer, 2010).
4. Albumin serum
- kualitatif

: ++ sampai ++++

- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)


5. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
a. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik. USG ginjal dan CT scan ginjal
atau IVP untuk menunjukkan pengkisutan ginjal.
b. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8
tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya,
biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi
penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis
yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada
dewasa

dengan

glomerulosklerosisfokal,

karena

minimal-change

disease

memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid. Biopsi jarum pada ginjal
dilakukan untuk pemeriksaan histology dari jaringan ginjal untuk mengkonfirmasi
diagnosis, menentukan prognosis dan respon terhadap terapi (Smeltzer, 2010
dan Gunawan, 2006). Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk
glomerulonefritis kronis atau pembentukan jaringan parut yang spesifik pada
glomeruli.
c. Darah
Hb menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya
meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan
retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah). Klorida, fosfat, dan magnesium meningkat.
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- 1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- 2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)

komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)


ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

d. Venografi

Diperlukan untuk menegakkan diagnosis thrombosis vena yang dapat terjadi


akibat hiperkoagulabilita (Gunawan, 2006).
6. Rontgen abdomen untuk menunjukkan adanya cairan yang berlebihan
7. Serum marker untuk mengetahui proses penyakit. Antibodi anti-C1q adalah
marker yang paling baik untuk mengkaji aktivitas penyakit pada lupus nephritis
(Brunner)
8. Kimia serum
Protein total dan albumin menurun, kreatinin meningkat atau normal, trigliserida
meningkat, dan gangguan gambaran lipid (Nursalam, 2009).
Nilai normal albumin
Dewasa : 3,8 5,1 gr/dl
Anak
: 4,0 5,8 gr/dl
Bayi
: 4,4 5,4 gr/dl
Bayi baru lahir : 2,9 5,4 gr/dl
Nilai normal natrium dalam serum
Dewasa : 135-145 mEq/L
Anak
: 135-145 mEq/L
Bayi
: 134-150 mEq/L
Nilai normal natrium dalam urin : 40-220 mEq/L/24 jam
Nilai normal kalium
Dewasa : 3,5-5,0 mEq/L
Anak
: 3,6-5,8 mEq/L
Bayi
: 3,6-5,8 mEq/L
Nilai normal kalsium
Dewasa
: 9-11 mg/dl (di serum); <150mg/24 jam (di urin & diet rendah

2.9

Ca), 200-300 mg/24 jam (di urin & diet tinggi Ca)
Anak
: 9 -11,5 mg/dl
Bayi
: 10-12 mg/dl
Bayi baru lahir
: 7,4-14 mg/dl

Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Menjaga
pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan untuk
meningkatkan dieresis guna mengurangi edema. Masukan protein ditingkatkan untuk
menggantikan protein yang hilang dalam urin dan untuk membentuk cadangan protein di
tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium. Diuretik diresepkan untuk
pasien dengan edema berat, dan adrenokortikosterorid (prednisone) digunakan untuk
mengurangi proteinuria. Medikasi lain yang digunakan dalam penanganan sindrom
nefrotik mencakup agens antineoplastik (cytoxan) atau agens imunosupresif (Imuran,
Leukeran, atau siklosporin).

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk


memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan
dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari
selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
a) Sindrom nefrotik serangan pertama
1.

Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai 1 gram/hari, secara
praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang
diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.

2.

Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat

3.

Berantas infeksi dengan memberikan antibiotic.

4.

Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

5.

Berikan terapi suportif yang diperlukan:

Meningkatkan Tirah Baring


Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari
mungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi
edema anasarka. Bila edema sudah berkurang atau tidak ada komplikasi
maka aktifitas fisik tidak memperngaruhi perjalanan penyakit.

Masukan Protein
Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein yang hilang
dalam urin dan untuk membentuk cadangan protein di tubuh. Diet harus
banyak mengandung protein dengan nilai biologik tinggi dan tinggi kalori.
Protein 3-5gr/kgBB/hari. Kalori rata-rata: 100kalori/kgBB/hari. Garam
dibatasi

bila

edema berat.

Bila

tanpa edema

diberi 1-2gr/hari.

Pembatasan cairan terjadi bias terdapat gejala gagal ginjal.

Diuretik
Pemberian diuretic untuk mengurangi edema terbatas pada anak dengan
edema berat, gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal atau
obstruksi urethra yang disebabkan oleh edema hebat ini. Pada beberapa
kasus SN yang disertai anasarka, dengan pengobatan kortikosteroid
tanpa diuretik, edema juga menghilang. Metode yang lebih aktif dan
fisiologik untuk mengurangi edema adalah yang merangsang diuresis
dengan pemberian albumin (salt poor albumin): 0,5-1gr/kgBB selama satu
jam yang disusul kemudian oleh furosemid I.V 1-2mg/kgBB/hari.

Pengobatan ini biasa diulangi selama 6 jam bila perlu. Diuretic yang biasa
dipakai adalah diuretic jangka pendek seperti furosemid atau asam
etakrinat. Biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya
edema dan respons pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu
dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, hiperuricemia,
hipovolemia atau kehilangan cairan intravascular berat. Jika ada
hipertensi dapat ditambahkan obat antihipertensi.
6.

Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari


setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah
penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari
terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu
14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison
tanpa menunggu waktu 14 hari. Prednison juga bertujuan untuk mengurangi
proteinuria.

b) Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan
2. Perbaiki keadaan umum penderita
Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
o

Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu

Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, prednison dihentikan.

Sindrom nefrotik kambuh sering


Adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali
dalam masa 12 bulan.
o

Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu

Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan


selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam selama 6 minggu,
kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi
anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse
frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk
biopsi ginjal.
2.10

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Keseimbangan nitrogen
Proteinuri masif pada SN menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif.
Penurunan masa otot sering ditemukan (10% - 20%) tetapi gejala ini tertutup oleh
gejala edema anasarka, dan baru tampak setelah edema menghilang.
b. Hiperlipidemia dan lipiduri
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kolesterol disebabkan peningkatan LDL ( Low
Density Lipoprotein), lipoprotein utama pangangkut kolesterol, LDL yang tinggi ini
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. lipiduri ditandai
dengan akumulasi lipid pada debris sel cast seperti badan lemak berbentuk oval
(Oval Fat Boddies) dan Fatty cast.
c. Hiperkoagulasi
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor
koagulasi intinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek
meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
d. Metabolism kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur yang penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma
juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan.
Karena

fungsi

ginjal

pada

SN

umumnya

normal

hipoparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai.

maka

osteomalasi

dan

e. Infeksi
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan kadar IgG, IgA, dan Gamma Globulin sering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi
berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan Zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi
dengan normal.
f.

Gangguan fungsi ginjal


Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis
tubuler akut, mekanisme lain yang menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.

g. Komplikasi lain
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada pasien SN dewasa terutama apabila
disertai proteinuri masif, asupan oral yang kurang dan proses katabolisme yang
tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan
dengan retensi natrium dan air (Prodjosudjadi W., 2006).
h. Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
i.

Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas

j.

Infeksi sekunder, terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptokokus,


Stafilokokus

k. Hambatan pertumbuhan
l.

Gagal ginjal akut atau kronik

m. Tromboembolisme (terutama vena renal)


n. Emboli pulmo
o. Peningkatan terjadinya aterosklerosis
p. Hypovolemia
q. Hilangnya protein dalam urin
r.

Dehidrasi

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindroma nefrotik adalah sekumpulan gejala penyakit ginjal yang meliputi proteinuria
massif, hiperkolesterolemia, hipoalbuminemia dan edema anasarka. sindroma nefrotik

belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun Sindroma nefrotik dikatakan dapat
disebabkan oleh bawaan dan penyakit lain seperti DM, SLE, malaria, HIV/AIDS dan lainlain.
Sindroma nefrotik dapat dilihat dari tanda dan gejala seperti edema, proteinuria,
penurunan jumlah urin, pusing, malaise, hipoalbuminuria, hiperlipidemia dan beberapa
tanda lain. untuk mendiagnosa sindroma nefrotik diperlukan pemeriksaan seperti
pemeriksaan laboratorium, radiologis dan pemeriksaan penunjang lain yang dapat
mendukung diagnosis. Setelah terdiagnosa sindroma nefrotik maka selanjutnya
dilakukan penatalaksanaan yang bertujuan untuk mencegah perburukan kondisi atau
bahkan terjadi komplikasi yang dapat membahayakan penderita.
3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada seluruh pembaca agar dapat melakukan tindakan
pencegahan guna menghindari terjadinya SN sedari dini. Pencegahan tersebut dapat
dilakukan dari hal-hal kecil seperti mengatur olah raga, pola diet, mengurangi stress,
modifikasi gaya hidup dan hal-hal lain yang dapat menurunkan resiko SN. Selain itu,
kepada petugas kesehatan agar lebih mampu memberikan pelayanan yang maksimal
kepada pasien dengan SN.

DAFTAR PUSTAKA
Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. 2004. Sindrom nefrotik. Buku ajar nefrologi
anak. Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit FKUI
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC
Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta:EGC.

Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 3.
Jakarta : EGC.
Cecily, lynn Betz. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Ed. 5. Jakarta : EGC
Himawan, S. 1979. Patologi Anatomi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 264-69
Kusuma H, Nurarif AH. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-NOC.
Yogyakarta: Media Hardy.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Muscari, Mary. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Ed. 3. Jakarta : EGC
Price S.A & Wilson L.M., 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses - Proses penyakit. Edisi
IV. Jilid II. Jakarta: EGC. Hal.832-33.
Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius
S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 1174-81.
Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18] [(20) :
screens]. Available from: http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on Juli 7, 2014 at
08.57.
Gunawan,

Carta

A.

2006.

Sindrom

Nefrotik

Patogenesis

dan

Penatalaksanaan.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_
150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf.
Wila Wirya IG. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO,
penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2002.
h. 381-422.

Anda mungkin juga menyukai