Anda di halaman 1dari 12

LATAR BELAKANG OTONOMI KHUSUS PAPUA

Pada 25-27 Juli 2013 di Hotel Sahid Jayapura, Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP)
dan Papua Barat bersama Orang Asli Papua dari 257 suku yang terbagi dalam tujuh
wilayah: Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Pago Mee,
mengadakan

Evaluasi

Pelaksanaan

Otonomi

Khusus

Papua.

Dalam pertemuan ini, Rakyat Papua menyampaikan berbagai macam masalah


berdasarkan pengalaman nyata yang dialami Orang Asli Papua secara langsung
selama 12 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus. Orang Asli Papua tidak merasakan
keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan serta kemajuan dari Otsus. Sejak
otsus diterapkan di Papua yang dialami Penduduk Asli Papua adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara.
Penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM.
Secara ekonomi Penduduk Asli Papua benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan.
Gizi buruk dan kematian Penduduk Asli Papua hampir setiap hari. Pendidikan kacaubalau di mana-mana karena faktor ketiadaan guru, keamanan dan tempat belajar.
Pembatasan yang berlebihan dari aparat keamanan Indonesia sehingga Orang Asli
Papua kehilangan hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul.
Pemerintah Indonesia dinilai tidak melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
konsisten kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah juga tidak
menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan penyelesaian
menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tentang status
politik Papua dalam wilayah Indonesia. Yang jelas dan pasti, UU Otsus dibuat
karena seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi politik untuk keluar dari wilayah
Indonesia. Tapi, sayang, Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang berprospek
damai dan bermartabat itu dinyatakan gagal total dari mayoritas peserta evaluasi
otsus.
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah
Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Pemerintah juga lupa, Otsus bukan
pemberian cuma-cuma dari pemerintah kepada rakyat Papua. Otsus tidak lahir
dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tidak
tahu latar belakang dan fakta sejarah lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.

Latar belakang dan fakta sejarah lahirnya otsus sebagai berikut. Tim 100 sebagai
duta-duta rakyat Papua menghadap Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26
Februari 1999 di Istana Negara Jakarta. Tim 100 dari Papua menyampaikan:
Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan
keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah
semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat
yang pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara
bangsa-bangsa lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik
bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah
dianeksasi

oleh

Negara

Republik

Indonesia.

Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik
Indonesia,

bahwa

tidak

ada

alternatif

lain

untuk

merundingkan

atau

mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua


dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat,
26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat
menyatakan

bahwa:

Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa
lain di bumi. Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di
bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai,
dan

bertanggungjawab,

selambat-lambatnya

bulan

Maret

tahun

1999.

Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir
kesatu dan kedua, maka: (1) segera diadakan perundingan Internasional antara
Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan BangsaBangsa (PBB); (2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam
pemilihan

Umum

Republik

Indonesia

tahun

1999.

Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun Rakyat Papua mengadakan Musyarawah
Besar (MUBES) pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah. Dalam
MUBES, rakyat Papua telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan
kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa
bangsa

Papua

sebagai

menyampaikan komunike politik


berikut

1. Bangsa Papua menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada


presiden Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang telah dengan penuh
perhatian mendengar jeritan hati rakyat Papua mengenai identitas diri kami bangsa

Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian menjadi Papua pada tanggal
31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya
menggunakan nama Papua sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian.
Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J.
Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999
di

istana

negara

Jakarta.

2. Rakyat Papua menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan


bangsa Papua dari Belanda melalui PBB kepada pemerintah Indonesia pada 1 mei
1963. Penyerahan kedaulatan bangsa Papua tersebut, tidak pernah mendapat
persetujuan dari rakyat dan dewan nasional Papua Barat yang mempunyai hak dan
kewenangan

untuk

menentukan

nasib

bangsa

Papua.

