Pada 25-27 Juli 2013 di Hotel Sahid Jayapura, Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP)
dan Papua Barat bersama Orang Asli Papua dari 257 suku yang terbagi dalam tujuh
wilayah: Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Pago Mee,
mengadakan
Evaluasi
Pelaksanaan
Otonomi
Khusus
Papua.
Latar belakang dan fakta sejarah lahirnya otsus sebagai berikut. Tim 100 sebagai
duta-duta rakyat Papua menghadap Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26
Februari 1999 di Istana Negara Jakarta. Tim 100 dari Papua menyampaikan:
Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan
keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah
semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat
yang pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara
bangsa-bangsa lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik
bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah
dianeksasi
oleh
Negara
Republik
Indonesia.
Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik
Indonesia,
bahwa
tidak
ada
alternatif
lain
untuk
merundingkan
atau
bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa
lain di bumi. Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di
bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai,
dan
bertanggungjawab,
selambat-lambatnya
bulan
Maret
tahun
1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir
kesatu dan kedua, maka: (1) segera diadakan perundingan Internasional antara
Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan BangsaBangsa (PBB); (2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam
pemilihan
Umum
Republik
Indonesia
tahun
1999.
Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun Rakyat Papua mengadakan Musyarawah
Besar (MUBES) pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah. Dalam
MUBES, rakyat Papua telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan
kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa
bangsa
Papua
sebagai
Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian menjadi Papua pada tanggal
31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya
menggunakan nama Papua sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian.
Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J.
Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999
di
istana
negara
Jakarta.
untuk
menentukan
nasib
bangsa
Papua.
tersebut
berdasarkan
alasan
sebagai
berikut:
(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962
pasal 18 butir d, yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa
- pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus
sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek international, atau one man one vote.
(b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut
pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua,
dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan
membunuh
rakyat
Papua
yang
menentang
cara-cara
Indonesia
dalam
melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai
kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000,
rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak
memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan
Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan
setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua
mengalami
Pelanggaran
perlakuan-perlakuan
HAM,
pembunuhan,
keji
dan
pemerkosaan,
tidak
manusiawi
pembodohan,
pemiskinan,
ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside
bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak
kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia
kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember
1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J.
Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di
istana
Negara
Jakarta.
(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah
dari negara RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara
damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan
bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan - pengakuan kedaulatan hakhak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya
di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah
Indonesia, pemerintah Belanda, pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai
pihak-pihak yang
telah
Papua. Juga
alasan
-alasan
dan
mendukung
kehendak
bangsa
Papua.
Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim
100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat
dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni
2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid.
Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948,
Alinea I Mukadimah UUD RI tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14
Desember 1960 mengenai jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan
wilayah-wilayah jajahan, Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19
Oktober 1961, pengakuan presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat
yang tercetus melalui Tri Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, dan hasilhasil kongres II Papua Juni 2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan
bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat bangsa Papua melalui
Kongres II Papua 2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di
seluruh
dunia,
bahwa
(1) Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1
Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakilwakil bangsa Papua. (3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil
Pepera, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis,
kekerasan
militer
dan
perbuatan-perbuatan
amoral
diluar
batas-batas
dan
benar
kepada
rakyat
Papua
pada
Desember
2000.
kemanusiaan di Papua Barat. (8) Segera membentuk suatu tim independen yang
akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah
pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan
bangsa
Papua.
(9) Penyelesaian masalah status politik Papua Barat secara adil dan demokratis
harus dilakukan antara wakil-wakil sah bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia,
Belanda, Amerika Serikat dan PBB. (10) Berdasarkan pengalaman Bangsa Papua
selama 38 tahun di bawah penindasan dan kekerasan pemerintah RI, maka kongres
II Papua 2000 menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk
memberikan
perlindungan
hukum
dan
keamanan
bagi
bangsa
Papua.
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah
latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik
dengan pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme untuk mengkaburkan
dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara
sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan
bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak
bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak
azasi manusia di Papua yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal
Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di
Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan
sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu
adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman,
Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada Juli 2013 Komisi HAM PBB independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan
Pemerintah Indonesia juga masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan
orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah apa
yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan
dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran
meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua,
mengapa
tidak
ada
pelaku
yang
diadili?
membangun
Papua.
Otonomi
Papua
terbukti
gagal
Borobudur,
Jakarta,
15
Mei
2013).