3. Bahwa sebagai konsekuensi dari tidak sahnya peralihan kedaulatan rakyat


bangsa Papua oleh Belanda melalui PBB kepada Indonesia, maka rakyat Papua
dengan tegas menolak hasil pepera yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962. Penolakan seluruh
hasil pepera yang diselenggarakan dan dimenangkan oleh Indonesia pada tahun
1969

tersebut

berdasarkan

alasan

sebagai

berikut:

(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962
pasal 18 butir d, yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa
- pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus
sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek international, atau one man one vote.
(b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut
pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua,
dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan
membunuh

rakyat

Papua

yang

menentang

cara-cara

Indonesia

dalam

melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai
kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000,
rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak
memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan
Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan
setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua
mengalami
Pelanggaran

perlakuan-perlakuan
HAM,

pembunuhan,

keji

dan

pemerkosaan,

tidak

manusiawi

pembodohan,

pemiskinan,

ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside
bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak
kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia
kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember
1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J.
Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di
istana

Negara

Jakarta.

(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah
dari negara RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara
damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan
bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan - pengakuan kedaulatan hakhak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya
di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah
Indonesia, pemerintah Belanda, pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai
pihak-pihak yang

telah

meniadakan hak-hak politik bangsa

Papua. Juga

disampaikan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia untuk ikut


mengetahui

alasan

-alasan

dan

mendukung

kehendak

bangsa

Papua.

Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim
100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat
dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni
2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid.
Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948,
Alinea I Mukadimah UUD RI tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14
Desember 1960 mengenai jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan
wilayah-wilayah jajahan, Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19
Oktober 1961, pengakuan presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat
yang tercetus melalui Tri Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, dan hasilhasil kongres II Papua Juni 2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan
bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat bangsa Papua melalui
Kongres II Papua 2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di
seluruh

dunia,

bahwa

(1) Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1

Desember 1961. (2)

Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York

Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakilwakil bangsa Papua. (3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil
Pepera, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis,
kekerasan

militer

dan

perbuatan-perbuatan

amoral

diluar

batas-batas

perikemanusiaan. Karena itu Bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut


Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969. (4) Indonesia, Belanda,
Amerika Serikat, dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa
Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
(5) Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari
konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,
dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan internasional.
(6) PBB, AS,dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses
aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur,
adil

dan

benar

kepada

rakyat

Papua

pada

Desember

2000.

(7) Memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Papua


Barat serta

pengusutan dan pengadilan

para pelaku kejahatan terhadap

kemanusiaan di Papua Barat. (8) Segera membentuk suatu tim independen yang
akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah
pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan
bangsa

Papua.

(9) Penyelesaian masalah status politik Papua Barat secara adil dan demokratis
harus dilakukan antara wakil-wakil sah bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia,
Belanda, Amerika Serikat dan PBB. (10) Berdasarkan pengalaman Bangsa Papua
selama 38 tahun di bawah penindasan dan kekerasan pemerintah RI, maka kongres
II Papua 2000 menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk
memberikan

perlindungan

hukum

dan

keamanan

bagi

bangsa

Papua.

Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah
latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik
dengan pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme untuk mengkaburkan
dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara
sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan
bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak

bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak
azasi manusia di Papua yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal
Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di
Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan
sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu
adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman,
Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada Juli 2013 Komisi HAM PBB independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan
Pemerintah Indonesia juga masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan
orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah apa
yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan
dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran
meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua,
mengapa

tidak

ada

pelaku

yang

diadili?

Sultan Hamengku Buwono X sebagai seorang bangsawan sejati dan negarawan


dengan jujur dan tepat dapat menyimpulkan
dalam

membangun

Papua.

Otonomi

kegagalan Pemerintah Indonesia


Khusus

Papua

terbukti

gagal

mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di


Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang
terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara
pemerintah dan masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua.
(Hotel

Borobudur,

Jakarta,

15

Mei

2013).

Dari berbagai pihak menyatakan kebijakan otsus bagi Papua telah gagal. Karena
itu, apa yang disampaikan dalam pertemuan MRP Papua dan Papua Barat dengan
Penduduk Asli Papua dalam evaluasi Otsus patut dihargai dan didukung. Ada dua
solusi yang diusulkan: (1) Membuka ruang dialog damai antara Penduduk Asli
Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di
tempat yang netral. (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang diamandemen dengan UU No.
35 tahun 2008 atas Otsus untuk Papua dan Papua Barat akan diterapkan setelah
dialog damai diadakan. Selain dua solusi tadi, langkah mendesak lain yang perlu
dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah (1) Membebaskan semua tahanan politik
di Papua tanpa syarat. (2) Pelapor Khusus PBB diijinkan masuk ke Papua. (3) Para

wartawan asing dan pekerja kemanusiaan diijinkan masuk ke Papua. Walaupun


tuntutan ini berat bagi Indonesia, namun demi rasa keadilan dan penegakan hak
asasi manusia patut dilaksanakan dalam semangat demokrasi di Indonesia.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis
Papua.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan,


kegagalan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat itu dikarenakan dalam
penerapannya pelaksanaan Otonomi Khusus itu tidak dikelola langsung oleh
Pemerintah Daerah Papua sendiri. Pemerintah Daerah Papua tidak menjalankan
tugasnya. Sehingga, implementasi dana Otonomi Khusus dalam sektor pendidikan
dan kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Deputi Bidang Koordinasi dan
Sinkronisasi Perencanaan dan Pendanaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat (UP4B) M Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan, kegagalan
Otonomi Khusus juga disebabkan lemahnya pengendalian dan pengawasan
pengelolaan dana Otonomi Khusus oleh pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Keuangan, maupun Bappenas.
Desakan Bangsa Papua Barat untuk keluar dari Negara Indonesia mulai bergema
kembali secara terbuka sejak Indonesia memasuki era reformasi tahun 1998.
Pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai
jalan tengah atas tuntutan Kemerdekaan bagi Papua Barat. Tujuan pemberian
Otonomi Khusus adalah agar pemerintah mempunyai kewenangan khusus untuk
mengatur diri sendiri dan melakukan percepatan pembangunan dari ketertinggalan
secara nasional. Pemberian Otonomi Khusus terdapat pro dan kontra ditengah
kehidupan masyarakat Papua Barat. Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua ini tidak representatif bagi rakyat dan terkesan dipaksa untuk menerimanya.
Sebab Otonomi Khusus diberikan bukan didasarkan atas kesepakatan bersama
antara pimpinan masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Hal ini amat berbeda
dengan pemberian Otonomi Khusus bagi Pemerintah Nangro Aceh Darusalam
karena diberikan atas kesepakatan kedua belah pihak.

Selain itu, status integrasi politis kedalam NKRI pada dekade 1960an masih menjadi
hal yang kontroversial bagi sebagian kalangan di Tanah Papua. Terdapat perbedaan
yang mendasar dan tajam antara pemahaman penduduk asli Papua dengan
pemahaman Pemerintah Pusat tentang pemberian kesempatan yang adil untuk
menentukan nasib sendiri dalam Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang diatur
dalam berbagai konvensi internasional. Hal lainnya adalah pelanggaran HAM yang
terjadi pada masa Orde Baru masih membekas pada benak setiap keluarga di
Papua yang anggota keluarganya menjadi korban pada saat operasi militer dan
penahanan tanpa pengadilan karena dugaan keterlibatan dengan gerakan-gerakan
separatis. Tekanan aparat keamanan TNI dan POLRI yang melahirkan kekerasan
dan kejahatan Negara di Tanah Papua. Pendekatan kekerasan dan kejahatan
Negara

ini

mengorbankan

nyawa

ratusan

bahkan

ribuan

rakyat

sipil

Papua. Kegagalan Implementasi Otonomi Khusus di Papua tidak terlepas dari peran
Pemerintah

Pusat.