Dari berbagai pihak menyatakan kebijakan otsus bagi Papua telah gagal. Karena
itu, apa yang disampaikan dalam pertemuan MRP Papua dan Papua Barat dengan
Penduduk Asli Papua dalam evaluasi Otsus patut dihargai dan didukung. Ada dua
solusi yang diusulkan: (1) Membuka ruang dialog damai antara Penduduk Asli
Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di
tempat yang netral. (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang diamandemen dengan UU No.
35 tahun 2008 atas Otsus untuk Papua dan Papua Barat akan diterapkan setelah
dialog damai diadakan. Selain dua solusi tadi, langkah mendesak lain yang perlu
dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah (1) Membebaskan semua tahanan politik
di Papua tanpa syarat. (2) Pelapor Khusus PBB diijinkan masuk ke Papua. (3) Para
Selain itu, status integrasi politis kedalam NKRI pada dekade 1960an masih menjadi
hal yang kontroversial bagi sebagian kalangan di Tanah Papua. Terdapat perbedaan
yang mendasar dan tajam antara pemahaman penduduk asli Papua dengan
pemahaman Pemerintah Pusat tentang pemberian kesempatan yang adil untuk
menentukan nasib sendiri dalam Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang diatur
dalam berbagai konvensi internasional. Hal lainnya adalah pelanggaran HAM yang
terjadi pada masa Orde Baru masih membekas pada benak setiap keluarga di
Papua yang anggota keluarganya menjadi korban pada saat operasi militer dan
penahanan tanpa pengadilan karena dugaan keterlibatan dengan gerakan-gerakan
separatis. Tekanan aparat keamanan TNI dan POLRI yang melahirkan kekerasan
dan kejahatan Negara di Tanah Papua. Pendekatan kekerasan dan kejahatan
Negara
ini
mengorbankan
nyawa
ratusan
bahkan
ribuan
rakyat
sipil
Papua. Kegagalan Implementasi Otonomi Khusus di Papua tidak terlepas dari peran
Pemerintah
Pusat.
Peran
mereka
terlihat
dalam
penetapan
yuridis
yang
terus mengalir. Setiap tahun bahkan terus bertambah. Dari 2002 sebesar Rp 1.382
trilyun, menjadi Rp 1.539 trilyun pada 2003, lalu Rp 1.642 trilyun pada 2004. Secara
teoritis, dengan dana sebesar itu, Papua bisa mengejar ketertinggalan dari provinsi
lain. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan sungguh berbeda. Di mata Pemerintah
Daerah Papua, Otonomi Khusus dilihat semata-mata sebagai program untuk
menguncurkan sejumlah uang bagi Provinsi papua. Akibatnya, Otonomi Khusus
menjadi ajang rebutan proyek.
Tujuan dari penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2007 sebenarnya merupakan langkah
yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UU Otonomi
Khusus karena melihat realitas pejabat daerah di Papua melakukan korupsi, baik
pejabat eselon I, II, III bahkan honorer punya rumah dan mobil sendiri yang dicurigai
sebagai hasil korupsi. Rakyat di Tanah Papua terutama yang jauh dari perkotaan
belum ikut mekar, yang mekar hanyalah sebagian pejabat dan birokrat pemegang
kekuasaan.
Sejak UU Otonomi Khusus disahkan, sampai sekarang belum ada satu pun
peraturan Perdasus yang ditetapkan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Faktor-faktor penghambat implementasi UU Otonomi Khusus di Papua, antara lain:
1. Ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi Khusus
Mereka yang memberikan respon positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai
suatu jalan keluar yang dapat mencegah konflik. Ada pula sebagian masyarakat
yang
secara
tegas
menolak
status
Otonomi
Khusus
dan
menginginkan
kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI. Ironisnya, pemahaman yang
berbeda ataupun persepsi negatif terhadap Otonomi Khusus tidak hanya terjadi di
antara masyarakat Papua, tetapi juga di kalangan pejabat pemerintah dan anggota
lembaga legislatif, baik di Pusat maupun di daerah. Padahal, mereka mempunyai
tanggungjawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar dan jelas.
2. Adanya sikap saling tidak percaya (distrust)
Pengalaman yang dialami oleh rakyat Papua, pada masa Pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya terhadap
Daerah.
Masalah
lain
adalah
pengawasan,
transparansi
dan
pendudukan,
penjajahan,
kejahatan,
kekerasan
Negara,
penderitaan,