Peran

mereka

terlihat

dalam

penetapan

yuridis

yang

bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus, yakni:


a. Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat
dan Irian Jaya Tengah. Namun perkembangan selanjutnya, Prov Irian Jaya Barat
tetap eksis sampai sekarang walaupun ada penolakan dari masyarakat, sementara
untuk Irian Jaya Tengah berhasil ditolak. Keberadaan Prov Irian Jaya Barat adalah
satu-satunya Provinsi di dunia yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tetapi
secara operasional tetap berjalan baik.
b. PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan Bendera Bintang Kejora dan bendera
lain yang dianggap simbol separatis di Indonesia. Pemerintah Pusat menolak secara
tegas, Kebijakan Affirmatif Action MRP tentang draf usulan Bendera Bintang Kejora
sebagai simbol kultural. Pemerintah pusat juga menolak SK Nomor 14 tentang
semua Kepala Daerah di Tanah Papua adalah Orang asli Papua.
Kondisi real di Tanah Papua mengatakan bahwa sebuah Inpres bisa mengalahkan
sebuah Undang-Undang, seperti Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang IJB dan IJT
bisa mengalahkan UU Otonomi Khusus Papua. Walaupun sebenarnya kedudukan
Undang-Undang lebih tinggi dari pada Peraturan Pemerintah, Perpu, dan
Inpres. Melihat realitasnya, Otonomi Khusus ini boleh dikatakan gagal. Padahal
alokasi dana pembagian berupa dana penerimaan khusus untuk Provinsi Papua

terus mengalir. Setiap tahun bahkan terus bertambah. Dari 2002 sebesar Rp 1.382
trilyun, menjadi Rp 1.539 trilyun pada 2003, lalu Rp 1.642 trilyun pada 2004. Secara
teoritis, dengan dana sebesar itu, Papua bisa mengejar ketertinggalan dari provinsi
lain. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan sungguh berbeda. Di mata Pemerintah
Daerah Papua, Otonomi Khusus dilihat semata-mata sebagai program untuk
menguncurkan sejumlah uang bagi Provinsi papua. Akibatnya, Otonomi Khusus
menjadi ajang rebutan proyek.
Tujuan dari penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2007 sebenarnya merupakan langkah
yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UU Otonomi
Khusus karena melihat realitas pejabat daerah di Papua melakukan korupsi, baik
pejabat eselon I, II, III bahkan honorer punya rumah dan mobil sendiri yang dicurigai
sebagai hasil korupsi. Rakyat di Tanah Papua terutama yang jauh dari perkotaan
belum ikut mekar, yang mekar hanyalah sebagian pejabat dan birokrat pemegang
kekuasaan.
Sejak UU Otonomi Khusus disahkan, sampai sekarang belum ada satu pun
peraturan Perdasus yang ditetapkan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Faktor-faktor penghambat implementasi UU Otonomi Khusus di Papua, antara lain:
1. Ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi Khusus
Mereka yang memberikan respon positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai
suatu jalan keluar yang dapat mencegah konflik. Ada pula sebagian masyarakat
yang

secara

tegas

menolak

status

Otonomi

Khusus

dan

menginginkan

kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI. Ironisnya, pemahaman yang
berbeda ataupun persepsi negatif terhadap Otonomi Khusus tidak hanya terjadi di
antara masyarakat Papua, tetapi juga di kalangan pejabat pemerintah dan anggota
lembaga legislatif, baik di Pusat maupun di daerah. Padahal, mereka mempunyai
tanggungjawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar dan jelas.
2. Adanya sikap saling tidak percaya (distrust)
Pengalaman yang dialami oleh rakyat Papua, pada masa Pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya terhadap

Otonomi Khusus yang ditawarkan Pemerintah Pusat. Di sisi lain, di pihak


Pemerintah Pusat ada kalangan tertentu yang khawatir bahwa UU Otonomi Khusus
akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk merdeka.
3. Sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanan (PP,
Perdasi, dan Perdasus)
Salah satu penyebab utama dari lambatnya hal tersebut karena Tim Asistensi
Otonomi Papua, yang anggotanya terdiri dari para Intelektual Papua tidak dilibatkan
secara penuh dan utuh dalam penyusunan draft rancangan peraturan pelaksanaan.
Tanpa keterlibatan Tim ini, tidak hanya prosesnya menjadi lambat, tetapi juga dapat
terjadi missing link antara nilai dan norma dasar yang diatur dalam undang-undang
Otonomi Khusus.
4. Penyerahan kewenangan dan sumber daya yang tidak konsisten dan setengah
hati oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
Dalam banyak hal Pemerintah Pusat (dalam hal ini departemen-departemen
tertentu) belum siap secara mental untuk menyerahkan semua kewenangan dan
sumber daya yang dimilikinya. Bahkan ada kewenangan tertentu yang sudah
diserahkan, tetapi kemudian ditarik kembali, sehingga terjadi tari-ulur antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Contohnya, di sahkannya PP No. 8
Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang bertentangan
dengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Propinsi Papua.
Salah satu esensi dari Otonomi Khusus yang sesungguhnya yaitu tidak saja bagian
terbesar kewenangan diserahkan kepada Propinsi Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan, tetapi selaras dengan itu, semua potensi untuk
memperoleh dana di daerah secara penuh dikelola oleh Pemerintah Propinsi Papua.
5. Kesiapan Pemerintah Daerah untuk menerima dan mengambil aalih kewenangan,
sumber daya, tugas, dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat
Kita semua memahami, dalam hal kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan
manajemen yang dimiliki Pemerintah Daerah belum memadai untuk memikul dan

mengemban kewenangan, tugas dan tanggungjawab yang di serahkan Pemerintah


Pusat. Sehingga kecenderungan memunculkan matinya inisiatif dan kreativitas
Pemerintah

Daerah.

Masalah

lain

adalah

pengawasan,

transparansi

dan

akuntabilitas yang belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga membuka


peluang terjadinya korupsi.
6. Pemekaran Propinsi Papua
Salah satu masalah yang menimbulkan pro dan kontra, baik di pusat maupun
daerah adalah keluarnya Inpres No. 1 tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan
UU No. 45 tahun 1999 tentang Pemekaran Propinsi Irian Jaya Barat, Tengah, dan
Timur serta beberapa Kabupaten yang bertentangan dengan UU Otonomi Khusus,
karena dengan adanya Putusan MK No. 18/PUU-I/2003, UU No. 45 tahun 1999
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus dapat
dilakukan dengan mengubah total semua praktek-praktek pembangunan di masa
lalu, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang mengabaikan
maupun melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan pendekatan keamanan dan
kekuatan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di masa lau, yang
mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan di
era Otonomi Khusus ini. Rakyat Papua pada dasarnya patuh pada hukum,
sepanjang hukum itu berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam
suatu sistem yang professional dan bebas dari intervensi pihak manapun, serta para
penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001.
UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekalkan

pendudukan,

penjajahan,

kejahatan,

kekerasan

Negara,

penderitaan,

kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua. Setelah Otonomi


Khusus dan UP4B dinyatakan gagal, sekarang Pemerintah Indonesia menyatakan
Otonomi Khusus Plus.
Solusi yang di tawarkan

Untuk menyelesaikan secara tuntas, adil, dan bermartabat, semua pelanggaran


HAM yang pernah terjadi di waktu lalu termasuk sejak 1 Mei 1963 maka Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Propinsi perlu memberikan kompensasi dan rehabilitasi
kepada korban, keluarga korban, atau ahli waris korban pelanggaran HAM di Tanah
Papua menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam adat istiadat suku-suku di Papua; dan
Upaya untuk terus membuka pintu bagi dialog-dialog dalam bentuk persuasif bukan
dengan cara konfrontatif yang bertujuan meluruskan sejarah politik Papua di masa
lalu merupakan hal penting. Pelurusan sejarah ini perlu dilakukan dalam rangka
mencari kebenaran hakiki yang hingga kini terus dipertanyakan banyak pihak di
Tanah Papua. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses ini
secara damai dan bermartabat, sekaligus mampu membangun kerangka-kerangka
dasar penyelesaian berbagai masalah terkait pelurusan sejarah ini.

Anda mungkin juga menyukai